Mika memandangi wajahnya di atas permukaan air. Sorot mata wanita itu tak dapat menyembunyikan kepedihan hati. Ia masih dapat melihat dengan jelas, memar di seputar mata, bibir yang pecah-pecah, dan pelipis yang lecet-lecet. Setelah satu minggu peristiwa itu berlalu, maka bekas kemarahan Mundus masih menyisakan bentuk. Di kampung ini wanita memang selalu mengalami nasib yang malang. Mereka tak pernah dapat melepaskan diri dari kesewenangan laki-laki, kecuali, anak perempuan kepala perang.
Tiba-tiba, membersit seulas senyum di bibir wanita itu. Mika teringat
kepada dua anak perempuannya, Yemnen dan Tuka. Mereka adalah anak
seorang kepala perang. Kelak, suami-suami mereka tak akan dapat
memperbudaknya, karena kedudukan itu. Sebaliknya, suami-suami itu bisa
diperlakukan sebagai budak. Perlahan-lahan hati wanita itu menjadi
damai. Ia memang tidak bisa melindungi diri dalam perkawinannya dengan
Mundus, tapi perkawinan itu telah menjadi jaring pengaman bagi anak
perempuannya.
“Engkau telah siap, Mika?” seorang laki-laki dengan tiba-tiba telah
datang menjelang Mika. Di pundaknya yang legam telanjang tersampir
sebuah jaring ikan.
“Saya sudah menunggu engkau dari tadi,” Mika segera beranjak dari
tempatnya berdiam diri. Ia telah berjanji dengan Donatus untuk pergi
menjaring bersama-sama. Hati wanita itu bengkak sudah, ia perlu
melancong untuk sekadar menghibur diri. Anak-anak ia biarkan bermain
lumpur kacau-kacau. Memang demikianlah permainan mereka sehari-hari.
“Ayolah kita berangkat,” tangan Donatus menggapai. Mereka pun berjalan beriringan, menuju sebuah perahu yang tertambatkan.
Donatus adalah sepupu satu kali Mika, sejak kecil mereka selalu
bermain bersama-sama. Kini Donatus telah beristri dan mempunyai lima
orang anak. Meski demikian mereka tak merasa bersalah dengan pergi
menjaring bersama-sama. Donatus meloncat ke atas perahu dengan lincah,
diikuti Mika. Keduanya berdiri tegak dalam sebuah keseimbangan di
tempatnya masing-masing. Ketika dayung mulai dikayuh, maka perahu pun
melaju dengan tenang membelah permukaan air sungai, hingga menimbulkan
suara berkecipak.
Mereka tak menyadari, bahwa di balik semak-semak ada sepasang mata
mengawasi kepergian itu dengan bara api cemburu yang berpijar perlahan
dan akhirnya berkobar menjadi kemarahan. Sepasang mata itu adalah milik
Bunapi, istri Donatus. Bunapi tak bisa mengerti mengapa Donatus mesti
pergi dengan wanita lain, istri kepala perang pula. Wanita yang dibakar
cemburu itu pun cukup mengerti apa yang harus dilakukan untuk
menumpahkan kemarahan kepada Mika.
Dengan langkah tergesa Bunapi pergi menuju ke rumah Mundus. Ia merasa
perlu menyiramkan minyak sekaligus menyulut api untuk membakar
kemarahan Mundus, sehingga dapat meminjam tangan kepala perang itu untuk
menghajar Mika. Mundus tengah mengisap tembakau ketika Bunapi datang
menjelang kepadanya.
“Hei, Mundus, tidak tahukah engkau? Mika tengah pergi bermain gila dengan sa pu laki di sungai sana,” demikian Bunapi menyiramkan minyak.
“Kamu orang bicara apakah?!” Mundus tergagap sambil membanting puntung rokok yang masih panjang.
“Mika dorang, ada bermain gila dengan sa pu laki di sungai sana. Kalau kamu orang tra percaya, kamu bisa melihat sendiri. Dorang-dorang itu mendayung ke arah hulu!” Bunapi pun menyulut api kemarahan itu, seketika Mundus merasa dadanya berkobar-kobar.
Dengan sebuah entakan Mundus menyambar dayung terukir indah yang
tersandar di dinding rumah. Api cemburu membuat langkah kaki itu
bergerak lebih panjang daripada biasanya, seakan melayang di atas tanah
berlumpur. Mundus pun sampai di tepi sungai, ia meloncat ke atas perahu
kemudian mendayungnya dengan sekuat tenaga hingga perahu itu melaju
dengan cepat bagai anak panah melesat dari tali gendewa, menuju sasaran.
Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan setelah amarah mendidih
bagai panas bara di kepalanya, tampaklah orang-orang yang dicarinya.
Dari kejauhan dua manusia itu tampak seakan lukisan purba yang tengah
berharap-harap akan hasil tangkapan ikan, tak ada yang salah pada
mereka. Tapi cemburu telah mengubah pemandangan itu sebagai sepasang
kekasih yang memilih kesunyian untuk merayu. Di bawah sepasang kekasih
itu, permukaan air sungai yang bening dengan syahdu memantulkan
bayang-bayangnya.
“Mika, beraninya kamu main gila di sini!” sumpah serapah pun
terlontar dari mulut Mundus. Perahu mereka bertabrakan, guncangan keras
tak terhindarkan bagai pukulan telak yang mengejutkan Mika. Wajah
perempuan itu telah berubah menjadi sepucat kertas. Rasa sakit akibat
pukulan Mundus belum juga tersembuhkan, dan kini ia harus bersiap
menerima hukuman lagi.
Diam-diam lutut Mika menggigil, ia cukup mengerti apa yang bakal
terjadi setelah ini. Mundus memang bebas membawa pulang perempuan ke
rumahnya. Tapi ia, ia tak berhak pergi menjaring dengan laki-laki lain,
meski Donatus adalah sepupunya, dan ia tak berbuat lebih dari sekadar
menjaring.
Mundus mencengkeram pundak Mika kuat-kuat kemudian menariknya
sedemikian rupa, sehingga wanita itu terpaksa meloncat ke dalam perahu
Mundus dengan tulang kering membentur dinding perahu. Mika terpekik. Dan
jerit kesakitan yang diselingi isak tangis kembali bergema di sepanjang
aliran sungai, karena Mundus terus-menerus menendang dan memukuli Mika
sampai mereka tiba di perkampungan.
Jerit tangis itu telah mengundang seisi kampung untuk menghambur
keluar, melihat apa gerangan yang terjadi. Kemudian tampaklah
pemandangan yang biasa menimpa kaum wanita di kampung ini. Sepanjang
jalan Mundus mencaci-maki dan menghajar Mika dengan membabi buta. Isak
tangis dan sedu sedang wanita itu tak mampu meruntuhkan hatinya. “Kitorang tidak bermain gila, Mundus, hanya pergi menjaring. Donatus dorang itu sa pu
sepupu. Ada hal apa mesti bermain gila. Tidak, Mundus, tidak,”
kata-kata Mika terucap dengan sia-sia, karena bertubi-tubi pukulan
Mundus tak berhenti juga.
Ketika melihat mamaknya teraniaya, anak-anak Mika segera menangis
meraung-raung. Mereka berniat menolong wanita yang malang itu, tapi
kebengisan Mundus telah menjadi dinding penghalang. Dan lebih dari itu,
mereka juga mengalami ketakutan yang luar biasa. Sementara di ambang
pintu rumahnya yang lapuk, Bunapi menyaksikan kemalangan Mika dengan
hati puas. Ia telah meminjam tangan Mundus untuk memadamkan api
cemburu. Tuntas sudah kebencian itu.
Di lantai rumah, Mika terjerembap dengan hidung mengalirkan darah. Ia
mendengar anak-anaknya meraung, dan seisi rumah itu seakan
berputar-putar dalam gempa bumi yang dahsyat. Semua itu belum berhenti
sampai di sini. Ketika dalam rasa sakit tak terperi Mika melihat Mundus
menghunus parang, wanita itu menjadi putus asa. Tangis Wenen, Tuka,
Yalean, dan Yowero kian menjadi. Nalar kebocahan mereka harus menelan
peristiwa menakutkan yang tak semestinya terjadi. Ketakutan itu
memuncak ketika mereka melihat Mundus mengangkat parang tinggi-tinggi
dan menebas leher Mika kuat-kuat.
Dengan sisa kekuatannya Mika mengelak. Parang itu tak berhasil
menebas lehernya memang, tapi bersarang di pundak dengan luka yang amat
dalam. Mika melolong dalam jeritan panjang kemudian terkapar tak
sadarkan diri. Rasa pedih, takut, dan nyeri telah menenggelamkan
kesadaran wanita itu hingga ia tak mampu bangkit lagi. Sementara darah
terus mengucur membasahi lantai rumah. Di atas genangan darah itu,
Yowero berguling memeluk Mika. Ia yang terkecil di antara semua yang
menyaksikan kekerasan itu.
Naluri kebocahannya menangkap sesuatu yang tak pantas telah terjadi.
Tanpa sadar bocah itu mencatat dalam ingatannya, bahwa wanita selalu tak
berdaya di bawah kekuasaan laki-laki. Ia terlalu lemah, bahkan sekadar
untuk membela dirinya sendiri. Dan, jiwa bocah kecil itu pun terguncang.
