Senin, 03 Juni 2019

SELENDANG PELANGI --Sebuah Roman-- ENAM


  

Suasana kota tampak sebagai puing-puing menghangus,  jalanan yang lengang, daun-daun yang merintih, sikap ketakutan serta saling curiga. Sementara umat Kristen yang bertahan membangun kehidupan sendiri dengan sesama komunitas, memiliki pasar tersendiri serta fasilitas sosial yang memiliki ciri berbeda dengan umat Islam. Gardu pos dengan grafitti Istana Obet adalah milik umat Nasrani, adapun umat Islam membangun gardu yang sama dengan goresan yang terbaca pondok Acan. Obet adalah Robert dan Acan berarti Hasan, dua nama nyong --laki-laki muda remaja yang sekaligus merupakan identitas dari Kristen dan Islam--
            Dua bocah berbeda nama itu justru tak mengerti sebab apa pertumpahan darah ini mesti terjadi? Tempat bermain telah remuk menjadi puing, hitam  arang, mereka tak bisa lagi saling berkejaran, bermain kelereng, berselisih memperebutkan layang-layang putus serta tertawa terkekeh-kekeh, karena hal-hal yang lucu dan menyegarkan. Anak-anak bahkan tak tahu lagi bagaimana nasib kawan-kawan mereka, dimana sekarang Obet yang tinggal di sebelah kanan rumah? Dimana pula Acan yang tinggal di dekat pasar? Semua tercerai berai seperti satu nyiru beras yang dihambur  ke tanah lapang oleh tangan-tangan yang dikuasai benci.
            Baik Obet maupun Acan sama-sama menjadi yatim piatu ketika orang tua mereka tewas dalam pertarungan demi pertarungan. Sementara Obet dan Acan yang menetap di kampung lain sama-sama tenggelam di lautan ketika sebuah kapal yang sarat muatan oleng diterjang gelombang kemudian miring, dibanjiri air laut, menghilang dari permukaan air dalam sekejab bersama ribuan penumpang yang menjerit ketakutan dijemput maut. Penggalan kapal, muatan serta tak satupun jenazah penumpang ditemukan, kapal beserta seluruh isinya kembali kepada alam ketika manusia-manusia menjerit nyaring bagi hak yang paling hakiki, yaitu hak untuk hidup!
            Apa lagi yang mesti diceritakan? Bahkan orang-orang yang terlahir, bertumbuh, dewasa, dan bersiap menjemput usia senja di tanah pusaka mesti berlari serabutan menuju bandara, menumpang hercules ke Manado  hanya dengan pakaian melekat di badan atau sekedar celana pendek tanpa sepenggalpun harta benda. Seisi rumah hangus terbakar, kampung halaman berubah menjadi puing-puing, menjadi debu. Mereka, para pengungsi meninggalkan rumah tinggal dalam nestapa, amarah, dan ketakutan. Mereka meninggalkan segala kenangan, sanak keluarga yang menjadi jenazah dan tak mendapat penghormatan dalam pemakaman, yang tersisa kini tinggallah isak tangis.
            Ketika kehidupan kota menjadi mati, pasar sunyi, tak ada lagi pedagang berani menggelar jualan, karena khawatir keselamatannya terancam. Bahan-bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari sulit didapat, sehingga tehpun harus diminum dalam keadaan pahit, karena tak mudah mendapatkan gula. Perlahan-lahan kerusuhan mulai mereda, para perusuh itu kembali menyadari, bahwa kebutuhan hidup yang paling penting adalah makan dan minum hari ini yang hanya dapat dipenuhi dalam situasi aman. Pasar ramai oleh pedagang dan pembeli, karena keadaan memungkinkan setiap orang untuk menjual dan membeli, mendapatkan nafkah serta makanan hari ini.
Akhirnya setiap orang tiba-tiba terduduk dan termenung, mengapa kerusuhan mesti terjadi? Fasilitas sosial hangus terbakar. Sanak keluarga tewas, mengungsi, entah kapan mau kembali? Penduduk yang mengungsi membangun rumah-rumah darurat dari papan kayu dengan atap daun rumbia dan lantai tanah dengan sepetak bilik untuk beristirahat. Mereka tinggal dengan komunitas yang dapat memberikan rasa aman dan kepercayaan, sementara ketakutan akan  meledaknya kerusuhan menghantui setiap hari. Betapa mahal rasa aman!
            Senja itu turun dalam cahaya warna kuning keemasan yang jatuh menyinari wajah kota yang muram diliputi puing. Suara sekawanan burung yang mencecet melintasi langit kembali ke sarang bahkan terdengar sendu. Satwa itu harus kembali membuat sarang baru, karena pohon tempatnya membuat sarang dan bertelur ikut pula terbakar. Jalanan tampak sunyi, sesekali terdengar suara kendaraan melintas kemudian diam, deru mesin hanya menyisakan asap yang segera musnah dihalau angin. Pintu dan jendela rumah lebih cepat terkunci sebelum matahari tenggelam dan gelap menelan seluruh cahaya keemasan.
            Di sudut rumah, di dekat perapian Tian termangu, ia tak dapat lagi menyalakan kompor, karena persediaan minyak telah habis, ia harus kembali kepada fasilitas alam untuk menghidupkan api bagi menu hari ini. Kerusuhan mulai mereda, akan tetapi bukan berarti ia dapat bebas pergi kemana suka. Perkelahian demi perkelahian sesekali masih terpecah, ia memilih jalan aman, berdiam di rumah. Tian rindu pada anak didiknya yang lugu di taman kanak-kanak, tetapi bagaimana ia dapat mengajar, bangunan sekolah telah retak dan coreng moreng. Ia hanya sekali berani melintas di depan halaman sekolah dan tersedu melihat tempat kerjanya nyaris menjadi puing-puing. Kejamnya perang!
