*Untuk kedua bidadariku, Cici dan Yayang ,
dengan
segala rasa cinta ….
--Kebudayaan membangun
sikap mental, melahirkan pemimpin ….
Sekapur
Sirih
Ukiran Asmat adalah
karya seni yang sungguh menakjubkan, patung-patung itu membangkitkan daya
pesona, membawa nama Suku Asmat demikian masyur hingga ke manca negara. Patung
Asmat bukan sekedar karya seni yang bisa ditata dengan artistik, pada setiap
guratan yang halus itu terukir serta hubungan mistis antara Suku Asmat dengan
leluhur di dampu ow capinmi --di alam
keabadian. Sementara seni ukir menjadi pusat lingkaran konsentris dalam
totalitas kehidupan serta adat isti adat. Satu pertanyaan muncul, apakah
keseharian Suku Asmat sebagai sang pengukir sama indahnya dengan seni ukir yang
menjadi maha karya?
Interaksi sosial dan
era globalisasi bukan hanya telah menguakkan pintu ke wilayah Asmat, sehingga
para pendatang dari suku manapun bisa melampaui pintu tersebut, menetap di
wilayah ini dan bersinggungan langsung dengan kehidupan suku Asmat sebagai
penduduk asli, tetapi lebih dari itu. Kehadiran pendatang telah membawa serta
merambahnya budaya materi ke wilayah ini, ke dalam lingkungan hidup Suku Asmat.
Proses-proses pengaruh asing dengan lambat sekali dimulai pada akhir abad lalu,
yang makin lama menjadi cepat, dan yang akhirnya bagi masyarakat Irian Jaya
–Papua menjadi laksana taufan yang
menimpanya dengan keras (Koentjaraningrat, 1982: 338). Interaksi sosial
menimbulkan satu identitas berbeda antara budaya yang satu dengan yang lain.
Persentuhan antara satu
budaya dengan budaya lain menimbulkan
pula culture
shock –keterkejutan budaya dengan segala akibat di dalamnya. Kehadiran
budaya luar ke wilayah Asmat secara permanen terjadi pada sekitar tahun 1950-an
hingga saat ini setelah dekade yang amat panjang bagi segala perubahan. Suku
Asmat adalah masyarakat peramu yang menggantungkan hidup secara subsisten
terhadap hasil hutan serta laut, sagu dan ikan sebagai strategi pertahanan
hidup. Tahun 1990-an wilayah Asmat hanya terdiri atas tujuh lima, Agats sebagai
ibu kota wilayah, Akat, Sawa Erma, Atsy, Pantai Kasuari, Fayit, berkembang pada
era reformasi dan otonomi khusus menjadi tujuh distrik hingga 23 distrik dengan
223 kampung di dalamnya, berkembang di sepanjang aliran sungai. Sarana
transportasi local adalah speed boat.
Rentang waktu teramat
panjang serta interaksi sosial menyebabkan perubahan tak terbendung, tak ada
yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan hidup Suku Asmat
dari masyarakat peramu menjadi masyarakat petani menetap memerlukan waktu yang
lebih panjang, karena posisi geografis yang teramat jauh serta kondisi
geografis yang tidak menguntungkan. Adalah tanah rawa berlumpur yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan sistem pertanian, kecuali dengan program
strategis yang berkelanjutan dan berdaya
guna. Kampung-kampung berjauhan di sepanjang aliran sungai adalah persoalan
berbeda dalam rangka pencapaian. Fasilitas sosial yang terbatas, infrastruktur
yang tidak menunjang bagi percepatan pembangunan sumber daya manusia adalah
persoalan lain yang tidak mudah disiasati. Di balik seni ukir sebagai maha
karya, persoalan Asmat sangatlah komplek.
Sekompleks apapun
persoalan, setiap suku bangsa pada sebuah negara berhak akan kesejahteraan
hidup yang sama dengan suku bangsa yang lain. Apa yang harus dikerjakan untuk
pencapaian ini? Apa yang harus dikerjakan untuk mencapai kesejahteraan suatu
suku bangsa? Desentralisasi pembangunan telah diteriakkan sejak 1990-an,
kiranya masih memerlukan rentang waktu cukup panjang sampai di tempat tujuan
hingga ke lini lapangan.
Asmat --Di Balik
Realitas Ukiran adalah sebuah catatan Etnografi yang pernah terbit pada
pergantian millennium ketika Wilayah Asmat masih berupa kecamatan. Perjalanan
waktu mengantar Wilayah Asmat menuju Kabupaten melalui proses panjang dan
pastinya melelahkan. Dalam waktu lebih dari dua decade segala perubahan dapat
berlangsung, suatu catatan menampakkan pula cacat penulisan, sehingga
memerlukan revisi untuk menjadi referensi yang lebih baik bagi pencari arah,
pecinta seni sekaligus pengamat. Buku ini sekaligus adalah mozaik yang terdiri
atas keping cerita yang saling mengait tak terpisahkan antara yang satu dengan
yang lain, menghadirkan kisah Asmat hari ini.
***
PERKAMPUNGAN
DI ATAS JEMBATAN
Agats sebagai Ibu Kota
Kabupaten Asmat memiliki ritme kehidupan berbeda dan lebih komplek serta maju
bila dibandingkan dengan 222 kampung lain di wilayah ini. Jembatan kayu yang lapuk serta rumah semi permanen telah
menjadi masa lalu yang hanya dapat dikenang dalam gambar atau ingatan. Wilayah
ini tepatnya berada di ujung pantai timur Pantai Selatan Provinsi Papua dengan
luas wilayah 23.746 kilometer persegi
dan terletak antara 137áµ’30 - 141áµ’01’47
Bujur Timur dan 3áµ’30 - 10áµ’43
Lintang Selatan. Batas wilayah sebelah utara adalah Kabupaten Jayawijaya dan Yahokimo, batas
wilayah sebelah selatan adalah Kabupaten Mapi dan Laut Arafura, batas wilayah
sebelah timur Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Boven Digoel. Posisi ini menempatkan
Kabupaten pada kawasan rim Pasifik Selatan --Australia dan New Zealand serta
negara-negara Sirkum Pasifik.
