Suasana kota tampak sebagai puing-puing menghangus, jalanan yang lengang, daun-daun yang
merintih, sikap ketakutan serta saling curiga. Sementara umat Kristen yang
bertahan membangun kehidupan sendiri dengan sesama komunitas, memiliki pasar
tersendiri serta fasilitas sosial yang memiliki ciri berbeda dengan umat Islam.
Gardu pos dengan grafitti Istana Obet
adalah milik umat Nasrani, adapun umat Islam membangun gardu yang sama dengan
goresan yang terbaca pondok Acan.
Obet adalah Robert dan Acan berarti Hasan, dua nama nyong --laki-laki muda remaja yang sekaligus merupakan identitas
dari Kristen dan Islam--
Dua
bocah berbeda nama itu justru tak mengerti sebab apa pertumpahan darah ini mesti
terjadi? Tempat bermain telah remuk menjadi puing, hitam arang, mereka tak bisa lagi saling berkejaran,
bermain kelereng, berselisih memperebutkan layang-layang putus serta tertawa
terkekeh-kekeh, karena hal-hal yang lucu dan menyegarkan. Anak-anak bahkan tak
tahu lagi bagaimana nasib kawan-kawan mereka, dimana sekarang Obet yang tinggal
di sebelah kanan rumah? Dimana pula Acan yang tinggal di dekat pasar? Semua
tercerai berai seperti satu nyiru beras yang dihambur ke tanah lapang oleh tangan-tangan yang
dikuasai benci.
Baik
Obet maupun Acan sama-sama menjadi yatim piatu ketika orang tua mereka tewas
dalam pertarungan demi pertarungan. Sementara Obet dan Acan yang menetap di
kampung lain sama-sama tenggelam di lautan ketika sebuah kapal yang sarat
muatan oleng diterjang gelombang kemudian miring, dibanjiri air laut,
menghilang dari permukaan air dalam sekejab bersama ribuan penumpang yang
menjerit ketakutan dijemput maut. Penggalan kapal, muatan serta tak satupun
jenazah penumpang ditemukan, kapal beserta seluruh isinya kembali kepada alam
ketika manusia-manusia menjerit nyaring bagi hak yang paling hakiki, yaitu hak
untuk hidup!
Apa
lagi yang mesti diceritakan? Bahkan orang-orang yang terlahir, bertumbuh,
dewasa, dan bersiap menjemput usia senja di tanah pusaka mesti berlari
serabutan menuju bandara, menumpang hercules ke Manado hanya dengan pakaian melekat di badan atau
sekedar celana pendek tanpa sepenggalpun harta benda. Seisi rumah hangus
terbakar, kampung halaman berubah menjadi puing-puing, menjadi debu. Mereka,
para pengungsi meninggalkan rumah tinggal dalam nestapa, amarah, dan ketakutan.
Mereka meninggalkan segala kenangan, sanak keluarga yang menjadi jenazah dan
tak mendapat penghormatan dalam pemakaman, yang tersisa kini tinggallah isak
tangis.
Ketika
kehidupan kota menjadi mati, pasar sunyi, tak ada lagi pedagang berani
menggelar jualan, karena khawatir keselamatannya terancam. Bahan-bahan makanan
dan kebutuhan sehari-hari sulit didapat, sehingga tehpun harus diminum dalam
keadaan pahit, karena tak mudah mendapatkan gula. Perlahan-lahan kerusuhan
mulai mereda, para perusuh itu kembali menyadari, bahwa kebutuhan hidup yang
paling penting adalah makan dan minum hari ini yang hanya dapat dipenuhi dalam
situasi aman. Pasar ramai oleh pedagang dan pembeli, karena keadaan
memungkinkan setiap orang untuk menjual dan membeli, mendapatkan nafkah serta
makanan hari ini.
Akhirnya setiap orang tiba-tiba
terduduk dan termenung, mengapa kerusuhan mesti terjadi? Fasilitas sosial
hangus terbakar. Sanak keluarga tewas, mengungsi, entah kapan mau kembali?
Penduduk yang mengungsi membangun rumah-rumah darurat dari papan kayu dengan
atap daun rumbia dan lantai tanah dengan sepetak bilik untuk beristirahat.
Mereka tinggal dengan komunitas yang dapat memberikan rasa aman dan
kepercayaan, sementara ketakutan akan
meledaknya kerusuhan menghantui setiap hari. Betapa mahal rasa aman!
Senja
itu turun dalam cahaya warna kuning keemasan yang jatuh menyinari wajah kota
yang muram diliputi puing. Suara sekawanan burung yang mencecet melintasi
langit kembali ke sarang bahkan terdengar sendu. Satwa itu harus kembali
membuat sarang baru, karena pohon tempatnya membuat sarang dan bertelur ikut
pula terbakar. Jalanan tampak sunyi, sesekali terdengar suara kendaraan
melintas kemudian diam, deru mesin hanya menyisakan asap yang segera musnah
dihalau angin. Pintu dan jendela rumah lebih cepat terkunci sebelum matahari
tenggelam dan gelap menelan seluruh cahaya keemasan.
