Rabu, 12 Juni 2019

MEMANGKAS JARAK





…. karena “mereka” adalah bagian dari “kita” ---

Betapa menakjubkan sesungguhnya Nusantara, gugusan beribu pulau yang berserakan di atas luas biru samudera seakan untaian zamrud khatulitiswa. Aneka budaya dengan beragam adat yang berbeda --adalah suatu strategi pertahanan hidup yang berpotensi secara langsung membangun karakter dan melahirkan pemimpin. Seorang pemimpin akan menginspirasi serta mengubah kehidupan orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik. Bahwa satu adat isti adat dari satu suku bangsa selalu berbeda dengan suku bangsa yang lain adalah suatu kelaziman, bahwa satu gaya kepemimpinan dari satu lingkungan kebudayaan selalu tidak sama dengan lingkungan kebudayaan yang lain adalah kearifan. Karakter dan perilaku adalah hasil adaptasi manusia dengan lingkungan yang berkolaborasi secara permanen, bertanggung jawab langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Maka setiap individu selalu merasa menjadi bagian dari individu yang lain untuk bersama-sama membangun komunitas menjadi lebih baik.
Betapa menakjubkan andai keberagaman, perbedaan antar budaya, suku, ras, agama, dan golongan menjadi suatu kekuatan yang bersinergi secara permanen dalam kehidupan demokrasi serta bernegara. Indonesia akan memiliki sumber daya, ruang, dan waktu tak berbatas untuk membangun negara menuju masyarakat sejahtera yang menyebabkan satu individu dari adat isti adat yang berbeda selalu menjadi bagian dari komunitas yang lain, tanpa syarat. Kebersamaan mendorong pemerataan untuk setiap individu dalam mendapatkan hak serta kebebasan bersuara --demokrasi.
Demokrasi tengah menempuh perjalanan panjang yang belum diketahui dimana ujungnya, setelah lebih tiga dekade kebebasan bersuara hanya mimpi. Kini impian itu bahkan menjadi surealis –melebihi harapan dan kenyataan yang sebenarnya. Media sosial yang pada prinsipnya berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide yang menginspirasi, dalam waktu yang relative singkat berubah menjadi sarana untuk melampiaskan kesumat dendam dan kebencian, karena perbedaan ras, suku, agama, dan golongan  --karena “mereka” bukan “kita”. Jarak meregang tak terukur, karena keberagaman dan perbedaan. Lembaga keagamaan yang mutlak memiliki masa yang seharusnya berfungsi menata hubungan manusia dengan Tuhan, perlahan tetapi pasti melebarkan sayap kewenangan, menjadi kekuatan politik yang mematikan. Demokrasi menjunjung kebebasan bersuara, dengan konsekuensi yang sangat berat, merelakan pemenang, santun terhadap kekalahan. Kursi sang pemenang mutlak hanya satu, tak mungkin tiga kontestan akan menduduki kursi yang sama dalam ruang dan waktu yang sama pula. Demokrasi harus selalu siap dengan pahit kekalahan.
Benarkah pelaku demokrasi siap dengan kekalahan?
Dalam beberapa kasus sang pemenang tidak mendapatkan setangkai kembang, akan tetapi caci maki di luar batas kewajaran, pergerakan masa di luar persangkaan, bahkan fitnah yang terlalu  keji. Suatu penolakan terhadap kekalahan yang tidak mencerminkan betapa adat isti adat setiap etnis di Nusantara tidak memiliki kaidah nilai yang serupa itu. Kebudayaan mengajarkan kesantunan, membangun perilaku untuk tetap bersikap baik dalam kekalahan sekalipun. Keberanian peserta kompetisi adalah menanggung kekalahan dan tetap diam. Relakan sang pemenang mengerjakan kewajiban, menerima hak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Demonstrasi bukanlah kesalahan sebagai salah satu cara bersuara dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, akan tetapi demonstrasi yang anarkis dengan caci maki, perlu dipertanyakan kembali kebenarannya. Memberikan rasa hormat kepada orang lain bahkan kepada pemimpin tinggi bukan kekeliruan. Tugas pembangunan suatu bangsa bukan semata menjadi beban para pemenang pesta demokrasi beserta seluruh jajarannya, akan tetapi menjadi tanggung jawab setiap pelaku kebudayaan pada masing-masing komunitas, tanpa kecuali.
Apakah kita akan selamanya diam?
Sebagai bagian dari komunitas yang mengaku berbudaya adi luhung setiap individu pada prinsipnya berkewajiban menjunjung tinggi demokrasi, memiliki keberanian menanggung kekalahan, sekaligus bersikap santun. Bahwa sesiapapun yang menghirup udara bebas pada negeri ini adalah bagian dari kita, memiliki hak untuk selalu mendapatkan rasa hormat tanpa membedakan suku, ras, agama, dan golongan. Tak seorangpun dapat memilih mau terlahir dari ibu serta kebudayaan yang mana? Satu hal  yang terjadi pada diri manusia adalah takdir hidup yang tidak bisa dipilih, kecuali dijalani dengan  keinginan bagi sebuah cita-cita. Manusia hanya pelaku, siapapun dan apapun keputusan dalam menjalani hidup, “mereka” adalah bagian dari “kita”. “Mereka” dan “kita” akan dapat menjadi bagian siapapun andai setiap individu memiliki kesadaran dengan segala kerendahan hati untuk memangkas jarak –melupakan segala perbedaan, suku, ras, agama, dan golongan. Kesepakatan untuk memberikan rasa hormat  kepada “mereka” mutlak, atau seluruh ruang, waktu, tenaga serta pikiran akan terkuras untuk hal yang tidak perlu terjadi –melampiaskan kesumat dendam secara anarkis, karena perbedaan. 



