Hari pun berlalu, seolah terlewat sudah duka cinta hukuman
gantung Sanggung Oh, Yang Mulia Raja kembali pada tugas sehari-hari.
Hanya yang bersangkutan tahu, betapa dalam dan menyakitkan kehilangan
itu. Yang Mulia Raja kini bertemu dengan Pangeran Wang So dan ahli
bintang Choi Ji Mong, ada hal penting yang harus disampaikan kepada
Pangeran ke-4. “Pergilah ke Dinasti Jin sebagai utusan, supaya engkau
tahu seberapa kuat pertahanan mereka”, Yang Mulia Raja yakin akan
kemampuan Wang So untuk itu.
“Mohon maaf Yang Mulia, keberangkatan ke Dinasti Jin adalah
tugas yang sangat berbahaya”, Choi Ji Mong tidak dapat menutupi
keterkejutan, apa maksud di balik perintah itu?
“Saya tidak berkeberartan Yang Mulia”, Pangeran Wang So tak
memiliki alasan menolak perintah seorang raja, seumur hidup ia memang
selalu berada dalam bahaya. Adakah satu perintah yang membuatnya undur
dan merasa takut?
“Benar, engkau bersedia pergi kesana?” Raja Taejo bahkan tak
percaya dengan jawaban Pangeran /wangSo, ia tahu pula akan bahaya itu.
“Pernahkah Pangeran ke-4 berani membantah perintah Yang Mulia,
betapapun berbahaya perintah itu? Saya akan meninggalkan Songak menuju
Dinasti Jin sesuai perintah Yang Mulia, dengan satu permintaan.Tak ada
tempat tinggal bagi Hae Soo kecuali Damiwon, andai Yang Mulia berkenan
mengasihani dayang malang itu?” Pangeran Wang So tak pernah dapat
melupakan Hae Soo, sikap polos dan tulus gadis itu yang telah mengubah
pula takdir hidupnya. Kini dayang itu berada dalam keadaan yang paling
buruk, bukankah ia masih dapat melakukan sesuatu untuk memberinya
harapan?
“Adakah engkau masih berpihak kepadanya?” Yang Mulia Raja
bertanya, mendengar nama Hae Soo disebut, Yang Mulia merasa telinganya
sakit. Ia I ngin dayang itu menghilang selamanya dari istana.
“Saya tidak sampai hati dengan segala hal yang menimpa dirinya,
kabulkanlah satu permintaan. Maka saya akan melaksanakan tugas sebagai
utusan ke Dinasti Jin”, setelah kata-kata itu Pangeran Wang So
memberikan hormat kemudian mengundurkan diri.
Sepeninggal Pangeran ke-4 beberapa saat suasana hening, tanpa
lebih jauh bertanya seorang raja pun tahu. Bagaimana perasaan Pangeran
Wang So terhadap dayang itu? Raja Taejo menghela napas panjang sebelum
berucap kepada Choi Ji Mong. “Singkirkan dayang itu pada kesempatan
pertama, ke suatu tempat. Maka pangeran para pangeran tak bisa
menemuinya.Jika Wang So tak mampu meninggalkan, maka ayahanda harus
membantu melupakan”, suara Yang Mulia Raja tegas, namun sesungguhnya
lidahnya terasa pahit.Nama Hae Soo selalu mengingatkan pada hukuman
gantung Sanggung Oh, ia harus kehilangan satu-satunya wanita yang
dicintai dan membuatnya nyaman, karena dayang itu.
Choi Ji Mong tidak memiliki pilihan lain, kecuali melaksanakan
perintah seorang raja. Ia menjumpai Hae Soo yang tengah dirundung duka,
menyendiri di kamar Sanggung Oh, wajah gadis itu tampak sayu, sepasang
matanya padam tanpa harapan. “Sanggung Oh memiliki martabat layaknya
seorang permaisuri, tetapi tak terlahir di bawah bintang ratu”, Choi Ji
Mong membuka pembicaraan.
“Adakah hal ini suatu keberuntungan atau sebaliknya?”Hae Soo
bertanya, sanggupkah ia memaafkan diri sendiri untuk kehilangan ini?
“Bukankah jawaban itu sudah cukup jelas?”Choi Ji Mong balik bertanya.
“Ia mengenalku kemudian takdir hidupnya berakhir di tiang
gantung, suatu hal yang sia-sia”, suara Hae Soo lebih mirip rintihan,
kepada siapa ia hendak berkeluh kesah untuk kehilangan ini?
“Ia pergi tanpa dendam atau kebencian, ia beruntung. Percayalah
akan hal itu. Dan sekarang, sesuai perintah Yang Mulia Raja engkau
harus meninggalkan Damiwon, tak boleh berpamitan atau menemui para
pangeran lagi”, berat lidah Choi Ji Mong meneruskan perintah, tetapi
harus. Ia mengira Hae Soo akan terisak, tersedu, bahkan meratap. Akan
tetapi, raut wajah Hae Soo tak bergeming seperti permukaan danau pada
musim dingin, beku, tertutup lapisan es dengan kedalaman tak terjangkau
di bawahnya.
“Kemana aku harus pergi supaya tak bertemu dengan pangeran lagi?” apa untungnya selalu berhubungan dengan seorang pangeran, bila semuanya harus berakhir di tiang gantung? Dayang itu bertanya dalam hati.
--Pembicaraan singkat ini berakhir.
Di dalam kamar Pangeran Wang So tengah mempersiapkan perbekalan
untuk keberangkatan ke Dinasti Jin. Ia tersenyum ketika melihat kotak
tata rias yang diberikan Hae Soo, pada saat yang sama tampak Hae Soo
menyeret langkah dengan kakinya yang pincang. Keduanya saling
bertatapan dengan seribu bahasa tak terkatakan, tanpa sepatah kata
langkah kaki bergerak menuju danau.“Bagaimana keadaanmu?” Pangeran Wang
So bertanya, ia cukup tahu arti kehilangan.
“Betapapun dalam duka dan kehilangan, dunia tak akan pernah
berhenti berputar. Bila menyibukkan diri semua orang bisa melupakan rasa
sakit”, wajah Sanggung Oh kembali membayang di depan mata kata Hae
Soo. Mengapa seorang yang belum lama dikenal harus merelakan diri bagi
kehidupan dayang?
“Satu hal terbaik adalah lupakan, semakin sibuk bekerja semakin
baik”, perasaan Pangeran Wang So tak pernah berubah, apapun yang telah
terjadi dengan dayang ini. ia sungguh tahu arti mencintai.
“Yang Mulia pun harus melupakanku”, tak mudah bagi Hae Soo untuk menyampaikan kata-kata singkat ini.
“Tak perlu bicara seperti itu, tunggulah di Damiwon sampai
tugasku selesai”, Pangeran Wang So meminta, tetapi Hae Soo mengembalikan
hiasan rambut yang pernah diberikan.
“Andai aku bisa menunggumu. Aku selalu ingat, semula pangeran
hidup bahagia di istana. Mestinya pangeran tak perlu pergi ke Danasti
Jin, akhirnya harus, karena kesalahanku. Ada yang berbeda antara cinta
dan pertemanan. Hidup akan menjadi rumit jika kita hanya peduli dengan
satu orang”, dengan kata-kata ini Hae Soo berpamit.
“Engkau yang mendapatkan perkara, karena berada di sekitarku,
demikianlah nasib orang di dekatku. Akan tetapi, aku tak punya alasan
melepaskanmu. Dengan wajah seperti ini kebanyakan orang hanya dapat
mengutukku”, Pangeran Wang So tak dapat memahami ucapan perpisahan ini.
Sosok Hae Soo telah bersemayam di dalam kalbu diri, ia tahu ia tak akan
pernah dapat melepaskan, betapapun buruk nasib gadis itu, betapapun
berat Yang Mulia Raja menghukumnya. Ia tak pernah akan menjilat
ludahnya sendiri.
Hae Soo terhenyak ketika merasa tangan kekar Pangeran Wang So
tiba-tiba menariknya, jarak menjadi teramat dekat, hanya dalam satu kali
hembusan napas. Demikian pula tatapan mata Pangeran ke-4, Hae Soo
memalingkan wajah ketika pangeran itu berniat menciumnya. Dengan gugup
Hae So pun melepaskan tangan Wang So, tetapi pangeran itu tak menyerah,
tak ragu kala mengecup bibir Hae Soo. Ia telah membahasakan cinta,
dengan senyum nakal seorang pangeran.
“Aku pinjam ini sebagai jimat keberuntungan dan akan segera
kembali.” Kata Wang So memegang jepitan rambut milik Hae Soo lalu
berjalan pergi.
“Haruskah aku menunggu, meski seorang pangeran mengorbankan
nyawa untukku, meski ia pernah mengataka aku ini miliknya? Satu
perasaan yang timbul setiap kali bertemu adalah takut. Telah kutempatkan
hati pada relung yang lain, tetapi mengapa terlalu sulit
mengabaikanmu?” suara Hae Soo tertelan kembali di
tenggorokan, ia berada di antara dua orang pangeran, Wang Wook dan Wang
So. Ia susah mengabaikan, meskipun Yang Mulia Raja telah berkeputusan
memisahkan. Kemana ia harus pergi? Sepasang mata Hae Soo masih menatap
bayangan Pangeran Wang So yang berkelebat pergi menjauh. Pangeran itu
tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri Hae Soo hari ini. Ia
membalikan badan, senyum itu membahasakan rasa bahagia, tanganya
melambai sambil menggengam hiasan rambut.
Hae Soo berjalan menyeret langkah, terpincang-pincang menaiki
tangga. Dari jarak terukur Pangeran Wang Wook melihat betapa tidaka
mudah kini Hae Soo harus melangkah, akan tetapi dengan banyak
pertimbangan ia tak berani mendekati gadis itu untuk sekedar memberikan
bantuan, atau menghibur hatinya yang lebam setela kehilangan. Pangeran
itu membuang pandang kemudian meneruskan langkah. Hae Soo dapat
merasakan kehadiran itu, akan tetapi wajahnya membeku ketika ia
menangkap bayangan Pangeran Wang Wook, orang yang selalu diingat tak
mengucap sepatah kata, bahka menjauh. Tampaknya benar, ia telah
dilupakan perlahan-lahan.Ada yang lesap bersama angin ketika Hae Soo
meneruskan langkah, saat Pangeran Wang Wook kembali menoleh, ia melihat
bayangan Hae Soo semakin menjauh seolah menguap bersama asap.
