Kamis, 18 Juli 2019

dr. AGNES SINAGA --Potret Hidup Seorang Dokter--


Bila kehidupan ini diibaratkan lembar-lembar dimensi dari serangkaian foto bergambar, baik hitam putih maupun berwarna. Maka foto sosok Agnes Maria Magdalena Sinaga, hadir dalam sapuan warna yang berbeda, spesifik, tajam, dan mengesankan. Gadis berusia  27 tahun itu memutuskan bertugas selaku dokter Pegawai Tidak Tetap Pusat ke Kampung Mumugu, Distrik Suru-Suru, Kabupaten Asmat, Papua. Ia  meninggalkan orang tua, adik,  kekasih, dan kehidupannya di ibu kota  Jakarta untuk mendedikasikan  diri pada sebuah kampung terpencil di tengah belantara. Mumugu adalah sebuah kampong yang tiba-tiba menjadi demikian dikenal, karena penduduk setempat yang seluruhnya berjumlah sekitar 500 orang, sebagian besar mengidap penyakit kusta. Penyakit menular ini tak membuat Agnes undur, ia menetapkan diri sebagai petugas medis sekaligus aktivis social yang mengajarkan pula anak- anak Mumugu membaca, menulis dan bernyanyi.
Kampung Mumugu dapat dicapai dengan mengendarai speed boat dalam delapan jam perjalanan dari Ibu Kota Kabupaten Agats. Ketakutan akan tertular penyakit kusta menyebabkan orang enggan untuk berkunjung ke kampong ini. Penduduk yang menetap di tempat ini bertahan hidup dari hasil bumi dan alam, ialah sagu dan ikan. Curah hujan yang tinggi sebagai akibat dari keluasan hutan hujan di wilayah Asmat memenuhi kebutuhan masyarakat akan air minum dan MCK. Sejumlah 90 unit rumah rakyat –bantuan dari Pemerintah Kabupaten Asmat dan Kabupaten Nduga berdiri membentuk perkampungan. Ada pun jew --rumah adat--yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan komunal di kampong ini berdiri pula dengan “megah”. Di kampong ini terdapat 7 kios, sebuah gereja, rumah pastoran, dan satu Puskesmas Rawat Inap. Fasilitas kehidupan bisa dikatakan teramat terbatas, petugas pelayanan masyarakat yang memutuskan untuk mengabdi di Kampung Mumugu haruslah sosok bermental baja yang bekerja bukan atas dasar mendapatkan penghasilan semata.
­­___
April 2014
Pukul 11.00 Wit
Adalah hari pertama saya menginjakkan kaki di Kampung Mumugu II, Batas Batu, pada sebuah dermaga kecil yang terbuat dari papan kayu besi dengan lebar dua meter, saya tertegun. Awalnya saya mengira populasi penduduk kampung ini teramat padat, karena ada begitu banyak orang berkerumun seolah sekalian penjemput bagi kedatangan ini. Mereka berdiri memandang kedatangan ini dengan tatapan asing, perawakan mereka tegap, dengan kulit legam, dan rambut ikal. Saya datang bersama  Mantri Zaenal, Mantri Agus, Bidan Delfi dan Suster Novi dengan membawa serta bahan makanan serta peralatan masak yang telah dipak rapi ke dalam karton. Karton-karton itu tampak menggunung, saya berharap salah seorang dari “penjemput”  akan mengulurkan tangan untuk memikulnya. Akan tetapi, harapan itu berakhir dengan hampa, tak seorang pun berucap, lirikan mata itu bahkan teramat tajam, jauh dari persahabatan. Entah apa yang terlintas dalam pikiran mereka dengan kedatangan ini, mungkin mereka tahu, bahwa kami adalah petugas kesehatan setempat, atau mereka mengira mengira kami adalah pedagang yang berniat membuka kios di kampung ini. Tak lama kemudian, muncul seorang pria paruh baya dengan tinggi sekitar 150cm dan berperawakan kecil. Ia mungkin penasaran dengan kedatangan ini, siapa kami sebenarnya? Sebelum rasa penasarannya bertambah, saya cepat-cepat mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.
“Bapak, perkenalkan nama saya Agnes, saya dokter yang ditugaskan mulai hari ini di Kampung Mumugu. Saya beserta staf,  mantri Zaenal, Mantri Agus, Bidan Delfi dan Suster Novi. Mohon bapak terima kedatangan kami di sini,” saya memulai pembicaraan sambil memperkenalkan staf yang berdiri tepat di samping kanan dan kiri.