Di
sudut rumah, di dekat perapian Tian termangu, ia tak dapat lagi menyalakan
kompor, karena persediaan minyak telah habis, ia harus kembali kepada fasilitas
alam untuk menghidupkan api bagi menu hari ini. Kerusuhan mulai mereda, akan
tetapi bukan berarti ia dapat bebas pergi kemana suka. Perkelahian demi
perkelahian sesekali masih terpecah, ia memilih jalan aman, berdiam di rumah.
Tian rindu pada anak didiknya yang lugu di taman kanak-kanak, tetapi bagaimana
ia dapat mengajar, bangunan sekolah telah retak dan coreng moreng. Ia hanya
sekali berani melintas di depan halaman sekolah dan tersedu melihat tempat
kerjanya nyaris menjadi puing-puing. Kejamnya
perang!
Seperti
kebanyakan orang Tian dihinggapi penyakit yang berawal dari ketakutan dan
ketiadaan peluang untuk bergerak bebas bagi kelangsungan hidup. Setiap orang
mengalami hambatan beraktivitas yang menyebabkan kepala menjadi lebih sering
berdenyut, tekanan darah menjadi terus naik atau menurun, dan bermacam keadaan
yang membuat badan menjadi tidak sehat. Tian rindu pula akan suasana pasar yang
meriah oleh beraneka barang dagangan, ia bisa menikmati kehidupan sebagai
keluarga berada untuk mendapatkan segala jenis barang yang ia mau dan iapun
menjadi senang. Kini, bahkan kesenangan-kesenangan yang paling kecilpun tak
bisa dinikmati, ia harus menjadi seekor pungguk yang merindukan bulan manakala
mengharap suara jerit atau canda ria dari anak-anak di halaman sekolah.
Tian
memijit-mijit kepalanya. Suasana rumah semakin muram tanpa aktivitas dari para
pekerja, mereka hanya berani menjual sembako yang diperoleh dengan susah payah
secara diam-diam kepada orang-orang yang benar-benar dikenal. Pintu dan jendela
bagian depan rumah telah hancur dan ditutup rapat-rapat dengan papan, menimbulkan
kesan rumah ini tak berpenghuni. Rumput ilalang telah naik tinggi, sarang
laba-laba berseliweran menggantung di langit-langit, pada malam hari lampu di
bagian depan masih tetap padam. Beta
telah tinggal di rumah hantu. Tian mengeluh dalam hati.
Perempuan
itu berhenti memijit kepalanya yang berdenyut-denyut ketika ia mendengar suara
muntah-muntah. Sejenak Tian tercenung, ia tak pernah merasa berkeberatan Betani
menetap di rumahnya dalam situasi seperti ini, keselamatan sahabatnya terancam.
Ia sungguh menaruh belas kasihan pada perempuan yang semula hidup aman dan
berkecukupan, tetapi dalam sekejab telah menjadi sebatang kara, tanpa tempat
tinggal. Perutnya yang mual dan menyebabkan ia harus berulang kali menumpahkan
seluruh isi di dalamnya, wajahnya yang semakin memucat, dan badannya yang lemah
membuat siapapun tahu. Betani tengah mengandung. Dimana ayah dari si jabang
bayi? Tian merasa dadanya sesak.
Ia
beruntung masih memiliki Orin dan tempat tinggal, ia masih mampu bertahan hidup
tanpa belas kasihan orang lain. Masih
lekat dalam ingatan ketika ia berpesta rujak sementara di dalam rumah keluarga
Betani tengah khusuk beribadah, ia tak
bisa melupakan seluruh kenangan akan prestasi dan sosok lembut seorang Betani.
Perempuan itu demikian sempurna. Suara calung dan gong yang memeriahkan adat
cuci kaki pada hari perkawinannya seakan masih nyaring terdengar. Betani layak
berbahagia bersanding dengan seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan
mencintai. Akan tetapi, bagaimana nasibnya kini?
Sejak
hari ketika Orin memondongnya dalam keadaan pingsan, Betani hanya berdiam diri
di rumah, ia membantu Tian mengerjakan urusan rumah tangga, memasak, menyapu,
dan mencuci piring yang kotor. Akan tetapi sebenarnya Betani lebih sering duduk
menyepi, meratapi nasib sekaligus memohon kekuatan supaya ia dapat menjadi ibu
yang baik bagi janin yang tengah dikandungnya. Tak pernah sekalipun ia
berselisih paham dengan Betani, mereka telah memahami satu sama lain sejak masa
remaja, dan kini setelah keadaan berubah menjadi demikian buruk dan
mencemaskan. Pengertian itu tak pernah berkurang. Tian memahami arti hak hidup,
ia selalu mencoba melakukan yang terbaik bagi perempuan itu. Tak ada yang
dimiliki Betani, kecuali dirinya dan tempat tinggalnya yang berubah menjadi
bangunan tua.
Tian
menyeduh sepoci teh, meraih dua cangkir gelas kemudian berjalan mendekati
Betani yang tengah terduduk menyandarkan kepala ke dinding. “Beta, minumlah teh
panas, mungkin bisa sedikit mengurangi rasa mual”, suara Tian mengejutkan
Betani.