***
Di istal kerajaan beberapa kuda sudah disiapkan, Pangeran Wang
So meloncat ke atas salah satu punggung kuda. Ia mengenakan kembali
topeng penutup wajah dalam melaksanakan perintah Yang Mulia Raja,
berkunjung ke Dinasti Jin. Pada saat yang sama Hae Soo telah mengemas
perlengkapan yang perlu dibawa, ia kini cuma sehelai dauan kering yang
akan terbang kemana arah angin bertiup. Ia tak lagi merasakan apa-apa.
Choi Ji Mong melihat kepergian itu dengan wajah sendu, ia sama sekali
tidak berwenang melawan perintah seorang raja. Andai ia bisa merengkuh
gadis malang itu ke dalam rangkulannya.
Di tempat berbeda Pangeran Wang Wook tidak pernah tahu apa yang
sesungguhnya telah terjadi, ia menuliskan nama Hae Soo dalam selembar
kertas. Ia memang memasang jarak yang jauh dengan gadis itu, tapi
benarkah mampu melupakan? Ia hanya seorang pangeran yang tak memiliki
daya di hadapan kekuasaan seorang raja atau ia harus menuju ke tiang
gantung yang sama. Tak lama berselang Pangeran Wang Jung datang,
wajahnya sayu, “Hae Soo telah pergi, ia tak lagi ada di Damiwon.
Mungkinkah Yang Mulia Raja mengusirnya ke tempat yang sungguh
jauh?”suara Pangeran Wang Jung tak dapat menyembunyikan sesal, demikian
malang nasib gadis yang pernah bertarung menyelamatkan hidup kala ia
dikeroyok perompak.
Pangeran Wang Wook nyaris tak mempercayai ucapan Pangeran Wang
Jung, baru beberapa tarikan napas ia melihat bayangan Hae Soo berkelebat
menaiki tangga dengan langkah terseret dan tetatih. Mungkinkah kala itu
harus melihat gadis itu untuk yang terakhir kali di istana ini? Tergesa
langkah Pangeran Wang Wook menuju Istana Damiwon, ketika sampai di
kamar Hae Soo, maka yang tersisa di ruangan itu hanya hampa. Dinding
yang diam dan terlihat muram tanpa suara. Pangeran Wang Wook kini tahu
arti kehilangan tanpa salam perpisahan. Mestinya ia melepas gadis itu
pergi sebelum meninggalkan istana, tubuh Pangeran Wang Wook seketika
terasa lemas seakan kehilangan tulang belulang. Seperti seorang bocah
kecil, ia menangis, meraung, ia memang tak dapat menjangkau Hae Soo,
tetapi bukan berarti rasa cinta terhapus tanpa rupa. Beberapa tabuh
Pangeran ke-8 seakan terjatuh ke dalam kekosongan yang menyakitkan. Ia
tak menepatijanji untuk selalu melindungi gadis itu, untuk memenuhi
permintaan Nyonya Hae sebelum kematiaanya. Jeritan itu teramat keras,
terdengar hingga ke luar dinding Istana Damiwon. Hae Soo yang tengah
menyeret langkah berjalan meninggalkan dinding keluar istana sempat
membalikan badan, seolah ia bisa mendengar jeritan hati seorang
pangeran. Akan tetapi, ia segera meneruskan langkah. Tak ada lagi yang
perlu ditangisi, hatinya beku seakan ajal.
***
Pada sisi yang lain, ketika seorang merasa teramat berduka,
maka Ratu Yoo tengah minum teh bersama Putri Yeon Hwa. Ia pantas merasa
bahagia, Sanggung Oh –wanita yang mampu mendapatkan cinta seorang raja
telah tiada, meninggal secara mengenaskan. “Adakah engkau yang
sebenarnya telah menorong Sanggung Oh menuju tiang gantung?”tanpa ragu
Sang Ratu bertanya.
“Bukankah Yang Mulia memang menginginkan wanita itu untuk pergi
selamanya?”Putri Yeon Hwa tak perlu menjawab, ia tahu persis isi hati
Ratu Yoo.
“Engkau berucap seolah anak kandung yang pernah kulahirkan dari
rahimku sendiri, kita berdua akan menjadi sekutu yang kuat”, Ratu Yoo
merasa bangga, tak salah ia meluangkan waktu minum the bersama Sang
Putri.
“Saya kira hal itu tak akan pernah terjadi”, suara Putri Yeon
Hwa dingin, mengejutkan Ratu Yoo, senyum di bibir merah permaisuri
seketika menguap. Ia menatap wajah jelita Putri Yeon Hwa dengan beragam
tanya tanpa jawaban. “Sekarang saya ingat, saat ibunda Ratu Hwangbo
dituduh menyebabkan dayang istana keguguran kemudian diasingkan. Dayang
istana itu adalah Sanggung Oh, dinding istana tahu akan kebencian itu.
Tersangka pembunuhan seseorang yang paling dicintai Yang Mulia Raja
adalah seorang ratu yang bisa diusir setiap waktu. Mungkinkah kita harus
bersekutu?”Putri Yeon Hwa menunjukkan keberanian sekaligus kelicikan,
ia masih menyesal ketika ibunda ratu disingkirkan dari istana, karena
kesalahan yang tidak pernah dilakukan.
“Engkau harus berhati-hati dalam setiap kata, sekarang engkau
adalah kaki tanganku ”, Ratu Yoo mulai menduga kemana arah kata-kata
Yeoh Hwa, keduanya teramat dekat kini, ternyata jarak merentang jauh tak
terukur.
“Saya meneguk pula racun itu, siapa yang akan curiga? Satu
orang tahu kenyataannya, satu yang lain membantunya. Kini, keduanya
telah tiada, bukankah sekarang Yang Mulia seorang diri?”sepasang mata
Putri Yeon Hwa melirik wajah Ratu Yoo dengan kilatan setajam pisau, ia
tahu tengah berhadapan dengan siapa.“Jangan pernah membuat ibunda Ratu
Hwangbo berlutut untuk yang kedua kali. Berhati-hatilah …” suara Putri
Yeon Hwa mantab, tak seorangpun menduga ia lebih lihai dan licin dari
seorang ratu yang paling berkuasa di istana ini, tidak juga Ratu Yoo.
Tanpa perlu lagi berucap Putri Yeon Hwa meninggalkan Ratu Yoo terpana
seorang diri.
Tak lama berselang Pangeran Wang Yo keluar menampakkan diri
dari tempatnya bersembunyi, dugaanya benar, “Yeon Hwa memang berbeda,
mungkinkah saya tidak menyukainya?”di mata Pangeran Wang Yo, Putri Yeon
Hwa bukan hanya jelita, tetapi “lihai”.
“Ia seorang yang berbahaya”, Ratu Yoo tak hendak keliru menilai
calon sekutu, sikap Putri Yeon Hwa sudah cukup membuktikan dan mesti
membatalkannya.
“Keinginannya lebih kuat dari pada kebanyakan pria”, Pangeran Wang Yo tersenyum dengan makna tak mudah ditafsirkan.
“Tetaplah memasang jarak”, Ratu Yoo memberikan peringatan, ia
harus tahu watak asli Yeon Hwa yang bersembunyi di balik wajah jelita.
“Serasa menyenangkan berada di dekat Yeon Hwa”, Pangeran Wang
Yo membantah, adakah seorang pangeran yang tidak tertarik penampilan
seorang putri jelita dengan kemauannya yang keras.
“Apakah engkau sudah bertemu pamanmu Wang Shik Ryum?” Ratu Yoo mengalihkan pembicaraan.
“Paman selalu siap membantu setiap waktu. Yang Mulia Ratu Yoo
akan segera menjadi Ibu Suri”, Pangeran Wang Yo menjawab, ia tahu,
adalah putra kesayangan Sang Ratu.
“Pamanmu nyaris tak pernah melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apa
sebenarnya yang dia inginkan?” Ratu Yoo memandang jauh, mencoba meraba
bagian tersembunyi dari seseorang yang sudah dikenalknya.
“Paman ingin memindahkan Ibu Kota Goryeo dari Songak ke
Seoknyang, ke wilayah utara”, sekali lagi Pangeran Wang Yo menjawab
sambil meraih sehelai kain sutra di tanganya, pada saat yang sama
sepasang mata membelalak lebar Ratu Yoo mendengarnya.
***
Sang maha waktupun tak pernah lelah berpacu, hari berganti
minggu, berganti bulan hingga satu tahun berlalu. Jenazah Sanggung Oh
telah berubah menjadi debu. Yang Mulia Raja Taejo Wang Geon genap 26
tahun memimpin.
Hari itu Pangeran Wang Yo berjalan memasuki istana diiringi
beberapa orang, sementara Pangeran Wang Wook berjalan berdampingan
dengan Pangeran Wang Jung. Wajah tampan Pangeran Wang Wook berkerut
ketika melihat keluarga dari pedesaan datang pula ke istana,”Apakah ada
persoalan?”Pageran ke-8 bertanya.
“Yang Mulia Raja mengeluarkan sepuluh perintah baru sebelum
berpulang. Sekarang putra mana pun bisa mewarisi takhta. Mereka ini
ingin membuat petisi untuk mendukungku”, Pangeran Wang Yo merasa bangga,
Pangeran Wang Jung menatap PAngeran Wang Yo tak berkedip. Benarkah?
“Jung, bagaimana kabarmu? Aku dengar engkau membasmi para
perompak. Mengapa jarang mengunjungi ibunda ratu? Ibu merasa
kehilangan”, suara Pangeran Kata Wang Yo sinis.
“Kabarku baik-baik saja, Hyungnim tak usah khawatir.
Ibunda ratu selalu mengandalkanmu, putra tercinta”, Pangeran Wang Jung
tak bisa menutupi perasaan kesal. Wang Yo lebih sering menunjukkan
sikap tidak bersahabat.
“Coba lihat cara bicaramu.Engkau berubah terhitung sejak
bergaul dengan Wook”, Pangeran Wang Yo senang mengejek, tanpa peduli
dengan tanggapan dua pangeran yang lain, ia berlalu pergi.Pangeran Wang
Wook dan Wang Jung terdiam seribu bahasa, keduanya tak pernah dapat
membangun percakapan yang baik dengan Wang Yo yang terbukti berambisi
menduduki tahta.
***
Sementara Putra Mahkota, Pangeran Wang Moo merasa galau, duduk
dikursi berhadapan dengan Choi Ji Mong, “Perintah Yang Mulia Raja, bahwa
setiap pangeran bisa mewarisi tahta menyebabkan saudara satu ayah
berkesempatan mengincar kedudukanku. Adakah Yang Mulia Raja sudah
mendorongku ke dalam mulut harimau?”Pangeran Wang Mo tidak serakah untuk
menjadi raja, tetapi ia terlahir sebagai Putra Mahkota.