            Seperti kebanyakan orang Tian dihinggapi penyakit yang berawal dari ketakutan dan ketiadaan peluang untuk bergerak bebas bagi kelangsungan hidup. Setiap orang mengalami hambatan beraktivitas yang menyebabkan kepala menjadi lebih sering berdenyut, tekanan darah menjadi terus naik atau menurun, dan bermacam keadaan yang membuat badan menjadi tidak sehat. Tian rindu pula akan suasana pasar yang meriah oleh beraneka barang dagangan, ia bisa menikmati kehidupan sebagai keluarga berada untuk mendapatkan segala jenis barang yang ia mau dan iapun menjadi senang. Kini, bahkan kesenangan-kesenangan yang paling kecilpun tak bisa dinikmati, ia harus menjadi seekor pungguk yang merindukan bulan manakala mengharap suara jerit atau canda ria dari anak-anak di halaman sekolah.
            Tian memijit-mijit kepalanya. Suasana rumah semakin muram tanpa aktivitas dari para pekerja, mereka hanya berani menjual sembako yang diperoleh dengan susah payah secara diam-diam kepada orang-orang yang benar-benar dikenal. Pintu dan jendela bagian depan rumah telah hancur dan ditutup rapat-rapat dengan papan, menimbulkan kesan rumah ini tak berpenghuni. Rumput ilalang telah naik tinggi, sarang laba-laba berseliweran menggantung di langit-langit, pada malam hari lampu di bagian depan masih tetap padam. Beta telah tinggal di rumah hantu. Tian mengeluh dalam hati.
            Perempuan itu berhenti memijit kepalanya yang berdenyut-denyut ketika ia mendengar suara muntah-muntah. Sejenak Tian tercenung, ia tak pernah merasa berkeberatan Betani menetap di rumahnya dalam situasi seperti ini, keselamatan sahabatnya terancam. Ia sungguh menaruh belas kasihan pada perempuan yang semula hidup aman dan berkecukupan, tetapi dalam sekejab telah menjadi sebatang kara, tanpa tempat tinggal. Perutnya yang mual dan menyebabkan ia harus berulang kali menumpahkan seluruh isi di dalamnya, wajahnya yang semakin memucat, dan badannya yang lemah membuat siapapun tahu. Betani tengah mengandung. Dimana ayah dari si jabang bayi? Tian merasa dadanya sesak.
            Ia beruntung masih memiliki Orin dan tempat tinggal, ia masih mampu bertahan hidup tanpa belas  kasihan orang lain. Masih lekat dalam ingatan ketika ia berpesta rujak sementara di dalam rumah keluarga Betani tengah  khusuk beribadah, ia tak bisa melupakan seluruh kenangan akan prestasi dan sosok lembut seorang Betani. Perempuan itu demikian sempurna. Suara calung dan gong yang memeriahkan adat cuci kaki pada hari perkawinannya seakan masih nyaring terdengar. Betani layak berbahagia bersanding dengan seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan mencintai. Akan tetapi, bagaimana nasibnya kini?
            Sejak hari ketika Orin memondongnya dalam keadaan pingsan, Betani hanya berdiam diri di rumah, ia membantu Tian mengerjakan urusan rumah tangga, memasak, menyapu, dan mencuci piring yang kotor. Akan tetapi sebenarnya Betani lebih sering duduk menyepi, meratapi nasib sekaligus memohon kekuatan supaya ia dapat menjadi ibu yang baik bagi janin yang tengah dikandungnya. Tak pernah sekalipun ia berselisih paham dengan Betani, mereka telah memahami satu sama lain sejak masa remaja, dan kini setelah keadaan berubah menjadi demikian buruk dan mencemaskan. Pengertian itu tak pernah berkurang. Tian memahami arti hak hidup, ia selalu mencoba melakukan yang terbaik bagi perempuan itu. Tak ada yang dimiliki Betani, kecuali dirinya dan tempat tinggalnya yang berubah menjadi bangunan tua.
            Tian menyeduh sepoci teh, meraih dua cangkir gelas kemudian berjalan mendekati Betani yang tengah terduduk menyandarkan kepala ke dinding. “Beta, minumlah teh panas, mungkin bisa sedikit mengurangi rasa mual”, suara Tian mengejutkan Betani.
            “Oh Tian, terima kasih, engkau seorang wanita yang sangat berbudi. Apa jadinya nasib beta tanpa engkau punya ketulusan hati”, Betani tersentak, ia benar-benar merasa lemah, lahir dan batin. Janin di dalam rahimnya membawa pengaruh yang luar biasa, ia tak dapat melakukan banyak hal, ia diserang rasa mengantuk berkepanjangan yang menyebabkan ia merasa sangat  nyaman dengan berbaring dan berbaring. Dimanakah Lambert, bapak dari si anak? Ia tak sempat merasa berbahagia dengan kehadiran seorang mahluk tak berdosa yang kini tengah berlindung di dalam rahimnya. Lambert tak dapat lagi merasakan apa-apa, si mati berurusan dengan Sang Pencipta, si hidup berjuang bagi hari esok yang lebih baik setelah hari lalu berserakan menjadi puing-puing bangunan. Betapa ingin Betani mengunjungi rumah tinggalnya untuk melakukan yang terbaik bagi jenazah orang-orang yang dicintainya, tetapi ia tahu situasi tak mengijinkan. Memperlakukan jenazah dengan selayaknya adalah hal yang benar, akan tetapi yang lebih benar adalah menyelamatkan diri atau lebih tepatnya menunggu waktu untuk melakukan hal-hal yang diinginkan.
            “Minumlah”, Tian menuang teh ke dalam cangkir kemudian mengulurkan pada Betani.
            “Terima kasih”, Betani menerima cangkir, merasakan hangat teh meresap pada buku-buku jemarinya. Ada perasaan takjub pada perilaku Tian yang tak pernah berhenti mengulurkan kebaikan demi kebaikan. Sementara di luar orang saling membunuh dan mengacau, maka di rumah ini ia justru mendapatkan segala perlindungan dan secuil harapan untuk membangun kembali hidupnya yang telah runtuh menjadi seonggok pasir
