Sabtu, 08 Juni 2019

A P R I L

jejakmu masih saja tersisa pengkhianat!
waktu bergetar mengayun bandul pendulum
sebelum terjungkal di dalam senyap
: tujuh ratus sepuluh hari sebelum sandiwara kita sudahi
tak terasa lagi pedih luka hati, kebebasan sebatas
gerak bebayang yang berkelebat dari jeruji kebencian,
"biarkan saja...." ombak akan menggelegar pada musim yang dipastikan,
keculasan itu cuma sampan yang pecah berserakan

 Merauke, 10 April 2012

BABAK PENGHABISAN

babak penghabisan sebenarnya usai kini,
namun aku menyangkal telah menyudahi
sia sia kukatupkan tirai --dimanakah sang sutradara?
yang tersisa cuma hening, sunyi tanpa bahasa
dan menyakiti tiba tiba, tapi bukankah engkau masih menatap
setelah jarak dan kealpaan?
tak lagi kukatakan "tidak"
setelah melompati jeda si-aku cuma lilin yang meleleh disulut bara,
pun kerdip lampu risau terbang menjadi kunang kunang 
akan kulakonkan lagi cerita ketika pendusta hanya alfabeth yang bercerai
di lingir kata

Agats - Asmat, 20 April 2012

M A R E T

terang selalu mengkhianati laron laron
yang kini berguguran mati dijilati lidah api
--malam nan asing meledak menjadi sampan, oleng dihantam debur ombak
:"apa yang bakal dimenangkan bila tatapan sang juri adalah kebencian?"
engkau dan aku cuma kelebat bebayang nan tersengal lalu bercerai
di batas keramaian
pun sang waktu tak henti memanggil gegap gempita pesta
hingga menuju batas akhirnya
kerdip lilin tiba tiba menjerit menjadi kemarahan
kepak sayap itu hanya serangga nan cidera
dan perhelatan semakin hampa
selesai tanpa kata ....


Agats - Asmat,  31 Maret 2012

MENJEMPUT WAKTU

--malam terjerembab di lingir kapak batu
aku meledak menjadi peluru
takaran hanya bayang gelap ketakutan
gentar yang semakin gemetar lalu menggelincir seakan
alfabeth
si-aku bukan huruf hidup bukan pula huruf mati
cuma kelana asing di tanah tak bertuan
dingin pun terkapar pada angin lesi
harap undur diri berpulang pada sepi
: “bukankah lelaku hanya kepingan kisah?”
pagelaran yang pasti usai sebelum
lonceng berdentang
tiba saat berpamit pulang


 Bandara Moses Kilangin, Timika, 5 Juni 2011

P E R O N






: waktu pun memecah menjadi gelembung nan
gemetar dan  risau mengapung
adakah sisa bangku untuk
menunggu?
perjalanan mengantar pendaki
memanjat tebing tinggi
lalu terlontar
remuk
di dasar jurang tanpa tepi
--apa sejatinya kebenaran bila
harus kukatakan, “ya”
bagi kesalahan yang tak pernah
aku lakukan
masihkah tersisa ruang untuk
menunggu?
kemilau lantai telah berpusing
menjadi bayonet
nyaris menghunjam
tepat di antara keraguanku
malam serupa buih tanpa jejak
menggelepar di hati nan letih
: berapa lama mesti diam
membatu  hingga terdengar
gemuruh suara kereta-Mu


Agats – Asmat, 17 Februari 2011

J U R I

: siapakah yang bakal engkau menangkan?
riuh perlombaan bergemuruh mengundang kelam
senja pun menghilang dalam kabut
dua puluh sembilan hari kabisat tahun ini
terseok lalu diam diam berhenti
--kusudahi penantian
kalah menang cuma jeda ketika akhir adalah cerita
yang tak pasti kapan ujungnya
malam pun berembun selepas hujan yang
lelah turun
kususuri jalan jalan kota
kerdip lampu serupa kecemasan
yang kian lesi di balik basah dedaunan
'piala itu tuan, kepada siapa kiranya
hendak engkau berikan?

Agats - Asmat, 17 Februari 2011

SAGA MERAH

--merah saga senja perlahan gemetar
terjerembab di garis cakrawala

terbayar sudah hutangmu pendusta
kuhujamkan kelewang seperti pernah engkau tikamkan
badik di kedalaman
lalu ombak pun serupa darah yang liar menghantam batu
batu karang
butir  pasir tak lagi berbisik
hanya suara angin bergumam, “tak usah engkau sesali....”
alur cerita pagelaran telah tersurat dalam catatan pasti
--janji  cuma lidah alfabeth dan kata-kata
yang menjerit menggelepar, murca
tapi cinta serupa cincin api, yang mengerat jari manis
berkilau sekaligus mendustai
pun rindu seakan pijar lilin, sekejab padam
bahkan malam menjadi lebih hitam
tajam  mata pisau tiba tiba menggarit
tepat di ulu hati
:”aku ingin cepat berpamit, terbang bersama
kupu dan rama rama  menempuh warna bianglala
senja semakin membara
luruh, kini tiada ....


Agats – Asmat, 21 Juli 2012

Jumat, 07 Juni 2019

F E B R U A R I

gemuruh genderang tak lagi bertalu
pun derap seribu kaki kuda
man memecah perang dan mengepulkan
debu
kemenangan dan riuh perjamuan berakhir
di bilik sepi
jalan jalan lengang
harap pergi menunggang angin
yang berziarah menuju “entah”
: “adakah daun dan kupu kupu masih berwarna?”
langit cuma hitam putih
perbedaan yang ragu
berganti tanpa pernyataan
--ingin kutatap lengkung indah
bianglala
namun hingga kini
deras hujan
tak jua mereda


Agats – Asmat, Februari 2012

J A R A K

marlina ….
kita pun mengerti betapa
mencemaskan jarak
seutas tali yang terentang dan terus
meregan, melompati batas waktu
--mawar merah itu masih tergenggam erat di
telapak tanganmu
adakah saat bersua?
hari hari seperti bola
yang tergelincir dan berpusing
entah kemana
engkau, aku, dan hari lalu
membias dalam bias bayang talam rembulan
yang mengapung di permukaan kolam
sekawanan kunang kunang
berpacu terbang
adakah angin kan menyampaikan
salam?
Agats – Asmat, 19 Januari 2012

SURAT TERAKHIR

: masih adakah yang tersisa?
setetes tinta pun kini tak ada
pucuk surat penghabisan bertanda tangan cucuran
darah
--tahukah tuan? sang merpati
membawa terbang kepada ‘entah ….’
tujuan yang sia sia
dan akhir nan sirna tiada
setangkai lily mekar kemudian layu
terpanggang waktu
kupungkiri hari itu, kunyatakan “tidak!”
meski lidah kelu membatu
lalu kelopak kelopak bunga bercerai
meninggalkan musim
--mengertikah tuan? pekan demi pekan berlalu
dalam nestapa seperti hari  yang pernah engkau
dustai
sepucuk surat itu menggelepar menjadi
angin lapar menghantam pepohonan

terdengar suara batang kayu rubuh
tanah pun retak, dedaunan berserak
menggeliat menjadi binatang melata
tak akan pernah lagi tertulis
pucuk surat yang berikutnya

Agats - Asmat, 31 Desember 2011

D E S E M B E R






: sepucuk surat itu terlipat menjadi perahu kertas
mengapung pada riak air danau
oleng tersebab angin nan kacau dan bersiap menuju lesap

kukatupkan daun pintu sebelum gerimis menjerit
 berpusing
menjadi taufan
bukankah susunan kalimat tak lebih dari kartu
ucapan yang terpelanting tanpa makna lalu membisu
menjadi dusta?
kicau burung dan kepak sayap kupu kupu menjelma
seakan hampa udara, sebuah seruan menggema, “engkau
hendak kemana?” arah angin selalu berubah
dari lurus berbelok ke tenggara
kusulut kembang api
tahun hadir dan berlalu tersengal di batas waktu
pun sisa hujan masih jua tergenang membasahi trotoar
:”ah, sudahlah ….”
tak usah gadaikan rasa percaya
setelah ada dan tiada, si-aku  tetap
mematung di sana
Ia masih berkuasa menyuratkan cerita
pada  pucuk surat  yang berikutnya ….