Dengan sedikit ketus dan suara besar pria itu menyambut uluran tangan saya, menggenggam tangan saya dengan erat, kemudian  memperkenalkan diri. “Iyo, saya ini Daniel Menja, saya Ketua Adat di Mumugu Batas Batu. Kamu orang kerja baik-baik di sini ya, awas kalau kau tidak layani kita dengan baik nanti saya panah kau”.
Ancaman ini membuat saya tersentak, saya tidak menyangka sambutan perdana akan seperti ini.  Sementara orang-orang yang berkerumun itu berucap sambil menudingkan telunjuk, “Ko tidak baik”. Ucapan itu seakan telapak tangan yang menghantam tepat di wajah saya, setelah menempuh perjalanan panjang Jakarta, Papua, Agats, dan Mumugu dalam rangka tugas kemanusiaan, kiranya demikianlah ucapan pemula yang mesti saya dengar.  Kata-kata selanjutnya terucap dalam bahasa yang tidak saya mengerti, akan tetapi tekanan serta tatapan itu tetap tidak bersahabat. Mengapa penduduk setempat tidak berkenan dengan kedatangan ini?
“Iyo sudah, kamu orang ke Pusat Kesehatan Masyarakat sana,  awas kalau kita mau berobat baru kamu tolak berarti nanti saya usir kamu orang dari desa ini”,  Daniel, sang  ketua adat kembali mengancam,   nyali saya seketika menciut, seakan mentega meleleh di bawah terik. Saya melirik wajah keempat orang staf, ekspresi wajah-wajah itu menunjukkan hal yang serupa. Jauh dalam hati saya berbisik kepada Sang Maha Pencipta, Ya Tuhan, lindungalh kami di tempat yang baru ini ….
__
Pukul 14.00 Wit
Jarak dari dermaga ke Mumugu ditempuh sekitar 15 menit dengan berjalan kaki, struktur tanah di kampong ini lembek berbatu-batu, hewan peliharaan bebas berkeliaraan dan membuang “ranjau” di sepanjang jalan. Sesampai di Pusat Kesehatan Masyarakat saya berdiri terpaku menelan ludah, demikiankah kondisi Pusat Keseahatan tempat saya mesti bertugas sekaligus menetap? Bangunan ini serupa dengan tempat pembuangan sampah, keseluruhan bangunan berukurang 20 x 50 meter  dikelilingi hutan kayu dan rumput liar yang tumbuh semakin tinggi. Di depan Puskesmas hutan menyemak, tanpa rumah penduduk sama sekali, di bagian belakang bangunan tumbuh rimbun hutan yang belum terjamah. Diam-diam saya mengeluh, malang nian nasib ini, akan tetapi saya berusaha untuk diam. Tak ada Pusat Kesehatan Masyarakat lain kecuali bangunan ini, ialah fasilitas kesehatan yang pada prinsipnya tak layak sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pelayanan kesehatan.
Mantri Zaenal, Mantri Agus, Bidan Delfi dan Suster Novi tampak kelelahan, karena perjalanan panjang serta kerja tambahan mengangkut barang. Tak seorang pun  yang kami kenal di tempat ini, siapa yang dapat membantu membersihkan ruangan untuk istirahat yang layak saat malam tiba? Setelah berdiam beberapa lama hingga keringat mengering, saya berkeputusan untuk membersihkan Pusat Kesehatan  dengan tenaga yang tersisa,  “Mari kita bersihkan bagian dalam Pusat Kesehatan , besok kita minta bantuan masyarakat untuk membabat rumput di samping dan depan Pusat Kesehatan ,”sebuah pekerjaan yang amat berat untuk hari pertama di Pusat Kesehatan  ini, akan tetapi adakah kami memiliki pilihan lain sebelum gelap tiba?
Selama kurang lebih  tiga jam kami sama-sama membersihkan Pusat Kesehatan , mulai dari  halaman sampai ke bagian dalam. Untuk sementara waktu kami bersepakat untuk  tinggal  di Pusat Kesehatan  dengan memanfaatkan kamar yang ada. Rumah dokter dan dua kopel rumah perawat telah ada, akan tetapi fasilitas di dalamnya  belum tersedia. Bolam lampu tak tampak sama sekali, malam akan bertambah gelap tanpa cahaya. Tak seorang pun dari kami yang berpikir untuk membawa serta kasur sebagai alas tidur, kami bersepakat untuk berbaring beralaskan karpet plastic yang kami beli seharga 150 ribu di toko.
Setelah Pusat Kesehatan  tampak lebih rapi, jauh dari kesan tempat pembuangan sampah, sesaat saya terdiam mengelus dada. Ada serangkaian panjang kata-kata yang akan tersusun dengan benar sebagai keluhan, akan tetapi saya memilih diam.  Lima orang pendatang menetap di tengah belantara, jauh dari orang tua, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, tanpa ada signal telepon seluler, kecuali fungsi telepon satelit dengan  biaya  Rp. 20.000.- per menit. Saya yakin keempat orang staf merasakan hal yang sama, tetapi sudah terlambat untuk berkeluh kesah. Satu hal yang harus dilakukan adalah menentukan sikap, solusi bagi situasi yang sama sekali tak pernah terbayangkan.
Pusat Kesehatan tampak cerah, meski masih banyak bagian yang harus ditata rapi. Dan tiba-tiba perut menjadi demikian lapar, saat makan siang sudah lama berlalu. Delfi, bidan sukarela yang menyertai suaminya,  mantri Agus ke kampong ini segera memasak mie rebus. Hidangan sederhana itu kami santap dengan nikmat sambil  duduk beralaskan tikar di atas lantai papan yang baru  dibersihkan. “Orang-orang di kampong ini sepertinya tidak mempercayai dan tidak suka dengan kehadiran kita di tempat ini, tapi sudah terlambat untuk undur. Apakah kita akan menyerah sampai di sini?” saya bertanya.
“Tidak dok” jawab keempat orang staf.
Saya tatap wajah mereka satu per satu, mencoba membaca kalau ada keraguan membersit. Saya merasa lega, karena tak seorang pun menunjukkan sikap untuk undur, menarik kembali keputusan untuk bertugas di kampong yang jauh ini. “Tidak mudah mendapatkan kepercayaan masyarakat, untuk itu kita harus membuktikan dengan pelayanan yang baik, menjemput bola. Jangan pernah menolak pasien, jangan berikan tarif kepada siapapun,  baik pendatang maupun masyarakat. Kita tidak  boleh meminta pembayaran. Delfi, walaupun engkau adalah tenaga  sukarela di sini dan tidak pula digaji, tapi saya akan berusaha supaya engkau memperoleh nota tugas. Satu hal, jangan pernah menyerah, mengerjakan tugas dengan sepenuh hati akan mengurangi beban tugas itu sendiri. Tuhan akan membuka pintu rezeki kepada orang yang bekerja dengan hati. Kita adalah  saudara, walaupun saya berlaku sebagai pimpinan, akan tetapi saya adalah kakak tertua.  Kalau ada yang berkeberatan dengan kinerja saya tanpa toleransi sama sekali, saya akan mundur. Tetapi jika kalian setuju dengan apa yang lakukan mari kita bekerja bersama,” saya harus berkata untuk  menjawab sikap serta ucapan masyarakat setempat siang tadi di dermaga.
Keesokan harinya, pekerjaan pertama pelayanan kesehatan bagi masyarakat Mumugu berjalan. Sebelum melakukan kegiatan perdana, saya mengajak keempat orang staf untuk berdoa. Kami hening sejenak memohon kepada Sang Pencipta, semoga kegiatan hari ini bisa berjalan dengan baik. Pukul 07.00 WIT , seluruh staf puskesmas sudah siap dengan pakaian dinas. Saya dan Daniel Menja sudah janji  bertemu untuk membicarakan perihal kinerja petugas medis di Puskesmas ini. Jarum jam bergerak dengan pasti menunjukkan pukul 08.00 WIT, akan tetapi ketua adat itu tak kunjung datang. Saya masih menunggu hingga dua jam ke depan, pukul  10.00 Daniel Menja akhirnya sampai di Pusat Kesehatan. Ketua Adat itu  tidak sendiri, ia datang  bersama lebih 30 orang yang lain.
Halaman Pusat Kesehatan beratapkan daun nipah, cukup luas sebagai tempat pertemuan. Di  halaman itu saya dan staf Kesehatan mulai memeperkenalkan diri. “Terima kasih atas kehadiran bapak-bapak semua, terhitung mulai hari ini saya beserta empat orang staf resmi bertugas selaku tenaga medis di Pusat Kesehatan Masyarakat ini. Jika ada masyarakat yang menderita sakit atau ibu yang hendak melahirkan, silakan berobat, kami akan melayani dengan segala senang hati, bersiap selama 24 jam setiap hari. Saya  berjanji tidak akan meninggalkan tempat tugas kecuali awal pada bulan saat mengantarkan laporan di Ibu Kota Kabupaten”. Ketua adat  terdiam berdiri di samping saya. “Kami sangat berharap agar masyarakat dapat menerima kedatangan kami, kami datang dengan niat baik untuk membantu dan menyembuhkan masyarakat yang hampir semua menderita kusta. Kami akan melakukan pendataan dari rumah ke rumah untuk mengetahui secara pasti berapa jumlah penduduk serta  berapa yang mengidap kusta”, saya menatap wajah masyarakat yang hadir, tatapan itu sudah tak setajam hari kemarin ketika sua untuk yang pertama di dermaga.  “Saya juga berjanji untuk mengajarkan anak-anak di kampung ini membaca dan menulis. Malam harinya saya mengundang masyarakat untuk nonton bersama di halaman kantor”.
Daniel Menja menterjemahkan kata-kata saya dalam bahasa setempat. Saya kembali menatap wajah-wajah itu, ekpresinya cukup mengatakan,  mereka mengerti dan menerima kedatangan kami. Jauh dalam hati, dengan perlahan saya mengucap syukur, “Terima kasih Tuhan, hari pertama di tempat tugas berjalan dengan baik, masyarakat sudah bisa menerima kedatangan ini”
__
Hari berikut setelah pertemuan itu, masyarakat mulai datang berobat ke Puskemas, meski jumlahnya relative kecil. Bermacam sikap penolakan bermunculan, kata-kata yang bersikap caci maki selalu berakibat menyakitkan hati. Sementara pasien menganggap obat yang kami berikan sebagai racun yang mengakibatkan kematian pasien. Kami mencoba bersabar dan tetap bersabar beradaptasi dengan sikap hidup masyarakat sehari-hari.  Mungkin tidak seluruh masyarakat mempercayai kehadiran kami dalam bertugas, tetapi saya harus tetap mengucap syukur. Jumlah pasien yang relative sedikit ini menjadi bukti pemula, bahwa kehadiran ini akhirnya bisa diterima.  Kami berusaha  memberikan pelayanan semaksimal mungkin  kepada warga setempat, di samping rutinitas pengobatan di Puskesmas, kami juga berkunjung dari rumah ke rumah mereka untuk melakukan hal yang sama. Hari selanjutnya, suasana di Puskesmas menjadi lebih hidup,  anak-anak berumur 4 tahun ke atas yang awalnya tidak tahu membaca dan bernyanyi, setiap sore akhirnya datang ke Pusat Kesehatan  untuk belajar membaca, menyanyi, dan menari. Hari-hari saya lalui dalam tugas dan kebersamaan yang dalam dengan masyarakat setempat. Walaupun segala tugas formal dan informal yang kami  tidak sebanding dengan upah yang diterima. Saya tahu perihal gaji yang dipangkas hingga setengah bagian. Satu hal yang lebih menyedihkan, keempat staf yang bertugas dengan senang hati, sudah empat bulan tidak menerima gaji sama sekali. Alasan yang kami terima adalah, bahwa pencairan dana masih dalam  ‘kendala’ dan “iklaskan saja”. 
Apa maksud kata ‘ikhlaskan saja’?
Meski gaji dipangkas dan tidak dibayarkan, kami tetap konsisten dengan janji terhadap masyarakat. Pengobatan dan pendampingan masyarakat tetap berjalan setiap hari. Entah kapan gaji staf medis akan dibayarkan? Sampai gaji itu dibayarkan kami masih harus bekerja, melayani sekaligus membangun kepercayaan masyarakat. Status Pusat Kesehatan  adalah rawat jalan, anggaran operasional bagi konsumsi pasien tidak tersedia. Akan tetapi, kami tidak  menolak pasien yang datang untuk menginap. Kami menyumbang untuk konsumsi pasien dari konsumsi harian di dalam rumah. Kami membagikan pula biscuit sekolah kepada anak-anak kecil yang hadir serta menyiapkan kopi atau teh manis bagi bapak-bapak atau ibu-ibu yang datang rutin minum obat kusta setiap hari di Puskesmas. Meski masih ada yang bersikap jutek , kepercayaan masyarakat terhadap kami sudah semakin baik,  sikap masyarakat bahkan lebih baik dari yang kami bayangkan. Tak jarang masyarakat datang membawa sayur dan hasil buruan yang ditangkap di hutan. Sayur dan hasil buruan itu diberikan secara cuma-cuma , hubungan baik karena meemberi dan menerima terus terjalin, akhirnya kami menjadi sahabat kemudian diangkat sebagai anak adat.
__
Saat ini kami menjadi sangat sibuk dengan rutinitas perawatan setiap hari, pasien datang dengan bermacam keluhan, luka membusuk pada kaki, malaria, ispa serta hernia. Saya selalu menekankan kepada staf agar kita bekerja dengan hati. Jangan risau dengan kondisi pasien yang paling buruk sekalipun, layani mereka layaknya kita melayani kedua orang tua kandung. Kehadiran pasien di Puskemas membuat wajah kami semakin sumringah, kehadiran itu berarti bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kinerja petugas medis di Pusat Kesehatan  ini semakin tumbuh. Kepercayaan bukanlah suatu hal yang mudah untuk didapat.  Caci maki dan tuduhan, bahwa obat yang kami berikan adalah racun sudah tak pernah lagi didengar.
Hari demi hari berlalu, berubah menjadi minggu, berubah pula menjadi bulan. Tanpa terasa kami sudah bertugas enam bulan di Mumugu, masyarakat semakin mengenal dan menyayangi kami. Banyak hal yang sudah kami lalukan, membantu ibu-ibu melahirkan, mendampingi pasien minum obat, merujuk beberapa orang pasien ke Rumah Sakit Kota untuk operasi usus buntu, mengajarkan anak-anak Mumugu membaca, menyanyi, dan menari. Setiap sore suasana di Pusat Kesehatan menjadi ramai, karena riuh suara anak-anak menyanyi dan menari, malam hari kami kembali berkumpul  nonton bersama. Saya tak perlu lagi berkeluh kesah, karena sikap masyarakat yang kurang bersahabat atau caci maki dari pasien. Perjalanan panjang dan kerja keras ini tak berakhir dengan sia-sia. Rasa tenang di hati, karena tersadar bahwa masyarakat di sekitar tempat tugas menyayangi kehadiran kami di kampung ini. Beberapa orang yang masih jua menunjukkan sikap tidak bersahabat, bukanlah masalah yang berarti.  Suatu hal yang mustahil, bahwa kehadiran seseorang pada suatu tempat akan diterima seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali.
Jauh dalam hati, sungguh saya ingin mama mendengar dan melihat segala yang sudah saya lakukan di kampung ini. “Ma, saya sudah melakukan sesuatu yang baik, walaupun  harus bergelut dengan lumpur, keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, saya tidak khawatir dengan semua kesulitan ini. Tujuan saya satu, saya  ingin masyarakat di kampong ini sehat dan sembuh dari penyakit kusta. Ma, doakan saya, semoga segala yang saya  kerjakan bisa menjadi kisah yang layak diceritakan”.
Dalam hening saya teringat kembali kekasih yang tengah menunggu, jarak  terentang demikian jauh seakan tak terpetakan. Saya pun berucap dalam hati, seolah  tengah berhadapan dengan orang yang saya cintai, “Salah satu hal yang mendorong kedatangan ke Papua adalah karena dirimu, adakah jarak akan benar memisahkan atau ingatan bahkan semakin kekal tak terceraikan?  Hari-hari bermula dengan pahit, semakin pahit ketika engkau tak ada di tempat ini. Akan tetapi, pahit hanya tenggang waktu yang berbeda ketika akhirnya manis terasa. Kita akhirnya mengerti apa arti kehilangan”, lamaran telah saya terima untuk sebuah hari yang telah ditetapkan untuk dikukuhkan sebaga suami istri, hidup bersama dalam susah dan senang hingga maut memisahkan. Jarak ternyata tak pernah menjadi penghalang, bahkan menyatukan.
Tugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap akan berakhir pada bulan Juli 2015, ada keinginan teramat dalam untuk meneruskan tugas di kampong ini, sehingga seluruh masyarakat Mumugu terbebas dari penyakit kusta. Akan tetapi, saya  harus kembali ke Jakarta. Calon suami saya tidak menginzinkan masa penugasan lebih lama, meski tugas ini memebuat saya bangga, pernikahan sudah dipersiapkan bulan Agustus 2015. Saya harus memilih perkawinan atau tugas mulia ini, tak mungkin saya mendapatkan keduanya. Semoga Tuhan melihat semuanya, nanti aka nada dokter Pegawai Tidak Tetap yang akan meneruskan pelayanan medis di kampong ini, sehingga saya bisa kembali ke Jakarta, mengingat kehidupan Mumugu, dan meneruskan hidup dengan damai.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...