“Oh
Tian, terima kasih, engkau seorang wanita yang sangat berbudi. Apa jadinya
nasib beta tanpa engkau punya ketulusan hati”, Betani tersentak, ia benar-benar
merasa lemah, lahir dan batin. Janin di dalam rahimnya membawa pengaruh yang
luar biasa, ia tak dapat melakukan banyak hal, ia diserang rasa mengantuk
berkepanjangan yang menyebabkan ia merasa sangat nyaman dengan berbaring dan berbaring.
Dimanakah Lambert, bapak dari si anak? Ia tak sempat merasa berbahagia dengan
kehadiran seorang mahluk tak berdosa yang kini tengah berlindung di dalam
rahimnya. Lambert tak dapat lagi merasakan apa-apa, si mati berurusan dengan
Sang Pencipta, si hidup berjuang bagi hari esok yang lebih baik setelah hari
lalu berserakan menjadi puing-puing bangunan. Betapa ingin Betani mengunjungi
rumah tinggalnya untuk melakukan yang terbaik bagi jenazah orang-orang yang
dicintainya, tetapi ia tahu situasi tak mengijinkan. Memperlakukan jenazah
dengan selayaknya adalah hal yang benar, akan tetapi yang lebih benar adalah
menyelamatkan diri atau lebih tepatnya menunggu waktu untuk melakukan hal-hal
yang diinginkan.
“Minumlah”,
Tian menuang teh ke dalam cangkir kemudian mengulurkan pada Betani.
“Terima
kasih”, Betani menerima cangkir, merasakan hangat teh meresap pada buku-buku
jemarinya. Ada perasaan takjub pada perilaku Tian yang tak pernah berhenti
mengulurkan kebaikan demi kebaikan. Sementara di luar orang saling membunuh dan
mengacau, maka di rumah ini ia justru mendapatkan segala perlindungan dan
secuil harapan untuk membangun kembali hidupnya yang telah runtuh menjadi
seonggok pasir
Apa
sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini?
Betani menahan genangan air mata,
ia telah menangis berhari-hari di sudut kamar kala gelap datang, ia meratapi
kedatangan Lambert, tetapi bahkan bayangan laki-laki itupun ia tak dapat
melihatnya. Sukmanya telah terbang menuju langit penghabisan, meninggalkannya
dalam keadaan sebatang kara. Betani meratapi pula rumah tempatnya berlindung,
kedua orang tuanya yang pasti telah menjadi arang, dan segala kenangan yang
telah dirampas hiruk pikuk kerusuhan. Akan tetapi, sampai lelah ia menangis
kesadaran membawa pada keadaan yang sangat nyata, bahwa ia tak punya apa-apa
kecuali kebaikan hati Tian dan Orin. Sampai
kapan mereka akan berbaik hati? Sampai kapan ia akan tinggal menumpang di rumah
ini? Sebaik apapun, mereka adalah
pribadi berbeda yang memiliki rencana hidup dan ia tak terlibat pula di
dalamnya. Pada akhirnya ia harus pergi, memunguti kembali kepingan harapan yang
tersisa dan membangun secara apa adanya.
Betani menatap jauh ke depan, ia
memang telah kehilangan ayah, ibu, dan suami. Akan tetapi ia masih memiliki
saudara Frederik yang telah menyelesaikan studi di Sam Ratulangi dan bekerja
pada sebuah kantor pemerintah di Manado dan adik tunggalnya, Tifani yang tengah
meneruskan studi pada universitas yang sama. Mereka pasti telah medengar perihal kerusuhan Maluku melalui
media cetak dan elektronik. Bagaimana nasib Tifani setelah orang tua tak mampu
lagi mengirimkan biaya kuliah? Mungkin Frederik masih bisa menanggungnya, akan
tetapi bagaimana perasaan mereka setelah berminggu-minggu mengalami putus
kontak dan tak tahu persis situasi apa yang terjadi pada rumah tinggal beserta
para penghuninya? Betani menghela napas panjang, pandangan matanya nyaris
mengabur, tetapi perempuan itu tahu, ia telah cukup lama menjadi beban pada
kehidupan sehari-hari rumah tangga Tian. Beban itu harus diakhiri, tapi apa
yang dapat ia lakukan dalam keadaan lemah seperti ini. Sambungan telepon
terputus, bagaimana dapat ia menghubungi Frederik atau Tifani? Tian tak pernah
bersedia menerima sepeserpun pemberianya, dengan jawaban, ia lebih membutuhkan.
Tian tidak kekurangan apa-apa dan tidak
rugi apa-apa pula. Betani tak menyangkal, betapa ia merasa bangga, terharu,
sekaligus takjub terhadap ketulusan hati suami istri yang kini tengah menjadi
induk semangnya.
“Bagaimana engkau punya kandungan
Beta?” Tian melirik Betani dengan pandangan sendu, ia tak bisa membayangkan
andai nasib itu terjadi pada dirinya, kehilangan seluruh anggota keluarga
ketika si jabang bayi membutuhkan kehadiran seorang bapak. Akankah ia mampu
bertahan hidup hingga hari kelahiran tiba?
“Beta punya kandungan baik-baik
saja, nanti setelah lewat bulan ke tiga baru mulai berkurang rasa mual. Beta
memjadi beban hidup yang berat bagi keluarga ini, maafkan beta Tian”.