Apa sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini?
Betani menahan genangan air mata, ia telah menangis berhari-hari di sudut kamar kala gelap datang, ia meratapi kedatangan Lambert, tetapi bahkan bayangan laki-laki itupun ia tak dapat melihatnya. Sukmanya telah terbang menuju langit penghabisan, meninggalkannya dalam keadaan sebatang kara. Betani meratapi pula rumah tempatnya berlindung, kedua orang tuanya yang pasti telah menjadi arang, dan segala kenangan yang telah dirampas hiruk pikuk kerusuhan. Akan tetapi, sampai lelah ia menangis kesadaran membawa pada keadaan yang sangat nyata, bahwa ia tak punya apa-apa kecuali kebaikan hati Tian dan Orin. Sampai kapan mereka akan berbaik hati? Sampai kapan ia akan tinggal menumpang di rumah ini?  Sebaik apapun, mereka adalah pribadi berbeda yang memiliki rencana hidup dan ia tak terlibat pula di dalamnya. Pada akhirnya ia harus pergi, memunguti kembali kepingan harapan yang tersisa dan membangun secara apa adanya.
Betani menatap jauh ke depan, ia memang telah kehilangan ayah, ibu, dan suami. Akan tetapi ia masih memiliki saudara Frederik yang telah menyelesaikan studi di Sam Ratulangi dan bekerja pada sebuah kantor pemerintah di Manado dan adik tunggalnya, Tifani yang tengah meneruskan studi pada universitas yang sama. Mereka pasti telah  medengar perihal kerusuhan Maluku melalui media cetak dan elektronik. Bagaimana nasib Tifani setelah orang tua tak mampu lagi mengirimkan biaya kuliah? Mungkin Frederik masih bisa menanggungnya, akan tetapi bagaimana perasaan mereka setelah berminggu-minggu mengalami putus kontak dan tak tahu persis situasi apa yang terjadi pada rumah tinggal beserta para penghuninya? Betani menghela napas panjang, pandangan matanya nyaris mengabur, tetapi perempuan itu tahu, ia telah cukup lama menjadi beban pada kehidupan sehari-hari rumah tangga Tian. Beban itu harus diakhiri, tapi apa yang dapat ia lakukan dalam keadaan lemah seperti ini. Sambungan telepon terputus, bagaimana dapat ia menghubungi Frederik atau Tifani? Tian tak pernah bersedia menerima sepeserpun pemberianya, dengan jawaban, ia lebih membutuhkan. Tian  tidak kekurangan apa-apa dan tidak rugi apa-apa pula. Betani tak menyangkal, betapa ia merasa bangga, terharu, sekaligus takjub terhadap ketulusan hati suami istri yang kini tengah menjadi induk semangnya.
“Bagaimana engkau punya kandungan Beta?” Tian melirik Betani dengan pandangan sendu, ia tak bisa membayangkan andai nasib itu terjadi pada dirinya, kehilangan seluruh anggota keluarga ketika si jabang bayi membutuhkan kehadiran seorang bapak. Akankah ia mampu bertahan hidup hingga hari kelahiran tiba?
“Beta punya kandungan baik-baik saja, nanti setelah lewat bulan ke tiga baru mulai berkurang rasa mual. Beta memjadi beban hidup yang berat bagi keluarga ini, maafkan beta Tian”.
“Aih, mengapa pula engkau berkata serupa itu, beta tak rugi apa-apa engkau menjadi bagian dalam keluarga ini, bukankah kita sudah berteman sejak masa muda remaja? Nanti setelah keadaan membaik engkau bisa menyusun kembali rencana” Tian membelalakkan sepasang mata, ia tak menyadari betapa wajahnya berubah menjadi lebih menawan ketika ia berekspresi dengan segala kepolosan. Tangan wanita itu menggenggam jemari Betani yang serasa tak memiliki lagi tulang belulang.
“Beta ingin melihat keadaan rumah, jenazah mama, papa, dan Lambert belum diperlakukan sebagaimana mestinya. Mereka punya roh belum tenang, masih menunggu adat pemakaman” Betani menyesap teh hangat kemudian terbatuk-batuk, ia tak akan mampu melihat kondisi jenazah itu, tetapi ia harus melakukan yang terbaik.
“Tunggulah sampai keadaan benar-benar aman, nanti engkau bisa melakukan adat pemakaman”, Tian berusaha menguasai getar suara, ia tak mampu membayangkan manakala Betani harus berhadapan dengan situasi mengerikan, menyelenggarakan pemakaman ketika jenazah-jenazah itu kini hanya tinggal tulang belulang dihinggapi belatung. Ia harus melakukan sesuatu untuk meringankan duka hati sahabatnya itu.
“Kalian ada di sini?” tiba-tiba tampak bayangan Orin berkelebat, laki-laki itu tampak tegap dalam pakaian yang sederhana, celana jeans tua dan T shirt warna kelam, di tangannya tergenggam  kantong plastik. “Beruntung sekali, hari ini beta mendapatkan sekantong langsat di pasar kilat, engkau pasti suka Betani”, Orin mengulurkan kantong itu pada Betani yang diterima dengan senyum tipis terkulum, Orin tahu betapa menyakitkan keadaan yang tengah diderita Betani. Ia mengira oleh-oleh sederhana ini dapat sedikit menyejukkan hati perempuan itu. Sementara ia duduk menyandarkan punggung di kursi, Tian bergegas pergi ke dapur untuk mengambil cangkir bagi Orin, suaminya pasti  kehausan setelah pergi melihat-lihat situasi di kota dan dengan ajaib pulang membawa sekantung langsat.
Tian berniat segera menyerahkan cangkir dan tatakan pada Orin, tetapi sampai di depan pintu langkahnya terhenti, ia melihat pemandangan yang menyentak relung hati, menyakitkan sekaligus mengharukan. Sejenak wanita itu berdiri limbung, Tian bahkan kehilangan kesadaran dimana sebenarnya sepasang kakinya tengah berpijak. Apakah ia tengah bermimpi?
