Kamis, 18 Juli 2019

dr. AGNES SINAGA --Potret Hidup Seorang Dokter--


Bila kehidupan ini diibaratkan lembar-lembar dimensi dari serangkaian foto bergambar, baik hitam putih maupun berwarna. Maka foto sosok Agnes Maria Magdalena Sinaga, hadir dalam sapuan warna yang berbeda, spesifik, tajam, dan mengesankan. Gadis berusia  27 tahun itu memutuskan bertugas selaku dokter Pegawai Tidak Tetap Pusat ke Kampung Mumugu, Distrik Suru-Suru, Kabupaten Asmat, Papua. Ia  meninggalkan orang tua, adik,  kekasih, dan kehidupannya di ibu kota  Jakarta untuk mendedikasikan  diri pada sebuah kampung terpencil di tengah belantara. Mumugu adalah sebuah kampong yang tiba-tiba menjadi demikian dikenal, karena penduduk setempat yang seluruhnya berjumlah sekitar 500 orang, sebagian besar mengidap penyakit kusta. Penyakit menular ini tak membuat Agnes undur, ia menetapkan diri sebagai petugas medis sekaligus aktivis social yang mengajarkan pula anak- anak Mumugu membaca, menulis dan bernyanyi.
Kampung Mumugu dapat dicapai dengan mengendarai speed boat dalam delapan jam perjalanan dari Ibu Kota Kabupaten Agats. Ketakutan akan tertular penyakit kusta menyebabkan orang enggan untuk berkunjung ke kampong ini. Penduduk yang menetap di tempat ini bertahan hidup dari hasil bumi dan alam, ialah sagu dan ikan. Curah hujan yang tinggi sebagai akibat dari keluasan hutan hujan di wilayah Asmat memenuhi kebutuhan masyarakat akan air minum dan MCK. Sejumlah 90 unit rumah rakyat –bantuan dari Pemerintah Kabupaten Asmat dan Kabupaten Nduga berdiri membentuk perkampungan. Ada pun jew --rumah adat--yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan komunal di kampong ini berdiri pula dengan “megah”. Di kampong ini terdapat 7 kios, sebuah gereja, rumah pastoran, dan satu Puskesmas Rawat Inap. Fasilitas kehidupan bisa dikatakan teramat terbatas, petugas pelayanan masyarakat yang memutuskan untuk mengabdi di Kampung Mumugu haruslah sosok bermental baja yang bekerja bukan atas dasar mendapatkan penghasilan semata.
­­___
April 2014
Pukul 11.00 Wit
Adalah hari pertama saya menginjakkan kaki di Kampung Mumugu II, Batas Batu, pada sebuah dermaga kecil yang terbuat dari papan kayu besi dengan lebar dua meter, saya tertegun. Awalnya saya mengira populasi penduduk kampung ini teramat padat, karena ada begitu banyak orang berkerumun seolah sekalian penjemput bagi kedatangan ini. Mereka berdiri memandang kedatangan ini dengan tatapan asing, perawakan mereka tegap, dengan kulit legam, dan rambut ikal. Saya datang bersama  Mantri Zaenal, Mantri Agus, Bidan Delfi dan Suster Novi dengan membawa serta bahan makanan serta peralatan masak yang telah dipak rapi ke dalam karton. Karton-karton itu tampak menggunung, saya berharap salah seorang dari “penjemput”  akan mengulurkan tangan untuk memikulnya. Akan tetapi, harapan itu berakhir dengan hampa, tak seorang pun berucap, lirikan mata itu bahkan teramat tajam, jauh dari persahabatan. Entah apa yang terlintas dalam pikiran mereka dengan kedatangan ini, mungkin mereka tahu, bahwa kami adalah petugas kesehatan setempat, atau mereka mengira mengira kami adalah pedagang yang berniat membuka kios di kampung ini. Tak lama kemudian, muncul seorang pria paruh baya dengan tinggi sekitar 150cm dan berperawakan kecil. Ia mungkin penasaran dengan kedatangan ini, siapa kami sebenarnya? Sebelum rasa penasarannya bertambah, saya cepat-cepat mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.
“Bapak, perkenalkan nama saya Agnes, saya dokter yang ditugaskan mulai hari ini di Kampung Mumugu. Saya beserta staf,  mantri Zaenal, Mantri Agus, Bidan Delfi dan Suster Novi. Mohon bapak terima kedatangan kami di sini,” saya memulai pembicaraan sambil memperkenalkan staf yang berdiri tepat di samping kanan dan kiri.
Dengan sedikit ketus dan suara besar pria itu menyambut uluran tangan saya, menggenggam tangan saya dengan erat, kemudian  memperkenalkan diri. “Iyo, saya ini Daniel Menja, saya Ketua Adat di Mumugu Batas Batu. Kamu orang kerja baik-baik di sini ya, awas kalau kau tidak layani kita dengan baik nanti saya panah kau”.
Ancaman ini membuat saya tersentak, saya tidak menyangka sambutan perdana akan seperti ini.  Sementara orang-orang yang berkerumun itu berucap sambil menudingkan telunjuk, “Ko tidak baik”. Ucapan itu seakan telapak tangan yang menghantam tepat di wajah saya, setelah menempuh perjalanan panjang Jakarta, Papua, Agats, dan Mumugu dalam rangka tugas kemanusiaan, kiranya demikianlah ucapan pemula yang mesti saya dengar.  Kata-kata selanjutnya terucap dalam bahasa yang tidak saya mengerti, akan tetapi tekanan serta tatapan itu tetap tidak bersahabat. Mengapa penduduk setempat tidak berkenan dengan kedatangan ini?
“Iyo sudah, kamu orang ke Pusat Kesehatan Masyarakat sana,  awas kalau kita mau berobat baru kamu tolak berarti nanti saya usir kamu orang dari desa ini”,  Daniel, sang  ketua adat kembali mengancam,   nyali saya seketika menciut, seakan mentega meleleh di bawah terik. Saya melirik wajah keempat orang staf, ekspresi wajah-wajah itu menunjukkan hal yang serupa. Jauh dalam hati saya berbisik kepada Sang Maha Pencipta, Ya Tuhan, lindungalh kami di tempat yang baru ini ….
__
Pukul 14.00 Wit
Jarak dari dermaga ke Mumugu ditempuh sekitar 15 menit dengan berjalan kaki, struktur tanah di kampong ini lembek berbatu-batu, hewan peliharaan bebas berkeliaraan dan membuang “ranjau” di sepanjang jalan. Sesampai di Pusat Kesehatan Masyarakat saya berdiri terpaku menelan ludah, demikiankah kondisi Pusat Keseahatan tempat saya mesti bertugas sekaligus menetap? Bangunan ini serupa dengan tempat pembuangan sampah, keseluruhan bangunan berukurang 20 x 50 meter  dikelilingi hutan kayu dan rumput liar yang tumbuh semakin tinggi. Di depan Puskesmas hutan menyemak, tanpa rumah penduduk sama sekali, di bagian belakang bangunan tumbuh rimbun hutan yang belum terjamah. Diam-diam saya mengeluh, malang nian nasib ini, akan tetapi saya berusaha untuk diam. Tak ada Pusat Kesehatan Masyarakat lain kecuali bangunan ini, ialah fasilitas kesehatan yang pada prinsipnya tak layak sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pelayanan kesehatan.
Mantri Zaenal, Mantri Agus, Bidan Delfi dan Suster Novi tampak kelelahan, karena perjalanan panjang serta kerja tambahan mengangkut barang. Tak seorang pun  yang kami kenal di tempat ini, siapa yang dapat membantu membersihkan ruangan untuk istirahat yang layak saat malam tiba? Setelah berdiam beberapa lama hingga keringat mengering, saya berkeputusan untuk membersihkan Pusat Kesehatan  dengan tenaga yang tersisa,  “Mari kita bersihkan bagian dalam Pusat Kesehatan , besok kita minta bantuan masyarakat untuk membabat rumput di samping dan depan Pusat Kesehatan ,”sebuah pekerjaan yang amat berat untuk hari pertama di Pusat Kesehatan  ini, akan tetapi adakah kami memiliki pilihan lain sebelum gelap tiba?
Selama kurang lebih  tiga jam kami sama-sama membersihkan Pusat Kesehatan , mulai dari  halaman sampai ke bagian dalam. Untuk sementara waktu kami bersepakat untuk  tinggal  di Pusat Kesehatan  dengan memanfaatkan kamar yang ada. Rumah dokter dan dua kopel rumah perawat telah ada, akan tetapi fasilitas di dalamnya  belum tersedia. Bolam lampu tak tampak sama sekali, malam akan bertambah gelap tanpa cahaya. Tak seorang pun dari kami yang berpikir untuk membawa serta kasur sebagai alas tidur, kami bersepakat untuk berbaring beralaskan karpet plastic yang kami beli seharga 150 ribu di toko.
Setelah Pusat Kesehatan  tampak lebih rapi, jauh dari kesan tempat pembuangan sampah, sesaat saya terdiam mengelus dada. Ada serangkaian panjang kata-kata yang akan tersusun dengan benar sebagai keluhan, akan tetapi saya memilih diam.  Lima orang pendatang menetap di tengah belantara, jauh dari orang tua, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, tanpa ada signal telepon seluler, kecuali fungsi telepon satelit dengan  biaya  Rp. 20.000.- per menit. Saya yakin keempat orang staf merasakan hal yang sama, tetapi sudah terlambat untuk berkeluh kesah. Satu hal yang harus dilakukan adalah menentukan sikap, solusi bagi situasi yang sama sekali tak pernah terbayangkan.
Pusat Kesehatan tampak cerah, meski masih banyak bagian yang harus ditata rapi. Dan tiba-tiba perut menjadi demikian lapar, saat makan siang sudah lama berlalu. Delfi, bidan sukarela yang menyertai suaminya,  mantri Agus ke kampong ini segera memasak mie rebus. Hidangan sederhana itu kami santap dengan nikmat sambil  duduk beralaskan tikar di atas lantai papan yang baru  dibersihkan. “Orang-orang di kampong ini sepertinya tidak mempercayai dan tidak suka dengan kehadiran kita di tempat ini, tapi sudah terlambat untuk undur. Apakah kita akan menyerah sampai di sini?” saya bertanya.
“Tidak dok” jawab keempat orang staf.
Saya tatap wajah mereka satu per satu, mencoba membaca kalau ada keraguan membersit. Saya merasa lega, karena tak seorang pun menunjukkan sikap untuk undur, menarik kembali keputusan untuk bertugas di kampong yang jauh ini. “Tidak mudah mendapatkan kepercayaan masyarakat, untuk itu kita harus membuktikan dengan pelayanan yang baik, menjemput bola. Jangan pernah menolak pasien, jangan berikan tarif kepada siapapun,  baik pendatang maupun masyarakat. Kita tidak  boleh meminta pembayaran. Delfi, walaupun engkau adalah tenaga  sukarela di sini dan tidak pula digaji, tapi saya akan berusaha supaya engkau memperoleh nota tugas. Satu hal, jangan pernah menyerah, mengerjakan tugas dengan sepenuh hati akan mengurangi beban tugas itu sendiri. Tuhan akan membuka pintu rezeki kepada orang yang bekerja dengan hati. Kita adalah  saudara, walaupun saya berlaku sebagai pimpinan, akan tetapi saya adalah kakak tertua.  Kalau ada yang berkeberatan dengan kinerja saya tanpa toleransi sama sekali, saya akan mundur. Tetapi jika kalian setuju dengan apa yang lakukan mari kita bekerja bersama,” saya harus berkata untuk  menjawab sikap serta ucapan masyarakat setempat siang tadi di dermaga.
Keesokan harinya, pekerjaan pertama pelayanan kesehatan bagi masyarakat Mumugu berjalan. Sebelum melakukan kegiatan perdana, saya mengajak keempat orang staf untuk berdoa. Kami hening sejenak memohon kepada Sang Pencipta, semoga kegiatan hari ini bisa berjalan dengan baik. Pukul 07.00 WIT , seluruh staf puskesmas sudah siap dengan pakaian dinas. Saya dan Daniel Menja sudah janji  bertemu untuk membicarakan perihal kinerja petugas medis di Puskesmas ini. Jarum jam bergerak dengan pasti menunjukkan pukul 08.00 WIT, akan tetapi ketua adat itu tak kunjung datang. Saya masih menunggu hingga dua jam ke depan, pukul  10.00 Daniel Menja akhirnya sampai di Pusat Kesehatan. Ketua Adat itu  tidak sendiri, ia datang  bersama lebih 30 orang yang lain.
Halaman Pusat Kesehatan beratapkan daun nipah, cukup luas sebagai tempat pertemuan. Di  halaman itu saya dan staf Kesehatan mulai memeperkenalkan diri. “Terima kasih atas kehadiran bapak-bapak semua, terhitung mulai hari ini saya beserta empat orang staf resmi bertugas selaku tenaga medis di Pusat Kesehatan Masyarakat ini. Jika ada masyarakat yang menderita sakit atau ibu yang hendak melahirkan, silakan berobat, kami akan melayani dengan segala senang hati, bersiap selama 24 jam setiap hari. Saya  berjanji tidak akan meninggalkan tempat tugas kecuali awal pada bulan saat mengantarkan laporan di Ibu Kota Kabupaten”. Ketua adat  terdiam berdiri di samping saya. “Kami sangat berharap agar masyarakat dapat menerima kedatangan kami, kami datang dengan niat baik untuk membantu dan menyembuhkan masyarakat yang hampir semua menderita kusta. Kami akan melakukan pendataan dari rumah ke rumah untuk mengetahui secara pasti berapa jumlah penduduk serta  berapa yang mengidap kusta”, saya menatap wajah masyarakat yang hadir, tatapan itu sudah tak setajam hari kemarin ketika sua untuk yang pertama di dermaga.  “Saya juga berjanji untuk mengajarkan anak-anak di kampung ini membaca dan menulis. Malam harinya saya mengundang masyarakat untuk nonton bersama di halaman kantor”.
Daniel Menja menterjemahkan kata-kata saya dalam bahasa setempat. Saya kembali menatap wajah-wajah itu, ekpresinya cukup mengatakan,  mereka mengerti dan menerima kedatangan kami. Jauh dalam hati, dengan perlahan saya mengucap syukur, “Terima kasih Tuhan, hari pertama di tempat tugas berjalan dengan baik, masyarakat sudah bisa menerima kedatangan ini”
__
Hari berikut setelah pertemuan itu, masyarakat mulai datang berobat ke Puskemas, meski jumlahnya relative kecil. Bermacam sikap penolakan bermunculan, kata-kata yang bersikap caci maki selalu berakibat menyakitkan hati. Sementara pasien menganggap obat yang kami berikan sebagai racun yang mengakibatkan kematian pasien. Kami mencoba bersabar dan tetap bersabar beradaptasi dengan sikap hidup masyarakat sehari-hari.  Mungkin tidak seluruh masyarakat mempercayai kehadiran kami dalam bertugas, tetapi saya harus tetap mengucap syukur. Jumlah pasien yang relative sedikit ini menjadi bukti pemula, bahwa kehadiran ini akhirnya bisa diterima.  Kami berusaha  memberikan pelayanan semaksimal mungkin  kepada warga setempat, di samping rutinitas pengobatan di Puskesmas, kami juga berkunjung dari rumah ke rumah mereka untuk melakukan hal yang sama. Hari selanjutnya, suasana di Puskesmas menjadi lebih hidup,  anak-anak berumur 4 tahun ke atas yang awalnya tidak tahu membaca dan bernyanyi, setiap sore akhirnya datang ke Pusat Kesehatan  untuk belajar membaca, menyanyi, dan menari. Hari-hari saya lalui dalam tugas dan kebersamaan yang dalam dengan masyarakat setempat. Walaupun segala tugas formal dan informal yang kami  tidak sebanding dengan upah yang diterima. Saya tahu perihal gaji yang dipangkas hingga setengah bagian. Satu hal yang lebih menyedihkan, keempat staf yang bertugas dengan senang hati, sudah empat bulan tidak menerima gaji sama sekali. Alasan yang kami terima adalah, bahwa pencairan dana masih dalam  ‘kendala’ dan “iklaskan saja”. 
Apa maksud kata ‘ikhlaskan saja’?
Meski gaji dipangkas dan tidak dibayarkan, kami tetap konsisten dengan janji terhadap masyarakat. Pengobatan dan pendampingan masyarakat tetap berjalan setiap hari. Entah kapan gaji staf medis akan dibayarkan? Sampai gaji itu dibayarkan kami masih harus bekerja, melayani sekaligus membangun kepercayaan masyarakat. Status Pusat Kesehatan  adalah rawat jalan, anggaran operasional bagi konsumsi pasien tidak tersedia. Akan tetapi, kami tidak  menolak pasien yang datang untuk menginap. Kami menyumbang untuk konsumsi pasien dari konsumsi harian di dalam rumah. Kami membagikan pula biscuit sekolah kepada anak-anak kecil yang hadir serta menyiapkan kopi atau teh manis bagi bapak-bapak atau ibu-ibu yang datang rutin minum obat kusta setiap hari di Puskesmas. Meski masih ada yang bersikap jutek , kepercayaan masyarakat terhadap kami sudah semakin baik,  sikap masyarakat bahkan lebih baik dari yang kami bayangkan. Tak jarang masyarakat datang membawa sayur dan hasil buruan yang ditangkap di hutan. Sayur dan hasil buruan itu diberikan secara cuma-cuma , hubungan baik karena meemberi dan menerima terus terjalin, akhirnya kami menjadi sahabat kemudian diangkat sebagai anak adat.
__
Saat ini kami menjadi sangat sibuk dengan rutinitas perawatan setiap hari, pasien datang dengan bermacam keluhan, luka membusuk pada kaki, malaria, ispa serta hernia. Saya selalu menekankan kepada staf agar kita bekerja dengan hati. Jangan risau dengan kondisi pasien yang paling buruk sekalipun, layani mereka layaknya kita melayani kedua orang tua kandung. Kehadiran pasien di Puskemas membuat wajah kami semakin sumringah, kehadiran itu berarti bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kinerja petugas medis di Pusat Kesehatan  ini semakin tumbuh. Kepercayaan bukanlah suatu hal yang mudah untuk didapat.  Caci maki dan tuduhan, bahwa obat yang kami berikan adalah racun sudah tak pernah lagi didengar.
Hari demi hari berlalu, berubah menjadi minggu, berubah pula menjadi bulan. Tanpa terasa kami sudah bertugas enam bulan di Mumugu, masyarakat semakin mengenal dan menyayangi kami. Banyak hal yang sudah kami lalukan, membantu ibu-ibu melahirkan, mendampingi pasien minum obat, merujuk beberapa orang pasien ke Rumah Sakit Kota untuk operasi usus buntu, mengajarkan anak-anak Mumugu membaca, menyanyi, dan menari. Setiap sore suasana di Pusat Kesehatan menjadi ramai, karena riuh suara anak-anak menyanyi dan menari, malam hari kami kembali berkumpul  nonton bersama. Saya tak perlu lagi berkeluh kesah, karena sikap masyarakat yang kurang bersahabat atau caci maki dari pasien. Perjalanan panjang dan kerja keras ini tak berakhir dengan sia-sia. Rasa tenang di hati, karena tersadar bahwa masyarakat di sekitar tempat tugas menyayangi kehadiran kami di kampung ini. Beberapa orang yang masih jua menunjukkan sikap tidak bersahabat, bukanlah masalah yang berarti.  Suatu hal yang mustahil, bahwa kehadiran seseorang pada suatu tempat akan diterima seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali.
Jauh dalam hati, sungguh saya ingin mama mendengar dan melihat segala yang sudah saya lakukan di kampung ini. “Ma, saya sudah melakukan sesuatu yang baik, walaupun  harus bergelut dengan lumpur, keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, saya tidak khawatir dengan semua kesulitan ini. Tujuan saya satu, saya  ingin masyarakat di kampong ini sehat dan sembuh dari penyakit kusta. Ma, doakan saya, semoga segala yang saya  kerjakan bisa menjadi kisah yang layak diceritakan”.
Dalam hening saya teringat kembali kekasih yang tengah menunggu, jarak  terentang demikian jauh seakan tak terpetakan. Saya pun berucap dalam hati, seolah  tengah berhadapan dengan orang yang saya cintai, “Salah satu hal yang mendorong kedatangan ke Papua adalah karena dirimu, adakah jarak akan benar memisahkan atau ingatan bahkan semakin kekal tak terceraikan?  Hari-hari bermula dengan pahit, semakin pahit ketika engkau tak ada di tempat ini. Akan tetapi, pahit hanya tenggang waktu yang berbeda ketika akhirnya manis terasa. Kita akhirnya mengerti apa arti kehilangan”, lamaran telah saya terima untuk sebuah hari yang telah ditetapkan untuk dikukuhkan sebaga suami istri, hidup bersama dalam susah dan senang hingga maut memisahkan. Jarak ternyata tak pernah menjadi penghalang, bahkan menyatukan.
Tugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap akan berakhir pada bulan Juli 2015, ada keinginan teramat dalam untuk meneruskan tugas di kampong ini, sehingga seluruh masyarakat Mumugu terbebas dari penyakit kusta. Akan tetapi, saya  harus kembali ke Jakarta. Calon suami saya tidak menginzinkan masa penugasan lebih lama, meski tugas ini memebuat saya bangga, pernikahan sudah dipersiapkan bulan Agustus 2015. Saya harus memilih perkawinan atau tugas mulia ini, tak mungkin saya mendapatkan keduanya. Semoga Tuhan melihat semuanya, nanti aka nada dokter Pegawai Tidak Tetap yang akan meneruskan pelayanan medis di kampong ini, sehingga saya bisa kembali ke Jakarta, mengingat kehidupan Mumugu, dan meneruskan hidup dengan damai.
***

WIRO YOSEF WATKEN

 





Kamis, 24 April 2003, suasana di ibu kota Agats, sebagai pusat pemerintahan di Wilayah Asmat tampak berbeda dari hari-hari biasa. jajaran Pemerintah Distrik dengan seluruh dinas serta  instansi terkait di dalamnya serta masyarakat adat Asmat telah bersiap bagi sebuah penjemputan. Penjemputan ini sebenarnya telah dipersiapkan pada 4 Februari 2003, bertepatan dengan tahun emas masuknya Injil di Wilayah Asmat. Akan tetapi, kedatangan itu tertunda, sehingga masyarakat harus menunggu hingga April hari ke-24 itu.
Ketika pada sekitar pukul 14.30 Waktu Indonesia Bagian Timur pesawaat Twin Otter Mimika Airlines berputar di atas Kota Agats, maka masyarakat  mengerti sudah, tamu yang ditunggu telah sampai. Penantian masih berlangsung lebih satu jam, karena masyarakat Ewer melakukan penjemputan dengan gegap gempita kemudian melepas keberangkatan rombongan hingga ke dermaga. Sementara di muara Sungai Fambrep, masyarakat Kampung Syuru telah menunggu dalam pakaian adat dan ci – perahu lesung. Dari kejauhan tampak beberapa speed boat melaju dalam kecepatan tinggi, memecah gelombang air di belakangnya. Satu di antara empat speed boat itu berhenti di antara perahu-perahu lesung, memindahkan penumpang. Dengan suara gegap gempita rombongan perahu itu bergerak maju, menuju ke jew --  rumah bujang.
Jembatan panjang yang melintang dari Kampung Syuru hingga Sekolah Menengah Negeri 2 Agats adalah deretan papan yang telah lapuk dan berantakan. Untuk  itu masyarakat telah mensejajarkan dua lembar papan dan memakunya kuat-kuat sebagai jembatan darurat, sehingga rombongan tamu dapat berjalan beriringan dalam irama pukulan tifa.
Pada sekitar pukul 16.00 Waktu Indonesia Bagian Timur Lapangan Yos Sudarso telah dipadati sekalian masyarakat dalam tata rias  adat Asmat, mereka mengenakan awer, bacin -- topi bulu kuskus, tulang kasuari, dan rias wajah tiga warna, merah, putih, hitam. Irama pukulan tifa serta hentakan kaki seakan kekuatan alam yang akan merobohkan papan-papan jembatan, maka datanglah rombongan dalam iring-iringan yang sangat panjang. Di bagian terdepan, tampaklah sosok yang telah ditunggu masyarakat sebagai tokoh sentral pemekaran wilayah. Ia adalah Wiro Yosef Watken.
Perjalanan panjang dari Jayapura hingga Agats dengan menumpang berupa kendaraan amatlah melelahkan, tetapi kelelahan itu tak pernah tampak. Wiro Yosef Watken mengenakan seragam keki dengan topi bulu kuskus dan noken – tas tradisionil di dada. Senyumnya merebak, ia telah menjadi bagian dari kehidupan Asmat, bagian yang sangat penting. Pada 12 April 2003 setelah dilantik sebagai Penjabat Bupati Kabupaten Asmat di Jayapura,  maka dalam proses pemekaran wilayah Wiro Yosef Watken telah menjadi orang pertama di
Asmat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pengembangan Asmat ke depan.
Di samping Bupati Wiro Watken tampak Nyonnya Walboga Bernadheta Moperteyao – Ibu Wiro Watken, satu-satu wanita  yang pernah dikenal dalam hidupnya. Dua anak laki-laki Bupati Wiro Watken, Marselinus Watken dan Amatus William Watken bersama rombongan, yaitu anak menantu, ajudan, dan reporter Rajawali Citra Televisi Indonesia ada pula menyertai. Suasana di Lapangan Yos Sudarso menjadi gegap gempita oleh irama pukulan tifa, suara pekikan, dan hentakan kaki yang menari-nari. Seorang penjemput menjadi begitu cemas apabila papan jembatan menjadi roboh, akan tetapi kecemasan itu tak terbukti.
Suara gegap gempita itu terhenti, ketika Bupati Wiro Watken memegang gagang pengeras suara kemudian menyammpaikan sambutan. Bahwa ia sangat berbahagia dan berterima kasih terhadap sambutan masyarakat yang sangat meriah. Bahwa noken yang dikalungkan di leher dalam keadaan kosong merupakan suatu symbol terhadap segala tugas dan tangyung jawab yang harus dipenuhi dalam rangka pembangunan  Asmat. Pernyataan Wiro Watken segera disambut dengan sorak sorai dari sekalian masyarakat sebagai suatu sikap yang membenarkan pernyataan itu.
Pertemuan dan kunjungan Bupati Wiro Watken ke Asmat merupakan untuk yang pertama kali. Wiro Watken adalah nama yang tiba-tiba muncul menjelang hari pelantikan Bupati Kabupaten Asmat, menggeser nama-nama yang lain. Dari sekalian masyarakat  Asmat hanya sedikit yang mengenal Bupati Wiro Watken secara dekat. Selebihnya bertanya-tanya, siapakah Wiro Yosef Watken?
***
Wiro Yosef Watken lahir di Waropko, 25 Februari 1949. Watken merupakan nama ayahanda, ibunda bernama Ambrasi Ambop. Wiro anak ketiga dari empat bersaudara. Saudara pertama meninggal setelah perkawinan, saudara kedua diculik Organisasi Papua Merdeka pada tahun 1979, ia pergi tak pernah  kembali lagi. Saudara keempat meninggal karena sakit, sampai saat ini dari keempat orang Watken yang dilahirkan Ambrasi Ambop, hanya Wiro Yosef Watken yang masih ada.
Sejak kecil Wiro menjalani kehidupan secara apa adanya, seperti halnya air yang mengalir. Air bergerak, karena kekuatan alam yang tidak dapat dilihat, yaitu gravitasi. Lingkungan seputar Wiro adalah hutan lebat, tanah keras yang memungkinkan berjenis-jenis tanaman tumbuh dan berbuah sebagai bahan konsumsi sehari-hari dan manusia bertahan hidup atasnya. System perladangan berpindah menjadi suatu strategi adaptasi masyarakat setempat dan Wiro kecil menjadi bagian pula di dalamnya. Masa kanak-kanak masih lekat dalam ingatan, ketika Wiro pergi dengan teman-temannya membakar sukun di hutan, menyelam bersama ikan-ikan di sungai atau beramai-ramai  memetik pisang dan segala jenis buah-buahan.
Tahun 1958 Wiro harus berhadapan dengan  kenyataan pahit yang sulit diyakini, umurnya belum genap 10 tahun. Watken senior, ayahanda meninggal dunia, menghadap Sang Pencipta. Wiro tak dapat mengerti, mengapa kematian itu harus terjadi? Ia masih seorang anak, ia harus berfikir keras dan menguatkan hati untuk menghadapi kenyataan, bahwa sosok yang menjadi asal mula kehidupannya telah pergi untuk selama-lamanya. Wiro duduk bersimpuh di pemakaman dengan suatu perasaan terguncang yang sedemikian dalam, sehingga ia tidak dapat melukiskan perasaan, bahkan setelah berpuluh tahun kematian itu berlalu.
Wiro kembali dari pemakaman dalam suasana hati yang limbung, ia ingin kembali mendapatkan kehidupan bersama orang yang dicintai, tapi ia sadar, ia tak pernah berkuasa untuk melakukannya. Kematian itu harus diterima sebagai takdir, kehendak Yang Maha Kuasa yang pasti terjadi pada setiap insane. Ia masih memiliki seorang wanita, ibu yang dapat melindungi dan membesarkannya. Kepada ibunda Wiro  menggantungkan hidup. Ia tinggal  bersama ibunda di dusun, berpindah dari satu ladang ke ladang yang lain supaya dapat memetik hasil bumi. Paman Wiro ingin menjadi pelindung dan berniat mengambil ambrasi Ambop sebagai istri, tetapi wanita itu keberatan. Suami memang telah tiada, tetapi kengan atas dirinya tetap hidup,  menjadi suatu kekuatan untuk membesarkan anak-anaknya. Ambrosi tak pernah ragu akan hal itu.
Wiro kecilpun bertahan pada kehidupan yang sudah menjadi suratan, ia tak menolak ketika harus beradaptasi dengan bangku Voor Class – Sekolah Rakyat, setara dengan Sekolah Dasar saat itu. Meskipun proses adaptasi dengan bangku sekolah bukanlah suatu hal yang mudah bagi Wiro. Selama tiga tahun pertama duduk di bangku Voor Class, Wiro lebih banyak meninggalkan kelas, “lari” dengan teman-temannya untuk membakar sukun di hutan, memetik pisang atau meramah sagu kemudian menyelam bersama ikan-ikan kecil di sungai. Pakaian yang dikenakan pada saat itu adalah buah luayu, pakaian tradisional yang dikenakan masyarakat pada umumnya. Wiro tak pernah merasa asing dengan jenis pakaian itu, karena teman-teman mengenakan pakaian serupa. Maka, bersuka rialah anak-anak itu di tengah hutan pada jam sekolah.
Tahun 1961 ketika usia Wiro menjelgn 12 tahun, ia harus ke Mindiptana untuk meneruskan sekolah VVS – Ver Volk School, Sekolah Rakyat Lanjutan, setara dengan Sekolah Dasar. Pada saat itu Wiro mulai mengenakan pakaian seragam, sama seperti teman-teman  yang lain. Ia tinggal di asrama yang dikelola Pemerintah Belanda dengan disiplin yang tinggi. Wiro tak ingat berapa banyak siswa yang tinggal di asrama, tapi rasanya banyak sekali, sekitar ratusan, semua berasal dari Waropko dan Mindiptana. Kehidupan di asrama telah memisahkan Wiro dari ibunya, tapi Wiro tak merasa aneh dengan perpisahan itu. Ia harus sekolah, jarak dari rumah ke bangku sekolah amatlah jauh. Ibunda harus bertahan di dusun, perpisahan terjadi, Wiro menjalani perpisahan itu dengan wajar pada usia sangat belia.
Sampai di asrama kebiasan lari bagi Wiro tak pernah berubah, terlebih karena peraturan yang sangat ketat, tak pernah dimengerti sebelumnya. Sementara teman-teman seangkatan mengalami hal yang sama. Di saat-saat yang membosankan, Wiro dan kawan-kawan meninggalkan tembok asrama untuk sekedar bermain-main di luar. Anak-anak yang jejak kakinya lebih kecil meninggalkan asrama secara diam-diam terlebih dahulu, kemudian yang lain menyusul, menginjak jejak kaki di depannya secara rapi. Demikian seterusnya, siswa dengan telapak kaki terbesar akan menginjak seluruh telapak kaki yang ada. Ketika pengawas datang memeriksa situasi asrama, ia akan mengira hanya satu orang yang meninggalkan asrama dengan jejak kaki yang besar, meski kenyataannya ada banyak siswa yang lari, termasuk Wiro.
Wiro terbiasa dengan kenakalan, sampai suatu ketika seorang  pengawas, Broeder Paulus menjadi sedemikian marah, memukulnya keras-keras, sehingga pendengaranya terganggu. Rasa sakit membuat Wiro menjadi m engerti, ia tak bisa berlarut-larut dengan kenakalan. Disiplin sangatlah penting, ia harus memulai prose situ. Suatu ketika seorang kerabat jauh yang telah menjadi bestir – camat berkunjung ke kampung untuk mengadakan syukuran. Ia mengenakan seragam yang rapi dan gaya. Wiro tertegun, kedatangan itu telah membuka mata  hati Wiro, tentang suatu kehidupan lain. Kehidupanyang lebih terarah, rapi, bergaya, diliputi tanggung jawab sekaligus rasa hirmat. Dalam diri Wiro mulai berpikir, adakah suatu saat ia bisa menjadi seorang bestir? Suatu sosok yang menjadi tokoh sentral pada sebuah pertemuan, seorang pemimpin, dan sejumlah predikat lain.
Wiro memendam tanda Tanya itu, sebuah keinginan yang tak mudah untuk dijawab, waktu yang ditempuh masih panjang. Akan tetapi, bukankah setiap orang berhak akan cita-cita? Mungkin Wiro tak benar-benar menyadari keinginan itu, tetapi ia mulai dapat memahami arti kesungguhan. Bahwa dalam menjalani hidup manusia pasti memiliki tujuan. Bahwa untuk mencapai tujuan manusia harus bekerja keras, kenakalan itu cukuplah sudah. Ia harus menjalani hidup dengan segala kesungguhan hati. Peruabahan perilaku Wiro telah menimbulkan rasa simpati, sehingga akhirnya ia menjadi anak emas penjaga asrama. Ia bisa leluasa keluar masuk pada setiap ruangan, membersihkan kamar kerja petugas berkebangsaan Belanda, menyalakan disel. Siswa-siswa lain tak pernah mendapatkan kesempatan seperti itu. Wiro layak berbangga diri.
Pemerintah Belanda sebagai  pengelola asrama, mendidik setiap siswa secara professional. Anak-anak bukan hanya dijejali materi pendidikan, tetapi ditelusuri bakat dan kemampuannya, sehingga siswa yang bersangkutan dapat menerima materi dengan rasa senang. Bersekolah akhirnya menjadi hal  yang menyenangkan, bukan proses yang lelah dan membosankan, Wiro terbawa arus di dalamnya. Iapun menyadari, bahwa belajar merupakan bagian dari hidup – bagian yang sangat menentukan. Proses adaptasi terhadap system pendidikan bagi Wiro, terlewat sudah.. Tak ada lagi kenakalan atau kebiasaan lari. Pada libur semester Wiro kembali ke Waropko untuk mengunjungi ibunda. Selesai liburan Wiro kembali ke Mindiptana, meneruskan sekolah, menjelang hari-hari dengan wajar. Ia dan semua penghuni asrama mendapatkan segala fasilitas hidup dengan lengkap, konsumsi sehari-hari, pakaian, dan alat tulis, beban hidup karena berpisah dengan orang tua banyak berkurang. Bahkan seakan tak terasa lagi.
Tahun 1962 Irian Jaya berintegrasi ke Indonesia. System kerja Pemerintah Belanda bergoyang. Tahun 1963 Wiro menyelesaikan pendidikan VVS. Ia dan Dominikus Ukai – Akhirnya menjadi Sekretaris Daerah pertama Kabupaten Boven Digul dinyatakan sebagai lulusan terbaik. Pada tahun itu juga Wiro  meneruskan sekolah lanjutan di Merauke. Bersama 60 rombongan Wiro berjalan kaki ke Tanah Merah selama dua  hari satu malam, kemudian terbang ke Merauke menumpang Pesawat Dakota. Penerbangan itu berarti, bahwa jarak dengan orang tua semakin jauh. Wiro bahkan taka mampu lagi berpikir, bagaimana ia dapat mengunjungi ibunda suatu hari nanti. Ia telah menjadi bagian dari suatu system dengan jaringan yang semakin melebar dan terus bergerak. Seperti halnya buih-buih air, Wiro terbawa serta arus sungai yang semakin lama semakin deras untuk mencapai tujuan.
Tahun 1964 Wiro masuk ke asrama Sekolah Mengah Pertama milik missionaries. Di dalam asrama tinggal seluruh siswa dari seluruh distrik di Merauke. Pemerintah Belanda masih memberikan subsidi untuk konsumsi sehari-hari, pakaian, dan perlengkapan sekolah, sehingga siswa-siswa tak mengalami kesulitan dalam proses belajar. Sementara situasi Kota Merauke membuat Wiro menjadi heran. Ia harus melihat, berhadapan langsung, bahkan menjadi bagian  hidup di dalamnya.
Merauke adalah jalanan panjang beraspal dengan aneka k endaraan bermotor meluncur di atasnya, sepeda, motor, dan mobil. Rumah penduduk dan gedung-gedung juga tampak sedemikian besar. Sementara penduduk yang menetap di Merauke terdiri atas bermacam-macam suku, suatu hal  yang tak terjadi di tempat kelahirannya. Wiro harus beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya, sehingga ia dapat diterima di dalamnya.
Di antara teman-temannya Wiro termasuk yang paling kecil, iapun dianggap kecil di lingkungan bermain. Wiro tak dapat melupakan, betapa ia sering diejek dan dipukuli teman-temannya, ia merasa sakit dan sakit hati. Setiap pembagian rokok pada hari Minggu, senior pasti mencuri rokok itu, Wiro selalu kehilangan jatah rokok. Sampai akhirnya Wiro sengaja mengisi ampas kikisan pensil di dalam lintingan rokok kemudian meletakkan begitu saja. Ketika senior bersemangat mencuri rokok yang diperoleh hanya kikisan pensil, bukan rokok. Mula-mula senior sangat marah, karena merasa dipermainkan, tetapi setelah menyadari kesalahannya, mereka menjadi malu, tak pernah mencuri lagi.
Sementara prestasi Wiro di sekolah termasuk biasa-biasa saja, ia tak pernah menonjol. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati, apa kesalahannya? Dalam suasana hati yang gamang Wiro berdoa di depan patung Bunda Maria , memohon jawaban. Ia pun berdoa bagi ibunda, seorang wanita yang bertahan, menetap nun jauh di dusun sana. Di dalam doa ini Wiro kembali mendapatkan kedamaian. Ia mulai memikirkan rencana hidup ke depan, ia sadar sepenunnya harus bersungguh-sungguh.
Tahun 1966 ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia, Wiro benar-benar merasakan kesulitan hidup. Ia dan kawan-kawan sekolah belum cukup untuk sekedar memahami, mengapa peristiwa mengerikan itu terjadi, sehingga mereka harus berhadapan dengan situasi yang sedemikian sulit? Keadaan sulit menyebabkan asrama bergabung dengan siswa Sekolah Menengah Pertama Michael. Sembilan bahan kebutuhan pokok tiba-tiba menghilang dari pasaran, masyarakat harus menunggu dalam antrian panjang  untuk mendapatkan. Subsidi dari asrama dicabut, kecuali konsumsi tiga kali sehari, kesulitan hidup kian menekan. Menjelang upacara di sekolah, Kepala Sekolah menceritakan situasi yang terjadi di Obu Kota Jakarta. Wiro tak punya pilihan lain kecuali beradaptasi dengan situasi yang terus memburuk untuk bertahan hidup.
Wiro pernah memasukkan kain seragam Praja Muda Karana kepada seorang penjahit dengan harapan, ia akan dapat memperoleh uang  untuk membayar harga jahitan. Akan tetapi, sampai enam bulan kemudian uang itu tak pernah tergenggam di tangan, akhirnya penjahit  itu memberikan sergam tanpa memungut biaya. Sementara di sekolah Wiro memiliki kebiasaan menyambar lenso – sapu tangan siswi-siswi sebagai suatu permainan yang menggelikan. Suatu ketika dari sehelai lenso yang disambar tersimpan uang Rp. 60,00. Wiro terbelalak dengan uang itu, ia tak pernah berniat mencuri, ia hanya sekedar bermain. Kini ia mendapatkan Rp. 60,00 di dalam lenso, ia dapat membeli dua belas batang sabun, kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi, baik untuk mandi maupun mencuci. Wiro tak perlu berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Ketika siswi yang kehilangan mulai sibuk mencari-cari, Wiro memilih diam, ia bersikap seolah-olah tak pernah menemukan Rp. 60,00 pada selembar lenso. Sampai pelajaran usai Wiro tetap berdiam diri, uang itu menjadi hak miliknya. Dengaan perhitungan yang cermat Wiro memanfaatkan Rp. 60,00 untuk membeli sabun mandi, sabun cuci, buku tulis, dan kue. Dengan demikian, maka kesulitan hidup Wiro dalam beberapa hari teratasi sudah.
Wiro menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1966, ia telah tiga tahun berpisah dengan ibunda. Tiba-tiba Wiro merasakan rindu sedemikian dalam, hal serupa dirasakan pula oleh teman-teman lainnya. Mereka ingin sekedar berlibur ke kampung, tetapi jarak antara Merauke Waropko amatlah jauh. Sementara keadaan sulit telah menghentikan jadwal penerbangan pesawat. Meski demikian keinginan untuk berlibur mengunjungi orang tua tak terbendung lagi. Bersama 13 orang kawan Wiro bersepakat untuk berjalan kaki dari Merauke ke Mindiptana. Kesepakatan ini disetujui pihak Missionaris yang terus memantau perjalanan ke kampung via radio.
Pada bulan Oktober 1966, saat kemarau sampai di akhir musim Wiro bersama kawan-kawan satu kampung, semua berjumlah 14 orang memulai  perjalanan. Abraham Kuruwaip – kelak menjadi Kurator Museum Kemajuan dan Pengembangan Asmat kemudian menjadi Ketua Dewan Perkawilan Rakyar Propinsi Irian Jaya, bertindak selaku ketua rombongan. Perjalanan dimulai dengan menumpang Kapal Motor Maro milik Missionaris dari Merauke hingga ke Kampung Po, sebuah k ampung yang menjadi tempat libur umum. Setelah itu perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki dari Po hingga ke Kuwei selama satu  hari satu malam. Rombongan kecil itu menyusuri jalan setapak di tengah hutan. Pada malam hari bersama-sama mereka membuat bevak – pondok sederhana, menyalakan api unggun untuk menghalau berbagai jenis serangga dan binatang jahat. Pada siang hari ketika matahari panas membakar dan persediaan air habis, ketua rombongan Abraham Kuruwaip kehausan. Ia hamper menyerah dengan perjalanan ini. sebagai jalan keluar terpaksa mereka membuka kaleng sarden, memberikan kepada Abraham. Abraham perlu istirahat beberapa lama sebelum akhirnya rombongan itu terus berjalan menuju ke Kampung Kuwel dan kebutuhan akan air dapat terpenuhi dengan baik.
Sampai di Kuwel seorang anggota rombongan  mengundurkan diri, tersisa 13 orang. Di antara seluruh anggota rombongan Wiro adalah yang paling kecil dan mudah diatur. Rombongan itu selanjutnya meneruskana perjalanan menuju ke Bupul dan Muting. Sampai di Muting seorang anggota rombongan kembali mengundurkan diri, jumlah tersisa 12 orang. Pihak Missionaris terus memonitor perjalanan itu via radio dari kampung ke kampung. Wiro meneruskan perjalanan tanpa keluh kesah. Ia tak menyesali, Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia telah meletus, bahwa gerakan itu telah menghancurkan seluruh system kehidupan masyarakat, pesawat Dakota tak lagi terbang, ia harus merambah hutan berhari-hari lamanya untuk mengunjungi orang tua. Perjalanan ini ditempuh dengan kerelaan hati.
Setelah satu orang menyerah di Muting, rombongan terus berjalan menuju Sklil – Terek --  Nanggo. Sampai di Getentiri perahu motor milik Missionaris menunggu. Perjalanan diteruskan dengan kendaraan air hingga ke Tanah Merah. Setelah 14 hari perjalanan, maka rombongan sampaidi Waropko. Wiro bertemu dengan ibunda, wanita itu masih tetap berkebun untuk bertahan hidup. Kunjungan Wiro Watken setelah tiga bulan masa pendidikan merupakan suatu hal yang lebih dari sekedar menyenangkan. Ananda telah remaja dan bersiap menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Kelak, ia akan memiliki kehidupan lain dari pendidikan yang telah diperoleh, bukan lagi ketergantunag terhadap hutan atau lading. Akan tetapi, terhadap suatu system, kemungkinan-kemungkinan untuk merubah nasib sendiri serta nasib orang-orang disekitarnya.
Kurang tiga bulan lamanya Wiro menetap dengan ibunda, ia seakan kemebali pada kehidupan masa lampau sebelum menjadi bagian hidup di tempat yang lebih ramai dengan system pendidikan yang lebih teratur. Kehidupan di kota amatlah berbeda dengan kehidupan di dusun. Kehidupan Wiro telah berubah menjadi sedemikian jauh, ia telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan berniat  meneruskan ke Sekolah Menengah Atas. Ibunda tetapsebagai sosok yang mulia. Wiro tak pernah menyadari, bahwa pertemuan itu merupakan pertemuan untuk yang terakhir kali.
Pada Januari 1967 Wiro berpamit kepada ibunda, ia harus kembali ke Merauke, Wiro tak punya firasat atau perasan apapun, kecuali keinginan untuk kembali mengunjungi ibunda pada libur sekolah berikutnya. Wiro berangkat bersama rombongan, ada tiga orang anak perempuan yang telah lulus Sekolah Dasar ikut serta untuk meneruskan sekolah ke Merauke, jumlah rombongan itu menjadi 15 orang. Saat itu musim hujan, jalan-jalan yang ditempuh basah dan berlumpur, tergenang air atau banjir. Rombongan it uterus menuju Nanggo - Terek – Seklil, dan Muting dengan bekal sagu lempeng dan kenari. Mereka singgah di kampung-kampung atau bermalam di bevak di tengah hutan dengan nyamuk, lintah, dan lalat babi berkeliaran. Semua mengikuti perjalanan tanpa keluh kesah. Demikian pula dengan tiga anak perempuan yang ikut serta, tidak ada yang menangis atau rewel. Hambatan yang ada ialah situasi banjir.
Sesampai di Po rombongan telah dijemput Kapal Motor Maro, maka keseluruhan rombongan itu tiba kembali di Merauke dengan selamat. Tak seorangpun sakit, hanya merasa sedemikian lelah, sehingga perlu berisitirahat. Kemudian Wiro melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas, masih tetap tinggal di asrama.  Keadaan hidup masih tetap sulit, kecuali konsumsi tiga kali sehari tak ada lagi subsidi. Wiro tak lagi mendapatkan uang saku untuk mencukupi kebutuhan sekolah. Ia tak mau menyerah, harus  mendapatkan jalan keluar. Teman-teman Wiro sering menangkap ayam yang berkeliaran di halaman asrama, memelihara di tempat tersembunyi hingga besar kemudian menjual kepada pak guru seharga Rp. 20,00 hingga Rp. 30,00. Uang sebesar itu digunakan untuk membeli pakaian, buku, pensil, odol serta sabun. Akhirnya Wiro melakukan hal yang sama untuk bertahan hidup. Ia tak  berniat melakukan kesalahan, tetapi dalam situasi seperti ini tak banyak yang dapat dilakukan. Ia melakukan hal serupa dengan teman-temannya, semata-mata untuk mensiasati keadaan sulit. Di samping itu Wiro berkebun, menanam bermacam jenis sayur kemudian menjual kepada pak guru.  
Wiro melampaui  keadaan sulit secara apa adanya, ia tidak pernah merasa menyesal atau tertekan. Demikian pula ketika ia harus pintar merawat satu-satunya pakaian yang dapat dikenakan ke sekolah. Siang hari setelah pulang sekolah Wiro akan segera mencuci pakaian itu kemudian menjemurnya di bawah terik. Pagi hari bila pakaian itu masih basah, Wiro mengeringkan dengan setrika arang, sehingga ia dapat pergi ke sekolah dengan pakaian rapi. Teman-teman Wiro mengalami hal serupa, masing-masing hanya memiliki satu stel pakaian ke sekolah dan merawatnya setiap hari dengan sebaik-baiknya. Teman-teman putrid hafal pemilik masing-masing pakaian yang sedang dijemur. Pada hari Natal Wiro dan teman-temannya perlu mengubah penampilan, mereka saling bertukar pakaian untuk beribadah.
Pada hari Natal pihak asrama menyediakan menu tambahan, Wiro dan teman-teman dapat bergembira, melupakan hari-hari sulit. Seorang kakak Wiro, Yan Renwarin yang kini menjadi Doktor dan mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Papua sering membantu Wiro dalam keadaan sulit dengan memberikan sepatu, celana, dan pakaian, sehingga Wiro dapat bertahan, karena kebaikan itu. Untuk semua kebaikan itu Wiro tak pernah melupakan. Wiro juga masih ingat, bila malam Minggu tiba, ia dan teman-teman akan pergi secara sembunyi di kebun memetik kelapa dan mangga milik suster. Hidangan tambahan yang diperoleh dengan sembunyi dan hati-hati itu sungguh  merupakan suatu hal yang menyenangkan, sehingga Wiro dapat sedikit menghibur diri ketika dalam ujian ia m endapatkan nilai empat.
Sementara prestasi Wiro di sekolah termasuk kategori rata-rata. Ia cenderung menekuni kegiatan ibadah, sehingga dapat menjadi koster –pelayan Gereja selama empat tahun sejak Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Mengah Atas. Selama menjadi koster wiro bertugas membantu Pastor menyiapkan ibadah di Katedral kemudian membereskan Gereja selesai misa. Wiro tiba kembali di asrama dalam keadaan terlambat, makanan sisa sedikit. Sementara dampak peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia terus berlarut-larut dan situasi asrama terus memburuk. Konsumsi sehari-hari seakan tak pernah terpenuhi. Ayam-ayam yang berkeliaran di asrama seringkali menghilang tanpa dapat dilacak jejaknya.
Satu kali Wiro mengajak dua orang teman yang lain mencari jalan keluar untuk mensiasati kesulitan konsumsi. Mereka menjebak ayam yang berkeliaran di asrama dengan memancingn masuk ke dalam dapur, sampai di dapur ayam itu dipukul keras-keras sampai mati kemudian dipotong, dimasak, kemudian dimakan bersama-sama. Wiro terus berupaya untuk mensiasati keadaan sulit. Salah satu hiburan dalam keadaan seperti ini adalah menjadi anggota drum band, sebagai  peniup terompet dengan nada do mi sol. Pada hari-hari besar Wiro akan bergabung dengan barisan drum band dengan pakaian seragam lengkap dan rasa bangga.
Tahun 1969 Wiro menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas, saat itu ia merasa dirinya sudah cukup dewasa, memutuskan bekerja di  kantor Imigrasi. Wiro diterima sebagai pegawai kemudian mulai aktif. Ketika ada pengumuman testing Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, Wiro ikut serta sambil  meneruskan pekerjaan di kantor Imigrasi. Akan tetapi, ketika baru dua minggu bekerja baru dua minggu bekerja Wiro mendapat kabar, bahwa mama telah meninggal dunia. Wiro merasa seluruh rencana kerja berantakan. Ia tak p ernah ingin mendengar kabar itu, tapi tak kuasa menolaknya. Wiro mencari uang untuk pulang. Ia menumpang pesawat ke Tanah Merah dan meneruskan perjalanan ke Waropko.
Sampai di Waropko Wiro terduduk di depan makam ibunda dengan hati lebam. Sulit untuk meyakini, bahwa orang yang telah melahirkan kemudian membesarkan telah berpulang, pergi untuk selama-lamanya. Wiro teringat tiga tahun lalu, ketika ia memutuskan pergi berjalan kaki dalam sebuah rombongan dari Merauke untuk mengunjungi ibunda. Ia tak pernah mengira, pertemuan saat itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu, maka ia tak akan pernah bertemu lagi. Wiro seakan mengapung di atas ruangan kosong. Ayahanda  telah  meninggal saat ia masih kanak-kanak, kini menyusul ibunda. Bukan suatu hal yang mudah untuk meyakini, bahwa ia telah kehilangan dua orang yang dicintai, ayah dan ibu. Ia memerlukan waktu y ang cukup panjang untuk beradaptasi dengan keadaan sulit. Kedua orang tuanya memang telah tiada, tetapi ia masih sangat muda dan harus tetap hidup. Perjalanan yang harus ditempuh belum berakhir sampai di sini. Wiro harus kembali ke Merauke setelah hari-hari berkabung.
Bersama kakak Wiro pergi ke Mindiptana terus ke Tanah Merah. Pada Februari 1970 Wiro menerima panggilan dari Jayapura untuk mengikuti pendidikan Akademi Pemerintah Dalam Negeri. Kepala Pemerintah Setempat segera memberikan prioritas kepada Wiro supaya dapat menumpang pesawat AMA ke Merauke. Sehari setelah sampai di Merauke, Wiro segera meneruskan penerbangan ke Jayapura dengan pesawat yang sama, seorang diri. Wiro mendarat di Bandara Sentani dengan segala rasa heran, ia telah menjadi bagian kehidupan dari Ibu Kota Provinsi, bukan hanya kabupaten. Di atas segala rasa heran akhirnya Wiro kebingungan. Ia diterbangkan ke Jayapura tanpa sepeserpun uang di saku. Ia memutuskan untuk menemui senior yang tinggal di Hamadi. Senior segera mengantar ke tempat pendafataran. Wiropun diterima, ia tinggal di asrama. Bergabung dengan mahasiswa lain dari bermacam suku dan m enjadi bagian hidup di dalamnya.
Wiro termasuk angkatan ke III di akademi, ia mahasiswa tugas belajar dengan masa kerja 0 tahun 0 bulan, sekaligus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dengan gaji Rp. 512,00 per bulan. Jumlah itu amatlah besar, Wiro dapat leluasa membeli keperluan sehari-hari, seperti sabun, odol, dan makanan. Selebihnya, Wiro banyak memberikan bantuan kepada adik-adik di Asrama Muyu untuk mengatasi kesulitan belajar. Wiro selalu ingat, bahwa ia sering dibantu senior dalam keadaan sulit, kini ia melakukan hal yang sama.
Setiap hari Wiro pergi ke kampus, mendengar, membaca, menulis, dan bersuara. Kemudian aktivitas berjalan seperti biasa. akan tetapi, pada malam hari ketika telah bersiap untuk tidur tiba-tiba Wiro teringat akan ibunda, wanita itu meninggal dalam usia muda, 40 tahun. Ia telah berjuang demi kelangsungan hidup ananda. Kini setelah anak yang dilahirkan mendapatkan kehidupan yang layak sebagai anak bangsa, wanita itu tak dapat lagi melihatnya. Wiro merasa seakan ditekan beban yang sangat berat, penyesalan, rasa kecewa, dan rindu tak berujung. Ia kehilangan motivasi untuk mencapai sebuah tujuan, hatinay terasa kosong. Berjam-jam lamanya Wiro terjaga dalam rasa gelisah, ia tak dapat membendung air mata. Berbulan lamanya Wiro tersiksa dalam keadaan seperti ini sampai akhirnya ia bertemu dengan Pastor Theo Yasan. Wiro menyampaikan segala kegundahan hati, berkaitan dengan kematian ibunda. Mereka berbicara selama kurang lebih tiga jam   dengan satu nasehat dari Pastor Theo, “Rubahlah kasihmu kepada setiap orang yang engkau temui, sebenarnya mama selalu berada di tempat itu”. Nasehat itu menjadi suatu dorongan bagi Wiro untuk mendapatkan kembali kekuatan hati, sehingga akhirnya ia dapat mengendalikan emosi dan dapat kembali menguasai diri.
Wiro kembali menekuni mata kuliah di kampus, ia tak terlalu dominan dalam mengejar nilai dari 14 mata kuliah yang ditempuh, 12 di antaranya harus diulang dengan her. Demikianlah kemampuan Wiro tanpa rekayasa. Tahun 1971 Wiro bersama teman seangkatan pindah ke Yaka – Sentani. Ia sudah bertekad  menyelesaikan kuliah dengan sebaik-baiknya. Pada Oktober 1073 Wiro kembali ke Mindiptana untuk penelitian dalam rangka penulisan skripsi. Saat itu Pak Samosir menjabat sebagai Kepela Pejabat Setempat di Mindiptana. Wiro mendapat tugas untuk mengadakan pemilihan kepala desa di Sesuruk, di hulu Sungai Muyu sebagai praktek lapangan. Wiro tinggal di rumah Pak Samosir atas kebaikan hatinya. Pada waktu senggang Wiro bermain-main dengan Irma, anak pertama Pak Samosir yang masih kecil, kelahiran Mindiptana. Sampai akhirnya Wiro dapat menyusun skripsi dengan judul: Beberapa Catatan Tentang Pembentukan Pemerintah Desa. Mengenai  kemampuan mengetik, Wiro memperoleh pelajaran dari Tejo Suprapto, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat di Jayapura, sehingga Wiro dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
Pada tingkat III Wiro mengenal Walboga Bernadet Moperteyao sebagai perawat di Rumah Sakit Dok II melalui salah seorang kerabat. Selama perkenalan itu kuliah Wiro terus berjalan, pada Oktober 1973 Wiro Yosef Watken dinyatakan lulus dari Akademi Pemerintah Dalam Negeri. Satu bulan kemudian, tepatnya pada November 1973 Wiro mendapatkan Surat Keputusan untuk bertugas di Kantor Bupati Wamena. Bulan Februari tahun berikutnya Wiro ditempatkan sebagai Seksi Pemilihan Umum Bagian Pemerintahan.
Ketika menjabat sebagai kepala seksi Pemilihan Umum Wiro berkeputusan untuk menikah dengan Walboga Berandeta Moperteyao pada tanggal 12 Juni 1974. Pernikahan itu adalah satu langkah yang diliputi tanggung jawab. Ketika salah seorang kerabat Wiro Watken berkata, “Adik, engkau berani sekali mengambil orang punya anak sebagai istri”. Tak terasa air mata Wiro nyaris gugur. Benar, ia telah memutuskan untuk memulai tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga. Tiga bulan setelah pernikahan itu, paada 1 September 1974 Wiro mendapat tugas di Oksibil sebagai Camat. Oksibil adalah salah satu kecamatan timur di Kabupaten Jayawijaya yang hanya dapat dijangkau dari Jayapura dengan pesawat AMA, setiap minggu bila tidak ada kendala cuaca. Dengan menumpang pesawat itu Wiro mengawali tugas di tempat terpencil. Walboga Bernadet Moperteyao yang telah menjadi Nyonya Wiro Watken ikut pula mendam[ingi, dengan Surat Keputusan MUtasi ke Pusat Kesehatan Masyarakat Oksibil tanpa banyak berkeluh kesah. Anak pertama dari perkawinan itu terlahir di Jayapura dengan nama Marselinus Watken. Anak kedua Amatus William Watken terlahir tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1977 di Absinibil – Ibu Kota Oksibil.
Oksibil adalah pegunungan dengan ketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut. Suhu pada siang hari sekitar 16 derajat celsius – 18 derajat Celsius, sedangkan pada malam hari turun hingga 4 derajat Celsius. Selebihnya medan yang sangat berat dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sembilan bahan kebutuhan pokok adalah barang yang tidak mudah untuk didapat, karena hanya bisa diangkut dengan pesawat. Konsumsi yang tinggi menyebabkan barang-barang cepat habis. Adapun penduduk Oksibil adalah masyarakat tradisionil dengan pakaian koteka – buah labu kering atau cawat dari rumput tikar. Wiro benar-benar ditantang menjadi pemimpin dalam situasi seperti ini.
Pada bulan Juni 1976 ketika istri sedang berada di Jayapura, Camat Wiro Watken beserta tim harus  mengadakan kunjungan ke desa-desa untuk membagikan brosur Pemilihan Umum. Musibah terjadi, gempa bumi tektonik berpusat di Bime, sebelah barat Oksibil, dengan jarak sekitar empat hingga lima hari berjalan kaki menyebabkan tanah longsor di Oksibil. Camat Wiro Watken sedang berada dalam perjalanan ke kampung-kampung ketika tanah terus berguguran di jalan-jalan yang telah dilalui. Rombongan terus melanjutkan perjalanan hingga ke tepi sungai dan jembatan ternyata sudah rubuh. Rombongan itu  berusaha untuk membuat jembatan rotan, tetapi tidak berhasil. Akhirnya mereka mendaki ke puncak bukit dalam keadaan lapar untuk meyelamatkan diri. Bahan makanan diperoleh dengan masuk ke kampung. Jalan utama telah rusak sama sekali, rombongan harus masuk ke dalam hutan untuk mencapai kampung kemudian mendapatkan umbi-umbian.
Sementara masyarakat telah mengasosiasikan bencana tanah longsor dengan  budaya setempat, dunia mau kiamat,  mereka memutuskan berdiam diri di dalam rumah menunggu kematian. Wiro Watken harus mengunjungi masyarakat untuk menanamkan suatu pengertian, bahwa kepercayaan itu keliru. Apabila masyarakat tetap bertahan di dalam rumah tanpa bekerja untuk mendapatkan umbi-umbian, mereka akan kelaparan dan pasti akan mati. Akan tetapi, bila mereka bertahan dalam situasi sulit dan tetap bekerja untuk konsumsi sehari-hari, maka mereka akan tetap hidup. Tanah longsor adalah bencana alam biasa bukan saat dating hari kiamat.
Setelah bencana itu reda, Wiro Watken kembali bekerja seperti sediakala. Tiap tiga bulan sekali Wiro menerima Rp. 34,000,00 sebagai biaya hidup, harga beras saat itu Rp. 110,00 per kilogram. Dengan uang sebesar Rp. 34,000,00 Wiro bisa membeli sekitar 390 kilogram beras. Tak ada biaya operasional uang dikirim untuk kelancaran tugas-tugas kantor, Wiro tak pernah mempersoalkan. Tiap kali patrol ke desa-desa dengan berjalan kaki Wiro akan kembali dengan ayam, babi, dan bermacam hasil kebun. Segala macam jenis pemberian itu merupakan bukti dari rasa hormat masyarakat.
Sementara tempat tinggal Wiro hanyalah ruangan 3 x 3 meter pada salah satu ruangan poliklinik swasta. CamatWiro Watken menjadikan ruangan mungil itu sebagai kantor, ruang keluarga, dan ruang makan, kamar tidur ada di loteng. Kantor dan staf camat tak pernah tersedia, Wiro menjalankan tugas-tugas kantor seorang diri di rumah tinggalnya.
Pada tahun yang sama Camat Wiro Watken harus berhadapan dengan keadaan bahaya. Hal ini terjadi ketika aparat Negara yang melakukan patrol secara tidak sengaja maupun tidak sengaja telah memetik tanaman masyarakat yang dirawat dengan susah payah. Masyarakat menjadi marah dengan adanya pengrusakan itu. Selama ini mereka berpedoman pada suatu filosofi, bahwa bibit tanaman adalah sangat  berharga, demikian pula dengan jerih payah petani ketika harus menanam, merawat, sebelum akhirnya menuai. Apabila ada seorang yang berkepentingan memetik hasil kebun, maka ia harus terlebih dahulu menanam dan merawatnya. Dengan filosofi tersebut, maka pengrusakan tanaman oleh aparat tersebut membuat masyarakat menjadi marah. Teguran yang diberikan, karena pengrusakan itu menyebabkan aparat yang bersangkutan  melakukan perlawanan dengan mencabut tiang bendera sebagai kayu bakar.
Camat Wiro Watken segera melaporkan tindakan ini kepada pejabat yang berwenang di tingkat kabupaten, sehingga aparat yang melakukan pengrusakan tanaman dan tiang bendera mendapat teguran keras. Kasus ini ternyata tidak langsung berhenti dengan teguran. Hari berikut ketika Wiro Watken mengadakan rapat di Gereja Oksibil, sore hari setelah rapat  itu Wiro bermain volley dengan aparat yang melakukan pengrusakan itu.
Tiba-tiba Wiro merasa gelisah, ia tak dapat bertahan lebih lama di lapangan volley,  karena gelagat yang kurang baik,  ia segera mengundurkan diri. Akhirnya ada informasi  yang menyatakan, bahwa sebenarnya telah direncanakan penembakan atas dirinya oleh aparat termaksud. Esok hari Wiro segera terbang ke Jayapura melaporkan rencana penembakan itu. Seminggu kemudian aparat keamanan yang bersangkutan segera ditarik dari Oksibil. Bahaya berlalu.
Tahun 1977 ketika Pemilihan Umum harus diselenggarakan, terjadi gejolak social di Wamena. Gejolak terjadi, karena persoalan panjang dalam birokrasi pemerintahan. Dalam proses birokrasi sering terjadi ketidakjujuran, kolusi, penipuan, bahkan pemerkosaan. Masyarakat Bakiem bukanlah komunitas yang mudah memaafkan, sementara adat kebiasaan berperang masih melekat dalam keseharian, dan korgoisme – kargo cold sebagai salah satu alairan kepercayaan masih dianut masyarakat setempat. Kemudian salah satu partai peserta Pemilihan Umum menjanjikan, bahwa apabila partai yang bersangkutan menang, maka Papua akan merdeka.
Situasi Wamena ibarat gumpalan kapas kering yang telah disiram dengan minyak. Ketika masyarakat mengadakan pesta adat dan mengundang serta enam orang aparat keamanan, kemudian mereka bersuka ria,makan minum hingga sekenyang kenyangnya. Kemudian enam orang aparat itu terlena, dan masyarakatpun menombaknya, pembantaian tak bisa dihindarkan. Kekerasan itu ibarat pijar api yang yang menyambar gumpalan kapas, Wamena pun menyala. Seluruh pasukan ditarik untuk mengamankan Wamena, menuntut keadilan bagi pembantaian itu. Di Oksibil tak ada tersisa satu pun aparat keamanan. Pemilihan Umum harus diselenggarakan. Wiro Watken terpaksa melaksanakan Pemilihan Umum dengan bantuan Peratahann Sipil. Selesai Pemilihan Umum Wiro Watken membuka pos baru di lingkungan Kampung Aboi, sebelah utara Abnisibil, perbatasan Kabupaten Kerom yang sekarang. Dengan pertimbangan, bahwa kampung itu sudah dikehendaki menjadi desa. Setelah tugas itu Wiro kembali kepada rutinitas dengan berbagai persoalan yang muncul.
Pada msyarakat Ngalum dan Kupel muncul moety – paruh masyarakat, yaitu BAsen dan Tukon. Paruh Tukon terdiri atas tiga marga, Mangki, Awalka, Dan BAyuka. Paruh Basen terdiri atas fam Mabin. Sementara fam Ningpada terdiam sebagai penonton. Dalam kehidupan sehari-hari paruh masyarakat tersebut hidup bersama-sama, tetapi tidak dalam adat dan pemujaan. Atanke – Tuhan,  perang dingin pun terjadi. Wiro Watken harus turun tangan untuk mendamaikan kelompok yang berperang itu dengan menanamkan suatu pengertian, bahwa Tuhan hanya satu, kitab hanya satu, sungguh pun gereja sebagai tempat ibadah berbeda. Perselisihan atau perang dingin tidak perlu terjadi.
Kemudian persoalan lain muncul berkaitan dengan keberadaan IIM, sekte King Me yang berasal dari Amerika dan bertugas dengan Gereja Katolik. Bentrok antara King Me dan masyarakat Kiwipin terjadi. Pertengkaran antara umat tak bisa dicegah, mereka saling curiga, saling  menuduh, berselisih, dan tak pernah saling mengunjungi sebagai jemaat Katolik. Wiro watken bahkan dianggap sebagai Camat Setan, karena ia menganut Agama Katolik.
Wiro Watken pun turun ke lapangan, menangkap pengacau untuk diamankan  kemudian diberi pembinaan, bahwa sikap itu keliru. Pihak keluarga pengacau berdatangan membawa babi sebagai tebusan, tetapi tebusan itu tidak diterima. Orang-orang yang mengacau tetap diamankan untuk pembinaan. Selesai pembinaan mereka dipulangkan, permusuhan tidak lagi terjadi.
Kemudian Wiro Watken harus berhadapan dengan situasi sebagai resiko penugasan di wilayah pedalaman. Saat itu Watken baru kembali dari Jayapura menumpang pesawat Cessna dengan pilot Albar Sulaiman, duduk di sebelah kiri pilot, mengencangkan sabuk pengaman. Ketika mendarat di landasan pacu b andara perintis ekor pesawat menghantam ujung lapangan. Wiro tak merasakan apa-apa, tetapi orang-orang yang berada di bandara, termasuk Pastor Pit Vandestap mengira, pesawat pasti celaka dengan jumlah korban jiwa. Sementara pilot Albar Sulaiman bersikap tenang seolah dalam pesawat tak terjadi bahaya yang mengancam. Setelah berhasil menguasai keadaan, Albar berkata, “Kita hampir celaka”.
Kata-kata itu membuat Wiro tersadar, ia baru terbebas dari maut. Ketika turun dari pesawat, menjumpai wajah Pastor Pit Vanderstap dengan muka merah padam, karena kecelakaan itu. Wiro kembali tersadar, ia merasa takut. Kuasa Tuhan telah menyelamatkan pesawat dan lima penumpang di dalamnya.  Wiro mengerti, betapa amat mahal kehidupan, betapa ia harus bersyukur terhadap perlindungan Yang Maha Kuasa.
Tahun 1983 terdapat sebuah kampung yang pada mulanya masih menampakkan kehidupan setiap kali Wiro melakukan patrol. Akan tetapi, semakin hari kehidupan di kampung itu semakin sunyi, akhirnya kehidupan di kampung itu berakhir sama sekali. Sesuatu telah terjadi.
Penyebaran keyakinan di wilayah ini agaknya telah diterapkan tanpa menyesuaikan diri dengan budaya local. Adat pemujaan masyarakat setempat dimusnahkan, diganti dengan keyakinan baru. Persoalan yang muncul adalah, tingkat pemahaman masyarakat belum mencapai untuk memahami keyakinan yang baru. Setelah budaya setempat hancur, keyakinan baru sulit difahami, manusia yang berada di dalamnya mengalami kekosongan jiwa. Mereka kehilangan kekuatan mendasar untuk memahami hidup, mentalnya menjadi sangat lemah. Mereka menderita penyakit batin yang tidak bisa disembuhkan, kematian dating secara perlahan-lahan. Manusia tak lagi tersisa, kehidupan di kampung itu hanya tinggal kenangan.
Kasus itu menutup seluruh tugas Wiro Watken di Oksibil, ia mutasi ke Wamena sebagai Kepala Sub Bagian Pemerintahan Desa. Satu hal yang dilakukan Wiro Watken dalam status itu adalah memekarkan Desa Vandikma, Pass Valley. Setelah itu Wiro Watken bersama istri dan  empat orang anaknya, Marselimus Watken, Amatus Watken, Susana Ani Maria, dan TArsis Eric Watken berangkat ke Jakarta. Wiro Watken menerima tugas belajar di Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta. Perjalanan ini merupakan yang pertama kali bagi Wiro Watken, bahwa ia dapat  melihat kehidupan di luar Papua, di ibu kota Negara.
Empat orang anak Wiro Watken sekolah di Jakarta. Anak pertama, Marselinus Watken menyelsaikan pendidikan di Sekolah Dasar 67 PAgi Jeruk Purut Jakarta. Sementara Bernadet mengambil cuti di luar tanggungan Negara dengan resiko gaji dicabut, setiap bulan Wiro sekeluarga harus menghemat dengan Rp. 85,000,00 dari gaji dan tunjangan tugas belajar. Biaya sewa rumah selama tiga tahun sebesar Rp. 450,000,00 telah dibayar di muka, Wiro tak perlu memikirkan pembayaran rumah untuk tahun-tahun berikut. Tiap bulan ketika tiba saatnya menerima gaji, ia harus menutup seluruh pengeluaran rumah tangga.
Satu kali setelah pemotongan, dari seluruh gaji yang diterima hanya tersisa Rp. 1,000,00. Hari itu Berandet hanya menghidangkan nasi putih tanpa lauk pauk. Marselinus mengeluh, “Hari ini bapa terima gaji, mengapa kita makan nasi tanpa lauk?” kata-kata itu membuat Wiro terdiam. Ia harus menyadari betapa tidak mudah kehidupan yang dijalani. Tanpa terasa air mata Wiro Watken terjatuh. Kata-kata itu seakan cambuk yang melecut, ia harus berkeras menyelesaikan tugas belajar.
Pada malam hari di bulan Oktober 1984, musibah itu terjadi. Sebuah ledakan memporak porandakan gudang senjata mariner Cilandak hingga radius tiga kilometer. Ledakan itu sunggug-sungguh menakutkan, Wiro mengajak keluarganya mengungsi ke kampus. Aula kampus segera dipenuhi pengungsi. Sementara pengungsi terdiam dalam rasa takut, ledakan berikut terjadi, sedemikian keras ledakan itu, sehingga kaca-kaca aula pecah berkeping-keping. Untuk yang kedua kali Wiro mengajak keluarganya ke tempat yang lebih aman sambil membawa beban dan seluruh surat-surat penting. Pengungsi lain melakukan hal yang sama, rombongan pengungsi tampak sebagai barisan panjang yang berbondong-bondong dengan segala beban di tangan. Sampai di suatu tempat yang disebut Warung Buncit rombongan pengungsi berhenti. Kendaraan penjemput telah menunggu, membawa rombongan pengungsi ke tempat yang lebih aman di Kuningan. Keluarga Wiro Wtaken tinggal selama seminggu di Kuningan dan  kembali ke rumah setelah keadaan aman.    
Tahun 1985 Wiro Watken kembali ke Papua untuk mengumpulkan data bagi penulisan skripsi. Wiro merasa sulit, ia tak memiliki persediaan uang untuk membeli tiket. Kesulitan itu terjawab ketika pemilik rumah sewa, Pak Saturi menawarkan 10 gram emas sebagai biaya perjalanan. Ibu Saturi dan Ibu Watken segera pergi ke pasar untuk menjual emas, kembali dengan Rp. 120,000,00 di tangan. Dengan uang itu Wiro pulang menumpang kapal ke Jayapura dan segera menstransfer uang ke Jakarta untuk mengganti 10 gram emas yang telah dijual.
Wiro Watken melanjutkan penelitian ke Mindiptana untuk penulisan skripsi. Ia mulai mengintropeksi diri, berkaitan dengan mata kuliah kepemimpinan yang diperoleh di bangku kuliah. Iapun mengerti, betapa mahal nilai kejujuran bagi seorang pemimpin. Ia mulai membandingkan tugas-tugas camat dengan teori yang diperoleh di Institut dan menjadi sadar tentang kekurangan dalam keterbukaan, administrasi, dan komunikasi. Untuk itu Wiro Watken berkeras memperbaiki diri.
Pada Desember 1986 Wiro Watken menyelesaikan pendidikan Institut Ilmu Pemerintahan, menunda keberangkatan ke Papua, MArselinus mesti menyelesaikan ujian Sekolah Dasar. Selama enam bulan Wiro Watken memanfaatkan waktu dengan bekerja di Yayasan Beriten Busi yang bergerak di bidang pendidikan. Mekanisme kerja yayasan memberikan pengalaman berharga, yaitu disiplin, kerja keras, mengatur waktu, dan menghemat tenaga. Setiap pegawai yang bekerja di yayasan harus membuat laporan harian dan baru diijinkan pulang. Honor yang diterima Wiro per bulan Rp. 100,000,00 ditambah Rp. 20,000,00 untuk transportasi.
Tahun 1987 bulan Juni Wiro Watken kembali memboyong keluarga kembali ke Wamena. Bupati JB. Wenas menempatkan di bagian secretariat Kabupaten Jayawijaya. Setahu kemudian Wiro pindah ke bagian pemerintahan dengan tugas baru yang tidak mudah, menilai  perilaku pegawai. Wiro Watken mencoba menerapkan mekanisme kerja di Yayasan Beriten Busi, tetapi tidak pernah berhasil. Situasi Wamena berbeda dengan Jakarta.
Dua tahun kemudian pada bulan November 1989 Wiro Watken mendapat Surat Keputusan sebagai Camat Tiom. Secara resmi pelantikan diselenggarakan  di gereja oleh Bupati JB. Wenas dengan khidmad. Akan tetapi, setelah naskah pelantikan ditanda tangani keributan terjadi, sekelompok masyarakat menyatakan penolakan. Mereka telah dikondisikan oleh seorang yang berkepentingan dengan jabatan camat, yang berkepentingan perlu meminjam tangan masyarakat untuk menyingkirkan Wiro Watken dari kursinya.
Wiro Watken terpaksa menyingkir, ia bermaksud mengembalikan Surat Keputusan Camat. Akan tetapi, BUpati JB Wenas tetap berpegang pada pendirian, laksanakan tugas. Enam bulan kemudian Wiro Watken kembali ke Tiom dengan acara serah terima berlangsung dengan aman. Kurun waktu enam bulan kiranya telah meredakan gejolak masyarakat, mereka tidak lagi membuat keributan bagi penolakan. Wiro Watken memboyong  keluarga ke Tiom. Seorang anak meneruskan pendidikan di Jayapura, seorang lagi bertahan di Wamena. Tiga bulan setelah acara serah terima, Camat Wiro Watken menerima surat penolakan dari beberapa kepala desa yang didalangi oleh seorang staf secretariat, berinisial YL. Surat penolakan itu ditulis dengan menggunakan mesin ketik kantor, dengan pernyataan keberatan supaya Wiro Watken menyingkir dan camat laij bisa  duduk di kursinya. Tanggapan BUpati JB Wenas terhadap surat penolakan itu adalah, “Tidak!” TUgas Wiro Watken sebagai camat harus tetap dilaksanakan. Wiro kembali bekerja, ia harus beranggapan surat itu tak pernah ada.
Situasi yang tidak mendukung ini menyebabkan Wiro Watken terpacu untuk mengoreksi diri. Ia m engingat kembali masa tugas di Absinibil, menata ulang kepemimpinan serta manajemen. Wiro member kepercayaan kepada staf, Lefteren Jikibalon, Martinus Rumboi, dan Samuel Tandilolo dalam pembagian tugas. Staf yang bersangkutan dimotivasi sedemikian rupa, sehingga mereka berebut satu-satunya mesin ketik supaya cepat  menyelesaikan pekerjaan. Hal yang sangat menarik adalah, bahwa masyarakat Tiom sangat fanatic beragama, pembinaan  masyarakat diterapkan dengan berpedoman pada Injil.
Matius berbicara tentang talenta, bahwa dalam hidup ada orang yang meiliki satu talenta, karena takut talenta itu dikubur ke dalam tanah. Ada yang menerima dua talenta, kemudian dikembangkan menjadi empat. Ada yang terima talenta dikembangkan menjadi sepuluh. Orang yang menerima satu talenta kemudian menguburnya adalah orang yang malas, orang yang bersangkutan bicara politik praktis, menghasut, melakukan tindakan negative. Orang yang menerima dua dan lima talenta kemudian mengembangkan adalah orang yang dapat menerima saran, mau bekerja keras dan berupaya untuk maju.
Selama satu bulan penuh Wiro Watken berkeliling ke-15 desa di Kecamatan Tiom untuk menyampaikan hal ini. dengan satu tujuan, masyarakat harus bekerja keras memanfaatkan segala  yang dimiliki untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Tangan masyarakat mulai terbuka, Wiro Warken segera menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tiom dengan segala tanggung jawab yang harus dipikul.
Ketika dana Bantuan Desa sebesar Rp. 10,000,000,00 dicairkan, dana itu diletakkan di atas meja. Pendidikan Kesejahteraan Keluarga mendapatkan Rp. 1,000,000,00, sedangkan yang Rp. 9,000,000,00 dibagikan kepada kepala desa. Arahan diberikan, masing-masing desa membuat kelompok, dengan syarat kelompok yang bersangkutan harus membuat konservasi alam, terasering, membentuk pengurus kelompok tani. Masing-masing kelompok tani harus membuat skala prioritas, kolam ikan, ternak kelinci, bawang putih, dan kopi. Dengan perhitungan apabila program yang satu gagal program yang lain dapat menutup kegagalan itu.
Setelah program diterapkan, Wiro Watken membentuk tim gabungan yang terdiri atas Unsur Pimpinan Setempat, pertanian, kesehatan, pendidikan, dan Badan Pengkajian Pengembangan Teknologi untuk melakukan evaluasi. Tim gabungan tersebut kemudian berkeliling ke desa-desa untuk mengevaluasi  hasil kerja dari kelompok-kelompok petani, kemudian diberi penjelasan, mengapa suatu program dapat gagal sedangkan yang lain berhasil. Dievaluasi pula kepengurusan dalam organisasi dengan menanyakan kepada kepala desa, bagaimana kinerja Petugas Penyuluh Lapangan dan kelompok organisasi. Pertanyaan juga diajukan kepada ketua kelompok sebagai cek cross, apakah dana Pembanguna Desa yang disampaikan kepada Kepala Desa telah diteruskan kepada kelompok? Dengan demikian, maka masing-masing pihak, baik kepala desa maupun ketua kelompok tidak saling menipu, sehingga sebagian besar program yang diterapkan dapat dinyatakan berhasil.
Keberhasilan itu tampak sudah, pada acara pangan sedunia yang diselenggarakan pada tanggal 16 Oktober 1990 – 1991 – 1992. Pada kesempatan itu telah dipamerkan ubi terbesar, tomat terbesar, ayam terbesar, ikan terbesar, kelinci terbesar, sapi terbesar, babi terbesar, kelompok tani yang memiliki terasering terbanyak, anggota koperasi terbanyak, jalan  kelompok terbanyak. Para pemenang dalam lomba ini mendapat hadiah parang, sekop, dan kawat ram untuk kandang kelinci. Satu h al yang dapat dipelajari sekaligus dimanfaatkan oleh peserta adalah menciptakan persaingan yang sehat antar kelompok.
Pada pameran tahun 1991 Bupati JB. Wenas berkunjung ke Tiom untuk menyaksikan pameran, berkomentar, “Luar biasa!” Camat Wiro Watken teringat pada saat pertama ketika masyarakat terprovokasi untuk menolak kedatangannya sebagai camat menggantikan Jikibalon. Waktu itu ia merasa begitu kalah. Kini, setelah ia mampu mengakumulasi seluruh kekuatan masa dalam pameran tahunan dan  mendapat perhatian khusus dari Bupati, Wiro menyadari, sebenarnya ia tidak pernah kalah. Atau, ia telah menebus kekalahan itu. Camat Wiro Watken juga teringat pada masa kanak-kanak, ketika untuk yang pertama kali ia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang bestir. Setelah berpuluh tahun rentang waktu dan kerja keras, akhirnya ia dapat mencapai cita-cita itu. Kini ia adalah seorang bestir – seorang camat.
Kemudian Wiro meneruskan tugas-tugas rutin yang tak bisa dilepaskan. Tiom adalah wilayah yang dapat dicapai dalam 20 menit penerbangan, enam jam kendaraan kendaraan bermotor, dan dua h ari dua malam berjalan kaki. Wiro pernah menempuh ketiga cara itu sebagai suatu hal yang biasa. Sementara Bernadet bekerja di Pusat Kesehatan Masyarakat dan anak-anak tetap pergi ke sekolah. Tahun 1992 ketika pameran pangan kembali diselenggarakan, maka Profesor Satari dari   Badan Pengkajian Pengembangan Teknologi memberi nilai A bagi  hasil kelompok tani. Wiro Watken mengerti, ia telah menuai jerih payah selama ini. perjuangan hidup yang telah dilalui bertahun-tahun tidak membuatnay gagal, meski Tiom bukanlah wilayah dengan kondisi geografis yang menguntungkan. Hujan es dapat turun sewaktu-waktu. Setahun sekali kabut putih turun bertepatan dengan saat bulan terang. Kemudian udara menjadi dingin, semakin dingin seakan membeku. Seluruh keluarga harus berdiang di depan tungku untuk menghalau udara beku. Pagi-pagi ketika matahari bersinar cerah dan semakin lama semakin panas itu menyengat, maka semua tanaman rusak. Dalam situasi seperti ini, maka pemerintah kabupaten sudah siap dengan bahan makanan untuk konsumsi masyarakat.
Untuk mengantisipasi kerusakan tanah Camat Wiro Watken menerapkan suatu teknis menyiapkan lahan bagi masyarakat supaya erosi tidak terjadi, yaitu system terasering. Dengan filosofi, kemiringan tanah, masyarakat lading berpindah, sementara tanah kekurangan zat nitrogen. Untuk menutup kekurangan itu dibuatlah peternakan kelinci. Kelinsis memiliki tiga fungsi sekaligus, untuk konsumsi sehari-hari, disamak kulitnya, kotoran dibuat pupuk kompos. Dengan cara seperti ini maka keseimbangan ekosistem dapat terpelihara. Sementara sumbangan Badan Pengkajian Pengembangan Teknologi dalam bidang pertanian amatlah besar. Bermacam upaya telah diterapkan untuk menutup kegagalan. Pohon kasuari ditanam untuk membangkitkan nitrogen, setelah itu ditanam ubi, ditanam pula cemara. Ketika ubi dipanen, cemara sudah tinggi, kemudian ditanam kopi setelah kopi tumbuh subur ditanam markisah. Selebihnya adalah kotak l ebah yang disimpan di bawah pohon cemara.
Tahun1993 Wakil Ketua Badan Perencana Daerah Tingkat I Provinsi Irian Jaya beserta rombongan dating ke Tiom mengunjungi kelompok-kelompok tani dan menjadi heran dengan segala kemajuan  yang bisa dicapai. Pak Rince mengusulkan presentasi ke Jayaapura, tetapi rencana itu tidak terselenggara, karena pada tahun itu pula Camat Wiro Watken dimutasikan ke Wamena sebagai kepala Inspektorat. Wiro Watken kembali ke Wamena dengan meninggalkan 36.000 ekor  kelinci sebagai  hewanternak. Kelinci menjadi hewan ternak secara istimewa dengan pertimbangan, untuk mencukupi kebutuhan protein hewan dan masa kembang biak yang relative lebih cepat, sekitar enam bulan.
Mutasi itu mengalihkan konsentrasi kerja Wiro Watken. Ia tidak lagi membentuk kelompok-kelompok tani kemudian melakukan pengawasan, sehingga setiap program dapat mencapai keberhasilan. Tugas utama sebagai kepala inspektorat adalah menjadi mata dan telinga pemimpin dengan bekal kewenangan untuk mengawasi seluruh kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada seluruh masyarakat Jayawijaya. Wiro Watken harus memahamitugas pokok sebagai kepala inspektorat, menyalahkan orang bukan suatu hal yang mudah. Ia harus mempertimbangkan beberapa aspek dalam bertindak, aspek material, aspek managemen, manusia, barang, dan keuangan. Wiro Watken juga harus lebih peka terhadap beragam masalah yang terjadi. Dari kesepakatan itu, maka Watken dapat melihat bagaimana orang melakukan kesalahan atau penyimpangan.
Dalam hal kebocoran, maka masing-masing orang melakukan dengan lagak dan cara yang berbeda. Ada orang yang menutupi kesalahan dengan menyusun sepuluh kalimat, ketika baru ditegur dengan satu kata. Ada orang yang menyisakan hidangan di dalam piring pada sebuah perjamuan, ada yang melahap hidangan itu sampai habis sekalian dengan piring kotornya, ada pula yang terus mengunyah makanan tanpa memperhitungkan bagian orang lain tanpa merasa bersalah sama sekali.
Seluruh kesalahan dan kebocoran itu diteruskan kepada Bupati selaku kepala pemerintahan, selanjutnya Bupati member teguran  kepada pihak yang melakukan kesalahan. Dengan demikian, maka inspektorat merupakan pihak yang secara tidak langsung meluruskan jalannya pemerintahan. Kebocoran merupakan keslahan yang terjadi pada rata-rata lembaga pemerintahan, karena managemen yang lemah. Seorang kepala lembaga mungkin memerlukan sekitar Rp. 10,000,00 untuk biaya perjalanan dinas ke Jakarta. Akan tetapi, kebutuhan itu tidak disesuaikan dengan Daftar Isian Proyek dan situasi keuangan. Sementara bendahara selalu pada posisi yang lemah untuk tidak membayarkan. Pengeluaran menjadi tidak terkontrol, bendahara hancur, laporan tidak dapat tersusun sebagaimana mestinya.
Tahun 1994 dengan pangkat IIIC, jabatan eselon IIIA Wiro Watken lulus tes Spadya. Satu hal yang dapat dipelajari dari pendidikan ini  adalah mengevaluasi diri untuk menenpa bakat, menambah wawasan, dan  merubah perilaku. Setahun kemudian Wiro Watken diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional di Wamena dengan jumlah peserta 319 orang. Lokasi Wamena merupakan kebijakan khusus dari Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan, bahwa masing-masing perwakilan dari seluruh Kabupaten Indonesia dapat m enyaksikan secara langsung situasi Wamena sebagai pelaksana dan Papua sebagai tuan rumah.
Rapat kerja berlangsung selama tiga hari, koordinasi dilakukan dengan sangat baik melibatkan seluruh system dan komponen yang ada, Pendidikan dan Kesejahteraan Keluarga, Dharma Wanita, Merapti Arlines, Airfast, Trigana, dan Fokker 27. Koordinasi yang sangat baik ini menyebabkan dalam sehari terjadi 20 kali penerbangan, sehingga seluruh kegiatan dapat berjalan dengan baik. Komentar yang muncul dari seluruh kegiatan adalah, “Wamena Okey!” Wiro Watken sadar siapa yang telah memberi kepercayaan, sehingga ia dapat mencapai prestasi ini. ia adalah JB. Wenas –Bupati JB. Wenas. Satu kali BUpati JB. Wenas pernah mengatakan, bahwa dengan segala prestasi yang pernah dicapai, maka dapatlah kiranya ia “menjual” – mempromosikan Wiro Watken ke kabupaten lain untuk jabatan yang lebih baik. Wiro watken selalu menyelsaikan tugas tanpa memperhitungkan berapa banyak anggaran yang diterima, dan JB. Wenas menunjukkan budi baiknya.
Suatu hari pukul 06.30 Bupati JB. Wenas menelepon Wiro Watken supaya segera dating ke rumahnya. Wiro Watken tergagap, ia segera berpakaian, menyiapkan segala arsip kemudian m eluncur  menuju kediaman Bupati yang megah. Sampai ke tempat tujuan Wiro Watken sudah benar-benar siap dengan perintah dan pertanyaan. Ternyata JB. Wenas tidak memberikan perintah atau pertanyaan. Wenas memberikan Wiro Watken sebuah jam tangan Perancis  merek Jean Claud. Wiro tertegun, ia cukup mengerti arti pemberian itu. Orang tak akan memberikan sesuatu yang berharga, kecuali ia harus m enyatakan terima kasih, memuji, sekaligus memacu bagi tugas yang lebih berat. Wiro Watken sadar terhadap pemberian itu dan ia harus bertanggung jawab atasnya.
Pada hari lain ketika Wiro Watken tengah disibukkan dengan tugas-tugas di lapangan, Bupati Wenas k embali mencarinya, memanggil via radio ke seluruh Wamena. Wiro pun tergesa menuju kediaman bupati, siap dengan perintah. Ketika sampai di kediaman, perintah itu ternyata tak ada. BUpati JB. Wenas memeprsilakan Wiro Watken bergabung makan siang untuk merayakan ulang tahun Ibu Wenas – seorang wanita yang cantik parasnya dan cantik pula hatinya.
Makan bersama dalam sebuah perayaan bukan semata-mata suatu mekanisme biologis yang member kemungkinan seseorang untuk memperoleh gizi dan kalori dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup. Akan tetapi, lebih dari itu, karena makan juga merupakan suatu perilaku sosio cultural, dalam arti, bahwa seseorang akan mengundang orang lain makan bersama di dalam suatu perjamuan, apabila di antara mereka terdapat ikatan psikologis yang cukup kuat. Iakatan psikologis dapat terjadi, karena hubungan baik, loyalitas, dan persamaan persepsi. Wiro Watken memahami arti undangan itu, dengan segala kerja keras yang dilakukan selama ini, maka ia bukan orang lain bagi JB. Wenas. Wiro harus mengakui siapa sebenarnya yang telah “membesarkannya”.
Tahun 1999 Wiro Watken menapaki jenjang karir yang lebih tinggi, sebagai  Sekretaris Daerah Kabupaten Fak-fak. Hari pertama tiba di Fak-fak pesawat telepon bordering dengan kata-kata ancaman, bahwa Surat Keputusan Sekretaris Daerah Kabupaten Fak-fak adalah tidak syah. Wiro Watken menjawab ancaman itu dengan tegas, “Saya diperintah dating untuk bertugas!” Teror itu pun selesai, hari pelantikan dating, terlewat dengan wajar.
Sekitar seminggu setelah hari pelantikan, Wiro Watken dan Bernadet berkunjung ke Desa Andors dalam rangka meresmikan gereja. Di tengah perjalanan stir speed boat mendadak patah, mesin tetap bekerja. Akibatnya speed boat tetap berputar-putar dan penumpang di atasnya berotasi dengan cepat. Setelah mesin dimatikan, putaran berhenti, stir dibetulkan, perjalanan diteruskan dengan kesadaran yang terlambat sampai, bahwa kejadian tersebut amatlah berbahaya, dapat merenggut nyawa. Sekali lagi Wiro Watken bersyukur, bahwa jiwa seluruh penumpang speed biat dapat diselamatkan. Meskipun bahaya tak selesai sampai di sini, karena perjalanan pulang, speed boat kembali diahantam ombak besar dan angin kencang. Wiro Watken dan rombongan meneruskan perjalanan itu, tidak mengerti akan ancaman bahaya telah menghilangkan segala rasa takut. Ketakutan baru muncul setelah perjalanan berakhir dan bahaya pun lewat.
Setelah bahaya itu, maka terjadi unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan tuntutan reformasi. Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dirusak. Saat itu Bupati Fak-fak sedang berada di l uar daerah, Sekretaris daerah bertanggung jawab terhadap segala keributan yang ada. Wiro Watken  menerima telepon dari kepala suku Bahamata untuk sebuah pertemuan pada sore hari. Kepala Suku Bahamata minta dijemput di rumahnya untuk selanjutnya diteruskan dengan acara minum kopi di rumah adat. Pada saat minum kopi itulah kepala suku mulai bercerita tentang segala persoalan, mulai dari masalah pemerintahan, politik, ekonomi, dan social budaya dengan satu kesimpulan, bahwa pelayanan pemerintah tidak mampu menyentuh kehidupan masyarakat kecil, sehingga akhirnya demonstrasi terjadi.
Ketika demonstrasi telah mereda, masyarakat kembali melakukan unjuk rasa di kantor BUpati dengan memalang pintu ruang kerja. “Pencemaran terhadap rumah adat telah terjadi”, masyarakat menuntut pejabat yang terlibat dalam pencemaran rumah adat untuk tidak aktif di tempatnya bekerja. Tanggal 2 Nopember 1999 Wiro Watken diundang oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk bertemu dengan Konrad Bao didampingi oleh Mawil Hansip untuk memberikan himabauan, jangan sampai masyarakat melakukan unjuk rasa. Akan tetapi, masa tidak bisa dibendung, tuntutan terhadap “pencemaran rumah adat” merebak menjadi tuntutan-tuntutan lain. Masa berkelompok di dermaga menuntut diantar Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menuju ke Kantor BUpati. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat meluluskan permintaan dengan syarat, segala perlengkapan perang harus ditinggalkan. Masa berjalan sejauh dua setengah kilo meter tanpa ada pengrusakan. Sampai di kantor Bupati, Wiro Watken bertemu dengan staf, berucap, “Kalau ada staf yang merasa berbuat kurang baik dengan masyarakat, jangan tunjuk muka, sementara bagi yang tinggal jangan nonton dan tertawa. Kunci yang masih tergantung di pintu jangan disentuh, biarkan masyarakat mengambilnya sendiri”.
Ketika rombongan demonstrasi masuk, Wiro Watken membuka pembicaraan: “Kantor BUpati ini adalah kantor  kalian juga, harus dijaga bersama”. Masyarakat yang memalang pintu mengajukan empat tuntutan, supaya pintu bisa dibuka k embali. Pertama, dalam rangka pencemarana rumah adat, pejabat yang bersangkutan harus  mengundurkan diri dalam waktu tiga hari. Kedua, Papua Merdeka. Ketiga, perbaiki kinerja birokrasi pemerintah. Keempat, utamakan kesejahteraan rakyat.
Kemudian Kodrad Bao dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dating bersama 500 orang dalam pakaian sehari-hari, segera mengadakan dialog. Wiro Watken menyatakan, “Dalam melayani masyarakat, pemerintah memang telah melakukan kekeliruan. Mengenai empat tuntutan masyarakat, Sekretaris Daerah tidak berwenang secara langsung dalam menjawab, hal ini perlu dikonsultasikan kepada GUbernur, sementara pemerintah daerah akan lebih pro aktif dalam menata kehidupan masyarakat”.
Sementara di luar Kantor Bupati massa terlalu banyak, berdesakan menghalangi petugas yang akan membeliair minum. Konflik horisaontal terjadi, masa terpecah menjadi dua, serah – kaum muslim dan gury – kaum Nasrani, suasana semakin tegang. Kelompok Bahamata tiba-tiba berbalik hendak menjaga Kantor Bupati dengan mematahkan palang besi. Pukul 18.00 Waktu Indonesia Bagian Timur setelah para demonstran lelah dan lapar, masa pun bubar dijaga ketat aparat keamanan.
Wiro Watken kembali ke rumah kemudianmenelepon Wakil Gubernur Jaupari dan mendapat jawaban, “Atasi keadaan dengan jalan yang terbaik, berdasarkan kemampuan yang ada”. Esok hari Wiro Watken segera mengadakan rapat dengan Musyawarah Pimpinan Daerah, keputusan rapat adalah mebgunjungi kediaman Wakil Ketua I Dewan Perwakailan Rakyat Daerah, Ismail Somali Bao. Sebagai Wakil Ketua Dewan sekaligus Raja, merasa sangat marah, karena hari lalu ketika terjadi konflik antar warga masyarakat rumahnya telah dilempari batu, meski tanpa kerusakan yang parah. Kunjungan tiga jam itu sudah cukup untuk meredakan amarah, dengan satu kesimpulan: kunci kantor Bupati harus diambil kembali.
Sore hari Wiro Watken bersama Musyawarah Pimpinan Daerah dan Ketua Dewan mendatangi kelompok yang  mengambil kunci. Di kediaman Wakil Ketua II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Fak-fak keributan hamper terjadi, dalam persoalan ini seolah terjadi konflik antara umat Islam dan umat Kristen, kunci Kantor Bupati tetap harus diperoleh kembali. Rombongan segera menuju kediaman Konradus Bao bagi sebuah negoisasi. Di tempat tujuan pembicaraan kembali diteruskan, “Kakak minta maaf, tetapi kalau satu gedung dipalang, pemerintah tidak bisa meneruskan tugas,, harus tutup kantor. Hal itu berarti, bahwa nasib masyarakat semakin tidak bisa ditentukan, karena aparat pemerintah tidak dapat bekerja”, demikian Wiro Watken melakukan negoisasi. Konradus Bao segera m engambil tindakan secara tegas, “Siapapun yang mempersoalkan kunci harus terlebih dahulu melewati mayat saya”. Kunci Kantor Bupati dikembalikan. Menjelang magrib segala persoalan telah dapat diselesaikan.
Pagi hari, 4 Oktober 1999 Kantor Bupati telah terbuka, tetelgram ke Wakil Gubernur Jaupari segera dikirim dengan pernyataan, “Kami sudah menguasai keadaan”. Tuntutan masyarakat terhadap “pencemaran rumah adat”, supaya pejabat yang bersangkutan mengundurkan diri diterima. Situasi sulit yang menyusul setelah kasus ini adalah gelombang reformasi, yang  menyulut gaung Papua Merdeka dengan Otonomi Wilayah sebagai jalan damai. Selama kurun waktu itu Fak-fak tak pernah diam.
Pada Februari 2000 Wiro Watken mempersiapkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pemilihan BUpati dan Wakil BUpati di era reformasi. Pasangan yang terpilih adalah Wahidi Poarada dan Frans Nambore. Pada acara lepas sambut Bupati yang lama beserta ibu hadir pula. Segala hak yang belum diterima segera diberikan usai lepas sambut.
Sebulan kemudian, tepatnya pada Maret 2000 Wiro Watken ikut pula pencalonan BUpati di Kabupaten Merauke, berpasangan dengan John Kamarla, kepala Dinas Kehutanan. Pencalonan ini berdasarkan fakta, Wiro Watken telah mememenuhi persyaratan dari segi pangkat, pendidikan, pengalaman, dan penjenjangan. Dua  kandidat BUpati yang lain adalah Max Mahuze berpasangan dengan John Rumlus dan John Gluba Gebze berpasangan dengan Benyamin Simatupang. Setelah visi dan misi disampaikan hari “H” tiba.
Undangan telah ditetapkan pada pukul 09.00 Waktu Indonesia Timur, tetapi mundur hingga pukul 09.15. Ketika salah satu dan Wiro Watken sadar akan 15 menit kelambatan, ia segera menyadari akan kekalahannya. Dari lima orang anggota partai yang mendukung empat yang lain membelot, sementara seorang legislative dari partai lain berbalik menyumbangkan suaranya. Pada akhir perhitungan Wiro Watken hanya mendapatkan dua suara. Max Mahuze 15 suara, John Gluba Gebze 17 suara. Wiro Watken merasa sedemikian sakit hati bukan, karena ia kalah, tetapi karena dikhianati  oleh fraksi yang mencalonkannya.
Untuk menghibur diri Wiro Watken mengajak para pendukungnya makan siang di Panorama. Saat itu seorang legislative dating, dan bertanya, “Anak, bagaimana?” seorang pendukung Wiro Watken merasa kemarahanya memuncak, berniat mengangkat kursi kemudian membantingnya, tetapi Wiro Watken mencegah. Untuk menghindari konflik Wiro Watken mengajak pendukungnya meninggalkan rumah makan, mengakhiri persoalan sampai di sini. Segala pendanaan dan biaya dalam rangka pencalonan adalah konsekuensi dari resiko politis yang tidak bsia ditarik. Wiro tak menunggu lebih lama, ia segera kembali ke Fak-fak meneruskan tugas sebagai Sekretaris Daerah.
Pada November 2000 Pemerintah Kabupaten Fak-fak mengumumkan penerimaan Pegawai Negeri Sipil dengan melalui jalur testing. Reaksi yang muncul dari pengumuman penerimaan adalah pemasangan pamphlet yang berisi penolakan terhadap isi pengumuman itu. Bersamaan dengan pemasaangan pamphlet, kapal perintis masuk ke pelabuhan membawa serta konflik dari Ambon. Bersama Ketua Dewan Wiro Watken segera menuju ke pelabuhan, tetapi ditahan mahasiswa di tengah jalan. Mahasiswa mengajukan tuntutan, “Batalkan pengumuman penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, karena yang diterima sedikit. Jumlah penerimaan seharusnya ditambah”. Mahasiswa menuntut Wiro Watken menandatangani surat pernyataan, perjalanan ke pelabuhan ditangguhkan. Wiro Watken memutuskan kembali ke kantor untuk melakukan pembicaraan dengan mahasiswa. Sikap Wiro Watken terhadap tuntutan mahasiswa  adalah: “Penerimaan pegawai bukanlah persoalan yang bisa diatur semudah itu, saya harus melaksanakan perintah dari pusat!” dengan pernyataan itu Wiro Watken mengakhiri pembicaraan dan segera mengunjungi tempat-tempat yang dilanda kerusuhan kemudian mengadakan rapat kilat dengan Musyawarah Pimpinan Daerah. Keputusan rapat adalah, kumpulkan dan benahi mahasiswa yang menjadi otak. Apabila kasus semacam ini terulang kembali, tidak ada lagi toleransi, masa telah merusak fasilitas umum.
Sore hari ketika kembali ke rumah, ke -20 orang mahasiswa sudah menunggu, mereka mengadu, dan terakhir meminta uang untuk membayar taksi. Ketika Wiro Watken bertanya, “Kamu mahasiswa dari mana?” ternyata semua telah drop out. Wiro Watken menyatakan, bahwa semua tindakan itu adalah memalukan. Menunjukkan mental dan nyali kerdil. Setelah pembicaraan itu, “mahasiswa” bubar, Faf-fak kembali aman.
Menjelang 1 Desember 2000, maka sebagian  masyarakat telah  mempersiapkan pengibaran bendera fajar timur. Situasi keamanan terus berada dalam pemantauan pemerintah setempat. Saat itu Bupati tidak berada di tempat, segala wewenang ada di tangan Sekretaris Daerah, Bupati menelepon untuk memantau proyek yang dikerjakan di atas rumah tua, bangunan sejarah tempat tinggal pastor yang datang untuk pertama kali dan tetap dipertahnkan masyarakat. Sore hari Wiro watken mengantar anak seorang teman dekat untuk melihat-lihat kota sambil memantau situasi keamanan menjelang 1 Desember 2000. Wiro Watken kembali ke rumah dalam keadaan aman, tetapi pada malam hari seorang anggota dewan menelepon, mengkonfirmasikaan telah terjadi penembakan oleh aparat keamanan, dua orang meninggal. Jenazah dikuburkan tanpa ada tuntutan masyarakat, Wiro Watken tak pernah mendapatkan laporan terinci, tak pernah tahu kasus apa yang sebenarnya telah memicu penembakan itu?
Waktu terus berjalan melewati hari, minggu, dan bulan, hingga hari duka itu datang tak bisa dihindarkan. Wiro Watken memenuhi tugas terbang ke Jakarta kemudian ke Jayapura, Bernadet di Jayapura untuk menyelesaikan administrasi kepegawaian. Pada 5 Mei 2001 ketika Wiro watken tengah mengantar salah seorang staf ke Sentani, dalam perjalanan – sampai di stasiun TVRI, Grace Renwarin – pegawai yang tinggl di rumah m ennelepon dari Fak-fak, mengabarkan bahwa Tarsisius tengah beradan dalamm keadaan darurat. Tarsisius Eric Watken adalah anak yang ke-empat dalam usia 20 tahun, menempuh pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Dasar Timur, ia tengah mempersiapkan diri sebagai seorang pastor.
Wiro Watken menghentikan seluruh tugas pada hari itu, mengalihkan konsentrasi kepada anak bungsu. Ketika Amatus Watken mencari informasi ke Unit Gawat Darurat Fak-fak tentang kondisi erik, pasien bersangkutan ternyata telah meninggalkan ruangan. Wiro Watken menyadari, kemungkinan buruk telah terjadi. Dengan limbung Wiro Watken beserta seluruh anggota keluarga segera bersiap bagi sebuah penjemputan. Hari i tu, 6 Mei 2001 Wiro Watken menerima jenazah Tarsisius Eric Watken di dalam keranda. Eric telah menempuh perjalanan panjang dari Fak-fak ke Biak dengan mencarter pesawat Twin Otter. Dari Biak ke Jayapura penerbangan diteruskan dengan pesawat Boing. Wiro Watken seakan tak percaya, bahwa anaknya  yang paling kecil, yang telah diserahkan kepada Tuhan sebagai gembala telah berpulang dalam usia muda. Kabar terakhir, Eric minta disiapkan makan, selesai makan ia tertidur dengan pulas, sangat pulas, tak pernah bangun lagi selama-lamanya. Eric memang pernah sakit jantung, tapi Watken tak  pernah menyangka, anaknya akan pergi, ketika mempersiapkan diri menjadi pastor. Upacara pemakaman diselenggarakan, Wiro Watken merekan Eric kepada alam, lebur sebagai tanah. Seluruh kerabat dan handai tolan berdatangan, ikur serta dalam pemakaman. Wiro Watken tak sendri ketika ditibggalkan, ketika tanah telah menerima Eric kmebali, ia tak akan pernah melihatnya lagi.
Tapi, benarkah Eric telah pergi? Di hati yang mencintai, tak seorang un akan pergi berlalu, sungguhpun kematian telah datang merenggut. Bagi Wiro Watken sekeluarga, Tarsisius Eric Watken masih tetap hidup. Ia selalu hadir pada pagi hari ketika keluarganya terbangun, duduk di meja makan, kemudian menyelesaikan segala aktivitas hingga gelap datang.. Eric tak pernah “meninggal”, ia hanya berpindah, meneruskan kehidupan di alam  lain. Ia selalu datang dalam bentuk suara dan isyarat. Wiro Watken yakin, ia tetap memiliki empat orang anak.
Setelah hari duka itu Wiro Watken ditawari pindah ke Jayapura untuk menggantikan posisi Kepala Badan Pengawasan Daerah yang akan segera mengakhiri masa tugas. Wiro Watken perlu memikirkan terlebih dahulu terhadap penawaran itu. Tiga kali setelah pembicaraan perihal penawaran, akhirnya Wiro Watken menjawab “ya”. Pada tanggal 26 Juni 2001 Wiro Watken dilantik sebagai Kepala Badan Pengawas Daerah Provinsi di Jayapura. Setelah acara serah terima Wiro Watken kembali ke Fak-fak untuk menyelesaikan administrasi kemudian meneruskan tugas-tugas yang baru. Ia telah memenuhi persyaratan, pernah duduk di Kabupaten sebagai Inspektorat, memiliki reputasi yag baik, pangkat IV/a, melampaui pendidikan bagi penjenjangan karir dan memiliki kredibilitas.
Jabatan Kepala Badan Pengawas Daerah adalah suatu masa ketika reformasi tengah bergulir. Penyimpangan muncul dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi yang merebak. Masyarakat Papua pernah sedemikian tertindas pada  masa-masa sebelumnya. Reformasi menjadi situasi bagi masyarakat Papua untuk mendapatkan kembali segala hak yang telah terampas. Namun ada kalanya, pihak-pihak yang berwenang mengelola anggaran telah “mengambilnya” secara berlebihan, tanpa merasa bakwa sikap tersebut sebenarnya keliru. Dalam dialog interaktif di Hotel Matoa bersama Badan Perencana Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat, Wiro Watken pernah menyatakan dengan keras, orang Papua terlalu berlebihan dalam membalas sakit hati, karena ketidak adilan di masa lalu. Pernyataan itu tidak mendapatkan sanggahan hingga hari ini, hal itu berarti Wiro Watken telah menyatakan yang sebenarnya.
Sementara tugas sehari-hari sebagai pengawas bukanlah pekerjaan mudah. Mata seorang pengawas selalu melihat, siapapun bisa saling merampas untuk menjadi pimpinan proyek, karena anggapan dirinya tuan tanah. Ketika menjadi pimpinan proyek awalnya yang bersangkutan bersikap dengan baik, tetapi dana sebesar Rp. 250,000,000,00 menghilang tanpa jejak. Dalam menguji kemampuan seseorang menjalankan tugas, yang bersangkutan sengaja diberikan dana serta kepercayaan untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Ketika hari p emeriksaan tiba, ternyata dari seluruh dana dan kepercayaan yang diberikan tidak membuahkan apa-apa. Satu kesimpulan dapat ditarik, kolusi telah terjadi.
Dari seluruh kasusu yang ada 80% selesai, 20% dievaluasi tahun depan. Semu laporan pengawasan ditujukan kepada Gubernur, hubungan Kepala Badan Pengawas dan Gubernur amatlah dekat, khususnya dalam hal birokrasi. Dalam rangka kelancaran tugas Kantor Badan Pengawas Daerah mendapat fasilitas enam mobil dinas serta dua kendaraan roda dua.
Satu prestasi yang dapat dicapai selama menjabat Kepala Badan Pengawas daerah adalah bekerja sama dengan BPKN untuk menekan Hak Pengelola Hutan supaya membayar Rp. 11,000,000,000,00 dari jumlah total sebesar Rp. 150,000,000,000,00 untuk dibayarkan ke Dinas Pendapatan Daerah. Keberhasilan itu bisa dicapai, karena kerja sama dengan seluruh staf bukan kerja individu.
Pada bulan Januari 2003 Gubernur Yap Salosa memanggil Kepala Biro Pemerintahan, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Perdagangan dan Koperasi serta Kepala Badan Pengawas Daerah secara terpisaah. Inti pembicaraan dalam setiap pertemuan itu adalah permintaan atas kesediaan memangku jabatan Bupati di Kabupaten Pemekaran dengan satu konsekuensi jabatan di Provinsi dilepaskan. Jawaban Wiro watken terhadap penawaran itu adalah, “Apabila Bapak erintahkan berangkat, saya akan berangkat. Apabila Bapak perintah tinggal, saya akan tinggal, selama saya tidak pulang ke kampung halaman”, saat itu Wiro Watken tidak pernah tahu, bahwa ia akan ditmpatkan di Asmat. Wiro Watken akhirnya menerima tawaran itu, karena Gubernur meneruskan untuk berangkat.
Tanggal 12 April 2003 Wiro Yosef Watken bersama 11 rekan yang lain – dua orang dari Sorong dan Teminabuan datang terlambat, sehingga pada hari itu hanya 12 orang yang dilantik sebagai Pejabat Bupati. Perasaan Wiro Watken pada saat itu adalah, bahwa ia telah berada di puncak karir sebagai pamong praja. Hasil dari kerja keras yang telah ditempuh bertahun-tahun. Seluruh keluarga hadir untuk menyertai. Bahwa ia telah dilantik pada suatu wilayah yang belum pernah dikunjungi, bukanlah persoalan. Kehadiran di Asmat adalah dalam rangka melaksanakan tugas.
Saat itu Agats masih dalam situasi distrik dengan papan jembatan yang telah lapuk dan berantakan, setiap pejalan kaki harus melangkah dengan hati-hati supaya tidak jatuh terjerembab ke dalam lumpur. Listrik hanya menyala pada pukul 18.00 – 24.00, selebihnya padam. Segala prasarana bagi kelangsungan mekanisme pemerintahan kabupaten sama sekali tidak ada. Bupati Wiro Watken kembali ke Jayapura lima hari kemudian dengan satu kesimpulan, ia harus menanggung beban hidup sangat berat dalam memulai pemerintahan Kabupaten.
Tanggal 31 Mei 2003, hari Sabtu, Bupati John Gluba Gebze didampingi Wakil Bupati Benyamin Simatupang beserta seluruh ejabaat dan segenap lapisan masyarakat Merauke menyelenggarakan upacara adat untuk menyerahkan tiga Pejabat Bupati secara simbolis kepada masyarakat adat pemekaran. Drs. Dvid Tuok selaku Bupati Boven Digul diserahkan kepada Suku Muyu Mandobo, Drs. John Rumlus selaku Bupati Mapi diserahkan kepada masyarakat Mapi, dan Drs. Wiro Yosef Watken selaku Bupati Asmat diserahkan kepada msyarakat Asmat. Tujuh belas hari kemudian, Rabu, 18 Juni 2003 Bupati Merauke, Drs.John Gluba Gebze beserta rombongan menyerahkan Drs. Wiro Watken selaku Bupati Asmat dalam suatu upacara protokoler di Lapangan Yos Sudarso, Agats.
Setelah upacara penyerahan itu Wiro Watken segera memulai tugas. Sebagai rumah tinggal dan kantor dua rumah mungil yang terletak di lingkungan Missionaris telah disewa dan diperbaiki. Dalam hal ini Pemerintah Distrik sementara memberikan bantuan dalam hal persiapan. Dengan adanya tempat tinggal dan kantor dalam kondisi yang sangat sederhana, Wiro Watken mengawali tugas utama, mempersiapkan kelembagaan, membangun infrastruktur, dan menyelenggarakan Pemilihan Umum 2004.
Pada hari Selasa, 12 Agustus 2003 Bupati Wiro Watken melantik Drs. Sefnath Meokbun sebagai sekretaris daerah Kabupaten Asmat dengan Surat Keputusan Gubernur Papua No.821.2-2338 tanggal 10 Juli 2003. Dalam sambutannya Bupati Wiro Watken menyatakan, bahwa maksud dan tujuan pemekaran di seluruh wilayah Papua, termasuk Asmat adalah untuk memperpendek tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat, sehingga dapat menjawab kesulitan yang selama ini dialami oleh Merauke sebagai Kabupaten Induk. Pada bulan Oktober, sat haru sebelum perayaan Idhul Fitri, 1 Syawal 1424 Hijriah Bupati Wiro Watken melantik pejabat Eselon II, III, dan IV di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Asmat. Tugas utama dalam menyusun kelembagaan telah terjawab untuk tahap awaal. Kepala Dinas yang dilantik anatar lain Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Badan Perencana Daerah, Kepala Kantor Kesatuan Bangsa, Sekretaris Dewan, Kepala Bagian Keuangan, Kepala Perekonomian Daerah, Kepala Badan Pengawas Daerah, dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah. Kepala Dinas yang telah dilantik itu kemudian menjalankan tugas dengan memanfaatkan bangunan yang ada, termasuk dengan menyewa rumah masyarakat yang telah direhab. Sementara restorasi lima bangunan tua segera dikerjakan, sehingga bangunan tersebut dapat digunakan sebagai kediaman Sekretaris Daerah, Kantor Bupati, Kantor Badan Pengawas Daerah bersebelahan dengan mess pegawai, kantor Pekerjaan Umum, dan Kediaman Kepala Bagian Keuangan. Pembangunan jembatan sebagai jalan utama di ibu kota diteruskan, akhirnya tak ada lagi jembatan yang  tak bisa dilalui, karena kondisi yang rusak terpatah-patah.   Sementara Wiro Watken aktif menghadiri undngan dan menyampaikan sambutan dalam bermacam acara protokoler, demikian pula dengan kunjungan ke distrik-distrik. Pada bulan Mei 2003 Bupati Watken menyatakan ketegasan, bahwa seluruh Pegawai Negeri Spil yang telah bertugas di Kabupaten Asmat harus berdomisili di Wilayah Asmat. gaji hanya bisa diterima melalui Bank Papua yang berkedudukan di Agats. Apabila pegawai bersangkutan tidak menjalankan tugas di tempat yang telah ditetapkan, maka ia tidak berhak mendapatkan gaji. Ketegasan itu menyebabkan kantor-kantor yang semula sunyi perlahan-lahan menjadi ramai, pegawai segera berdatangan menjalankan tugas di kantor masing-masing.
Pada hari Rabu 12 Mei 2004 Bupati Wiro Watken menandatangani berita acara pelepasan tanah adat seluas 23 hektar bagi kepentingan pengembangan tata kota sekaligus menyerahkan  uang sebesar Rp. 1,150,000,00 secara simbolis. Uang sebesar itu akan dibagi kepada 30 bokot – dusun atas permintaan masyarakat syuru, tiap bokot memperoleh sekitar Rp. 38,000,000,00. Tiga kali berturut-turut setelah uang pembayaran diserahkan. Maka suasana Agats segera meriah oleh masyarakat yang berbelanja dari uang hasil ganti rugi pembayaran tanah. Barang-barang yang dibeli adalah bahan konsumsi sehari-hari serta perlengkapan rumah tangga. Setelah tiga  hari yang meriah oleh pembeli yang belebihan, suasana pasar kembali seperti semula. Segenap pihak menyesalkan tuntutan masyarakat yang tidak mau menerima ganti rugi dalam bentuk apapun kecuali uang, uang sebesar itu akhirya tidak meninggalkan bekas apa-apa kecuali tiga hari yang meriah di pasar, karena kesibukan berbelanja. Di atas tanah seluas 23 hektar tata kota  yag baru direncanakan kemudian dibangun kantor dan rumah dinas. Persoalan dalam menyelesaikan seluruh konstruksi bangunan adalah, karena jembatan sebagai sarana utama mobilitas belum dibangun, sehingga kontraktor mengalami kesulitan pengangkutan material sekaligus pembengkakan anggaran.
Pada tanggal 19 Agustus 2004 Bupati Wiro watken membebaskan satu hektar tanah di seputar Cemnes dengan pembayaran ganti rugi seesar Rp. 50,000,000,00 untuk kepentingan pembangunan 30 unit rumah rakyat. Sekali  lagi masyarakat tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk apa pun kecuali uang. Dalam sambutannya Wiro Watken menyatakan, bahwa pembangunan 30 unit rumah rakyat tersebut merupakan suatu upaya pemenuhan kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat Asmat, khususnya masyarakat Yufri-Yaun yang menetap di seputar dermaga Feri dalam keadaan tidak layak huni. Dikatakan pula, bahwa dana pembangunan 30 unit rumah rakyat diperoleh dari dana Otonomi Khusus sebesar Rp. 15,000,000,00 per unit. Untuk memenuhi kekuragan dana Pemerintah Kabupaten Asmat menambah dana sebesar Rp. 10,000,000,00 per unit, total dan yang akan dikeluarkan bagi pembangunan 30 unit rumah rakyat adalah Rp. 750,000,000,00. Areal  yang berada di seputar Dermaga Feri direncanakan akan dijadikan kawasan mangrove. Kondisi tanah di seputar Kota Agats,  khususnya di wilayah garis pantai amatlah rawan erosi, karena air pasang sepanjang tahun. Penanaman hutan mangrove merupakan suatu upaya bagi penanggulangan masalah erosi yang mengancam kelestarian Kota Agats.
Sementara kondisi tanah di wilayah pasar – konsentrasi kios semakin hari semakin memburuk, mengalami erosi, karena gemburan arus. Tiang-tiang rumah roboh, keluarga yang bermukim di tempat itu harus kehilangan sebagian dari rumah tinggal, ruangan di dalamnya semakin hari menjadi semakin sempit. Untuk menanggulangi erosi lebih lanjut Wiro Watken mengatur suatu rencana untuk memindahkan lokasi pasar di tempat yang lebih jauh dari garis pantai, tetapi masih dapat dijangkau dengan long boat, karena terdapat aliran sungai. Lokasi pasar lama akan ditanam hutan mangrove sebagai upaya penanggulangan erosi. Sebuah komitmen dn kerja keras diperlukan untuk merealisasi gagasan itu.
Setelah menyiapkan kelembagaan dan membangun infrastruktur, ada satu hal lagi yang harus dikerjakan Wiro Watken, menyelenggarakan Pemilihan Umum Legisaltif 2004 dan Pemilihan Presiden secara langsung. Posisi Wiro Watken dalam Pemilihan Umum adalah sebagai pembina politik, bertanggung jawab secara langsung dalam memantau sekaligus menyelesaikan segala persoalan yang ada, sehingga Pemilihan Umum dapat mencapai tujuan yang sebenarnya. Terhadap keseluruhan proses Pemilihan Uum 2004 wiro Watken terus memantau dari awal hingga akhir, Asmat tercatat sebagai 15 Kabupaten yang sukses dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Dengan berakhirnya Pemilihan Umum 2004 Wiro Yosef Watken telah menyelesaikan penting dalam posisinya sebagai orang pertama di Kabupaten Asmat. tanggal 24 Desember 2004, satu hari sebelum perayaan Natal, atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Asmat Bupati Wiro Watken menyerahkan uang ganti rugi kepada masyarakatyang bermukim di Ibu Kota Agats sebesr Rp. 400,000,000,00 atas 10 hektar tanah yang terletak di seputar Dolog. Tanah seluas 10 hektar tersebt akan dijadikan sebagai pengembangan Rumah Toko untuk mengantisipasi erosi padaa tanah di bagian pasar yang sekarang.
Sat tugas lagi yang harus diselesaikan Bupati Wiro Watken, ialah menempatkan 667 Pegawai Negeri Sipil relokasi dari Kabupaten Merauke. Ratusan pegawai ni harus ditugaskan pada tempatnya masing-masing sesuai dengan pangkat, golongan, dan keahlian. Beberapa bulan diperlukan sambil menunggu kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Asmat dalam menempatkan pegawai relokasi pada instansi yang memerlukan.
Dari keseluruhan tugas yang dipikul Bupati Watken tak pernah merasa berat, kecuali ada suara sumbang yang menuduh ia telah melakukan kesalahan yang tak pernah  ia lakukan. Suara itu tak mampu menjatuhkan hingga Wiro terlibat sebagai calon Bupati Asmat periode 2005 – 2010 berpasangan dengan Kasim SP. Wiro watken tak memenangkan pemilihan itu, tetapi ia tak berhenti berkarya, ia terlibat sebagai anggota Majelis Rakyat Papua yang berkedudukan di Jayapura. Setiap tahun hingga 2016 Wiro Watken tetap berkunjung ke Wilayah Asmat. Ia tak dapat melupakan masa-masa ketika menjabat Bupati di wilayah ini.

                                                                      ***

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...