Ia memeluk Mika erat-erat, seolah tak berniat melepaskannya kembali.
Yowero ingin mencari tempat berpijak yang kuat untuk menghentikan
guncangan itu. Tapi tak ada seorang pun yang mengulurkan tangan, demi
sebuah rasa aman. Hati bocah itu tercabik-cabik.
Sementara Mundus, ia seakan tersadar dari kekhilafan ketika melihat
aliran darah terus membanjir membasahi seluruh tubuh Yowero. Anaknya
yang paling kecil dan tak mengenal salah. Kepala perang itu berdiri
mematung dengan parang berlumuran darah tergenggam di tangan. Amarahnya
seketika padam bagai pijar api tersiram hujan. Ia tetap terdiam hingga
Upra menerobos masuk untuk memberikan pertolongan bagi Mika.
***
Seisi kampung Buetkuar kini tengah berkumpul di jew---rumah
bujang---yang baru selesai dibangun untuk mengadakan pemberkatan. Rumah
bujang, sebagai pusat lingkaran konsentris dalam kehidupan di kampung
itu, merupakan yang termegah setelah rumah-rumah berdinding gaba-gaba,
beratap ilalang, dan segera menjadi lapuk dimakan waktu. Dengan
tiang-tiang yang amat kokoh, dinding dan atap ilalang yang belum
terkoyak, serta lantai kulit kayu yang tersusun rapi, rumah itu tampak
sebagai basis kekuatan yang mengembangkan pengaruh bagi seisi kampung.
Ada sembilan pintu yang menganga lebar tanpa daun di sana. Lurus dengan
pintu-pintu itu adalah tungku api lengkap dengan para-para untuk
menyimpan kayu bakar di atasnya. Satu-satunya ruangan di rumah itu cukup
luas untuk menampung seisi kampung yang ada.
Mereka yang ada di dalam rumah bujang itu, kini mengenakan pakaian adat yang elok rupanya. Awer ---cawat--
yang melingkar di pinggang, topi dari kulit kuskus, hiasan tubuh dari
manik-manik dan riasan wajah berwarna putih, hitam, merah adalah
penampilan khas dari setiap orang dalam sebuah pesta. Di altar yang
terletak persis pada tengah-tengah ruangan, terbentang sehelai tapin yang masih baru, bersih, dan mengilat. Di seputar tapin itu para tetua adat duduk melingkar dengan sebuah tifa pada masing-masing tangan.
Suasana di dalam ruangan itu menjadi hening ketika tetua adat membakar kayu gaharu (Aquilaria filaria)
sebagai kayu yang berasal dari pohon sakral yang hanya bisa dibakar
dalam upacara pemberkatan rumah bujang. Mereka semua masih percaya,
bahwa kayu hitam itu tidak bisa dipergunakan dalam acara lain, terlebih
diperdagangkan, karena akan menimbulkan malapetaka. Gaharu yang dibakar
itu kini mulai mengepulkan asap tipis. Embusan angin menyebabkan asap
itu meliuk-liuk bagai ular sanca dan terus menjalar hingga akhirnya
memecah kehilangan bentuk. Seluruh ruangan kini berbau harum. Bau yang
begitu nyaman dan mendatangkan suasana mistis. Seluruh orang yang ada di
dalam ruangan terpaku, tersihir oleh sebuah aroma yang membawa ritus
upacara hari ini pada suasana masa lampau. Suatu kala, ketika para nenek
moyang yang menjadi sumber dari segala kekuatan masih merajai kehidupan
dan melahirkan anak keturunan.
Keheningan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sampai
tiba-tiba suara tifa berkumandang, membelah hening dan menyadarkan semua
orang dari keterpakuan. Suara itu merupakan isyarat bagi semua orang
untuk menari. Keheningan di dalam rumah bujang itu segera terpecah oleh
suara pekikan dan gemuruh entakan kaki hingga rumah yang kokoh itu
bergetar sudah, seakan hendak tumbang. Awer yang melilit pada
pinggang-pinggang itu pun segera bergerak, mencuat ke kanan dan ke kiri
mengikuti goyangan pinggul. Seluruh orang bersuka ria.
Yowero, si kecil yang terus bertumbuh, ada di antara hiruk-pikuk itu. ia mengenakan cali-cali
yang masih baru, topi dengan hiasan bulu cenderawasih, tulang kasuari
yang disusupkan dalam gelang pada lengan bagian atas, dan sebuah noken
berhiaskan manik-manik. Anak itu terhanyut dalam suasana suka ria
bersama puaknya. Sementra Mika bersama wanita yang lain tengah sibuk
menyiapkan hidangan.