                                           ***



Selasa, 11 Juni 2019

TAMANSARI, YOGYAKARTA







  
Jarak Taman Sari dari lingkungan Kraton Yogya hanya beberapa menit, dapat ditempuh dengan menumpang becak atau bentor – becak motor, cukup membayar Rp. 20,000,00. Penarik becak akan mengantar pada seorang pemandu untuk berkeliling, menerangkan fungsi setiap sudut serta arsitektur taman yang berumur hampir tiga abad. Beberapa langkah kemudian ketika wisatawan  dipandu berjalan berkeliling melewati jalan sempit di antara rumah penduduk sebelum akhirnya sampai di pintu gerbang, harga tiket untuk turis domestik Rp. 5,000,00, turis asing Rp. 7,000,00. Wisatawan akan segera merasa berpulang ke masa lampau, pada kehidupan Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758,  ketika Taman Sari dibangun sesuai dengan tahun pembangunan Kraton Yogya.
Bagian pertama dari Taman Sari adalah Gapura Panggung, lebih dua abad yang lalu, dari atas Gapura ini Sultan biasa menyaksikan tari-tarian yang dipentaskan pada taman di bawahnya. Bangunan artistik di samping taman adalah tempat para penabuh gending,  di tengah-tengah taman didirikan panggung tempat para penari menunjukkan seni tari yang indah dan santun. Tak jauh dari Gapura Panggung tampak anak tangga dan pintu lengkung dengan cat dinding berwarna krem. Adalah materi bangunan yang tidak tetap menyatu dengan materi bangunan kuno lebih dua abad yag lalu. Meskipun direnovasi Taman Sari tak dapat melepaskan tekstur warna dinding yang kuno. Di  balik pintu lengkung tampak gemericik air mancur terjatuh di atas permukaan air kolam yang jernih dengan dasar kolam berwarna biru. Adalah tiga kolam pemandian Umbul Kawitan -- kolam untuk putra-putri Sultan, Umbul Pamuncar -- kolam untuk para selir, dan Umbul Panguras -- kolam untuk Sultan.
Di menara , ruang pribadi Sultan masih tersimpan sebuah bejana. Kala itu bejana akan selalu berisi air jernih yang berfungsi sebagai cermin. Lebih dua abad yang lalu, seorang wanita cantik akan menundukkan kepalanya, memperbaiki tata rias wajah dan sanggul, merapikan busana, bersiap menemui Sultan. Cermin belum lagi sampai ke Tanah Jawa, maka air di dalam bejana secara otomatis akan memantulkan bayangan nyata dari pemilikmya. Di atas ruang rias masih terdapat satu ruangan  mungil di lantai ketiga yang dapat dicapai dengan melewati anak tangga kayu jati. Dari lantai ini, melalui bingkai jendela, mentari tampak memantulkan sinar dari kolam di bawahnya, seluruh area Taman Sari tampak dengan jelas, indah, dan mengesankan.
Turun dari atas menara pemandu akan membawa wisatawan menuju Gapura Agung, tempat kedatangan kereta kencana yang dikendarai Sultan dan keluarganya menuju Taman Sari. Gapura didominasi ornamen bunga dan sayap burung, tak jauh dari Gapura Agung berdiri  Pesanggrahan sebagai tujuan berikut. Waktu itu, sebelum berperang, Sultan akan bersemedi di tempat ini. kali ini, setelah hampir tiga abad, suasana di pesanggrahan masih terasa senyap dan hening, seakan membahasakan suasana kala Sultan tengah bersemedi, memuja Sang Pencipta Langit dan Bumi. Di tempat ini pula senjata dan pakaian perang disimpan, keris-keris disucikan. Adapun di pelataran para prajurit biasa berlatih pedang.
Wisatawan seakan kembali ke masa lampau pada tahun 1758, setelah Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi membangun keraton sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I membangun keraton di tengah sumbu imajiner yang membentang di antara Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Titik yang menjadi acuan pembangunan keraton adalah sebuah umbul -- mata air. Untuk menghormati jasa istri-istri Sultan karena telah membantu selama masa peperangan, beliau memerintahkan Demak Tegis seorang arsitek berkebangsaan Portugis dan Bupati Madiun sebagai mandor untuk membangun sebuah istana di umbul yang terletak 500 meter selatan keraton. Istana yang dikelilingi segaran -- danau buatan dihiasi aneka bunga yang menebarkan aroma mewangi, tempat yang indah itu disebut  dengan nama Taman Sari.
Wisata Taman Sari usai sudah, wisatawan dapat menruskan langkah berikutnya menuju Sumur Gumuling dan Gedung Kenongo. Ayo, mari kita pergi ....






J E J A K M U





jejakmu tak bersisa lagi pengkhianat, senja mengelam dalam warna darah, kulumurkan tinta sebelum gelap benar tiba, angin menjerit dalam raungan ombak yang marah, langit gemertak runtuh bersama isak tangis sang maha peri, lalu diam --sepi, waktu risau terjerembab di batas hampa : masihkah ada yang harus disesali? jarak serupa kilatan mata pedang yang menatap dan menyilaukan, bukankah sudah cukup ribuan hari yang lebam engkau dustai? kini rama-rama ramai beterbangan memapas mimpi, esok entahlah, tapi kelam tersisa bebayang yang berkelebat hilang di batas penantian ....