Agats – Asmat, 9 Desember 2011






N O V E M B E R





denting piano Richard Clayderman: merelakan Oktober
 menjemput November

 --aku, engkau, dia, dan mereka hanya kekal dalam lukisan--
betapa mutlak sang bathara kala menentukan garis batas lalu menceraikan
 :kutulis pesan di dalam botol kularung pada gemuruh ombak lautan,
 kutunggu dan masih kutunggu ,
 namum waktu menggelandang jawab di akhir yang pasti,
 mati!
 hanya lolöngan srigala lapar merobek malam,
menggubah cerita, karena senyum mesti tersungging
 di atas duka, kita masih tetap bersandiwara


 Agats - Asmat, 6 November 2011

O K T O B E R

  
 

september tak tertera lagi dalam alamat
hujan tiada berniat reda, bergemuruh, meratap ....

jejakmu masih saja tersisa pengkhianat!
nyaring detak sepatu memanggil takut lalu lindap
di bawah cahya bulan yang sekarat
debu musnah pada titik beku tak akan pernah terbang
menjadi kupu kupu --bukankah engkau telah tahu tentang rasa sakit itu?
kesombongan yang runtuh menjadi tombak
mendesing , menatap sang tuan, mengancam!
hidup hanya percobaan, ketika ombak menggelegar
musim ingkar, pun kemasyuran cuma isyarat
pada satu babak yang pasti tamat
--langit masih mengatup, basah pada cucuran air mata
seribu peri yang menganak sungai
dan mengendap menjadi garam laut
pada pucuk pucuk daun kerinduan mengembun
tetap kuhitung langkahmu
kekalahan dan kemenangan : ‘yin dan yang’
serupa warna sang hidup yang menolak hitam
membias menuju terang atau menghela gelombang
pasang menjadi biru samudera nan riang

berapa panjang mampu kau hela waktu bagi kesombongan itu?


Agats – Asmat,3 Oktober 2011

S E P T E M B E R






pada akar akar angin yang terbantai
agustus pun letih lalu terkulai
waktu terhimpit dan menjerit, namun tiba tiba
diam, membeku pada sehelai gambar
:”ah, potret itu ....”, menyimpan senyum dan ketakutan
pada saat bersamaan, perasaan yang terhenti kemudian
mati
nanti, kan terbongkar kembali ingatan
ketika rindu memanggil --dimana kusimpan jejak?
bukankah masa lalu kekal selaku takdir?
tersembunyi pertanyaan di hari depan
aku tak lagi sekedar alfabeth yang terbaca
setelah perkawinan aksara, pun usai angin geram
meluapkan kemarahan menggugurkan ranting
dan dedaunan
cukup sudah sedu sedan, dendam bagi segala kutukan
karena hari masih akan tanggal
kalau pun hilal terlambat datang
maka sang kafilah
abadi menghentak langkah menyusuri
lingir waktu merelakan bulan berlalu ....



Agats – Asmat, 5 September 2011

A G U S T U S

juli pun berlalu, menyublim dalam udara hampa
si-aku menyala menjadi merah saga bara yang
sekejap padam dikucuri tinta
--dan kemarahan itu tuan
pasti kekal lalu beku menjadi sehelai kain kafan
adakah engkau tengah menunggu kematian?
derit keranda yang menutup segala cerita
pun seribu kata-kata yang ternyata bermakna dusta
: tahukah tentang nyeri yang membelah tepat di ulu hati
kala seribu hari tertanggal yang tersisa kini sunyi
bunyi tanpa gaung dan menghilang
lenyap tiada pesan
bulan menggantung menyudahi kalimat
menolak denting piano
menampik jerit biola
yang ada haya satu kata --sia-sia--

hari hari menggelepar terjerembab di batas
penantian, namun seperti halnya rotasi bumi
sang maha kala tak letih beredar menuntun risau hingga gugur
di penghujung tanggal



Agats – Asmat, Agustus 2011

J U L I







: kuhitung sisa langkahmu pengkhianat!
kala detak jam dinding menggigil menjadi musuh sekaligus sahabat

jarak tak terelakkan
moncong revolver masih kalap menatap
si-aku tak bisa menjadi halimun yang meronta
dalam gerak absurd lalu jenuh sebagai rinai gerimis
udara tetap dingin yang membeku pada titik embun
lalu murca kembali kepada senyap
juni mengatup dalam kabut
--masihkah
Engkau di sana, bersiteguh dalam maha benar kata-kata?
malam yang mengukuhkan pertanyaan
kelam tanpa jawab
lidah kelu menolak kata
andai dapat kuloncati masa
maka akan kubenamkan lembing pada
sosok musuh sesungguhnya



Agats – Asmat, Juli 2011

PECAHAN KACA

: adakah yang dapat engkau ceritakan tentang impian?
tunai sudah tawar menawar
ikrar cuma reruntuhan, pun rumput liar semakin jalang
merambat melebihi batas ketakutan
rindu berkilat menjadi pecahan kaca --masihkan ingin
bertanya tentang pedihnya luka?
si-aku terentang seakan gendewa,meregangkan jarak
waktu kan tiba sebagai perpisahan ketika anak panah
melesat sebagai sasaran
pada cermin retak bayang diri bahkan sulit disatukan
namun langit abadi seluas kebebasan
:’andai Engkau ijinkan risau hati menjadi
kerdip kunang kunang nan lepas terbang
menuju ketinggian ….


Timika, 27 Juni 2011

J U N I

--apa sesungguhnya ketakutan, kecuali waktu yang meregang semakin
panjang karena penantian dan tergesa menggelincir, karena gentar?
kukhianati kesaksian, lawan merapatkan jarak, kurentang gendewa
badai mencabut helai rambut menjadi anak panah
kubidik sasaran
seperti jantung, jarum jam patuh berdetak, hari gugur, pekan
tertanggal
kututup mei, selembar gaun luruh dan lunglai menjadi sunyi
siapakah engkau selain culas yang menyandang langkah?
masih kuhitung masa ketika akhirnya tiba saat
untuk mengucap kata yang sesungguhnya



Sentani, 7 Juni 2011

S E N D R A T A R I

--bila tak sanggup lagi menanggung beban: lepaskan ...
pagelaran bergemuruh menuju babak pungkasan
penari berkeluh kesah: “lelah .... ijinkan aku menjadi kabut ....”
pentas pun memutih digulung halimun
tak mudah selalu berpura-pura
namun topeng telah menyatu pada tua raut muka
penonton menatap nanap! denting gamelan
mendesah kalut dalam raungan angin
berapa panjang harus menunda waktu?
langit kian renta nyaris meleleh di ubun ubun kepala
kabut makin jenuh terisak menjadi gerimis
lalu bergelora sebagai deras hujan, mendesislah suara, mengancam
:”rampungkan perhelatan!”
hujan pun berkilat setajam pedang
lawan menjerit terpengarah
pernahkah pementasan tak mengucurkan darah?