Ketika wanita-wanita itu memsuki rumah bujang untuk menghidangkan
makanan, maka terdengar suara teriakan bagi semua orang untuk
menghentikan tarian. Sementara suara tifa tidak lagi terdengar. Suasana
hening seakan isyarat bagi wanita-wanita itu untuk meletakkan hidangan
di atas tapin dengan hati yang damai. Hidangan itu berupa ulat
sagu, singkong, ubi manis, sagu bakar, dan ikan bakar yang telah diatur
rapi di atas sebuah tapin kecil. Selebihnya adalah kelapa, pisang, dan buah-buahan yang biasa tumbuh di dalam hutan.
Hidangan menjadi begitu berharga bagi seisi puak, tanpa kecuali,
karena segala jenis makanan itu adalah sumber kekuatan. Dalam
sehari-hari mereka bahkan harus bersimbah keringat memangur sagu untuk
mendapatkan bahan makanan. Sebab itu, mereka wajib menaruh hormat dengan
berdiam diri, menghentikan segala macam gerakan ketika hidangan
tersaji.
Mika ada di antara wanita yang menghidangkan makanan. Wanita itu mengenakan cali-cali
yang amat elok, kutang penutup dada, hiasan kepala, kalung manik-manik
serta hiasan wajah berwarna putih, hitam, dan merah yang dipoles
sedemikian rupa dan berbentuk simetris. Tak ada lagi tanda-tanda bekas
pukulan pada wajah wanita itu. Sementara luka bekas bacokan parang di
pundaknya telah sembuh sama sekali, setelah ia terbaring mengerang dalam
rawatan Upra selama berhari-hari. Tanda-tanda kepedihan tak tampak lagi
pada garis muka. Sepasang mata itu, bahkan tampak berpijar ketika
meletakkan ulat sagu di atas tapin. Mika sempat menatap Mundus,
sekejap, dua pasang mata itu saling bertautan. Tiba-tiba Mundus merasa
bulu kuduknya meremang. Ia cukup memahami makna tatapan itu. tatapan
orang yang tak lagi punya kata maaf setelah menunggu berlama-lama untuk
membalaskan dendam.
Diam-diam Mundus mengeluh. Ia menyadari, bahwa adat suku Asmat pada
saatnya akan memberikan pembelaan kepada istri-istri setelah bertahun
lamanya mereka selalu dianiaya para suami. Pemberkatan rumah bujang itu
berarti, bahwa saat itu akan segera tiba. Dan Mundus, tak dapat lagi
mengelak. Ia harus menerima pembalasan setelah perbuatan aniaya yang
berulang kali terhadap Mika.
Mika telah berlalu meninggalkan altar. Mundus memandangi punggung
wanita itu dengan gamang. Mendadak, suasana pesta yang meriah itu telah
berubah menjadi isyarat bahaya. Laki-laki itu telah kehilangan semangat
untuk ikut serta bersuka cita. Hingga pesta usai Mundus hanya berdiam
diri. Ia tak banyak berkata-kata sampai hari yang ditentukan para tetua
adat untuk menyelenggarakan pesta patung bis tiba. Dan sebagai kepala perang ia berwenang penuh memerintahkannya.
Pada masa lampau, sebelum misionaris dan pemerintah setempat datang
untuk membudayakan masyarakat di wilayah Asmat. Maka, ketika tetua adat
atau kepala perang memerintahkan kepada anggota suku untuk
menyelenggarakan pesta patung bis. Hal itu berarti, bahwa saat
untuk melakukan pengayauan kepala lawan di kampung lain telah tiba.
Pemuda-pemuda yang tengah menjelang dewasa harus mampu memenggal kepala
lawan untuk mendapat pengesahan dari puaknya, bahwa ia sudah benar-benar
dewasa.
Saat itu, penanggalan telah menunjukkan tahun 1991, pengayauan telah
lama berlalu. Hukum telah mengajarkan, bahwa membunuh apa pun bentuknya
adalah kejahatan. Penjara tentu saja bukan pengalaman yang baik, juga
bagi orang Asmat yang biasa hidup merdeka di tengah hutan. Pesta patung bis
yang kini diselenggarakan merupakan jalan damai bagi suku Asmat untuk
melanggengkan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman batu, tanpa ada
unsur kejahatan di dalamnya.
Dan hari yang telah ditentukan itu pun tiba. Kaum wanita telah
menebang ratusan pohon sagu untuk mendapatkan ulat sagu sebagai makanan
yang lezat cita rasanya. Menyediakan makanan selama pesta berlangsung
adalah tugas mereka, adat telah memastikan dan tak seorang pun dari
mereka bisa mengelakkan. Pada pagi-pagi sekali seluruh laki-laki dewasa
di kampung itu telah berkemas pergi ke hutan dengan senjata tajam siap
di tangan. dengan kendaraan perahu, serombongan itu tampak sebagai
prajurit yang siap berperang. Di tepi sungai, wanita dan anak-anak
melepas keberangkatan itu tanpa banyak berkata-kata.
Mika dan Yowero tampak di antara orang yang berdiri di tepi sungai
dengan satu pusat perhatian, kaum laki-laki yang tengah mendayung perahu
beramai-ramai, menuju ke hutan untuk menebang batang pohon pala. Ada
segaris senyum di bibir wanita itu. ia telah menunggu hari pembalasan
dengan mengulur kesabaran dan segala pedih perih, karena ulah Mundus.
Sementara Yowero yang kini tengah menjelang gusia sebelas tahun
menyaksikan semua ini dengan nalar kebocahan yang masih murni. Ia tidak
banyak mengerti, mengapa upacara semacam ini harus terjadi, sampai suatu
saat perjalanan waktu akan membuatnya mengerti.
Dari tepi sungai, bayangan laki-laki yang terus bergerak meninggalkan
perkampungan itu semakin lama semakin menjauh dan akhirnya menghilang
di balik hijau pepohonan. Perlahan-lahan wanita dan anak-anak yang
berdiri di tepi sungai itu pun undur diri dan kembali ke rumah
masing-masing, hingga suasana di tepi sungai kembali dalam sunyi.
Mereka, kaum wanita itu, tengah menunggu saat yang tengah dinantikan
selama kurang-lebih lima tahun lamanya untuk melakukan sesuatu.
Matahari pun bergerak dengan perlahan tapi pasti pada garis lintasan
yang menjadi arah perjalanan, sepanjang waktu. Setelah sinarnya yang
terik, maka perlahan-lahan suasana menjadi redup. Senja jatuh dalam
warna kuning yang hinggap di setiap sudut kampung Buetkuar, dari
kejauhan tampak serombongan perahu dengan seluruh laki-laki dewasa yang
telah berhasil menebang pohon pala dengan batang kayu yang berwarna
putih serta akar mencuat melambangkan kejantanan.
Kedatangan rombongan itu segera tersebar ke seluruh kampung dan kaum
wanita segera menghambur ke tepi sungai, tanpa kecuali, tergenggam erat
di tangan mereka dalah semacam senjata tajam, pisau, kapak, parang, dan
tombak. Muka wanita itu menjadi sedemikian beringas, mereka menantikan
kedatangan kaum laki-laki itu dengan dendam yang sudah menyala
bertahun-tahun lamanya. Ketika perahu-perahu itu semakin mendekat, maka
wanita-wanita itu berteriak kuat sambil mengacungkan senjata
tinggi-tinggi. ketika cahaya matahari semakin redup rombongan laki-laki
dengan batang pohon pala itu pun akhirnya sampai di tepi sungai. Seisi
kampung kini tertumpah di tempat berlumpur itu. Suasana hiruk-pikuk.
Batang kayu pala itu pun diangkut beramai-ramai ke rumah bujang. Di
belakang rumah besar itu telah dibuat pula sebuah rumah khusus untuk
mengukir patung bis. Dengan amat hati-hati dua batang kayu pala raksasa
itu diletakkan pada tempat yang telah dikhususkan. Tak seorang pun boleh
masuk ke dalamnya, kecuali para pengukir yang akan menyelesaikan
pekerjaan hingga tetes keringat yang terakhir. Ruangan itu menjadi
tempat terlarang selama kurang-lebih tiga bulan hingga patung bis itu
selesai diukir. Setelah batang kayu itu diletakkan dengan rapi pada
tempatnya, semua laki-laki segera meninggalkan rumah bujang. Maka mereka
pun mencaci-maki istri masing-masing, sehingga kemarahan wanita-wanita
itu sampai pada puncaknya.
Caci-maki itu merupakan isyarat, bahwa perang melawan suami-suami
dapat segera dimulai. Istri-istri itu pun segera berlari mengejar suami
masing-masing dengan senjata di tangan sebagai suatu ancaman, tanpa
adanya prlawanan. Suasana menjadi kacau-balau. Baku kejar dan caci-maki
terjadi di setiap sudut kampung ini tanpa ada satu pihak pun yang bisa
menghentikan. Istri-istri yang berhasil mengejar suaminya itu pun segera
memukuli suami-suami itu dengan beringas. Ada di antara mereka yang
dapat melukai dengan senjata tajam, hingga darah segar pun mengucur,
tergenang di atas tanah berlumpur. Dan sejauh ini tak ada seorang pun
suami yang boleh melawan. Selama pesta patung bisa berlangsung, maka hal
itu berarti, bahwa wanita telah mempunyai kesempatan untuk membalas
sakit hati, karena perilaku aniaya dari suami. Adat memberikan
pembenaran akan hal itu sebagai pembelaan bagi kaum wanita yang
teraniaya. Sementara anak-anak berdiri sebagai penonton sekaligus
sebagai generasi yang sedang dalam proses belajar kemudian melanggengkan
budaya itu di masa-masa mendatang.
Di tepi sungai, tampak Mika tengah mengejar Mundus dengan parang
teracung tinggi-tinggi di tangan. Guratan mengerikan yang tergurat di
muka wanita itu adalah kemarahan yang telah melarut bersama dendam. Baku
kejar itu terjadi beberapa lama sampai tiba-tiba Mundus terperosok ke
dalam lumpur dengan sebuah lolongan. Kesempatan pertama untuk menghajar
Mundus telah datang bagi Mika. Wanita itu menginjak-injak tubuh Mundus
dengan kalap. Telinga Mika seakan tuli oleh sakit hati yang terpendam
bertahun-tahun lamanya, sehingga jeritan panjang dari mulut Mundus tak
lagi terdengar. Ketika dengan sepenuh tenaga Mika mengayunkan parang,
maka jeritan panjang dari mulut Mundus segera berubah menjadi isak
tangis. Sementara luka di punggung yang menganga mulai mengucurkan
darah. Cairan merah yang terus mengucur dan tergenang di lumpur itu
perlahan-lahan mulai meredakan kemarahan Mika. Wanita itu telah
mengambil haknya untuk memelihara keseimbangan, setelah penganiayaan
yang dilakukan Mundus berulang kali. Hari ini dan hari-hari mendatang
sampai patung bis selesai diukir, ia mempunyai hak sepenuhnya untuk
membalas penganiayaan Mundus.
“Rasakan koe!” Mika berkacak pinggang dengan penuh
kemenangan, sementara di telapak kakinya Mundus terkapar berlumuran
darah. Kepala perang itu mengerang kesakitan, ia tengah merasakan pedih
perih yang sama, ketika Mika terkapar dengan mata parang bersarang di
pundaknya.
“Kaurasakan sekarang saya punya pengalaman, kamu orang terlalu
semena-mena!” Setelah caci-maki itu, Mika meninggalkan Mundus begitu
saja dalam kubangan lumpur dengan darah segar mengucur. Ia kembali ke
rumah dengan dada lapang, karena sakit hati yang telah terobati. Dari
kejauhan tampak Upra berlari tergesa menjelang Mundus. Wanita itu segera
mengulurkan tangan untuk memberikan pertolongan bagi kepala perang yang
tengah bernasib malang. Bengkak hati wanita muda itu melihat Mundus
terjerembap di kaki istri tua tanpa perlawanan sama sekali. Demikianlah
adat suku Asmat dalam berpihak pada wanita, bakan kepala perang pun
menjadi tak berdaya.
Sementara suasana perlahan-lahan menjadi temaram. Matahari telah
tenggelam, hanya tinggal sinar yang membias dalam warna jingga. Redup
suasana itu adalah suatu pertanda, bahwa tak berapa lama lagi, saing
akan segera berubah menjadi malam. Keseimbangan alam tengah berada pada
saat-saat yang meragukan. Hal itu berarti, bahwa penyerangan terhadap
para suami harus segera dihentikan. Petang ini adalah malam syahdu
pertama, ketika tetua adat dengan khidmat akan memukul tifa untuk
memanggil roh nenek moyang yang telah bersemayam di alam kematian.
Gelap pun datang, menghanus bagai larutan jelaga. Suara caci-maki dan
jerit kesakitan sedikit demi sedikit mereda dan akhirnya berganti
menjadi suasana bisu. Seisi kampung kini tengah berbenah diri untuk
mengikuti malam syahdu di rumah bujang. Mereka berhias dengan pakaian
adat yang paling bagus dan riasan muka aneka warna. Dalam kegelapan itu
kemduian tampak berkelebat bayangan dari rumah-rumah menuju ke rumah
bujang. Mereka berhias dengan pakaian adat yang paling bagus dan riasan
muka aneka warna. Dalam kegelapan itu kemudian tampak berkelebat
bayangan dari rumah-rumah menuju ke rumah bujang. Tak berapa lama
kemudian tifa mulai dipukul, gaungnya menggema ke seluruh kampung bagai
suara gaib yang melolong berkepanjangan, untuk memanggil arwah para
nenek moyang supaya kembali turun ke bumi. Rumah bujang yang megah itu
seakan bergetar oleh entakan kaki dari seluruh orang yang menari-nari.