Wilayah Asmat, sebagai
tempat para pengukir menetap dapat dijangkau melalui dua sarana transportasi,
udara dan laut. Perjalanan menuju Asmat baik dari Merauke atau Timika selalu didahului
dengan ketepatan mengukur waktu, karena pesawat terbang dan kapal laut tidak
pernah bersedia menunggu penumpang. Sebaliknya penumpang dalam rangka mobilitas
sangat memerlukan sarana transportasi. Kendala dalam menempuh sarana
transportasi laut adalah ombak Laut Arafura yang dapat menyebabkan mabuk bagi
sekalian penumpang. Kapal Tatamalau, Leuser dan Kelimutu –atau kapal penumpang
yang memenangkan tender akan menempuh sekitar 12 jam pelayaran dari Dermaga
Pamako, Timika menuju Agats sebagai ibu kota Kabupaten Asmat. Selanjutnya kapal
akan meneruskan pelayaran ke Merauke dalam 30 jam ke depan kemudian berbalik
lagi ke Agats menempuh rute yang sama. Kapal-kapal perintis atau speed boat
adalah alternative lain dalam mencapai wilayah Asmat dalam keadaan mendesak.
Adapun kapal perintis siap tenggelam, telah menjadi bagian masa lalu yang telah
digantikan dengan kapal layak berlayar.
Sarana
transportasi udara adalah pilihan
terbaik, karena jarak tempuh yang relaltif pendek, sekitar 45 menit dari
Bandara Moses Kilangin Timika atau satu jam 30 menit dari Bandara Mopah,
Merauke. Perasaan yang mencekam beberapa menit sebelum penerbangan adalah
gamang, keselamatan manusia akan berada ditangan pilot, di dalam perut burung
besi, melayang sekitar 45 menit hingga sampai di landasan pacu bandar udara
perintis, Ewer. Akan tetapi, Tuhan berkuasa atas takdir serta keselamatan
manusia. Perasaan gamang perlahan memudar berganti takjub, ketika pesawat jenis
Pilatus atau Twin Otter perlahan meraung, bergerak pasti menuju landasan pacu
Bandar Udara Moses Kilangin, Timika. Raungan pesawat semakin kuat kemudian
burung besi itupun mengudara, landasan pacu tertinggal jauh di bawah dan semakin jauh. Tata kota
Timika tampak sebagai konsentrasi
pemukiman yang ramai berserakan dengan atap seng aneka warna, sekejab,
kemudian hilang di kejauhan. Pemandangan beralih rupa, adalah limbah beracun
maha luas melebihi lahan tata kota yang bersumber dari proyek raksasa PT.
Freeport Indonesia. Sumber limbah beracun itu mengalir laksana anak sungai yang
kian membesar dan bermuara menuju lepas
pantai.
Pesawat terus meraung,
di bawah raungan pesawat hutan demikian hijau membentang berbatas horizon, air
sungai meliuk-liuk seakan ular naga, bergerak dari hulu menuju muara, awan
putih teramat lembut bergumpal-gumpal melayang di ketinggian, ditiup angin,
menuju entah. Semakin lama awan semakin tebal, berkilau ditimpa hangat sinar
mentari, beberapa detik pesawat terjebak dalam kabut putih, namun cuaca kembali
cerah dan bersahabat. Di bawah pesawat
awan tampak sebagai hamparan putih teramat tebal dan luas seakan tak hendak
sampai pada ujungnya, di atas langit sebiru batu safir. Rasa gamang tak lagi
bersisa.
Awan putih pun
perlahan menepi, hutan luas serta sungai-sangai yang berkelok indah kembali
nampak sebagai panorama yang mengesankan. Mega-mega kembali tampak seakan
gumpalan kapas putih dan lembut. Jarak menuju landasan pacu Bandara Ewer
sebagai gerbang udara Kabupaten Asmat semakin dekat. Ketika dengung mesin
menurun, hutan yang luas menghijau berubah menjadi batas langit, biru dan
samar. Pesawat memutar, memposisikan diri tepat untuk landing di landasan pacu,
pohon-pohon tampak semakin dekat, pemukiman Kampung Ewer dan Sau tampak sekilas
dari balik kaca jendela. Ketika roda pesawat menyentuh landasan pacu
terasa guncangan yang mengejutkan, pesawat terus melaju menuju akhir
perjalanan, gerakan terasa demikian cepat dan mencemaskan. Pada dua sisi
jendela kaca, pohon-pohon seakan ikut pula berlari, sesunggunnya tumbuhan itu
selalu berhenti. Kesibukan penumpang naik dan turun akan terjadi dalam rentang
waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian Bandara Ewer akan kembali sunyi seperti
pada hari-hari biasa.
Asmat bukan posisi
yang mudah dijangkau, karena ketiadaan prasarana transportasi darat. Tanah rawa
berlumpur yang menggenangi 98% wilayah menutup kemungkinan bagi pembangunan
jalan darat. Tanah rawa berlumpur dengan air pasang dan surut sepanjang tahun
juga merupakan persoalan mendasar yang harus disiasati bagi model rumah dan
prasarana jalan raya. Ketinggian air pasang surut mencapai 5 – 7 meter, air
laut yang pasang masuk sampai sejauh 50 – 60 kilometer, beberapa tempat
terintrusi air asin. Seluruh bangunan dibuat dalam bentuk rumah panggung,
seluruh jalan dibuat sebagai jembatan kayu selebar dua meter –kini berubah
menjadi jembatan komposit menghubungkan seluruh kota. Rawa berlumpur menutup
kemungkinan bagi tergalinya sumur dengan air jernih yang memenuhi syarat
kesehatan bagi keperluan makan-minum, dan MCK. Alam memerikan kearifan, curah
hujan dalam setahun rata-rata 3.000 milimeter hingga 5.000 milimeter dengan
sekitar 200 hari hujan dalam setahun. Air hujan yang tercurah setiap minggu
ditampung dalam drum dan blong air dan menjadi air bersih yang dikonsumsi
setiap hari untuk keperluan makan – minum dan MCK.