“Aih, mengapa pula engkau berkata
serupa itu, beta tak rugi apa-apa engkau menjadi bagian dalam keluarga ini,
bukankah kita sudah berteman sejak masa muda remaja? Nanti setelah keadaan
membaik engkau bisa menyusun kembali rencana” Tian membelalakkan sepasang mata,
ia tak menyadari betapa wajahnya berubah menjadi lebih menawan ketika ia
berekspresi dengan segala kepolosan. Tangan wanita itu menggenggam jemari
Betani yang serasa tak memiliki lagi tulang belulang.
“Beta ingin melihat keadaan
rumah, jenazah mama, papa, dan Lambert belum diperlakukan sebagaimana mestinya.
Mereka punya roh belum tenang, masih menunggu adat pemakaman” Betani menyesap
teh hangat kemudian terbatuk-batuk, ia tak akan mampu melihat kondisi jenazah
itu, tetapi ia harus melakukan yang terbaik.
“Tunggulah sampai keadaan
benar-benar aman, nanti engkau bisa melakukan adat pemakaman”, Tian berusaha
menguasai getar suara, ia tak mampu membayangkan manakala Betani harus
berhadapan dengan situasi mengerikan, menyelenggarakan pemakaman ketika
jenazah-jenazah itu kini hanya tinggal tulang belulang dihinggapi belatung. Ia
harus melakukan sesuatu untuk meringankan duka hati sahabatnya itu.
“Kalian ada di sini?” tiba-tiba
tampak bayangan Orin berkelebat, laki-laki itu tampak tegap dalam pakaian yang
sederhana, celana jeans tua dan T shirt warna kelam, di tangannya
tergenggam kantong plastik. “Beruntung
sekali, hari ini beta mendapatkan sekantong langsat di pasar kilat, engkau
pasti suka Betani”, Orin mengulurkan kantong itu pada Betani yang diterima
dengan senyum tipis terkulum, Orin tahu betapa menyakitkan keadaan yang tengah
diderita Betani. Ia mengira oleh-oleh sederhana ini dapat sedikit menyejukkan
hati perempuan itu. Sementara ia duduk menyandarkan punggung di kursi, Tian
bergegas pergi ke dapur untuk mengambil cangkir bagi Orin, suaminya pasti kehausan setelah pergi melihat-lihat situasi
di kota dan dengan ajaib pulang membawa sekantung langsat.
Tian berniat segera menyerahkan
cangkir dan tatakan pada Orin, tetapi sampai di depan pintu langkahnya
terhenti, ia melihat pemandangan yang menyentak relung hati, menyakitkan
sekaligus mengharukan. Sejenak wanita itu berdiri limbung, Tian bahkan
kehilangan kesadaran dimana sebenarnya sepasang kakinya tengah berpijak. Apakah
ia tengah bermimpi?
Dalam jarak yang amat dekat
tampak Orin tengah meraih tangan Betani kemudian menggenggamnya erat-erat. Tian
berusaha untuk menyangkal, tetapi siapa dapat melawan naluri yang bekerja atas
dasar suara hati? “Beta sungguh prihatin atas keadaan yang terjadi pada engkau,
tak perlu merasa segan menetap di rumah beta. Pintu rumah ini bahkan terbuka
bagi engkau untuk selama-lamanya, andai engkau tak berniat pergi dari sini, tak
seorangpun dapat mengusik engkau. Kalau saja engkau hidup berbahagia dengan
Lambert, beta akan melepas engkau tanpa rasa sakit, tetapi coba lihat sekarang
engkau punya keadaan, bahkan untuk sekedar keluar berjalan-jalan engkau tak
punya keberanian. Katakan apa yang beta lakukan supaya engkau punya hati
senang?” Orin menatap Betani lekat-lekat, ia tak dapat membohongi perasaan
terdalam terhadap wanita itu, perasaan yang tak pernah dapat ditidurkan,
sekalipun ia telah menikah dengan Tian.
“Beta ingin pemakaman bagi mama,
papa, dan Lambert, beta harus cari tahu pula kabar Fred dan Tifa di Manado”.
“Beta akan lakukan semua yang
engkau mau”, Orin mengecup telapak tangan Betani, badai seakan mengamuk di
dadanya. Di pihak lain Betani terpana, sepasang matanya menatap Orin dengan
takjub dan gamang, ia bukan anak-anak, ia tidak buta, tidak pula tuli, ia tahu
Orin tak pernah dapat berhenti berharap, sungguhpun ia telah terikat dalam
pernikahan sementara dirinya telah menjadi seorang janda muda. Orin memang tak
pernah berkata-kata, tetapi sikap dan tatapan matanya telah mengungkapkan
segalanya. Ia masih menjadi satu-satunya wanita yang dicintai, Betani seakan
terlambung dari kursi tempatnya menyandarkan diri, ia merasakan hembusan angin
menerpa dengan amat lembut, tetapi semakin lama berubah menjadi seakan taufan.
Betani sadar, ia adalah “orang lain” atau “duri dalam daging” yang berpotensi
secara aktif mengoyak perkawinan ini, perkawinan sahabatnya, Tian.