“Yang Mulia sengaja mengeluarkan sepuluh wasiat dengan maksud
untuk melihat siapa yang ada di pihak Putra Mahkota”, Choi Ji Mong
mencoba menenagkan kegalauan hati Putra Mahkota, ia tahu bagaimana
rasanya saudara dekat menginginkan pula takdir hidupnya.Seolah tak ada
tujuan lain dalam hidup kecuali singgasana.
“Kemungkinan paling buruk dari wasiat itu adalah, bahwa a semua
orang yang kusayangi akan terluka”, terbayang di mata Putra Mahkota
adalah darah yang berlumuran dari orang-orang yang dikasihi, betapa
mengerikan. Kali ini Choi Ji Mong terdiam, ia tahu apa akibat paling
buruk dari perebutan kekuasaan, korban jatuh, darah berceceran.
***
Si cantik Woo Hee dengan lincah menggenggam pedang, dendam
mendorongnya sebagai keuatan untuk menghunuskan mata pedang tepat di
bagian mematikan Yang Mulia Raja Taejo Wang Geon. Serangan tiba-tiba
menyebabkan Yang Mulia Raja terhenyak, sepasang matanya membelalak
seolah bersiap menanti maut. Ternyata …
Woo Hee hanya sedang berlatih menari pedang, Pangeran Baek Ah
yang tengah memainkan alat music memberikan teguran, “Adakah engkau
sengaja hendak menyerangku atau sekedar berlatih?” Pangeran Baek Ah
seakan tersihir dengan permainan pedang Woo Hee, akan tetapi gadis
cantik itu seakan memikirkan persoalan lain, sehingga arah tikaman
pedang nyaris membawanya menuju kematian.Mengapa? “Bila tidak
memperbaiki gerakan, engkau akan membuat kesalahan pada acara
perkumpulan persahabatan”, Pangeran Baek Ah tidak bisa menutupu
kekesalan.
“Baik, ayo kita coba kembali”, Woo Hee menyadari kesalahannya, ia mengajak Pangeran Baek Ah untuk mengulang latihan.
“Aku bukan orang suruhanmu, semua orang punya batasan. Aku
terlalu lelah lihat bibirku, kering kerontang”, Pangeran Baek Ah
menunjuk bibirnya lebih dekat, Woo Hee terlihat gugup, jarak keduanya
menjadi sedemikian dekat.“Istriku pasti sudah memasak, saatnya pulang”,
Pangeran Baek Ah berbohong.
“Benarkah engkau sudah menikah?” Woo Hee terkejut, ia mengira Pangeran Baek Ah belum terikat hubungan perkawinan.
“Mengapa? Engkau kesal kalau aku sudah menikah?” mata nakal Pangeran Baek Ah melirik Woo Hee.
“Mengapa pula aku harus kesal? Tapi, sudah berapa lama engkau
menikah? Sudah punya anak?” Woo Hee heran, mengapa pula ia harus
bertanya.
“Aku sudah 20 tahun menikah dan punya anak yang sangat pintar”,
Woo Hee nyaris terlonjak dengan jawaban itu. Ia melupakan mata nakal
Pangeran Baek Ah yang mengerlingnya diam-diam. “Ya, benar. Ada seorang
istri, ia istri ayahku, yang berarti ibuku. Sekarang sedang menungguku,
jadi aku harus pulang”, tawa Pangeran Baek Ah nyaris meledak, tetapi ia
masih mampu menahan diri.
Wajah penari pedang itu tampak lebih cantik, manakala kesal,
karena tahu Pangeran Baek Ah sengaja memebuatnya cemburu. Tanpa sadar
ia terpancing. “Ternyata engkau mudah tertipu dan percaya begitu saja.O
ya, latihan memang penting, tapi jangan sampai terluka”, Pangeran Baek
Ah meninggalkan penari pedang itu dengan langkah ringan, ia melihat
senyum manis pada bibir indah semerah delima. Tampaknya pintu hati Woo
Hee mulai terkuak.
***
Sebuah buku Karya Mencius tergeletak di atas meja, Pangeran
Wang Eun melihatnya, ia merasa sang istri, Park Soon Duk tengah menguji
kepintarannya. “Apakah engkau yakin, aku sudah pernah membaca buku
itu?”Pangeran itu bertaruh, ia mengulurkan tangannya.
“Tangan ini milikku sekarang”, Park Soon Duk mencoret tangan suaminya dengan tinta, Wang Eun pun meminta buku berikutnya.
Beberapa saat kemudian wajah Pangeran Wang Eun penuh sudah
dengan coretan berbentuk bulat, bahkan di hidung. “Engkau bisa mencoret
semuanya sampai puas, bahkan tangan, kaki, leher seluruh tubuh”,
Pangeran Wang Eun pasrah. Akan tetapi, ketika Park Soon Duk ingin
mencoret tangan kanan sang suami. Pangeran ke-14 menolak, “Tangan yang
ini milik Hae Soo”, Pangeran Wang Eun menyebut kembali nama itu. Park
Soon Duk memperlihatkan wajah asam kemudian menunduk.
Pangeran ke-14 menyadari kesalahannya, ia perlu mendekati Park
Soon Duk untuk memastikan sang istri tidak menangis. Akan tetapi, putri
jenderal itu tiba-tiba melihat sebilah benda tajam dan mematikan,
melayang ke arah Pangeran Wang Eun, sigap ia segera bergerak melindungi
Pangeran ke-14, mendorongnya ke atas meja. Ternyata sebilah pisau
melayang dengan gerakan cepat, memutuskan ikatan rambut Park Soon Duk.
Pangeran Wang Eun gugup menyadari Park Soon Duk kini berada di atasnya
dengan rambut terurai. Apa yang berlaku?
Jenderal Park tampak tegap berdiri, masih dengan tangan sigap
melayangkan sebilah pisau. Ternyata putri tercinta tidak mengalami
cidera, selamat dari lemparan pisau yang mematikan itu.”Mengapa wajah
pangeran seperti itu? Mengapa pula harus berbaring di atas
meja?”jenderal itu bertanya, ia sengaja mengejutkan pasangan suami istri
kerajaan dengan serangan yang mematikan. Ia adalah seorang panglima
perang, benarkan Park Soon Duk menikah dengan seorang pangeran yang
mampu melindungi atau sebaliknya?
“Pisau itu sungguh mengejutkan!” Park Soon Duk tak dapat menyembunyikan rasa marah, karena kesengajaan yang dapat mematikan.
“Mengapa harus terkejut dengan hal yang kecil, bagaimana
seorang pangeran bisa bertahan dengan kehidupan yang sangat keras?”
suara Jenderal Park tanpa sedikitpun merasa bersalah.
“Apakah ada yang terluka, aku akan meniupnya?” Park Soon Duk
tak dapat memungkiri, betapa ia amat menyayangi pangeran ini. Betapa ia
tengah melewatkan saat-saat bahagia bersama seorang yang dicintai, dan
ia bisa melakuka apa saja.
Seperti seorang kanak-kanak Pangeran Wang Eun terbangun,
“Tanganku sakit, tiup-tiup…” maka Park Soon Duk pun meniup tangan
Pangeran Wang Eun, seolah tiupan itu dapat meredakan rasa sakit.
Jenderal Park melonggo, ia harus melihat kenyantaan, putri
tercinta menjalani kehidupan berbeda dengan pasangan yang lain. Bukan
pihak laki-laki melindungi perempuan. Akan tetapi, sebaliknya pihak
perempuan melindungi laki-laki. Mengapa pula Park Soon Duk berbahagia
dan mencintai laki-laki seperti ini?
***
Pangeran Wang Yo menemui Putri Yeon Hwa, ia berharap sesuatu
ketika memberikan sebentuk cincin emas sambil berjanji, “Nanti bila
menjadi raja, akan kuceraikan istri-istri yang lalu. Aku akan
menikahimu”, hati pangeran itu bergetar ketika menatap wajah cantik
sang putri.
“Ayah mertuamu adalah Perdana Menteri Park Young Gyu. Haruskah
kupercaya janjimu?”Putri Yeon Hwa terlalu pintar untuk sekedar tertipu.
“Park Young Gyu sebenarnya berasal dari Hubaekje. Aku hanya
membutuhkannya sampai menjadi raja. Setelah itu, dia hanya seorang
penghambat”, Pangeran Wang Yo mengenggam lembut jemari Putri Yeon Hwa
memasangkan cincin emas berkilau bertahtakan batu mulia. “Sebenarnya aku
bisa menebak kelemahan seseorang, kemudian melihat sisi gelapnya.
Apakah engkau tidak menyadari, betapa sesungguhnya kita adalah pasangan
yang sempurna?” Pangeran Wang Yo selalu memiliki alasan merayu adik
Pangeran Wang Wook. Tak lama berselang Pangeran Wang Wook mendekat,
sesaat ia terhenyak. Pangeran Wang Yo tahu apa yang harus dilakukan, ia
segera melepaskan genggaman tangan Putri Yeon Hwa dan kembali duduk. Ia
tak mengira Pangeran Wang Woo akan datang pada saat seperti ini.
“Mengapa harus datang mendekat? Tidakah kita harus merasa cemas
bila muncul pembicaraan yang tidak semestinya? Lebih baik kita tampak
seakan musuh yang saling bertentangan”, Pangeran Wang Wook dapat
mencium bahaya dengan kehadiran Wang Yo di tempat ini. Ia telah
menyangkal Yeon Hwa, tetapi tetap berkewajiban melindunginya.
“Jangan khawatir, aku bukan datang ke tempat ini untuk
menemuimu, tetapi Yeon Hwa. Sepuluh titah ayahanda raja memberiku hak
untuk itu. Atau, bagaimana kalau kita menyerang Yang Mulia Raja
sekarang daripada harus menunggu? Jika Putra Mahkota berhasil menduduki
takhta, semakin sulit bagi kita menyerangnya”, wajah Pangeran Wang Yo
menjadi sangat pongah.
“Mungkinkah seorang putra menyerang ayahnya apabila ia memiliki hati nurani?” Pangeran Wang Wook membantah.
“Kalau seorang ayah tak segan membunuh anaknya, mengapa seorang
anak tak bisa menyerangnya kembali?” Pangeran Wang Yo tak mau kalah.