Kondisi semacam ini
terjadi pada hampir seluruh wilayah Asmat yang terdiri dari 23 distrik, yaitu
Distrik Agats dengan Agats sebagai ibu kota pemerintahan, Distrik Akat, Sawa
Erma, Atsy, Suator, Fayit, dan Pantai Kausari, Suator, Korowai, Suru-Suru, Kolf
Braza, Unir Sirau, Joerat, Pulau Tiga, Jetsy, Der Koumur, Kopay, Safan, Sirets,
Ayip, Derkomoue, Aswi dan Bectbamu dengan jumlah penduduk Per Januari 2018,
120.233 jiwa . Ketinggian rata-rata wilayah adalah 0 – 100 meter di atas
permukaan laut, daerah bergelombang dan berbukit berada di wilayah distrik Sawa
Erma sampai Distrik Suator. Sungai-sungai besar yang mengalir adalah Sungai
Wedelmen, Siretz, Asuwetsy, Lorentz, dan Bets. Sungai-sungai ini sekaligus
menjadi prasarana transportasi antar distrik dengan kendaraan speed boat atau
perahu motor tempel. Harga minyak industri per liter adalah Rp. 16,000,00 dan
BBM satu harga di ibu kota Agats Rp. 6,000,00.
Legenda
dan Catatan Sejarah
Syahdan, tersebutlah
seorang beorpit --pemuda gagah
perkasa-- bernama Fumiripits yang
menetap seorang diri dalam suatu rumah tinggal di tengah hutan. Suatu hari Fumeripits melakukan perjalanan ke
hilir sungai menuju muara Sungai Sirets. Di muara sungai pemuda itu bertemu
dengan sekelompok gadis yang semuanya berparas cantik. Fumiripits jatuh cinta
kepada salah seorang gadis yang cantik rupawan itu, demikian pula sang gadis rupawan tersebut. Sang gadis pun
memutuskan membungkus Fumiripis dengan selembar tikar daun dan membaringkanya
di dalam perahu lesung agar dapat menyembunyikan dari pandangan saudara
perempuan yang lain .
Dalam perjalanan pulang melewati Sungai Sirets
ombak mulai mengguncang, semakin lama
semakin kencang. Tak ayal lagi, Fumiripits terjatuh ke sungai dalam keadaan
terbungkus tikar daun, terhanyut ke laut dan terdampar di tepi Sungai Momats.
Fumiripits amat kesakitan hingga ia tak dapat lagi merasakan apa-apa, ia
meregang nyawa dan akhirnya meninggal. Tak lama kemudian datanglah sekawan
burung, mendapatkan Fumiripits dalam keadaan terkapar. Kawanan burung itu
akhirnya meminta bantuan kepada Kidukunmsi--burung elang ajaib yang dapat
menghidupkan kembali Fumiripits, sehingga sang Beorpit mendapatkan kem¬bali kehidupan, tetapi ia
terpisah dengan gadis yang dicintainya.
Fumiripits membangun
rumah panjang sebagai tempat tinggal, tetapi ia tetap marasa kesepian. Dalam
kesendirianya Fumiripits berkeinginan untuk mengukir patung dari kayu. Ia pun
menebang pohon, memotongnya, dan mulai membentuk kepala, badan, tangan, dan
kaki sehingga ujud itu betul menyerupai manusia. Di antara patung-patung itu
ada yang menyerupai laki-laki dan ada pula yang menyerupai perempuan.
Patung-patung itu sangat halus dan indah, Fumiripits mengatur patung-patung
tadi di sekeliling rumahnya ia merasa sangat senang dan bangga dengan hasil ciptaanya.
Akan tetapi patung tetapalah benda mati tidak bisa bergerak atau bicara.
Fumiripits akhirnya
membuat tifa, ia menebang sebatang pohon dan melubangi bagian tengannya.
Fumiripits menangkap pula seekor kadal, mengupas kulitnya, kemudian menutup
salah satu bagian lubang kayu itu dengan kulit kadal dan mengikatnya dengan
rotan yang telah dilumuri dengan darahnya sendiri serta limau putih. Setelah
tifa itu jadi, ia pun menabuhnya. Suara tifa yang merdu membuat patung
tersentak, patung-patung itu mulai bergerak dan menyentak-nyentak mengikuti
irama pukulan tifa. Ketika Fumiripits mempercepat irama tabuhannya, maka gerak
patung-patung itu semakin cepat dan lincah. Akhirnya patung-patung itu bernapas
dan hidup selayaknya manusia. Mereka adalah orang-orang pertama yang mengawali
kehidupan di Asmat.
Legenda Fumiripits
adalah mitos yang dapat menguak asal mula keberadaan Suku Asmat lengkap dengan
keahliannya mengukir untuk hadir pada alam kehidupan sebelum bersentuhan secara
langsung maupun tidak langsung dengan dunia luar. Jauh hari ke depan setelah
patung-patung yang diukir Sang Legenda bernapas kemudian bergerak dan
menari-nari mengikuti irama pukulan tifa, maka Suku Asmat bertahan hidup dengan
menggantungkan diri terhadap kekayaan
hutan dan laut. Mengayau adalah suatu ritual untuk mempertahankan diri terhadap
intervensi dari kelompok etnis di seputarnya. Menurut catatan Verlag (2002:
49), kontak pertama Suku Asmat secara sporadic dengan dunia luar terjadi pada
awal abad ke-17. Tanggal 12 Juli 1607, Win Vaes de Torres dari kapal San Pedro
menulis sepucuk surat untuk raja Spanyol yang mengabarkan eksplorasinya di
pantai selatan New Guinea dan menyatakan bahwa kawasan itu menjadi milik raja
Spanyol. Suratnya lebih lanjut menggambarkan wajah orang asing yang pertama
dijumpainya sebagai orang-orang hitam yang berbeda dari orang-orang lain, yang
berhias lebih bagus, menggunakan anak panah dan perisai besar, serta beberapa
cabang bambo berisi kapur yang membutakan musuh bila mereka melemparnya.
Pada 12 Oktober 1770 Kapten
James Cook dan awak kapalnya menyatakan bertemu dengan orang Asmat. Mereka
berlabuh di Pirimapun dan menyebut tempat termaksud sebagai Teluk Cook. Kurang
dari satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1828 Pemerintah Belanda menghaki
Pantai Barat Daya New Guinea, kemudian menghaki pantai utara pulau atas nama
Sultan Tidore pada tahun 1848. Selama awal tahun 1900-an Pemerintah Belanda
mengirim ekspedisi ke New Guinea untuk menentukan batas-batas tanah yang telah
mereka haki sebelumnya. Kontak sporadis ini tidak memberikan pengaruh apa pun
bagi kehidupan Suku Asmat.
Mansoeben (1995: 128 –
130) mengemukakan kronologis kontak orang Asmat dengan dunia luar yang dimulai
pada tahun 1904. Kontak itu terjadi, karena ekspedisi-ekpspedisi yang dilakukan
orang Eropa di wilayah Pasifik. Ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1907,
1909-1910 dan 1912 -1913. Ekspedisi pertama pertama dan kedua dipimpin Lorentz
dan terakhir Franssen Herderschee. Dua ekspedisi berikutnya terjadipada tahun
1922 dan 1923, keseluruhan ekspedisi tersebut adalah dalam rangka ekspedisi
ilmiah. Kunjungan lain berasal dari pihak Pemerintah Belanda yang terjadi pada
tahun 1904 disusul kunjungan-kunjungan berikut.
Tahun 1936 Pemerintah
Belanda membangun Pos Pemerintahan untuk kepentingan keamanan. Felix Maturbongs
diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats untuk masa tugas 1938 – 1943
kemudian mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun Kompleks Pos
Pemerintahan di Agats. Orang Asmat Pos Pemerintahan itu disebut Akat --yang
berarti “baik” atau “ bagus”. Lidah orang Belanda ternyata sulit untuk
mengatakan “Akat”, yang terucap ialah “Agats”, maka daerah sekitar Pos
Pemerintahan hingga kini disebut dengan Agats. Selanjutnya Agats menjadi nama
ibu kota wilayah Asmat.
Pada tahun yang sama
dengan tahun pembangunan Pos Pemerintahan --1936, P. Herman Tillemans, MSC
mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC
di Mimika dalam rangka pewartaan Injil. Tahun 1938 P. Hendrikus Cornelisse, MSC
mengunjungi Asmat dari Langgur, Kei, dari kunjungan itu dua gereja dibangun di
Syuru dan Ayam. Tahun 1943 tentara Jepang memasuki daerah Mimika. Bestir Felix
Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke supaya penduduk Agats segera
diungsikan ke Merauke dan Pos Pemerintahan Agats dimusnahkan. Pada tanggal 26
Januari 1943 Bestir dan semua pendatang di Agats berangkat ke Merauke dengan
menumpang KM. Herman, sementara semua bangunan Pos Pemerintahan Agats telah
hangus dibakar. Sampai pada tahun ini segala upaya pewartaan dan pembangunan di
wilayah Asmat terhenti, Perang Dunia ke II yang terus berkecamuk tak
memungkinkan adanya upaya termaksud.
Pada kurun waktu
termaksud Suku Asmat terikat pada kepercayaan, bahwa alam semesta dihuni oleh
roh serta makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan dan digolongkan ke
dalam dua kategori : Pertama, Osbopan,
setan yang membahayakan hidup, ialah
setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan
hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang
membawa penyakit dan bencana. Kedua, Setan yang tidak membahayakan hidup, nyawa
dan jiwa seseorang, hanya menakut-nakuti
dan mengganggu. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik
terutama bagi keturunannya, yang berasal dari roh nenek moyang dan disebut
yi-ow.
Suku Asmat juga
percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang menyebabkan setiap orang
terlarang melakukan melakukan hal-hal tertentu,
tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan
sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan sagu, penangkapan
ikan, dan pemburuan binatang. Kekuatan magis
dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian atau
pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan
magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan
topan. Kepercayaan akan kekuatan gaib dan roh halus termanifestasi dalam ritus
yang berlangsung sehari-hari menjadi adat isti adat.
Tahun 1950 ketika
situasi kembali damai Pastor Gerald
Zegwaard, MSC mengunjungi Asmat dan berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat
yang semula mengungsi ke Kamoro. Pastor Zegwaard menempatkan lima orang Katekis
di Kampung Ao, Kapi, As-Atat, dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki
Yamas. Tahun 1951, dr. Fisher, seorang tenaga medis dari WHO bertandang ke
Asmat an diterima masyarakat dengan
baik. Wabah frambusia menyebar, pengobatan yang dilakukan dr. Fisher
menyebabkan kehadiran dokter termaksud memberikan sumbangan positif bagi kesehatan
masyarakat. Pada Januari 1953 Pastor Zegwaard , MSC mulai menetap di Agats dan
pada 3 Februari 1953 orang Asmat pertama --seorang ibu dibabtis.