Timika Golden Hotel, 30 Juni 2011

G E L O M B A N G

waktu pun bergemuruh menjadi gelombang yang meraung
bergulung gulung
pada lidahnya menjerit ketakutan membentur dinding pelabuhan
: perjalanan ini tuan,  berawal serupa keraguan
lalu bahtera oleng, terhuyung dalam angin yang semakin
marah
daratan cuma kabut yang risau menunggu jawab --aku pun hanyut!
geladak sunyi seakan malam tanpa kata
ikan ikan menggelepar binasa
kapankah letih akan bersandar di tepi dermaga?
tiba-tiba terdengar suara memanggil: “pulanglah ....!”
beliung pun menampar pada hantaman ombak
yang resah lalu lesap pada hampa yang sempurna
hidangan yang tersisa adalah puntung dari cerutu
yang dihisap sang puan
pada asapnya menggeliat seekor ular
menari dan menari
di atas segala duka hati
 waktu masih berdebur dalam  gelombang
bersiap menerkam bahtera, tapi
bukankah Ia masih di sana? memandang dan memandang
laku manusia sebelum babak terakhir tiba ....


Agats – Asmat, 20 September 2011

S L E Y E R

: malam di kota tua
hanya kesendirian yang bersisa
gelap terbata
melambai pada sehelai sleyer lila
pun di halaman rumput rumput menjerit binasa
dedaunan sekarat diterkam ulat lalu suara hening
yang memecah :”dimanakah akhir penantian?”
letih hati menunggu jawaban
setelah dusta, rasa sakit, dan keraguan
masih adakah yang harus ditangguhkan?
dingin yang enggan pergi membeku
di lingir hati
mengekalkan sepi
ingin kukoyak sunyi, namun
waktu masih solitair yang diam membatu
abadi berotasi di rongga kalbu
--tinggalkan saja aku! supaya dapat kukemasi
perasaan gentar akan kematian yang semakin
mendekat seakan gelombang nan bergemuruh
membantai kealpaan
: kota semakin tua, malam semakin renta
hati pun gundah
helai sleyer tiba-tiba tersedak menguncurkan darah!


Agats – Asmat, 20 Agustus 2011

G R A F F I T I

: “ …. andai engkau berniat pergi, pasti kulepaskan, namun jangan
pernah kembali datang meski hanya kelebat bebayang.”

ia hadir dari rintihan daun kerontang
yang gugur bersama kabut masa silam
orang orangan matanya ialah
rindu seribu tahun akan
warna indah kembang di musim semi
pun hatiku hanya kepingan mimpi
tersusun gagu pada sebaris puisi
: “mari kita pergi….”
rama rama terbang rendah pada reruntuhan
bangunan tua
kupu kupu gemulai mengepakkan sayap
secantik sonata
namun senja lebih cepat terhuyung
lalu roboh menjadi layar
nan gelap
selincah burung wallet tubuhmu terbang melesat
ragaku hanya gambar
memaku pada dinding mati
tercoreng arang graffiti
--now, you are a stranger, I know what to do without you ….
hampa sama renta dengan tembok purba
cepat dan tiba tiba
adakah yang dapat terucap, kecuali selamat jalan
malam membatu,tak ada lagi yang dapat kulihat
selain jejakmu



Agats – Asmat, 7 April 2011

H U J A N

pada terik sang maha zaman alam mengaduh serupa kesedihan 
yang menjerit ketika petir menyambar
mendung terbelah
langit retak
gerimis luruh dari cucuran air mata
seribu peri yang terisak karena pedih duka hati
--aku cuma rinai yang jatuh di atas genting lalu
menyatu serupa kata seru
“tik…tak…tik…tak….”
basah sudah ladang ladang petani
penuh pula guci para pengungsi
aku menjawab dahaga akan
takdir sekalian prajurit
nan meregang nyawa di medan
pertempuran untuk kalah atau menang
aku terus mengaliri seribu anak sungai
menggelegak
bermuara di seluruh lepas pantai
: guruh menggelegar
angin menggeram
bidadari tak henti tersedu
aku tetap berjatuhan
terpelanting di atas tanah gersang
gugur pada jiwa yang merintih
dan
kering
kerontang
lalu bergemuruh menjadi banjir bandang



Agats – Asmat, 28 Maret 2011

P E N C A R I A N

: Ester dan Afet

kami mencarimu anak anak tak bersalah
mengukur ketakutan dan perih pada lidah ombak yang
marah
waktu menguap serupa kabut lalu menjerit
bersama derit peti mati
--kami tetap mencari
cucuran air mata ibunda menegang
pada seutas laso, mengaum
menyakiti hati
pun sesal ayahanda setajam
mata pisau berkilat melukai
: “every body know, you were gone and never come back anymore ….”
arus sungai sekejam cakar sang maut
memanggil….memanggil….
manusia hanya sepenggal cerita nestapa
membungkam tiada daya
kami masih mencari melampaui takut
hingga tampak lah tubuhmu mengapung
angin terjungkal
langit pun mendung



Agats – Asmat, 27 – 29 Desember 2005

MEWARNA PELANGI

merah
jingga
kuning
hijau
biru
ungu
meragu disapu rindu
waktu menggugurkan rinai
gerimis
pada sekalian bidadari
yang resah menangis
lembayung cahaya menepi
di langit sepi
: melengkunglah
enam
warna
pelangi

Agats – Asmat, 14 Juni 2010

S A L I

kutampik pecah fajar penghabisan
rembulan pucat lesi, risau menanti
pagi
halimun menggigil dihela dari ujung
langit dan membungkam di pucuk bukit
tersedaklah udara
kukatupkan telinga
tak terdengar lagi tangis kanak-kanak
lapar dan dahaga
pun sang bapak yang kekar dan perkasa
tak akan mengubah tangan bagai cemeti
dan mencambuk dengan keji
melukai ulu hati
: ketika babi-babi dibayarkan sebagai
mahar pada hari perkawinan
seorang perempuan hanyalah budak
kehidupan!
kebebasan menguap bersama kabut mimpi
dan menepi dikoyak sepi
kukenakan batu-batu sebagai pakaian
penghabisan, kutinggalkan sali* di
tepian sunyi
angin menghunjamkan tubuhnya
pada permukaan air kali
gelombang memanggilku
: “ayo, telah kutunggu hari kematianmu!”
rasa sakit menolakku dari bibir jurang
tubuhku seakan ringan kapas, terjungkal
dan melayang
kujemput ambang takdir, kutembus pintu ajal
sampailah aku pada sebuah
pembebasan ….


*Sali: pakaian adat wanita Suku Dani
Sebuah catatan dalam perjalanan ke Wamena,Februari 1994

K A R N A

: senja temaram bagai disepuh
warna emas kala pertemuan itu
terjadi untuk yang pertama dan terakhir kali
“seribu ampun ibunda, hamba menghadap
memenuhi panggilan yang mulia”,
“wahai karna, anak radheya, sais kereta,
aku sengaja memanggilmu, karena aku tahu
betapa gentar kelima satriaku pandawa akan
kesaktianmu. esok, bila bharata yudha telah usai
aku tak mau kehilangan satu pun dari pahlawanku.
kedigdayaan nyata engkau persembahkan bagi
seratus raksasa, kurawa, bukan bagi anak-anak
yang aku cinta”
senja bergetar, surut menjadi pucat pasi mendung
dan berembun pada rinai gerimis, langit seakan terisak
pada ulah laku manusia, genderang perang
tiba-tiba bergemuruh di dada si hamba yang
sejatinya adalah sulung pendawa
sekejab karna menatap wanita agung dengan tegas
kata-kata, wanita kayangan yang terlalu jelita
sehingga rela melarung bayi yang dilahirkan
pada arus sungai gangga
adalah seorang kusir yang memungut anak
terbuang, kemudian membesarkan dengan
rela kasih sayang, radheya rakyat jelata
yang mengabdi pada kurawa
“hamba ibunda, yakinlah selalu, bila esok
kurusetra digelar, entah hamba atau salah seorang pandawa
yang gugur, maka putra ibunda akan tetap lima”,
senja pun terjungkal, ditelan jelaga malam, karna
mengerti, pertemuan ini adalah awal pertanda
dekat sudah hari kematian baginya ….