Pangeran Wang Wook terdiam tak dapat menyembunyikan keterkejutan,
Pangeran Wang Yo mengerling tersenyum licik, “Ah, tidak aku hanya
sekedar bercanda. Jangan lupa janjimu untuk mendukungku, bukan Putra
Mahkota”, Pangeran Wang Yo mengingatkan kesepakatan itu.
“Aku pasti mendukungmu”, Pamgeran Wang Wook memberi kepastian. Maka Pangeran Wang Yo pergi dengan sikapnya yang sombong.
“Mengapa bukan engkau yang berusaha menjadi raja, bahkan
bertindak sebagai pion?”Yeon Hwa menyesali sikap Pangeran Wang Wook, ia
sangat mengasihi saudara tua satu ayah dan satu ibu.
“Bila seorang pangeran membunuh Putra Mahkota, maka raja yang
bertahta berikutnya akan menjadi pengkhianat”, Pangeran Wang Wook
memiliki alasan.
“Akan tetapi lain cerita, jika pengkhianat menggantikan
pengkhianat, maka dia akan menjadi pahlawan”, Putri Yeon Hwa tetap
memiliki celah bagi Wang Wook.
“Keputusan yang baik saat ini adalah untuk sementara kita menjadi pion Wang Yo Hyungnim. Pion yang sangat setia”.
“Lalu bagaimana kalau dia mengkhianatimu ?” Putri Yeon Hwa bertanya.
Pangeran Wang Wook segera menatap cincin yang melingkar pada
jemari lentik Putri Yeon Hwa, tergesa sang putri menutupi.“Engkau bisa
membantuku”, Pangeran Wang Wook tahu jawaban yang tepat untuk itu. Putri
Yeon Hwa tampak bingung, apa maksud kata-kata Wang Wook.
“Sebentuk cincin yang indah berkilau, sangat sesuai di jari
manismu. Kita rekan kerja, mungkin engkau adalah jaminan, atau entah apa
namanya, apapun anggapanmu. Kita saling berhutang dalam jumlah yang
amat besar, engkau harus melunasinya”, Pangeran Wang Wook memberi
tekanan pada suaranya, mengingatkan kejadian setahun yang lalu ketika
ia harus melempar tusuk konde hingga seorang dayang terbunuh untuk
melindungi adinda. Putri Yeon Hwa diam membisu, udara terasa lebih
dingin menggigit pori-pori.
***
Jauh dari dinding megah istana raja dengan taman yang indah
bermekaran aneka warna bunga. Para pelayan sedang mencuci baju di
sungai, memukulnya mengunakan batang kayu, tampak pula di antara para
pelayan adalah Hae Soo. Dua orang pelayan membuka percakapan, “Aku
sangat kagun pada Pangeran ke-8”.
“ Pangeran ke-4 kabarnya memenggal perompak semudah orang
memetik bunga dan Raja menjadikannya jenderal. Mungkinkah merasa
Pangeran ke-4 akan menjadi raja?” pembantu yang lain bertanya.
“Bagaimana kalau Pangeran ke-8? Bukankah ia juga dekat dengan Raja? ” pelayan yang menyukai Pangeran Wang Wook bertanya,
“Maka banyak keluarga berkuasa yang memiliki anak perempuan ingin menikahkan dengan sang pangeran”, ucap pelayan lain.
Hae Soo hanya mendengar, ia lebih mengenal semua pangeran dari
pada semua pembantu. Akan tetapi, apa bedanya? Ia hanya seorang budak,
ia tak mampu lagi memikirkan Pangeran Wang Wook.
“Hae Soo, bukankah engkau pernah bekerja di Damiwon dan pasti
pernah melihat para pangeran? Siapa yang paling rupawan dan paling
tampan di antara mereka?” seorang pelayan bertanya. Hae Soo terdiam,
perlukah ia menjawab?
“Hei... apakah engkau tak mampu mendengar? Engkau tuli?!” pelayan itu kesal.
“Lebih baik tak usah membicarakan para pangeran, atau kita akan
mendapat persoalan”, hambar suara Hae Soo, mengingat Pangeran Wang
Wook terasa menyakitkan, harapan indah itu akhirnya berkeping menjadi
pecahan kaca.
“Maksudmu pelayan pencuci baju seperti kita tak boleh menyebut
nama pangeran? Engkau diusir dari Damiwon. Jangan kira engkau lebih baik
dari pada kami”, suara itu mulai diliputi kemarahan.
“Aku hanya sampaikan, jaga perkataan kalian”, nada suara Hae
Soo tak berubah. Ia telah mengerti kehidupan seorang pangeran tak
seindah penampakkannya. Mereka terikat aturan, kebijakan seorang raja
yang mutlak berkuasa, sehingga dapat berbuat apa saja.
“Wah, ia bahkan tak mau membiarkan kita membicarakan seorang
pangeran. Aku pernah menyuruhnya menggambar wajah Pangeran ke-4, tetapi
dia malah merobek kertasnya”, seorang pelayan yang lain menyatakan
kekesalannya. Hae Soo pura-pura tak mendengar, ia mengemasi pakaian
kotor yang sudah selesai dicuci dan bersiap pergi.
Salah satu pelayan dengan sengaja menghalangi langkah kaki Hae
Soo yang terpincang-pincang. Gadis malang itu tak bisa menahan amarah,
menatap si pelayan dengan mata melotot. Sebagai jawaban wajah Hae Soo
segera dilempar dengan pakaian kotor, “Kamu cuma sampah, cuma
sampah!!”kata-kata itu tajam dan menyakitkan.
“Sudah kukatakan, hentikan!” Hae Soo melempar kembali pakaian kotor ke wajah semula.
“Aku dengar engkau yang menyebabkan kepala Damiwon dihukum
gantung. Kami semua tahu kalau Sanggung Oh meninggal, karena engkau.
Dasar pembawa sial. Semua berkata. engkau membawa nasib sial terhadap
semua orang di dekatmu. Aku tak tahan melihatmu!” seorang pelayan
melempar kembali pakaian yang sudah dicuci Hae Soo ke sungai.
Pada saat yang sama Pangeran Wang Wook dan Pangeran Wang Jung
tengah berjalan tak jauh dari Hae Soo mengerjakan tugas selaku budak,
dan diperlakukan buruk oleh semua pelayan. Dengan sengaja pelayan itu
membiarkan Hae Soo turun ke dalam sungai, dengan kaki yang pincang,
berusaha menyelamatkan pakaian sebelum hanyut. “Pasti segar sekali
rasanya …” pelayan yang lain tertawa mengejek. Sekali ini Hae Soo tak
mampu banyak berucap, di dalam istana ia dicintai para pangeran. Akan
tetapi, jalan hidup berkelok mengerikan. Kini ia cuma seorang budak yang
dapat diperlakukan semena-mena, ia tak mampu membela diri sendiri.
Pangeran Wang Jung sangat berharap, Pangeran Wang Wook akan
melakukan sesuatu untuk membela Hae Soo, namun harapan itu kandas
ketika ia melihat Pangeran ke-8 hanya diam dengan raut wajah tak
menunjukkan perasaan. Benarkah rasa cinta pangeran itu kini tak lagi
bersisa? Pangeran Wang Wook bahkan melangkah pergi, seolah ia tak pernah
melihat apa-apa.Kedua pangeran itu kembali masuk istana, Pangeran Wang
Jung segera mengejar saudara satu ayah yang tak mengucap sepatah kata.
Ia harus mendengar satu alasan, “Mengapa engkau pergi tanpa sepatah
kata?” Pangeran Wang Jung bertanya.
“Engkau salah mengambil jalan atau sengaja memperlihatkan
keadaan Hae Soo?”Pangeran Wang Wook balik bertanya. Ia tak akan
menyangka setelah perjalanan yang cukup panjang harus melihat Hae Soo
dalam keadaan yang menyedihkan. Dimana gadis bangsawan secantik peri,
mengenakan han bok berwarna indah berlapis pakaian hangat,
membalikkan badannya dengan luwes seolah peri yang turun dari langit
bersama lembut butiran salju yang melayang jatuh? Dimana? Seakan ada
pecahan kaca yang melukai relung hati, mestikah Wang Wook menyatakan
perasaan terdalamnya kepada Wang Jung? Bukankah setiap orang berhak
memiliki rahasia?
“Terhitung hari ini, sudah hampir satu tahun. Benarkah engkau
akan tetap diam, membiarkannya tinggal di sana?” Pangeran Wang Jung tak
percaya Wang Wook tega bersikap diam saat Hae Soo harus tersungkur dalam
keadaan yang paling menyengsarakan.
“Dia pelayan, pencuci pakaian di Gyobang, adalah pekerjaan
terendah di kerajaan. Mengapa pula aku harus peduli?” sikap Pangeran
Wang Wook terlalu dingin
“Aku tahu segalanya. Engkau mencintai Hae Soo. Ada alasan penting?” Pangeran Wang Jung berusaha mengerti sikap Pangeran ke-8?
“Yang Mulia Raja telah mengusirnya, haruskah aku mati demi
seorang budak? Mungkinkah Wang Wook menentang Yang Mulia Raja? Engkaupun
harus berhati-hati, istana adalah tempat ketika satu kesalahan bisa
menyebabkan siapapun terusir”, Pangeran Wang Wook menasehati pula
adinda. Seorang pangeran benar berlumuran kemuliaan hidup, akan tetapi
harus membayar kemuliaan itu, termasuk melepas satu-satunya wanita yang
dicintai, karena ketakutan akan hukuman Yang Mulia Raja.
Di depan Pangeran Wang Jung, Pangeran Wang Wook memilih “diam”,
ia tak akan mengijinkan seorangpun mengetahui perasaan sesungguhnya
akan Hae Soo, tidak pula Wang Jung. Ia memiliki saat tersendiri untuk
menyatakan sikap. Hari itu Pangeran Wang Wook kembali ke tempat yang
sama di tepi sungai, hatinya teriris ketika melihat bayangan Hae Soo
terduduk seorang diri dengan sepiring nasi yang sudah mengering.
Demikiankah menu makanan gadis itu kini? Di pihak lain hati Hae Soo
seakan membatu ketika melihat bayangan Pangeran ke-8 berkelebat
mendekat. Pantaskan ia bertemu dalam keadaan seperti ini? Bukankah
pangeran itu telah melupakan, seakan menjilat janjinya kembali, karena
ketakutan akan hukuman seorang raja? Ketakutan terusir dari megah
dinding istana.