Satu tahun kemudian,
pada 1954 Indonesia sudah mengusahakan upaya diplomatik untuk mendapatkan Papua
--Irian-- dalam Konferensi Meja Bundar. Akan tetapi perundingan diplomatic
tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1956 Pemerintah Belanda menolak menyerahkan
Irian kepada Indonesia. Enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus
1962 perundingan mencapai titik terang, karena keterlibatan Amerika Serikat
dengan John F. Kennedy sebagai presiden. Belanda menyerahkan Irian kepada
pemerintah sementara PBB pada tanggal 1 Oktober 1962, selanjutnya pada tanggal
1 Mei 1963 Irian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Sejak saat itu maka
wilayah Asmat dipimpin oleh seorang KPS –Kepala Pejabat Setempat—setara dengan
kedudukan Kepala Distrik saat ini. Kehadiran missionaries serta jajaran
pemerintah, meski berusia sangat muda perlahan-lahan mulai mengubah kehidupan
masyarakat dari system berperang menjadi kehidupan yang lebih damai, praktis
adat mengayau perlahan memudar kemudian hilang sama sekali. Akan tetapi system
kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan
menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir. Suku
Asmat memandang kehidupan menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah dunia
hidup atau Asmat ow capinmi, bagian kedua adalah tempat persinggahan
orang-orang yang sudah meninggal dan
belum memasuki tempat istirahat kekal di safar --surga—yang disebut dampu ow
capinmi. Roh-roh yang tinggal di dampu ow capinmi adalah penyebab penyakit,
penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup harus
menebus roh-roh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta memberinya nama
agar mereka dapat masuk ke alam safar --yang merupakan tujuan akhir, bagian
ketiga dari kehidupan orang Asmat.
Selain sebagai tujuan
akhir dari kehidupan orang Asmat, safar juga diyakini sebagai tempat asal
roh-roh bayi. Bayi-bayi tersebut pada mulanya masuk melalui jiwi jof, yaitu
pintu tempat mereka masuk ke dunia ini. Setelah dewasa dan kemudian meninggal,
maka mereka akan melaui jamir jof , yang merupakan jalan menuju dunia akhir.
Anak-anak yang lahir melalui jiwi jof merupakan penjelmaan orang-orang yang
sudah meninggal. Mereka adalah pribadi baru yang bernama yuwus, yang berarti
“nama” yang bagi orang Asmat adalah roh dari pribadinya. Dengan memberi nama
pada sebuah ukiran, berarti roh dan pribadi tersebut masuk ke dalam ukiran itu.
Dengan demikian, ukiran tersebut merupakan pribadi itu sendiri. Atas dasar
kepercayaan terhadap roh leluhur yang telah menetap di dampu ow capinmi, maka
tangan sang wowipits --pengukir-- bergerak mengikuti naluri untuk menciptakan
maha karya yang menyebabkan seni ukir Asmat menjadi amat masyur.
Kemasyuran seni ukir
Asmat merupakan salah satu faktor yang mengundang kehadiran pendatang dari
segala pihak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di wilayah ini.
Sosok-sosok manusia yang berdikasi bermunculan, termasuk satu sosok tokoh
pejuang pendidikan di wilayah Asmat yang
diabadikan dalam bentuk monumen untuk mengenang kerja`keras yang telah tersurat
pada catatan sejarah. Pada Tanggal 17 Agustus 1951 Pastor Yan Smith masuk Orde Salib Suci, Pada Tanggal 25 Juli
1957 ditahbiskan menjadi imam, tahun
1958-1959 Pastor Yan Smit pergi ke Amerika Serikat untuk mengambil studi
theologi di Fort Wayne dan Hastings. Tanggal 24 Oktober 1959 Pastor Yan Smit
tiba di Asmat. Lima tahun lebih setelah kerja keras memulai sebuah proses
pendidikan bagi anak-anak Asmat, terjadi konflik dengan KPS --Kepala Pejabat
Setempat dan berakhir dengan tragis. Tanggal 28 Januari 1965 bertempat tak jauh
dari ikon pastor didirikan, perselisihan terjadi KPS mengacungkan senjata ke arah
Pastor Yan Smtih, menarik pelatuknya, pada tembakan pertama pastor masih
berdiri, demikian pula pada tembakan kedua. Pada tembakan ketiga Pastor Yan
Smith roboh berlumuran darah, dan tak pernah bangkit lagi. Pastor Yan Smith
berpulang dengan memilukan pada usia 34
Tahun, status waktu itu sebagai Pastor
Paroki Yamas-Yeni dan Pemilik
Sekolah Daerah untuk seluruh
Persekolahan Khatolik di wilayah Asmat.
Pada hari kematian itu
muncul mitos, beberapa detik sebelum tembakan menyalak, sukma terlepas dari badan,
Pastor Yan Smith sempat berucap, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini
akan rusak pula”. Hujan turun teramat deras tercurah dari langit selama
berhari-hari, setelah penembakan itu, seakan menangisi kematian seorang
pengabdi kemanusiaan, nyawa manusia tak berdosa yang direnggut dengan
semena-mena. Bertepatan dengan kejadian tragis penembakan seorang pastor, maka
wilayah Asmat semakin dikenal oleh kalangan luas. Para pendatang perlahan-lahan
hadir untuk menetap di wilayah Asmat, membangun situs ekonomi. Kebutuhan akan
kayu sebagai prasarana tempat tinggal, jembatan, perahu, dan kayu bakar terus
meningkat tak terbilang. Pohon-pohon yang menjulang di seputar Agats ditebang
dan terus ditebang. Air laut pasang sepajang tahun, maka erosi mulai terjadi
tak bisa dihentikan dari waktu ke waktu. Agats yang semula berupa daratan tanah
gambut akhirnya hancur menjadi tanah rawa yang tak bisa lagi dipijak. Kerusakan
tanah di kota Agats, seakan membenarkan ucapan Pastor Yan Smtih, sebelum ia
roboh berlumuran darah, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan
rusak”.
Sementara Suku Asmat
tetap bertahan hidup dengan strategi berburu dan meramu serta keahlian
mengukir, kontak sporadic serta kontak yang berkelanjutan terus terjadi, maka
perubahan terus bergulir. Kehadiran missionaris serta pemerintah mendorong
fasilitas social termasuk klinik dan sekolah dibangun. Kesehatan dan pendidikan
merupakan proses utama yang harus dilampaui sebagai pembangunan sumber daya
manusia. Tahun 1983 kantor Pembantu Bupati didirikan dengan seluruh perangkat
kerja di dalamnya, sebagai rencana pemula untuk memekarkan wilayah Asmat
menjadi Kabupaten. Puskesmas Agats dengan fasilitas rawat inap didirikan
sebagai sarana pengobatan masyarakat. Saat itu wilayah Asmat terbagi menjadi tujuh
kecamatan, ialah Agats sebagai ibu kota wilayah Asmat, Sawa Erma, Akat, Atsj,
Suator, Fayit, dan Pantai Kasuari. Satu orang dokter ditempatkan di Puskesmas
Agats sebagai kepala sekaligus membawahi enam distrik yang lain.
Dua decade setelah
pendirian Kantor Pembantu Bupati Asmat, berdasarkan Undang-undang Nomor 26
Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten
Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten
Yahokimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten
Boven Digul, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan
Kabupaten Teluk Wondama. Maka wilayah Asmat memasuki babak sejarah baru dalam
rangka pembangunan wilayah dalam tatanan pemerintah kabupaten. Tanggal 12 April
2003, 12 Pejabat Bupati Kabupaten Pemekaran di seluruh Provinsi Papua dilantik
di Jayapura. Sabtu, 31 Mei 2003 Bupati Merauke, John Gluba Gebze didampingi
Wakil Bupati, Benyamin Simatupang dan seluruh jajaran pejabat daerah serta
masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat, secara simbolis pejabat
bupati diserahkan kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Drs. David Tuok
diserahkan kepada masyarakat Boven Digul, Muyu, dan Mandobo. Drs. John Rumlus
diserahkan kepada masyarakat Mapi, dan Drs. Yosef Wiro Watken diserahkan kepada
masyarakat Asmat.
Wiro Yosef Watken
menjabat Bupati Asmat hingga Pemilu Bupati 2005 yang dimenangkan oleh pasangan
Yuvensius Biakai dan FB. Sorring. Selanjutnya Yuvensius kembali menjabat Bupati
Asmat bersama Motong Sarijan pada periode berikutnya. Wakil Bupati Motong
Sarijan berhalangan tetap, digantikan dr. Yulis Patandianan. Periode 2016 –
hingga sekarang arah pembangunan Asmat dikendalikan oleh pasangan Bupati Elisa
Kambu dan Thomas Eppe Safanpo. Perubahan serta harapan baik bagi pembangunan masyarakat terus
bergulir.
Pemekaran Kabupaten
Asmat dengan perlahan namun pasti memberikan arah perubahan dalam kehidupan
masyarakat dalam satu decade terakhir. Distrik dimekarkan dari tujuh, menjadi
sepuluh, dan akhirnya menjadi sembilan belas, bahkan 23 distrik. Telkomsel
berdiri, penduduk meledak di wilayah kota dari sekitar 6.000 jiwa menjadi lebih
32.182 jiwa. Total jumlah penduduk Kabupaten Asmat pada Juli 2019 adalah
139.342 –termasuk data ganda. Wilayah kota mengalami pemekaran, sehingga
berjalan kaki menjadi suatu hal berat dalam rangka mobilitas di wilayah kota.
Muncul sepeda mini, sepeda federal, dan akhirnya motor listrik sebagai sarana
mobilitas utama di dalam kota. Jalan komposit dibangun sebagai prasarana jalan raya
yang solid di dalam kota, lampu mercuri menyala di malam hari. Terhitung sejak
2017, khusus di ibu kota Agats listrik menyala selama 24 jam per hari. Fasilitas listrik mutlak diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari, tanpa daya listrik, maka aktivitas kehidupan dapat
dinyatakan berhenti. Fasilitas social bermunculan foto copi, rumah makan,
salon, warnet, hotel, wisata di seputar dermaga baru, rumah ibadah, dan apotek.
Jalan komposit yang memanjang ke arah bagian dalam kota, memberi fasilitas bagi
sekalian masyarakat untuk berolah raga, bermain sepatu roda, jalan santai atau
berlari.
Sementara fasilitas
penyediaan air bersih telah dialirkan pada sementara rumah tangga di ibu kota
kabupaten dari air yang berasal dari Kampung Yepem. Akan tetapi, hujan tetap
menjadi sumber utama terhadap pemenuhan kebutuhan akan air jernih. Alam telah
berlaku demikian arif dengan mencurahkan hujan sepanjang tahun setiap bulan.
Setiap rumah tangga menampung di dalam blong atau drum untuk memenuhi kebutuhan
air sehari-hari. Seorang yang belum pernah berkunjung ke wilayah Asmat pernah
tidak percaya terhadap keberadaan sumber air bersih di tempat ini. Akan tetapi
demikian kenyataan yang terjadi, bahwa sumber air bersih berasal dari langit.
Suatu hal yang unik dalam destinasi wisata.
Kejadian Luar Biasa
yang terjadi pada peralihan tahun 2017 – 2018, menjadi perhatian khusus bagi
Presiden Jokowidodo, maka Menteri Kesehatan, PUPR, Sosial serta Puan Maharani
memerlukan hadir untuk melihat secara langsung situasi di lapangan. Kunjungan
Presiden Jokowidodo beserta Ibu Lady Iriana beserta rombongan memberikan
harapan baru di tanah rawa berlumpur ini. Maka berdirilah kolam penampungan air bersih, jembatan komposit
yang menghubungkan rumah sakit baru dengan Kampung Kaye, serta jembatan gantung
--Jembatan Jokowi—yang kini menjadi ikon wisata Asmat serta tujuan pada
hari libur.
Sehari
di atas Tanah Rawa Berlumpur
Setelah malam yang
benderang dalam cahaya bulan dan bintang-bintang, maka beberapa jam sebelum
sinar pagi memecah, cuaca dapat berubah demikian cepat. Hutan hujan tropis menyimpan
air yang terus menguap menjadi kabut, menjadi mendung, dan bersiap tercurah
sebagai rinai air dari langit. Khusus di
wilayah Ibu Kota Agats listrik telah menyala 24 jam, lampu solar sell menyala
benderang pada dua tepi jalan hingga pagi tiba. Aktivitas di pagi hari di bawah
cucuran hujan dan sesekali kabut adalah hal yang amat biasa terjadi di wilayah
ini. Jembatan papan dan jembatan komposit menjadi licin, pengendara sepeda roda
dua dan motor listrik harus berjalan dengan lebih hati-hati supaya tidak jatuh
tergelincir ke dalam lumpur.
Cucuran air berarti
berkat dari tempat tertinggi, langit. Air memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kebutuhan minum, konsumsi rutin, mandi, dan mencuci. Setiap rumah tangga memiliki
blong, drem, loyang, jerigen sebagai tempat penyimpanan air untuk kebutuhan
sehari-hari. Sementara hujan tercurah air tersimpan, ketika sekitar tiga minggu
hujan tak juga turun, maka persediaan air masih cukup bagi kelangsungan hidup.
Keluarga yang tak memiliki cukup tempat penampungan air, akan mencari
tempat-tempat tertentu yang bisa memberikan air.
Hujan bisa turun
sehari penuh, akan tetapi lebih sering terhenti ketika matahari beranjak
tinggi. Pintu dan jendela rumah mulai terbuka, aktivitas pembersihan rumah dan
persiapan bagi konsumsi rutin sehari-hari mulai berjalan. Para pegawai bersiap
pergi ke kantor untuk tugas rutin, para pelajar dan pengajar mulai bersiap
pergi ke sekolah dalam rangka tugas mencerdasakan bangsa. Kesibukan pasar mulai digelar, sembako,
sayur, ikan, dan ayam ditawarkan. Demikian pila dengan aktivitas kios yang
menawarkan aneka kebutuhan hidup sehari-hari, di teras-teras rumah penjual
menawarkan nasi kuning dan kue-kue basah, pembeli berdatangan, transaksi
terjadi.
Di kampung-kampung, jew –rumah bujang—sebagai satu-satunya
bangunan terbesar tetap berdiri kokoh, bersiap untuk tetap mempertahankan
kehidupan bersama di kampung termaksud. Aktivitas sehari-hari mulai bergerak, memangur sagu berarti pergi ke hutan dengan
mendayung perahu atau mengendarai perahu fiber bantuan dari Dinas Perikanan dan
Kelautan. Menjaring berarti pergi ke wilayah perairan lepas untuk
memperoleh hasil tangkapan ikan.
Ikan-ikan yang berlebih akan ditawarkan kepada pembeli di pasar, ikan dalam
jumlah kecil kiranya hanya cukup untuk konsumsi rutin secara kolektif. Bahwa
anggota kerabat yang lain akan berdatangan pula ke rumah untuk mendapatkan
konsumsi hari ini.
Aktivitas perkantoran
berakhir pada pukul 16.30 WIT, Sabtu. Minggu, dan tanggal merah adalah libur
bersama. Sementara aktivitas yang lain tetap berjalan seperti biasa. Suasana
pada pagi hari akan menjadi “istimewa” pada Minggu ketika KM. Tatamalau atau
KM. Kelimutu dan KMP. Muyu membunyikan stom yang terdengar hingga ke seluruh
penjuru kota. Penduduk yang berniat melakukan mobilitas akan pergi
berduyun-duyun dengan menjinjing kopor, tas, atau karton pergi menuju ke
dermaga. Beberapa jam kemudian suasana di pasar akan menjadi lebih ramai dengan
aneka barang dagangan yang dibawa serta para pedagang dari Timika, sayur mayor,
buah-buahan, roti, makanan ringan, dan sebagainya. Setelah sandar beberapa jam
kapal akan melanjutkan perjalanan ke Merauke sekitar 30 jam pelayaran,
sekitar 30 jam terhitung setelah sandar
di dermaga Merauke kapal akan sandar kembali di dermaga Agats. KM. Kelimutu
akan melanjutkan rute pelayaran hingga ke Ambon atau Surabaya. KM. Tatamalau
akan meneruskan rute pelayaran hingga ke Bitung.
Deru pesawat udara
juga akan bergaung memecah langit, pesawat AMA dan Susi Air menempuh rute penerbangan
Ewer – Merauke, sementara Trigana yang menempuh penerbangan Mapi – Timika akan
melintas pula di atas kota Agats. Pesawat Rimbun secara regular melayani
penerbangan Timika – Ewer dan sebaliknya dengan harga tiket sekitar Rp.
1,600,000,00. Landasan pacu Bandara Perintis Ewer sementara masih dalam
perbaikan untuk mempersiapkan sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik
dalam rangka mobilitas penduduk. Adapun sarana transportasi local di dalam
wilayah kabupaten adalah speed boat, demikian pula sarana transportasi dalam
keadaan mendesak, ketika mobilitas ke Timika harus dilalui di luar jadwal kapal
penumpang dan pesawat terbang. Sesekali suara helicopter bergemuruh di udara,
seakan ada mobilitas yang sangat penting, di luar pelayanan kapal penumpang,
Trigana atau AMA.
Pada bulan Januari
hingga Juni udara di wilayah ini relative panas, setiap orang akan mengeluh,
karena gerah bahkan di malam hari. Menjelang bulan Juli, ketika matahari
berotasi di garis balik utara, di Benua Australia jatuh salju. Udara beku
seakan menghembus dari tempat yang sangat jauh ke wilayah Asmat. Pagi selepas
hujan udara menjadi teramat dingin bahkan ketika matahari beranjak tinggi,
semakin sore udara semakin dingin dan seakan membeku pada malam hari. Maka,
pada pagi hari setiap orang harus berusaha melawan udara dingin untuk memulai
aktivitas.
Khusus di Ibu Kota
Agats listrik telah menyala 24 jam,
pesawat televisi sebagai media komunikasi masa menayangkan siaran untuk
menginformasikan beragam berita serta hiburan pada belahan bumi yang lain.
Mesin pendingin bekerja mengawetkan daging, buah, dan sayur mayor. Jalanan
mulai sibuk dengan lalu lalang pejalan kaki serta gerak motor listrik.
Fasilitas listrik memudahkan aktivitas masyarakat dalam memperbaikik taraf hidup serta mendapatkan
kesempatan layak sebagai warga dari sebuah negara yang merdeka, ketika bendera
merah putih setiap pagi dikibarkan ke puncak tiang kemudian diturunkan ketika
matahari tenggelam.
Sebagai bagian sah
dari NKRI bendera merah putih dikibarkan secara resmi, khususnya pada
Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan, setiap tanggal 17 Agustus.
Di bawah kibar Merah Putih anak-anak terlahir, bertumbuh, bermain bersama teman
sebaya di setiap sudut halaman tersisa. Perjalanan waktu membawanya menuju dewasa,
melewati jenjang pendidikan, mengukuhkan diri dalam kehidupan bersama dalam
ikatan keluarga, menjadi renta, dan akhirnya tiada. Sebelum menuju ketiadaan,
masa muda adalah suatu waktu ketika setiap individu memegang peranan penting
dalam kehidupan social, beraktivitas sebagai bagian komuni di rumah bujang,
mengukir, menyelenggarakan upacara adat, sehingga tatanan social dapat tetap
dipertahankan. Jew hamper berdiri di
setiap kampong, ukiran leluhur sebagai tiang pancang merupakan suatu keyakinan,
bahwa sekalaipun telah tiada, akan tetapi roh leluhur senantiasa berada dalam
kebersamaan, tak lekang bahkan setelah kematian memisahkan.
Di dalam Jew keahlian mengukir diturunkan, maka
roh leluhur kembali hadir dalam setiap dimensi kehidupan, pada situasi susah
dan senang. Seni ukir menampilkan ekpresi yang artisitik pada tiang pancang Jew , ritual patung bis, teknologi
sederhana perahu lesung beserta dayung, perlengkapan makan –piring sagu,
perlengkapan perang –solawaku, gagang kapak. Adapun pesta-pesta adat, ialah
pesta pemberkatan rumah bujang, pesta roh, dan pesta patung mbis berfungsi
sebagai kohesi social yang mengekalkan adat isti adat dalam rangka pemujaan roh
leluhur sebagai identitas komunal.
Sementara kehidupan
masyarakat terus berlangsung dalam ritual pesta adat serta keyakinan terhadap
kehidupan di alam keabadian yang dimanifestasi dalam seni ukir, maka transaksi
jual beli di pasar tak bisa pula dihentikan. Pasar memenuhi kebutuhan akan konsumsi sehari-hari, tempat
penjual mengatur strategi pertahanan hidup dan pembeli berbelanja ketika
keseharian mesti pula dipertahankan.
Pelayanan kesehatan
adalah dimensi tak terpisahkan dari tugas utama para medis beserta seluruh
jajaran dalam rangka membangun SDM pada langkah awal. Pengembangan Pusat
Kesehatan Masyarakat menjadi RSUD Agats adalah langkah maju dalam rangka
pelayanan public. Demikian pula dengan pembangunan RSUD permanen pada posisi
baru yang lebih nyaman dari pada posisi yang sekarang. Sementara pembangunan
Puskesmas dengan gedung batu yang lebih layak dikerjakanpula di Distrik Fayit
dan Swa Erma. Pembangunan Puskesmas yang sama di distrik yang lain menyusul. Tanpa
fasilitas serta jaminan kesehatan kiranya tak seorang pun mampu mengerjaka
tugas keseharian untuk mengejar cita-cita.
Pun proses belajar
mengajar dalam rangka mengejar cita-cita tetap menjadi bagian pembanguna masyarakat
menyangkut peningkatan kualitas SDM. Anak-anak PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA
setiap pagi di luar hari libur berbondong-bondong berangkat ke sekolah,
menuntut ilmu demi hari depan yang lebih baik. Anggaran social bagi mahasiswa
di dalam dan luar Papua adalah suatu upaya untuk mendorong pembangunan SDM. Tak
ada suatu proses yang lebih baik dalam rangka pembangunan Sumber Daya Manusia, secara sustainable, kecuali melalui proses
belajar hingga ke tingkat tinggi. Pendidikan tingkat universitas bisa diperoleh
dengan meninggalkan wilayah Asmat bagi pelajar yang telah menyelsaikan
pendidikan SLTA.
Secara totalitas
pendidikan panjang berjenjang mengubah takdir hidup manusia, termasuk dalam
rangka kesetaraan gender. Secara global persoalan gender telah melembaga
teramat jauh dalam kehidupan masyarakat dengan perubahan dan kemajuan yang
berbeda. Perubahan juga telah terjadi di Wilayah Asmat, terlebih setelah
pemekaran wilayah. Perempuan tidak pernah dapat melepaskan diri dari pekerjaan domestic,
mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, mencari kayu bakar, meramu,
menjaring, menyediakan makanan setiap hari serta membersihkan seisi rumah. Akan
tetapi, pemekaran wilayah telah membawa pula Asmat untuk menyelsaikan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, menjadi ibu guru, bidan, PNS, Kepala
Distrik, dan Kepala Dinas. Perempuan Asmat tak hanya mengerjakan tugas-tugas domestic,
telah meneruskan upaya untuk mencapai kesetaraan.
Sampai pada hari ini
potensi SDM wilayah Asmat sementara bergerak dalam upaya kemandirian suatu
wilayah. Potensi dan kemandirian adalah syarat untuk memperkuat dimensi
eksistensi suatu wilayah, termasuk kepariwisataan. Kondisi geografis, adat isti
adat, kemampuan mengukir telah menjadi modal dasar dalam menarik arus
wisatawan. Sementara SDM yang memadai merupakan subyek yang tak kalah penting
dalam kepariwisataan itu sendiri. Manusia sebagai tuan rumah akan menghidupkan
situs-situs wisata yang telah tersedia dan layak dikembangkan, termasuk Pesta
Budaya yang telah dimulai sejak tahun 1983.
***