Tarian itu semakin lama semakin bersemangat, seakan tersihir oleh
kekuatan roh nenek moyang yang terjaga dalam suara tifa.
Tarian itu terus mengentak hingga pagi hari, ketika dari ufuk timur
tampak semburat merah sebagai pertanda fajar telah menyingsing. Rasa
penat dan mengantuk mengendap dalam diri setiap orang. Sementara
berjenis-jenis makanan yang dihidangkan para wanita hanya menyisakan
remah-remah belaka. Pesta usai sudah setelah pemukul tifa mengayunkan
tangan dengan sisa tenaga untuk gaung yang terakhir kalinya.
Seisi rumah bujang itu segera undur diri, menghambur dari sembilan
pintu yang menganga, menuju rumah tinggal masing-masing. Tak berapa lama
kemudian, suara caci-maki di antara suami-istri yang baku kejar kembali
terdengar. Penyerangan istri-istri kepada para suami dapat kembali
dimulai hingga matahari terbenam. Sementara di ruangan khusus yang
dibangun pada bagian belakang rumah bujang, para pengukir tengah memahat
batang kayu pala dalam konsentrasi yang tinggi. Tak seorang pun boleh
masuk ke dalam ruangan itu, terlebih wanita dan anak-anak, hingga ukiran
itu selesai. Prosses pengukiran adalah sebuah rahasia hingga para
pemahat mampu menyelesaikannya. Sementara kaum wanita bertanggung jawab
penuh memenuhi kebutuhan makan para pengukir dan seluruh yang terlibat
dalam malam syahdu, hingga ratusan pohon sagu tumbang sebagai bahan
pokok makanan.
Patung bis itu memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk sampai pada
penyelesaian setelah para pengukir mengucurkan tetes keringat yang
terakhir dari sebuah konsentrasi yang tinggi. Selama tiga bulan itu
pula, setiap siang hari istri-istri bebas memukuli para suami. Sementara
pada malam hari mereka kembali berpesta ria hingga pagi.
Yowero menyaksikan semua ini dalam sebuah proses yang ia sendiri tak
sepenuhnya menyadari. Tapi nalar kebocahannya cukup mampu untuk
menggoreskan sebuah catatan. Bahwa wanita menjadi berani, karena
perlindungan adat. Tanpa adanya adat, maka mereka adalah makhluk lemah
yang mudah dianiaya. Diam-diam tumbuh satu kesombongan dalam diri
Yowero, karena ia telah terlahir sebagai laki-laki. Bocah itu terlibat
dalam setiap irama pukulan tifa dengan gembira. Ia adalah bagian yang
sah dari sebuah adat peninggalan zaman purba. Di balik tubuhnya yang
kecil, perlahan-lahan muncul suatu sikap keras yang menjadi ciri
kehidupan suku Asmat.
Kurang-lebih tiga bulan kemudian. Setelah ratusan pohon sagu rebah
sebagai bahan pokok makanan dalam pesta. Setelah tujuh buah pakaian roh
dibuat dengan seindah-indahnya, setelah para pengukir memahatkan segala
daya yang ada, sehingga tiga buah patung bisa selesai dengan lekak-liku
yang demikian elok. Sementara tangan para penabuh tifa menjadi penat,
karena malam syahdu yang panjang itu. Setelah istri-istri merasa lebih
dari sekadar cukup membalas sakit hati dengan menganiaya suami, karena
adanya perlindungan adat dan kehidupan rumah tangga itu segera kembali
pada titik keseimbangan. Dan setelah gegap gempita pesta menjauhkan
seisi kampung dari kehidupan sehari-hari yang membosankan, maka pesta
patung bis sampai pada hari yang terakhir.
Kini seisi kampung tengah bersiap menjelang pesta setan, sebagai
akhir dari seluruh hari yang panjang. Dan sore itu, ketika matahari
tenggelam sebagai bola raksasa yang merah membara, maka seisi kampung
kembali berhias dengan pakaian adat yang seindah-indahnya, tanpa
kecuali. Warna merah di batas cakrawala merupakan isyarat, bahwa saat
yang dinantikan selama berhari-hari pesta patung bis segera tiba. Roh
nenek moyang akan turun ke rumah bujang, mengenakan pakaian roh yang
telah disiapkan. Mereka akan menari bersama-sama untuk menyatukan
kembali hubungan kekerabatan yang telah terputus oleh kematian.