Dalam jarak yang amat dekat tampak Orin tengah meraih tangan Betani kemudian menggenggamnya erat-erat. Tian berusaha untuk menyangkal, tetapi siapa dapat melawan naluri yang bekerja atas dasar suara hati? “Beta sungguh prihatin atas keadaan yang terjadi pada engkau, tak perlu merasa segan menetap di rumah beta. Pintu rumah ini bahkan terbuka bagi engkau untuk selama-lamanya, andai engkau tak berniat pergi dari sini, tak seorangpun dapat mengusik engkau. Kalau saja engkau hidup berbahagia dengan Lambert, beta akan melepas engkau tanpa rasa sakit, tetapi coba lihat sekarang engkau punya keadaan, bahkan untuk sekedar keluar berjalan-jalan engkau tak punya keberanian. Katakan apa yang beta lakukan supaya engkau punya hati senang?” Orin menatap Betani lekat-lekat, ia tak dapat membohongi perasaan terdalam terhadap wanita itu, perasaan yang tak pernah dapat ditidurkan, sekalipun ia telah menikah dengan Tian.
“Beta ingin pemakaman bagi mama, papa, dan Lambert, beta harus cari tahu pula kabar Fred dan Tifa di Manado”.
“Beta akan lakukan semua yang engkau mau”, Orin mengecup telapak tangan Betani, badai seakan mengamuk di dadanya. Di pihak lain Betani terpana, sepasang matanya menatap Orin dengan takjub dan gamang, ia bukan anak-anak, ia tidak buta, tidak pula tuli, ia tahu Orin tak pernah dapat berhenti berharap, sungguhpun ia telah terikat dalam pernikahan sementara dirinya telah menjadi seorang janda muda. Orin memang tak pernah berkata-kata, tetapi sikap dan tatapan matanya telah mengungkapkan segalanya. Ia masih menjadi satu-satunya wanita yang dicintai, Betani seakan terlambung dari kursi tempatnya menyandarkan diri, ia merasakan hembusan angin menerpa dengan amat lembut, tetapi semakin lama berubah menjadi seakan taufan. Betani sadar, ia adalah “orang lain” atau “duri dalam daging” yang berpotensi secara aktif mengoyak perkawinan ini, perkawinan sahabatnya, Tian.
Dengan sepenuh kesadaran Betani menarik kembali telapak tangannya, tiba-tiba udara berubah menjadi demikian dingin, wanita itu menggigil, ia mencoba menenangkan dadanya yang bergemuruh dengan meneguk teh panas. Selebihnya Betani mestii bersandiwara, ia harus menjadi wanita baik-baik yang tak punya niat, kehendak, maksud atau perilaku yang secara sadar dapat memisahakan keberadaan seorang suami dari sang istri. Betani tahu betapa berat ia harus melakukan semua itu, tetapi adakah ia punya pilihan kecuali bersikap sebagai wanita baik-baik? Tiba-tiba Betani sangat merindukan kehadiran adik-adiknya, andai Fred bisa memungutnya dari puing-puing rumah tinggalnya, ia tak akan berhadapan dengan Orin dalam keadaan seperti ini. Betapa ingin ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan Orin untuk mendapatkan sejumput kekuatan, tetapi betapa tidak mungkin ia melakukan hal-hal yang tidak berada pada tempatnya. Dan betapa norma-norma itu menyakitinya.
Betani tergagap ketika Orin kembali meraih tangannya, menariknya berdiri merangkul kemudian membimbingnya menuju halaman belakang rumah yang menjadi rimbun oleh dedaunan. Wanita itu berniat berontak, tetapi ia sadar, ia tak berdaya. Betanii tak pernah mengerti betapa tak jauh dari tempatnya beranjak Tian terpaku bak sebongkah patung batu, sisa tenaga masih bekerja sehingga cangkir dan tatakan dalam genggaman tak jatuh berantakan. Tian dapat merampas tangan Orin supaya tak melingkar pada bahu Betani, ia bahkan dapat mengusir wanita itu pergi hari ini juga atau membisik pada para perusuh untuk menghabisi nyawa wanita itu. Akan tetapi, hati kecilnya bersuara lain, apakah bila Betani menyingir atau menjadi bangkai ia akan dapat membunuh perasaan Orin yang terdalam?
Bukankah ia menikah dengan Orin dalam sebuah kesadaran, bahwa satu-satunya wanita yang dicintai laki-laki itu adalah Betani? Ia hanyalah seorang wanita yang menyediakan diri untuk mengobati luka hati dengan sebuah akibat yang akhirnya harus ditanggung hari ini. Ketika ia menyaksikan dengan mata kepala, Orin nyata-nyata tak dapat menidurkan perasaan terhadap Betani. Langkah Tian surut ke dalam, ia merasa badannya setengah terhuyung, dengan perlahan wanita itu mengatupkan daun pintu, menyandarkan kepala, dan memejamkan mata rapat-rapat, ia berjuang melawan gelepar hati yang menyentak-nyentak. Air mata wanita itu tergenang.
Di halaman belakang yang rimbun oleh hijau dedaunan dengan setulus hati Orin masih merangkul Betani, ia tahu betapa hancur hati wanita itu, diam-diam iapun merasakan kehancuran yang sama. Apabila ia yang menjadi pengantin laki-laki pada perkawinan itu, apakah Betani akan merasakan nasib seperti ini?Betapa rumitnya jalan hidup!
