Sabtu, 01 Juni 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- DUABELAS

  




Hari pun berlalu, seolah terlewat sudah duka cinta hukuman gantung Sanggung Oh, Yang Mulia Raja kembali pada tugas sehari-hari. Hanya yang bersangkutan tahu, betapa dalam dan menyakitkan kehilangan itu. Yang Mulia Raja kini bertemu dengan Pangeran Wang So dan ahli bintang Choi Ji Mong, ada hal penting yang harus disampaikan kepada Pangeran ke-4. “Pergilah ke Dinasti Jin sebagai utusan, supaya engkau tahu seberapa kuat pertahanan mereka”, Yang Mulia Raja yakin akan kemampuan Wang So untuk itu.
“Mohon maaf Yang Mulia, keberangkatan ke Dinasti Jin adalah tugas yang sangat berbahaya”, Choi Ji Mong tidak dapat menutupi keterkejutan, apa maksud di balik perintah itu?
“Saya tidak berkeberartan Yang Mulia”, Pangeran Wang So tak memiliki alasan menolak perintah seorang raja, seumur hidup ia memang selalu berada dalam bahaya. Adakah satu perintah yang membuatnya undur dan merasa takut?
“Benar, engkau bersedia pergi kesana?” Raja Taejo bahkan tak percaya dengan jawaban Pangeran /wangSo, ia tahu pula akan bahaya itu.
“Pernahkah Pangeran ke-4 berani membantah perintah Yang Mulia, betapapun berbahaya perintah itu? Saya akan meninggalkan Songak menuju Dinasti Jin sesuai perintah Yang Mulia, dengan satu permintaan.Tak ada tempat tinggal bagi  Hae Soo kecuali Damiwon, andai Yang Mulia berkenan mengasihani dayang malang itu?” Pangeran Wang So tak pernah dapat melupakan Hae Soo, sikap polos dan tulus gadis itu yang  telah  mengubah pula takdir hidupnya. Kini dayang itu berada dalam keadaan yang paling buruk, bukankah ia masih dapat melakukan sesuatu untuk memberinya harapan?
“Adakah engkau masih berpihak kepadanya?” Yang Mulia Raja bertanya, mendengar nama Hae Soo disebut, Yang Mulia merasa telinganya sakit. Ia I ngin dayang itu  menghilang selamanya dari istana. 
“Saya tidak sampai hati dengan segala hal yang menimpa dirinya, kabulkanlah satu permintaan. Maka saya akan melaksanakan tugas sebagai utusan ke Dinasti Jin”, setelah kata-kata itu Pangeran Wang So memberikan hormat  kemudian mengundurkan diri.  
Sepeninggal Pangeran ke-4 beberapa saat suasana hening, tanpa lebih jauh bertanya seorang raja pun tahu. Bagaimana perasaan Pangeran Wang So terhadap dayang itu? Raja Taejo menghela napas panjang sebelum berucap kepada Choi Ji Mong. “Singkirkan dayang itu pada kesempatan pertama, ke suatu tempat. Maka pangeran para pangeran tak bisa menemuinya.Jika Wang So tak mampu meninggalkan, maka ayahanda harus membantu melupakan”, suara Yang Mulia Raja tegas, namun sesungguhnya lidahnya terasa pahit.Nama Hae Soo selalu mengingatkan pada hukuman gantung Sanggung Oh, ia harus kehilangan satu-satunya wanita  yang dicintai dan membuatnya nyaman, karena dayang itu.  
Choi Ji Mong tidak memiliki pilihan lain, kecuali melaksanakan perintah seorang raja. Ia menjumpai Hae Soo yang tengah dirundung duka, menyendiri di kamar Sanggung Oh, wajah gadis itu tampak sayu, sepasang matanya padam tanpa harapan. “Sanggung Oh memiliki martabat layaknya seorang permaisuri, tetapi tak terlahir di bawah bintang ratu”, Choi Ji Mong membuka pembicaraan.
“Adakah  hal ini suatu keberuntungan atau sebaliknya?”Hae Soo bertanya, sanggupkah ia memaafkan diri sendiri untuk kehilangan ini?
“Bukankah jawaban itu sudah cukup jelas?”Choi Ji Mong balik bertanya.
“Ia mengenalku kemudian takdir hidupnya berakhir di tiang gantung, suatu hal yang sia-sia”, suara Hae Soo lebih mirip rintihan, kepada siapa ia hendak berkeluh kesah untuk kehilangan ini?
“Ia pergi tanpa dendam atau kebencian, ia beruntung. Percayalah akan hal itu. Dan sekarang, sesuai perintah Yang Mulia Raja engkau harus meninggalkan Damiwon, tak boleh berpamitan atau menemui para pangeran lagi”, berat lidah Choi Ji Mong meneruskan perintah, tetapi harus. Ia mengira Hae Soo akan terisak, tersedu, bahkan meratap. Akan tetapi, raut wajah Hae Soo tak bergeming seperti permukaan danau pada musim dingin, beku, tertutup lapisan es dengan kedalaman tak terjangkau di bawahnya.
“Kemana aku harus pergi supaya tak bertemu dengan pangeran lagi?” apa untungnya selalu berhubungan dengan seorang pangeran, bila semuanya harus berakhir di tiang gantung? Dayang itu  bertanya dalam hati.
--Pembicaraan singkat ini berakhir.
Di dalam kamar Pangeran Wang So tengah mempersiapkan perbekalan untuk keberangkatan ke Dinasti Jin.  Ia tersenyum ketika melihat kotak tata rias yang diberikan Hae Soo, pada saat yang sama tampak Hae Soo menyeret langkah dengan kakinya  yang pincang. Keduanya saling bertatapan dengan seribu bahasa tak terkatakan, tanpa sepatah kata langkah kaki bergerak menuju danau.“Bagaimana keadaanmu?” Pangeran Wang So bertanya, ia cukup tahu arti kehilangan.
“Betapapun dalam duka dan kehilangan, dunia tak akan pernah berhenti berputar. Bila menyibukkan diri semua orang bisa melupakan rasa sakit”, wajah Sanggung Oh kembali membayang di depan mata kata Hae Soo.  Mengapa seorang yang belum lama dikenal harus merelakan diri bagi kehidupan dayang?
“Satu hal terbaik adalah lupakan, semakin sibuk bekerja semakin baik”, perasaan Pangeran Wang So tak pernah berubah, apapun yang telah terjadi dengan dayang ini. ia sungguh tahu arti mencintai.
“Yang Mulia pun harus melupakanku”, tak mudah bagi Hae Soo untuk menyampaikan kata-kata singkat ini.
“Tak perlu bicara seperti itu, tunggulah di Damiwon sampai tugasku selesai”, Pangeran Wang So meminta, tetapi Hae Soo mengembalikan hiasan rambut yang pernah diberikan.
“Andai aku bisa menunggumu. Aku selalu ingat, semula pangeran hidup bahagia di istana. Mestinya pangeran tak perlu pergi ke Danasti Jin, akhirnya harus, karena kesalahanku. Ada yang berbeda antara cinta dan pertemanan. Hidup akan menjadi rumit jika kita hanya peduli dengan satu orang”, dengan kata-kata ini Hae Soo berpamit.
“Engkau yang mendapatkan perkara, karena berada di sekitarku, demikianlah nasib orang di dekatku. Akan tetapi, aku tak punya alasan melepaskanmu. Dengan wajah seperti ini kebanyakan orang hanya dapat mengutukku”, Pangeran Wang So tak dapat memahami ucapan perpisahan ini. Sosok Hae Soo telah bersemayam di dalam kalbu diri, ia tahu ia tak akan pernah dapat melepaskan, betapapun buruk nasib gadis itu, betapapun berat Yang Mulia Raja menghukumnya. Ia tak  pernah akan menjilat ludahnya sendiri.
Hae Soo terhenyak ketika merasa tangan kekar Pangeran Wang So tiba-tiba menariknya, jarak menjadi teramat dekat, hanya dalam satu kali hembusan napas. Demikian pula tatapan mata Pangeran ke-4, Hae Soo memalingkan wajah ketika pangeran itu berniat  menciumnya. Dengan gugup Hae So pun melepaskan tangan Wang So, tetapi pangeran itu tak  menyerah, tak ragu kala mengecup bibir Hae Soo. Ia telah membahasakan cinta, dengan senyum nakal seorang pangeran.
“Aku pinjam ini sebagai jimat keberuntungan dan akan segera kembali.” Kata Wang So memegang jepitan rambut milik Hae Soo lalu berjalan pergi.
“Haruskah aku menunggu, meski seorang pangeran mengorbankan nyawa untukku, meski ia pernah mengataka aku ini miliknya? Satu perasaan yang timbul setiap kali bertemu adalah takut. Telah kutempatkan hati pada relung yang lain, tetapi mengapa terlalu sulit mengabaikanmu?” suara Hae Soo tertelan kembali di tenggorokan, ia berada di antara dua orang pangeran, Wang Wook dan Wang So. Ia susah  mengabaikan, meskipun Yang Mulia Raja telah berkeputusan memisahkan. Kemana ia harus pergi? Sepasang mata Hae Soo masih menatap bayangan Pangeran Wang So yang berkelebat pergi menjauh. Pangeran itu tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri Hae Soo hari ini. Ia  membalikan badan, senyum itu membahasakan rasa bahagia, tanganya melambai sambil menggengam hiasan rambut.
Hae Soo berjalan menyeret langkah, terpincang-pincang menaiki tangga. Dari jarak terukur Pangeran Wang Wook melihat  betapa tidaka mudah kini Hae Soo harus melangkah, akan tetapi dengan banyak pertimbangan ia tak berani mendekati gadis itu untuk sekedar memberikan bantuan, atau  menghibur hatinya yang lebam setela kehilangan. Pangeran itu membuang pandang kemudian meneruskan langkah. Hae Soo dapat  merasakan  kehadiran itu, akan tetapi wajahnya membeku ketika ia menangkap bayangan Pangeran Wang Wook, orang yang selalu diingat tak mengucap sepatah kata, bahka menjauh.  Tampaknya benar, ia telah dilupakan perlahan-lahan.Ada yang lesap bersama angin ketika Hae Soo meneruskan langkah, saat Pangeran Wang Wook kembali menoleh, ia melihat bayangan Hae Soo semakin menjauh seolah menguap bersama asap.