*sepenggal cerita dari Mahabharata

E N G K A U

engkaulah sosok
aku hanya bayangan
yang bergegas menepi meninggalkan
mimpi
untuk terus berlari mengejar
senja, bermohon pada seberkas
aurora yang tak tak pernah kekal
menggores di batas cakrawala
: yang menghitam pada sepasang
bola matamu adalah malam
gelap nan membeku pada kehitaman
dan bersikukuh membungkam
tabir kehidupan
engkaulah megah bangunaan
aku cuma remah dan reruntuhan
yang kian purba ditelan hijau lumut
pun sejarah hanya panggung
hidup yang segera dilupakan
: yang menghitam pada dinding
hatimu tetap gulita malam
karena rembulan semakin berdarah
terjungkir di kuduk langit
gemetaran
bintang hanyalah jejak ilusi
yang kemerlip sesaat kemudian gusar
di buku gambar

Agats – Asmat, 31 Mei 2010

E M B U N

aku
enggan
gugur
dingin mengekalkan kesunyian
udara pun gemetar disiksa
keraguan
malam terlalu gelap
untuk tersingkap
matahari tergesa berlari meninggalkan
pagi
: sepotong hati diam terpaku
tersihir dan membisu
aku
akan
menjadi
batu
dan menghujani kulit bumi
dengan seribu cerita basi
duka cita tak terkatakan
telah menggores warna pada
layu dedaunan
: masih tersisakah sepenggal rindu
kala hati retak
menghantam waktu dan berlalu
sebagai debu ….


Agats – Asmat, 27 Mei 2010

SEBONGKAH KAYU

kalaulah dapat bersuara
aku telah merintih kala
tajam mata kapakmu berkilat
menggores kulitku hingga getah mengucur
semakin merah mengalirkan darah
aku ingin menjerit ketika tubuhku
terpenggal kemudian roboh tanpa
perlawanan, tetapi raungan yang terdengar
hanyalah suara pohon tumbang
serta daun-daun yang terkulai
ke atas tanah, berserakan!
maka langit pun tersedu sedan
pada kilat dan halilintar yang silau
menyambar
sekalian bidadari maya berduka
meneteskan air mata
pada rinai gerimis yang kian menghebat
tercurah pada hujan lebat
air tak terbendung, mengombak, meluap
menjadi banjir dan mala petaka
: aku hanya dapat membungkan
seribu bahasa
akarku tak kuasa lagi menyelamatkan
tanah dan semesta
aku akan tetap membisu
karena aku hanyalah sebongah kayu

Agats – Asmat, 22 April 2010

U N G U

aku melepaskan diri dari
rangkaian bias pelangi
angin menghembus membawaku
pergi dan luruh di tepi
kali
: kuwarnai bunga dan kupu-kupu,
kugores dinding sungai
dan batu-batu
angin terus kembara
hingga melintasi gerbang kota
kupulas lembar cita, adi busana,
selendang, dan untaian permata
angin masih juga berlari
kutiup kembali warna pada tirai,
lilin, kembang kertas, dan
sejuta puisi
: aku pun ingin terbang
pulang kembali
tetapi hujan telah lama reda
ternyata, lengkung sendu
bianglala kini tak ada....


Agats - Asmat, 26 Maret 2010

W A R N A

aku ungu:
setelah merah darah melarut bersama
biru laut, di ambang jendela semesta
yang fana
aku membias pada untaian buah anggur
yang ranum, sayur terong, dan
langka bebatuan
aku kelabu:
ketika gelap malam meleleh
bersama putih helai sutra
yang melambai pada bingkai cakrawala
aku melekat pada seragam siswa, melumuri
dinding bui
dan menggumpal pada sejuta
batu kali
aku lila:
saat merah saga mencair
dalam lelehan emas dan menyatu
bersama hening senja kala
aku mematut diri pada bibir bergincu
kemilau gaun pesta
dan molek sepasang pipi yang merona
aku putih:
saat musim dingin tiba aku
akan meniup segala
warna, aku luruh berderai dari
langit beku, menyelimuti raga kehidupan
sebagai salju
aku akan tetap menjadi satu-satunya
warna hingga bertiup angin dingin
penghabisan
musim semi pun tiba


Agats - Asmat, 25 Maret 2010

KAIN TENUN

rindu pun terpintal menjadi
segumpal benang
pada langit tercurah biru
pada buah anggur mencair ungu
lembayung senja membias cerah
dan luka berdarah menggores
warna merah
tubuh melebur menjadi keringat
lembar demi lembar saling mengikat
tapi harus kutunggu malam
untuk melukiskan hitam
: kuselimutkan helai kain
pada hati yang beku dan dingin
duka hati tak perlu lagi dikasihani
manusia bahkan harus mampu
mengampuni diri sendiri
gulungan benang tak lagi bersisa
sepi menghujam, seluruh warna telah
memudar
: mesti kujumput kembali rindu
bagi pintalan benang yang penghabisan


Agats - Asmat, 22 Februari 2010

NINA BOBOK

tidurlah anakku
di luar malam semakin hening ditopang
cahya purnama, dimanjakan lembut
kerdip kunang-kunang
suara kanak-kanak menyanyikan
lagu dolanan telah lama terdiam
tak ada lagi yang mesti dirisaukan
susah dan senang telah ditakdirkan
sebagai rupa kehidupan yang demikian
kukuh tak tergoyahkan
pejamkan matamu
dendam dan pengkhianatan akan
tersungkur menghantam dinding ketabahan
musuh yang berpura-pura tersenyum
tegur sapa lawan mengobral "cinta"
adalah adegan sandiwara biasa
istirahlah ke alam mimpi
pada suatu batas maya ketika
keinginan dan kenyataan menjadi nisbi
esok akan menjadi semusim bertabur bunga
bila engkau benar memimpikannya
akan menjadi kemenangan
setelah musuh terjungkal
berlari lintang pukang


Agats - Asmat, 1 Februari 2010

SAJAK DUKA

: Krisda Membangka Kadang 

engkau terlalu dini berpamit adinda
bahkan ketika mentari belum lagi beranjak tinggi
mimpi belum terjaga dan harapan masih tampak
samar selayaknya bayang-bayang
: hidup berubah menjadi teka-teki
ketika cinta bertaut dengan adat
ragu dan kebimbangan
jawaban berujung pada maut
beribu doa dipanjatkan
beribu maaf disertakan
para bidadari maya akan segera
membuka pintu, hingga engkau bisa
menuju pada kehidupan
ketika cinta akan terus mengalir
selayaknya sungai dari sumber air yang
tak pernah kering ....

Agats-Asmat, 5 November 2009

P U L A N G L A H ....

  






dewanti, anakku: "pulanglah...."
senja telah tersisa pada pucat
pasi cahaya yang akan
segera padam
dilumuri hitam genangan tinta
dalam gelap kita bahkan tak pernah
tahu, siapa gerangan musuh
yang tajam menatap bersama geram
hantu menakutkan yang
bernama kebencian
tak pernah lelah menunggu
saat lengah untuk meluapkan amarah
: kembalilah kepada ibunda
yang rindu menunggu
pada keikhlasan cinta
seluas samudera

kinanti, anakku: "pulanglah...."
langit jingga tak akan berlama-
lama membagikan warna
jemari sang waktu akan tergesa
mengemasi teja
menggelapkan pudar cahaya
pada kelam jelaga
tak mudah mengenali wajah lawan
yang selalu menyeringai
dan bersiap menaburkan dengki
:kembalilah kepada ibunda
yang menanti pada keluasan
kasih tanpa tepi
sepanjang hidup dan mati

Agats - Asmat, 27 Agustus 2009

P I T A L O K A






pada dekapan sang janeswara*
jasadmu dingin membeku, rambut
yang panjang itu jatuh terurai
mengucurkan darah
menggenangi lantai
: mengapa harus gamelan ditabuh?
upacara pernikahan telah
runtuh menjadi duka pemakaman
kebesaran wilwatika mementaskan
tragedi, perang di padang bubat
tanpa sebuah jawaban: untuk siapa
sebenarnya hakekat kemenangan?
sebab apa cinta harus dipertaruhkan
dan tahta mesti dikorbankan?
jasadmu luluh dalam abu terbakar
api sumpah sakti si mahapatih
pada hari sang prabu tak akan pernah
mampu menanggalkan busana lelayuan
sukmamu pun terbang menggapai
dampar yang tak akan dapat lagi
terampas oleh janji dan peperangan


*janeswara: sebutaan bagi Hayam Wuruk
dari: Serial GAJAH MADA --Perang Bubat--
Langit Kresna Hariadi, Tiga Serangkai, Solo, 2007

C E M A S





aku terjungkir dari batas
ketinggian, terpelanting dari
biru langit, menguap bersama asap
adalah lorong panjang tiada
berujung yang menyesatkan
dan mengaitkan langkah
pada aneka rupa bahasa
yang bergulung, bersitegur!
aku terjerembab dalam hampa
bahkan bunga-bunga pun mengubah
warna
aku ingin --dan harus--
menjawab tanda tanya
dari tinggi angkasa
kapal udara kan
segera tiba


Bandara Changi, Singapura, 27 Agustus 2006

T S U N A M I






: 6 Desember 2004

kami cuma daun-daun kerontang
yang hanyut ditelan lautan kepedihan
kala nafas-Mu menghembuskan resah
pada gelegar ombak yang marah
lidah gelombang mengaum
bagai cakar tajam sang maut
yang beringas mencabik-cabik tirai kehidupan
air bah menggeram
dari sumber mala petaka
meruntuhkan rumah-rumah ,
 mengundang tangis
dan akhirnya
--senyap!
mimpi buruk tersingkap pada
mayat-mayat bergelimpangan
lolong menyayat gagak hitam
lampu yang padam
kota mati tanpa denyutan nadi
: dunia pun terhenyak
“apa yang telah berlaku padamu
saudaraku?”
kami cuma helai dedaunan tanpa
ruas yang menggelapar dibantai angin
lapar dan tersungkur
 di ujung sunyi reruntuhan,
dari sela-sela puing kami menjerit pada

pekik penghabisan
: “ulurkan tangan-Mu ya Allah…. Sang Maha Penguasa
Alam…..”


*Catatan untuk saudara-saudaraku yang telah bangkit di Banda Aceh

Y O G Y A K A R T A





jalan-jalan di kotamu
kini menjadi bayang-bayang
yang bergerak menjauh dalam halimun
: membiaskan rindu
bertahun setelah pedih perih
dan rasa sakit itu
aku berpamit sebagai pengembara
tanah rantau adalah tujuan dengan
segala carut marut, rasa nyeri, dan lelah
yang tak kunjung usai
aku mengerti kini
hari yang telah lalu
adalah pucuk-pucuk pinus di boulevard
hijau daun sawo kecil, kaki lima malioboro
dan pijar api tungku jagung bakar di alun-alun kota
sementara
kerdip lampu itu bagai
gemerlap batu permata berhamburan
menjelang rembang petang
selebihnya adalah malam berembun
dalam irama gending dan
suluk ki dalang
jalan-jalan di kotamu
terus terpatri dalam ingatan
menjadi kabut dalam tidur panjang
dan berakhir dengan satu kesimpulan
: aku ingin pulang!


Agats - Asmat, 11 Januari 1997

P E N A N T I A N









angin menghujamkan tubuhnya pada
gelap kubangan tinta melumurkannya
menjadi malam jelaga
: suara itu tak juga datang
semakin menjauh, terperangkap
dalam kelam
aku lelah menunggu di bangku
kosong stasiun lepas waktu

angin menyentakkan jemarinya pada
pohon-pohon tumbang
kereta terlambat datang
udara tersengal, menggigil,dan ketakutan
: suara itu semakin samar, terkapar
di dasar kehampaan
aku tak kuasa lagi menunggu
penantian itupun membeku
menggumpal menjadi batu!



Stasiun Cilacap, 1989

C A N T I N G






aku pun meleleh bersama
panas lilin di atas biru nyala
api tungku
aku ingin menjadi burung merak
dan kupu-kupu yang menghembuskan
napas, mengepakkan sayap
hinggap pada halus helai kain
sutramu
mengekalkan rindu
aku ingin bermekaran
menjadi bunga-bunga membagikan
wewangian dan ceritera pada lembar
lembar balada ketika tangan
sekalian pembatik dituntun
beribu sukma mengukuhkan canting
pada berupa bahasa


Pekalongan, 1974 – 1986

K E R E T A




mengapa engkau letih berpacu
wahai congklang kuda-kudaku?
cemeti telah serak melolong
pun gumpalan debu kini menunggu untuk
terbang dari merdu ketipak ladam kakimu
sekalian penumpang resah menanti
bukankah telah membatu cucuran keringatku
bagi sekeranjang penuh
makanan kegemaranmu?
hijau sabana telah mengabur di batas
kejauhan dan mengeras menjadi panas aspal
jalan jalanan
tanpa lincah gerak tubuhmu, maka akan
gugur seluruh hari-hariku
duhai kuda kesayanganku, mengapa
engkau melepas kekesalan dengan menghantamkan
akhir kehidupan penyeberang jalan,
adakah harta yang dapat kugadaikan
untuk dapat menebus harga kematian
seorang yang tak kukenal
kusiksa seluruh tubuhmu bagi luapan
seluruh rasa geram, tak tersisa belas kasih
bahkan ketika darah mengucur deras
sebagai tetes air mata sesal
saat ajal meregang, tubuhmu remuk
pada hembusan nafas penghabisan, pada
waktu yang bersamaan langit di atas kepalaku
runtuh berserakan!


Temanggung, 1980

H A L I M U N




Sepasang mata Maret menatap ke kaki langit yang tidak diketahui dimana batas ujungnya, sebab angin senja menghembus halimun hingga menyelimuti kuduk bukit-bukit, seakan gumpalan kapas yang teramat lembut menghampar di atas hijau daun. Udara semakin dingin seakan berasal dari sumber musim yang teramat beku. Ia telah bersiap dengan jawaban ketika sekali lagi emak pasti bertanya dengan wajah kelam seakan bongkah batu yang terlontar dari kepundan gunung berapi. “Benar engkau tolak lamaran Wahyudi? Apa kekurangannya? Ia memang sudah tak muda lagi, tetapi orang terpandang, berpenghasilan besar. Engkau akan hidup mukti tak kekurangan apa-apa?” wajah emak yang  kehitam-hitaman amat dekat dengan Maret seakan ingin menelan seluruh  tubuh muda itu bagi sebuah keinginan.
            “Aku ingin sekolah mak, ibu guru telah bekerja keras mendapatkan bea siswa ke perguruan tinggi. Aku tak ingin menikah muda ….” Jawaban Maret menyebabkan sepasang mata emak berubah seakan bola api yang akan berkobar tak berkesudahan andai angin sepoi meniupnya. Emak telah  mengkhayalkan sebuah perhelatan besar di ibu kota kecamatan yang jauh dari ibu kota negara. Sebuah tempat yang bernama Petung Kriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah --adalah deretan perbukitan sebagai lingkungan hidup alam pedesaan. Beruntung ia menetap di Mudal, bukan di Sawangan atau Simego yang terlampau jauh untuk dikunjungi dengan kendaraan bermotor sekalipun.
            “Perguruan tinggi? Bukankah cita-citamu terlalu muluk?” suara emak sinis, ia telah mendidik seorang anak perempuan menjadi pengurus rumah tangga yang terampil. Sebelum pergi ke sekolah Maret bangun terlebih dahulu,  menjerang air, menanak nasi, mengoreng ikan garam serta memanasi sayur lodeh, menyapu lantai rumah yang semakin hari semakin tua. Maret bisa  
mengerjakan apa saja, termasuk membantu di warung sebagai sumber pendapatan sampingan keluarga.  Andai anak gadis itu mengikuti keinginan untuk menikah dengan seorang yang kaya dan terpandang, ia akan terbawa pula hidup mukti. Akan tetapi, sekolah telah menyebabkan kembang desa ini keras kepala. Wajah emak semakin kelam seakan hitam langit malam ditinggalkan bintang-bintang.
            Maret membuang pandang, tanpa sepatah kata ia menyudahi percakapan ini, ia tak pernah mampu menyelesaikan kata-kata dengan emak, seorang perempuan desa yang memiliki keinginan demikian kuat akan kemewahan. Emak kerap bertandang pada rumah seorang petani kaya yang memiliki luas lahan bawang putih dan menjualnya ke kota. Emak pernah pula pergi ke kota terseret keriuhan serta kemerlip lampu-lampu jalanan, makanan yang lezat, dan kemilau perhiasan emas yang melingkar pada leher gemuk perempuan penjual daging. Ah, emak seorang perempuan dengan keinginan tak kalah muluk, bermimpi pergi ke ibu kota Jakarta untuk sekedar membeli  minyak wangi. Maret telah maklum akan perangai emak, ia telah  mencoba menjadi anak penurut yang sedia membantu urusan rumah tangga tanpa ucapan terima kasih. Emak tak pernah bersikap manis, kemarahan demi kemarahan semakin jauh tak berujung, tanpa sebab kecuali alasan sama bagi seluruh keluarga di kampung ini, hidup yang serba terbatas.  
            Masih ada satu pekerjaan sore ini, adalah memetik sayur untuk lauk makan malam bersama ikan garam. Maret mengerjakan dengan tabah, meski sejak percakapan  itu emak tidak pernah tersenyum, seolah ia adalah musuh yang menyusup terlalu jauh ke dalam hangat selimut. Maret telah melihat akibat dari perkawinan muda yang menempatkan seorang istri sebagai  korban. Kampung ini memang sangat jauh dari keramaian, pada tahun 1980 sekelompok pelajar dari kota mengadakan perkemahan, memberikan corak kehidupan yang lain. Mengapa ada pelajar dalam seragam coklat muda dan coklat tua melakukan kegiatan berbeda di tempat terpencil ini? Tahun selanjutnya sekelompok mahasiswa mengadakan latihan penelitian, mengamati, bertanya, kemudian mencatat segala kehidupan di kampung ini. Entah untuk kepentingan apa?
            Tahun berikutnya mahasiswa selalu berdatangan, Maret masih seorang bocah, ia senang dengan kedatangan itu, sekelompok mahasiswa laki-laki dan perempuan dengan sikap dan penampilan yang jauh berbeda dengan sehari-hari orang di kampung ini. Alangkah cantik dan semringah gadis-gadis itu, jauh berbeda dengan dirinya yang sehari-hari harus berleleran keringat di dapur demi asap yang harus tetap mengepul, pakaian tanpa mode, dan wajah tanpa tata rias. Maret hanya seorang anak desa yang menyaksikan dan perlahan-lahan menjadi bagian perubahan ketika pergantian millennium terus berlalu. Tiba-tiba tampak sekelompok orang bertopi datang makan di warung setelah lelah mengukur panjang jalan untuk pengaspalan, kemudian jalan berbatu mulai berubah menjadi licin berasapal, angkutan umum meraung, wisatawan berdatangan menyaksikan keindahan alam serta gemuruh air Curug Muncar. Adapun tenaga guru dan kesehatan semakin banyak pula ditempatkan untuk alasan hak masyarakat dan pembangunan. Menara Telkomsel dibangun tinggi menjulang menggapai biru langit, di setiap tempat terdengar nada dering dari panggilan atau sms. Akhirnya hadir pula mahasiswa KKN yang meluangkan waktu mengajar di sekolah, mengisahkan betapa menarik dan menantang bersekolah di perguruan tinggi, betapa  Pendidikan adalah hak setiap orang, laki-laki dan perempuan. Zaman telah berubah, dan Maret ada di dalam pusaran perubahan itu dengan suatu akibat yang harus dipikul, berseberangan dengan emak, menerima tatapan permusuhan untuk rentang waktu yang amat panjang.
            “Pergilah sekolah bersama ibu guru, bapak akan menghemat gaji sebagai mantri kesehatan untuk mengirim uang saku tiap bulan”, suara bijak sang bapak ibarat tumpahan air segar kala kelopak hati Maret terasa layu. Gadis  manis itu tersenyum, ia memang telah menginjak usia dewasa bagi kembang di kampung ini, akan tetapi bagi seorang yang berpandangan cukup jauh, usia bukanlah satu-satunya alasan untuk kawin paksa. Gadis itu tengah membuka belanga yang berisi nasi  jagung, kali ini aroma nasi itu terasa lebih wangi. Maret memiliki emak yang berpandangan sempit, akan tetapi bapak adalah seorang yang berbudi luhur. Seorang  yang telah mampu berpikir, bahwa kewajiban seorang anak perempuan bukan sekedar dirias sebagai pengantin tanpa keinginan diri. Pendidikan tinggi akan mampu mengubah takdir hidup anak kandungnya.
            “Bapak benar, pergilah mencari ilmu, aku akan membantumu. Cukup mbakyumu yang menikah muda dan terjebak dalam urusan rumah tangga. Tak usah bertanya aku bahagia atau tidak, tetapi aku setuju dengan bapak”, Daryati, saudara perempuan  tertua Maret memberi dukungan. Setelah perkawinan wajah lembut Daryati berubah mejadi tua dengan tiga orang anak dalam pangkuannya.
            Senyum Maret kembali mekar, ia telah mendapat dukungan dari orang-orang yang menentukan, ibu guru, bapak, dan kali ini mbakyu. Tanpa keramahan dari emak Maret mengunyah hangat nasi  jagung, sayur lodeh, ikan garam, dan sambal terasi dengan lahap. Masih tersisa beberapa minggu sebelum hari keberangkatan tiba dan ia akan berwenang mengubah takdir hidup selama-lamanya. Ia akan meninggalkan tempat yang jauh ini untuk bekal hidup yang lebih baik, ia akan berlaku seperti gadis-gadis yang KKN di kampung ini. Kelak ia akan pula melakukan hal serupa di tempat yang berbeda.
            “Jadi benar engkau menolak lamaran itu dan berkeras pergi sekolah?” wajah emak masih tetap gelap seperti  langit mendung yang bersiap mencurahkan hujan. Sepasang matanya merah seakan bara, karena telah yakin akan jawaban anaknya.
            Sesaat Maret diam terpaku, pada hari-hari biasa ia selalu menghindari percakapan, terlebih tatapan membara sepasang mata emaknya. Kali ini tidak, ia telah terlalu lama diam, ada satu pertanyaan kecil terhadap sikap emaknya, “Benarkah ia anak kandung yang pernah dilahirkan. Atau ia hanya seorang anak pungut yang menumpang dibesarkan?” sepasang mata gadis itu tak kalah tajam ketika menantang tatapan seorang emak, suaranya perlahan, tetapi pasti. “Emak sudah pernah bertanya dan sudah tahu pula jawabannya. Saya tak hendak kawin muda, saya hendak pergi kuliah, menolak lamaran dan mencari ilmu bukan berarti melawan orang tua. Mengapa seorang emak harus merasa berat dengan keinginan sekolah anakknya. Mengapa mak?” Maret tak dapat menahan rasa geram, ia sangat memerlukan doa restu, akan tetapi andai emak tak memberikan ijin, apakah ia harus menyerah?
            Emak tak pernah menjawab, ia tahu sepeninggal Maret ia akan bertambah beban, mengirim uang saku serta mengurusi seisi tumah, tiga orang adik Maret laki-laki, tak pernah memegang gagang sapu. Ketiganya membantu kerja di kebun atau mengurusi ternak sepulang sekolah. Tak akan ada tambahan modal untuk memperbesar warung, maka penghasilannya akan tetap sama. Emak membuang muka, ia tak pernah mengerti mengapa seorang anak perempuan bisa demikian keras kepala, berbeda dengan Daryati yang selalu menurut, bahkan ketika harus menikah pada usia muda. Kekecewaan menghantam ulu hati emak seakan badai menghempas gelombang lautan yang berdebur menakutkan. Maret menjauhkan diri, ia mulai harus bersiap untuk sebuah perjalanan panjang dengan satu nyeri di rongga hati tanpa doa restu dari seorang emak. Kelak, bila ia telah kembali sebagai seorang ibu guru dan menyandang gelar teladan, memiliki kelas sosial, kehidupan serta penghasilan yang lebih baik, emak akan menyadari, betapa ia telah melakukan tindakan yang benar.
            Hari yang ditunggu akhirnya datang, didampingi ibu guru Maret berpamit mencium tangan bapak, emak, memeluk Daryati dan adik-adiknya. Wajah emak gelap tanpa harapan, Maret bisa menangkap kebencian pada sepasang bola matanya. Satu hal yang bisa dilakukan Maret adalah pura-pura tidak tahu, ia mengambil sikap seolah tak pernah ada kebencian seorang ibu terhadap anak  kandung yang menolak lamaran demi jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada rasa kehilangan ketika ia terduduk di jok angkutan umum untuk memulai sebuah perjalanan, ia berpisah dengan orang-orang tercinta untuk pulang pada liburan semester, ia meninggalkan sebuah  kampung yang jauh serta dingin dengan pemandangan alam yang sangat indah.
            Di kuduk bukit halimun tampak lebih lembut --putih yang  terputih,  bagai gumpalan kapas yang dihempas angin dari negeri ajaib, hijau daun melambai di pada kiri kanan jalan. Setelah rasa kehilangan tetap bertumbuh secercah harapan, Maret akan beradaptasi dengan suasana baru, suatu hal  yang tidak mudah, tetapi harus dilalui. Sesaat mata gadis itu menatap halimun untuk yang terakhir sebelum kendaraan terus meraung, berbelok di tikungan, maka putih halimun segera menghilang dari batas pandang.

Kota Hujan, Agats - Asmat, 30 Mei 2018

M A K A M




Rokayah mengatupkan kerudung hitam, tak setetespun air mata membasahi pipi, ia masih bersimpuh di depan gundukan tanah yang ditaburi bunga-bunga. Sebongkah batu nisan tertanam, beku bagi ajal, desau angin  terjungkal meruapkan aroma kamboja. Rokayah, janda itu adalah pelayat penghabisan, seluruh tetangga dan handai taulan telah kembali ke kediaman usai menyelesaikan urusan sosial, memakamkan jenazah sebagai penghormatan terakhir. Di sebelah barat, senja disepuh warna merah seakan semburat berdarah, matahari tergelincir di batas cakrawala menjelang padam, mengembalikan segala warna menuju gelap.  
“Ayo kita pulang mak”, suara gadis itu demikian lembut, seolah nyanyian ombak pelipur lara. Akan tetapi Rokayah masih duduk terpaku diterpa angin dingin.
Adakah  kematian ini adalah kehilangan atau pembebasan? Benarkah ia tak pernah mengharapkan seorang suami dalam hidup hingga maut memisahkan? Atau ia hanya pelaku dalam catatan takdir yang tak bisa lagi dirubah? Rokayah menghela napas panjang, sepasang matanya yang jeli menatap jauh seolah menembus deretan batu nisan yang tertanam di seputar tanah pekuburan. Usianya telah melewati kepala lima, sementara kanak-kanak telah memanggilnya “simbah”, tetapi kecantikan seorang kembang desa tak pernah pudar tertelan waktu. Ia tetap setangkai bunga mekar di lingkungan kampung, ia adalah Nyi Ageng, seorang juragan batik ternama, murah hati, santun, dan dikasihi sanak saudara.
“Mak ….” Suara lembut itu kembali mendayu, Rokayah menoleh ke tempat muasal suara, menatap wajah jelita di sampingnya. Sedemikian dekat tatapan itu, sehingga ia dapat melihat bayangan diri pada sepasang orang-orangan matanya. Wajah itu mewarisi kecantikannya,  kecantikan ibunda yang pernah menjadi kembang desa. Rokayah tak pernah berkeluh kesah keapada satu-satunya anak gadis yang pernah dilahirkan. Fatima, calon dokter muda itu. Ia menyimpan satu catatan kelam jauh di relung hati.
Kala itu tahun 1983 ia tengah duduk mengenakan seragam Sekolah Menengah Pertama pada salah satu kelas, menyimak mata pelajaran yang disampaikan seorang guru, ketika ayahanda tiba-tiba berdiri di depan pintu dengan wajah sekeras batu kali. “Saya ijin membawa kembali Rokayah pulang ke rumah untuk sebuah perkawinan”, suara itu terdengar bagai guntur di siang bolong yang mengejutkan seisi kelas. Dinding-dinding seakan hendak roboh berserakan, sedemikian terkejut ibu guru hingga mulutnya ternganga dengan sepasang mata membelalak lebar seolah hendak meloncak dari kelopak. Sementara seisi kelas tiba-tiba terjebak ke dalam hening yang ganjil, satu sama lain siswa saling bertatapan dengan seribu tanda tanya. Mengapa seorang gadis berusia 13 tahun harus menikah? Mengapa seorang ayah tega menjemput seorang bocah bagi perkawinan dini? Mengapa? 
Andai Rokayah bisa  mengatakan “tidak!” Ia masih terlalu kanak-kanak untuk melakukan perlawanan, ia terlahir dari suatu keluarga di kampung yang tidak pernah memahami arti kesetaraan gender atau budaya patrikal. Ia adalah salah satu korban dari budaya termaksud, budaya yang menempatkan perempuan selaku objek, bukan pelaku. “Tugas anak perempuan adalah mengurus dapur dan melayani suami”. Demikian ucapan ayah yang terlontar setiap hari.
“Setinggi apapun pendidikan perempuan, tempatnya adalah di dapur”, mamak mengukuhkan pernyataan bapak.
Rokayah hanya diam, ia tidak berani melawan atau akan dicaci maki, dipukul, dihakimi selaku anak perempuan yang tidak tahu adat kemudian kehilangan tempat berteduh, sandang, pangan, dan papan. Ia tak mampu hidup menggelandang. Ia harus rela dirias sebagai pengantin jelita dalam sebuah perhelatan besar, bersanding dengan duda tua yang kaya raya dari hasil berdagang kain batik. Rokayah bahkan tak pernah mengenal siapa sesungguhnya sang suami yang menjadi mempelai laki-laki. Ia hadir sebagai ratu pada pesta perkawinan dengan hati hampa tak mengerti apa-apa. Kecuali senyum kemenangan di wajah bapak dan emak, perkawinan itu berarti keduanya memiliki menantu kaya raya yang dapat memberikan modal untuk membuka warung tauto dan menjadi sumber nafkah setiap hari untuk menghidupi seisi keluarga.
            Setiap malam berlalu dengan ganjil, hitam langit seakan mengabaikan kerdip bintang, mengkhianati cahaya bulan. Kelam adalah saat yang sungguh menyengsarakan hingga berakhir di batas fajar. Ketika para pembantu bangun lebih awal untuk membersihkan sesisi rumah, menyediakan sarapan, mencuci pakaian kotor, menghidupi seluruh penghuni. Tak ada pekerjaan berat yang harus dilakukan Rokayah, akan tetapi bahkan anak-anak tiri yang tinggal seatap lebih pantas menjadi teman sepermainan. Mereka saling bertatapan dengan aneh tanpa kata, Rokayah segera merasakan lantai rumah yang dipijak berubah seakan bara. Ia tak mampu melawan, karena kekerasan akan terjadi, ia memilih sikap diam, menerima kodrat dengan sabar, ia  mencoba berdamai selaku pengantin baru dalam usia belia.
            Di sebelah rumah adalah pusat pembatikan sekaligus ruang administrasi untuk menangani urusan dagang. Rokayah menghibur diri dengan belajar membatik, mengikuti kata hati untuk belajar pula berdagang, sang suami tak pernah melarang. Jauh dalam hati Rokayah selalu ingin menggampar wajah tua itu, tetapi ia tak memiliki cukup keberanian. Atau ia tidak mampu menghancurkan seluruh hidup dengan akibat harus pergi menggelandang. Diam-diam ia menunggu suatu hari ketika hukuman kurung ini berakhir dan ia akan segera mendapatkan pembebasan. Setiap hari Rokayah menunggu hingga tahun berlanjut, pada usia 27 tahun setelah 14 tahun “hukuman kurung”, Rokayah mengandung kemudian melahirkan seorang bayi perempuan yang mungil.
            Bayi itu memberikan segala kekuatan, ia tak  perlu bertanya dari ayah yang mana sang bayi harus terlahir, tetapi kini ia seorang ibu yang memiliki harapan menurunkan kehidupan kepada anak yang dicintai. Adakah ia masih membenci Taufik, sang suami? Adakah ia masih mengharapkan perkawinan ini berakhir? Rokayah menjawab pertanyaan itu dalam diri sendiri, tak seorangpun tahu apa yang dipikirkan –lebih baik tak seorang pun boleh tahu. Penampilannya yang santun selalu mampu menutupi gejolak diri, mengamankan dari segala bentuk kekerasan.
            Seiring sang bayi mungil bertumbuh dewasa, seiring Taufik semakin tua. Aneh, ia semakin jarang pulang ke rumah, pergi lebih lama dalam memperdagangkan batik ke ibu kota Jakarta. Apa yang terjadi? Rokayah menghela napas panjang, ketika  beberapa pembatik berbisik perlahan dengan rasa takut, menyesal, dan belas kasihan. “Juragan ada tinggal dengan penyanyi dangdut di kampung sebelah ….”
            Haruskah Rokayah dibakar api cemburu? Ia bahkan tak pernah menghendaki perkawinan ini, ia tidak mampu mengajukan gugatan cerai. Ia kembali bersikap diam, bahkan ketika berbulan-bulan Taufik, si kakek tua tak pernah pulang. Ia tak merasa kehilangan dengan ketidakhadiran itu, ia memiliki  rumah usaha dengan hasil yang menjanjikan, bayi mungil yang terus bertumbuh sebagai gadis cantik. Rokayah tak hendak mengulang kesalahan dengan menikahkan Fatima pada muda usia. Di layar televisi ia telah melihat perempuan kini menjadi dokter, ibu guru pengusaha, menteri, pramugari kapal udara, bahkan penerbang. Ia telah bertahun-tahun meneguk kopi pahit tanpa gula dari cangkir yang sama, ia tidak hendak melakukan ketololan serupa bagi satu-satunya anak yang dapat dilahirkan.
            Sementara Fatima beranjak dewasa, menekuni pelajaran pada setiap jenjang pendidikan, menjadi juara kelas hingga akhirya tembus pada seleksi sebuah universitas tertua yang menjadi kebanggaan bangsa ini. Untuk sekali dalam hidup senyum di bibir indah Rokayah mengembang, ia telah membayar kegagalan hidup, tanpa pernah  menerima ijazah tingkat SLTP. Akan tetapi, Taufik semakin renta, ia telah menghabiskan sisa hidup bersama seorang penyanyi dangdut, ketika usia tak memenuhi lagi bagi seorang penyanyi dangdut untuk hidup bersama. Sang penyanyi mengatupkan daun pintu, Taufik tahu kehadirannya tak lagi dikehendaki. Ia telah memberikan segala kekayaan bagi sang penyanyi hingga dicampakkan pergi.
            Rokayah tak berkata apa-apa ketikaTaufik kembali tinggal di rumah, garis-garis penuaan di wajahnya menimbulkan rasa iba dan belas kasihan. Taufik tahu diri untuk tidak berbagi kamar, ia menempati kamar tersendiri, ia harus tahu kehadirannyapun tak pernah dikehendaki di kamar Rokayah. Masa muda terlalu cepat berlalu seperti kuda-kuda yang dicambuk kemudian berlari kencang menyisakan debu. Demikian pula ketika Taufik mulai sakit-sakitan, ia hanya berbaring, menikmati secangkir kopi panas di pagi hari kemudian kembali tertidur atau menyaksikan pertunjukkan televisi dengan susah payah, karena matanya mulai rabun. Ketika tubuh tua itu akhirya lunglai di atas pembaringan tanpa keluh kesah, Rokayah tahu saat-saat bagi sang suami tak akan lama lagi. Ia merasa tak rugi apa-apa dan tak kehilangan apa-apa bila harus merawatnya, meski tak tersisa sedikitpun rasa cinta.
            “Maafkan untuk semua kesalahanku ….” Adalah kata-kata terakhir Taufik sebelum ia menghembuskan napas terakhir. Rokayah membimbingnya mengucap syahadat, “Lailahaillallah….” Kakek tua itu akhirnya berpulang dengan tenang seperti halnya setangkai daun kering bercerai dari dahan.
                                                                      ***
            “Mak hari hampir gelap…. Bapak sudah tenang….” Fatima merangkul bahu ibunda, ia tak benar-benar tahu isi dada Rokayah yang seakan berpusing diamuk badai. Seorang janda berkabung pasti merasa kehilangan, akan tetapi bukankah maut pasti akan datang kepada siapapun yang hidup?
            Rokayah memejamkan mata, menghembuskan napas dalam-dalam, kali ini bangkit berdiri setelah doa-doa. Ia telah mengakhiri tahun-tahun yang panjang dan menyengsarakan, masih tersisa waktu memulai tahun-tahun berikut tanpa kehadiran Taufik Taufik lain di sampingnya. Ia adalah manusia bebas, ia berhak tertawa dan tergelak tanpa perkawinan paksa pada muda tua. Satu langkah setelah membalikkan  badan, Rokayah terpaku, tak jauh di depan adalah anak-anak tiri. Usianya tak terpaut berbeda, pada tahun-tahun yang panjang hubungan terentang dengan amat kaku seakan helai benang yang siap putus. Kini, Rokayah tertegun, tiga orang anak tiri beserta kerabat dalam jarak terukur berdiri dengan mata seakan genangan air danau. Adalah sikap dan tatapan yang kehilangan, tak sepatah katapun terucap. Ketika salah seorang mengulurkan tangan tanpa sadar Rokayah menerima, saling menggenggam. Rokayah masih terpaku, seluruh tubuhnya bergetar, sepasang  matanya yang indah kini basah oleh embun. Ia bukan lagi seorang gadis belia yang terjungkal dalam kubangan duka, karena kawin paksa. Ia melewati takdir dengan tabah, maka pada senja usia ia bukanlah kafilah yang sebatang kara. Ia memiliki seorang anak kandung serta anak-anak tiri yang mengasihi yang tak akan merelakan ia tersesat seorang diri.
            Ketika keluarga yang berkabung itu berjalan beriringan meninggalkan hening pemakaman, langit merah berubah semakin redup. Angin semakin dingin berkesiur menggugurkan kelopak bunga kamboja serta daun-daun kering. Untuk sekali dalam hidup Rokayah merasa damai, ia telah menjalani takdir sesuai garis hidup tanpa banyak berkeluh kesah hingga sampai pada batas pencapaian.
            Bukankah dalam setiap suratan manusia hanya sebagai pelaku? 
                                                                                    ***

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...