Dengan sepenuh kesadaran Betani
menarik kembali telapak tangannya, tiba-tiba udara berubah menjadi demikian
dingin, wanita itu menggigil, ia mencoba menenangkan dadanya yang bergemuruh
dengan meneguk teh panas. Selebihnya Betani mestii
bersandiwara, ia harus menjadi wanita baik-baik yang tak punya niat, kehendak,
maksud atau perilaku yang secara sadar dapat memisahakan keberadaan seorang
suami dari sang istri. Betani tahu betapa berat ia harus melakukan semua itu,
tetapi adakah ia punya pilihan kecuali bersikap sebagai wanita baik-baik?
Tiba-tiba Betani sangat merindukan kehadiran adik-adiknya, andai Fred bisa
memungutnya dari puing-puing rumah tinggalnya, ia tak akan berhadapan dengan
Orin dalam keadaan seperti ini. Betapa ingin ia menjatuhkan diri ke dalam
pelukan Orin untuk mendapatkan sejumput kekuatan, tetapi betapa tidak mungkin
ia melakukan hal-hal yang tidak berada pada tempatnya. Dan betapa norma-norma
itu menyakitinya.
Betani tergagap ketika Orin
kembali meraih tangannya, menariknya berdiri merangkul kemudian membimbingnya
menuju halaman belakang rumah yang menjadi rimbun oleh dedaunan. Wanita itu
berniat berontak, tetapi ia sadar, ia tak berdaya. Betanii tak pernah mengerti betapa tak
jauh dari tempatnya beranjak Tian terpaku bak sebongkah patung batu, sisa
tenaga masih bekerja sehingga cangkir dan tatakan dalam genggaman tak jatuh
berantakan. Tian dapat merampas tangan Orin supaya tak melingkar pada bahu
Betani, ia bahkan dapat mengusir wanita itu pergi hari ini juga atau membisik
pada para perusuh untuk menghabisi nyawa wanita itu. Akan tetapi, hati kecilnya
bersuara lain, apakah bila Betani menyingir atau menjadi bangkai ia akan dapat
membunuh perasaan Orin yang terdalam?
Bukankah ia menikah dengan Orin
dalam sebuah kesadaran, bahwa satu-satunya wanita yang dicintai laki-laki itu
adalah Betani? Ia hanyalah seorang wanita yang menyediakan diri untuk mengobati
luka hati dengan sebuah akibat yang akhirnya harus ditanggung hari ini. Ketika
ia menyaksikan dengan mata kepala, Orin nyata-nyata tak dapat menidurkan
perasaan terhadap Betani. Langkah Tian surut ke dalam, ia merasa badannya
setengah terhuyung, dengan perlahan wanita itu mengatupkan daun pintu,
menyandarkan kepala, dan memejamkan mata rapat-rapat, ia berjuang melawan
gelepar hati yang menyentak-nyentak. Air mata wanita itu tergenang.
Di halaman belakang yang rimbun
oleh hijau dedaunan dengan setulus hati Orin masih merangkul Betani, ia tahu
betapa hancur hati wanita itu, diam-diam iapun merasakan kehancuran yang sama.
Apabila ia yang menjadi pengantin laki-laki pada perkawinan itu, apakah Betani
akan merasakan nasib seperti ini?Betapa
rumitnya jalan hidup!
“Segala yang pernah terjadi pada
masing-masing diri manusia adalah takdir, tak perlu disesali, kalaulah harus
menyesal janganlah berlarut-larut. Hari masih panjang, masih banyak yang harus
dikerjakan, engkau masih sangat muda. Suatu saat engkau akan dapat mengingat
segalanya tanpa kesakitan, ada hikmah pada setiap tragedi, yang penting adalah
bagaimana cara engkau memandang semua ini. Tidakkah engkau menyadari, bahwa
beta tetap menyayangi engkau? Engkau tidak
sendiri, selama ada orang lain kita akan menjadi bagian dari kehidupan ini”
Orin menatap Betani lekat-lekat, ia tak menyadari kehadiran siapapun di rumah
atau di dunia ini, ia hanya berdua bersama seorang wanita yang senantiasa hadir
dalam impian, ia bahkan melupakan Tian. Sekejab ketika ia mencium kening
Betani, Orin seakan mengapung di dalam kabut. Di pihak lain Betani terpaku, ia
merasa rapuh, demikian rapuh, sehingga tanpa sadar ia menyandarkan seluruh
kerapuhan dalam pelukan Orin.
Waktupun diam
membeku!
***
Orin menepati janji,
ia datang memeriksa rumah tinggal Betani yang hanya tersisa sebagai
puing-puing, diam-diam tangan laki-laki itu gemetar. Ia ditemani tiga orang
pekerja yang setia dalam keadaan susah dan senang. Di atas langit gelap
dikepung mendung, bintang-bintang menghilang ditelan kehitaman, suasana di
sekitar senyap tanpa suara, ia seakan tengah tersuruk ke dalam liang pekuburan.
Bulu kuduk Orin meremang, ia akan menjumput sekumpulan tulang belulang
terbalut abu, ia telah menyiapkan kantung dan juga
peti jenazah yang dibuat secara sederhana dan ditinggalkan di rumah.
Cahaya senter
berpendar, Orin bergerak sangat hati-hati, tidak mustahil ia dapat tertusuk
paku berkarat, pecahan balok, kayu atau benda keras apapun bentuknya.
