Sabtu, 02 Mei 2020

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai







Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim
Bangga Papua --Bangun Generasi dan Keluarga Papua Sejahtera telah dijadwalkan untuk turun
ke payment point dalam rangka pembayaran bantuan bagi bayi di bawah empat tahun sebesar Rp.
200,000,00 per bulan. Masing-masing penerima akan mendapatkan dana bantuan sebesar
Rp.600,000,00 untuk masa enam bulan. Bantuan termaksud adalah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan gizi bagi pertumbuhan anak. Tak seorang pun dapat memilih posisi payment point,
kecuali kata, “Siap”. Demikian pula ketika sepuluh orang tim bersama tiga personil keamanan
mesti berangkat menuju ke distrik terjauh yang dapat dicapai sekitar sepuluh jam perjalanan
menyusuri sungai dengan hutan bakau pada dua tepinya.
Separuh pakaian basah ketika menempatkan diri di atas speed boat 85Pk bersama tiga speed boat
yang lain untuk menuju ke Distrik Korowai Buluanop. Empat tim yang lain menuju Atsy, Suator,
Sawa Erma, dan Pantai Kasuari. Kami saling melambai sebelum merapatkan jaket, mengenakan
pelampung, melilitkan syal, menutup separuh wajah, dan memastikan letak topi kemudian
berdiam diri memulai perjalanan panjang, jauh, dan menuntut kesabaran. Saya pernah berniat
bergabung dengan rekan-rekan Dukcapil untuk ikut serta dalam perekaman KTP-Elektronik,
akan tetapi tidak pernah disarankan, karena posisi distrik yang sangat jauh serta harus diteruskan
hingga ke tingkat kampung. Kali ini saya akan sampai ke distrik yang tidak pernah disarankan
rekan-rekan di kantor.
Angin menampar dengan kencang ketika speed boat melaju, dingin tak tertahan, hujan hanya
menyisakan rinai gerimis, tak lama kemudian cuaca berangsur cerah. Tanpa terasa pakaian yang
basah mulai kering, namun tamparan angin tak pernah henti. Pada dua tepi sungai hutan bakau
menghijau, adalah hutan hujan tropis yang berpotensi mencurahkan hujan sepanjang tahun, di
bawah matahari pagi dedaunan tampak seakan batu zamrud. Kami tak banyak bercakap di atas
speed boat hingga melewati Distrik Jetsy dan Siret. Speed boat terus melaju, enam puluh menit
demi enam puluh menit berlalu, tibalah saat makan siang. Driver menambatkan speed boat di
bawah rindang pepohonan, maka kami mulai mengunyah nasi yang sudah dipersiapkan di dalam
kotak sambal meneguk aqua. Satu hal yang mengesankan adalah makan bersama di atas speed
boat, di bawah rindang pepohonan, segala hidangan terasa sedap. Akan tetapi, kami tak bisa
istirahat berlama-lama, karena tempat tujuan masih jauh.
Speed boat kembali melaju, kami saling melambai dengan kendaraan lain atau perahu tradisional
yang berpapasan, meski tidak saling mengenal. Di ujung jauh tak seorang pun benar-benar
sendiri tanpa penanda dari kehadiran orang lain, mahluk social selalu berinteraksi meski hanya
saling melambai. Lewat tengah hari kami sampai di Kampung Binam, Ibu Kota Distrik Suator,
kami memerlukan datang ke rumah penduduk untuk menumpang ke kamar mandi sebelum
akhirnya meneruskan perjalanan hingga sampai di Kampung Sipanap. Speed boat hanya bisa
menempuh perjalanan sampai di kampung ini, semakin jauh ke tempat tujuan dasar sungai

semakin dangkal, musibah akan terjadi bila perjalanan dilanjutkan dengan speed boat. Kami
harus menyewa dua long boat untuk mengangkut perbekalan dan seluruh anggota tim.
Sipanap hanya menampakkan diri pada bangunan rumah sederhana, kios, jalan pengerasan serta
jembatan papan yang mulai lapuk tak ada pasar, jaringan listrik, sekolah, Puskesmas atau sarana
social yang lain. Di dermaga tampak long boat serta keintitng, kami harus mencari sang
empunya sebelum bersepakat untuk menyewa. Seluruh tim serta perbekalan segera berpindah
tempat hingga long boat pertama siap berangkat. Waktu terus berjalan, cuaca meredup ketika
kami terduduk di lantai long boat seluruh tubuh seakan remuk, nyeri. Akan tetapi canda ria dari
seluruh anggota tim melupakan segala rasa lelah. Kami melewati Distrik Kolf Braza, melambai
pada beberapa orang yang duduk di dermaga, perjalanan terus berlanjut
Tak lama kemudian kami menatap dua tepi sungai dengan takjub, pohon bakau masih
menghijau, di kejauhan tampak samar perbukitan. Rekan-rekan segera sibuk mengambil gambar,
saya tak berdaya menjepret panorama, teralu lelah, hanya mampu terduduk. Akhrinya tampaklah
gundukan batu serupa bukit yang terus memanjang, menghilang kemudian muncul kembali, air
sungai bukan lagi seakan coklat susu tetapi jernih seperti teh hangat tanpa rasa garam. Bila di
Kampung Kawen Distrik Kopai yang terletak di ujung selatan kabupaten akan tampak pohon bus
berkulit kayu putih. Distrik Korowai adalah bentang alam yang diliputi bebatuan. Sekali dua kali
tampak aktivitas pendulang emas, para pendulang menetap pada rumah sederhana dengan
harapan hidup pada kekayaan alam.
Rasa lelah perlahan mereda, selama menetap di wilayah Asmat sejak Juli 1996 saya tak pernah
melihat tumpukan batu pada tepi sungai sebanyak ini. Suatu hal yang menakjubkan menyaksikan
bentang alam yang berbeda di tanah rawa berlumpur. Long boat sempat membentur dasar sungai,
terhenti sebelum akhirnya melaju kembali. Saya tak perlu menyesali perjalanan panjang ini, pada
tahun-tahun mendatang belum tentu saya akan memiliki kesempatan bertandang ke tempat yang
sama. Gundukan batu tetap menampakkan diri seakan bukit hingga terendam air sungai, udara
sore terasa sejuk. Batang sungai terus berkelok-kelok dipenuhi batu, long boat tetap melaju
hingga terhenti di tempat tujuan, matahari telah condong di langit sebelah barat.
Kami segera membongkar muatan, menemui aparat distrik untuk mencari tempat tinggal, dua
orang pengusaha yang memiliki kios merelakan rumahnya sebagai tempat sementara menetap.
Akan tetapi, kami masih harus menunggu long boat kedua yang baru tiba setelah rembang
petang. Blasius beserta rekan yang lain segera menyiapkan tempat pembayaran di teras kantor
distrik dengan memasang tenda serta meja dan bangku. Kami tiga orang ibu-ibu memastikan
tempat makam sehari-hari dengan harga Rp. 50,000,00 setiap porsi dari hari pertama hingga
terakhir. Ibu Nelty dan Pak Mustari sempat kebingungan, karena tidak mendapatkan tas pakaian,
terpaksa harus mendapatkan pakaian baru sebagai pengganti.
Malam pertama kami harus benar berisitirahat setelah satu hari perjalanan, pemilik kios
menyediakan tempat di lantai dua, ruangan sederhana yang cukup sudah untuk sekedar
merebahkan diri hingga esok hari. Suara dengung nyamuk seakan ancaman pada sepanjang
malam, kami perlu membakar obat nyamuk sebelum menutup seluruh badan dengan selimut
kemudian tertidur untuk persiapan hari pertama.

Keesokan harinya saya terbangun dengan malas, Ibu Nelty dan Jane telah pergi ke sungai untuk
mencuci pakaian. Saya masih berbaring hingga beberapa saat sebelumnya akhirnya turun ke
bawah, membersihkan diri di kamar mandi, sarapan dengan hidangan ala kadar yang disiapkan di
lantai ruang tengah kemudian menyambar Nikon D90 untuk memotret suasana kampung. Badan
jalan utama adalah tanah tanah pengerasan yang menjadi becek, karena hujan, beberapa pemilik
rumah menempatkan bebatuan di sepanjang jalan masuk supaya tanah tetap kering. Rumah
penduduk asli adalah bantuan social, rumah sehat, rumah panggung yang menua dengan tanah
keras di bawahnya. Beberapa orang tampak duduk teras rumah, suasana perkampungan nyaris
lengang, amat berbeda dengan suasana di Kampung Basim Distrik Fayit waktu pembayaran
Bangga Papua tahun lalu. Dengan sekitar 1.600 penerima manfaat saat itu Kampung Basim
tampak seakan tengah memperingati hari raya. Di Distrik Korowai hanya terdapat sekitar 185
penerima manfaat, jarak antara kampung yang jauh serta ketiadaan BBM menyebabkan para
penerima manfaat mengalami kendala untuk menerima bantuan. Beberapa kali saya bidikkan
lensa, suasana kampung, pemukiman serta sosok seorang ibu yang tengah menggendong anak.
Saya melambai pada beberapa orang yang duduk di teras kemudian kembali ke tempat menetap
untuk mandi kemudian pergi ke kantor distrik, membantu Blasius, Hengki, dan Boni yang tengah
mempersiapkan tempat pembayaran. Meja penerima untuk checklist, meja verifikasi data serta
meja pembayaran tunai dari pegawai BPD Papua telah dipersiapkan. Sejenak kami
menyelenggarakan pertemuan dengan Lembaga terkait dalam rangka teknis pembayaran.
Menjelang tengah hari penerima manfaat dari Buluanop datang menggendong anak satu per
satu, pelayanan tidaklah susah, karena jumlah penerima yang sedikit. Rekan-rekan di Distrik
Suator pasti tengah bermandi keringat, karena jumlah penerima manfaat lebih dari 1.500 Balita,
semua harus dilayani satu demi satu per kampung tanpa kecuali, tanpa keluh kesah. Saya kira
pelayanan cukup dikerjakan dalam dua hari, Rabu atau Kamis bisa kembali. Ternyata kami harus
menunggu penerima manfaat dari kampung yang lain hingga hari Kamis.
Sore hari setelah pelayanan hari pertama Blasius meminta pindah tempat tinggal ke rumah
apparat distrik, kami mengikuti permintaannya, memikul segala perlengkapan, melewati jalan
becek tergenang air hujan, memanjat tangga kayu kemudian menempatkan diri di ruang masing-
masing. Ibu-ibu berbaring di ruang tengah, bapak-bapak di ruang tamu, Boni memilih tinggal di
ruang makan, semua beralaskan tikar, berbantal kain. Keamanan serta Pak Simanjuntak pegawai
BPD Papua tetap tinggal di lantai dua kios sambil menjaga tromol yang berisi uang cash. Hari
kedua dan ketiga pelayanan berlanjut tanpa kesibukan yang menekan, karena jumlah penerima
yang relative kecil. Minggu depan, kami akan kerja ekstra berat di Distrik Fayit, karena lebih
seribu penerima manfaat harus dilayani hingga pukul 22.00 WIT.
Sementara ibu-ibu cenderung memiliki kebiasaan menghisap rokok merk lampion, rokok linting
tanpa filter sambil menggendong anak. “Ibu-ibu tidak boleh merokok kalau menggendong anak
kecil ….” Setengah geram saya tarik rokok di tangan seorang ibu kemudian membuangnya ke
tanah tanpa persetujuan.
Blasius tampak terkejut dengan tindakan ini, sempat terdengar ia bertanya, “Itu ibu tidak marah
rokoknya dibuang?”

“Tidak”, Jawab Boni.
Saya selalu merasa cemas dengan kebiasaan merokok ibu-ibu tanpa mengerti nikotin dan asap
rokok sangat mengganggu kesehatan anak. Berulang kali teguran diberikan tanpa kepastian,
benarkah ibu perokok termaksud sadar akan bahayanya. Aroma asap rokok lampion sangat keras
seakan mencekik udara.
Pelayanan terus berlanjut hingga hari berikutnya, kami menerima kabar Pak Kepala akan datang
pada hari Jumat, maka kami tunda jadwal kembali. Sore hari kami serombongan pergi ke sungai,
dengan gembira rekan-rekan menceburkan diri dan berlaku seolah anak kecil tanpa beban hidup,
semula saya hanya menyaksikan dari tepi sungai dengan arus yang kencang, karena pasang.
“Ibu Dewi ….. ayo turun, kita sejenak menyelam nanti muncul lagi sudah sampai Merauke ….”
Hengki tergelak, canda rianya memecah tawa serentak.
Tak berapa lama saya lepas sandal kemudian bergabung dengan rekan-rekan bermain air, arus
yang kencang menyebabkan posisi badan tak berpindah ketika sudah beberapa menit berenang.
Air sungai serta kebersamaan yang dalam menyebabkan suasana menjadi bersahabat, saya tak
pernah mengira di ujung tempat yang jauh akan mengalami kegembiraan hanya dengan bermain
air, sungguh berbeda dengan suasana di kolam renang dengan standart olimpiade sekalipun.
Kami tak berani berlama-lama, karena matahari semakin condong di langit sebelah barat. Saya
meninggalkan arus sungai dalam suasana baru, segar, terbebas dari segala beban pikiran. Sesaat
kami berhenti di depan kios yang memiliki wifi, membeli pulsa kemudian mengkontak keluarga
via WA calling atau video call, ada pula yang memposting foto mandi-mandi di sungai ke WA
Group Bangga Papua untuk mengabarkan, betapa gembira kami di kampung ini. Besok kalau
Pak Kepala datang kami akan membawanya mandi-mandi, membasahinya dengan air Sungai
Mabul.
Kamis sore kami menerima kabar Pak Kepala batal datang, karena agenda mendadak serta jarak
yang jauh. Pelayanan telah selesai, dari 185 penerima manfaat hanya 100 yang datang, penerima
manfaat di kampung yang jauh kesulitan datang, karena ketiadaan BBM. Jumat pagi kami
Bersama-sama pergi ke rumah pohon yang terletak tidak jauh dari pemukiman, berfoto-foto
kemudian pulang kembali. Rumah pohon, rumah yang dibangun pada ketinggian pohon, adalah
rumah tradisional masyarakat Korowai pada masal lampau sebagai suatu strategi pertahanan
terhadap situasi perang serta keamanan dari gangguan binatang hutan. Kemudian kami
beriringan pulang, saya menempatkan diri di bagian paling belakang Bersama tiga orang rekan.
Sampai di jalan besar saya menyediakan diri menatap ke arah jauh, “Hei …. Itu sungai
berbatu….” Maka kami empat orang memisahkan diri, mencari posisi aman untuk turun ke
sungai sebelum kembali bergembira bermain air sungai dan hamparan batu tak berbilang
jumlahnya. “Tolong ambil gambarku ….” Saya meminta Jupri menjepret momen saat berendam
di sungai seakan ikan duyung. Sesaat setelah bermain air saya sengaja memposting foto di FB
sekedar bebagi kabar bagi para sahabat, everyting is okey.
Kembali ke rumah dalam keadaan basah kuyup saya mendapati Ibu Nelty tengah menggoreng
pisang serta kue tepung. Di ujung jauh segala jenis makanan terasa lezat, maka hidangan segera

diserbu habis, saya membantu membersihkan sampah-sampah kemudian kembali ke kantor
Distrik dengan pakaian bersih. Pak Distrik menyelenggarakan adat bakar batu, batu-batu dibakar
hingga panas, diletakkan pada sebuah lubang dilapisi daun pisang kemudian sayur dan daging
babi diletakkan di atasnya ditutup kembali dengan daun yang sama, didiamkan beberapa saat
sebelum masak untuk disantap bersama. Bakar batu mengandung makna kohesi sosial, makan
bersama untuk menautkan kembali ikatan sosial yang acapkali menjadi longgar, karena beragam
kesibukan. Kami yang berpantang makan babi tak terlibat dalam acara makan bersama, cukup
menyaksikan kebersamaan itu. Menjelang gelap kami mengemas seluruh perlengkapan. Besok
saatnya kembali, hari ini speed boat telah sampai di Binam, Suator. Ibu Nelty dan Blasius telah
menyewa dua long boat sampai di Sipanap.
Keesokan harinya kami berkemas, berpamit kepada aparat setempat serta sang empunya kios
sebelum menempatkan diri di atas long boat. Kali ini kami tidak sedang bersabar menempuh
perjalanan jauh, tetapi tengah menikmati wisata alam, sungai berbatu dengan alam nan eksotik
bersama keluarga besar Bangga Papua. Sesaat kami berhenti memotret pendulang emas di atas
bebatuan kemudian kembali bergerak, mendapatkan tempat yang indah untuk berhenti dan
kembali berfoto. Hanya sesaat, perjalanan dengan long boat kembali dilanjutkan dalam suasana
hangat. Di Sipanap tiga speed boat telah bersiap, kami segera berganti sarana transportasi. Tas
milik Ibu Nelty dan Pak Mustari ternyata tertinggal di long boat yang mengantar dari Sipanap ke
Korowai, masih tersimpan dengan baik, diterima kembali dengan senang hati.
Kami tak membuang waktu, segera menempatkan diri di jok masing-masing setelah memastikan
barang bawaan dalam keadaan aman, melambai pada driver long boat, mengakhiri perjalanan
wisata pada sungai berbatu, kembali ditampar angin kencang. Laju speed boat belum lagi
mencapai Kolf Braza ketika salah satu mesin speed boat mati. Satu speed boat terus melaju ke
Binam mencari bantuan, satu speed boat harus menarik speed boat yang macet, perjalanan
menjadi sekitar dua jam lebih lamban. Ketika dua speed boat kembali muncul dari arah
berlawanan, berhenti, penumpang dan seluruh perbekalan speed boat segera berpindah tempat.
Dua speed boat kembali melaju kencang, satu speed boat tertinggal jauh di belakang, menarik
speed boat yang macet.
Lewat tengah hari kami sampai di Binam, singgah di rumah Pak Haji rekan BKKBN yang telah
purna tugas. Ibu Haji segera memasak nasi, sayur, menggoreng ikan untuk makan siang sekitar
20 orang. Sejenak kami beristirahat sambil mendapatkan koneksi wifi untuk mengakses jaringan
internet. Setelah maka siang, kami tergesa berpamit. Ibu Haji menolak pembayaran, ia telah
sangat senang dikunjungi, karena menetap di kampung yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten.
Kami mengucap terima kasih, memberikan hormat kemudian menempatkan diri pada trip
terakhir menuju pulang. Angin selalu menampar dengan kencang, saya melindungi diri dengan
jaket, pelampung, syal, penutup wajah serta topi. Pada tempat-tempat yang mengesankan saya
masih menyempatkan diri mengambil gambar hijau hutan mangrove berbatas air sungai,
selebihnya menutup seluruh kepala dengan jaket, menunduk, tidur, menyerahkan keselamatan
pada driver.
Perjalanan terasa amat panjang seakan tak akan berakhir, angin semakin dingin, cahaya matahari
semakin redup, semakin redup, perlahan menghilang di balik pepohonan, menyisakan bebayang.

Lelah dan udara dingin menyebabkan seluruh tubuh nyeri, sementara malam pun datang bersama
gelap. Masih ada sepotong bulan sebagai sumber cahaya jauh di l angit tinggi di samping lampu
speed boat yang seakan tak berdaya menembus hitam. Kini, saya mengerti mengapa rekan-rekan
Dukcapil tak menyarankan terlibat dalam perekaman KTP-Elektronik ke Korowai Buluanop,
distrik ini benar sangat jauh, dengan segala rintangan memerlukan sekitar 12 jam perjalanan.
Waktu yang sama untuk menempuh penerbangan Jakarta – Amsterdam. Ajaib, saya hampir
melaluinya, terduduk di atas jok, nyaris menggigil hingga dari kejauhan tampak kerdip lampu
yag semakin lama semakin terang. Saya menghela napas panjang, perjalanan selalu memanggil
sesipapun untuk pulang, Agats tanah berlumpur, kota tercinta.
Ketika akhirnya speed boat sandar di dermaga Feri, menurunkan penumpang bersama segala
macam barang bawaan, kami saling berpamitan. Seminggu dalam kebersamaan membekas kesan
teramat dalam, sehari-hari kami nyaris tak bisa bertemu sekedar untuk tegur sapa. Kali ini kami
mendapatkan lebih dari sekedar waktu yang cukup untuk menempuh perjalanan ke ujung jauh,
melampaui susah dan senang bersama tanpa harus berkeluh kesah. Tak seorangpun berkeluh
kesah pada setiap payment point. Demikian pula ketika pada keesokan hari kami kembali
mendapat perintah untuk menyelenggarakan payment point ke Distrik Fayit dengan sekitar 1.200
penerima manfaat.




--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...