“Segala yang pernah terjadi pada masing-masing diri manusia adalah takdir, tak perlu disesali, kalaulah harus menyesal janganlah berlarut-larut. Hari masih panjang, masih banyak yang harus dikerjakan, engkau masih sangat muda. Suatu saat engkau akan dapat mengingat segalanya tanpa kesakitan, ada hikmah pada setiap tragedi, yang penting adalah bagaimana cara engkau memandang semua ini. Tidakkah engkau menyadari, bahwa beta tetap menyayangi engkau? Engkau tidak sendiri, selama ada orang lain kita akan menjadi bagian dari kehidupan ini” Orin menatap Betani lekat-lekat, ia tak menyadari kehadiran siapapun di rumah atau di dunia ini, ia hanya berdua bersama seorang wanita yang senantiasa hadir dalam impian, ia bahkan melupakan Tian. Sekejab ketika ia mencium kening Betani, Orin seakan mengapung di dalam kabut. Di pihak lain Betani terpaku, ia merasa rapuh, demikian rapuh, sehingga tanpa sadar ia menyandarkan seluruh kerapuhan dalam pelukan Orin.
Waktupun diam membeku!
                                                             ***
Orin menepati janji, ia datang memeriksa rumah tinggal Betani yang hanya tersisa sebagai puing-puing, diam-diam tangan laki-laki itu gemetar. Ia ditemani tiga orang pekerja yang setia dalam keadaan susah dan senang. Di atas langit gelap dikepung mendung, bintang-bintang menghilang ditelan kehitaman, suasana di sekitar senyap tanpa suara, ia seakan tengah tersuruk ke dalam liang pekuburan. Bulu kuduk Orin meremang, ia akan menjumput sekumpulan tulang belulang terbalut abu, ia telah menyiapkan kantung dan juga peti jenazah yang dibuat secara sederhana dan ditinggalkan di rumah.
Cahaya senter berpendar, Orin bergerak sangat hati-hati, tidak mustahil ia dapat tertusuk paku berkarat, pecahan balok, kayu atau benda keras apapun bentuknya. Indra pencium laki-laki itu menangkap bau busuk, ia telah menutup hidung dengan kain tebal, tetapi aroma itu tetap tajam menyengat. Mereka berempat terus mencari dan akhirnya tiga sosok tubuh yang telah  kehilangan identitas itu ditemukan. Orin tak mau mengingat saat-saat ini, saat ketika ia berhadapan dengan situasi yang paling buruk dan mengerikan. Orin melupakan segala ketakutan terhadap bermacam jenis hantu yang membayangi sejak muda usia.Ia harus memenuhi janji teradap Betani, seburuk apapun keadaan yang harus dihadapi. Dengan sangat hati-hati jenazah tak dikenal itu dimasukan ke dalam peti jenazah dikatupkan rapat-rapat dan diangkut dengan mobil bak terbuka pada sepi suasana kembali ke kediaman. Jalanan dingin, tanpa suara, dan muram.
Betani dan Tian tengah menunggu, malam seakan, lebih cepat melarut dari hari-hari biasa, desir anginpun menyeramkan. Orin dan tiga orang pekerja menurunkan peti jenazah di seputar tiga liang kubur yang telah disiapkan. Tak ada ibadah istimewa kecuali doa yang terucap di dalam hati Betani, perempuan itu terdiam, ia tak dapat membendung air mata. Segalanya berjalan dengan gagu dan menyatu dalam hitam malam, bahkan gemersik anginpun terdengar menyakitkan. Waktu seakan berjalan dengan lamban, detik jam menyentak hingga ke relung hati, Betani memejamkan mata, ia merasakan genggaman tangan Tian erat pada dingin jemarinya.
Setelah pemakaman itu Betani kembali tenggelam dalam doa di kamarnya yang sunyi, ia memilih sendiri, ia melupakan segala kesibukan yang terjadi di seputarnya. Ia seakan tak menyadari, bahwa kehidupan itu bahkan masih ada. Orin dan Tian membiarkan segala ulah sikap Betani, dan Tian wanita bijak itu dapat memahami perasaan yang tenga bergolak di dada suaminya.
Sore itu keduanya tengah duduk di halaman belakang dengan sepoci teh panas serta cangkir di tangan, angin berkesiur dingin. "Betani, maaf jika beta bertanya, tapi bagaimana dengan bayi dalam rahimu? Apakah engkau hendak melahirkan anak sendiri?" Orin membuka pembicaraan.
            Diam.
Sinar matahari lesi,  hanya sedikit cahaya dan gelap, waktu seakan menggantung dari langit-langit, bisu, enggan untuk pergi. Sekelompok burung terbang memecahkan langit, Betani tersentak. Dia tidak sendiri, dia telah mengalami hal-hal pahit dalam hidup saat dia kehilangan orang-orang tercinta. Betapa kenyataan yang kejam, tapi berapa banyak yang dia punya cukup untuk mengutuk. Ada beban berat yang harus ditanggung sepanjang masa, tak terelakkan. Nasib bayi yang hendak dilahirkan, makhluk tak berdosa yang berhak atas semua kasih sayang. Terdengar suara desahan.
Orin melanjutkan kata-kata, "Beta ingin mengatakan sesuatu, jika kata-kata beta keliru, anggaplah beta tidak pernah mengatakan apa-apa, jika kata-kata ini benar, lakukanlah. Namun, apapun kata-kata ini, beta harap engkau harus berbesar hati".
"Apa yang akan engkau katakan Orin?"
"Betani, bayimu membutuhkan seorang ayah, bisakah engkau mengatasi situasi ini? Jika tidak mampu, beta dengan sepenuh hati akan menjadi ayah bagi bayi yang engkau kandung", suara Orin begitu tenang, datar, tanpa gejolak, tapi di telinga Betani suara itu berubah menjadi angin topan yang meniup semakin lama semakin kencang, seakan hendak menelan dua orang yang sedang duduk bersisihan,  seluruh tubuh Betani bergetar. Tangan wanita itu gemetar, diam-diam ia menempel di sandaran kursi. Betani belum bisa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya begitu tercengang, bisakah dia menolak tawaran Orin dalam keadaan yang tidak dia miliki tempat untuk bersandar, juga ayah janin yang dikandungnya. Sejujurannya tidak akan bisaia  menolak usulan tersebut, namun Orin terikat pernikahan dengan sahabatnya.

Apa benar
ia seorang teman, saat dia diam-diam berkhianat? Bisakah dia menjadi orang ketiga dalam kehidupan Tian, ​​apakah ada istri yang begitu tulus menerima kehadiran istri kedua suaminya? Betani tersenyum samar-samar, sekarang bukan saat dimana wanita hanya bagian kedua dalam pernikahan. Adakah alasan mendasar yang memaksa seorang suami, kembali menikah demi janin bayi?
Ah, kehidupan ....
Betani mendesah berulang kali, dia tahu betapa tegangnya Orin akan jawabanya, tapi mulut Betani terkunci, dia tidak bisa mengatakan apapun, dia  tidak dapat menolak juga, tidak dapat pula menerima. Di balik tirai Tian merekam pembicaraan dengan tenggorokan tersedak, dia tidak terkejut dengan kata-kata Orin, meski kata-kata tidak berbeda dengan baling-baling yang berpusing merobek isi hatinya dengan kejam. Tian pelan-pelan mengembuskan napas, dia merasa sangat tegang menunggu jawaban Bethany. Kata-kata apa yang akan dikatakannya?
                                                                       ***
Top of Form
PENUTUP

Bahkan malam terpanjangpun akhirnya akan sampai juga di ambang fajar, matahari bagai simbol kebijaksanaan yang mengedarkan sinar ke jagad raya? Susah dan senang seperti halnya air laut, sebentar pasang tak lama kemudian surut. Sekalipun tidak sepenuhnya mnyambut cahaya fajar, kilatan sinar cukup membuat Betani tersenyum dan menarik napas lega, dia akan mengakhiri semua bencana ini dan memulai kehidupan baru. Hari ini Tian menyerahkan sebuah surat di amplop kusut, kulitnya tidak berarti banyak, yang lebih penting adalah isinya. Dengan tergesa dan gembira Betani membuka surat itu, dia segera mengenali tulisan tangan Frederik, dalam surat itu juga ada kertas karbon yang berisi sejumlah uang. Surat itu singkat.