“Apakah kakimu masih sakit? Wang Jung pernah sampaikan sudah
mengirim obat”, Pangeran Wang Wook bertanya, sepasang mata pangeran
tampan itu berubah seakan lapisan kaca yang siap berkeping-keping. Ia
telah meninggalkan gadis ini dalam keadaan paling hina, andai kedua
tangannya yang “rapuh” masih dapat meraihnya.
“Kakiku akan terasa sakitnya kalau terlalu lama bekerja atau
terendam air, tapi aku baik-baik saja”, tatapan mata Hae Soo sama
dinginnya dengan sebongkah es, mengapa ia harus bertemu kembali dengan
Pangeran Wang Wook setelah nyaris satu tahun terlupakan.
“Engkau pasti sangat marah dan membenciku? Aku mengingkari
janji, sama seperti menjilat ludah kembali. Pahit menerima kenyataan,
ternyata aku hanya seorang yang tak berdaya, baru kali ini bisa
menemuimu dan tak bisa melakukan apa-apa. Kematian Sanggun Oh
menyebabkan Yang Mulia Raja murka, ia kehilangan seorang wanita yang
dicintai. Aku terlalu pengecut untuk membawamu kembali ke istana,
terlebih meminta ijin Yang Mulia untuk pernikahan itu”, suara Pangeran
Wang Wook terlalu lemah, nyaris terbawa angin. Benar ia adalah seorang
pangeran, cendekiawan Goryeo, tetapi apa arti semua ini? Ia harus
kehilangan seorang yang dicintai. Kekuasaan Yang Mulia Raja mutlak
adanya, tanpa ijinnya, ia hanya bahkan tak mampu menentukan takdir
dengan kedua tangan. Ia tak lebih dari seorang manusia biasa yang tanpa
daya.
“Pernahkah untuk sekali engkau merindukanku?” suara Hae Soo tak
kalah lemah, ia telah kehilangan segala-galanya, harapan untuk hidup
bahagia dengan pangeran impian telah lama berkeping tanpa sisa. Kali ini
budak malang itu masih mampu membendung air mata. Ia hanya seorang yang
tersisih, teramat dekat dengan tiang gantung.
“Setiap hari, setiap saat aku merindukanmu”, Pangeran Wang Wook
tidak berbohong, sepeninggal Hae Soo hampa selalu menyergapnya.
Kiranya nasib seorang pangeran mutlak berada di tangan seorang raja,
pernikahan dengan Hae Soo telah lama berubah menjadi impian sirna yang
akan segera lesap ditelan masa.
“Kalau benar demikian, berarti semua baik-baik saja. Kerinduan
cukup sudah bagiku”, terlalu pedih bagi Hae Soo untuk kehilangan. Lebih
menyakitkan lagi adalah dikunjungi, tetapi jarak tetap meregang semakin
jauh tak terukur. Ia bukan hanya tidak berdaya, tetapi tidak berarti
apa-apa.
“Anggaplah semua akan baik-baik saja. Nanti bila telah kucapai
kekuasaan itu ....” Pangeran Wang Wook masih memiliki satu celah untuk
mendapatkan kembali Hae Soo dengan satu cara yang ia pernah tidak
menginginkannya. Akan tetapi, sebelum selesai berucap, Hae Soo telah
memotong.
“Tidak perlu bekerja terlalu keras hanya demi seorang budak.
Tidak perlu membahayakan diri, sudah cukup kusaksikan semua ini”, Hae
Soo tak yakin dengan segala janji dan ucapan Pangeran Wang Wook.
Lidahnya terasa hambar, demikian pula perasaan hati, ia ingin menatap
wajah tampan Pangeran Wang Wook, tetapi kelopak mata seakan menolaknya.
“Kuharap engkau selalu sehat, jangan membuatku merasa menyesal
dan bersalah”, Pangeran Wang Wook harus tahu arti tak berdaya serta
kehilangan martabat di depan seorang yang dicintai. Terlahir sebagai
seorang pangeran ternyata tak semulia seperti yang pernah dibayangkan.
Seorang pangeran hanya pion yang dapat dikorbankan di bawah mutlak
keuasaan seorang raja. Langkah Pangeran ke-8 gontai ketika melangkah
pergi, ia tak pernah lagi menoleh,ia merasa kalah. Sementara Hae Soo
menatap punggung pangeran itu dengan beribu kata tak terucapkan. Ia tak
tahu bagaimana harus menyusun kata-kata untuk mengungkap kesedihan dan
kehilangan dalam waktu yang sama.
***
Pangeran Wang So akhirnya kembali bersama Panglima Park setelah
mengerjakan perintah Yang Mulia Raja untuk memantau keadaan di Dinasti
Jin. Pangeran ke-4 kembali mengenakan topeng tanpa harus merasa berkecil
hati, ia telah tahu bagaimana harus melepaskan topeng itu kemudian
menampakkan wajahnya yang rupawan. “ Gaozu meninggal, keponakannya yang
bernama Chundi menggantikan kedudukannya. Sepertinya mereka akan
melawan Kitan untuk perebutan wilayah, tetapi kepastian akan
kedudukannya sekarang dipertanyakan”, demikian Pangeran Wang So melapor.
“Aku pikir sepertinya Dinasti Jin takkan berhasil. Berarti
Kitan semakin berkuasa sekarang. Jadi pergilah dan mata-matai Khitan”,
Yang Mulia Raja memberikan perintah selanjutnya.
“Saya tidak pernah keberatan dengan perintah apapun. Akan
tetapi, maaf sekali Yang Mulia Raja mengingkari janji saat saya pergi
mengerjakan perintah.Dengan berat hati untuk sekali ini saya tidak mampu
mengerjakan”, nada suara Pangeran Wang So terdengar meninggi.
“Engkau masih mengingat gadis itu? Seorang raja harus mampu
meninggalkan siapa pun demi negerinya! Bersyukurlah, karena aku telah
mengusirnya pergi!”suara Yang Mulia Raja bernada serupa.
“Saya bukan raja dan tidak akan menjadi raja. Benar Putra
Mahkota membutuhkan sebagai sekutu, tetapi saya sebenarnya menginginkan
kebebasan. Setiap orang berhak hidup selayaknya manusia”, kata-kata
Pangeran Wang So tegas.
Ketegasan yang menyebabkan Raja Taejo nyaris terlonjak dari
singgasana, ia tak menyangka Wang So berani menyangkal perintah, karena
alasan seorang gadis.Wajah tua itu terdiam ketika Pangeran Wang So
berlalu meninggalkan ruangan tanpa rasa takut.
“Anak-anak memang suka membangkang, mengira tahu apa yang
terbaik bagi dirinya, jangan terlalu khawatir. Yang Mulia harus menjaga
kesehatan”, Panglima Park mencoba menenangkan Yang Mulia.
“Dia seharusnya bersikap seperti itu dari awal, ”, akhirnya
Yang Mulia Raja tersenyum. Ia telah berumur dan mampu menilai sosok yang
akhrinya mampu duduk di singgasana. Adalalah seorang pangeran yang
mampu menentukan sikap. Panglima Park dan Choi Ji Mong saling
berpandangan, binggung, keduanya mengira Yang Mulia Raja akan marah,
tetapi yang terjadi sebaliknya.
“Sekarang dia bisa melawan dan mengalahkan siapa pun. Dia harus
seperti itu supaya aku bisa mati dengan tenang”, Raja Taejo Wang Geon
meneruskan kata-kata, ia mulai dapat melihat masa depan Goryeo.
“Saya bisa melihat bintang Yang Mulia masih bersinar terang.
Mengapa harus berucap tentang kematian?”Choi Ji Mong diam-diam mulai
merasa kehilangan. Semua raja akan berpulang, apa yang akan terjadi
bila Raja Taejo benar-benar pergi selamanya? Bukankah ia akan
kehilangan pula seorang pemimpin?
“Terkadang seseorang telah menyadari takdir hidupnya, sebelum
segalanya terjadi. Bersiaplah untuk segala kemungkinan”, setelah nyaris
terlonjak dari singgasana, kali ini nada suara Yang Mulia Raja
terdengar bisa tenang. Putra Mahkota tak akan tergeser dari
kedudukannya.
***
Di tempat berbeda Hae Soo menjalani hari-hari yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya selaku tukang cuci istana. Ia tengah menjemur
seprai di bawah matahari, antara percaya dan tidak tiba-tiba ia melihat
sosok Pangeran Wang So terduduk di balik seprai yang melambai, karena
tertiup angin. Ketika terus menatap untuk membenarkan penglihatan,
ternyata sosok Pangeran ke-4 telah tiada. Hae Soo menghela napas
panjang, ia telah melihat bayangan seorang yang lama tak pernah bertemu
terlebih bercakap-cakap.
Sesaat kemudian sepasang mata Hae Soo membelalak lebar,
seluruh tubuhnya seakan kaku, ia tidak sedang bermimpi, ia tidak tahu
harus tertawa atau mengaduh. Pangeran Wang Soo kini berdiri tepat di
sampingnya.“Engkau tak pernah menuruti kata-kataku untuk tetap tinggal
di Damiwon. Mungkin, karena engkau lebih sesuai menjadi pekerja kasar
dari pada dayang istana”, pedih hati Pangeran Wang Soo melihat nasib
Hae Soo kini, seorang gadis bangsawan yang secantik peri, tetapi harus
menjalani hari-hari kelam, karena menolak perintah seorang raja.
Kekuasaan Yang Mulia Wang Geon sedemikian mutlak, ia berkuasa secara
menyeluruh menjungkir balikkan nasib seseorang, termasuk nasib seorang
gadis tanpa daya, kecuali kemauannya yang keras. “Aku selalu
merindukanmu, seharusnya engkau tak boleh ada di tempat ini”, Pangeran
Wang Soo memeluk tubuh ramping Hae Soo dari belakang.
“Akan lebih baik andai pangeran berpura-pura tidak melihatku”, dengan santun Hae Soo melepaskan pelukan Pangeran Wang Soo.
“Engkau tak berubah, tetap secantik seperti pertama kali saat
bertemu”, Pangeran Wang So tidak berbohong, kali ini Hae Soo tak lagi
mengenakan pakaian seorang dayang atau gadis keturunan bangsawan. Ia
hanya seorang pekerja kasar yang malang, tetapi Wang So melihat jauh
hingga di kedalaman hati. Betapa lembut dan tulus hati gadis ini.
“Mengapa kembali mengenakan topeng? Pangeran terlupa dengan
tata rias wajah? Apakah bekas luka semakin parah? Bukankah pangeran
membenci topeng? Mengapa?” tiba-tiba Hae Soo sadar dengan topeng yang
menutupi wajah rupawan itu.
“Sengaja kukenakan topeng supaya takkan melupakanmu. Aku
selalu ingin pulang dan melihatmu kembali”, perlahan Pangeran Wang Soo
melepaskan topeng, wajahnya tetap rupawan tanpa bekas luka.
“Saya bukan lagi dayang Istana Damiwon, tapi pencuci pakaian di
Gyobang. Saya tak pantas bertemu seorang pangeran. Yang Mulia telah
kembali dengan selamat, saya baik-baik saja.Semuanya baik-baik saja”,
Hae Soo merasa lega setelah melihat wajah di balik topeng, ia tertunduk
kemudian melangkah pergi.
Pangeran Wang So mengejar dan menarik Hae Soo, percakapannya
belum selesai, tetapi Hae Soo melawan. “Lebih baik menjauh, tidak berada
di tempat ini”, pelayan itu menyatakan sikapnya.
“Engkau harus ikut bersamaku. Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya”, Pangeran Wang So tak perlu menyerah.
“Tinggalkan saya. Saya di sini, karena tak bisa hidup atau
mati. Saya menyebabkan semua persoalan, Sanggung Oh dihukum gantung.
Kehidupan istana ternyata menakutkan, saya harus melupakan semuanya
dengan bekerja keras di tempat ini”, suara Hae Soo lebih menyerupai
jeritan. Pangeran Wang So terdiam, mengapa harus keduanya bertemu dengan
percakapan seperti ini?
“Seorang pangeran tak perlu peduli dengan nasib seorang budak”,
Hae Soo mengakhiri jeritan dengan nada suara semakin merendah, nyaris
berbisik. Akan tetapi, Pangeran Wang So tak peduli, ia tak perlu
mendengar segala jeritan dan ucapan Hae Soo, ia terus berjalan mendekat.
“Aku akan menjagamu sama seperti kau pernah menolongku. Aku
akan membantumu melupakannya tanpa harus bekerja keras”, tegas kata-kata
Pangeran Wang So, ia tak akan merelakan Hae Soo bertindak sesuai dengan
malang nasibnya.
“Saya mohon, jangan mengesampingkan kewajiban seorang pangeran,
karena seorang yang malang. Haruskan saya katakan? Orang yang paling
ingin saya hindari adalah Pangeran ke-4. Tiap kali kita bertemu maka
ingatan buruk itu muncul lagi. Pergilah, saya baik-baik saja, masih
mampu bertahan di tempat ini. Kalau ada satu permintaan, hiduplah
dengan tenang, jangan membenci atau menyimpan dendam. Lupakan segala
yang harus dilupakan. Maka, tak seorangpun akan terluka”, tanpa menunggu
jawaban Hae Soo berjalan pergi, tanpa pernah menoleh lagi. Kali ini
Pangeran Wang So terdiam, ia mencoba menyangkal kebenaran kata-kata Hae
Soo, tetapi pelayan itu benar telah mengatakannya.
***
Setelah hari-hari yang panjang dan teramat “mengerikan”
akhirnya Hae Soo sampai pada sebuah ruangan, ia duduk terdiam dihinggapi
beribu pertanyaan. Kenyataan hidup berbalik dan berubah sedemikian
cepat di luar kemampuan nalar manusia. Beberapa saat yang lalu ia
terbuang amat jauh dari megah dinding istana. Kini sebuah suara kembali
memanggilnya, mengapa? Sebatang lilin menyala, cahayanya redup melawan
gelap. Di depan gadis itu, si ahli bintang Choi Ji Mong datang,
menatapnya.Ia tak mampu berucap, sorot matanya sayu dan penuh
permohonan. Ia harus melakukan sesuatu bagi seorang yang dihormatinya,
Yang Mulia Raja Taejo Wang Geon. Semula Hae Soo menatap kehadiran itu
dengan binggung, mengapa Choi Ji Mong harus menemuinya di malam hari?
Akan tetapi, ia tidak harus merasa bingung terlalu lama. Ahli bintang
itu harus melakukan yang sebenarnya.
Di peraduannya yang terasa dingin dan sunyi Yang Mulia Raja
berbaring dengan wajah pucat, seorang tabib tengah memeriksanya. “Yang
Mulia tak usah merasa cemas, saya tahu bagaimana sebenarnya
kesehatannya”, seorang tabib mengira dirinya selalu tahu kesehatan
seorang raja. Atau ia lebih baik tak mengucap lebih santun demi
kesehatan itu sendiri. Tak lama kemudian tabib itupun pergi berlalu,
meninggalkan Choi Ji Mong bersama seorang raja di kamar itu.
Choi Ji Mong menuangkan teh kemudian mengulurkan kepada Yang Mulia Raja, “Adalah ramuan teh terbaru dari Damiwon”.
“Tak ada yang kusuka. Aku tidak ingin makan dan tidak ingin
pula minum”, Raja Taejo memejamkan mata, setahun sudah ia berusaha
mengusir wajah itu, wajah cantik Sanggung Oh. Seorang berhati mulia yang
rela mengorbankan diri bagi seorang anak yang tak pernah dilahirkan.
Akan tetapi, semakin ia berusaha mengusir, semakin wajah itu membayang.
Ia telah mengambil keputusan mengerikan untuk menyelamatkan seorang
wanita serakah, Ratu Yoo. Tragedi hidup kiranya bukan kematian, tetapi
penyesalan. Tatapan tak berdosa Sanggung Oh menikamnya bagai belati,
pedih dan menyakiti. Ia sungguh harus menelan mentah-mentah arti rasa
kehilangan seorang yang dicintai.Kali ini ketika Choi Ji Mong
mengulurkan secangkir teh, wajah cantik Sanggung Oh semakin membayang.
Sang raja tahu, rasa kehilangan membuatnya tak berdaya. Tak berdaya.
“Seorang dayang meracik teh yang berbeda. Setidaknya Yang Mulia
berkenan menghirup aromanya”, kali ini Yang Mulia Raja tak mengelak, ia
menghirup aroma wangi kemudian rasa teh yang istimewa yang tak pernah
diteguk dalam satu tahun terakhir ini. Tiba-tiba ia merasa nyaman,
seteguk teh hangat ternyata mampu menjawab kerinduan akan Sanggung Oh.
“Anak itu yang meracik teh ini?” Yang Mulia Raja bertanya,
mestinya ia marah, karena Choi Ji Mong mengijinkan Hae Soo meracik teh
bagi seorang raja tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi, mengapa pula ia
harus marah? Bukankah kerinduan akan Sanggung Oh terobati setelah ia
meneguk teh ini? Wang Geon tahu, ia tidak harus selalu menjauhkan Hae
Soo dari dinding istana.
“Maafkan, saya hanya ingin melihat Yang Mulia dapat makan dan
minum seperti semula”, Choi Ji Mong sudah bersiap menghadapi kemarahan
seorang raja, ia tidak memiliki pilihan lain untuk memulihkan kesehatan
Yang Mulia, kecuali menghadirkan kembali Hae Soo di Damiwon untuk
meracik teh dengan harapan Raja Taejo mendapatkan kembali semangat dan
kesehatan. Ia tahu persoalan yang menyebabkan kesehatan Sang Raja
menurun, kematian Sanggung Oh di tiang gantung.
“Panggil anak itu datang kemari”, jawaban Yang Mulia Raja
mengejutkan Choi Ji Mong, ia tidak mendapatkan amarah. Ia melakukan hal
yang benar dengan memanggil Hae Soo ke Damiwon untuk menyediakan teh
bagi seorang raja yang tengah gering --sakit.
***
Putri Yeon Hwa memperhatikan kembali cincin pemberian Pangeran
Wang Yo, haruskah ia mempercayai pangeran ini sungguhpun Wang Yo telah
menyatakannya? Sang Putri tahu kemana ia harus pergi, iapun melangkah
mengunjungi Pangeran Wang So, dengan lembut ia berucap. “Satu
keinginanku adalah menikah denganmu”, kata-kata singkat yang secara
tiba-tiba menyebabkan Pangeran ke-4 terkejut bagai disengat
kalajengking.
“Apakah aku tidak salah mendengarnya?” Pangeran Wang So menatap
wajah jelita Putri Yeon Hwa seakan tengah berhadapan dengan seorang
asing.
“Selama ini aku selalu berpikir, apa sebenarnya yang
kuinginkan. Walaupun terlahir sebagai sebagai seorang putri, menerima
kasih sayang Yang Mulia Raja dan para pangeran. Akan tetapi, masih ada
yang kurang, aku tak pernah puas. Ketika semua keluargaku diasingkan,
akhirnya aku sadar. Ternyata aku memerlukan kekuasaan. Satu hal yang
bisa memuaskan keinginanku adalah tahta”, Putri Yeon Hwa bertindak
ceroboh, mestinya ia tidak pernah menampakkan keinginan diri di depan
seorang yang belum tentu menghendaki perkawinannya.
“Apakah engkau mengira aku adalah orang yang engkau inginkan?
Mestinya engkau tahu, aku tidak seperti itu, sangat berbeda”, Pangeran
Wang So menatap wajah jelita itu dengan segenap penyesalan, Yeon Hwa tak
secantik penampilannya. Ia mewarisi sikap Ratu Yoo, ibu tirinya.
“Aku tahu, engkau sangat berbeda, maka aku menjauhimu. Akan
tetapi, ada sesuatu yang terlambat kusadari. Aku seorang wanita, telah
lama mencintaimu. Aku ditakdirkan bersama denganmu”, Putri Yeon Hwa
sangat berani menyatakan semua isi hati. Ia sadar harus membayar mahal
kedudukan selaku putri Goryeo atau ia akan menjadi seorang terbuang. Ia
tidak ingin terbuang jauh dari tahta, ia keturunan Yang Mulia Raja Wang
Geon, ia harus memiliki segalanya.
“Saat masih kanak-kanak. ada seorang yang menyampaikan, kalau
aku ditakdirkan menjadi raja. Saat itulah wajahku terluka dan saat itu
juga aku tak diperlakukan seperti pangeran, terlebih sebagai calon raja.
Apakah engkau masih berucap, kita ditakdirkan bersama?” tidak mudah
bagi Pangeran Wang So mempercayai kata-kata Putri Yeon Hwa. Benarkah
Sang Putri mencintainya? Atau mengatas namakan cinta untuk mendapatkan
perkawinan sekaligus kekuasaan? Dalam hal ini batas antara cinta dan
kekuasaan menjadi nisbi.”Adakah engkau juga mengira, aku percaya takdir?
Adakah engkau tidak mengira ada seorang yang selalu kuingat?”
“Engkau masih juga mengingat adalah Hae Soo? Masa depanmu akan
hancur bila selalu bersama dengan perempuan pembawa sial itu”, di depan
mata Putri Yeon Hwa terbayang kembali wajah Hae Soo, seraut wajah yang
selalu ingin disingkirkan sangat jauh dari hidupnya.
“Aku bahkan tak punya masa depan kalau bukan karena Soo.
Tanpa dia, aku bukan apa-apa”, Pangeran Wang So tak pernah kesulitan
berkata tegas, maka Putri Yeon Hwa hanya bisa terdiam.
***
Choi Ji Mong memenuhi permintaan Yang Mulia Raja dalam jangka
waktu tidak terlalu lama, hari itu Hae Soo akhirnya datang menemui Raja
Raejo di peraduannya. Tubuh tua itu terbaring lemas dengan lingkaran
hitam di seputar mata, pertanda yang sangat jelas dari rasa sakit yang
dideritanya. “Penampilan ini mengingatkanku pada kakek sebelum
meninggal. Aku tak tahu tahun berapa Raja Taejo akan meninggal, tetapi
umurnya takkan panjang lagi.” Hae Soo bergumam di dalam hati sambil menatap tubuh lunglai itu.
“Engkau pasti berpikir hidupku takkan lama lagi?”Yang Mulia
Raja seakan tahu isi kepala Hae Soo. Di pihak lain wajah gadis itu merah
seakan pencuri yang tertangkap basah, Raja Taejo dapat membaca
pikirannya.
“Sebenarnya dari mana asalmu? Setelah Sanggung Oh meninggal,
maka aku mencari tahu semua tentangmu. Mulai dari teman lama dan
kerabatmu. Aku bahkan menanyai semua pelayan Wook. Aku hanya bisa
menyimpulkan, bahwa kau orang berbeda”, Yang Mulia Raja menghela napas
kemudian meneruskan kata-kata.“Perkiraanku engkau sama seperti Ji Mong,
engkau tahu masa depan yang tak kami ketahui. Apa engkau tahu Pangeran
ke-4 terlahir dan ditakdirkan menjadi raja?” kata-kata Raja Taejo
kembali menyebabkan Hae Soo terhenyak. Kiranya Yang Mulia lebih lihai
dari segala yang ia tahu, mata tuanya bisa membedakan siapa dirinya yang
sejati. Ia tengah berhadapan dengan seorang raja besar, tiba-tiba Hae
Soo kehilangan kata-kata, ia merasa tidak pantas menjawab setiap
pertanyaan Sang Raja.
“Putra Mahkota Moo dan Wang So, keduanya memang ditakdirkan
menjadi raja. Akan tetapi, tak ada orang tahu apa yang akan terjadi di
istana ini? Engkau pasti tahu segalanya, karena memang sudah tahu. Satu
hal, jangan pernah membuat dirimu terlibat”, akhirnya Yang Mulia Raja
mengatakan hal yang harus dikatakan. Ia tak pernah menemukan satupun
gadis di Goryeo dengan penampilan dan keberanian seperti Hae Soo, satu
sosok yang tidak akan pernah terbangun pada diri gadis di zaman ini.
Kesimpulannya adalah Hae Soo berasal dari suatu masa yang belum lagi
tiba, suatu hal mustahil tetapi nyata terjadi di depan mata.
“Tidak bisakah Yang Mulia memerintah saya pergi jauh dari
istana? Saya tak yakin dengan kemampuan bertahan hidup di tempat yang
megah ini”, Hae Soo tak dapat mengendalikan rasa takut. Kehidupan di
dalam dinding istana ternyata tidak seindah dongeng pengantar tidur.
Tiang gantung sedemikian dekat, bahkan cucuran darah dari luka menganga.
“Tutuplah matamu untuk segala hal yang tak bisa engkau
kendalikan. Jika engkau tak bisa mengabaikan apa yang akan terjadi,
engkau akan tetap mengalami hal yang sama, dimana pun berada. Jangan
hanya menatap pada masa depan dengan mengorbankan apa yang engkau miliki
sekarang”, untuk hal yang semacam ini bahkan Taejo Wang Geon masih
dapat bersikap bijaksana. “Oh Soo Yeon menganggapmu sebagai putri yang
dilahirkan. Maka aku pun akan menganggapmu sebagai putriku, untuk itu
aku wajib memberikan saran ”, Yang Mulia Raja merasa perlu menebus
segala kesalahan dengan memberikan yang terbaik bagi Hae Soo, seorang
yang ia simpulkan bermula dari masa depan.
Hae Soo terdiam kehilangan kata-kata, ia tak menyangkal
kebenaran ucapan Yang Mulia Raja. Sepasang mata gadis itu
berkaca-kaca, ia terlibat terlalu jauh dalam kehidupan tokoh sejarah
Goryeo yang akan tetap tercatat abadi dan selama-lamanya. Seorang raja
yang sesungguhnya hanya mencintai satu wanita, Sanggung Oh meski
didampingi dua orang ratu serta 27 selir yang lain. Kini ia bahkan
menganggap dirinya sebagai seorang anak. Setelah percakapan selesai, Hae
Soo berjalan meninggalkan peraduan. Raja Besar Taejo perlu beristirahat
untuk penyembuhan, ia telah mendapatkan tempat istimewa di istana ini.
Apa lagi yang perlu ia tangisi? Sampai di pelataran istana yang luas ia
seakan mendengar sekalian prajurit mengenakan pakaian zirah tengah
bertempur, suara pedang saling berbenturan kemudian jenazah
bergelimpangan seakan daun kering lerai dari ranting dan dahan.
***
Woo Hee mulai kembali berlatih, tetapi kali ini tanganya terasa
lelah, bilah pedang yang tergenggan jatuh mengenai lengan. Pangeran
Baek Ah terlihat panik, “Bagaimana tanganmu?” Sang Pangeran merasa
seakan mata pedang melukai pula kulitnya.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja”, gesit Woo Hee
menyembunyikan lengannya. Pangeran Baek Ah tak percaya, ia menarik
lengan yang indah itu, ternyata mata pedang telah menggoresnya. Pada
lengan itu tampak pula bekas sayatan seperti upaya untuk bunuh diri, Woo
Hee langsung menariknya.
“Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa aku tak boleh bertanya?”
Pangeran Baek Ah menatap wajah cantik itu dengan segala tanda tanya,
penari pedang ini menyimpan misteri. Pertanyaan itu semakin menguat
ketika Wo Hee mengelengkan kepala. Ada yang disembunyikan dalam diri
penari ini.
“Kalau memelukmu, bagaimana? Boleh aku melakukanya?” satu hal
yang dirasakan Pangeran Baek Ah ketika berdekatan dengan Woo Hee adalah
cinta, ia tak mampu menyangkalnya. Akan tetapi, ada sesuatu
–tersembunyi yang menyebabkan Woo Hee kembali mengelengkan kepala. Kali
ini Pangeran Baek Ah tak perlu merasa peduli dengan kepala sang penari
yang selalu menggeleng. Ia menarik tubuh ramping itu kemudian
memeluknya.
“Maaf, aku tak ada di sampingmu dalam keadaan sulit”, kiranya Pangeran Baek Ah layak menyesal.
“Tak perlu minta maaf, semua terjadi sebelum pertemuan ini”,
tidak mudah bagi Woo Hee untuk terus menjauhkan diri dari Pangeran Baek
Ah, tetapi bagaimana ia dapat melakukan bila jarak semakin dekat.
“Maka aku semakin menyesal, semua terjadi sebelum mengenalmu.
Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, berbahagialah dan percaya padaku”,
Sang Pangeran sungguh tak ingin melepas pelukan itu, akan tetapi Woo
Hee segera melepaskan diri.
“Siapa sesungguhnya dirimu, maka bisa menjamin semua itu? Aku
tak pernah berharap apa pun darimu”, untuk suatu sebab yang tidak
diucapkan Woo Hee merasa kesal, ia menyudahi pertemuan ini kemudian
melangkah pergi.
“Heii…tunggu…” Pangeran Baek Ah berteriak memanggil, ia
menyesal dengan pertemuan yang singkat, masih ada banyak hal yang ingin
disampaikan kepada penari cantik itu.
Pada selang waktu tidak terlalu lama Hae Soo berjalan ke arah
taman, matanya menangkap sosok cantik penari pedang duduk seorang diri,
ia tak keberatan melangkah menghampiri.”Engkau terlihat kesal dan
murung”, Hae Soo membuka pembicaraan sebelum keduanya duduk
bersama.”Apakah terjadi sesuatu pada Baek Ah?”
“Bagaimana engkau mengenal Baek Ah?” Woo Hee balik bertanya.
“Sebelum datang ke Istana, kami berpapasan di pasar, ia
mengenal baik kakak sepupuku, demikianlah kami saling kenal”, Hae Soo
menjawab cepat.
“Dia sepertinya orang yang baik”, tanpa sadar Woo Hee berucap,
setahun perkenalan menyebabkan ia tahu Baek Ah memang orang yang
baik.“Aku tak pernah mengenal saat masih kanak-kanak. Sekarang setelah
menjadi penari, aku sering bertemu dengannya”, sulit mengelak bagi Woo
Hee, dalam satu terakhir ia telah berubah, karena Baek Ah.
“Aku tak tahu saran terbaik, yang kutahu ia datang ke tempat ini hanya untukmu. Tidak ada alasan menjauhi”, Hae Soo berpesan.
“Terhitung sejak hari ini, kami takkan dekat lagi. Sebentar lagi aku akan pergi”, tak mudah bagi Woo Hee menerima pesan Hae Soo.
“Kemana engkau akan pergi?” Hae Soo menjadi binggung dengan jawabana itu.
“Ingatkah hari pertama saat kita bertemu? Tanpa sengaja kita
berdua menjadi dekat, karena hal yang menyedihkan, tak perlu lagi
dipertanyakan mengapa hal semacam itu harus terjadi? Satu permintaan,
mulai sekarang dan seterusnya, tetaplah seperti itu.Kita tidak harus
tahu semuanya, dengan demikian engkau takkan kesulitan jika ada sesuatu
yang harus terjadi. Besok perkumpulan persahabatan dilaksanakan, apa
engkau bersedia meriasku?”ada pesan tersamar dalam kata-kata itu, suatu
hal yang tak mudah bagi Hae Soo.
“Engkau akan menjadi gadis tercantik dari Gyobang”, Hae Soo tak
keberatan untuk satu hal ini, merias seorang penari pedang yang cantik.
“Esok aku ingin semua orang hanya melihatku dan tak bisa
melupakan. Buatlah aku tampil mempesona. Aku ingin diingat seperti itu”,
satu permintaan yang tidak sulit, siapakah yang tidak akan melihat
sekaligus mengingat seorang penari cantik?
***
Pangeran Wang Yo bertemu secara rahasia dengan Perdana Menteri
Park Young Gyu, suaranya setengah berbisik, “Benarkah gadis itu sudah
siap, perkumpulan persahabatan adalah kesempatan terbaik bagi kita
berdua”, tak ada yang tahu bisikan itu kecuali telinga yang berhak
mendengar.
“Gadis itu menyimpan kesusmat dendam kepada Yang Mulia Raja,
jangan khawatir”, suara Perdana Menteri Park Young Gyu sama lirihnya.
“Rahasiakan gadis ini dari ibuku. Meskipun membenci Yang Mulia
Raja, tapi ibu masih memiliki alasan untuk menyayanginya”, Pangeran Wang
Yo selalu memiliki celah untuk meneruskan rencana jahat dalam rangka
meraih tahta.
Langkah selanjutnya Pangeran Wang Yo bersama Pangeran Wang Wook
menemui Yang Mulia Raja di ruang tahta. Choi Ji Mong lebih dahulu
berucap, “Saya kira lebih baik Yang Mulia Raja tidak harus hadir ke
perkumpulan persahabatan. Mohon maaf, Yang Mulia masih tampak pucat”, si
ahli bintang tak dapat menyembunyikan rasa cemas. Wajah Raja Taejo
sepucat kertas, sementara tubuhnya tampak lemah, meski telah meneguk teh
buatan Hae Soo dari Damiwon.
“Benar sekali, bukankah Yang Mulia Raja biasanya tak pernah
menghadiri perkumpulan persahabatan? Kecuali ada keluarga penguasa yang
datang. Paman Wang Sik Ryum akan datang, saya dan Pangeran ke-8 bisa
menangani. Yang Mulia dapat beristirahat dengan baik”, Pangeran Wang Yo
menyetujui pendapat Choi Ji Mong.
“Menurutku, Yang Mulia harus hadir. Tujuan utama perkumpulan
persahabatan adalah untuk menunjukkan, bahwa Yang Mulia dalam keadaan
sehat. Kehadiran Yang Mulia meski sebentar akan menyangkal kabar, bahwa
Yang Mulia sakit”, Pangeran Wang Wook sengaja menyatakan pendapat yang
bertolak belakang.
“Engkau benar, aku tak bisa menunjukkan kelemahan pada mereka.
Aku harus hadir pada perkumpulan persahabatan”, suara Raja Taejo
terdengar lirih, ia tak mampu menyembunyikan tubuh serta jiwanya yang
letih. Pangeran Wang Yo tampak senang dengan kesanggupan Yang Mulia
Raja, sepasang matanya berbinar menatap Pangeran Wang Wook . sebaliknya
Pangeran ke-8 berbalik menatapnya dengan pandangan dingin membeku,
menahan amarah.
Esok hari acara perkumpulan persahabatan dimulai dengan meriah,
semua pangeran hadir mendampingi Yang Mulia Raja. Akan tetapi, Pangeran
Wang So mengalihkan perhatian pada hal berbeda, ia menemui Hae Soo,
mendekatkan wajahnya, “Bagaimana kalau menikah ?” sebuah pertanyaan
tiba-tiba yang menyebabkan Hae Soo terpengarah.
“Kalau kita menikah, engkau bisa meninggalkan istana dan
Gyobang. Dengan demikian, menikah adalah jalan keluar”, Pangeran Wang
So perlu mengucap dua kali untuk meyakinkan gadis impiannya.
“Tak mudah melakukannya”, Hae Soo memilih kata-kata yang tepat.
“Jika engkau tak menyukaiku, setelah pernikahan kita bisa
meninggalkan istana kemudian bercerai. Aku mau melakukannya untukmu,
lebih baik kita pergi”, Pangeran Wang So kembali membujuk.
“Terlalu banyak tugas dan kewajiban di istana, pangeran tak
perlu pergi ke tempat ini. Yang Mulia Raja sangat peduli serta
mengandalkan Pangeran ke-4, Yang Mulia selalu mencoba dan menguji
anak-anaknya”, Hae Soo masih mampi memilih kata-kata.
“Yang Mulia mengutamakan dirinya menjadi raja bukan ayah. Aku tidak harus berada di sisinya”, Pangeran Wang So memiliki alasan.
“Bagaimana kalau pangeran juga akan menjadi raja? Apakah akan
tetap pergi dari Songak?” Hae Soo bertanya, bukankah ia telah tahu
jalannya sejarah?
“Jika aku menjadi raja, maukah engkau pergi denganku? Tidak
mudah bagiku menjadi utusan, tetapi aku memiliki kelonggaran. Aku selalu
memikirkanmu, aku juga memikirkan kebebasanmu. Keinginanku adalah hidup
damai bersamamu, tak ada seorang yang dapat mengganggu.Tanpa
kehadirannmu, tak akan ada arti hidup bagiku sekalipun takdir membawaku
menjadi seorang raja”, dengan yakin Pangeran Wang So mengembalikan
hiasan rambut yang pernah diberikan kepada Hae Soo. “Jadi ikutlah
bersamaku, bukankah engkau orangku?” Pangeran Wang So tak lelah
meyakinkan Hae Soo, namun gadis itu bahkan tidak berminat menerima
hiasan rambut, ia menolaknya.
“Bukan suatu hal yang mudah menikah dengan seorang pangeran,
terlebih karena alasan harus meninggalkan istana”, Hae So menyudahi
percakapan, melangkah pergi. Langkah itu terhenti, Pangeran Wang Wook
telah berdiri di depanya. Tak ada yang harus disampaikan kepada Pangeran
ke-8, Hae Soo meneruskan langkah.
Pangeran Wang So berniat mengejar, tetapi Pangeran Wang Wook
menahanya dengan tatapan dingin,”Benarkah seorang pangeran berniat
menikahi pencuci pakaian, jangan pernah membodohi Hae Soo”.
“Kalau memang ingin menikah, maka aku akan menikah”, Pangeran Wang So melepaskan tangan Pangeran Wang Wook dari dadanya.
“Dia berada dalam bahaya, karenamu. Dia diusir ke sini, karena
fitnah terlibat dengan masalahmu dan masalah ibumu. Engkau memulai
segalanya, dan sekarang berniat menikahinya? Engkau kira aku bisa
memaafkanmu?”suara Pangeran Wang Wook sinis, ia sungguh terjebak rasa
kehilangan teramat dalam, karena kejadian buruk yang menimpa Hae Soo.
“Pernah kusampaikan semua bukti yang menyatakan Hae Soo tidak
bersalah, tetapi engkau tidak melakukan tindakan apa-apa. Pangeran ke-8
hanya seorang yang tidak berdaya”, suara Pangeran Wang So tak kalah
sinis. Darah Pangeran Wang Wook mendidih, dengan geram ia mencengkeram
pakaian Pangeran ke-4. Kedua pangeran itu akhirnya saling mencengkeram
dalam amarah.
Sementara pertunjukan tarian pedang dimulai, Woo Hee sudah siap
dengan sebilah pedang berkilat di tangan bersama penari yang lain.
Pangeran Wang Yo dapat melihat kesumat dendam dalam tatapan penari
cantik itu saat Yang Mulia Raja duduk di bangku paling depan. Pangeran
Baek Ah memperhatikan persiapan pertunjukan dari arah belakang, Woo Hee
akhirnya menyadari siapa sesungguhnya Baek Ah, kali ini ia mengenakan
pakaian kebesaran seorang pangeran. Ia tak dapat mengubah rencana, satu
hal yang dirasakan ketika menatap yang Mulia Raja Wang Geon adalah
kebencian.
Pada sudut berbeda Choi Ji Mong melihat keadaan Yang Mulia Raja
semakin lemah, wajah itu tampak semakin tua dan letih. Diam-diam Choi
Ji Mong mengeluh, ia selalu bersiap untuk beragam kemungkinan. Adapun
pertunjukan tari pedang telah dimulai, gerakan Woo Hee gesit dan lincah
mempesona setiap permirsa, tatapan matanya yang tajam tak sekalipun
beralih, tetap lurus ke depan, menatap Yang Mulia Raja. Pangeran Baek Ah
menangkap suatu hal yang janggal dan menggelisahkan. Woo Hee amat
cantik dalam penampilan ini, tetapi sepasang matanya bukan tengah
menari, tatapan itu berniat membunuh, dengan satu sasaran, seorang yang
tengah duduk di kursi utama –Yang Mulia Raja. Pangeran Baek Ah teringat
kembali saat Woo Hee berlatih, penari itu selalu mengarahkan pedangnya
ke arah depan pada suatu sasaran mematikan.
Di arena Woo Hee masih terus menari dengan tatapan lurus ke
arah Yang Mulia Raja, Park Young Gyu dan Pangeran Wang Yo tak sabar
menunggu, gerakan Woo Hee akan menjadi sedemikian gesit dan indah untuk
membunuh Yang Mulia Raja. Woo Hee benar telah siap menusukan pedang,
tetapi tiba-tiba Pangeran Baek telah berdiri tepat di depanya, merelakan
diri sebagai pengganti sasaran.
Dalam jarak tidak terlalu jauh dari para penari beraksi,
Pangeran Wang So dan Wang Wook masih saling mencengkram, Pangeran ke-8
bisa mendengar suara Wang Soo seakan ular mendesis, “Berhenti untuk
pura-pura peduli kepadanya, lebih baik engkau berpaling
selamanya.Engkau bukan lagi kakak iparnya, ia bukan lagi urusanmu”,
Pangeran Wang So tak ragu dengan ucapannya, darah Pangeran Wang Wook
semakin mendidih dibakar amarah.
Sementara darah Woo Hee tersirap, mata pedang tidak tepat
mengenai sasaran, beralih menikam Baek Ah. Pangeran itu berdiri tepat
di depan Woo Hee, sengaja mengorbankan diri untuk seorang penari yang
dicintainya, tatapan mata itu jauh tak terukur, sedalam lautan. Pangeran
Baek Ah tak ingin Woo Hee terlibat persoalan yang tak akan dapat
diselesaikan. Ia tahu isi hati gadis itu.
Bersambung ke Episode 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar