Rokayah mengatupkan kerudung hitam, tak setetespun air mata
membasahi pipi, ia masih bersimpuh di depan gundukan tanah yang ditaburi
bunga-bunga. Sebongkah batu nisan tertanam, beku bagi ajal, desau
angin terjungkal meruapkan aroma kamboja. Rokayah, janda itu adalah
pelayat penghabisan, seluruh tetangga dan handai taulan telah kembali ke
kediaman usai menyelesaikan urusan sosial, memakamkan jenazah sebagai
penghormatan terakhir. Di sebelah barat, senja disepuh warna merah
seakan semburat berdarah, matahari tergelincir di batas cakrawala
menjelang padam, mengembalikan segala warna menuju gelap.
“Ayo kita pulang mak”, suara gadis itu demikian lembut, seolah
nyanyian ombak pelipur lara. Akan tetapi Rokayah masih duduk terpaku
diterpa angin dingin.
Adakah kematian ini adalah kehilangan atau pembebasan?
Benarkah ia tak pernah mengharapkan seorang suami dalam hidup hingga
maut memisahkan? Atau ia hanya pelaku dalam catatan takdir yang tak bisa
lagi dirubah? Rokayah menghela napas panjang, sepasang matanya yang
jeli menatap jauh seolah menembus deretan batu nisan yang tertanam di
seputar tanah pekuburan. Usianya telah melewati kepala lima, sementara
kanak-kanak telah memanggilnya “simbah”, tetapi kecantikan seorang
kembang desa tak pernah pudar tertelan waktu. Ia tetap setangkai bunga
mekar di lingkungan kampung, ia adalah Nyi Ageng, seorang juragan batik
ternama, murah hati, santun, dan dikasihi sanak saudara.
“Mak ….” Suara lembut itu kembali mendayu, Rokayah menoleh ke
tempat muasal suara, menatap wajah jelita di sampingnya. Sedemikian
dekat tatapan itu, sehingga ia dapat melihat bayangan diri pada sepasang
orang-orangan matanya. Wajah itu mewarisi kecantikannya, kecantikan
ibunda yang pernah menjadi kembang desa. Rokayah tak pernah berkeluh
kesah keapada satu-satunya anak gadis yang pernah dilahirkan. Fatima,
calon dokter muda itu. Ia menyimpan satu catatan kelam jauh di relung
hati.
Kala itu tahun 1983 ia tengah duduk mengenakan seragam Sekolah
Menengah Pertama pada salah satu kelas, menyimak mata pelajaran yang
disampaikan seorang guru, ketika ayahanda tiba-tiba berdiri di depan
pintu dengan wajah sekeras batu kali. “Saya ijin membawa kembali Rokayah
pulang ke rumah untuk sebuah perkawinan”, suara itu terdengar bagai
guntur di siang bolong yang mengejutkan seisi kelas. Dinding-dinding
seakan hendak roboh berserakan, sedemikian terkejut ibu guru hingga
mulutnya ternganga dengan sepasang mata membelalak lebar seolah hendak
meloncak dari kelopak. Sementara seisi kelas tiba-tiba terjebak ke dalam
hening yang ganjil, satu sama lain siswa saling bertatapan dengan
seribu tanda tanya. Mengapa seorang gadis berusia 13 tahun harus
menikah? Mengapa seorang ayah tega menjemput seorang bocah bagi
perkawinan dini? Mengapa?
Andai Rokayah bisa mengatakan “tidak!” Ia masih terlalu
kanak-kanak untuk melakukan perlawanan, ia terlahir dari suatu keluarga
di kampung yang tidak pernah memahami arti kesetaraan gender atau budaya
patrikal. Ia adalah salah satu korban dari budaya termaksud, budaya
yang menempatkan perempuan selaku objek, bukan pelaku. “Tugas anak
perempuan adalah mengurus dapur dan melayani suami”. Demikian ucapan
ayah yang terlontar setiap hari.
“Setinggi apapun pendidikan perempuan, tempatnya adalah di dapur”, mamak mengukuhkan pernyataan bapak.
Rokayah hanya diam, ia tidak berani melawan atau akan dicaci
maki, dipukul, dihakimi selaku anak perempuan yang tidak tahu adat
kemudian kehilangan tempat berteduh, sandang, pangan, dan papan. Ia tak
mampu hidup menggelandang. Ia harus rela dirias sebagai pengantin jelita
dalam sebuah perhelatan besar, bersanding dengan duda tua yang kaya
raya dari hasil berdagang kain batik. Rokayah bahkan tak pernah mengenal
siapa sesungguhnya sang suami yang menjadi mempelai laki-laki. Ia hadir
sebagai ratu pada pesta perkawinan dengan hati hampa tak mengerti
apa-apa. Kecuali senyum kemenangan di wajah bapak dan emak, perkawinan
itu berarti keduanya memiliki menantu kaya raya yang dapat memberikan
modal untuk membuka warung tauto dan menjadi sumber nafkah setiap hari
untuk menghidupi seisi keluarga.
Setiap malam berlalu dengan ganjil, hitam langit
seakan mengabaikan kerdip bintang, mengkhianati cahaya bulan. Kelam
adalah saat yang sungguh menyengsarakan hingga berakhir di batas fajar.
Ketika para pembantu bangun lebih awal untuk membersihkan sesisi rumah,
menyediakan sarapan, mencuci pakaian kotor, menghidupi seluruh penghuni.
Tak ada pekerjaan berat yang harus dilakukan Rokayah, akan tetapi
bahkan anak-anak tiri yang tinggal seatap lebih pantas menjadi teman
sepermainan. Mereka saling bertatapan dengan aneh tanpa kata, Rokayah
segera merasakan lantai rumah yang dipijak berubah seakan bara. Ia tak
mampu melawan, karena kekerasan akan terjadi, ia memilih sikap diam,
menerima kodrat dengan sabar, ia mencoba berdamai selaku pengantin baru
dalam usia belia.
Di sebelah rumah adalah pusat pembatikan sekaligus
ruang administrasi untuk menangani urusan dagang. Rokayah menghibur diri
dengan belajar membatik, mengikuti kata hati untuk belajar pula
berdagang, sang suami tak pernah melarang. Jauh dalam hati Rokayah
selalu ingin menggampar wajah tua itu, tetapi ia tak memiliki cukup
keberanian. Atau ia tidak mampu menghancurkan seluruh hidup dengan
akibat harus pergi menggelandang. Diam-diam ia menunggu suatu hari
ketika hukuman kurung ini berakhir dan ia akan segera mendapatkan
pembebasan. Setiap hari Rokayah menunggu hingga tahun berlanjut, pada
usia 27 tahun setelah 14 tahun “hukuman kurung”, Rokayah mengandung
kemudian melahirkan seorang bayi perempuan yang mungil.
Bayi itu memberikan segala kekuatan, ia tak perlu
bertanya dari ayah yang mana sang bayi harus terlahir, tetapi kini ia
seorang ibu yang memiliki harapan menurunkan kehidupan kepada anak yang
dicintai. Adakah ia masih membenci Taufik, sang suami? Adakah ia masih
mengharapkan perkawinan ini berakhir? Rokayah menjawab pertanyaan itu
dalam diri sendiri, tak seorangpun tahu apa yang dipikirkan –lebih baik
tak seorang pun boleh tahu. Penampilannya yang santun selalu mampu
menutupi gejolak diri, mengamankan dari segala bentuk kekerasan.
Seiring sang bayi mungil bertumbuh dewasa, seiring
Taufik semakin tua. Aneh, ia semakin jarang pulang ke rumah, pergi lebih
lama dalam memperdagangkan batik ke ibu kota Jakarta. Apa yang terjadi?
Rokayah menghela napas panjang, ketika beberapa pembatik berbisik
perlahan dengan rasa takut, menyesal, dan belas kasihan. “Juragan ada
tinggal dengan penyanyi dangdut di kampung sebelah ….”
Haruskah Rokayah dibakar api cemburu? Ia bahkan tak
pernah menghendaki perkawinan ini, ia tidak mampu mengajukan gugatan
cerai. Ia kembali bersikap diam, bahkan ketika berbulan-bulan Taufik, si
kakek tua tak pernah pulang. Ia tak merasa kehilangan dengan
ketidakhadiran itu, ia memiliki rumah usaha dengan hasil yang
menjanjikan, bayi mungil yang terus bertumbuh sebagai gadis cantik.
Rokayah tak hendak mengulang kesalahan dengan menikahkan Fatima pada
muda usia. Di layar televisi ia telah melihat perempuan kini menjadi
dokter, ibu guru pengusaha, menteri, pramugari kapal udara, bahkan
penerbang. Ia telah bertahun-tahun meneguk kopi pahit tanpa gula dari
cangkir yang sama, ia tidak hendak melakukan ketololan serupa bagi
satu-satunya anak yang dapat dilahirkan.
Sementara Fatima beranjak dewasa, menekuni
pelajaran pada setiap jenjang pendidikan, menjadi juara kelas hingga
akhirya tembus pada seleksi sebuah universitas tertua yang menjadi
kebanggaan bangsa ini. Untuk sekali dalam hidup senyum di bibir indah
Rokayah mengembang, ia telah membayar kegagalan hidup, tanpa pernah
menerima ijazah tingkat SLTP. Akan tetapi, Taufik semakin renta, ia
telah menghabiskan sisa hidup bersama seorang penyanyi dangdut, ketika
usia tak memenuhi lagi bagi seorang penyanyi dangdut untuk hidup
bersama. Sang penyanyi mengatupkan daun pintu, Taufik tahu kehadirannya
tak lagi dikehendaki. Ia telah memberikan segala kekayaan bagi sang
penyanyi hingga dicampakkan pergi.
Rokayah tak berkata apa-apa ketikaTaufik kembali
tinggal di rumah, garis-garis penuaan di wajahnya menimbulkan rasa iba
dan belas kasihan. Taufik tahu diri untuk tidak berbagi kamar, ia
menempati kamar tersendiri, ia harus tahu kehadirannyapun tak pernah
dikehendaki di kamar Rokayah. Masa muda terlalu cepat berlalu seperti
kuda-kuda yang dicambuk kemudian berlari kencang menyisakan debu.
Demikian pula ketika Taufik mulai sakit-sakitan, ia hanya berbaring,
menikmati secangkir kopi panas di pagi hari kemudian kembali tertidur
atau menyaksikan pertunjukkan televisi dengan susah payah, karena
matanya mulai rabun. Ketika tubuh tua itu akhirya lunglai di atas
pembaringan tanpa keluh kesah, Rokayah tahu saat-saat bagi sang suami
tak akan lama lagi. Ia merasa tak rugi apa-apa dan tak kehilangan
apa-apa bila harus merawatnya, meski tak tersisa sedikitpun rasa cinta.
“Maafkan untuk semua kesalahanku ….” Adalah
kata-kata terakhir Taufik sebelum ia menghembuskan napas terakhir.
Rokayah membimbingnya mengucap syahadat, “Lailahaillallah….” Kakek tua
itu akhirnya berpulang dengan tenang seperti halnya setangkai daun
kering bercerai dari dahan.
***
“Mak hari hampir gelap…. Bapak sudah tenang….”
Fatima merangkul bahu ibunda, ia tak benar-benar tahu isi dada Rokayah
yang seakan berpusing diamuk badai. Seorang janda berkabung pasti merasa
kehilangan, akan tetapi bukankah maut pasti akan datang kepada siapapun
yang hidup?
Rokayah memejamkan mata, menghembuskan napas
dalam-dalam, kali ini bangkit berdiri setelah doa-doa. Ia telah
mengakhiri tahun-tahun yang panjang dan menyengsarakan, masih tersisa
waktu memulai tahun-tahun berikut tanpa kehadiran Taufik Taufik lain di
sampingnya. Ia adalah manusia bebas, ia berhak tertawa dan tergelak
tanpa perkawinan paksa pada muda tua. Satu langkah setelah membalikkan
badan, Rokayah terpaku, tak jauh di depan adalah anak-anak tiri. Usianya
tak terpaut berbeda, pada tahun-tahun yang panjang hubungan terentang
dengan amat kaku seakan helai benang yang siap putus. Kini, Rokayah
tertegun, tiga orang anak tiri beserta kerabat dalam jarak terukur
berdiri dengan mata seakan genangan air danau. Adalah sikap dan tatapan
yang kehilangan, tak sepatah katapun terucap. Ketika salah seorang
mengulurkan tangan tanpa sadar Rokayah menerima, saling menggenggam.
Rokayah masih terpaku, seluruh tubuhnya bergetar, sepasang matanya yang
indah kini basah oleh embun. Ia bukan lagi seorang gadis belia yang
terjungkal dalam kubangan duka, karena kawin paksa. Ia melewati takdir
dengan tabah, maka pada senja usia ia bukanlah kafilah yang sebatang
kara. Ia memiliki seorang anak kandung serta anak-anak tiri yang
mengasihi yang tak akan merelakan ia tersesat seorang diri.
Ketika keluarga yang berkabung itu berjalan
beriringan meninggalkan hening pemakaman, langit merah berubah semakin
redup. Angin semakin dingin berkesiur menggugurkan kelopak bunga kamboja
serta daun-daun kering. Untuk sekali dalam hidup Rokayah merasa damai,
ia telah menjalani takdir sesuai garis hidup tanpa banyak berkeluh kesah
hingga sampai pada batas pencapaian.
Bukankah dalam setiap suratan manusia hanya sebagai pelaku?
***