Agats - Asmat, 25 Agustus 2013

Senin, 10 Juni 2019

PASAR BERINGHARJO, YOGYAKARTA

 
  




Suasana bersahaja segera meruap ketika seorang pengunjung melangkahkan kaki di teras pasar kemudian membaur pada riuh suasana Beringharjo. Aneka kuliner dengan harga sangat terjangkau ditawarkan pedagang dengan ramah, gudeg, pecel, cendol, camilan khas Yogya, dan es teller. Pada langkah berikutnya pengunjung akan segera menyatu dengan kesibukan pasar dalam menawarkan aneka motif batik dan tekstil, jual beli berlanjut sepanjang hari hingga pasar tertutup pada sore hari.
Harga batik dan tekstil relatif murah bila dibandingkan dengan harga di toko atau mall,  karena pajak yang rendah. Beragam corak batik yang indah dan mengesankan memberi kemungkinan kepada pembeli untuk memilih dengan harga terjangkau. Helain kain, selendang, hem, rok, sprei, sarung bantal. Tak jauh dari tempat penjualan batik, tampak pedagang menawarkan buah-buahan, makanan kering khas Yogya. Seorang yang semula hanya berniat melihat-lihat, tanpa niat membeli akhirnya perpancing juga untuk berbelanja, karena motif batik yang indah. Di Lantai atas tersedia aneka kebutuhan hidup yang telah ditata sedemikian rupa, sehingga pengunjung bisa menentukan langkah, kemana hendak menuju dengan menghemat waktu dan tenaga. Segala kebutuhan hidup seakan tersedia di tempat ini, pasar  yag terletak di jantung kota, satu rangkaian simbolis dengan filosofi Kraton Yogya.
Keberadaan pasar bagian pilar dalam "catur tunggal", yakni Keraton, Alun-Alun Utara,  Pasar Beringharjo, dan Masjid Keraton. Catur Tunggal adalah pola tata kerajaan yang sejak awal keberadaan keraton telah digunakan untuk menjalankan roda kehidupan kerajaan. Beringharjo menghidupi seisi kerajaan. Pasar Beringharjo  didirikan pada tahun yang sama saat pendirian kerajaan, tepatnya tahun 1758. Pasar Beringharjo memiliki nilai sejarah tinggi bagi kerajaan kasultanan. Pasar ini didirikan pada tahun yang sama saat pendirian kerajaan. Tepatnya tahun 1758.
Semula kawasan pasar hutan belantara yang, akan tetapi karena posisi penataan pilar catur tunggal tersebut, maka dibuka hutan sebagai lahan kepentingan roda perekonomian,  fasilitas warga masyarakat melakukan jual beli. Pohon beringin subur berdiri dengan daun yang rindang meneduhi pedagang dan pembeli dalam melakukan transaksi. Tahun 1925, Sri Sultan HB IX membangun pasar menjadi bangunan permanen, bukan sekedar transaksi dagang di bawah rindang pohon beringin. Saat peresmian, Sri Sultan HB IX memberi nama "Pasar Beringharjo". "Bering" berarti pohon beringin dan "harjo" berarti sejahtera. Adalah suatu harapan, bahwa pohon beringin yang meneduhi penjual dan pembeli dalam melakuka transaksi akan memberikan kesejahteraan dari tahun ke tahun hingga beberapa kali dipugar dan akhirnya menjadi seperti sekarang ini.

                                                                                     ***

MONUMEN MANDALA MAKASSAR

 






“Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....” Walter Robert Monginsidi,
5 September 1949.


Beberapa jengkal setelah langkah kaki melewati pintu Monumen Mandala, suasana tiba-tiba berubah, hiruk pikuk lalu lintas kota menghilang, yang terpampang kini sejarah pada masa berpuluh bahkan beratus tahun silam, sebelum dan  dua dekade kemudian ketika bangsa ini menyatakan kemerdekaan. Tak terbilang jumlah pahlawan dikenal maupun tak dikenal gugur berlumuran darah bagi sebuah pembebasan. Saya tak sempat membidikkan kamera, terlarut dalam catatan demi catatan serta  diorama, ialah adegan sejarah yang memberi pembelajaran tentang proses panjang perjuangan suatu bangsa untuk berdiri dan berdaulat. Ada yang bergetar di dalam hati ketika kaki terus melangkah dari satu diorama ke diorama yang lain.
Monumen Mandala terletak di Jl. Jendral Sudirman, dengan luas lahan satu hektar, sekitar 500 meter dari Lapangan Karebosi. Tanggal  11 Januari 1994 Menko Polkam Soesilo Sudarman meletakkan batu pertama, tanggal 19 Desember 1995 Presiden Soharto bertandang ke Makassar untuk meresmikan monumen bersejarah ini.  Makassar adalah markas bagi pasukan pembebasan Irian Barat, maka di kota inilah monumen didirkan. Bangunan ini berbentuk segitiga sama sisi dengan menara menjulang 75 meter dari atas permukaan tanah. Segi tiga menggambarkan Trikora --Tiga Komando Rakyat, pada bagian bawah dan atas bangunan terdapat relief berbentuk kobaran api menandakan semangat juang Trikora. Pada lantai pertama terdapat 12 diorama, menggambarkan perang rakyat Makassar melawan penjajahan Belanda  hingga peristiwa Andi Azis. Pada lantai kedua terdapat diorama yang menggambarkan perjuangan pembebasan Irian Barat --yang kini menjadi Papua Belanda masih menguasai Irian Barat. 
Segala perundingan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda dalam rangka membebaskan Irin Barat, kandas tanpa hasil, maka pada Desember 1961 Presiden Soekarno mencetuskan Trikora di alun-alun utara Yogyakarta, menggunakan kekuatan militer. Soekarno mengangkat Mayor Jendral Soeharto sebagai panglima serta komando Mandala dengan memikul tugas merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat ke Indonesia dengan berbagai peralatan militer dari Uni Soviet.
Monumen adalah sejarah yang dihadirkan secara eksklusif dan mengesankan, sehingga generasi penerus yang hidup kemudian dapat sejenak menoleh ke belakang dan menyadari dari mana sebenarnya kehidupan hari ini berasal. Bahwa kebebasan yang diperoleh bukan semata-mata jatuh dari langit, akan tetapi dari perjuangan, kerja keras, serta tumpahan darah para pendahulu. Pendahulu yang dikenal seperti Sultan Hasanudin, namanya tetap abadi menjadi nama bandar udara, universitas, dan jalan raya
Satu hal yang sungguh mengesankan adalah saya mendapatkan kembali kalimat yang diucapkan Walter Robert Monginsidi, beberapa saat sebelum hukuman mati dijatuhkan, adalah kata-kata yang hapal dari catatan sejarah ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Pun Monginsidi lahir di Malalayang – Manado, putra dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa memulai pendidikan di  HIS dan MULO kemudian dididik sebagai guru bahasa Jepang, mengajar bahasa Jepang di Minahasa dan Luwuk kemudian ke Makassar. Monginsidi berada di Makassar ketika Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi Belanda mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Monginsidi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar. Pada 17 Juli 1946 Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan rekan-rekannya membentuk Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi, ditangkap Belanda pada Februari 1947, tetapi berhasil membebaskan diri pada 27 Oktober 1947 Belanda menangkapnya kembali, kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati pada 5 September 1949, akan tetapi  hukuman mati tak menggoyahkan Monginsidi akan keyakinan suatu bangsa yang merdeka.  Kata-kata terakhir yang diucapkan sebelum kematian itu adalah Setia hingga akhir di dalam keyakinan ....”
Walter Robert Monginsidi adalah satu dari sekian banyak pemuda yang merelakan diri gugur dengan tragis dan menyakitkan di usia belia untuk suatu cita-cita luhur, kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada hari Pahlawan 10 November 1950 jasad Monginsidi dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Makassar. Adakah kalimat terakhir yang diucapkan pemuda muda belia menjelang hukuman mati itu akan berakhir dengan sia-sia? Pemerintah Indonesia akhirnya dapat berdiri dan berdaulat mencapai kemerdekaan, hal itu berarti bahwa hukuman mati itu tidak menyurutkan Monginsidi-Monginsidi yang lain akan keyakinannya. Akan tetapi Soekarno pernah berucap, “Perjunganku sulit, karena berperang melawan   bangsa asing, tetapi perjuanganmu lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri”.
Adakah Monumen Mandala berdiri dengan sia-sia? Pada kunjungan kali ini kami, 26 orang peserta Diklat Pim III Angkatan I dari Kabupaten Asmat di LAN Makassar mengadakan wisata sejarah untuk sejenak menoleh ke belakang, menggali kembali perjuangan yang terjadi di masa lampau. Masing-masing peserta pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan sudut pandang dan pengalaman yang berbeda pula. Saya sejenak seakan tercabut dari rutinitas hari-hari dengan jadwal yang ketat, berpulang pada suatu masa yang tak akan pernah dapat daya kunjungi kemudian terhanyut dalam situasi teramat kritis ketika setiap orang bahkan rela mati untuk mencapai satu kata “merdeka!”. Kami, generasi yang hidup pada masa ini tinggal memetiknya, menggali kemudian menerapkan apa sejatinya yang mesti dikerjakan setiap warga negara di era kemerdekaan?

HA LONG BAY, VIETNAM --Gugusan Seribu Pulau

 




   
Perjalanan dari Hanoi, ibu kota Vietnam ke Ha Long Bay menempuh sekitar 165 Km jarak melalui jalan licin beraspal. Di sepanjang jalan tampak pengendara kendaraan bermotor mengenakan caping, membawa ternak serta hasil bumi. Pada beberapa titik tampak pengrajin mengembangkan keramik dari bahan dasar bubuk kapur , sawah ladang membentang hingga akhirnya terhirup udara beraroma garam laut. Perjalanan cukup panjang pasti melelahkan, akan tetapi aneka rumah makan bersedia menyajikan beragam kuliner yang panas dan lezat, di antaranya adalah bubur sea food. Di seputar restaurant penjaja mutiara ramai bertransaksi dengan sekalian turis baik asing mupun domestic. Butiran mutiara itu berwarna putih dan gelap, diuntai menjadi gelang atau kalung dalam beragam model, ditawarkan dengan fluktuasi harga melalui tawar menawar. Penjaja mutiara menerima Vietnam Dong serta Dollar Amerika, kedua mata uang itu berlaku bagi semua transaksi di Vietnam.
Ha Long Bay adalah salah satu destinasi wisata di Vietnam, tepatnya terletak di Teluk  Tonkin, Provinsi Quang Ninh, in the northeast of Vietnam. Destinasi wisata ini memiliki areal seluas  43,400 ha and including over 1600 islands. Bermacam kelas hotel sedia  membuka pintu, dari penginapan kelas bersahaja, menengah hingga gedung menjulang bergaya post modernisme berbintang-bintang. Kecil kemungkinan untuk berkunjung ke Ha Long Bay tanpa menginap, karena posisi yang cukup jauh dari ibu kota. Dari teras hotel bertingkat, air laut tampak membiru seindah batu safir, suasana sekitar tenang, jauh dari riuh rendah deru kendaraan bermotor. Pusat hiburan malam tersedia pula di tempat ini, turis yang menggemari kehidupan malam berpeluang untuk relaksasi dengan mendengarkan music serta berdansa.
Pagi  hari setelah cukup beristirahat, sebuah feri bergaya tradisional serta pemandu telah menunggu di dermaga. Sementara feri menunggu kepastian bergeraka ibu-ibu penjaja mutiara kembali mendatangi turis, menawarkan aneka model untaian kalung serta gelang mutiara. Transaksi terjadi dalam bahasa isyarat serta bahasa Inggris yang terpatah-patah atau melalui seorang pertejemah untuk mencapai kesepakatan. Kecuali destinasi wisata Ha Long Bay adalah penghasil mutiara, perhiasan yang melambangkan ketulusan hati. Ketika feri bersiap melaju, sekalian penjaja mutiara segera meninggalkan tempat untuk m enawarkan perhiasan pada feri yang lain.
Pada menit-menit pertama feri bergerak, suasana tampak biasa saja, tidak ada sesuatu yang istimewa, kecuali  ombak yang berbuih dalam kesiur angin. Wisatawan yang  berpapasan melambai sambil tersenyum ramah meski kami tidak saling mengenal. Sementara perahu-perahu kecil tampak melaju, sarat berisi buah-buahan tropis. Angin semakin kencang.
Beberapa menit kemudian tampak pulau-pulau kecil tanpa penghuni ditumbuhi hijau pepohonan yang tinggi menjulang. Semakin jauh feri bergerak pulau-pulau kecil tampak semakin banyak dengan bentuk serupa namun tak sama. Di kejauhan pulau-pulau  itu tampak samar diliputi kabut seakan berselubung misteri. Ketika feri mendekat misteri itu masih tetap menyelubungi ribuan pulau-pulau yang lain, nun jauh di sana. Seluruh penumpang feri terpana. Gugusan pulau ini berjumlah sekitar 1.600 buah, tampak seakan batu zamrut berserakan di atas sehelai kain maha luas berwarna biru. Gugusan pulau nan indah itu seakan tak pernah habis, semakin lama semakin banyak dengan bukit-bukit yang tinggi menjulang. Masing-masing wisatawan sibuk menjepretkan kamera untuk mengabadikan gambar sebagai bukti, kami pernah sampai di tempat yang menakjubkan ini.
Akhirnya feri berhenti pada sebuah pulau yang paling besar, kami turun beriringan untuk menyaksikan keajaiban alam yang berbeda. Ialah gua yang sangat besar dan panjang yang telah dibangun secara sistematis dengan menyesuaikan kondisi alam. Lorong panjang buatan alam itu akhirnya sampai pada sebuah ujung, langit terbuka yang memberikan udara sejuk. Beberapa pedagang menjual souvenir, kerajinan tangan dari kulit kerang, mutiara, gantungan kunci, perangko, dan kartu pos. Kami tak bisa berlama-lama di tempat ini. Feri menunggu untuk perjalanan kembali.
Rasa lelah terobati dengan aneka hidangan, sea food, sayur mayur, buah-buahan serta minuman segar yang  diolah seorang ahli dengan cita rasa yang terlalu lezat, sulit untuk diucapkan. Kami mencicipi tiap-tiap menu tanpa merasa bosan hingga perut terasa sesak kemudian kembali ke geladak untuk menyaksikan kemegahan alam yang jarang ditemui pada sudut dunia yang lain. Laut yang biru serta ribuan pulau berserakan berselimut kabut. Di Indonesia destinasi semacam ini terdapat di Raja Ampat, Sorong, Papua. Akan tetapi saya yang menetap di Asmat hamper 20 tahun bahkan belum pernah sampai ke gugusan pulau itu kecuali foto-foto yang bertebaran di media social.


                                                                            ***

PASSER BAROE JAKARTA --Pusat Perbelanjaan Bersahaja--

 





 
 Suasana benar terasa bersahaja ketika langkah kaki memasuki pintu gerbang areal Passer Baroe, tak jauh dari pusat perbelanjaan ini, Tugu Monas tampak berkilau menjulang. Passer Baroe terletak di jantung kota, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar Jakarta Pusat. Cahaya senja yang kekuningan memantul pada kaca-kaca pertokoan, perlahan meredup dalam warna lembayung. Kesibukan para pedagang dan pembeli terus berlangsung, berdenyut bak urat nadi kehidupan. Para pedagang buah ramah menjajakan dagangan dengan gerobak, apel, jeruk, kelengkeng, salak sesuai dengan musim yang tanggal. “Mari, mari … buah-buahan segar”. Pedagang kaki lima menawarkan aneka kerajinan tangan, pakaian, tas, sepatu, dan perlengkapan sehari-hari. Di sepanjang jalan pengunjung melangkah dengan santai menikmati suasana senja yang sesaat akan segera berubah menjadi gelap. Sementara Sungai Ciliwung tetap mengalir dalam diam seperti yang telah terjadi beratus tahun silam.
Pada dua sisi jalan Jalan Pasar Baru adalah deretan toko pakaian, toko tekstil, tailor, toko alat olah raga, sepatu, kacamata, dan toko  emas. Pandangan mata benar-benar dimanjakan apa, ‘apa yang diperlukan dan bisa segera didapatkan?’ Saya mengunjungi sebuah toko tekstil yang dipenuhi bermacam jenis kain aneka warna, disambut ramah para pelayan. “Berapa harga kain lace paris untuk satu kebaya?” saya bertanya.
“Lima ratus ribu rupiah”, jawab seorang pelayan.
“Berapa harga jahit?” saya kembali bertanya.
“Maaf, kami tidak bisa menjahit kebaya, tetapi bisa saya antar ke toko di depan sana”, saya pun berjalan mengikuti pelayan itu ke took tekstil yang ditunjuk.
“Selamat sore, bisa tolong menjahit kebaya?”
“Bisa”.
“Berapa biaya jahit?”
“Satu setengah juta dengan busternya”, pelayan toko itu  menjawab.
“Bisa selesai dalam satu minggu?”
“Sebentar, saya panggil tukang ukurnya”, pelayan toko itu berkelebat masuk ke dalam ruangan sebelum akhirnya kembali dengan seorang yang ahli dalam mengukur pakaian. Di dinding kasir tertampang foto seorang laki-laki India dalam pakaian adat, rupanya ia adalah sang pemilik took.
Kebaya benar selesai dalam seminggu dengan buster amat halus yang akan sulit dibuat oleh seorang penjahit biasa. Disamping kebaya, toko tekstil dapat pula menjahit stelan jaz, safari, seragam kantor, dan bermacam model pakaian yang diperlukan pelanggan. Harga masing-masing pakaian beragam sesuai selera pembeli dengan aneka alternative yang ada. Toko tekstil dengan keberadaan penjahit di dalamnya memudahkan pembeli dalam mendapatkan aneka model pakaian yang diperlukan. Sementara rumah makan murah meriah dan cepat saji melengkapi kemudahan di pusat perbelanjaan ini, sehingga pengunjung dapat berisantai sambil menikmati hidangan pilihan. Penjual rujak,  arum manis, makanan tradisionil,  dan makanan kecil tak kalah seru dalam menawarkan dagangan, maka lengkaplah kesibukan di pusat perbelanjaan itu.
Kesibukan masih tetap berlanjut di Jalan Antara, di ujung selatan Pasar Baroe. Di sebelah kanan ruas jalan satu arah ini terdapat hotel, rumah makan, biro travel, indomart serta bangunan yang meninggalkan kesan tua. Di sepanjang trotoar orang leluasa berlalu lalang di bawah pohon-pohan yang rindang dan akar beringin yang menggantung. Tamu-tamu yang menginap di hotel Jalan Antara  dapat leluasa pergi berbelanja dengan berjalan kaki untuk mendapatkan segala barang yang diperlukan.
Pagi hari, suasana Pasar Baroe relative sunyi, hanya tampak penjaja koran, penjaja buah-buahan segar, dan sisa kesibukan aktivitas di waktu malam. Sementara matahari beranjak naik, kehidupan di pasar ini perlahan bangkit, pintu-pintu toko mulai terbuka, pedagang kaki lima menggelar dagangan di sepanjang jalan. Semakin siang suasana semakin ramai, pengunjung bertambah padat, semakin padat pada sore hari. Kesibukan di pasar ini mencapai puncaknya pada malam hari, lampu mercury berpijar menyilaukan, suara deru kendaraan, hiruk-pikuk transaksi, juga gelak canda dari sekalian pengunjung,  jalanan menjadi demikian padat, sehingga pengunjung harus melangkah dengan hati-hati. Pijat refleksi menyediakan layanan bagi pengunjung yang kelelahan, ATM dari bermacam bank berdiri pada hampir setiap sudut, pengunjung tak perlu khawatir kehabisan uang cash. Passer Baroe bukan hanya pusat perbelanjaan, akan tetapi tempat tujuan wisata yang mengasyikan.
Suasana semacam ini berawal sejak 193 tahun yang lalu, tepatnya pada  1820 ketika Pemerintah Batavia membangun Passer Baroe sebagai situs ekonomi. Orang-orang Belanda yang menetap di Rijswijk  --sekarang Jl. Veteran-- memulai rutinitas berbelanja di tempat itu. Toko-toko di Passer Baroe dibangun dengan gaya arsitektur Cina dan Eropa. Di pasar ini pula orang-orang India – Indonesia menjajakan kain, alat olah raga, dan sepatu hingga saat ini.  Apotek Kimia Farma, toko Lee Ie Seng, toko perabot rumah tangga Melati, toko jam Tjung-Tjung, dan toko kacamata Seis --Tjun Lie-- bertahan sejak dahulu hingga sekarang ini. Demikian pula dengan penjahit jas  Isardas, Hariom, dan Gehimal, penjahit tersebut tetap eksis hingga hari ini.
                Suasana Pasar Baroe menjadi  lebih khusus pada perayaan Hari Ulang Tahun Jakarta yang jatuh pada bulan Juni. Pada bulan ini digelar Festival Passer Baroe dengan memamerkan berbagai produk local khas ibu kota seperti kuliner kebudayaan khas Betawi, dan kebudayaan Cina. Di tengah kesibukan ibu kota dengan jalanan macet setiap hari meluangkan waktu berbelanja ke Passer Baroe menjadi moment khusus ketika manusia semakin jauh melangkah menempuh era kemajuan dengan aneka ragam mall mewah sebagai pusat perbelanjaan. Ada kesan kuno dan tua pada kehidupan di Passer Baroe, ketika melangkah kaki ke tempat ini, seolah pengunjung ikut pula menguak sejarah pada sebuah  kehidupan yang mulai tercatat sejak 193 tahun yang lalu.

                                                                                  
                                                                                ***

P E S A N







pesan itu masih tersimpan di dalam botol
tersedak pada jerit gelombang
:"dimanakah pesisir?"
kabut kian tebal
semakin hitam
tiada yang tersisa
cuma risau, hijau daun, dan angin yang terjungkir
jarak kian panjang tak terukur
pun matahari berkobar menjadi jilatan lidah api
--mestikah si aku hangus?
masih tersisa hari untuk melupakan
atau akan tetap tergenggam
tapi rotasi waktu kan terhenti
mati!
pesan itu mash tetap tersimpan di dalam .....


Agats - Asmat, 7 Juni 2016

A R J U N A

“mengapa ibunda demikian tega
tiada pernah menyatakan
sesungguhnya Karna adalah sulung pandawa ….?”
wajah tampan Arjuna setajam belati, sebatang tombak
seakan membenam di kedalaman hati, ia tengah menjelang
pula ‘kematian’ ini
setelah anak panah menembus jantung saudara tertua
apa arti kehidupan baginya?
apa pula arti kemenangan setelah mayat-mayat rebah
bergelimpangan
sekumpulan awan hitam menggantung menyudahi perang
pun burung pemakan bangkai, siap berpesta
mematuk mangsa
“Arjuna ….”
tangan Kunti yang agung terpaku di udara
kali  ini pandawa ketiga bahkan tak berniat memandang
wajah mulia ibunda
\angin terkulai pada langkah kaki yang gontai
bayang kesatria itu menjauh
luluh dalam pilar istana nan gemetar, mengaduh ....


*Sepenggal Kisah Mahabharata  

P E N D A K I

langit serupa ungu pada
redup bola mata-Mu
saat eksekusi mengawali pendakian itu
dering telepon seluler mendadak
bisu
cuma suara anak domba mengembik
: selebihnya, halimun bergulung-gulung
menampik batas pandang
yang mengabur dalam embun
“edelweiss…. edelweiss….!” suara angin
memanggil lalu bergemuruh
mengamuk, dan menggigil
adakah yang lebih mencemaskan
dari kalut?
peluh yang menganak sungai
dan mengendap seakan garam laut
ilalang yang mengering
di lereng tebing merampungkan
jejak
kalah atau menang hanya
pernyataan
yang tetap berupa tanya di
akhir pendakian


Agats - Asmat, 8 Maret 2011

GEISHA*

:Nitta Sayuri San 

tanganmu kembali menyayat luka pada
gemulai lengan, melumurkan merah darah seakan
gincu lalu menjelang malam terkutuk itu
cinta cuma noda pada
kimono aneka rupa
di penghujung gugur musim
yang kejam menelantarkan kelopak sakura
memanggil dingin nan berguling pada
getar nada samisen
pun ucap hanya seni origami lunglai
tercampak di atas tatami
"aku menjadi huruf": vokal dan konsonan
yang bersedia seakan pengantin
untuk bercerai pada kalimat penghabisan
tanpa janji dan perayaan
tanganmu pun menghunus samurai
memenggal malam
letih sungguh kaki menapaki buram
rindu seribu tahun pada cahya mentari
mengundang berlari berpulang pada
kasih sejati


*Geisha: Wanita penghibur pada tradisi Jepang
Dari: Memoar seorang Geisha, Arthur Golden, Gramedia, Jakarta, 2002

REMBULAN MERAH

: bagaimana sejujurnya engkau terjemahkan
cinta?
tajam lidahnya berkilat
menjadi sangkur yang tiba-tiba
kalap menggali
dalam liang kubur
membatukan tubuh mati
diam tersungkur
--rembulan pun tersayat
meneteskan darah
kurindu kata katamu, tapi
yang terucap hanya
palsu
kelabu sajak yang engkau
tudingkan bak
bilah pedang tepat
di antara kedua mataku
di malam itu
ketika terucap kebencian
pada ujud paling mengerikan
: aku dan kamu
berakhir di batas perceraian waktu
ketika tanganmu bersitegang
membelah langit dalam
dentum amarah
--rembulan pun merah!


Agats – Asmat, 28 Februari 2011

L U R U H

: masa telah berpaling pada senja yang
padam

masihkah enghkau sosok?
sebab lelakumu kini bebayang
legam membatu dijilati lidah
waktu
malam nan langgeng
pada abu abu bola matamu
mencurahkan jelaga
menenggalamkan
dalam
hampa
--pun matahari
semakin tua
meletus di ubun ubun kepala
membakar atap rumah
hingga mendesing menjadi peluru
: sadarkah engkau akan
ketamakan itu?
pada akhirnya kekuasaan
serupa nyala lilin yang terbakar
habis dalam ruang
tanpa peta
engkau: bukanlah sesiapa ….


Agats – Asmat,  25 Februari 2011

MEMULAS LANGIT

waktu telah membumbung ke
atap atap rumah
meninggikan dhuha yang sama
ketika batang bambu, meratap
dihantam desing angin
yang berpulang pada lenyap
hujan pun reda  terbungkam menjadi
senja
: bukankah bahagia dan nestapa
hanya perbedaan sang maha warna
yang memulas langit hitam
kembali menjadi terang
dan menggiring siang tenggelam di ambang
petang
cinta dan benci cuma sepenggal kata
dalam arti  nisbi
apalah makna sesal, kecuali jerit
mengerang di penghabisan
tanggal
ombak pun diam
samudera abadi menyatu dengan kaki
langit
melanggengkan tujuan
manusia hanya jejak
tertinggal di atas pasir
lidah gelombang
kan menggelegar
menerkan pesisir


Agats – Asmat,  26 Januari 2011

J I N G G A

: nona manis Arydhamayanti

gerimis akan tetap berwarna
jingga
semburat  teja kekal di setiap senja
tak kan alpa memantulkan legenda
pun hujan adalah
air mata bidadari maya
nan menangis bersama
abu abu langit
hingga mendung tumbang
tercurah
menidurkan resah
bahkan susah senang
hanya roman kehidupan
seakan asin air laut sesaat
pasang kemudian surut
tak ada yang lebih abadi kecuali
yakin di dalam diri
percaya yang tak berniat
pergi
: gerimis kini membayang
pada sepasang bola matamu
memulas jingga
di dasar kalbu


Agats -  Asmat, 21 Januari 201

J A W A B

: adik manis Laila

--andai dapat kupenggal
jarak
sang kala mengubah diri
seakan laras senapan
diam menatap
kalap di kegelapan
masih tersisa keping cerita
namun dingin udara bersenyawa
pada deru angin
mengurai gundah
mengucurkan darah
andai dapat kutawar
jarak
maha waktu yang  berotasi
menghidupi jam  dinding
lurus menggelinding
takdir pun cemas berpaling
akan ada sejumput kisah
akhir  dukana
ketika kelana bersiap pulang
menumpang gerbong kereta
nan gemuruh di batas senja


Agats – Asmat, 10 Januari 2011

JERUJI MALAM

malam menghitam pada
secangkir kopi
terisak dihantam sepi
:masihkah diri menanti?
angin cuma kuda jalang
liar berlarian
melabrak
ranting
dedaunan
tiada daya menggapai
fajar
malam kian pekat pada
endapan kopi
udara terjebak
dalam gelembung waktu
nan asing
tak hendak pergi
: kemana mesti mencari?
sepasang rel adalah abadi bersisihan
tiada hendak temu
di akhir perjalanan


Agats - Asmat, 4 Januari 2011

REMBANG PETANG

sisa hujan –memantul temaram
lampu jalanan
pada legam ubin trotoar
: betapa cepat waktu berpacu
masih merebak aroma
daging panggang dari
kedai di kiri tikungan
duhai angin yang lapar
melahap rindu yang
terjebak pengap
pada pucuk cerobong asap
tergenggam harap di kepalan
tangan
udara jenuh pada kabut
yang melilit dan butir embun
yang tiba-tiba mengkristal
di sisi kanan adalah
rotasi roda kendaraan
tak lelah berputar
mengejar rupa sang zaman
kupercepat langkah
mengejar kelebat  bebayang
namun jejak itu
 murca
ditelan malam


Agats – Asmat, 4 Januari 2011

LIDAH WAKTU


 

: setelah pengkhianatan, penindasan, rasa sakit,
dan kematian --adakah yang lebih menakutkan?
cahaya membangkang pada biru angkasa
pucat diterkam gerhana
dimana kiranya pujangga menyimpan
kata?
suara hati hanya puisi nan
temaram
nyaris tak terbaca
pun waktu, kekal berdetak
mengelandang langkah kaki
pada terjal kehidupan
yang tak pernah terbayangkan
: setelah kecewa, penistaan, muram,
dan luka hati –adakah yang harus ditangisi
air mata hanya batu yang gugur
kemudian hancur
pagi masih berkunjung
dijemput sekawanan burung
embun yang enggan terjatuh
dan suara sapi nan melenguh
jarum jam tetap bergerak
menolak sepi
--apa lagi yang harus diratapi?


Agats – Asmat, 3 Nopember 2010

MUSIM GUGUR

waktu menghakimi dedaunan
pada lidah angin nan
berkelebat seakan pedang
ranting tertanggal  ditolaki  dahan
udara hampa
surya tiada
berpaling dicencang duka
rindang pepohonan
aneka warna kembang
hanya cerita
mengering dihantam kata
waktu menebas kerontang dedaunan
dalam dendam tak termaafkan
masa membingkai kewenangan
ketika badai menggasing
merampas kelopak bunga
nan luruh di tingkap nestapa
: siapakah engkau kala
napas menghembus menyingkap
langit
menumbangkan pepohonan dilereng
bukit
siapakah aku
yang hanya dapat menunggu
gagu
ditikam ragu ….


Agats – Asmat,  28 Oktober 2010

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...