Indra pencium laki-laki itu menangkap bau busuk, ia telah menutup hidung dengan
kain tebal, tetapi aroma itu tetap tajam menyengat. Mereka berempat terus
mencari dan akhirnya tiga sosok tubuh yang telah kehilangan identitas itu ditemukan. Orin tak
mau mengingat saat-saat ini, saat ketika ia berhadapan dengan situasi yang
paling buruk dan mengerikan. Orin melupakan segala ketakutan terhadap bermacam
jenis hantu yang membayangi sejak muda usia.Ia harus memenuhi janji teradap
Betani, seburuk apapun keadaan yang harus dihadapi. Dengan sangat hati-hati
jenazah tak dikenal itu dimasukan ke dalam peti jenazah dikatupkan rapat-rapat
dan diangkut dengan mobil bak terbuka pada sepi suasana kembali ke kediaman.
Jalanan dingin, tanpa suara, dan muram.
Betani dan Tian tengah menunggu,
malam seakan, lebih cepat melarut dari hari-hari biasa, desir anginpun
menyeramkan. Orin dan tiga orang pekerja menurunkan peti jenazah di seputar
tiga liang kubur yang telah disiapkan. Tak ada ibadah istimewa kecuali doa yang
terucap di dalam hati Betani, perempuan itu terdiam, ia tak dapat membendung
air mata. Segalanya berjalan dengan gagu dan menyatu dalam hitam malam, bahkan
gemersik anginpun terdengar menyakitkan. Waktu seakan berjalan dengan lamban,
detik jam menyentak hingga ke relung hati, Betani memejamkan mata, ia merasakan
genggaman tangan Tian erat pada dingin jemarinya.
Setelah pemakaman itu Betani
kembali tenggelam dalam doa di kamarnya yang sunyi, ia memilih sendiri, ia
melupakan segala kesibukan yang terjadi di seputarnya. Ia seakan tak menyadari,
bahwa kehidupan itu bahkan masih ada. Orin dan Tian membiarkan segala ulah
sikap Betani, dan Tian wanita bijak itu dapat memahami perasaan yang tenga
bergolak di dada suaminya.
Sore itu keduanya tengah duduk di
halaman belakang dengan sepoci teh panas serta cangkir di tangan, angin
berkesiur dingin. "Betani, maaf
jika beta bertanya, tapi bagaimana dengan bayi dalam rahimu? Apakah engkau hendak melahirkan anak sendiri?" Orin membuka
pembicaraan.
Diam.
Sinar matahari lesi, hanya
sedikit cahaya dan gelap, waktu seakan menggantung dari langit-langit, bisu,
enggan untuk pergi. Sekelompok burung terbang memecahkan langit, Betani tersentak. Dia
tidak sendiri, dia telah mengalami hal-hal pahit dalam hidup saat dia
kehilangan orang-orang tercinta. Betapa kenyataan yang kejam, tapi berapa
banyak yang dia punya cukup untuk mengutuk. Ada beban berat yang harus
ditanggung sepanjang masa, tak terelakkan. Nasib bayi yang hendak dilahirkan, makhluk
tak berdosa yang berhak atas semua kasih sayang.
Terdengar suara desahan.
Orin melanjutkan kata-kata, "Beta ingin
mengatakan sesuatu, jika kata-kata beta keliru, anggaplah beta tidak pernah mengatakan apa-apa, jika kata-kata ini benar, lakukanlah. Namun, apapun kata-kata ini, beta harap engkau harus berbesar hati".
"Apa yang akan engkau katakan
Orin?"
"Betani, bayimu membutuhkan seorang ayah, bisakah engkau mengatasi situasi ini? Jika
tidak mampu, beta dengan sepenuh hati akan menjadi
ayah bagi bayi yang engkau kandung",
suara Orin begitu tenang, datar,
tanpa gejolak, tapi di telinga Betani suara itu berubah menjadi angin topan yang meniup semakin lama semakin kencang, seakan hendak menelan dua orang yang sedang duduk
bersisihan, seluruh
tubuh Betani bergetar. Tangan wanita itu gemetar, diam-diam ia menempel di sandaran kursi. Betani belum bisa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya
begitu tercengang, bisakah dia menolak tawaran Orin
dalam keadaan yang tidak dia miliki tempat untuk
bersandar, juga ayah janin yang dikandungnya. Sejujurannya tidak akan bisaia menolak
usulan tersebut, namun Orin terikat
pernikahan dengan sahabatnya.
Apa benar ia seorang teman, saat dia diam-diam berkhianat? Bisakah dia menjadi orang ketiga dalam kehidupan Tian, apakah ada istri yang begitu tulus menerima kehadiran istri kedua suaminya? Betani tersenyum samar-samar, sekarang bukan saat dimana wanita hanya bagian kedua dalam pernikahan. Adakah alasan mendasar yang memaksa seorang suami, kembali menikah demi janin bayi?
Apa benar ia seorang teman, saat dia diam-diam berkhianat? Bisakah dia menjadi orang ketiga dalam kehidupan Tian, apakah ada istri yang begitu tulus menerima kehadiran istri kedua suaminya? Betani tersenyum samar-samar, sekarang bukan saat dimana wanita hanya bagian kedua dalam pernikahan. Adakah alasan mendasar yang memaksa seorang suami, kembali menikah demi janin bayi?