                                 ***
Di istal kerajaan beberapa kuda sudah disiapkan, Pangeran Wang So meloncat ke atas salah satu punggung kuda. Ia mengenakan kembali topeng penutup wajah dalam melaksanakan perintah Yang Mulia Raja, berkunjung ke Dinasti Jin. Pada saat yang sama  Hae Soo telah mengemas perlengkapan yang perlu dibawa, ia kini cuma sehelai dauan kering yang akan terbang kemana arah angin bertiup. Ia tak lagi merasakan apa-apa. Choi Ji Mong melihat kepergian itu dengan wajah sendu, ia sama sekali tidak berwenang melawan perintah seorang raja. Andai ia bisa merengkuh gadis  malang itu ke dalam rangkulannya.
Di tempat berbeda Pangeran Wang Wook tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi, ia menuliskan nama Hae Soo dalam selembar kertas. Ia memang memasang jarak yang jauh dengan gadis itu, tapi benarkah mampu melupakan? Ia hanya seorang pangeran yang tak memiliki daya di hadapan kekuasaan seorang raja atau ia harus menuju ke tiang gantung yang sama. Tak lama berselang Pangeran Wang Jung datang, wajahnya sayu, “Hae Soo telah pergi, ia tak lagi ada di Damiwon. Mungkinkah Yang Mulia Raja mengusirnya ke tempat yang sungguh jauh?”suara Pangeran Wang Jung tak dapat menyembunyikan sesal, demikian malang nasib gadis yang pernah bertarung menyelamatkan hidup kala ia dikeroyok perompak.  
Pangeran Wang Wook nyaris tak mempercayai ucapan Pangeran Wang Jung, baru beberapa tarikan napas ia melihat bayangan Hae Soo berkelebat menaiki tangga dengan langkah terseret dan tetatih. Mungkinkah kala itu harus melihat gadis itu untuk yang terakhir kali di istana ini? Tergesa langkah Pangeran Wang Wook menuju Istana Damiwon, ketika sampai di kamar Hae Soo, maka yang tersisa di ruangan itu hanya hampa. Dinding yang diam dan terlihat muram tanpa suara. Pangeran Wang Wook kini tahu arti kehilangan tanpa salam perpisahan. Mestinya ia melepas gadis itu pergi sebelum meninggalkan istana, tubuh Pangeran Wang Wook seketika terasa lemas seakan kehilangan tulang belulang. Seperti seorang bocah kecil, ia menangis,  meraung, ia memang tak dapat menjangkau Hae Soo, tetapi bukan berarti rasa cinta terhapus tanpa rupa. Beberapa tabuh Pangeran ke-8 seakan terjatuh ke dalam kekosongan yang menyakitkan. Ia tak  menepatijanji untuk selalu melindungi gadis itu, untuk memenuhi permintaan Nyonya Hae sebelum kematiaanya. Jeritan itu teramat keras, terdengar hingga ke luar dinding Istana Damiwon. Hae Soo yang tengah menyeret langkah berjalan meninggalkan dinding keluar istana sempat membalikan badan, seolah ia bisa mendengar jeritan hati seorang pangeran. Akan tetapi, ia segera meneruskan langkah. Tak ada lagi yang perlu ditangisi, hatinya beku seakan ajal.
                                    ***
Pada sisi yang lain, ketika seorang merasa teramat berduka, maka Ratu Yoo tengah minum teh bersama Putri Yeon Hwa. Ia pantas merasa bahagia, Sanggung Oh –wanita yang mampu mendapatkan cinta seorang raja telah tiada, meninggal secara mengenaskan. “Adakah engkau yang sebenarnya telah menorong Sanggung Oh  menuju tiang gantung?”tanpa ragu Sang Ratu bertanya.
“Bukankah Yang Mulia memang menginginkan wanita itu untuk pergi selamanya?”Putri Yeon Hwa tak perlu menjawab, ia tahu persis isi hati Ratu Yoo.
“Engkau berucap seolah anak kandung yang pernah kulahirkan dari rahimku sendiri, kita berdua akan menjadi sekutu yang kuat”, Ratu Yoo merasa bangga, tak salah ia meluangkan waktu minum the bersama Sang Putri.
“Saya kira hal itu tak akan pernah terjadi”, suara Putri Yeon Hwa dingin, mengejutkan Ratu Yoo, senyum di bibir merah permaisuri seketika menguap. Ia menatap wajah jelita Putri Yeon Hwa dengan beragam tanya tanpa jawaban. “Sekarang saya ingat, saat ibunda Ratu Hwangbo dituduh menyebabkan dayang istana keguguran kemudian diasingkan. Dayang istana itu adalah Sanggung Oh, dinding istana tahu akan kebencian itu. Tersangka pembunuhan seseorang yang paling dicintai Yang Mulia Raja adalah seorang ratu yang bisa diusir setiap waktu. Mungkinkah kita harus bersekutu?”Putri Yeon Hwa menunjukkan keberanian sekaligus kelicikan, ia masih menyesal ketika ibunda ratu disingkirkan dari istana, karena kesalahan yang tidak pernah dilakukan.
“Engkau  harus berhati-hati dalam setiap kata, sekarang engkau adalah kaki tanganku ”, Ratu Yoo mulai menduga kemana arah kata-kata Yeoh Hwa, keduanya teramat dekat kini, ternyata jarak merentang jauh tak terukur.
“Saya meneguk pula racun itu, siapa yang akan curiga? Satu orang tahu kenyataannya, satu yang lain membantunya. Kini, keduanya telah tiada, bukankah sekarang Yang Mulia seorang diri?”sepasang mata Putri Yeon Hwa melirik wajah Ratu Yoo dengan kilatan setajam pisau, ia tahu tengah berhadapan dengan siapa.“Jangan pernah membuat ibunda Ratu Hwangbo berlutut untuk yang kedua kali. Berhati-hatilah …” suara Putri Yeon Hwa mantab, tak seorangpun menduga ia lebih lihai dan licin dari seorang ratu yang paling berkuasa di istana ini, tidak juga Ratu Yoo. Tanpa perlu lagi berucap Putri Yeon Hwa meninggalkan Ratu Yoo terpana seorang diri.
Tak lama berselang Pangeran  Wang Yo keluar menampakkan diri dari tempatnya bersembunyi, dugaanya benar, “Yeon Hwa memang berbeda, mungkinkah saya tidak menyukainya?”di mata Pangeran Wang Yo, Putri Yeon Hwa bukan hanya jelita, tetapi “lihai”.
“Ia seorang yang berbahaya”, Ratu Yoo tak hendak keliru menilai calon sekutu, sikap Putri Yeon Hwa sudah cukup membuktikan dan mesti  membatalkannya.
“Keinginannya lebih kuat dari pada kebanyakan pria”, Pangeran Wang Yo tersenyum dengan makna tak mudah ditafsirkan.
“Tetaplah memasang jarak”, Ratu Yoo memberikan peringatan, ia harus tahu watak asli Yeon Hwa yang bersembunyi di balik wajah jelita.
“Serasa menyenangkan berada di dekat Yeon Hwa”, Pangeran Wang Yo membantah, adakah seorang pangeran yang tidak tertarik penampilan seorang putri jelita dengan kemauannya yang keras.
“Apakah engkau sudah bertemu pamanmu Wang Shik Ryum?” Ratu Yoo mengalihkan pembicaraan.
“Paman selalu siap membantu setiap waktu. Yang Mulia Ratu Yoo akan segera menjadi Ibu Suri”, Pangeran Wang Yo menjawab, ia tahu, adalah putra kesayangan Sang Ratu.
“Pamanmu nyaris tak pernah melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apa sebenarnya yang dia inginkan?”  Ratu Yoo memandang jauh, mencoba meraba bagian tersembunyi dari seseorang yang sudah dikenalknya.
“Paman ingin memindahkan Ibu Kota Goryeo dari Songak ke Seoknyang, ke wilayah utara”, sekali lagi Pangeran Wang Yo menjawab sambil meraih sehelai kain sutra di tanganya, pada saat yang sama sepasang mata membelalak lebar Ratu Yoo mendengarnya.
                                        ***
Sang maha waktupun tak pernah lelah berpacu, hari berganti minggu, berganti bulan hingga satu tahun berlalu. Jenazah Sanggung Oh telah berubah menjadi debu. Yang Mulia Raja Taejo Wang Geon genap 26 tahun memimpin.
Hari itu Pangeran Wang Yo berjalan memasuki istana diiringi beberapa orang, sementara Pangeran Wang Wook berjalan berdampingan dengan Pangeran Wang Jung. Wajah tampan Pangeran Wang Wook berkerut ketika melihat keluarga  dari pedesaan datang pula ke istana,”Apakah ada persoalan?”Pageran ke-8 bertanya.
“Yang Mulia Raja mengeluarkan sepuluh perintah baru sebelum berpulang. Sekarang putra mana pun bisa mewarisi takhta. Mereka ini ingin membuat petisi untuk mendukungku”, Pangeran Wang Yo merasa bangga, Pangeran Wang Jung menatap PAngeran Wang Yo tak berkedip. Benarkah?
“Jung, bagaimana kabarmu? Aku dengar engkau membasmi para perompak. Mengapa jarang mengunjungi ibunda ratu? Ibu merasa kehilangan”, suara Pangeran Kata Wang Yo sinis.
“Kabarku baik-baik saja, Hyungnim tak usah khawatir. Ibunda ratu selalu mengandalkanmu, putra tercinta”, Pangeran Wang Jung tak bisa menutupi perasaan  kesal. Wang Yo lebih sering menunjukkan sikap tidak bersahabat.
“Coba lihat cara bicaramu.Engkau berubah terhitung sejak bergaul dengan Wook”, Pangeran Wang Yo senang mengejek, tanpa peduli dengan tanggapan dua pangeran yang  lain, ia berlalu pergi.Pangeran Wang Wook dan Wang Jung terdiam seribu bahasa, keduanya tak pernah dapat  membangun percakapan yang baik dengan Wang Yo yang terbukti berambisi menduduki tahta.  
                                           ***
Sementara Putra Mahkota, Pangeran Wang Moo merasa galau, duduk dikursi berhadapan dengan Choi Ji Mong, “Perintah Yang Mulia Raja, bahwa setiap pangeran bisa mewarisi tahta  menyebabkan saudara satu ayah berkesempatan mengincar kedudukanku. Adakah Yang Mulia Raja sudah mendorongku ke dalam mulut harimau?”Pangeran Wang Mo tidak serakah untuk menjadi raja, tetapi ia terlahir sebagai Putra Mahkota.