Kehadiran para nenek moyang itu berarti sebuah kekuatan, cinta kasih
abadi yang mendasari seluruh sisi kehidupan.
Tak berapa lama kemudian. Setelah semburat merah berganti menjadi
kehitaman dengan sinar bintang yang cerlang cemerlang, maka seisi
kampung telah kembali berkumpul di rumah bujang. Perasaan yang ada di
dalam diri setiap orang, adalah suka ria. Makanan telah tersedia,
demikian pula dengan bunyi tifa yang menjadi pertanda, bahwa semua orang
boleh goyang pantat, sepuas-puasnya.
Tujuh buah pakaian roh itu, kini bergerak-gerak mengikuti irama
pukulan tifa bersama semua orang yang ada di dalam rumah bujang.
Hentakan itu sedemikian kuat, sehingga bangunan adat itu seakan
diguncang oleh getaran gempa yang sangat hebat. Kaum wanita dan
anak-anak selalu mengira, bahwa makhluk yang bergerak-gerak di dalam
pakaian roh itu adalah, benar, arwah nenek moyang yang kembali turun ke
bumi untuk bergabung kembali dengan anak cucu, setelah kematian itu.
Mereka tak pernah melihat dengan jeli, bahwa selama pesta setan
berlangsung, maka ada enam tetua adat dan seorang kepala perang yang tak
menampakkan diri dalam suasana hiruk-pikuk dan gegap gempita.
Tujuh orang yang tiba-tiba menghilang dari suasana pesta itu, kini
tengah berada di dalam pakaian roh, menari-nari sedemikian rupa,
sehingga arwah nenek moyang seakan tengah turun ke bumi, menyatu di
dalam raga. Mika, wanita yang telah menebus segala rasa sakit terhadap
Mundus, kini tampak tengah bergoyang pantat dengan sepasang mata
berbinar ceria. Tak ada lagi tampak duka nestapa di sana. Derita
berkepanjangan setelah perkawinan itu terobati sudah, dan kehidupan
rumah tangganya kembali seperti semula, pada titik yang seimbang.
Sementara anak-anaknya, Tuka, Wenen, Yalsan, dan Yowero tampak pula
menari, tak jauh dari mamaknya berada.
Yowero sungguh bergirang hati, ia tak pernah menyia-nyiakan setiap
kesempatan pesta dengan mengentakkan kaki dalam irama pukulan tifa. Roh
yang ikut menari telah memberinya kekuatan, ia merasa begitu yakin,
sungguh arwah nenek moyang itu telah turun ke bumi untuk menyatu kembali
dalam dunia fana. Suara tifa terus menggema bertalu-talu seakan raungan
masa purba yang menembus batas waktu. Gaung yang berkepanjangan itu
akhirnya menjadi satu kekuatan yang mendorong setiap orang untuk terus
menari, menari, terbius dalam sihir yang mendebarkan. Sihir itu terus
berkepanjangan, membuncah dalam setiap gerakan hingga menyingsing fajar.
Semburat merah di ufuk timur menggores bagai lukisan semesta, secara
perlahan dan pasti telah menyentakkan setiap orang dalam sebuah
kesadaran, bahwa saat untuk bersuka ria telah usai. Tak ada pesta yang
tidak berakhir. Ketika suara tifa terhenti berganti menjadi kebisuan dan
isyarat untuk menanamkan patung bis di muka rumah bujang telah tiba,
maka semua orang segera menghambur keluar melalui sembilan pintu yang
menganga tanpa daun.
Para pengukir telah membuktikan kepiawaiannya dalam memahat patung
bis, sehingga batang pohon pala yang semula tak berbentuk itu, kini
telah berubah menjadi ukiran yang melambangkan perburuan kepala manusia
dengan akar mencuat pada bagian atas, melambangkan kejantanan. Patung
itu diusung sedemikian rupa bagai benda pusaka kemudian ditanam
kuat-kuat di halaman rumah bujang hingga berdiri tegak. Semua orang
bernapas dengan lega, memandang patung itu penuh kekaguman. Mereka
merasa begitu bangga terlahir sebagai suku bangsa Asmat yang dapat
mengukirkan sebuah maha karya. Prosesi terakhir yang diawali dengan
malam syahdu terbayar sudah. Patung bis dan hari-hari pesta itu berarti,
bahwa seisi kampung telah menunaikan kewajiban untuk mengantar arwah
para nenek moyang di dampu ow capinmi menuju ke safar---surga.
Sementara adat pemenggalan kepala manusia sebagai salah satu wujud
keberanian telah mendapatkan sebuah jawaban yang damai dan menenangkan
seluruh jiwa.
***
Bersmbung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar