Sabtu, 02 Mei 2020

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai







Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim
Bangga Papua --Bangun Generasi dan Keluarga Papua Sejahtera telah dijadwalkan untuk turun
ke payment point dalam rangka pembayaran bantuan bagi bayi di bawah empat tahun sebesar Rp.
200,000,00 per bulan. Masing-masing penerima akan mendapatkan dana bantuan sebesar
Rp.600,000,00 untuk masa enam bulan. Bantuan termaksud adalah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan gizi bagi pertumbuhan anak. Tak seorang pun dapat memilih posisi payment point,
kecuali kata, “Siap”. Demikian pula ketika sepuluh orang tim bersama tiga personil keamanan
mesti berangkat menuju ke distrik terjauh yang dapat dicapai sekitar sepuluh jam perjalanan
menyusuri sungai dengan hutan bakau pada dua tepinya.
Separuh pakaian basah ketika menempatkan diri di atas speed boat 85Pk bersama tiga speed boat
yang lain untuk menuju ke Distrik Korowai Buluanop. Empat tim yang lain menuju Atsy, Suator,
Sawa Erma, dan Pantai Kasuari. Kami saling melambai sebelum merapatkan jaket, mengenakan
pelampung, melilitkan syal, menutup separuh wajah, dan memastikan letak topi kemudian
berdiam diri memulai perjalanan panjang, jauh, dan menuntut kesabaran. Saya pernah berniat
bergabung dengan rekan-rekan Dukcapil untuk ikut serta dalam perekaman KTP-Elektronik,
akan tetapi tidak pernah disarankan, karena posisi distrik yang sangat jauh serta harus diteruskan
hingga ke tingkat kampung. Kali ini saya akan sampai ke distrik yang tidak pernah disarankan
rekan-rekan di kantor.
Angin menampar dengan kencang ketika speed boat melaju, dingin tak tertahan, hujan hanya
menyisakan rinai gerimis, tak lama kemudian cuaca berangsur cerah. Tanpa terasa pakaian yang
basah mulai kering, namun tamparan angin tak pernah henti. Pada dua tepi sungai hutan bakau
menghijau, adalah hutan hujan tropis yang berpotensi mencurahkan hujan sepanjang tahun, di
bawah matahari pagi dedaunan tampak seakan batu zamrud. Kami tak banyak bercakap di atas
speed boat hingga melewati Distrik Jetsy dan Siret. Speed boat terus melaju, enam puluh menit
demi enam puluh menit berlalu, tibalah saat makan siang. Driver menambatkan speed boat di
bawah rindang pepohonan, maka kami mulai mengunyah nasi yang sudah dipersiapkan di dalam
kotak sambal meneguk aqua. Satu hal yang mengesankan adalah makan bersama di atas speed
boat, di bawah rindang pepohonan, segala hidangan terasa sedap. Akan tetapi, kami tak bisa
istirahat berlama-lama, karena tempat tujuan masih jauh.
Speed boat kembali melaju, kami saling melambai dengan kendaraan lain atau perahu tradisional
yang berpapasan, meski tidak saling mengenal. Di ujung jauh tak seorang pun benar-benar
sendiri tanpa penanda dari kehadiran orang lain, mahluk social selalu berinteraksi meski hanya
saling melambai. Lewat tengah hari kami sampai di Kampung Binam, Ibu Kota Distrik Suator,
kami memerlukan datang ke rumah penduduk untuk menumpang ke kamar mandi sebelum
akhirnya meneruskan perjalanan hingga sampai di Kampung Sipanap. Speed boat hanya bisa
menempuh perjalanan sampai di kampung ini, semakin jauh ke tempat tujuan dasar sungai

semakin dangkal, musibah akan terjadi bila perjalanan dilanjutkan dengan speed boat. Kami
harus menyewa dua long boat untuk mengangkut perbekalan dan seluruh anggota tim.
Sipanap hanya menampakkan diri pada bangunan rumah sederhana, kios, jalan pengerasan serta
jembatan papan yang mulai lapuk tak ada pasar, jaringan listrik, sekolah, Puskesmas atau sarana
social yang lain. Di dermaga tampak long boat serta keintitng, kami harus mencari sang
empunya sebelum bersepakat untuk menyewa. Seluruh tim serta perbekalan segera berpindah
tempat hingga long boat pertama siap berangkat. Waktu terus berjalan, cuaca meredup ketika
kami terduduk di lantai long boat seluruh tubuh seakan remuk, nyeri. Akan tetapi canda ria dari
seluruh anggota tim melupakan segala rasa lelah. Kami melewati Distrik Kolf Braza, melambai
pada beberapa orang yang duduk di dermaga, perjalanan terus berlanjut
Tak lama kemudian kami menatap dua tepi sungai dengan takjub, pohon bakau masih
menghijau, di kejauhan tampak samar perbukitan. Rekan-rekan segera sibuk mengambil gambar,
saya tak berdaya menjepret panorama, teralu lelah, hanya mampu terduduk. Akhrinya tampaklah
gundukan batu serupa bukit yang terus memanjang, menghilang kemudian muncul kembali, air
sungai bukan lagi seakan coklat susu tetapi jernih seperti teh hangat tanpa rasa garam. Bila di
Kampung Kawen Distrik Kopai yang terletak di ujung selatan kabupaten akan tampak pohon bus
berkulit kayu putih. Distrik Korowai adalah bentang alam yang diliputi bebatuan. Sekali dua kali
tampak aktivitas pendulang emas, para pendulang menetap pada rumah sederhana dengan
harapan hidup pada kekayaan alam.
Rasa lelah perlahan mereda, selama menetap di wilayah Asmat sejak Juli 1996 saya tak pernah
melihat tumpukan batu pada tepi sungai sebanyak ini. Suatu hal yang menakjubkan menyaksikan
bentang alam yang berbeda di tanah rawa berlumpur. Long boat sempat membentur dasar sungai,
terhenti sebelum akhirnya melaju kembali. Saya tak perlu menyesali perjalanan panjang ini, pada
tahun-tahun mendatang belum tentu saya akan memiliki kesempatan bertandang ke tempat yang
sama. Gundukan batu tetap menampakkan diri seakan bukit hingga terendam air sungai, udara
sore terasa sejuk. Batang sungai terus berkelok-kelok dipenuhi batu, long boat tetap melaju
hingga terhenti di tempat tujuan, matahari telah condong di langit sebelah barat.
Kami segera membongkar muatan, menemui aparat distrik untuk mencari tempat tinggal, dua
orang pengusaha yang memiliki kios merelakan rumahnya sebagai tempat sementara menetap.
Akan tetapi, kami masih harus menunggu long boat kedua yang baru tiba setelah rembang
petang. Blasius beserta rekan yang lain segera menyiapkan tempat pembayaran di teras kantor
distrik dengan memasang tenda serta meja dan bangku. Kami tiga orang ibu-ibu memastikan
tempat makam sehari-hari dengan harga Rp. 50,000,00 setiap porsi dari hari pertama hingga
terakhir. Ibu Nelty dan Pak Mustari sempat kebingungan, karena tidak mendapatkan tas pakaian,
terpaksa harus mendapatkan pakaian baru sebagai pengganti.
Malam pertama kami harus benar berisitirahat setelah satu hari perjalanan, pemilik kios
menyediakan tempat di lantai dua, ruangan sederhana yang cukup sudah untuk sekedar
merebahkan diri hingga esok hari. Suara dengung nyamuk seakan ancaman pada sepanjang
malam, kami perlu membakar obat nyamuk sebelum menutup seluruh badan dengan selimut
kemudian tertidur untuk persiapan hari pertama.

Keesokan harinya saya terbangun dengan malas, Ibu Nelty dan Jane telah pergi ke sungai untuk
mencuci pakaian. Saya masih berbaring hingga beberapa saat sebelumnya akhirnya turun ke
bawah, membersihkan diri di kamar mandi, sarapan dengan hidangan ala kadar yang disiapkan di
lantai ruang tengah kemudian menyambar Nikon D90 untuk memotret suasana kampung. Badan
jalan utama adalah tanah tanah pengerasan yang menjadi becek, karena hujan, beberapa pemilik
rumah menempatkan bebatuan di sepanjang jalan masuk supaya tanah tetap kering. Rumah
penduduk asli adalah bantuan social, rumah sehat, rumah panggung yang menua dengan tanah
keras di bawahnya. Beberapa orang tampak duduk teras rumah, suasana perkampungan nyaris
lengang, amat berbeda dengan suasana di Kampung Basim Distrik Fayit waktu pembayaran
Bangga Papua tahun lalu. Dengan sekitar 1.600 penerima manfaat saat itu Kampung Basim
tampak seakan tengah memperingati hari raya. Di Distrik Korowai hanya terdapat sekitar 185
penerima manfaat, jarak antara kampung yang jauh serta ketiadaan BBM menyebabkan para
penerima manfaat mengalami kendala untuk menerima bantuan. Beberapa kali saya bidikkan
lensa, suasana kampung, pemukiman serta sosok seorang ibu yang tengah menggendong anak.
Saya melambai pada beberapa orang yang duduk di teras kemudian kembali ke tempat menetap
untuk mandi kemudian pergi ke kantor distrik, membantu Blasius, Hengki, dan Boni yang tengah
mempersiapkan tempat pembayaran. Meja penerima untuk checklist, meja verifikasi data serta
meja pembayaran tunai dari pegawai BPD Papua telah dipersiapkan. Sejenak kami
menyelenggarakan pertemuan dengan Lembaga terkait dalam rangka teknis pembayaran.
Menjelang tengah hari penerima manfaat dari Buluanop datang menggendong anak satu per
satu, pelayanan tidaklah susah, karena jumlah penerima yang sedikit. Rekan-rekan di Distrik
Suator pasti tengah bermandi keringat, karena jumlah penerima manfaat lebih dari 1.500 Balita,
semua harus dilayani satu demi satu per kampung tanpa kecuali, tanpa keluh kesah. Saya kira
pelayanan cukup dikerjakan dalam dua hari, Rabu atau Kamis bisa kembali. Ternyata kami harus
menunggu penerima manfaat dari kampung yang lain hingga hari Kamis.
Sore hari setelah pelayanan hari pertama Blasius meminta pindah tempat tinggal ke rumah
apparat distrik, kami mengikuti permintaannya, memikul segala perlengkapan, melewati jalan
becek tergenang air hujan, memanjat tangga kayu kemudian menempatkan diri di ruang masing-
masing. Ibu-ibu berbaring di ruang tengah, bapak-bapak di ruang tamu, Boni memilih tinggal di
ruang makan, semua beralaskan tikar, berbantal kain. Keamanan serta Pak Simanjuntak pegawai
BPD Papua tetap tinggal di lantai dua kios sambil menjaga tromol yang berisi uang cash. Hari
kedua dan ketiga pelayanan berlanjut tanpa kesibukan yang menekan, karena jumlah penerima
yang relative kecil. Minggu depan, kami akan kerja ekstra berat di Distrik Fayit, karena lebih
seribu penerima manfaat harus dilayani hingga pukul 22.00 WIT.
Sementara ibu-ibu cenderung memiliki kebiasaan menghisap rokok merk lampion, rokok linting
tanpa filter sambil menggendong anak. “Ibu-ibu tidak boleh merokok kalau menggendong anak
kecil ….” Setengah geram saya tarik rokok di tangan seorang ibu kemudian membuangnya ke
tanah tanpa persetujuan.
Blasius tampak terkejut dengan tindakan ini, sempat terdengar ia bertanya, “Itu ibu tidak marah
rokoknya dibuang?”

“Tidak”, Jawab Boni.
Saya selalu merasa cemas dengan kebiasaan merokok ibu-ibu tanpa mengerti nikotin dan asap
rokok sangat mengganggu kesehatan anak. Berulang kali teguran diberikan tanpa kepastian,
benarkah ibu perokok termaksud sadar akan bahayanya. Aroma asap rokok lampion sangat keras
seakan mencekik udara.
Pelayanan terus berlanjut hingga hari berikutnya, kami menerima kabar Pak Kepala akan datang
pada hari Jumat, maka kami tunda jadwal kembali. Sore hari kami serombongan pergi ke sungai,
dengan gembira rekan-rekan menceburkan diri dan berlaku seolah anak kecil tanpa beban hidup,
semula saya hanya menyaksikan dari tepi sungai dengan arus yang kencang, karena pasang.
“Ibu Dewi ….. ayo turun, kita sejenak menyelam nanti muncul lagi sudah sampai Merauke ….”
Hengki tergelak, canda rianya memecah tawa serentak.
Tak berapa lama saya lepas sandal kemudian bergabung dengan rekan-rekan bermain air, arus
yang kencang menyebabkan posisi badan tak berpindah ketika sudah beberapa menit berenang.
Air sungai serta kebersamaan yang dalam menyebabkan suasana menjadi bersahabat, saya tak
pernah mengira di ujung tempat yang jauh akan mengalami kegembiraan hanya dengan bermain
air, sungguh berbeda dengan suasana di kolam renang dengan standart olimpiade sekalipun.
Kami tak berani berlama-lama, karena matahari semakin condong di langit sebelah barat. Saya
meninggalkan arus sungai dalam suasana baru, segar, terbebas dari segala beban pikiran. Sesaat
kami berhenti di depan kios yang memiliki wifi, membeli pulsa kemudian mengkontak keluarga
via WA calling atau video call, ada pula yang memposting foto mandi-mandi di sungai ke WA
Group Bangga Papua untuk mengabarkan, betapa gembira kami di kampung ini. Besok kalau
Pak Kepala datang kami akan membawanya mandi-mandi, membasahinya dengan air Sungai
Mabul.
Kamis sore kami menerima kabar Pak Kepala batal datang, karena agenda mendadak serta jarak
yang jauh. Pelayanan telah selesai, dari 185 penerima manfaat hanya 100 yang datang, penerima
manfaat di kampung yang jauh kesulitan datang, karena ketiadaan BBM. Jumat pagi kami
Bersama-sama pergi ke rumah pohon yang terletak tidak jauh dari pemukiman, berfoto-foto
kemudian pulang kembali. Rumah pohon, rumah yang dibangun pada ketinggian pohon, adalah
rumah tradisional masyarakat Korowai pada masal lampau sebagai suatu strategi pertahanan
terhadap situasi perang serta keamanan dari gangguan binatang hutan. Kemudian kami
beriringan pulang, saya menempatkan diri di bagian paling belakang Bersama tiga orang rekan.
Sampai di jalan besar saya menyediakan diri menatap ke arah jauh, “Hei …. Itu sungai
berbatu….” Maka kami empat orang memisahkan diri, mencari posisi aman untuk turun ke
sungai sebelum kembali bergembira bermain air sungai dan hamparan batu tak berbilang
jumlahnya. “Tolong ambil gambarku ….” Saya meminta Jupri menjepret momen saat berendam
di sungai seakan ikan duyung. Sesaat setelah bermain air saya sengaja memposting foto di FB
sekedar bebagi kabar bagi para sahabat, everyting is okey.
Kembali ke rumah dalam keadaan basah kuyup saya mendapati Ibu Nelty tengah menggoreng
pisang serta kue tepung. Di ujung jauh segala jenis makanan terasa lezat, maka hidangan segera

diserbu habis, saya membantu membersihkan sampah-sampah kemudian kembali ke kantor
Distrik dengan pakaian bersih. Pak Distrik menyelenggarakan adat bakar batu, batu-batu dibakar
hingga panas, diletakkan pada sebuah lubang dilapisi daun pisang kemudian sayur dan daging
babi diletakkan di atasnya ditutup kembali dengan daun yang sama, didiamkan beberapa saat
sebelum masak untuk disantap bersama. Bakar batu mengandung makna kohesi sosial, makan
bersama untuk menautkan kembali ikatan sosial yang acapkali menjadi longgar, karena beragam
kesibukan. Kami yang berpantang makan babi tak terlibat dalam acara makan bersama, cukup
menyaksikan kebersamaan itu. Menjelang gelap kami mengemas seluruh perlengkapan. Besok
saatnya kembali, hari ini speed boat telah sampai di Binam, Suator. Ibu Nelty dan Blasius telah
menyewa dua long boat sampai di Sipanap.
Keesokan harinya kami berkemas, berpamit kepada aparat setempat serta sang empunya kios
sebelum menempatkan diri di atas long boat. Kali ini kami tidak sedang bersabar menempuh
perjalanan jauh, tetapi tengah menikmati wisata alam, sungai berbatu dengan alam nan eksotik
bersama keluarga besar Bangga Papua. Sesaat kami berhenti memotret pendulang emas di atas
bebatuan kemudian kembali bergerak, mendapatkan tempat yang indah untuk berhenti dan
kembali berfoto. Hanya sesaat, perjalanan dengan long boat kembali dilanjutkan dalam suasana
hangat. Di Sipanap tiga speed boat telah bersiap, kami segera berganti sarana transportasi. Tas
milik Ibu Nelty dan Pak Mustari ternyata tertinggal di long boat yang mengantar dari Sipanap ke
Korowai, masih tersimpan dengan baik, diterima kembali dengan senang hati.
Kami tak membuang waktu, segera menempatkan diri di jok masing-masing setelah memastikan
barang bawaan dalam keadaan aman, melambai pada driver long boat, mengakhiri perjalanan
wisata pada sungai berbatu, kembali ditampar angin kencang. Laju speed boat belum lagi
mencapai Kolf Braza ketika salah satu mesin speed boat mati. Satu speed boat terus melaju ke
Binam mencari bantuan, satu speed boat harus menarik speed boat yang macet, perjalanan
menjadi sekitar dua jam lebih lamban. Ketika dua speed boat kembali muncul dari arah
berlawanan, berhenti, penumpang dan seluruh perbekalan speed boat segera berpindah tempat.
Dua speed boat kembali melaju kencang, satu speed boat tertinggal jauh di belakang, menarik
speed boat yang macet.
Lewat tengah hari kami sampai di Binam, singgah di rumah Pak Haji rekan BKKBN yang telah
purna tugas. Ibu Haji segera memasak nasi, sayur, menggoreng ikan untuk makan siang sekitar
20 orang. Sejenak kami beristirahat sambil mendapatkan koneksi wifi untuk mengakses jaringan
internet. Setelah maka siang, kami tergesa berpamit. Ibu Haji menolak pembayaran, ia telah
sangat senang dikunjungi, karena menetap di kampung yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten.
Kami mengucap terima kasih, memberikan hormat kemudian menempatkan diri pada trip
terakhir menuju pulang. Angin selalu menampar dengan kencang, saya melindungi diri dengan
jaket, pelampung, syal, penutup wajah serta topi. Pada tempat-tempat yang mengesankan saya
masih menyempatkan diri mengambil gambar hijau hutan mangrove berbatas air sungai,
selebihnya menutup seluruh kepala dengan jaket, menunduk, tidur, menyerahkan keselamatan
pada driver.
Perjalanan terasa amat panjang seakan tak akan berakhir, angin semakin dingin, cahaya matahari
semakin redup, semakin redup, perlahan menghilang di balik pepohonan, menyisakan bebayang.

Lelah dan udara dingin menyebabkan seluruh tubuh nyeri, sementara malam pun datang bersama
gelap. Masih ada sepotong bulan sebagai sumber cahaya jauh di l angit tinggi di samping lampu
speed boat yang seakan tak berdaya menembus hitam. Kini, saya mengerti mengapa rekan-rekan
Dukcapil tak menyarankan terlibat dalam perekaman KTP-Elektronik ke Korowai Buluanop,
distrik ini benar sangat jauh, dengan segala rintangan memerlukan sekitar 12 jam perjalanan.
Waktu yang sama untuk menempuh penerbangan Jakarta – Amsterdam. Ajaib, saya hampir
melaluinya, terduduk di atas jok, nyaris menggigil hingga dari kejauhan tampak kerdip lampu
yag semakin lama semakin terang. Saya menghela napas panjang, perjalanan selalu memanggil
sesipapun untuk pulang, Agats tanah berlumpur, kota tercinta.
Ketika akhirnya speed boat sandar di dermaga Feri, menurunkan penumpang bersama segala
macam barang bawaan, kami saling berpamitan. Seminggu dalam kebersamaan membekas kesan
teramat dalam, sehari-hari kami nyaris tak bisa bertemu sekedar untuk tegur sapa. Kali ini kami
mendapatkan lebih dari sekedar waktu yang cukup untuk menempuh perjalanan ke ujung jauh,
melampaui susah dan senang bersama tanpa harus berkeluh kesah. Tak seorangpun berkeluh
kesah pada setiap payment point. Demikian pula ketika pada keesokan hari kami kembali
mendapat perintah untuk menyelenggarakan payment point ke Distrik Fayit dengan sekitar 1.200
penerima manfaat.




Jumat, 01 November 2019

Bab VIII: MENGGAMBAR BINTANG --Kisah Seorang anak Asmat--


BAB VIII
KAMBOJA


Hari-hari kuliah memberikan suasana serta harapan, dan rasa senang tanpa batas. Tambunan, Lila, Wina, Retno, dan entah siapa lagi selalu bergabung, bahkan kakak kelas yang semula tampak seakan orang asing, menjadi demikian akrab sedekat sahabat karib. Kukira aku akan dianggap berbeda, karena hitam kulit dan keriting rambut. Ternyata perbedaan ini menjadi symbol penyatuan, setiap mahasiswa seakan bangga dapat mengenalku, karena berasal dari tempat yang sungguh jauh, menjadi bagian dari kehidupan kampus yang tak pernah  membedakan kelas, suku, ras, agama, dan golongan. Aku mengerti, mengapa mama dan ibu guru, bahkan bapa memiliki harapan terlalu besar supaya aku terus belajar. Pendidikan membangun karakter, mengubah takdir hidup manusia. Satu alasan mendasar mengapa aku harus bersiteguh menekuni perkuliahan ini.

Setiap hari selalu diawali dengan bangun pagi, membereskan seisi kamar serta piring kotor, mencuci pakaian, sarapan nasi gudeg atau tiwul, sebelum akhirnya bersiap dan bergegas ke kampus yang terletak tidak jauh dari rumah kost dengan berjalan kaki. Semula aku merasa aneh dengan rasa gudeg yang sangat manis seperti kolak, tetapi lama-lama terbiasa, terlebih bila makan beramai-ramai dengan teman kost. Adapun situasi kampus selalu sibuk dengan proses belajar mengajar, aktivitas tambahan di luar jam belajar. Riuh rendah kelompok mahasiswa menyalurkan hobi serta tugas lapangan, dan yang paling meriah adalah hari wisuda yang jatuh pada setiap tanggal 19, empat kali dalam setahun. Adalah hari kemenangan ketika wisudawan dan wisudawati dengan bangga mengenakan toga, menerima ijazah kemudian berfoto bersama kerabat, handai taulan serta pendamping.

Tanggal 19 Desember adalah hari bersejarah, ulang tahun Universitas. Satu tahun setelah agresi militer Belanda, Soekarno – Hatta, Prof. Sardjito and his geng bersikukuh menyatakan NKRI masih sanggup bersatu, mendirikan Universitas dengan meminjam Siti Hinggil sebagai kampus, hingga Sri Sultan XI merelakan tanah Bulaksumur sebagai lingkungan kampus sampai sekarang. Universitas adalah jantung kehidupan kota dan mahasiswa, setiap hari jantung itu berdetak dengan satu harapan dan kerja keras untuk tidak berhenti. Diam berarti mati.

“Hai Papua cantik ….” Seorang menjerit dari kejauhan memanggilku, reflek aku menoleh, tampak Tambunan melambai, senyumnya mengembang. Aku telah terbiasa dengan wajah bersahaja serta postur tubuh jangkung yang selalu ada sehari-hari pada jam perkuliahan kemudian membangun  kebersamaan setelah jam kuliah usai.

“Tambunan …. Terima kasih novelnya. Sastra Antrologi yang menarik dan menyentuh”, kukembalikan novel mungil lebih seratus halaman tentang kisah sendu di Lembah Baliem, Jayawijaya.

“Engkau menangis pasti ….” Tambunan mulai tersenyum nakal.

“Mencucurkan air mata ketika membaca karya sastra bukanlah kesalahan,” aku memang menangis membayangkan nasib Liwa serta perempuan Lembah Baliem yang masih terjebak dalam budaya patriakal.

“Tapi benar kehidupan di Lembah Baliem masih seperti itu?” Tambunan meragukan kandungan novel yang jauh berbeda dengan kehidupan di Yogyakarta.

“Untuk membuktikan kebenarannya lebih baik datanglah ke lembah itu, tak seorangpun dapat meyakini suatu pernyataan kecuali yang bersangkutan melihat dan ikut merasakan ….” Ingatanku kembali ke dusun sagu, situasi yang tidak jauh berbeda dengan Lembah Baliem, dengan kisah yang berbeda, maka duka cerita perempuan itu sama.

“Makanya lebih baik engkau menikah dengan orang Batak ….” Senyum Tambunan berubah menjadi nakal.

“Jangan mau dengan orang Batak, nanti engkau dibawa pulang ke Danau Toba ….” Tiba-tiba Lila menyela, wajahnya cerah dengan tata rias minimalis.

“Danau Toba destinasi wisata alam yang mengesankan, kalau menikah dengan Tambunan engkau akan menjadi nyonya rumah wisatawan, domestik dan mancanegara ….” Wina menampakkan sosoknya yang lembut, tiba-tiba telah bergabung pula dalam percakapan.

“Ibu guru pernah sampaikan, gendong ijazah dulu baru gendong anak ….” Kujawab singkat dan cepat.

“Atau kedua-duanya, gendong anak dan ijazah ….” Tambunan tergelak, tetapi tidak lama, karena dosen pengajar telah datang dengan sikap serius, kami tahu saat canda ria telah selesai, tibalah waktu untuk mendengarkan, bertanya, dan berinteraksi di dalam kelas.

“Baik, siapa yang telah membaca Sastra Antropologi. Novel yang tidak hanya bermuatan roman, tetapi mengangkat kekuatan adat isti adat sebagai setting, sehingga alur cerita memanjang dan berliku sedemikan jauh dengan akhir yang mengejutkan. Karya sastra mengangkat kehidupan sosial budaya pada saat karya tersebut dituliskan, suatu penggambaran dan kisah yang bukan hanya rekaan semata, tetapi berbasis pada kehidupan sosial budaya yang akurat menuntun, atau menjebak tokoh pada kisah yang rumit dan seringkali menyakitkan.

“Magdalena sudah membaca bu ….” Tiba-tiba Tambunan kembali bersuara sambil mengerdipkan mata.

“Ah Magda, gadis Papua yang manis. Apa yang bisa ditangkap dari Sastra Antropologi di Lembah Baliem?” Ibu Dosen mengalihkan pandangan menatapku lekat-lekat, aku perlu menghela napas sebelum akhinya menjawab.

“Sebuah novel yang harus dibaca bermuatan adat serta budaya patriakal, kisah tragis tokoh perempuan, karena harus kalah, mengakhiri hidup dengan kematian, terjun ke dasar sungai. Suatu anggapan, bahwa kematian adalah pembebasan ….” Tanpa sadar suaraku bergetar, sedimikian kuat deretan kalimat mempengaruhi pikiran pembaca, sehingga aku terseret terlalu jauh di dalamnya.

“Okey, minggu depan saya tunggu masing-masing resensi dari Sastra Antropogis yang sudah dibaca ….” Ibu dosen masih terus berbicara muatan sastra tentang moral, adalah nasehat yang diberikan penulis secara terselubung dalam sebuah kisah dengan setting budaya setempat. Mahasiswa bertanya, saling bertukar pikiran, saling berdebat, sehingga ruang kelas menjadi hangat hingga waktu berlalu, kami beriringan meninggalkan ruangan dengan canda ria serta percakapan yang menyebabkan masing-masing pihak tahu. Setiap pribadi selalu menjadi bagian dari yang lain.

Selebihnya kami menghambur ke kantin untuk meneruskan percakapan yang terjeda. “Pinjam dong novelnya ….” Lila mengulurkan tangan.

“Ada novelnya Ahmad Tohari ….” Wina mengeluarkan trilogi novel dari tasnya, senyumnya penuh kemenangan.

“Aku baca ya ….” Tergesa Lila menyambar novel itu.

“Boleh, kita meresensi novel yang sama, toh sudut pandangnya akan berbeda ….” Wina merelakan.

Kemudian kami sibuk dengan masing-masing piring, mangkuk, dan segelas minuman. Dalam keadaan lapar hidangan sederhana ini sungguh lezat terasa. Percakapan terus berlanjut diselingi gelak tawa hingga tiba waktu mengikuti mata kuliah berikutnya. Kami berempat seolah tak terpisahkan, menikmati kebersamaan yang dalam pada awal kuliah. Tak seorang pun  menyadari, bahwa kebersamaan ini akan begitu singkat hanya berlangsung selama menempuh SKS, kemudian masing-masing akan sibuk dengan KKN, Skripsi serta peluang mendapatkan pekerjaan, bea siswa S2, bahkan berumah tangga. Segalanya akan menjadi kenangan ketika waktu melesat seakan terbang menuju hari depan yang tidak juga diketahui dimana batas ujungnya. Sering aku mendengar kata-kata, ‘wong urip iku ming mampir ngombe ….’.  Bahwa hidup hanya sekedar menumpang minum, sebelum perjalanan panjang di keabadian. Hidup hanya perjalanan singkat dalam  keadaan haus bagi seteguk air. Sebuah perumpamaan indah yang mengesankan. Akan tetapi, bagaimana aku harus menjalani  yang singkat ini --yang sekedar mampir ngombe, sekedar menumpang minum, karena ….


                                                                          ***

Ujian semester untuk mata kuliah terakhir baru selesai, beban berat baru terlampaui. Andai ada tersedia biaya tiket untuk berlibur ke dusun sagu, akan tetapi betapa mahal harga tiket. Wina pernah mengajakku untuk berlibur di Semarang, tetapi aku belum memastikan jawaban. Sementara lebih senang melewatkan libur di Yogya dengan setumpuk karya sastra. Pun kemarau tahun ini lebih panjang dari batas waktu yang ditentukan, di halaman daun kering gugur, ranting-ranting patah, bunga-bunga layu. Tampak setangkai kamboja lerai dari dahan, berputar-putar di udara, surut ke permukaan tanah, karena gravitasi kemudian terkulai dalam hembusan angin. Aku sendiri di teras rumah kost, kamboja terakhir telah gugur, yang tersisa adalah dahan kering menunggu rinai hujan untuk kembali tunas. Kapankah tunas itu akan benar bertumbuh?

Aku terhenyak ketika ponsel berdering, di monitor tertera nama Fransis, hatiku nyaris terlonjak. “Fransis …..” suaraku nyaris jeritan, setiap menit aku menunggu ponsel berdering.

“Tewerauta ….” Dari jauh suara itu bergaung, seakan telah seribu tahun aku merindukan panggilan itu.

“Dimana posisi?” tak sabar aku ingin tahu dimana kiranya Fransis berada.

“Saya di Sentani mau terbang ke Oksibil, engkau dimana?”

“Saya di Yogya, pulang kuliah.”

“Ah, engkau benar telah menjadi mahasiswa.”

Kemudian terdengar suara berdengung, aku seakan terseret pada kesibukan Bandara Sentani nun jauh di sana. Betapa ingin aku berada di tempat yang sama kemudian menghambur ke pelukan Fransis, sekurang-kurangnya bersandar pada pundaknya yang kukuh. Tetapi jarak merentang seakan helai benang getas yang nyaris putus. “Kapan kita bisa bertemu?” sebuah pertanyaan konyol, karena aku tahu, masing-masing pihak baik aku maupun Fransis tidak bisa menempuh jarak yang sama bagi jumpa.

“Berdoalah Tuhan menghendaki ….” Suara itu terdengar semakin menjauh, tanpa salam perpisahan tiba-tiba sambungan telepon terputus. Aku masih menunggu beberapa saat, tetapi seluler membungkam, sebuah tarikan napas panjang kusudahi bagi penantian ini. Masa-masa kuliah masih sangat panjang, mungkinkah ada satu jeda untuk menjumpai Fransis. Betapa besar pengorbanan untuk suatu masa yang disebut esok, aku bahkan harus merelakan perpisahan ini. Kerinduan ternyata menyakitkan. Adakah suatu pilihan kecuali menelan rasa sakit itu?

Andai pilihan itu benar ada.

Aku masih terdiam di teras seakan mengaduh bersama tanah gersang yang nyaris retak, karena ketiadaan hujan. Di atas langit seakan murka bersiap membakar apa saja, juga keping hati yang kelam tanpa warna. Tidur adalah obat yang paling mujarab, melupakan sejenak segala beban sebelum kembali terjaga dalam keadaan lebih segar untuk beban yang sama. Ketika terjaga langit menjelang rembang petang, udara masih gerah. Kusambar satu judul karya sastra, kubuka lembar demi lembar, tetapi tidak lama. Dari ruang tengah terdengar berita yang menyebabkanku terhenyak, melempar satu judul novel, tergesa, nyaris berlari menuju ruang TV. Sepasang mataku nyaris meloncat dengan keseluruhan berita yang ditayangkan.

Pesawat Trigana dari Bandara Sentani – Oksibil kehilangan kontak, kabut tebal serta kondisi geografis yang terjal  adalah kendala utama bagi setiap penerbangan  menuju ke landasan pacu ….”

Selebihnya pandangan mataku berkunang-kunang, halimun seakan bergulung-gulung di seisi ruangan, menjadi putih yang terputih serta dingin yang terdingin. Sebongkah batu seolah menghantam tepat di ubun-ubun kepala. Aku tahu apa arti hilang kontak Sentani – Oksibil, ketika sampai batas waktu yang ditentukan pesawat  terlambat landing di landasan pacu. Waktu penerbangan selalu konstan tak dapat ditunda, kecuali ketika pesawat harus memutar untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat untuk landing. Berapa kali kecelakan pesawat di Papua terjadi, karena kabut serta tebing tinggi yang terjal? Kali ini Fransis baru menelepon, berpamit menuju ke tempat tugas, hingga batas waktu penerbangan belum sampai di tempat tujuan. Masihkah aku perlu mendengar kelanjutan berita?

Halimun itu perlahan menjadi helai kain kafan, semakin dingin semakin lebar, dengan lunglai kujatuhkan seluruh bobot tubuh pada kain jenazah itu. Tak ada yang sempat kudengar kecuali jeritan Sagung. “Tewerauta ….” Lalu segalanya gelap menjadi malam paling hitam dan panjang tanpa berkesudahan.

Ketika terjaga terasa sakit tak terperi di bagian kepala, juga amis darah. Kiranya kepalaku sempat terbentur, terluka, mengucurkan darah. Sesaat aku tak pernah tahu dimana sesungguhnya posisi berada, tetapi beberapa tabuh segera mengerti. Aku terbaring di kamar, berselimut, di sekelilingku adalah teman-teman kost dengan wajah cemas, sepasang mata Vida dan Sagung bahkan telah berkaca-kaca. Keduanya tahu arti berita kecelakaan pesawat di Papua, tak satu pun selamat, bahkan kerabat yang terdekat, atau sosok yang paling dicintai. Pertanyaan bagi Vida dan Sagung adalah, siapa yang duduk di kursi penumpang pesawat naas itu?

“Magda ….” Vida benar tampak panik, ia memijit-mijit kakiku.
“Teweraut ….” Suara Sagung bercampur isak tangis, gadis ini memang sedikit cengeng dan melankolis.

“Bagaimana kelanjutan berita pesawat hilang kontak di Papua?” terbata, tetapi akhirnya aku bisa bertanya.

“Belum ada kabar sampai pada breaking news ….” Vida menjawab.

“Siapa menumpang pesawat itu?” Sagung menatap wajahku yang sepucat mayat lekat-lekat.

“Fransis ….” Kemudian tubuhku kembali terkulai, aku tak dapat mengingat apapun, kecuali sebuah lorong panjang nyaris tanpa ujung, dingin dan sepi, memanggil keringat dingin seakan embun yang gugur.

Seterusnya aku mengapung antara ada dan tiada, antara sisa kekuatan dan keputusasaan. Demikian juga ketika dengan berbaring ditunggu kawan-kawan secara bergantian mengikuti berita, bahwa pesawat Trigana Sentani – Oksibil akhirnya ditemukan tak jauh dari landasan pacu dalam keadaan berkeping-keping. Aku berteriak  kalap sebelumnya akhirnya ribuan kunang-kunang tampak riuh berseliweran. Ribuan lebah berdengung, tak ada yang lebih kuinginkan, kecuali mati.

Akan tetapi, kehidupan masih bermurah hati memberikan udara bagi gelembung paru-paru. Aku masih kembali terjaga, tak dapat menolak ketika nama Fransiskus tertera di monitor televisi sebagai salah satu dari keseluruhan korban, tak satu pun selamat. Waktupun seakan diam membeku, jarum jam berhenti, aku melupakan hari, minggu, bulan, dan tahun. Tak ada penanggalan gugur, yang tersisa air mata, terus membanjir seakan anak sungai dan berubah menjadi kubangan danau. Nasi hanya beberapa suap kutelan, selebihnya aku berbaring dan terus berbaring, merasakan sakit dan ketakutan yang sama ketika pesawat kehilangan keseimbangan, karena cidera, mengeram, selang oksigen otomatis terlontar, seluruh penumpang menjerit berhadapan secara langsung dengan wajah sang maut. Pesawat menukik –menukik kehilangan kendali, kehilangan jadwal penerbangan esok hari. Benturan dasyat serta  ledakan mengakhiri seluruh jerit ketakutan menjadi diam abadi. Tak ada lagi suara kecuali kehancuran total,  kecuali trauma yang mengubah segala bentuk harapan menjadi putus asa. Segalanya terjadi demikian cepat menjadi tragedy, menjadi berita hingga sampai di ruang TV rumah kost, harus  kuterima kematian ini. Air mataku kembali membanjir, ketika akhirnya bapa menelepon dengan suara serak.

“Tewerauta …. Engkau telah mendengar berita itu? kecelakaan pesawat? Fransis telah tenang, kami semua mandi lumpur di pemakaman. Kuatkan hatimu, selesaikan kuliahmu, hanya doa bisa kita panjatkan ….” Suara bapa makin serak tak tereja, kulempar ponsel, aku tak ingin mendengar apa-apa lagi kecuali desir angin yang kejam menelantarkan ranting dan dedaunan. Selebihnya senyap. Hidup berubah dalam sekejab seakan beku peti mati, separuh hidupku ikut pula terkubur di dalamnya. Tubuh Fransis hanya menyisakan penggalan daging tak berbentuk, haruskah aku terus mengenangnya sebagai serpihan badan tanpa identitas yang mengenaskan? Dimana sosok segagah pasukan siap tempur yang merelakan pundaknya bagi seorang Teweraut untuk sekedar duduk bersandar? Dimana sorot mata teramat jernih dan dalam yang  menyebabkan aku rela berenang sekalipun harus tenggelam? Dimana akhir dari jawaban, bahwa aku bersedia menunggu hingga pendidikan SPN selesai untuk suatu hari bahagia dalam gaun pengantin?

Dimana?

Pertanyaan itu tercekat di tenggorokan seakan duri yang terlalu dalam melukai. Benarkah kehidupan berakhir sampai di sini? Untung seluruh kegiatan perkuliahan pada hari ini libur sampai KRS tahun depan, aku dapat berkabung tanpa meninggalkan satu pun mata kuliah. Akan tetapi, apa bedanya Fransis tak akan dapat lagi bangkit dari kubur untuk bersama duduk memancing karaka memenuhi janji, karena telah memintaku menunggu. Demikianlah duka cita seorang “janda”?  

Semakin hari suasana di rumah kost semakin sunyi seluruh penghuni pulang berlibur, berkumpul dengan keluarga. Dimana keluargaku? Jarak terlalu jauh, aku  masih dikunjungi ibu kost yang merasa bersimpati. Selebihnya kesendirian ini lengkap sudah. Hingga sore itu tanpa disangka tiba-tiba Nurul muncul di depan pintu. “Magda …. “ tangan halus itu memelukku. Sejak menginjak Yogya, aku tak pernah bertemu Nurul sampai  hari ini.

“Aku dengar musibah Trigana ke Oksibil, kita punya kakak kelas Fransis ada dalam pesawat itu ….” Wajah Nurul menjadi sendu, meski tak segelap wajahku.

“Segala yang telah terjadi Tuhan benar menghendaki, siapa bisa lebih berkuasa?”

“Magda …. Apa yang sesungguhnya terjadi? Fransis?” sepasang alis mata Nurul berkerut.

“Aku pernah janji untuk menunggu sampai pendidikan SPNnya selesai, tetapi kemudian Fransis tugas ke Oksibil. Kutunggu hingga tiba masa kuliah dan masih akan kutunggu, tetapi yang kutemui sekarang pemakaman tanpa dapat menghadiri ….” Kali ini tangisku benar pecah, aku tak perlu malu menunjukkan kelemahan di depan seorang sahabat, harus kuakui  sekian hari aku berpura-pura kuat --berpura-pura benar kuat. Ternyata aku hanya seonggok tulang belulang terbungkus daging yang menjadi demikian rapuh tanpa kekasih hati ketika harus menyeberangi sunyi yang panjang, amat panjang.

Selebihnya seluruh tubuhku menggigil dalam demam tinggi, aku nyaris berada pada ambang batas antara hidup dan mati. Andai Nurul tak berbaik hati merelakan diri sebagai perawat, dengan sabar membantu bagi kesembuhan, baik secara fisik maupun mental. Entah dimana kiranya diriku berada. Aku harus mengerti arti seorang sahabat, ia ada ketika aku sengsara dan tanpa daya. Nurul membiarkan air mataku tumpah, tubuhku lunglai, demam tinggi membakar , rasa sakit tak terperi menggerogoti dari ujung telapak kaki hingga ubun-ubun. Selebihnya tubuhku seakan mengambang, melayang bagai ringan kapas, terpelanting menuju entah, lalu segalanya hampa.

Hari ini ketika terjaga Nurul masih ada di rumah kost, ia masih merelakan diri membereskan sesisi kamar, menyediakan makanan dan minuman, menatapku dengan segala belas kasihan, memutar merdu suara music, dan terus memberikan kata-kata penghiburan. “Segala yang hidup pasti akan berpulang menuju keabadian. Fransis tidak benar pergi, ia tetap ada dalam ingatan. Manusia hanya menjalani takdir, kita tidak bisa memili, kita menjalani ….” Masih beribu kata dari hati baik Nurul terucap hingga aku mulai mampu berdiri, mandi air hangat, menyuap nasi. Dengan sabar Nurul membawaku jalan-jalan di seputar kampus pada Minggu sore. Setiap Minggu Nurul selalu datang hingga masa kuliah kembali aktif, terkadang ia membawa aneka makanan ringan atau buah-buahan, satu kali ia memaksaku pergi ke bioskop untuk mendapatkan suasana lain. Semula aku enggan, ternyata menonton bioskop benar cukup menghibur, membawa penonton pada suatu dimensi sangat jauh, tak terukur, membantu melupakan duka cita yang tak terkatakan.

Seterusnya aku rajin membuka buku menyusun kata demi kata, mencurahkan segala nestapa, betapa jarak antara kehidupan dan kematian demikian dekat, nyaris tanpa sela. Betapa kematian sekalipun tak menyebabkan seorang melupakan. Kelak aku akan tahu, bahwa di setiap doa, aku tak pernah melupakan Fransis untuk diampuni segala dosa dan mendapatkan tempat yang tenang di alam sana. Fransis tetap hidup dalam ingatan hingga hari terakhirku, meski di sisiku berdiri kukuh seorang suami serta tiga orang anak yang kukasihi hingga mati. Aku telah melakukan segala cara untuk tetap kuat, akan tetapi masih juga tak mampu menahan isak tangis ketika malam sampai pada warna yang paling hitam dan suhu yang paling dingin. Maka kupanggil nomor Tara.

“Halo kakak, bisa bantukah? Kapan ada waktu ke pantai, aku harus menabur bunga bagi yang telah tiada ….”

“O…. Magda …. Selalu siap untukmu, aku ada waktu di Minggu siang. Okey? Nanti kujemput. Daa….”

Maka Minggu lewat duhur, aku telah duduk di samping Tara yang sigap mengemudikan Yaris, Nurul di jok belakang. Sepanjang jalan hijau pepohonan, aneka warna bunga serta  kesibukan lalu lintas tak lagi sama. Harapan sua dengan Fransis telah terkubur bersama kepingan jenazah tanpa bentuk. Perasaan hampa menyergap, kubiarkan rasa sakit itu hingga ngilu di ulu hati, masih tersisa satu keyakinan waktu akan mengubah segala sesuatu pada tempatnya. Ketika hati yang lemah akan berubah menjadi kuat, karena proses, ketabahan, serta ketiadaan pilihan kecuali menjalani.

Tara tak banyak bicara, ia sempat mengangguk ketika Nurul membisikkan kata-kata, kemudian menatapku sekilas dengan muram. Ia masih terlalu muda, tetapi cukup mengerti arti ditinggalkan. Ia tahu aku tak ingin banyak berucap, meski ia telah berbaik hati mengantar pada perjalanan yang cukup jauh ini. Mobil meluncur dengan manis di atas jalan raya yang licin, Tara telah mahir menghindar dari setiap benturan serta memutar pada setiap belokan. Akhirnya tampaklah bukit-bukit pasir, biru laut serta ombak menggelegar yang tak pernah diam.

Tara merangkul bahuku, Nurul menggandeng tanganku. Bertiga kami melangkah di atas pasir ketika angin bagai elegi pada suara yang paling lirih. Aku harus mengerti, ketika ditinggal ke alam keabadian, aku tak benar sendiri, selalu ada yang menyayangi. Akhirnya aku bersimpuh memejamkan mata di atas pasir, di depanku lidah ombak. Tara dan Nurul duduk berdampingan pada  jarak terukur, wajahnya muram. Beberapa tabuh, aku melupakan Nurul, melupakan Tara, melupakan suasana kampus, yang kuingat Fransis. Beribu kata kuucap selaku doa, hingga beban bergalon air tumpah, tercurah seakan hujan, menyatu dengan debur ombak.

“Akan kutemui di keabadian ketika kematian tak akan pernah dapat memisahkan ….”

Tanpa sadar mulutku berucap dengan suatu keyakinan, kematian hanya jeda, karena ingatan kekal, selama-lamanya. Fransis tak pernah pergi, ia selalu bersemayam di hati. Ketika kularung seikat bunga mawar seputih salju pada lidah ombak, air berkesiur semakin dingin. Aku harus tahu, berdoapun ada batas ujungnya, Tara dan Nurul pasti telah bosan menunggu. Sekejab aku bertatapan, benar aku tidak sedang seorang diri. Dalam keadaan merana, masih ada sahabat yang mengasihi. Masih ada sisa kekuatan menyusut air mata, sebelum akhirnya kami berjalan beriringan, Tara masih memeluk pundakku, Nurul masih menggandeng tanganku. Di langit sebelah barat langit merah saga, matahari masih berpijar seakan bola raksasa merah membara yang terhuyung perlahan, bersiap meninggalkan batas cakrawala. Kami berisitirahat pada tempat makan di bawah tenda, menikmati air kelapa muda serta satu mangkuk bakso. Kemudian Tara membimbingku ke pintu mobil, membukakan dengan hormat, tersenyum ketika aku menempatkan diri di atas jok, mengencangkan sabuk pengaman. Langit semakin hitam ketika mobil kembali melaju ke arah utara Yogyakarta, kusandarkan seluruh beban tubuh dan kepala, kupejamkan mata. Aku melupakan perjalanan kembali hingga tiba-tiba mobil telah berhenti di depan rumah kost.

“Terima kasih untuk semua kebaikan kakak ….” Kupaksakan senyum. Tara mengangguk, ia masih sangat muda, tetapi memahami segala rasa kehilangan. Nurul masih tinggal di rumah kost, kami berdua melambai. Aku seakan terlempar kembali ke relung hampa yang sempurna, ketika Yaris menderu meninggalkan dua sosok yang berdekatan antara yang satu dengan yang lain. Aku dan Nurul.

“O ya, ada salam dari Yodi. Pernahkan ia menelepon?” Nurul membuka pembicaraan. Aku menggeleng, Yodi nyaris hilang ditelan bumi, aku tak pernah memikirkan atau mengharap kehadirannya. Di dalam pikiranku  hanya ada Fransis.

Benarkah?

                                                                                  ***

Seminggu kemudian Yodi berdiri di ambang pintu dengan sekotak mungil cokelat. “Maaf, baru kali ini dapat berkunjung ….” Andai sempat memperhatikan dengan cermat mestinya aku tahu, betapa telah banyak berubah sikap dan penampilan Yodi, ia menjadi lebih dewasa dan tenang, tetapi aku tak menyediakan celah bagi kehadiran Yodi, juga bagi kunjungan-kunjungan berikutnya. Aku belum sepenuhnya sanggup melupakan Fransis. Yodi hanya sebatas teman satu kampung, teman baik yang meluangkan sejenak waktu untuk suatu hari yang belum juga diketahui dengan pasti. Kehadiran Yodi tak pernah mampu menilap bayangan Fransis yang telah bersemayam di liang kubur.

Adapun hari-hari terus berlalu, kesibukan kuliah  menyita waktu tanpa memberi jeda, bagi duka cita berlama-lama. Tersirat bahasa tidak tertulis, bahwa leleran air mata dari kesedihan terdalam sekalipun selalu ada batasnya. Aku harus berhenti menangis, atau kuliah ini akan kandas di tengah jalan, aku akan kembali ke dusun sagu tanpa harus menggendong ijazah. Sepanjang kuliah serta beragam tugas, ujian semester, seminar, hang out, dan entah apa lagi. Terlebih pada setiap doa, aku tak pernah dapat melupakan Fransis, kehilangan ini terlalu dalam. Perpisahan abadi di batas pengharapan yang berakhir pudar. Akan tetapi, adakah Teweraut mesti hanyut kemudian tenggelam selamanya? Apakah aku harus melupakan kerja keras mama, menggandeng tangan bandel ini hampir setahun untuk tetap duduk di bangku sekolah pemula? Mengabaikan air mata mama yang pernah membanjir seakan Sungai Fambrep? Menguburkan seluruh harapan dari orang yang telah berpulang?

Tidak!

Aku, Teweraut boleh menangis, tetapi tidak secengeng itu. Seperti halnya malam terhitam dan terpanjang pun akan selalu ada batas akhirnya, demikian pula dengan duka cita. Ada saat berduka saat seorang diri, ada pula saat untuk kembali belajar dengan sungguh-sungguh, bersosialisasi, mereka-reka hari esok yang memang harus dicapai. Orang-orang Jawa memiliki konsep hidup berbeda --bahkan seorang tidak boleh menunjukkan perasaan hati terdalam di hadapan sekalian orang secara berlebihan. Perasaan sedih, kecewa, amarah, benci, dan gembira adalah rahasia yang harus disimpan pada relung hati, tak seorang pun boleh terlalu mengerti,  kecuali yang bersangkutan. Seorang  harus mengerti kala harus menjadi artis dalam panggung kehidupan sesungguhnya atau menjadi model di atas catwalk sebenarnya. Di depan khalayak seorang harus menjadi sosok lain tanpa melupakan jati diri, aku harus bekerja keras untuk ini. Secara langsung dan tidak langsung teman-teman banyak membantu, Nurul selalu meluangkan waktu untuk sekedar duduk bertukar pikiran di teras rumah kost sambil menatap bunga kamboja serta secangkir teh di tangan. Sagung, Vida, Lila, Retno, dan Tambunan adalah teman-teman setia yang konon akan menjadi teman selamanya, bahkan setelah perkuliahan ini selesai. Akhirnya aku  harus mengerti pertalian erat dengan teman-teman, mereka mengubah takdir hidup, seakan air yang mengalir pada musim kering, seakan lembut cahaya kunang-kunang yang indah berpijar ketika malam semakin hitam, karena ditinggalkan bulan. Tara masih sempat juga menelepon, meluangkan waktu untuk sekedar makan jagung bakar serta wedang ronde di alun-alun kota.

Pertemanan sungguh ajaib, yang mampu mengisi kekosongan akan hubungan dengan kerabat yang teramat jauh dan seakan nyaris putus. Tak seorang pun benar sebatang kara, ketika yang bersangkutan masih  bersedia meluangkan waktu untuk kehadiran orang lain, memberi dan menerima. Adapun Yodi seringkali menghilang sebelum akhirnya tiba-tiba muncul dengan sikap yang manis, yang menjadi alasan, maka aku tidak mungkin mengusirnya, juga bagi kedatangan berikut. Tak pernah ada kata terucap, kecuali ‘apa kabar?’ serta sekedar kisah di seputar lingkungan kampus, atau harapan untuk kembali dengan kemenangan ke dusun sagu.

Kiranya waktu adalah jawaban paling arif bagi kisah paling tragis sekalipun, waktu juga yang mendorongku untuk tetap kuat melewati hari demi hari. Ketika pulang kuliah dan sendiri di kamar, air mataku masih menetes demi Fransis. Akan tetapi, ketika terlibat dengan aneka kegiatan perkuliahan aku harus bersikap, seolah tak terjadi apa-apa. Seluruh hari harus berlalu sesuai dengan rencana. Tanpa terasa semester demi semester berlalu, hingga tiba waktu Kuliah Kerja Nyata yang mengambil lokasi di desa-desa.

Di halaman rumh kost bunga kamboja masih tetap bermekaran untuk kemudian layu, lerai, berserakan ….

                                                                             ***




Hari ini untuk yang kesekian kali aku harus pergi ke kampus untuk konsultasi dengan dosen pembimbing bagi pemantapan judul skripsi, satu hal yang menjadi kekuatan serta dorongan, bahwa pembimbingku adalah sikap bersahabat serta seorang ibu yang selalu memahami kesulitan Ananda.
“Selamat pagi ibu ….” Kubungkukkan badan dalam-dalam, Ibu Tuti tengah mempelajari setumpuk naskah, tugas seorang dosen belajar dan belajar.
“Tewerauta …. Engkau sehat-sehat?” senyum Ibu Tuti selalu menimbulkan suasana bersahaja.
“Saya selalu dalam keadaan baik”, ada pepatah menyatakan, tak seorang pun berhak tahu suasana terkelam dari sekeping hati, kecuali sang empu itu sendiri. Ibu Tuti tak perlu mengetahui apa pun, juga rasa kehilanganku akan Fransis yang teramat dalam. Ibu Tuti hanya boleh tahu, bahwa aku sudah siap dengan tugas akhir, menyusun skripsi.
“Skripsimu tentang masalah gender? Suatu ketidak adilan yang menimpa perempuan, karena patriakhi. Saya selaku dosen pembimbing sangat mendukung. O ya, engkau siap belajar teori sastra ke Moskow?” senyum Ibu Tuti menjadi penuh arti.
“Moscow?” sepasang matakiu nyaris terlonjak dari kelopak,  karena terkejut. Tak pernah terbayangkan, bahwa aku akan terbang menuju sebuah negeri  yang sungguh jauh.
“Engkau mahasiswa yang pintar dan tekun, universitas akan membuka jaringan yang pertama kali dengan Moscow Lemonosove State University. Andai engkau memiliki keberanian dan kemauan ….” Ibu Tuti masih tersenyum, ia tampak yakin dengan kesanggupanku.
“Tetapi ibu ….” Suaraku tergagap.
“Tidak ada tapi, pemerintah daerahmu sudah bersiap mendanai. Saya sendiri mengkontak kepala daerah, surat-surat sudah disiapkan. Satu hal yang diperlukan adalah kesanggupan, masih ada waktu untuk sekedar memperdalam Bahasa Inggris, saya dengar engkau cakap pula akan hal itu,” senyum Ibu Tuti demikian tulus, wajah bersahaja itu tampak teduh di bawah kerudung berwarna kelam. Kami  berbeda suku dan agama, akan tetapi dalam hal ini perbedaan itu tidak berarti apa-apa. Ibu Tuti tahu kepada siapa harus memberikan dorongan, adakah ia tahu kehilanganku yang dalam akan kematian Fransis.

Perlahan sepasang mataku mengembun, untuk banyak alasan aku tak mampu membendung air mata. Kubiarkan diriku menjadi demikian rapuh di depan Ibu Tuti, tanpa harus terisak-isak. Pada akhir pertemuan aku tak mampu untuk tidak menjatuhkan diri di pelukan Ibu Tuti, tak perlu kuucap, aku siap dengan perjalanan yang jauh ini.

Hari selanjutnya aku menjadi sibuk dengan proposal skripsi serta persiapan keberangkatan, segala perasaan berkecamuk menjadi satu. Ketika kuterima sejumlah transfer serta surat resmi dari Pemerintah Daerah perihal kesanggupan membiayai satu semester di Moscow, seluruh tubuhku bergetar. O ya, aku harus membuka buku rekening Bank Mandiri untuk transfer internasional. Selebihnya menjadi repot dengan pengurusan passport, visa, kontak ke Lemonosove State University untuk pendaftaran dan tempat tinggal. Kemudian menelepon ke dusun sagu, mengabarkan berita baik hingga bapa terisak-isak, antara cemas dan bahagia mesti melepas Teweraut --si gadis cantik menuju negeri yang jauh.

Hari berikutnya aku bersorak gembira, Ketika berjumpa Lila di kampus, dengan sepasang mata berbinar, “Magda, aku telah meminta persetujuan Ibu Tuti untuk ikut pula ke Moskow,” kami segera berpelukan, aku tak akan sendiri di negeri yang jauh dan asing. Seterusnya kami selalu Bersama untuk mempersiapkan diri menuju keberangkatan hingga saat itu tiba.

                                                                      ***




Bersambung ....



--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...