“Yang Mulia sengaja mengeluarkan sepuluh wasiat dengan maksud untuk melihat siapa yang ada di pihak Putra Mahkota”, Choi Ji Mong mencoba menenagkan kegalauan hati Putra Mahkota, ia tahu bagaimana rasanya saudara dekat menginginkan pula takdir hidupnya.Seolah tak ada tujuan lain dalam hidup  kecuali singgasana.
“Kemungkinan paling buruk dari wasiat itu adalah, bahwa a semua orang yang kusayangi akan terluka”, terbayang di mata Putra Mahkota adalah darah yang berlumuran dari orang-orang yang dikasihi, betapa mengerikan.  Kali ini Choi Ji Mong terdiam, ia tahu apa akibat paling buruk dari perebutan kekuasaan, korban jatuh, darah berceceran.
                                     ***
Si cantik Woo Hee dengan lincah menggenggam pedang, dendam mendorongnya sebagai keuatan untuk menghunuskan mata pedang tepat di bagian mematikan Yang Mulia Raja Taejo Wang Geon.  Serangan tiba-tiba menyebabkan Yang Mulia Raja terhenyak, sepasang matanya membelalak seolah bersiap menanti maut. Ternyata …
Woo Hee hanya sedang berlatih menari pedang, Pangeran Baek Ah yang tengah memainkan alat music memberikan teguran, “Adakah engkau sengaja hendak menyerangku atau sekedar berlatih?” Pangeran Baek Ah seakan tersihir dengan permainan pedang Woo Hee, akan tetapi gadis cantik itu seakan memikirkan persoalan lain, sehingga arah tikaman pedang nyaris membawanya menuju kematian.Mengapa? “Bila tidak memperbaiki gerakan, engkau akan membuat kesalahan pada acara perkumpulan persahabatan”, Pangeran Baek Ah tidak bisa menutupu kekesalan.
“Baik, ayo kita coba kembali”,  Woo Hee menyadari kesalahannya, ia mengajak Pangeran Baek Ah untuk mengulang latihan.
“Aku bukan orang suruhanmu, semua orang punya batasan. Aku terlalu lelah lihat bibirku, kering kerontang”, Pangeran Baek Ah menunjuk bibirnya lebih dekat, Woo Hee terlihat gugup, jarak keduanya menjadi sedemikian dekat.“Istriku pasti sudah memasak, saatnya pulang”, Pangeran Baek Ah berbohong.
“Benarkah engkau sudah menikah?” Woo Hee terkejut, ia mengira Pangeran Baek Ah belum terikat hubungan perkawinan.
“Mengapa?  Engkau kesal kalau aku sudah menikah?” mata nakal Pangeran Baek Ah melirik Woo Hee.
“Mengapa pula aku harus kesal? Tapi, sudah berapa lama engkau menikah? Sudah punya anak?” Woo Hee heran, mengapa pula ia harus bertanya.
“Aku sudah 20 tahun menikah dan punya anak yang sangat pintar”, Woo Hee nyaris terlonjak dengan jawaban itu. Ia melupakan mata nakal Pangeran Baek Ah yang mengerlingnya diam-diam. “Ya, benar. Ada seorang istri, ia istri ayahku, yang berarti ibuku. Sekarang sedang menungguku, jadi aku harus pulang”, tawa Pangeran Baek Ah nyaris meledak, tetapi ia masih mampu menahan diri.
Wajah penari pedang itu tampak lebih cantik, manakala kesal, karena tahu Pangeran  Baek Ah sengaja memebuatnya cemburu. Tanpa sadar ia terpancing. “Ternyata engkau mudah tertipu dan percaya begitu saja.O ya, latihan memang penting, tapi jangan sampai terluka”, Pangeran Baek Ah meninggalkan penari pedang itu dengan langkah ringan, ia melihat senyum manis pada bibir indah semerah delima. Tampaknya pintu hati  Woo Hee mulai terkuak.  
                                       ***
Sebuah buku Karya Mencius tergeletak di atas meja, Pangeran Wang Eun melihatnya, ia  merasa sang istri, Park Soon Duk tengah menguji kepintarannya. “Apakah engkau yakin, aku sudah pernah membaca buku itu?”Pangeran itu bertaruh, ia mengulurkan tangannya.
“Tangan ini milikku sekarang”, Park Soon Duk mencoret tangan suaminya dengan tinta, Wang Eun pun meminta buku berikutnya.
Beberapa saat kemudian wajah Pangeran Wang Eun penuh sudah dengan coretan berbentuk bulat, bahkan di hidung. “Engkau bisa mencoret  semuanya sampai puas, bahkan tangan, kaki, leher seluruh tubuh”, Pangeran Wang Eun pasrah. Akan tetapi, ketika Park Soon Duk ingin mencoret tangan kanan sang suami. Pangeran ke-14 menolak, “Tangan yang ini milik Hae Soo”, Pangeran Wang Eun menyebut kembali nama itu. Park Soon Duk memperlihatkan wajah asam kemudian menunduk.
Pangeran ke-14 menyadari kesalahannya, ia perlu mendekati Park Soon Duk untuk memastikan  sang istri tidak menangis. Akan tetapi, putri jenderal itu tiba-tiba melihat sebilah benda tajam dan mematikan, melayang ke arah Pangeran Wang Eun, sigap ia segera bergerak melindungi Pangeran ke-14, mendorongnya ke atas meja. Ternyata sebilah pisau melayang dengan gerakan cepat, memutuskan ikatan rambut Park Soon Duk. Pangeran Wang Eun gugup menyadari Park Soon Duk kini berada di atasnya dengan rambut terurai. Apa yang berlaku?
Jenderal Park tampak tegap berdiri, masih dengan tangan sigap  melayangkan sebilah pisau. Ternyata putri tercinta tidak mengalami cidera, selamat dari lemparan pisau yang mematikan itu.”Mengapa wajah pangeran seperti itu? Mengapa pula  harus berbaring di atas meja?”jenderal itu bertanya, ia sengaja mengejutkan pasangan suami istri kerajaan dengan serangan yang mematikan. Ia adalah seorang panglima perang, benarkan Park Soon Duk menikah dengan seorang pangeran yang mampu melindungi atau sebaliknya?
“Pisau itu sungguh mengejutkan!” Park Soon Duk tak dapat menyembunyikan rasa marah, karena kesengajaan yang dapat mematikan.
“Mengapa harus terkejut dengan hal yang kecil, bagaimana seorang pangeran bisa bertahan dengan kehidupan yang sangat keras?”    suara Jenderal Park tanpa sedikitpun merasa bersalah.
“Apakah ada yang terluka, aku akan meniupnya?” Park Soon Duk tak dapat memungkiri, betapa ia amat menyayangi  pangeran ini. Betapa ia tengah melewatkan saat-saat bahagia bersama seorang yang dicintai, dan ia bisa melakuka apa saja.
Seperti seorang kanak-kanak Pangeran Wang Eun terbangun, “Tanganku sakit, tiup-tiup…” maka Park Soon Duk pun meniup tangan Pangeran Wang Eun, seolah tiupan itu dapat meredakan rasa sakit.
Jenderal Park melonggo, ia harus melihat kenyantaan, putri tercinta menjalani kehidupan  berbeda dengan pasangan  yang lain. Bukan pihak laki-laki melindungi perempuan. Akan tetapi, sebaliknya pihak perempuan melindungi laki-laki. Mengapa pula Park Soon Duk berbahagia dan mencintai laki-laki seperti ini?  
                                      ***
Pangeran Wang Yo menemui Putri Yeon Hwa, ia berharap sesuatu ketika memberikan sebentuk cincin emas sambil berjanji, “Nanti bila menjadi raja, akan kuceraikan istri-istri yang lalu. Aku akan menikahimu”, hati pangeran itu bergetar ketika  menatap wajah cantik sang putri.
“Ayah mertuamu adalah  Perdana Menteri Park Young Gyu. Haruskah kupercaya janjimu?”Putri Yeon Hwa terlalu pintar untuk sekedar tertipu.
“Park Young Gyu sebenarnya  berasal dari Hubaekje. Aku hanya membutuhkannya sampai menjadi raja. Setelah itu, dia hanya seorang penghambat”, Pangeran Wang Yo mengenggam lembut jemari Putri Yeon Hwa memasangkan cincin emas berkilau bertahtakan batu mulia. “Sebenarnya aku bisa menebak kelemahan seseorang, kemudian melihat sisi gelapnya. Apakah engkau  tidak menyadari, betapa sesungguhnya kita adalah pasangan yang sempurna?” Pangeran Wang Yo selalu memiliki alasan merayu adik Pangeran Wang Wook. Tak lama berselang Pangeran Wang Wook mendekat, sesaat ia terhenyak. Pangeran Wang Yo tahu apa  yang harus dilakukan, ia segera melepaskan genggaman tangan Putri Yeon Hwa dan kembali duduk. Ia tak mengira Pangeran Wang Woo akan datang pada saat seperti ini.
“Mengapa harus datang mendekat? Tidakah kita harus merasa cemas bila muncul pembicaraan yang tidak semestinya? Lebih baik kita tampak seakan musuh yang saling bertentangan”, Pangeran Wang Wook dapat  mencium bahaya dengan kehadiran Wang Yo di tempat ini. Ia telah menyangkal Yeon Hwa, tetapi tetap berkewajiban melindunginya.
“Jangan khawatir, aku bukan datang ke tempat ini untuk menemuimu, tetapi  Yeon Hwa. Sepuluh titah ayahanda raja memberiku hak untuk itu. Atau, bagaimana kalau kita  menyerang Yang Mulia Raja sekarang daripada harus menunggu? Jika Putra Mahkota berhasil menduduki takhta, semakin sulit bagi  kita menyerangnya”, wajah Pangeran  Wang Yo menjadi sangat pongah.
“Mungkinkah seorang putra menyerang ayahnya apabila ia memiliki hati nurani?” Pangeran Wang Wook membantah.
“Kalau seorang ayah tak segan membunuh anaknya, mengapa seorang anak  tak bisa menyerangnya kembali?” Pangeran Wang Yo tak mau kalah. Pangeran Wang Wook terdiam tak dapat menyembunyikan keterkejutan, Pangeran Wang Yo mengerling tersenyum licik, “Ah, tidak aku hanya sekedar bercanda. Jangan lupa janjimu untuk mendukungku, bukan Putra Mahkota”, Pangeran Wang Yo mengingatkan kesepakatan itu.
“Aku pasti mendukungmu”, Pamgeran Wang Wook memberi kepastian. Maka Pangeran Wang Yo pergi dengan sikapnya yang sombong.
“Mengapa bukan engkau yang berusaha menjadi raja, bahkan bertindak sebagai pion?”Yeon Hwa menyesali sikap Pangeran Wang Wook, ia sangat mengasihi saudara tua satu ayah dan satu ibu.
“Bila seorang pangeran membunuh Putra Mahkota, maka raja yang bertahta berikutnya akan menjadi pengkhianat”, Pangeran Wang Wook memiliki alasan.
“Akan tetapi lain cerita, jika pengkhianat menggantikan pengkhianat, maka dia akan menjadi pahlawan”, Putri Yeon Hwa tetap memiliki celah bagi Wang Wook.
“Keputusan yang baik saat ini adalah untuk sementara kita menjadi pion Wang Yo Hyungnim. Pion yang sangat setia”.
“Lalu bagaimana kalau dia mengkhianatimu ?” Putri Yeon Hwa bertanya.
Pangeran Wang Wook segera menatap cincin yang melingkar pada jemari lentik Putri Yeon Hwa, tergesa sang putri menutupi.“Engkau bisa membantuku”, Pangeran Wang Wook tahu jawaban yang tepat untuk itu. Putri Yeon Hwa tampak bingung, apa maksud kata-kata Wang Wook.
“Sebentuk cincin yang indah berkilau, sangat sesuai di  jari manismu. Kita rekan kerja, mungkin engkau adalah jaminan, atau entah apa namanya, apapun anggapanmu.  Kita saling berhutang dalam jumlah yang amat besar, engkau harus melunasinya”, Pangeran Wang Wook memberi tekanan pada suaranya, mengingatkan kejadian setahun  yang lalu ketika ia harus melempar tusuk konde hingga seorang dayang terbunuh untuk melindungi adinda. Putri Yeon Hwa diam membisu, udara terasa lebih dingin menggigit pori-pori.
                                            ***
Jauh dari dinding megah istana raja dengan taman yang indah bermekaran aneka warna bunga. Para pelayan sedang mencuci baju di sungai, memukulnya mengunakan batang kayu, tampak pula di antara para pelayan adalah Hae Soo. Dua orang pelayan membuka percakapan, “Aku sangat kagun pada  Pangeran ke-8”.
“ Pangeran ke-4 kabarnya memenggal perompak semudah orang memetik bunga dan Raja menjadikannya jenderal. Mungkinkah  merasa Pangeran ke-4 akan menjadi raja?” pembantu yang lain bertanya.
“Bagaimana kalau Pangeran ke-8? Bukankah ia juga dekat dengan Raja? ” pelayan yang menyukai Pangeran Wang Wook bertanya,
“Maka banyak keluarga berkuasa yang memiliki anak perempuan ingin menikahkan dengan sang pangeran”, ucap pelayan lain.
Hae Soo hanya mendengar, ia lebih mengenal semua pangeran dari pada semua pembantu. Akan tetapi, apa bedanya? Ia hanya seorang budak, ia tak mampu lagi memikirkan Pangeran Wang Wook.
“Hae Soo, bukankah engkau pernah bekerja di Damiwon dan pasti pernah melihat para pangeran? Siapa yang paling rupawan dan paling tampan di antara mereka?” seorang pelayan bertanya. Hae Soo terdiam, perlukah ia menjawab?
“Hei... apakah engkau tak mampu mendengar? Engkau tuli?!” pelayan itu kesal.
“Lebih baik tak usah membicarakan para pangeran, atau kita akan mendapat persoalan”,  hambar suara Hae Soo, mengingat Pangeran Wang Wook terasa  menyakitkan, harapan indah itu akhirnya berkeping menjadi pecahan kaca.
“Maksudmu pelayan pencuci baju seperti kita tak boleh menyebut nama pangeran? Engkau diusir dari Damiwon. Jangan kira engkau lebih baik dari pada kami”, suara itu mulai diliputi kemarahan.
“Aku hanya sampaikan, jaga perkataan kalian”, nada suara Hae Soo tak berubah. Ia telah mengerti kehidupan seorang pangeran tak seindah penampakkannya. Mereka terikat aturan, kebijakan seorang raja yang mutlak berkuasa, sehingga dapat berbuat apa saja.
“Wah, ia bahkan tak mau membiarkan kita membicarakan seorang pangeran.  Aku pernah menyuruhnya menggambar wajah Pangeran ke-4, tetapi dia malah merobek kertasnya”,  seorang pelayan yang lain menyatakan kekesalannya. Hae Soo pura-pura tak mendengar, ia mengemasi pakaian kotor yang sudah selesai dicuci dan  bersiap pergi.  
Salah satu pelayan dengan sengaja menghalangi langkah kaki Hae Soo yang terpincang-pincang. Gadis malang itu tak bisa menahan amarah, menatap si pelayan dengan mata melotot. Sebagai jawaban wajah Hae Soo segera dilempar dengan pakaian kotor, “Kamu cuma sampah, cuma sampah!!”kata-kata itu tajam dan menyakitkan.
“Sudah kukatakan, hentikan!”  Hae Soo melempar kembali pakaian kotor ke wajah semula.
“Aku dengar engkau yang menyebabkan kepala Damiwon dihukum gantung. Kami semua tahu kalau Sanggung Oh meninggal, karena engkau. Dasar pembawa sial. Semua berkata. engkau membawa nasib sial terhadap semua orang di dekatmu. Aku tak tahan melihatmu!” seorang pelayan melempar kembali pakaian yang sudah dicuci Hae Soo ke sungai.
Pada saat yang sama Pangeran Wang Wook dan Pangeran Wang Jung tengah berjalan tak jauh dari Hae Soo mengerjakan tugas selaku budak, dan diperlakukan buruk oleh semua pelayan. Dengan sengaja pelayan itu membiarkan Hae Soo turun ke dalam sungai, dengan kaki yang pincang, berusaha menyelamatkan pakaian sebelum hanyut. “Pasti segar sekali rasanya …” pelayan yang lain tertawa mengejek. Sekali ini Hae Soo tak mampu banyak berucap, di dalam istana ia dicintai para pangeran. Akan tetapi, jalan hidup berkelok mengerikan. Kini ia cuma seorang budak yang dapat diperlakukan  semena-mena, ia tak mampu membela diri sendiri.
Pangeran Wang Jung sangat berharap, Pangeran Wang Wook akan melakukan sesuatu untuk membela Hae Soo, namun  harapan itu kandas ketika ia melihat Pangeran ke-8 hanya diam dengan raut wajah tak menunjukkan perasaan. Benarkah rasa cinta pangeran itu kini tak lagi bersisa? Pangeran Wang Wook bahkan melangkah pergi, seolah ia tak pernah melihat apa-apa.Kedua pangeran itu kembali masuk istana, Pangeran Wang Jung segera  mengejar saudara satu ayah yang tak mengucap sepatah kata. Ia harus mendengar satu alasan, “Mengapa engkau pergi tanpa sepatah kata?” Pangeran Wang Jung bertanya.
“Engkau salah mengambil jalan atau sengaja memperlihatkan keadaan Hae Soo?”Pangeran Wang Wook balik bertanya. Ia tak akan  menyangka setelah perjalanan yang cukup panjang harus melihat Hae Soo dalam keadaan yang menyedihkan. Dimana gadis bangsawan secantik peri, mengenakan han bok berwarna indah berlapis pakaian hangat, membalikkan badannya dengan luwes seolah peri yang turun dari langit bersama lembut butiran salju yang melayang jatuh? Dimana? Seakan ada pecahan kaca yang melukai relung hati, mestikah Wang Wook  menyatakan perasaan terdalamnya kepada Wang Jung? Bukankah setiap orang berhak memiliki rahasia?
“Terhitung hari ini, sudah hampir satu tahun. Benarkah engkau akan tetap diam, membiarkannya tinggal di sana?” Pangeran Wang Jung tak percaya Wang Wook tega bersikap diam saat Hae Soo harus tersungkur dalam keadaan yang paling menyengsarakan.
“Dia pelayan, pencuci pakaian di Gyobang, adalah pekerjaan terendah di kerajaan. Mengapa pula aku harus peduli?” sikap Pangeran Wang Wook terlalu dingin
“Aku tahu segalanya. Engkau mencintai Hae Soo. Ada alasan penting?” Pangeran Wang Jung berusaha mengerti sikap Pangeran ke-8?
“Yang Mulia Raja telah mengusirnya, haruskah aku mati demi seorang budak? Mungkinkah Wang Wook menentang Yang Mulia Raja? Engkaupun harus berhati-hati,  istana  adalah tempat ketika satu kesalahan bisa menyebabkan siapapun terusir”, Pangeran Wang Wook menasehati pula adinda. Seorang pangeran benar berlumuran kemuliaan hidup, akan tetapi harus membayar kemuliaan itu, termasuk melepas satu-satunya wanita yang dicintai, karena ketakutan akan hukuman Yang Mulia Raja.
Di depan Pangeran Wang Jung, Pangeran Wang Wook memilih “diam”, ia tak akan mengijinkan seorangpun mengetahui perasaan sesungguhnya akan Hae Soo, tidak pula Wang Jung. Ia memiliki saat tersendiri untuk menyatakan sikap. Hari itu Pangeran Wang Wook kembali ke tempat yang sama di tepi sungai, hatinya teriris ketika melihat bayangan Hae Soo terduduk seorang diri dengan sepiring nasi yang sudah mengering. Demikiankah menu makanan gadis itu kini? Di pihak lain hati Hae Soo seakan membatu ketika melihat bayangan Pangeran ke-8 berkelebat mendekat. Pantaskan ia bertemu dalam keadaan seperti ini?  Bukankah pangeran itu telah melupakan, seakan menjilat janjinya kembali, karena ketakutan akan hukuman seorang raja?  Ketakutan terusir dari megah dinding istana.
“Apakah kakimu masih sakit? Wang Jung pernah sampaikan sudah  mengirim obat”, Pangeran Wang Wook bertanya, sepasang mata pangeran tampan itu berubah seakan lapisan kaca yang siap berkeping-keping. Ia telah meninggalkan gadis ini dalam keadaan paling hina, andai kedua tangannya yang “rapuh” masih dapat meraihnya.
“Kakiku akan terasa sakitnya kalau terlalu lama bekerja atau  terendam air, tapi aku baik-baik saja”, tatapan mata Hae Soo sama dinginnya dengan sebongkah es, mengapa ia harus bertemu kembali dengan Pangeran Wang Wook setelah nyaris satu tahun terlupakan.
“Engkau pasti sangat marah dan membenciku? Aku mengingkari janji, sama seperti menjilat ludah kembali. Pahit menerima kenyataan, ternyata aku hanya seorang yang tak berdaya, baru kali ini bisa menemuimu dan tak bisa melakukan apa-apa. Kematian Sanggun Oh menyebabkan Yang Mulia Raja murka, ia  kehilangan seorang wanita yang dicintai. Aku terlalu pengecut untuk membawamu kembali ke istana, terlebih meminta ijin Yang Mulia untuk pernikahan itu”, suara Pangeran Wang Wook terlalu lemah, nyaris terbawa angin. Benar ia adalah seorang pangeran, cendekiawan Goryeo, tetapi apa arti semua ini? Ia harus kehilangan seorang yang dicintai. Kekuasaan Yang Mulia Raja mutlak adanya, tanpa ijinnya, ia hanya bahkan tak mampu menentukan takdir dengan  kedua tangan. Ia tak lebih dari seorang manusia biasa yang tanpa daya.  
“Pernahkah untuk sekali engkau merindukanku?” suara Hae Soo tak kalah lemah, ia telah kehilangan segala-galanya, harapan untuk hidup bahagia dengan pangeran impian telah lama berkeping tanpa sisa. Kali ini budak malang itu masih mampu membendung air mata. Ia hanya seorang yang tersisih, teramat dekat dengan tiang gantung.
“Setiap hari, setiap saat aku merindukanmu”, Pangeran Wang Wook tidak  berbohong, sepeninggal Hae Soo hampa selalu menyergapnya. Kiranya nasib seorang pangeran mutlak berada di tangan seorang raja, pernikahan dengan Hae Soo telah lama berubah  menjadi impian sirna yang akan segera lesap ditelan masa.
“Kalau benar demikian, berarti semua baik-baik saja. Kerinduan cukup sudah bagiku”, terlalu pedih bagi Hae Soo untuk kehilangan. Lebih menyakitkan lagi adalah dikunjungi, tetapi jarak tetap meregang semakin jauh tak terukur. Ia bukan hanya tidak berdaya, tetapi tidak berarti apa-apa.
“Anggaplah semua akan baik-baik saja. Nanti bila telah kucapai kekuasaan itu ....” Pangeran Wang Wook masih memiliki satu celah untuk mendapatkan kembali Hae Soo dengan satu cara yang ia pernah tidak menginginkannya. Akan tetapi, sebelum selesai berucap, Hae Soo telah memotong.
“Tidak perlu bekerja terlalu keras hanya demi seorang budak. Tidak perlu membahayakan diri, sudah cukup kusaksikan semua ini”, Hae Soo tak yakin dengan segala janji dan ucapan Pangeran Wang Wook. Lidahnya terasa hambar, demikian pula perasaan hati, ia ingin menatap wajah tampan Pangeran Wang Wook, tetapi kelopak mata seakan menolaknya.
“Kuharap engkau selalu sehat, jangan membuatku merasa  menyesal dan bersalah”, Pangeran Wang Wook harus tahu arti tak berdaya serta kehilangan martabat di depan seorang yang dicintai. Terlahir sebagai seorang pangeran ternyata tak semulia seperti  yang pernah dibayangkan. Seorang pangeran hanya pion yang dapat dikorbankan di bawah mutlak keuasaan seorang raja. Langkah Pangeran ke-8 gontai ketika melangkah pergi, ia tak pernah lagi menoleh,ia merasa kalah. Sementara Hae Soo menatap punggung pangeran itu dengan beribu kata tak terucapkan. Ia tak tahu bagaimana harus menyusun kata-kata untuk mengungkap kesedihan dan kehilangan dalam waktu yang sama.
                                      ***
Pangeran Wang So akhirnya kembali bersama Panglima Park setelah mengerjakan perintah Yang Mulia Raja untuk memantau keadaan di Dinasti Jin. Pangeran ke-4 kembali mengenakan topeng tanpa harus merasa berkecil hati, ia telah tahu bagaimana harus melepaskan topeng itu kemudian menampakkan wajahnya yang rupawan. “ Gaozu meninggal,  keponakannya yang bernama Chundi menggantikan kedudukannya. Sepertinya mereka akan melawan Kitan untuk perebutan wilayah, tetapi kepastian akan kedudukannya sekarang dipertanyakan”, demikian Pangeran Wang So melapor.
“Aku pikir sepertinya Dinasti Jin takkan berhasil. Berarti Kitan semakin berkuasa sekarang. Jadi pergilah dan mata-matai Khitan”, Yang Mulia Raja memberikan perintah selanjutnya.
“Saya tidak pernah keberatan dengan perintah apapun. Akan tetapi, maaf sekali Yang Mulia Raja mengingkari janji saat saya pergi mengerjakan perintah.Dengan berat hati untuk sekali ini saya tidak mampu mengerjakan”, nada suara Pangeran Wang So  terdengar meninggi.
“Engkau masih mengingat gadis itu? Seorang raja harus mampu meninggalkan siapa pun demi negerinya! Bersyukurlah, karena aku telah mengusirnya pergi!”suara Yang Mulia  Raja bernada serupa.
“Saya bukan raja dan tidak akan menjadi raja. Benar Putra Mahkota membutuhkan sebagai sekutu, tetapi saya sebenarnya menginginkan kebebasan. Setiap orang berhak hidup selayaknya manusia”, kata-kata Pangeran Wang So tegas.
Ketegasan yang  menyebabkan Raja Taejo nyaris terlonjak dari singgasana, ia tak menyangka Wang So berani menyangkal perintah, karena alasan seorang gadis.Wajah tua itu terdiam ketika Pangeran Wang So berlalu meninggalkan ruangan tanpa rasa takut.
“Anak-anak memang suka membangkang, mengira tahu apa yang terbaik bagi dirinya, jangan terlalu khawatir. Yang Mulia harus menjaga kesehatan”, Panglima Park mencoba menenangkan Yang Mulia.
“Dia seharusnya bersikap seperti itu dari awal, ”, akhirnya Yang Mulia Raja tersenyum. Ia telah berumur dan mampu menilai sosok yang akhrinya mampu duduk di singgasana. Adalalah seorang pangeran yang mampu menentukan sikap. Panglima Park dan Choi Ji Mong saling berpandangan, binggung, keduanya mengira Yang Mulia Raja akan marah, tetapi yang terjadi sebaliknya.
“Sekarang dia bisa melawan dan mengalahkan siapa pun. Dia harus seperti itu supaya aku bisa mati dengan tenang”, Raja Taejo Wang Geon meneruskan kata-kata, ia mulai dapat melihat masa depan Goryeo.
“Saya bisa melihat bintang Yang Mulia masih bersinar terang. Mengapa harus berucap tentang kematian?”Choi Ji Mong diam-diam mulai  merasa kehilangan. Semua raja akan berpulang, apa  yang akan terjadi bila Raja Taejo benar-benar pergi selamanya? Bukankah ia akan  kehilangan pula seorang pemimpin?
“Terkadang  seseorang telah menyadari takdir hidupnya, sebelum segalanya terjadi. Bersiaplah untuk segala  kemungkinan”, setelah nyaris terlonjak dari singgasana, kali ini nada suara Yang Mulia Raja terdengar bisa tenang. Putra Mahkota tak akan tergeser dari kedudukannya.
                                       ***
Di tempat berbeda Hae Soo menjalani hari-hari yang tak pernah terbayangkan sebelumnya selaku tukang cuci istana. Ia tengah menjemur seprai di bawah matahari, antara percaya dan tidak tiba-tiba ia melihat sosok Pangeran Wang So terduduk di balik seprai yang melambai, karena tertiup angin. Ketika terus menatap untuk membenarkan penglihatan, ternyata sosok Pangeran ke-4 telah tiada. Hae Soo  menghela napas panjang, ia telah melihat bayangan seorang yang lama tak pernah bertemu terlebih bercakap-cakap.
Sesaat kemudian  sepasang mata Hae Soo membelalak lebar, seluruh tubuhnya seakan kaku, ia tidak sedang bermimpi, ia tidak tahu harus tertawa atau mengaduh.  Pangeran  Wang Soo kini berdiri tepat di sampingnya.“Engkau tak pernah menuruti kata-kataku untuk tetap tinggal di Damiwon. Mungkin, karena engkau lebih sesuai menjadi pekerja kasar dari pada  dayang istana”, pedih hati Pangeran Wang Soo melihat nasib Hae Soo kini, seorang gadis bangsawan yang secantik peri, tetapi  harus menjalani hari-hari kelam, karena menolak perintah seorang raja. Kekuasaan Yang Mulia Wang Geon sedemikian mutlak, ia  berkuasa secara menyeluruh menjungkir balikkan nasib seseorang, termasuk nasib seorang gadis tanpa daya, kecuali kemauannya yang keras. “Aku selalu merindukanmu, seharusnya engkau tak boleh ada di tempat ini”, Pangeran Wang Soo memeluk tubuh ramping Hae Soo dari belakang.
“Akan lebih baik andai pangeran berpura-pura tidak melihatku”, dengan santun  Hae Soo melepaskan pelukan Pangeran Wang Soo.
“Engkau tak berubah, tetap secantik seperti pertama kali saat bertemu”, Pangeran Wang So tidak berbohong, kali ini Hae Soo tak  lagi mengenakan pakaian seorang dayang atau gadis keturunan bangsawan. Ia  hanya seorang pekerja kasar yang malang, tetapi Wang  So melihat jauh hingga di kedalaman hati. Betapa lembut dan tulus hati gadis ini.
“Mengapa kembali mengenakan topeng? Pangeran terlupa dengan tata rias wajah? Apakah bekas luka semakin parah? Bukankah pangeran membenci topeng? Mengapa?” tiba-tiba Hae Soo sadar dengan topeng yang menutupi wajah rupawan itu.
“Sengaja kukenakan topeng supaya  takkan melupakanmu. Aku selalu ingin pulang dan melihatmu kembali”, perlahan Pangeran Wang Soo melepaskan topeng, wajahnya tetap rupawan tanpa bekas luka.
“Saya bukan lagi dayang Istana Damiwon, tapi pencuci pakaian di Gyobang. Saya tak pantas bertemu seorang pangeran. Yang Mulia telah kembali dengan selamat, saya baik-baik saja.Semuanya baik-baik saja”, Hae Soo merasa lega setelah melihat wajah di balik topeng, ia tertunduk kemudian melangkah pergi.
Pangeran Wang So mengejar dan menarik Hae Soo, percakapannya belum selesai, tetapi Hae Soo melawan. “Lebih baik menjauh, tidak berada di tempat ini”, pelayan itu  menyatakan sikapnya.
“Engkau harus ikut bersamaku. Aku  akan bertanggung jawab untuk semuanya”, Pangeran Wang So tak perlu  menyerah.
“Tinggalkan saya. Saya  di sini, karena tak bisa hidup atau mati. Saya menyebabkan semua persoalan, Sanggung Oh dihukum gantung. Kehidupan istana ternyata menakutkan, saya harus melupakan  semuanya dengan  bekerja  keras di tempat ini”, suara Hae Soo lebih menyerupai jeritan. Pangeran Wang So terdiam, mengapa harus keduanya bertemu dengan percakapan seperti ini?
“Seorang pangeran tak perlu peduli dengan nasib seorang budak”, Hae Soo mengakhiri jeritan dengan nada suara semakin merendah, nyaris berbisik. Akan tetapi, Pangeran Wang So tak peduli, ia tak  perlu mendengar segala jeritan dan ucapan Hae Soo, ia terus berjalan mendekat.
“Aku akan menjagamu sama seperti kau pernah menolongku. Aku akan membantumu melupakannya tanpa harus bekerja keras”, tegas kata-kata Pangeran Wang So, ia tak akan merelakan Hae Soo bertindak sesuai dengan malang nasibnya.
“Saya mohon, jangan mengesampingkan kewajiban seorang pangeran, karena seorang yang malang. Haruskan saya katakan? Orang yang paling ingin saya hindari adalah Pangeran ke-4. Tiap kali kita bertemu maka ingatan buruk itu muncul lagi. Pergilah, saya baik-baik saja, masih mampu bertahan di tempat ini.  Kalau ada satu permintaan, hiduplah dengan tenang, jangan membenci atau menyimpan dendam. Lupakan segala yang harus dilupakan. Maka, tak seorangpun akan terluka”, tanpa menunggu jawaban Hae Soo berjalan pergi, tanpa pernah menoleh lagi. Kali ini Pangeran Wang So terdiam, ia mencoba menyangkal kebenaran kata-kata Hae Soo, tetapi pelayan itu benar  telah mengatakannya.
                                      ***
Setelah hari-hari  yang panjang dan teramat “mengerikan” akhirnya Hae Soo sampai pada sebuah ruangan, ia duduk terdiam dihinggapi beribu pertanyaan. Kenyataan hidup berbalik dan berubah sedemikian cepat di  luar kemampuan nalar manusia. Beberapa saat yang lalu ia terbuang amat jauh dari megah dinding istana. Kini sebuah suara kembali memanggilnya, mengapa? Sebatang lilin menyala, cahayanya redup melawan gelap. Di depan gadis itu, si ahli bintang Choi Ji Mong datang, menatapnya.Ia tak mampu berucap, sorot matanya sayu dan penuh permohonan. Ia harus melakukan sesuatu bagi seorang yang dihormatinya, Yang Mulia Raja Taejo Wang Geon. Semula Hae Soo menatap kehadiran itu dengan binggung, mengapa Choi Ji Mong harus menemuinya di malam hari? Akan tetapi, ia tidak harus merasa bingung terlalu lama. Ahli bintang itu harus melakukan yang sebenarnya.
Di peraduannya yang terasa dingin dan sunyi Yang Mulia Raja berbaring dengan wajah pucat, seorang tabib tengah memeriksanya. “Yang Mulia tak usah merasa cemas, saya tahu bagaimana sebenarnya kesehatannya”, seorang tabib mengira dirinya selalu tahu kesehatan seorang raja. Atau ia lebih baik tak mengucap lebih santun demi kesehatan itu sendiri. Tak lama kemudian tabib itupun pergi berlalu, meninggalkan Choi Ji Mong bersama seorang raja di kamar itu.
Choi Ji Mong menuangkan teh kemudian mengulurkan kepada Yang Mulia Raja, “Adalah ramuan teh terbaru  dari Damiwon”.
“Tak ada yang kusuka. Aku tidak ingin makan dan tidak ingin pula minum”, Raja Taejo memejamkan mata, setahun sudah ia berusaha mengusir wajah itu, wajah cantik Sanggung Oh. Seorang berhati mulia yang rela mengorbankan diri bagi seorang anak yang tak pernah dilahirkan. Akan tetapi, semakin ia berusaha mengusir, semakin wajah itu membayang. Ia telah mengambil keputusan mengerikan untuk menyelamatkan seorang wanita serakah, Ratu Yoo. Tragedi hidup kiranya bukan kematian, tetapi penyesalan. Tatapan tak berdosa Sanggung Oh menikamnya bagai belati, pedih dan menyakiti. Ia sungguh harus menelan  mentah-mentah arti rasa kehilangan seorang yang dicintai.Kali ini ketika Choi Ji Mong  mengulurkan secangkir teh, wajah cantik Sanggung Oh semakin membayang. Sang raja tahu, rasa kehilangan membuatnya tak  berdaya. Tak  berdaya.     
“Seorang dayang meracik teh yang berbeda. Setidaknya Yang Mulia berkenan menghirup aromanya”, kali ini Yang Mulia Raja tak mengelak, ia menghirup aroma wangi kemudian rasa teh yang istimewa yang tak pernah diteguk dalam satu tahun terakhir ini. Tiba-tiba ia merasa nyaman, seteguk teh hangat ternyata mampu menjawab kerinduan akan Sanggung Oh.
“Anak itu yang meracik teh ini?” Yang Mulia Raja bertanya, mestinya ia marah, karena Choi Ji Mong mengijinkan Hae Soo  meracik teh bagi seorang raja tanpa sepengetahuannya.  Akan tetapi, mengapa pula ia harus marah? Bukankah kerinduan akan Sanggung Oh terobati setelah ia meneguk teh ini? Wang Geon tahu, ia tidak harus selalu menjauhkan Hae Soo dari dinding istana.
“Maafkan, saya hanya ingin melihat Yang Mulia dapat makan dan minum seperti semula”, Choi Ji Mong sudah bersiap menghadapi kemarahan seorang raja, ia tidak memiliki pilihan lain untuk memulihkan kesehatan Yang Mulia, kecuali menghadirkan kembali Hae Soo di Damiwon untuk meracik teh dengan harapan Raja Taejo mendapatkan kembali semangat dan kesehatan. Ia tahu persoalan yang menyebabkan kesehatan Sang Raja menurun, kematian Sanggung Oh di tiang gantung.
“Panggil anak itu datang kemari”,  jawaban Yang Mulia Raja mengejutkan Choi Ji Mong, ia tidak mendapatkan amarah. Ia melakukan hal  yang benar dengan memanggil Hae Soo ke Damiwon  untuk menyediakan teh bagi seorang raja yang tengah gering --sakit.
***
Putri Yeon Hwa memperhatikan kembali cincin pemberian Pangeran Wang Yo, haruskah ia mempercayai pangeran ini sungguhpun Wang Yo telah menyatakannya? Sang Putri tahu kemana ia  harus pergi, iapun melangkah mengunjungi Pangeran Wang So, dengan lembut ia berucap. “Satu keinginanku adalah menikah denganmu”, kata-kata singkat yang secara tiba-tiba menyebabkan Pangeran ke-4 terkejut bagai disengat kalajengking.
“Apakah aku tidak salah mendengarnya?” Pangeran Wang So menatap wajah jelita Putri Yeon Hwa seakan tengah berhadapan dengan seorang asing.
“Selama ini aku selalu berpikir, apa sebenarnya yang kuinginkan. Walaupun terlahir sebagai sebagai seorang putri, menerima kasih sayang Yang Mulia Raja dan para pangeran. Akan tetapi, masih ada yang kurang, aku tak pernah puas. Ketika semua keluargaku diasingkan, akhirnya aku sadar. Ternyata aku memerlukan kekuasaan. Satu hal yang bisa memuaskan  keinginanku adalah tahta”, Putri Yeon Hwa bertindak ceroboh, mestinya ia tidak pernah menampakkan keinginan diri di depan seorang yang belum tentu menghendaki perkawinannya.
“Apakah engkau mengira aku adalah orang yang engkau inginkan? Mestinya engkau tahu, aku tidak seperti itu, sangat berbeda”, Pangeran Wang So menatap wajah jelita itu dengan segenap penyesalan, Yeon Hwa tak secantik penampilannya. Ia mewarisi sikap Ratu Yoo, ibu tirinya.
“Aku tahu, engkau sangat  berbeda, maka aku menjauhimu. Akan tetapi, ada sesuatu yang terlambat kusadari. Aku seorang wanita, telah lama mencintaimu. Aku ditakdirkan bersama denganmu”, Putri Yeon Hwa sangat berani menyatakan semua isi hati. Ia sadar harus membayar mahal kedudukan selaku putri Goryeo atau ia akan menjadi seorang terbuang. Ia tidak ingin terbuang jauh dari tahta, ia keturunan Yang Mulia Raja Wang Geon, ia  harus memiliki segalanya.
“Saat masih kanak-kanak. ada seorang yang menyampaikan, kalau aku ditakdirkan menjadi raja. Saat itulah  wajahku terluka dan saat itu juga aku tak diperlakukan seperti pangeran, terlebih sebagai calon raja. Apakah engkau masih berucap, kita ditakdirkan bersama?” tidak mudah bagi Pangeran Wang So mempercayai kata-kata Putri Yeon Hwa. Benarkah Sang Putri mencintainya? Atau mengatas namakan cinta untuk mendapatkan perkawinan sekaligus kekuasaan? Dalam hal ini batas antara cinta dan kekuasaan menjadi nisbi.”Adakah engkau juga mengira, aku percaya takdir? Adakah engkau tidak mengira ada seorang yang selalu kuingat?”
“Engkau masih juga mengingat adalah Hae Soo? Masa depanmu akan hancur bila selalu bersama dengan perempuan pembawa sial itu”, di depan mata Putri Yeon Hwa terbayang kembali wajah Hae Soo, seraut wajah yang selalu ingin disingkirkan sangat jauh dari hidupnya.
“Aku bahkan tak punya masa depan  kalau bukan karena Soo.  Tanpa dia, aku  bukan apa-apa”, Pangeran Wang So tak pernah kesulitan berkata tegas, maka Putri Yeon Hwa hanya bisa terdiam.
                                       ***
Choi Ji Mong memenuhi permintaan Yang Mulia Raja dalam jangka waktu tidak terlalu lama, hari itu Hae Soo akhirnya datang menemui Raja Raejo di peraduannya. Tubuh tua itu terbaring lemas dengan lingkaran hitam di seputar mata, pertanda yang sangat jelas dari rasa sakit yang dideritanya.  “Penampilan ini mengingatkanku pada kakek sebelum meninggal. Aku tak tahu tahun berapa Raja Taejo akan meninggal, tetapi umurnya takkan panjang lagi.” Hae Soo bergumam di dalam hati sambil menatap tubuh lunglai itu.
“Engkau pasti berpikir hidupku takkan lama lagi?”Yang Mulia Raja seakan tahu isi kepala Hae Soo. Di pihak lain wajah gadis itu merah seakan pencuri yang tertangkap basah, Raja Taejo dapat membaca pikirannya.
“Sebenarnya dari mana asalmu? Setelah Sanggung Oh meninggal, maka aku mencari tahu semua tentangmu. Mulai dari teman lama dan kerabatmu. Aku bahkan menanyai semua pelayan Wook. Aku hanya bisa menyimpulkan, bahwa kau orang berbeda”, Yang Mulia Raja menghela napas kemudian meneruskan kata-kata.“Perkiraanku engkau sama seperti Ji Mong, engkau tahu masa depan yang tak kami ketahui. Apa engkau tahu Pangeran ke-4 terlahir  dan ditakdirkan menjadi raja?” kata-kata Raja Taejo kembali menyebabkan Hae Soo terhenyak. Kiranya Yang Mulia lebih lihai dari segala yang ia tahu, mata tuanya bisa membedakan siapa dirinya yang sejati. Ia tengah berhadapan dengan seorang raja besar, tiba-tiba Hae Soo kehilangan kata-kata, ia merasa tidak pantas menjawab setiap pertanyaan Sang Raja.
“Putra Mahkota Moo dan Wang So, keduanya memang ditakdirkan menjadi raja. Akan tetapi, tak ada orang tahu apa yang akan terjadi di istana ini? Engkau pasti tahu segalanya, karena memang sudah tahu. Satu hal, jangan pernah membuat dirimu terlibat”,  akhirnya Yang Mulia Raja mengatakan hal yang harus dikatakan. Ia tak pernah menemukan satupun gadis di Goryeo dengan penampilan dan keberanian seperti Hae Soo, satu sosok yang tidak akan pernah terbangun pada diri gadis di zaman ini. Kesimpulannya adalah Hae Soo berasal dari suatu masa yang belum lagi tiba, suatu hal mustahil tetapi nyata terjadi di depan mata.
“Tidak bisakah Yang Mulia memerintah saya pergi jauh dari istana? Saya tak yakin dengan kemampuan bertahan hidup di tempat yang megah ini”, Hae Soo tak dapat mengendalikan rasa takut. Kehidupan di dalam dinding istana ternyata tidak seindah dongeng pengantar tidur. Tiang gantung sedemikian dekat, bahkan cucuran darah dari luka menganga.
“Tutuplah matamu untuk segala hal yang tak bisa engkau kendalikan. Jika engkau tak bisa mengabaikan apa yang akan terjadi, engkau akan tetap mengalami hal yang sama, dimana pun berada. Jangan hanya menatap pada masa depan dengan mengorbankan apa yang engkau miliki sekarang”, untuk hal yang semacam ini bahkan Taejo Wang Geon masih dapat bersikap bijaksana. “Oh Soo Yeon menganggapmu sebagai putri yang dilahirkan. Maka aku pun akan menganggapmu sebagai putriku, untuk itu aku wajib memberikan saran ”, Yang Mulia Raja merasa perlu menebus segala kesalahan dengan memberikan yang terbaik bagi Hae Soo, seorang yang ia simpulkan bermula dari masa depan.
Hae Soo terdiam  kehilangan kata-kata, ia tak menyangkal kebenaran ucapan Yang Mulia Raja. Sepasang  mata gadis itu  berkaca-kaca, ia terlibat terlalu jauh dalam kehidupan tokoh sejarah Goryeo yang akan tetap tercatat abadi dan selama-lamanya. Seorang raja yang sesungguhnya hanya mencintai satu wanita, Sanggung Oh meski didampingi dua orang ratu serta 27 selir  yang lain. Kini ia bahkan menganggap dirinya sebagai seorang anak. Setelah percakapan selesai, Hae Soo berjalan meninggalkan peraduan. Raja Besar Taejo perlu beristirahat untuk penyembuhan, ia telah mendapatkan tempat istimewa di istana ini. Apa  lagi yang perlu ia tangisi? Sampai di pelataran istana yang luas ia seakan  mendengar sekalian prajurit mengenakan pakaian zirah tengah bertempur, suara pedang saling berbenturan kemudian jenazah bergelimpangan seakan daun kering lerai dari ranting dan dahan.
                                         ***
Woo Hee mulai kembali berlatih, tetapi kali ini tanganya terasa lelah, bilah pedang yang tergenggan jatuh mengenai lengan. Pangeran Baek Ah terlihat panik, “Bagaimana tanganmu?” Sang Pangeran merasa seakan mata pedang melukai pula kulitnya.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja”, gesit Woo Hee menyembunyikan lengannya. Pangeran Baek Ah tak percaya, ia menarik lengan yang indah itu, ternyata mata pedang telah menggoresnya. Pada  lengan itu tampak pula bekas sayatan seperti upaya untuk bunuh diri, Woo Hee langsung menariknya.
“Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa aku tak boleh bertanya?” Pangeran Baek Ah menatap wajah cantik itu dengan segala tanda tanya, penari pedang ini menyimpan misteri. Pertanyaan itu semakin menguat ketika Wo Hee mengelengkan kepala. Ada yang disembunyikan dalam diri penari ini.
“Kalau memelukmu, bagaimana?  Boleh aku melakukanya?” satu hal yang dirasakan Pangeran  Baek Ah ketika berdekatan dengan Woo Hee adalah cinta, ia tak mampu menyangkalnya. Akan tetapi, ada sesuatu –tersembunyi yang menyebabkan Woo Hee kembali mengelengkan kepala. Kali ini Pangeran Baek Ah tak perlu merasa peduli dengan kepala sang penari yang selalu menggeleng. Ia menarik tubuh ramping itu kemudian memeluknya.
“Maaf, aku tak ada di sampingmu dalam keadaan sulit”, kiranya Pangeran Baek Ah layak menyesal.
“Tak perlu minta maaf, semua terjadi sebelum pertemuan ini”, tidak mudah bagi Woo Hee untuk terus menjauhkan diri dari Pangeran Baek Ah, tetapi bagaimana ia dapat melakukan bila jarak semakin dekat. 
“Maka aku semakin menyesal, semua terjadi sebelum mengenalmu. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, berbahagialah dan percaya padaku”, Sang Pangeran sungguh tak ingin melepas pelukan itu, akan tetapi Woo Hee segera melepaskan diri.
“Siapa sesungguhnya dirimu, maka bisa  menjamin semua itu? Aku tak pernah berharap apa pun darimu”, untuk suatu sebab yang tidak diucapkan Woo Hee merasa kesal, ia menyudahi pertemuan ini  kemudian melangkah pergi.
“Heii…tunggu…” Pangeran Baek Ah berteriak memanggil, ia menyesal dengan pertemuan yang singkat, masih ada  banyak hal yang ingin disampaikan kepada penari cantik itu.
Pada selang waktu tidak terlalu lama Hae Soo berjalan ke arah taman, matanya  menangkap sosok cantik penari pedang duduk seorang diri, ia tak keberatan melangkah  menghampiri.”Engkau terlihat kesal dan murung”, Hae Soo  membuka pembicaraan sebelum keduanya duduk bersama.”Apakah terjadi sesuatu pada Baek Ah?”
“Bagaimana engkau mengenal Baek Ah?” Woo Hee balik bertanya.
“Sebelum datang ke Istana, kami berpapasan di pasar, ia mengenal baik kakak sepupuku, demikianlah kami saling kenal”, Hae Soo menjawab cepat.
“Dia sepertinya orang yang baik”, tanpa sadar Woo Hee berucap, setahun perkenalan menyebabkan ia tahu Baek Ah memang  orang yang baik.“Aku tak pernah mengenal saat masih kanak-kanak.  Sekarang  setelah menjadi penari, aku sering bertemu dengannya”, sulit mengelak bagi Woo Hee, dalam satu terakhir ia telah berubah, karena Baek Ah.
“Aku tak tahu saran terbaik, yang kutahu ia datang ke  tempat ini hanya untukmu. Tidak ada alasan menjauhi”, Hae Soo berpesan.
“Terhitung sejak hari ini, kami takkan dekat lagi. Sebentar lagi aku akan pergi”, tak mudah bagi Woo Hee menerima pesan Hae Soo.
“Kemana engkau akan pergi?” Hae Soo menjadi binggung dengan jawabana itu.
“Ingatkah hari pertama saat kita bertemu? Tanpa sengaja kita berdua menjadi dekat,  karena hal yang menyedihkan, tak perlu lagi dipertanyakan mengapa hal semacam itu harus terjadi? Satu permintaan, mulai sekarang  dan seterusnya, tetaplah seperti itu.Kita tidak harus tahu semuanya, dengan demikian engkau takkan kesulitan jika ada sesuatu yang harus terjadi. Besok perkumpulan persahabatan dilaksanakan, apa engkau bersedia meriasku?”ada pesan tersamar dalam kata-kata itu, suatu hal yang tak mudah bagi Hae Soo.
“Engkau akan menjadi gadis tercantik dari Gyobang”, Hae Soo tak keberatan untuk satu hal ini, merias seorang penari pedang yang cantik.
“Esok aku ingin semua orang hanya melihatku dan tak bisa melupakan. Buatlah aku tampil mempesona. Aku ingin diingat seperti itu”, satu permintaan yang tidak sulit, siapakah yang tidak akan melihat sekaligus mengingat seorang penari cantik?
                                ***
Pangeran Wang Yo bertemu secara rahasia  dengan Perdana Menteri Park Young Gyu, suaranya setengah berbisik, “Benarkah gadis itu sudah siap, perkumpulan persahabatan  adalah kesempatan terbaik bagi kita berdua”, tak ada yang tahu bisikan itu kecuali telinga yang  berhak mendengar.
“Gadis itu menyimpan kesusmat dendam kepada Yang Mulia Raja, jangan khawatir”, suara Perdana Menteri Park Young Gyu sama lirihnya.
“Rahasiakan gadis ini dari ibuku. Meskipun membenci Yang Mulia Raja, tapi ibu masih memiliki alasan untuk menyayanginya”, Pangeran Wang Yo selalu memiliki celah untuk meneruskan rencana jahat dalam rangka meraih tahta.  
Langkah selanjutnya Pangeran Wang Yo bersama Pangeran Wang Wook menemui Yang Mulia Raja di ruang tahta. Choi Ji Mong lebih dahulu berucap, “Saya kira lebih baik Yang Mulia Raja tidak harus hadir ke perkumpulan persahabatan. Mohon maaf, Yang Mulia masih tampak pucat”, si ahli bintang tak dapat menyembunyikan rasa cemas. Wajah Raja Taejo sepucat kertas, sementara tubuhnya tampak lemah, meski telah meneguk teh buatan Hae Soo dari Damiwon.
“Benar sekali, bukankah Yang Mulia Raja biasanya tak pernah menghadiri perkumpulan persahabatan?  Kecuali ada keluarga penguasa yang datang. Paman Wang Sik Ryum akan datang, saya dan Pangeran ke-8 bisa menangani. Yang Mulia dapat beristirahat dengan baik”, Pangeran Wang Yo menyetujui pendapat Choi Ji Mong.
“Menurutku, Yang Mulia harus hadir. Tujuan utama perkumpulan persahabatan adalah untuk menunjukkan, bahwa Yang Mulia dalam keadaan sehat. Kehadiran Yang Mulia meski  sebentar akan menyangkal kabar, bahwa Yang Mulia sakit”, Pangeran Wang Wook sengaja menyatakan pendapat yang bertolak belakang.
“Engkau benar, aku tak bisa menunjukkan kelemahan pada mereka. Aku harus hadir pada perkumpulan persahabatan”, suara Raja Taejo terdengar lirih, ia tak mampu menyembunyikan tubuh serta jiwanya yang letih. Pangeran Wang Yo tampak senang dengan kesanggupan Yang Mulia Raja, sepasang matanya berbinar menatap Pangeran Wang Wook . sebaliknya Pangeran ke-8 berbalik menatapnya dengan pandangan dingin membeku,  menahan amarah.
Esok hari acara perkumpulan persahabatan dimulai dengan meriah, semua pangeran hadir mendampingi Yang Mulia Raja. Akan tetapi, Pangeran Wang So mengalihkan perhatian pada hal berbeda, ia menemui Hae Soo, mendekatkan wajahnya, “Bagaimana kalau menikah ?” sebuah pertanyaan tiba-tiba yang menyebabkan Hae Soo terpengarah.
“Kalau kita menikah, engkau bisa meninggalkan istana dan Gyobang. Dengan demikian,  menikah adalah  jalan keluar”, Pangeran Wang So perlu mengucap dua kali untuk meyakinkan gadis impiannya.
“Tak mudah melakukannya”, Hae Soo memilih kata-kata yang tepat.
“Jika engkau tak menyukaiku, setelah pernikahan kita bisa meninggalkan istana kemudian bercerai. Aku mau melakukannya untukmu, lebih baik kita pergi”, Pangeran  Wang So kembali membujuk.
“Terlalu banyak tugas dan kewajiban di istana, pangeran tak perlu pergi  ke tempat ini. Yang Mulia Raja sangat peduli serta mengandalkan Pangeran ke-4, Yang Mulia  selalu mencoba dan menguji anak-anaknya”, Hae Soo masih mampi memilih kata-kata.
“Yang Mulia mengutamakan dirinya menjadi raja bukan ayah. Aku tidak harus berada di sisinya”, Pangeran Wang So memiliki alasan.
“Bagaimana kalau pangeran juga akan menjadi raja? Apakah akan tetap pergi dari Songak?” Hae Soo bertanya, bukankah ia telah tahu jalannya sejarah?
“Jika aku menjadi raja, maukah engkau pergi denganku? Tidak mudah bagiku menjadi utusan, tetapi aku memiliki kelonggaran. Aku selalu memikirkanmu, aku juga memikirkan kebebasanmu. Keinginanku adalah hidup damai bersamamu, tak ada seorang yang dapat mengganggu.Tanpa kehadirannmu, tak akan ada arti hidup bagiku sekalipun takdir membawaku menjadi seorang raja”, dengan yakin Pangeran Wang So mengembalikan hiasan rambut yang pernah diberikan kepada Hae Soo. “Jadi ikutlah bersamaku, bukankah engkau orangku?” Pangeran Wang So tak lelah meyakinkan Hae Soo, namun gadis itu bahkan tidak berminat menerima hiasan rambut, ia menolaknya.
“Bukan suatu hal yang mudah menikah dengan seorang pangeran, terlebih karena alasan  harus meninggalkan istana”, Hae So menyudahi percakapan, melangkah pergi. Langkah itu terhenti, Pangeran Wang Wook telah berdiri di depanya. Tak ada yang harus disampaikan kepada Pangeran ke-8, Hae Soo meneruskan langkah.
Pangeran Wang So berniat mengejar, tetapi Pangeran Wang Wook menahanya dengan tatapan dingin,”Benarkah seorang pangeran berniat menikahi pencuci pakaian, jangan pernah membodohi Hae Soo”.
“Kalau memang ingin menikah, maka aku akan menikah”, Pangeran Wang So melepaskan tangan Pangeran Wang Wook dari dadanya.
“Dia berada dalam bahaya, karenamu. Dia diusir ke sini, karena fitnah terlibat dengan masalahmu dan masalah ibumu. Engkau memulai segalanya, dan sekarang  berniat menikahinya? Engkau kira aku bisa memaafkanmu?”suara Pangeran Wang Wook sinis, ia sungguh terjebak rasa kehilangan teramat dalam, karena kejadian buruk yang menimpa Hae Soo.
“Pernah kusampaikan semua bukti yang menyatakan Hae Soo tidak bersalah, tetapi engkau tidak melakukan tindakan apa-apa. Pangeran ke-8 hanya seorang yang tidak berdaya”, suara Pangeran Wang So tak kalah sinis. Darah Pangeran Wang Wook mendidih, dengan geram ia mencengkeram pakaian  Pangeran  ke-4. Kedua pangeran itu akhirnya saling mencengkeram dalam amarah.
Sementara pertunjukan tarian pedang dimulai, Woo Hee sudah siap dengan sebilah pedang berkilat di tangan bersama penari yang lain. Pangeran Wang Yo dapat melihat kesumat dendam dalam tatapan penari cantik itu saat Yang Mulia Raja  duduk di bangku paling depan. Pangeran Baek Ah memperhatikan persiapan pertunjukan dari arah belakang, Woo Hee akhirnya menyadari siapa sesungguhnya Baek Ah, kali ini ia mengenakan pakaian kebesaran seorang pangeran. Ia tak dapat mengubah rencana, satu hal yang dirasakan ketika menatap yang Mulia Raja Wang Geon adalah kebencian.
Pada sudut berbeda Choi Ji Mong melihat keadaan Yang Mulia Raja semakin lemah, wajah itu tampak semakin tua dan  letih. Diam-diam Choi Ji Mong mengeluh, ia selalu bersiap untuk beragam kemungkinan. Adapun pertunjukan tari pedang telah dimulai, gerakan Woo Hee gesit dan lincah mempesona setiap permirsa, tatapan matanya yang tajam tak sekalipun beralih, tetap lurus ke depan, menatap Yang Mulia Raja. Pangeran Baek Ah menangkap suatu hal yang janggal dan  menggelisahkan. Woo Hee amat cantik dalam penampilan ini, tetapi sepasang matanya bukan tengah menari, tatapan itu berniat membunuh, dengan satu sasaran, seorang yang tengah duduk di kursi utama –Yang Mulia Raja.  Pangeran Baek Ah teringat kembali saat Woo Hee berlatih, penari itu selalu mengarahkan pedangnya ke arah depan pada suatu sasaran mematikan.
Di arena Woo Hee masih terus menari dengan tatapan lurus ke arah Yang Mulia Raja, Park Young Gyu dan Pangeran Wang Yo tak sabar menunggu, gerakan Woo Hee akan menjadi sedemikian gesit dan indah untuk membunuh Yang Mulia Raja. Woo Hee benar telah siap  menusukan pedang, tetapi tiba-tiba Pangeran Baek telah berdiri tepat di depanya, merelakan diri sebagai pengganti sasaran.  
Dalam jarak tidak terlalu  jauh dari para penari beraksi, Pangeran Wang So dan Wang Wook masih saling mencengkram, Pangeran ke-8 bisa mendengar suara Wang Soo seakan ular mendesis, “Berhenti untuk pura-pura peduli kepadanya, lebih baik engkau  berpaling selamanya.Engkau bukan lagi kakak iparnya, ia bukan lagi urusanmu”,  Pangeran Wang So tak ragu dengan ucapannya, darah Pangeran Wang Wook semakin mendidih dibakar amarah.
Sementara darah Woo Hee tersirap, mata pedang tidak tepat mengenai sasaran, beralih menikam  Baek Ah. Pangeran itu berdiri tepat di depan Woo Hee, sengaja mengorbankan diri untuk seorang penari yang dicintainya, tatapan mata itu jauh tak terukur, sedalam lautan. Pangeran Baek Ah tak ingin Woo Hee terlibat persoalan yang tak akan dapat diselesaikan. Ia tahu isi hati gadis itu.


Bersambung ke Episode 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...