Saudara
ku Yang Terkasih, Bethany,
Saya menunggumu di Manado, ada sejumlah uang untuk membeli tiket. Mulailah hidup baru.

Salam,
Frederik


"Surat dari adikmu?" Tian membuka pembicaraan.
"Ya, beta sudah mengirim surat ke Manado, beta kira suratnya tidak pernah sampai, keajaiban pula yang bisa membawa surat adik sampai kesini. Terima kasih Tian," Betani menatap Tian dengan rasa syukur yang dalam, dia sudah cukup meminta dari wanita  dan cukup banyak hal yang diterima di tempat ini.

"O ya,
beta juga pernah mendengar percakapanmu dan Orin beberapa hari yang lalu, engkau tidak memiliki jawaban sampai hari ini. Jika engkau menerima usulan Orin, beta juga tidak keberatan, karena bayi itu adalah anak tak bersalah." Tian melihat wajah pucat Betani, dia bahkan tidak bisa menebak bagaimana sesungguhnya perasaannya, sedih, bahagia, cemas atau sengsara, dia hanya mau mengikuti kata hatinya, apapun jawaban Betani.

Diam terbang di tengah ruangan seolah udara bergerak tanpa suara, namun waspada untuk menerkam. Betan
i duduk membantu, dia menatap Tian dengan pandangan asing, dia tidak berpikir bahwa Tian mendengarnya bercakap-cakap dengan Orin tempo hari. Percakapan yang pasti sangat menyakitkan - jika dia Tian - bisakah dia mendengar percakapan tanpa sedikit pun kemarahan? Kali ini Tian malah mengajukan diri untuk kemampuan menjawabnya, bayinya yang tengah ia kandung. Apakah ada wanita yang demikian tulus hati?

Betan
i tersenyum tipis dan hampir tertawa, tapi niatnya terjegal, dia melihat tatapan  tulus Tian. Gadis itu tidak main-main, merinding bulu kuduk Betani, dia sadar ketika menggenggam jemari Tian, meski diam-diam tangannya  gemetar. Betani tidak yakin siapa sesungguhnya Tian, ​​apakah dia wanita yang benar-benar hebat? Atau hanya berakting di atas kehidupan teater setelah nasib "malang", atau hanya hamba Tuhan yang memiliki belas kasihan, karena di dalam dirinya ada juga wanita yang terjatuh di tengah hantaman hidup yang keras?

Diam masih menggantung, tidak lama kemudian pecah saat Bethany mendesah dalam-dalam. Dia tidak menemukan jawabannya? Dia berdiri, mencengkeram sepasang tangan Tian, ​​menatap
dalam-dalam, lalu memeluknya. Betani tidak merasakan apa-apa, sepasang matanya basah, ia tak dapat menahan  isak tangis.

                                                                             ***

Hari ini, seperti halnya
hari-hari sebelumnya - penerbangan Merpati, Manado-Kao  datang terlambat, gerimis jatuh merinai, jernih seperti air mata seribu peri. Desakan angin bertiup kemudian mengacaukan sekumpulan awan hitam, memberi kesempatan bagi sang surya untuk bercahaya sebagai pertanda warna alam semesta, langit tidak selalu gelap. Betani duduk dengan tenang di ruang tunggu bandara perintis dengan tas dan sebuah koper yang telah diisi dengan barang-barang penting dan sangat dibutuhkan, hatinya bulat, dia harus meninggalkan  tanah air yang telah lebur. Hari esok masih ada, dia tetap bisa, sekaligus berharap untuk janin yang harus dilahirkan. Bukankah air selalu menetes ke bawah  kemudian mencari bentuk dan karakter sesuai wadah yang tersedia? Apa yang harus ditakuti kecuali rasa takut itu sendiri, dan dia telah melampaui apa yang sebenarnya ditakuti? Akhirnya, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali keberanian. Hidup masih menjadi tantangan tersendiri.

"
Benar, engkau ingin meninggalkan kami Betani?" Suara Orin serak, dia seolah-olah menghadapi saat-saat sulit, karena telah kehilangan sosok yang dicintai selamanya. Terlalu sulit untuk kalah, karena waktu akan membenturkan hati ke dalam kekosongan tanpa sepatah kata pun. Dia masih memiliki sisa kekuatan untuk membendung air mata, dia laki-laki, dia tidak perlu menangis.

"
Andaikan beta masih bisa bertahan hidup di tempat ini, tapi tidak mungkin. Biarkan hal itu terjadi, manusia memilih takdir mereka sendiri".

"Jadi engkau menolak lamaran beta?"
"Jika waktu bisa diputar mundur, tapi sepertinya juga tidak mungkin. Betapapun mencintai, jalan hidup berkehendak lain, biar cinta itu hanya kenangan, karena beta harus pergi dan tidak akan pernah melupakan engkau. Saya akan mengingat engkau berdua selamanya, bila anak ini lahir laki-laki beta beri nama Ori, jika perempuan beta beri nama Tian. Biarkan beta mengingat engkau berdua dalam damai selamanya." Suara Betani nyaris terpatah-patah.

Lalu
terdengar deru pesawat yang mendarat, di sekitar landasan pacu adalah keheningan,  rumput masih basah setelah gerimis, selebihnya hutan luas tanpa batas. Semua penumpang turun, maka di ruang tunggu penumpang selanjutnya bersiap berangkat menuju pesawat. Orin terdiam, rasa sakit tak terbatas, dan ruang hampa udara itu sempurna saat ia menggenggam  tangan Betani lalu mencium pipinya. Dia tidak ingin melepaskan wanita ini, tapi harus.  Orin hanya melihat bayangan bergerak buram kTop of Form
etika Betani memeluk Tian lalu keduanya melambai mengucapkan selamat tinggal. Sesaat kemudian pesawat kembali menggeram dan bergemuruh untuk membawa sosok Betani yang diam dan penumpang lain di tempat duduk yang dilengkapi sabuk pengaman. Dari jendela pesawat Betani bisa melihat Orin berdiri dengan goyah dan wajahnya muram, selain Orin adalah Tian. Dia berdiri dengan keberanian dan wajah sulit digambarkan. Dada Betania terasa sesak, lehernya tercekik, matanya perlahan mengabur ke dalam bayang-bayang saat dia tidak bisa lagi membendung air mata.

Terlalu banyak hal untuk ditinggalkan, tapi apakah dia akan bisa tenang? Deru yang mengawali Twin Otter meninggalkan landasan pacu, terbang di langit seolah-olah merpati sejati. Betani memejamkan mata, bahkan jika dia seorang penyair, dia tidak bisa mengatur kata-kata untuk pemisahan ini. Ia merasakan berat tubuhnya mengambang dan melesat sampai ketinggian tanpa akhir. Bayangan Orin dan Tian menghilang ke dalam kabut. Di tepi landasan pacu Orin yang masih diam tak bergerak dalam keadaan limbung, ia menatap laju gerak udara dengan berat dan bahu seakan terkubur bukit. Suntahan angin dingin terasa sangat mengganggu, lutut Orin menggigil. Tubuhnya lemas dan hampir roboh, tapi tiba-tiba ia merasakan pegangan hangat di telapak tangannya yang gemetar.

Genggaman yang tiba-tiba memberinya kekuatan dan kesadaran mutlak, dia sebenarnya bukan seorang diri, dia bahkan tidak melewatkan apapun. Orin berbalik dan tatapannya langsung bertautan dengan sepasang mata Tian. Sepasang mata yang memiliki kekuatan dan keteguhan tak tertandingi, haruskah dia bertanya tentang cinta? Apa yang tidak didapat dari Tian, ​​ketika Betani tidak dapat memberikan apapun, bahkan saat dia memintanya. Seberapa cepat perasaan manusia berubah, antara ada dan tiada, antara harapan dan ketakutan, antara kesendirian dan kebersamaan. Semuanya sama seperti perubahan warna dari gelap menjadi terang, dari badai mereda, seharusnya tidak berubah mencapai tuju. Langit disepuh cahaya emas, sisa gerimis memanggil lengkung pelangi yang membias indah menghias angkasa. Orin masih menatap sepasang mata Tian dekat-dekat, sedemikian dekat, sehingga ia bisa melihat bayangan bianglala pada sepasang bola mata Tian, melengkung sendu seolah tujuh warna selendang pelangi bidadari maya.

Selesai
Agats - Asmat, 22 Mei 2012
Catatan dari perjalanan ke Halmahera
Top of Form



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...