Ah, kehidupan ....
Betani mendesah
berulang kali, dia tahu betapa tegangnya Orin akan jawabanya, tapi mulut Betani
terkunci, dia tidak bisa mengatakan apapun, dia
tidak dapat menolak juga, tidak dapat pula menerima.
Di balik tirai Tian merekam pembicaraan dengan tenggorokan tersedak, dia tidak
terkejut dengan kata-kata Orin, meski kata-kata tidak
berbeda dengan baling-baling yang berpusing
merobek isi hatinya dengan kejam. Tian pelan-pelan mengembuskan napas,
dia merasa sangat tegang menunggu jawaban Bethany. Kata-kata apa yang akan
dikatakannya?
***
PENUTUP
Bahkan malam terpanjangpun akhirnya akan sampai juga di ambang fajar, matahari bagai simbol kebijaksanaan yang mengedarkan sinar ke jagad raya? Susah dan senang seperti halnya air laut, sebentar pasang tak lama kemudian surut. Sekalipun tidak sepenuhnya mnyambut cahaya fajar, kilatan sinar cukup membuat Betani tersenyum dan menarik napas lega, dia akan mengakhiri semua bencana ini dan memulai kehidupan baru. Hari ini Tian menyerahkan sebuah surat di amplop kusut, kulitnya tidak berarti banyak, yang lebih penting adalah isinya. Dengan tergesa dan gembira Betani membuka surat itu, dia segera mengenali tulisan tangan Frederik, dalam surat itu juga ada kertas karbon yang berisi sejumlah uang. Surat itu singkat.
Saudaraku Yang Terkasih, Bethany,
Saya menunggumu di Manado, ada
sejumlah uang untuk membeli tiket. Mulailah hidup baru.
Salam,
Frederik
"Surat dari adikmu?" Tian membuka pembicaraan.
Salam,
Frederik
"Surat dari adikmu?" Tian membuka pembicaraan.
"Ya,
beta sudah mengirim surat ke Manado, beta kira suratnya tidak pernah sampai, keajaiban pula yang bisa
membawa surat adik sampai kesini.
Terima kasih Tian," Betani menatap
Tian dengan rasa syukur yang dalam, dia
sudah cukup meminta dari wanita dan cukup banyak hal yang diterima di tempat ini.
"O ya, beta juga pernah mendengar percakapanmu dan Orin beberapa hari yang lalu, engkau tidak memiliki jawaban sampai hari ini. Jika engkau menerima usulan Orin, beta juga tidak keberatan, karena bayi itu adalah anak tak bersalah." Tian melihat wajah pucat Betani, dia bahkan tidak bisa menebak bagaimana sesungguhnya perasaannya, sedih, bahagia, cemas atau sengsara, dia hanya mau mengikuti kata hatinya, apapun jawaban Betani.
Diam terbang di tengah ruangan seolah udara bergerak tanpa suara, namun waspada untuk menerkam. Betani duduk membantu, dia menatap Tian dengan pandangan asing, dia tidak berpikir bahwa Tian mendengarnya bercakap-cakap dengan Orin tempo hari. Percakapan yang pasti sangat menyakitkan - jika dia Tian - bisakah dia mendengar percakapan tanpa sedikit pun kemarahan? Kali ini Tian malah mengajukan diri untuk kemampuan menjawabnya, bayinya yang tengah ia kandung. Apakah ada wanita yang demikian tulus hati?
Betani tersenyum tipis dan hampir tertawa, tapi niatnya terjegal, dia melihat tatapan tulus Tian. Gadis itu tidak main-main, merinding bulu kuduk Betani, dia sadar ketika menggenggam jemari Tian, meski diam-diam tangannya gemetar. Betani tidak yakin siapa sesungguhnya Tian, apakah dia wanita yang benar-benar hebat? Atau hanya berakting di atas kehidupan teater setelah nasib "malang", atau hanya hamba Tuhan yang memiliki belas kasihan, karena di dalam dirinya ada juga wanita yang terjatuh di tengah hantaman hidup yang keras?
Diam masih menggantung, tidak lama kemudian pecah saat Bethany mendesah dalam-dalam. Dia tidak menemukan jawabannya? Dia berdiri, mencengkeram sepasang tangan Tian, menatap dalam-dalam, lalu memeluknya. Betani tidak merasakan apa-apa, sepasang matanya basah, ia tak dapat menahan isak tangis.
***
Hari ini, seperti halnya hari-hari sebelumnya - penerbangan Merpati, Manado-Kao datang terlambat, gerimis jatuh merinai, jernih seperti air mata seribu peri. Desakan angin bertiup kemudian mengacaukan sekumpulan awan hitam, memberi kesempatan bagi sang surya untuk bercahaya sebagai pertanda warna alam semesta, langit tidak selalu gelap. Betani duduk dengan tenang di ruang tunggu bandara perintis dengan tas dan sebuah koper yang telah diisi dengan barang-barang penting dan sangat dibutuhkan, hatinya bulat, dia harus meninggalkan tanah air yang telah lebur. Hari esok masih ada, dia tetap bisa, sekaligus berharap untuk janin yang harus dilahirkan. Bukankah air selalu menetes ke bawah kemudian mencari bentuk dan karakter sesuai wadah yang tersedia? Apa yang harus ditakuti kecuali rasa takut itu sendiri, dan dia telah melampaui apa yang sebenarnya ditakuti? Akhirnya, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali keberanian. Hidup masih menjadi tantangan tersendiri.
"Benar, engkau ingin meninggalkan kami Betani?" Suara Orin serak, dia seolah-olah menghadapi saat-saat sulit, karena telah kehilangan sosok yang dicintai selamanya. Terlalu sulit untuk kalah, karena waktu akan membenturkan hati ke dalam kekosongan tanpa sepatah kata pun. Dia masih memiliki sisa kekuatan untuk membendung air mata, dia laki-laki, dia tidak perlu menangis.
"Andaikan beta masih bisa bertahan hidup di tempat ini, tapi tidak mungkin. Biarkan hal itu terjadi, manusia memilih takdir mereka sendiri".
"Jadi
engkau menolak lamaran beta?"
"Jika
waktu bisa diputar mundur, tapi sepertinya juga tidak mungkin. Betapapun mencintai, jalan
hidup berkehendak lain, biar cinta itu hanya kenangan,
karena beta harus pergi dan tidak akan pernah melupakan engkau. Saya akan mengingat engkau berdua selamanya, bila anak ini lahir laki-laki beta beri
nama Ori, jika perempuan beta beri nama Tian. Biarkan beta mengingat engkau berdua
dalam damai selamanya." Suara Betani nyaris
terpatah-patah.
Lalu terdengar deru pesawat yang mendarat, di sekitar landasan pacu adalah keheningan, rumput masih basah setelah gerimis, selebihnya hutan luas tanpa batas. Semua penumpang turun, maka di ruang tunggu penumpang selanjutnya bersiap berangkat menuju pesawat. Orin terdiam, rasa sakit tak terbatas, dan ruang hampa udara itu sempurna saat ia menggenggam tangan Betani lalu mencium pipinya. Dia tidak ingin melepaskan wanita ini, tapi harus. Orin hanya melihat bayangan bergerak buram k
etika
Betani memeluk Tian lalu keduanya melambai mengucapkan
selamat tinggal. Sesaat kemudian pesawat kembali menggeram dan bergemuruh untuk
membawa sosok Betani yang
diam dan penumpang lain di tempat duduk yang dilengkapi sabuk
pengaman. Dari jendela pesawat Betani bisa
melihat Orin berdiri dengan goyah dan wajahnya muram, selain
Orin adalah Tian. Dia berdiri dengan keberanian dan wajah sulit digambarkan. Dada Betania terasa sesak,
lehernya tercekik, matanya perlahan mengabur ke dalam
bayang-bayang saat dia tidak bisa lagi membendung air mata.
Terlalu
banyak hal untuk ditinggalkan, tapi apakah dia akan bisa tenang?
Deru yang mengawali Twin Otter
meninggalkan landasan pacu, terbang di langit seolah-olah merpati sejati. Betani
memejamkan mata, bahkan
jika dia seorang penyair, dia tidak bisa mengatur kata-kata untuk pemisahan
ini. Ia merasakan berat tubuhnya mengambang dan melesat
sampai ketinggian tanpa akhir. Bayangan Orin dan
Tian menghilang ke dalam kabut. Di tepi landasan pacu Orin yang masih diam tak bergerak dalam keadaan
limbung, ia menatap laju gerak udara dengan berat dan bahu
seakan terkubur bukit. Suntahan angin dingin terasa sangat mengganggu, lutut
Orin menggigil. Tubuhnya lemas dan hampir roboh, tapi tiba-tiba ia merasakan
pegangan hangat di telapak tangannya yang gemetar.
Genggaman
yang tiba-tiba memberinya kekuatan dan kesadaran mutlak, dia sebenarnya
bukan seorang diri, dia bahkan tidak melewatkan apapun. Orin
berbalik dan tatapannya langsung bertautan dengan
sepasang mata Tian. Sepasang mata yang memiliki kekuatan dan keteguhan tak
tertandingi, haruskah dia bertanya tentang cinta? Apa yang tidak didapat dari
Tian, ketika Betani tidak
dapat memberikan apapun, bahkan saat dia memintanya. Seberapa cepat perasaan
manusia berubah, antara ada dan tiada,
antara harapan dan ketakutan, antara kesendirian dan kebersamaan. Semuanya sama
seperti perubahan warna dari gelap menjadi terang, dari badai mereda,
seharusnya tidak berubah mencapai tuju. Langit disepuh
cahaya emas, sisa gerimis
memanggil lengkung pelangi yang membias indah menghias angkasa. Orin
masih menatap sepasang mata Tian dekat-dekat, sedemikian
dekat, sehingga ia bisa melihat bayangan bianglala pada sepasang bola mata Tian, melengkung sendu seolah tujuh warna selendang pelangi bidadari
maya.
Selesai
Agats - Asmat, 22 Mei 2012
Catatan dari perjalanan ke Halmahera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar