Kamis, 25 Juli 2019

MONUMEN MANDALA MAKASSAR



“Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....” Walter Robert Monginsidi,
5 September 1949.

Beberapa jengkal setelah langkah kaki melewati pintu Monumen Mandala, suasana tiba-tiba berubah, hiruk pikuk lalu lintas kota menghilang, yang terpampang kini sejarah pada masa berpuluh bahkan beratus tahun silam, sebelum dan  dua dekade kemudian ketika bangsa ini menyatakan kemerdekaan. Tak terbilang jumlah pahlawan dikenal maupun tak dikenal gugur berlumuran darah bagi sebuah pembebasan. Saya tak sempat membidikkan kamera, terlarut dalam catatan demi catatan serta  diorama, ialah adegan sejarah yang memberi pembelajaran tentang proses panjang perjuangan suatu bangsa untuk berdiri dan berdaulat. Ada yang bergetar di dalam hati ketika kaki terus melangkah dari satu diorama ke diorama yang lain.

Monumen Mandala terletak di Jl. Jendral Sudirman, dengan luas lahan satu hektar, sekitar 500 meter dari Lapangan Karebosi. Tanggal  11 Januari 1994 Menko Polkam Soesilo Sudarman meletakkan batu pertama, tanggal 19 Desember 1995 Presiden Soharto bertandang ke Makassar untuk meresmikan monumen bersejarah ini.  Makassar adalah markas bagi pasukan pembebasan Irian Barat, maka di kota inilah monumen didirkan. Bangunan ini berbentuk segitiga sama sisi dengan menara menjulang 75 meter dari atas permukaan tanah. Segi tiga menggambarkan Trikora --Tiga Komando Rakyat, pada bagian bawah dan atas bangunan terdapat relief berbentuk kobaran api menandakan semangat juang Trikora. Pada lantai pertama terdapat 12 diorama, menggambarkan perang rakyat Makassar melawan penjajahan Belanda  hingga peristiwa Andi Azis. Pada lantai kedua terdapat diorama yang menggambarkan perjuangan pembebasan Irian Barat --yang kini menjadi Papua Belanda masih menguasai Irian Barat. 

Segala perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda dalam rangka membebaskan Irin Barat, kandas tanpa hasil, maka pada Desember 1961 Presiden Soekarno mencetuskan Trikora di alun-alun utara Yogyakarta, menggunakan kekuatan militer. Soekarno mengangkat Mayor Jendral Soeharto sebagai panglima serta komando Mandala dengan memikul tugas merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat ke Indonesia dengan berbagai peralatan militer dari Uni Soviet.

 Monumen adalah sejarah yang dihadirkan secara eksklusif dan mengesankan, sehingga generasi penerus yang hidup kemudian dapat sejenak menoleh ke belakang dan menyadari dari mana sebenarnya kehidupan hari ini berasal. Bahwa kebebasan yang diperoleh bukan semata-mata jatuh dari langit, akan tetapi dari perjuangan, kerja keras, serta tumpahan darah para pendahulu. Pendahulu yang dikenal seperti Sultan Hasanudin, namanya tetap abadi menjadi nama bandar udara, universitas, dan jalan raya

Satu hal yang sungguh mengesankan adalah saya mendapatkan kembali kalimat yang diucapkan Walter Robert Monginsidi, beberapa saat sebelum hukuman mati dijatuhkan, adalah kata-kata yang hapal dari catatan sejarah ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Pun Monginsidi lahir di Malalayang – Manado, putra dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa memulai pendidikan di  HIS dan MULO kemudian dididik sebagai guru bahasa Jepang, mengajar bahasa Jepang di Minahasa dan Luwuk kemudian ke Makassar. Monginsidi berada di Makassar ketika Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi Belanda mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Monginsidi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar. Pada 17 Juli 1946 Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan rekan-rekannya membentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi, ditangkap Belanda pada Februari 1947, tetapi berhasil membebaskan diri pada 27 Oktober 1947 Belanda menangkapnya kembali, kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati pada 5 September 1949, akan tetapi  hukuman mati tak menggoyahkan Monginsidi akan keyakinan suatu bangsa yang merdeka.  Kata-kata terakhir yang diucapkan sebelum kematian itu adalah Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....”

Walter Robert Monginsidi adalah satu dari sekian banyak pemuda yang merelakan diri gugur dengan tragis dan menyakitkan di usia belia untuk suatu cita-cita luhur, kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada hari Pahlawan 10 November 1950 jasad Monginsidi dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Makassar. Adakah kalimat terakhir yang diucapkan pemuda muda belia menjelang hukuman mati itu akan berakhir dengan sia-sia? Pemerintah Indonesia akhirnya dapat berdiri dan berdaulat mencapai kemerdekaan, hal itu berarti bahwa hukuman mati itu tidak menyurutkan Monginsidi-Monginsidi yang lain akan keyakinannya. Akan tetapi Soekarno pernah berucap, “Perjunganku sulit, karena berperang melawan   bangsa asing, tetapi perjuanganmu lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri”.

Adakah Monumen Mandala berdiri dengan sia-sia? Pada kunjungan kali ini kami, 26 orang peserta Diklat Pim III Angkatan I dari Kabupaten Asmat di LAN Makassar mengadakan wisata sejarah untuk sejenak menoleh ke belakang, menggali kembali perjuangan yang terjadi di masa lampau. Masing-masing peserta pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan sudut pandang dan pengalaman yang berbeda pula. Saya sejenak seakan tercabut dari rutinitas hari-hari dengan jadwal yang ketat, berpulang pada suatu masa yang tak akan pernah dapat daya kunjungi kemudian terhanyut dalam situasi teramat kritis ketika setiap orang bahkan rela mati untuk mencapai satu kata “merdeka!”. Kami, generasi yang hidup pada masa ini tinggal memetiknya, menggali kemudian menerapkan apa sejatinya yang mesti dikerjakan setiap warga negara di era kemerdekaan?


29 Juli 2015                                                       ***

Rabu, 24 Juli 2019

A S M A T --Realitas di Balik Ukiran--




  
*Untuk kedua bidadariku, Cici dan Yayang ,
dengan segala rasa cinta ….






                        --Kebudayaan membangun sikap mental, melahirkan pemimpin ….






Sekapur Sirih

Ukiran Asmat adalah karya seni yang sungguh menakjubkan, patung-patung itu membangkitkan daya pesona, membawa nama Suku Asmat demikian masyur hingga ke manca negara. Patung Asmat bukan sekedar karya seni yang bisa ditata dengan artistik, pada setiap guratan yang halus itu terukir serta hubungan mistis antara Suku Asmat dengan leluhur di dampu ow capinmi --di alam keabadian. Sementara seni ukir menjadi pusat lingkaran konsentris dalam totalitas kehidupan serta adat isti adat. Satu pertanyaan muncul, apakah keseharian Suku Asmat sebagai sang pengukir sama indahnya dengan seni ukir yang menjadi maha karya?
Interaksi sosial dan era globalisasi bukan hanya telah menguakkan pintu ke wilayah Asmat, sehingga para pendatang dari suku manapun bisa melampaui pintu tersebut, menetap di wilayah ini dan bersinggungan langsung dengan kehidupan suku Asmat sebagai penduduk asli, tetapi lebih dari itu. Kehadiran pendatang telah membawa serta merambahnya budaya materi ke wilayah ini, ke dalam lingkungan hidup Suku Asmat. Proses-proses pengaruh asing dengan lambat sekali dimulai pada akhir abad lalu, yang makin lama menjadi cepat, dan yang akhirnya bagi masyarakat Irian Jaya –Papua menjadi laksana taufan yang  menimpanya dengan keras (Koentjaraningrat, 1982: 338). Interaksi sosial menimbulkan satu identitas berbeda antara budaya yang satu dengan yang lain.
Persentuhan antara satu budaya dengan budaya lain  menimbulkan pula  culture shock –keterkejutan budaya dengan segala akibat di dalamnya. Kehadiran budaya luar ke wilayah Asmat secara permanen terjadi pada sekitar tahun 1950-an hingga saat ini setelah dekade yang amat panjang bagi segala perubahan. Suku Asmat adalah masyarakat peramu yang menggantungkan hidup secara subsisten terhadap hasil hutan serta laut, sagu dan ikan sebagai strategi pertahanan hidup. Tahun 1990-an wilayah Asmat hanya terdiri atas tujuh lima, Agats sebagai ibu kota wilayah, Akat, Sawa Erma, Atsy, Pantai Kasuari, Fayit, berkembang pada era reformasi dan otonomi khusus menjadi tujuh distrik hingga 23 distrik dengan 223 kampung di dalamnya, berkembang di sepanjang aliran sungai. Sarana transportasi local adalah speed boat.
Rentang waktu teramat panjang serta interaksi sosial menyebabkan perubahan tak terbendung, tak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan hidup Suku Asmat dari masyarakat peramu menjadi masyarakat petani menetap memerlukan waktu yang lebih panjang, karena posisi geografis yang teramat jauh serta kondisi geografis yang tidak menguntungkan. Adalah tanah rawa berlumpur yang tidak menguntungkan bagi perkembangan sistem pertanian, kecuali dengan program strategis  yang berkelanjutan dan berdaya guna. Kampung-kampung berjauhan di sepanjang aliran sungai adalah persoalan berbeda dalam rangka pencapaian. Fasilitas sosial yang terbatas, infrastruktur yang tidak menunjang bagi percepatan pembangunan sumber daya manusia adalah persoalan lain yang tidak mudah disiasati. Di balik seni ukir sebagai maha karya, persoalan Asmat sangatlah komplek.
Sekompleks apapun persoalan, setiap suku bangsa pada sebuah negara berhak akan kesejahteraan hidup yang sama dengan suku bangsa yang lain. Apa yang harus dikerjakan untuk pencapaian ini? Apa yang harus dikerjakan untuk mencapai kesejahteraan suatu suku bangsa? Desentralisasi pembangunan telah diteriakkan sejak 1990-an, kiranya masih memerlukan rentang waktu cukup panjang sampai di tempat tujuan hingga ke lini lapangan.
Asmat --Di Balik Realitas Ukiran adalah sebuah catatan Etnografi yang pernah terbit pada pergantian millennium ketika Wilayah Asmat masih berupa kecamatan. Perjalanan waktu mengantar Wilayah Asmat menuju Kabupaten melalui proses panjang dan pastinya melelahkan. Dalam waktu lebih dari dua decade segala perubahan dapat berlangsung, suatu catatan menampakkan pula cacat penulisan, sehingga memerlukan revisi untuk menjadi referensi yang lebih baik bagi pencari arah, pecinta seni sekaligus pengamat. Buku ini sekaligus adalah mozaik yang terdiri atas keping cerita yang saling mengait tak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain, menghadirkan kisah Asmat hari ini.

                                                                        ***

 





 PERKAMPUNGAN DI ATAS JEMBATAN

Agats sebagai Ibu Kota Kabupaten Asmat memiliki ritme kehidupan berbeda dan lebih komplek serta maju bila dibandingkan dengan 222 kampung lain di wilayah ini. Jembatan kayu  yang lapuk serta rumah semi permanen telah menjadi masa lalu yang hanya dapat dikenang dalam gambar atau ingatan. Wilayah ini tepatnya berada di ujung pantai timur Pantai Selatan Provinsi Papua dengan luas wilayah  23.746 kilometer persegi dan terletak antara 137áµ’30 - 141áµ’01’47 Bujur Timur dan 3áµ’30 - 10áµ’43 Lintang Selatan. Batas wilayah sebelah utara adalah  Kabupaten Jayawijaya dan Yahokimo, batas wilayah sebelah selatan adalah Kabupaten Mapi dan Laut Arafura, batas wilayah sebelah timur Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Boven Digoel. Posisi ini menempatkan Kabupaten pada kawasan rim Pasifik Selatan --Australia dan New Zealand serta negara-negara Sirkum Pasifik.
Wilayah Asmat, sebagai tempat para pengukir menetap dapat dijangkau melalui dua sarana transportasi, udara dan laut. Perjalanan menuju Asmat baik dari Merauke atau Timika selalu didahului dengan ketepatan mengukur waktu, karena pesawat terbang dan kapal laut tidak pernah bersedia menunggu penumpang. Sebaliknya penumpang dalam rangka mobilitas sangat memerlukan sarana transportasi. Kendala dalam menempuh sarana transportasi laut adalah ombak Laut Arafura yang dapat menyebabkan mabuk bagi sekalian penumpang. Kapal Tatamalau, Leuser dan Kelimutu –atau kapal penumpang yang memenangkan tender akan menempuh sekitar 12 jam pelayaran dari Dermaga Pamako, Timika menuju Agats sebagai ibu kota Kabupaten Asmat. Selanjutnya kapal akan meneruskan pelayaran ke Merauke dalam 30 jam ke depan kemudian berbalik lagi ke Agats menempuh rute yang sama. Kapal-kapal perintis atau speed boat adalah alternative lain dalam mencapai wilayah Asmat dalam keadaan mendesak. Adapun kapal perintis siap tenggelam, telah menjadi bagian masa lalu yang telah digantikan dengan kapal layak berlayar.
Sarana transportasi  udara adalah pilihan terbaik, karena jarak tempuh yang relaltif pendek, sekitar 45 menit dari Bandara Moses Kilangin Timika atau satu jam 30 menit dari Bandara Mopah, Merauke. Perasaan yang mencekam beberapa menit sebelum penerbangan adalah gamang, keselamatan manusia akan berada ditangan pilot, di dalam perut burung besi, melayang sekitar 45 menit hingga sampai di landasan pacu bandar udara perintis, Ewer. Akan tetapi, Tuhan berkuasa atas takdir serta keselamatan manusia. Perasaan gamang perlahan memudar berganti takjub, ketika pesawat jenis Pilatus atau Twin Otter perlahan meraung, bergerak pasti menuju landasan pacu Bandar Udara Moses Kilangin, Timika. Raungan pesawat semakin kuat kemudian burung besi itupun mengudara, landasan pacu tertinggal  jauh di bawah dan semakin jauh. Tata kota Timika tampak sebagai konsentrasi  pemukiman yang ramai berserakan dengan atap seng aneka warna, sekejab, kemudian hilang di kejauhan. Pemandangan beralih rupa, adalah limbah beracun maha luas melebihi lahan tata kota yang bersumber dari proyek raksasa PT. Freeport Indonesia. Sumber limbah beracun itu mengalir laksana anak sungai yang kian membesar dan bermuara menuju lepas  pantai.
Pesawat terus meraung, di bawah raungan pesawat hutan demikian hijau membentang berbatas horizon, air sungai meliuk-liuk seakan ular naga, bergerak dari hulu menuju muara, awan putih teramat lembut bergumpal-gumpal melayang di ketinggian, ditiup angin, menuju entah. Semakin lama awan semakin tebal, berkilau ditimpa hangat sinar mentari, beberapa detik pesawat terjebak dalam kabut putih, namun cuaca kembali cerah dan bersahabat.  Di bawah pesawat awan tampak sebagai hamparan putih teramat tebal dan luas seakan tak hendak sampai pada ujungnya, di atas langit sebiru batu safir. Rasa gamang tak lagi bersisa.
Awan putih pun perlahan menepi, hutan luas serta sungai-sangai yang berkelok indah kembali nampak sebagai panorama yang mengesankan. Mega-mega kembali tampak seakan gumpalan kapas putih dan lembut. Jarak menuju landasan pacu Bandara Ewer sebagai gerbang udara Kabupaten Asmat semakin dekat. Ketika dengung mesin menurun, hutan yang luas menghijau berubah menjadi batas langit, biru dan samar. Pesawat memutar, memposisikan diri tepat untuk landing di landasan pacu, pohon-pohon tampak semakin dekat, pemukiman Kampung Ewer dan Sau tampak sekilas dari  balik kaca jendela.  Ketika roda pesawat menyentuh landasan pacu terasa guncangan yang mengejutkan, pesawat terus melaju menuju akhir perjalanan, gerakan terasa demikian cepat dan mencemaskan. Pada dua sisi jendela kaca, pohon-pohon seakan ikut pula berlari, sesunggunnya tumbuhan itu selalu berhenti. Kesibukan penumpang naik dan turun akan terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian Bandara Ewer akan kembali sunyi seperti pada hari-hari biasa.
Asmat bukan posisi yang mudah dijangkau, karena ketiadaan prasarana transportasi darat. Tanah rawa berlumpur yang menggenangi 98% wilayah menutup kemungkinan bagi pembangunan jalan darat. Tanah rawa berlumpur dengan air pasang dan surut sepanjang tahun juga merupakan persoalan mendasar yang harus disiasati bagi model rumah dan prasarana jalan raya. Ketinggian air pasang surut mencapai 5 – 7 meter, air laut yang pasang masuk sampai sejauh 50 – 60 kilometer, beberapa tempat terintrusi air asin. Seluruh bangunan dibuat dalam bentuk rumah panggung, seluruh jalan dibuat sebagai jembatan kayu selebar dua meter –kini berubah menjadi jembatan komposit menghubungkan seluruh kota. Rawa berlumpur menutup kemungkinan bagi tergalinya sumur dengan air jernih yang memenuhi syarat kesehatan bagi keperluan makan-minum, dan MCK. Alam memerikan kearifan, curah hujan dalam setahun rata-rata 3.000 milimeter hingga 5.000 milimeter dengan sekitar 200 hari hujan dalam setahun. Air hujan yang tercurah setiap minggu ditampung dalam drum dan blong air dan menjadi air bersih yang dikonsumsi setiap hari untuk keperluan makan – minum dan MCK.
Kondisi semacam ini terjadi pada hampir seluruh wilayah Asmat yang terdiri dari 23 distrik, yaitu Distrik Agats dengan Agats sebagai ibu kota pemerintahan, Distrik Akat, Sawa Erma, Atsy, Suator, Fayit, dan Pantai Kausari, Suator, Korowai, Suru-Suru, Kolf Braza, Unir Sirau, Joerat, Pulau Tiga, Jetsy, Der Koumur, Kopay, Safan, Sirets, Ayip, Derkomoue, Aswi dan Bectbamu dengan jumlah penduduk Per Januari 2018, 120.233 jiwa . Ketinggian rata-rata wilayah adalah 0 – 100 meter di atas permukaan laut, daerah bergelombang dan berbukit berada di wilayah distrik Sawa Erma sampai Distrik Suator. Sungai-sungai besar yang mengalir adalah Sungai Wedelmen, Siretz, Asuwetsy, Lorentz, dan Bets. Sungai-sungai ini sekaligus menjadi prasarana transportasi antar distrik dengan kendaraan speed boat atau perahu motor tempel. Harga minyak industri per liter adalah Rp. 16,000,00 dan BBM satu harga di ibu kota Agats Rp. 6,000,00.


Legenda dan Catatan Sejarah
Syahdan, tersebutlah seorang beorpit --pemuda gagah perkasa--  bernama Fumiripits yang menetap seorang diri dalam suatu rumah tinggal di tengah hutan.  Suatu hari Fumeripits melakukan perjalanan ke hilir sungai menuju muara Sungai Sirets. Di muara sungai pemuda itu bertemu dengan sekelompok gadis yang semuanya berparas cantik. Fumiripits jatuh cinta kepada salah seorang gadis yang cantik rupawan itu, demikian pula  sang gadis rupawan tersebut. Sang gadis pun memutuskan membungkus Fumiripis dengan selembar tikar daun dan membaringkanya di dalam perahu lesung agar dapat menyembunyikan dari pandangan saudara perempuan yang lain .
 Dalam perjalanan pulang melewati Sungai Sirets ombak mulai mengguncang,  semakin lama semakin kencang. Tak ayal lagi, Fumiripits terjatuh ke sungai dalam keadaan terbungkus tikar daun, terhanyut ke laut dan terdampar di tepi Sungai Momats. Fumiripits amat kesakitan hingga ia tak dapat lagi merasakan apa-apa, ia meregang nyawa dan akhirnya meninggal. Tak lama kemudian datanglah sekawan burung, mendapatkan Fumiripits dalam keadaan terkapar. Kawanan burung itu akhirnya meminta bantuan kepada Kidukunmsi--burung elang ajaib yang dapat menghidupkan kembali Fumiripits, sehingga sang Beorpit  mendapatkan kem¬bali kehidupan, tetapi ia terpisah dengan gadis yang dicintainya.
Fumiripits membangun rumah panjang sebagai tempat tinggal, tetapi ia tetap marasa kesepian. Dalam kesendirianya Fumiripits berkeinginan untuk mengukir patung dari kayu. Ia pun menebang pohon, memotongnya, dan mulai membentuk kepala, badan, tangan, dan kaki sehingga ujud itu betul menyerupai manusia. Di antara patung-patung itu ada yang menyerupai laki-laki dan ada pula yang menyerupai perempuan. Patung-patung itu sangat halus dan indah, Fumiripits mengatur patung-patung tadi di sekeliling rumahnya ia merasa sangat senang dan bangga dengan hasil ciptaanya. Akan tetapi patung tetapalah benda mati tidak bisa bergerak atau bicara.
Fumiripits akhirnya membuat tifa, ia menebang sebatang pohon dan melubangi bagian tengannya. Fumiripits menangkap pula seekor kadal, mengupas kulitnya, kemudian menutup salah satu bagian lubang kayu itu dengan kulit kadal dan mengikatnya dengan rotan yang telah dilumuri dengan darahnya sendiri serta limau putih. Setelah tifa itu jadi, ia pun menabuhnya. Suara tifa yang merdu membuat patung tersentak, patung-patung itu mulai bergerak dan menyentak-nyentak mengikuti irama pukulan tifa. Ketika Fumiripits mempercepat irama tabuhannya, maka gerak patung-patung itu semakin cepat dan lincah. Akhirnya patung-patung itu bernapas dan hidup selayaknya manusia. Mereka adalah orang-orang pertama yang mengawali kehidupan di Asmat. 
Legenda Fumiripits adalah mitos yang dapat menguak asal mula keberadaan Suku Asmat lengkap dengan keahliannya mengukir untuk hadir pada alam kehidupan sebelum bersentuhan secara langsung maupun tidak langsung dengan dunia luar. Jauh hari ke depan setelah patung-patung yang diukir Sang Legenda bernapas kemudian bergerak dan menari-nari mengikuti irama pukulan tifa, maka Suku Asmat bertahan hidup dengan menggantungkan diri terhadap  kekayaan hutan dan laut. Mengayau adalah suatu ritual untuk mempertahankan diri terhadap intervensi dari kelompok etnis di seputarnya. Menurut catatan Verlag (2002: 49), kontak pertama Suku Asmat secara sporadic dengan dunia luar terjadi pada awal abad ke-17. Tanggal 12 Juli 1607, Win Vaes de Torres dari kapal San Pedro menulis sepucuk surat untuk raja Spanyol yang mengabarkan eksplorasinya di pantai selatan New Guinea dan menyatakan bahwa kawasan itu menjadi milik raja Spanyol. Suratnya lebih lanjut menggambarkan wajah orang asing yang pertama dijumpainya sebagai orang-orang hitam yang berbeda dari orang-orang lain, yang berhias lebih bagus, menggunakan anak panah dan perisai besar, serta beberapa cabang bambo berisi kapur yang membutakan musuh bila mereka melemparnya.
Pada 12 Oktober 1770 Kapten James Cook dan awak kapalnya menyatakan bertemu dengan orang Asmat. Mereka berlabuh di Pirimapun dan menyebut tempat termaksud sebagai Teluk Cook. Kurang dari satu abad kemudian, tepatnya pada tahun 1828 Pemerintah Belanda menghaki Pantai Barat Daya New Guinea, kemudian menghaki pantai utara pulau atas nama Sultan Tidore pada tahun 1848. Selama awal tahun 1900-an Pemerintah Belanda mengirim ekspedisi ke New Guinea untuk menentukan batas-batas tanah yang telah mereka haki sebelumnya. Kontak sporadis ini tidak memberikan pengaruh apa pun bagi kehidupan Suku Asmat.
Mansoeben (1995: 128 – 130) mengemukakan kronologis kontak orang Asmat dengan dunia luar yang dimulai pada tahun 1904. Kontak itu terjadi, karena ekspedisi-ekpspedisi yang dilakukan orang Eropa di wilayah Pasifik. Ekspedisi berikutnya terjadi pada tahun 1907, 1909-1910 dan 1912 -1913. Ekspedisi pertama pertama dan kedua dipimpin Lorentz dan terakhir Franssen Herderschee. Dua ekspedisi berikutnya terjadipada tahun 1922 dan 1923, keseluruhan ekspedisi tersebut adalah dalam rangka ekspedisi ilmiah. Kunjungan lain berasal dari pihak Pemerintah Belanda yang terjadi pada tahun 1904 disusul kunjungan-kunjungan berikut.
Tahun 1936 Pemerintah Belanda membangun Pos Pemerintahan untuk kepentingan keamanan. Felix Maturbongs diangkat menjadi Bestir Assistant di Agats untuk masa tugas 1938 – 1943 kemudian mendatangkan tukang-tukang dari Kei untuk membangun Kompleks Pos Pemerintahan di Agats. Orang Asmat Pos Pemerintahan itu disebut Akat --yang berarti “baik” atau “ bagus”. Lidah orang Belanda ternyata sulit untuk mengatakan “Akat”, yang terucap ialah “Agats”, maka daerah sekitar Pos Pemerintahan hingga kini disebut dengan Agats. Selanjutnya Agats menjadi nama ibu kota wilayah Asmat.
Pada tahun yang sama dengan tahun pembangunan Pos Pemerintahan --1936, P. Herman Tillemans, MSC mengunjungi daerah Asmat bagian utara dengan perahu dayung dari Pusat Misi MSC di Mimika dalam rangka pewartaan Injil. Tahun 1938 P. Hendrikus Cornelisse, MSC mengunjungi Asmat dari Langgur, Kei, dari kunjungan itu dua gereja dibangun di Syuru dan Ayam. Tahun 1943 tentara Jepang memasuki daerah Mimika. Bestir Felix Maturbongs mendapat telegram dari Resident Merauke supaya penduduk Agats segera diungsikan ke Merauke dan Pos Pemerintahan Agats dimusnahkan. Pada tanggal 26 Januari 1943 Bestir dan semua pendatang di Agats berangkat ke Merauke dengan menumpang KM. Herman, sementara semua bangunan Pos Pemerintahan Agats telah hangus dibakar. Sampai pada tahun ini segala upaya pewartaan dan pembangunan di wilayah Asmat terhenti, Perang Dunia ke II yang terus berkecamuk tak memungkinkan adanya upaya termaksud.
Pada kurun waktu termaksud Suku Asmat terikat pada kepercayaan, bahwa alam semesta dihuni oleh roh serta makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan dan digolongkan ke dalam dua kategori : Pertama, Osbopan,  setan yang membahayakan hidup, ialah  setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana. Kedua, Setan yang tidak membahayakan hidup, nyawa dan jiwa seseorang, hanya  menakut-nakuti dan mengganggu. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya, yang berasal dari roh nenek moyang dan disebut yi-ow.
Suku Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang menyebabkan setiap orang terlarang melakukan melakukan hal-hal tertentu,  tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang. Kekuatan magis  dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan. Kepercayaan akan kekuatan gaib dan roh halus termanifestasi dalam ritus yang berlangsung sehari-hari menjadi adat isti adat.
Tahun 1950 ketika situasi kembali damai Pastor  Gerald Zegwaard, MSC mengunjungi Asmat dan berusaha memulangkan kembali penduduk Asmat yang semula mengungsi ke Kamoro. Pastor Zegwaard menempatkan lima orang Katekis di Kampung Ao, Kapi, As-Atat, dan Nakai yang sekarang berkembang menjadi Paroki Yamas. Tahun 1951, dr. Fisher, seorang tenaga medis dari WHO bertandang ke Asmat an diterima  masyarakat dengan baik. Wabah frambusia menyebar, pengobatan yang dilakukan dr. Fisher menyebabkan kehadiran dokter termaksud memberikan sumbangan positif bagi kesehatan masyarakat. Pada Januari 1953 Pastor Zegwaard , MSC mulai menetap di Agats dan pada 3 Februari 1953 orang Asmat pertama --seorang ibu dibabtis.
Satu tahun kemudian, pada 1954 Indonesia sudah mengusahakan upaya diplomatik untuk mendapatkan Papua --Irian-- dalam Konferensi Meja Bundar. Akan tetapi perundingan diplomatic tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1956 Pemerintah Belanda menolak menyerahkan Irian kepada Indonesia. Enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1962 perundingan mencapai titik terang, karena keterlibatan Amerika Serikat dengan John F. Kennedy sebagai presiden. Belanda menyerahkan Irian kepada pemerintah sementara PBB pada tanggal 1 Oktober 1962, selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1963 Irian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Sejak saat itu maka wilayah Asmat dipimpin oleh seorang KPS –Kepala Pejabat Setempat—setara dengan kedudukan Kepala Distrik saat ini. Kehadiran missionaries serta jajaran pemerintah, meski berusia sangat muda perlahan-lahan mulai mengubah kehidupan masyarakat dari system berperang menjadi kehidupan yang lebih damai, praktis adat mengayau perlahan memudar kemudian hilang sama sekali. Akan tetapi system kepercayaan yang mendasar akan relasi dengan roh leluhur tetap bertahan dan menjadi dasar dari perilaku masyarakat, terutama dalam hal seni ukir. Suku Asmat memandang kehidupan menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah dunia hidup atau Asmat ow capinmi, bagian kedua adalah tempat persinggahan orang-orang yang sudah  meninggal dan belum memasuki tempat istirahat kekal di safar --surga—yang disebut dampu ow capinmi. Roh-roh yang tinggal di dampu ow capinmi adalah penyebab penyakit, penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup harus menebus roh-roh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta memberinya nama agar mereka dapat masuk ke alam safar --yang merupakan tujuan akhir, bagian ketiga dari kehidupan orang Asmat.
Selain sebagai tujuan akhir dari kehidupan orang Asmat, safar juga diyakini sebagai tempat asal roh-roh bayi. Bayi-bayi tersebut pada mulanya masuk melalui jiwi jof, yaitu pintu tempat mereka masuk ke dunia ini. Setelah dewasa dan kemudian meninggal, maka mereka akan melaui jamir jof , yang merupakan jalan menuju dunia akhir. Anak-anak yang lahir melalui jiwi jof merupakan penjelmaan orang-orang yang sudah meninggal. Mereka adalah pribadi baru yang bernama yuwus, yang berarti “nama” yang bagi orang Asmat adalah roh dari pribadinya. Dengan memberi nama pada sebuah ukiran, berarti roh dan pribadi tersebut masuk ke dalam ukiran itu. Dengan demikian, ukiran tersebut merupakan pribadi itu sendiri. Atas dasar kepercayaan terhadap roh leluhur yang telah menetap di dampu ow capinmi, maka tangan sang wowipits --pengukir-- bergerak mengikuti naluri untuk menciptakan maha karya yang menyebabkan seni ukir Asmat menjadi amat masyur.
Kemasyuran seni ukir Asmat merupakan salah satu faktor yang mengundang kehadiran pendatang dari segala pihak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di wilayah ini. Sosok-sosok manusia yang berdikasi bermunculan, termasuk satu sosok tokoh pejuang  pendidikan di wilayah Asmat yang diabadikan dalam bentuk monumen untuk mengenang kerja`keras yang telah tersurat pada catatan sejarah. Pada Tanggal 17 Agustus 1951 Pastor Yan Smith  masuk Orde Salib Suci, Pada Tanggal 25 Juli 1957  ditahbiskan menjadi imam, tahun 1958-1959 Pastor Yan Smit pergi ke Amerika Serikat untuk mengambil studi theologi di Fort Wayne dan Hastings. Tanggal 24 Oktober 1959 Pastor Yan Smit tiba di Asmat. Lima tahun lebih setelah kerja keras memulai sebuah proses pendidikan bagi anak-anak Asmat, terjadi konflik dengan KPS --Kepala Pejabat Setempat dan berakhir dengan tragis. Tanggal 28 Januari 1965 bertempat tak jauh dari ikon pastor didirikan, perselisihan terjadi KPS mengacungkan senjata ke arah Pastor Yan Smtih, menarik pelatuknya, pada tembakan pertama pastor masih berdiri, demikian pula pada tembakan kedua. Pada tembakan ketiga Pastor Yan Smith  roboh berlumuran darah,  dan tak pernah bangkit lagi. Pastor Yan Smith berpulang dengan memilukan   pada usia 34 Tahun, status waktu itu  sebagai Pastor Paroki Yamas-Yeni dan  Pemilik Sekolah  Daerah untuk seluruh Persekolahan Khatolik di wilayah Asmat.
Pada hari kematian itu muncul mitos, beberapa detik sebelum tembakan menyalak, sukma terlepas dari badan, Pastor Yan Smith sempat berucap, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan rusak pula”. Hujan turun teramat deras tercurah dari langit selama berhari-hari, setelah penembakan itu, seakan menangisi kematian seorang pengabdi kemanusiaan, nyawa manusia tak berdosa yang direnggut dengan semena-mena. Bertepatan dengan kejadian tragis penembakan seorang pastor, maka wilayah Asmat semakin dikenal oleh kalangan luas. Para pendatang perlahan-lahan hadir untuk menetap di wilayah Asmat, membangun situs ekonomi. Kebutuhan akan kayu sebagai prasarana tempat tinggal, jembatan, perahu, dan kayu bakar terus meningkat tak terbilang. Pohon-pohon yang menjulang di seputar Agats ditebang dan terus ditebang. Air laut pasang sepajang tahun, maka erosi mulai terjadi tak bisa dihentikan dari waktu ke waktu. Agats yang semula berupa daratan tanah gambut akhirnya hancur menjadi tanah rawa yang tak bisa lagi dipijak. Kerusakan tanah di kota Agats, seakan membenarkan ucapan Pastor Yan Smtih, sebelum ia roboh berlumuran darah, “Bila badanku rusak, maka tanah di tempat ini akan rusak”.
Sementara Suku Asmat tetap bertahan hidup dengan strategi berburu dan meramu serta keahlian mengukir, kontak sporadic serta kontak yang berkelanjutan terus terjadi, maka perubahan terus bergulir. Kehadiran missionaris serta pemerintah mendorong fasilitas social termasuk klinik dan sekolah dibangun. Kesehatan dan pendidikan merupakan proses utama yang harus dilampaui sebagai pembangunan sumber daya manusia. Tahun 1983 kantor Pembantu Bupati didirikan dengan seluruh perangkat kerja di dalamnya, sebagai rencana pemula untuk memekarkan wilayah Asmat menjadi Kabupaten. Puskesmas Agats dengan fasilitas rawat inap didirikan sebagai sarana pengobatan masyarakat. Saat itu wilayah Asmat terbagi menjadi tujuh kecamatan, ialah Agats sebagai ibu kota wilayah Asmat, Sawa Erma, Akat, Atsj, Suator, Fayit, dan Pantai Kasuari. Satu orang dokter ditempatkan di Puskesmas Agats sebagai kepala sekaligus membawahi enam distrik yang lain.
Dua decade setelah pendirian Kantor Pembantu Bupati Asmat, berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahokimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Teluk Wondama. Maka wilayah Asmat memasuki babak sejarah baru dalam rangka pembangunan wilayah dalam tatanan pemerintah kabupaten. Tanggal 12 April 2003, 12 Pejabat Bupati Kabupaten Pemekaran di seluruh Provinsi Papua dilantik di Jayapura. Sabtu, 31 Mei 2003 Bupati Merauke, John Gluba Gebze didampingi Wakil Bupati, Benyamin Simatupang dan seluruh jajaran pejabat daerah serta masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat, secara simbolis pejabat bupati diserahkan kepada masyarakat yang akan dipimpinnya. Drs. David Tuok diserahkan kepada masyarakat Boven Digul, Muyu, dan Mandobo. Drs. John Rumlus diserahkan kepada masyarakat Mapi, dan Drs. Yosef Wiro Watken diserahkan kepada masyarakat Asmat.
Wiro Yosef Watken menjabat Bupati Asmat hingga Pemilu Bupati 2005 yang dimenangkan oleh pasangan Yuvensius Biakai dan FB. Sorring. Selanjutnya Yuvensius kembali menjabat Bupati Asmat bersama Motong Sarijan pada periode berikutnya. Wakil Bupati Motong Sarijan berhalangan tetap, digantikan dr. Yulis Patandianan. Periode 2016 – hingga sekarang arah pembangunan Asmat dikendalikan oleh pasangan Bupati Elisa Kambu dan Thomas Eppe Safanpo. Perubahan serta harapan  baik bagi pembangunan masyarakat terus bergulir.
Pemekaran Kabupaten Asmat dengan perlahan namun pasti memberikan arah perubahan dalam kehidupan masyarakat dalam satu decade terakhir. Distrik dimekarkan dari tujuh, menjadi sepuluh, dan akhirnya menjadi sembilan belas, bahkan 23 distrik. Telkomsel berdiri, penduduk meledak di wilayah kota dari sekitar 6.000 jiwa menjadi lebih 32.182 jiwa. Total jumlah penduduk Kabupaten Asmat pada Juli 2019 adalah 139.342 –termasuk data ganda. Wilayah kota mengalami pemekaran, sehingga berjalan kaki menjadi suatu hal berat dalam rangka mobilitas di wilayah kota. Muncul sepeda mini, sepeda federal, dan akhirnya motor listrik sebagai sarana mobilitas utama di dalam kota. Jalan komposit dibangun sebagai prasarana jalan raya yang solid di dalam kota, lampu mercuri menyala di malam hari. Terhitung sejak 2017, khusus di ibu kota Agats listrik menyala selama 24 jam per hari.  Fasilitas listrik mutlak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa daya listrik, maka aktivitas kehidupan dapat dinyatakan berhenti. Fasilitas social bermunculan foto copi, rumah makan, salon, warnet, hotel, wisata di seputar dermaga baru, rumah ibadah, dan apotek. Jalan komposit yang memanjang ke arah bagian dalam kota, memberi fasilitas bagi sekalian masyarakat untuk berolah raga, bermain sepatu roda, jalan santai atau berlari.
Sementara fasilitas penyediaan air bersih telah dialirkan pada sementara rumah tangga di ibu kota kabupaten dari air yang berasal dari Kampung Yepem. Akan tetapi, hujan tetap menjadi sumber utama terhadap pemenuhan kebutuhan akan air jernih. Alam telah berlaku demikian arif dengan mencurahkan hujan sepanjang tahun setiap bulan. Setiap rumah tangga menampung di dalam blong atau drum untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Seorang yang belum pernah berkunjung ke wilayah Asmat pernah tidak percaya terhadap keberadaan sumber air bersih di tempat ini. Akan tetapi demikian kenyataan yang terjadi, bahwa sumber air bersih berasal dari langit. Suatu hal yang unik dalam destinasi wisata.
Kejadian Luar Biasa yang terjadi pada peralihan tahun 2017 – 2018, menjadi perhatian khusus bagi Presiden Jokowidodo, maka Menteri Kesehatan, PUPR, Sosial serta Puan Maharani memerlukan hadir untuk melihat secara langsung situasi di lapangan. Kunjungan Presiden Jokowidodo beserta Ibu Lady Iriana beserta rombongan memberikan harapan baru di tanah rawa berlumpur ini. Maka berdirilah kolam  penampungan air bersih, jembatan komposit yang menghubungkan rumah sakit baru dengan Kampung Kaye, serta jembatan gantung --Jembatan Jokowi—yang kini menjadi ikon wisata Asmat serta tujuan pada hari  libur.

Sehari di atas Tanah Rawa Berlumpur

Setelah malam yang benderang dalam cahaya bulan dan bintang-bintang, maka beberapa jam sebelum sinar pagi memecah, cuaca dapat berubah demikian cepat. Hutan hujan tropis menyimpan air yang terus menguap menjadi kabut, menjadi mendung, dan bersiap tercurah sebagai rinai air dari langit.  Khusus di wilayah Ibu Kota Agats listrik telah menyala 24 jam, lampu solar sell menyala benderang pada dua tepi jalan hingga pagi tiba. Aktivitas di pagi hari di bawah cucuran hujan dan sesekali kabut adalah hal yang amat biasa terjadi di wilayah ini. Jembatan papan dan jembatan komposit menjadi licin, pengendara sepeda roda dua dan motor listrik harus berjalan dengan lebih hati-hati supaya tidak jatuh tergelincir ke dalam lumpur.
Cucuran air berarti berkat dari tempat tertinggi, langit. Air memenuhi kebutuhan masyarakat akan kebutuhan minum, konsumsi rutin, mandi, dan mencuci. Setiap rumah tangga memiliki blong, drem, loyang, jerigen sebagai tempat penyimpanan air untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara hujan tercurah air tersimpan, ketika sekitar tiga minggu hujan tak juga turun, maka persediaan air masih cukup bagi kelangsungan hidup. Keluarga yang tak memiliki cukup tempat penampungan air, akan mencari tempat-tempat tertentu yang bisa memberikan air.
Hujan bisa turun sehari penuh, akan tetapi lebih sering terhenti ketika matahari beranjak tinggi. Pintu dan jendela rumah mulai terbuka, aktivitas pembersihan rumah dan persiapan bagi konsumsi rutin sehari-hari mulai berjalan. Para pegawai bersiap pergi ke kantor untuk tugas rutin, para pelajar dan pengajar mulai bersiap pergi ke sekolah dalam rangka tugas mencerdasakan bangsa.  Kesibukan pasar mulai digelar, sembako, sayur, ikan, dan ayam ditawarkan. Demikian pila dengan aktivitas kios yang menawarkan aneka kebutuhan hidup sehari-hari, di teras-teras rumah penjual menawarkan nasi kuning dan kue-kue basah, pembeli berdatangan, transaksi terjadi.
Di kampung-kampung,  jew –rumah bujang—sebagai satu-satunya bangunan terbesar tetap berdiri kokoh, bersiap untuk tetap mempertahankan kehidupan bersama di kampung termaksud. Aktivitas sehari-hari mulai bergerak,  memangur sagu berarti pergi ke hutan dengan mendayung perahu atau mengendarai perahu fiber bantuan dari Dinas Perikanan dan Kelautan. Menjaring berarti pergi ke wilayah perairan lepas untuk memperoleh  hasil tangkapan ikan. Ikan-ikan yang berlebih akan ditawarkan kepada pembeli di pasar, ikan dalam jumlah kecil kiranya hanya cukup untuk konsumsi rutin secara kolektif. Bahwa anggota kerabat yang lain akan berdatangan pula ke rumah untuk mendapatkan konsumsi hari ini.
Aktivitas perkantoran berakhir pada pukul 16.30 WIT, Sabtu. Minggu, dan tanggal merah adalah libur bersama. Sementara aktivitas yang lain tetap berjalan seperti biasa. Suasana pada pagi hari akan menjadi “istimewa” pada Minggu ketika KM. Tatamalau atau KM. Kelimutu dan KMP. Muyu membunyikan stom yang terdengar hingga ke seluruh penjuru kota. Penduduk yang berniat melakukan mobilitas akan pergi berduyun-duyun dengan menjinjing kopor, tas, atau karton pergi menuju ke dermaga. Beberapa jam kemudian suasana di pasar akan menjadi lebih ramai dengan aneka barang dagangan yang dibawa serta para pedagang dari Timika, sayur mayor, buah-buahan, roti, makanan ringan, dan sebagainya. Setelah sandar beberapa jam kapal akan melanjutkan perjalanan ke Merauke sekitar 30 jam pelayaran, sekitar   30 jam terhitung setelah sandar di dermaga Merauke kapal akan sandar kembali di dermaga Agats. KM. Kelimutu akan melanjutkan rute pelayaran hingga ke Ambon atau Surabaya. KM. Tatamalau akan meneruskan rute pelayaran hingga ke Bitung.
Deru pesawat udara juga akan bergaung memecah langit, pesawat AMA dan Susi Air menempuh rute penerbangan Ewer – Merauke, sementara Trigana yang menempuh penerbangan Mapi – Timika akan melintas pula di atas kota Agats. Pesawat Rimbun secara regular melayani penerbangan Timika – Ewer dan sebaliknya dengan harga tiket sekitar Rp. 1,600,000,00. Landasan pacu Bandara Perintis Ewer sementara masih dalam perbaikan untuk mempersiapkan sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik dalam rangka mobilitas penduduk. Adapun sarana transportasi local di dalam wilayah kabupaten adalah speed boat, demikian pula sarana transportasi dalam keadaan mendesak, ketika mobilitas ke Timika harus dilalui di luar jadwal kapal penumpang dan pesawat terbang. Sesekali suara helicopter bergemuruh di udara, seakan ada mobilitas yang sangat penting, di luar pelayanan kapal penumpang, Trigana atau AMA.
Pada bulan Januari hingga Juni udara di wilayah ini relative panas, setiap orang akan mengeluh, karena gerah bahkan di malam hari. Menjelang bulan Juli, ketika matahari berotasi di garis balik utara, di Benua Australia jatuh salju. Udara beku seakan menghembus dari tempat yang sangat jauh ke wilayah Asmat. Pagi selepas hujan udara menjadi teramat dingin bahkan ketika matahari beranjak tinggi, semakin sore udara semakin dingin dan seakan membeku pada malam hari. Maka, pada pagi hari setiap orang harus berusaha melawan udara dingin untuk memulai aktivitas.
Khusus di Ibu Kota Agats  listrik telah menyala 24 jam, pesawat televisi sebagai media komunikasi masa menayangkan siaran untuk menginformasikan beragam berita serta hiburan pada belahan bumi yang lain. Mesin pendingin bekerja mengawetkan daging, buah, dan sayur mayor. Jalanan mulai sibuk dengan lalu lalang pejalan kaki serta gerak motor listrik. Fasilitas listrik memudahkan aktivitas masyarakat dalam  memperbaikik taraf hidup serta mendapatkan kesempatan layak sebagai warga dari sebuah negara yang merdeka, ketika bendera merah putih setiap pagi dikibarkan ke puncak tiang kemudian diturunkan ketika matahari tenggelam.
Sebagai bagian sah dari NKRI bendera merah putih dikibarkan secara resmi, khususnya pada Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan, setiap tanggal 17 Agustus. Di bawah kibar Merah Putih anak-anak terlahir, bertumbuh, bermain bersama teman sebaya di setiap sudut halaman tersisa. Perjalanan waktu membawanya menuju dewasa, melewati jenjang pendidikan, mengukuhkan diri dalam kehidupan bersama dalam ikatan keluarga, menjadi renta, dan akhirnya tiada. Sebelum menuju ketiadaan, masa muda adalah suatu waktu ketika setiap individu memegang peranan penting dalam kehidupan social, beraktivitas sebagai bagian komuni di rumah bujang, mengukir, menyelenggarakan upacara adat, sehingga tatanan social dapat tetap dipertahankan. Jew hamper berdiri di setiap kampong, ukiran leluhur sebagai tiang pancang merupakan suatu keyakinan, bahwa sekalaipun telah tiada, akan tetapi roh leluhur senantiasa berada dalam kebersamaan, tak lekang bahkan setelah kematian memisahkan.
Di dalam Jew keahlian mengukir diturunkan, maka roh leluhur kembali hadir dalam setiap dimensi kehidupan, pada situasi susah dan senang. Seni ukir menampilkan ekpresi yang artisitik pada tiang pancang Jew , ritual patung bis, teknologi sederhana perahu lesung beserta dayung, perlengkapan makan –piring sagu, perlengkapan perang –solawaku, gagang kapak. Adapun pesta-pesta adat, ialah pesta pemberkatan rumah bujang, pesta roh, dan pesta patung mbis berfungsi sebagai kohesi social yang mengekalkan adat isti adat dalam rangka pemujaan roh leluhur sebagai identitas komunal.
Sementara kehidupan masyarakat terus berlangsung dalam ritual pesta adat serta keyakinan terhadap kehidupan di alam keabadian yang dimanifestasi dalam seni ukir, maka transaksi jual beli di pasar tak bisa pula dihentikan. Pasar memenuhi  kebutuhan akan konsumsi sehari-hari, tempat penjual mengatur strategi pertahanan hidup dan pembeli berbelanja ketika keseharian mesti pula dipertahankan.
Pelayanan kesehatan adalah dimensi tak terpisahkan dari tugas utama para medis beserta seluruh jajaran dalam rangka membangun SDM pada langkah awal. Pengembangan Pusat Kesehatan Masyarakat menjadi RSUD Agats adalah langkah maju dalam rangka pelayanan public. Demikian pula dengan pembangunan RSUD permanen pada posisi baru yang lebih nyaman dari pada posisi yang sekarang. Sementara pembangunan Puskesmas dengan gedung batu yang lebih layak dikerjakanpula di Distrik Fayit dan Swa Erma. Pembangunan Puskesmas yang sama di distrik yang lain menyusul. Tanpa fasilitas serta jaminan kesehatan kiranya tak seorang pun mampu mengerjaka tugas keseharian untuk mengejar cita-cita.
Pun proses belajar mengajar dalam rangka mengejar cita-cita tetap menjadi bagian pembanguna masyarakat menyangkut peningkatan kualitas SDM. Anak-anak PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA setiap pagi di luar hari libur berbondong-bondong berangkat ke sekolah, menuntut ilmu demi hari depan yang lebih baik. Anggaran social bagi mahasiswa di dalam dan luar Papua adalah suatu upaya untuk mendorong pembangunan SDM. Tak ada suatu proses yang lebih baik dalam rangka pembangunan Sumber Daya Manusia,  secara sustainable, kecuali melalui proses belajar hingga ke tingkat tinggi. Pendidikan tingkat universitas bisa diperoleh dengan meninggalkan wilayah Asmat bagi pelajar yang telah menyelsaikan pendidikan SLTA.
Secara totalitas pendidikan panjang berjenjang mengubah takdir hidup manusia, termasuk dalam rangka kesetaraan gender. Secara global persoalan gender telah melembaga teramat jauh dalam kehidupan masyarakat dengan perubahan dan kemajuan yang berbeda. Perubahan juga telah terjadi di Wilayah Asmat, terlebih setelah pemekaran wilayah. Perempuan tidak pernah dapat melepaskan diri dari pekerjaan domestic, mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, mencari kayu bakar, meramu, menjaring, menyediakan makanan setiap hari serta membersihkan seisi rumah. Akan tetapi, pemekaran wilayah telah membawa pula Asmat untuk menyelsaikan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, menjadi ibu guru, bidan, PNS, Kepala Distrik, dan Kepala Dinas. Perempuan Asmat tak hanya mengerjakan tugas-tugas domestic, telah meneruskan upaya untuk mencapai kesetaraan.
Sampai pada hari ini potensi SDM wilayah Asmat sementara bergerak dalam upaya kemandirian suatu wilayah. Potensi dan kemandirian adalah syarat untuk memperkuat dimensi eksistensi suatu wilayah, termasuk kepariwisataan. Kondisi geografis, adat isti adat, kemampuan mengukir telah menjadi modal dasar dalam menarik arus wisatawan. Sementara SDM yang memadai merupakan subyek yang tak kalah penting dalam kepariwisataan itu sendiri. Manusia sebagai tuan rumah akan menghidupkan situs-situs wisata yang telah tersedia dan layak dikembangkan, termasuk Pesta Budaya yang telah dimulai sejak tahun 1983.




                                                                   ***


--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...