Senin, 01 Juli 2019

MELAWAN JALASANDHA --Mahabharata, 17 The Great Epic of India




  

Syahdan, Raja Brihadratha memerintah Kerajaan Magadha yang masyur, disertai  pasukan tempur yang terkenal gagah berani. Sang Raja menikah dengan putri kembar Raja Kasi dan bersumpah untuk selalu berlaku adil. Lama setelah perkawinan berlangsung kedua permaisuri tak juga melahirkan seorang putera, hingga usia beranjak senja dan menjadi tua. Pada saatnya Raja Brihadratha menyerahka tahta kepada para menteri, mengakhiri kehidupan sebagai raja, pergi ke hutan didampingi dua istri untuk bertapa.
Sebelum sampai di pertapaan sang raja terlebih dahulu singgah bertemu dengan Resi Kausika, keturunan Gautama, berkeluh kesah,  karena sedih hati. “Yang mulia Resi, telah tua usia perkawinan ini, akan tetapi dua orang istri belum juga melahirkan seorang putra. Kerajaan telah kuberikan kepada para menteri. Adakah sebuah cara?” suara Brihadratha lemah, kerinduan seorang putra benar-benar menyiksa.
Sejenak suasana hening, sang resi yang telah lanjut usia memahami benar kerinduan ini, sejenak ia menghela napas sebelum akhirnya berucap. Saat sebutir  manga tiba-tiba jatuh di pangkuannya Resi Kausika segera mengerti, “Berikan manga ini kepada dua orang istrimu, semoga permohonan itu dikabulkan ….”
Raja Brihadratha kembali memiliki harapan, ia yakin akan kesaktian seorang resi. Ia membelah butir manga itu menjadi dua kemudian membagi adil kepada kedua istri. Selang beberapa waktu kedua istri Brihadratha mengandung, melahirkan pula sembilan bulan kemudian. Semula harapan itu melambung tinggi, akan tetapi segera hancur  berserakan. Masing-masing istri bukan melahirkan seorang bayi yang sehat  serta menjadi seluruh tumpuan. Adalah mahluk menyeramkan dengan satu kaki, satu telinga, setengah badan, setengah muka, dan setengah kepala. Satu kehadiran mahluk yang tidak pernah diharapkan dalam mimpi sekalipun.
“Bungkus kedua bayi itu dengan helai kain, buang jauh-jauh. Aku tak memiliki anak seram seperti itu”, lidah Brihadratha terasa getir, setelah menunggu hingga usia tua, yang hadir bukanlah bayi mungil yang lembut dan  manis, namun sosok menakutkan. Mampukah ia bertatapan dengan hantu hingga maut menjemput?
Kedua orang istri Brihadratha memenuhi perintah itu, membungkus kedua bayi malang dengan sehelai kain kemudian melangkah ke pinggir kota. Langkah itu tertatih dan mengambang, adakah seorang ibu yang rela membuang bayi, seburuk apa pun penampilannya? Masing-masing tangan itu gemetar  ketika membuang mahluk tak bersalah ke dalam tumpukan sampah. Tak ada pilihan lain, perasaan seorang ibu harus mati, atau ia harus membesarkan mahluk yang menyeramkan?
Saat sendyakala hadir dalam cahaya kuning keemasan, seorang raksasa perempuan melintas di seputar gundukan sampah, hidungnya yang tajam  mencium bau manusia.  Tangan raksasa itu mengaduk-ngaduk gundukan sampah kemudian kemudian menemukan dua bungkusan kain yang berisi potongan manusia. Sepasang matanya yang tajam terus mengamati kemudian ia menyambung potongan tubuh itu hingga menjadi seorang bayi manusia yang utuh. Tak lama ketika mahluk kecil itu berdenyut memberikan tanda kehidupan, wajah sang raksasa tampak berseri. Ia tahu kemana langkah membawa bayi tak bersalah itu.
Brihadratha tak mengenal seorang perempuan tua, yang sesungguhnya adalah raksasa yang tengah menyamar, ia menerima kehadiran itu dengan tangan terbuika. “Bayi ini putra tuanku, terimalah dan rawatlah sepenuh hati”, tangan perempuan tua itu terulur. Dadanya terasa lapang ketika bayi di tangan itu diterima dengan sepenuh hati.
Kali ini Brihadratha beserta kedua orang istri berhak merasa bahagia, bertiga tidak  merasa perlu bertanya dan waspada. Bukankah  ketiganya tengah menunggu kehadiran seorang  bayi yang akan menjadi segala tumpahan  kasih saying sekaligus harapan. Penantian akan  kehadiran seorang anak berakhir pada hari ini, ketiganya memberi nama bayi itu Jarasandha. Seorang anak yang beruntung, karena dibesarkan dengan segala perhatian, bertumbuh dewasa dalam pembinaan dan harapan, sehingga dewasa sebagai pemudaa gagah perkasa, sakti mandraguna.
Jarasandha akhirnya bertahta sebagai raja yang berkuasa, kuat, dan semena-mena.

                                                                           ***

Adapun Pandawa meneruskan pembangunan Indraprastha setelah peletakan batu pertama, mereka menerima segala hak selaku putra seorang raja dengan segala tanggung jawab yang harus dipikul dalam mengembangkan kerajaan. Kurawa telah berada dalam jarak yang sungguh jauh, akan tetapi, benarkah api kesumat dendam itu telah padam? Kelima Pandawa tak kehilangan waspada.
Segala hal yang berkaitan dengan usulan para penasehat layak kiranya dipertimbangkan. Demikian pula ketika seorang penasehat kerajaan mewakili suara-suara berucap, “Sebaiknya Yang Mulia menyelenggarakan upacara rajasurya demi gelar Maharajadiradja Sesembahan Agung”.
Yudhistira tahu apa yang harus dilakukan, “Saya harus segera bertemu dengan Krishna untuk sebuah nasehat”, sang raja menjawab usulan itu. Seorang kurir segera mendapat perintah untuk pergi menemui Krishna
Tak memerlukan tenggang waktu yang lama bagi Krishna untuk mendengar kabar itu, ia segera mengatur waktu, menyiapkan kereta serta pengawal untuk menuju ke Indraprastha. Pertemuan harus diselenggarakan. Ia menghadirinya dengan segala senang hati, ia adalah  sahabat Pandawa.
“Saudara-saudara dan para penasehat menyampaikan usulan supaya saya menyelenggarakan upacara raja surya. Akan tetapi, semua orang tahu, bahwa hanya raja yang dihormati dan dicintai rakyatnya dapat menyelenggarakan serta berhak menyandang gelar termaksud. Yang Mulia Krishna kiranya dapat memberikan masukan untuk penyelenggaraan upacara itu”, Yudhistira membuka pertemuan, ia merasa tersanjung dengan kehadiran Krishna.
“Benar, Yudhistira tidak bisa menjadi Maharajadiradja selama Jarasandha penguasa Magadha masih berwenang atas kerajaan lain dan belum juga ditaklukkan. Jarasandha telah menundukkan banyak raja kemudian melakukan penjajahan. Semua kesatria, bahkan Raja Sisupala yang disegani takut serta takluk kepada Jarasandha”, Krishna menanggapi pernyataan Yudhistira. Ia tahu siapa di antara para raja yang terkuat, yang lalim serta bijaksana. Jarasandha adalah yang terkuat, akan tetapi apakah ia bijaksana? Sejenak raja yang bijak itu terdiam sebelum kembali berucap.
“Pernah mendengar tentang Kangsa? Putra Raja Ugrasena? Setelah menjadi menantu dan sekutu, maka kekuatan Jarasandha berlipat ganda. Setelah bertempuh selama tiga tahun, terpaksa saya menyerah, Jarasandra terlalu tangguh. Saya tinggalkan Madhura, pindah ke Dwaraka, membangun kota baru untuk kehidupan yang lebih damai. Duryudhana, Karna, dan semua raja tak mungkin keberatan dengan upacara Raja Surya, akan tetapi Jaransandra akan memberi penolakan. Satu-satunya jalan adalah menaklukkannya, sekaligus membebaskan raja yang menjadi tawanan serta negeri yang dijajah. Kita harus bersatu dan bersekutu”, Krishna menatap seluruh yang hadir di balairung, meminta persetujuan akan pendapatnya.
“Benar, sebagai Raja Amarta saya sangat tidak menyetujui  kekerasan serta penindasan atas raja-raja yang lain. Tugas seorang raja adalah membawa masyarakat menuju kehidupan damai serta  kesejahteraan. Sesungguhnya saya tak menginginkan gelar Maharajadiradja, kalau semua raja merasa gentar terhadap Jarasandra, demikian pula Yudhistira. Apa yang harus kita lakukan?” Yudhistira harus mengakui kekuatan Jarasandra, ia tak akan mampu menghadapi keserakahan itu seorang diri. Ia harus memiliki sekutu. Sesaat Yudhistira melirik ke arah Bhima, kemudian terus menatap ketika Pandawa kedua berpendapat.
“Seorang raja tidak sedang melakukan kesalahan ketika memiliki cita-cita tinggi, ketika memiliki kekuatan serta sadar akan kekuatan itu. Ia tidak sedang pula melakukan kesalahan ketika menyadari ada kekuatan lain yang berbahaya bagi raja-raja di sekitarnya, dan harus bersekutu  untuk menentukan sikap. Bila kebaikan terdiam, kejahatan akan menang, kita bisa bersekutu untuk melawan Jarasandra. Aku Bhima dengan segala kemampuan di medan perang, Arjuna yang tangguh dengan bidikan anak panah, Krishna yang bijak. Apa lagi? Adakah ketakutan dalam menghadapi Jarasandra?” suara Bhima menggelegar, ia telah pula mendengar akan kekuatan serta kesewenangan Jarasndra.
“Benar, kita tidak bisa selamanya diam dengan kesewenangan Jarasandra, harus bersekutu untuk menumbangkan penguasa yang lalim. Delapan puluh enam raja telah ditawan, ia berencana mengorbankan seratus raja bagi persembahan, empat belas raja yang lain akan ditangkap. Kita harus bertindak ….” Suara Krishna lebih terkendali dari pada Bhima.
“Akan tetapi, berarti kita mengorbankan Bhima dan Arjuna, dua adik kesayanganku demi gelar Maharajadiraja. Ribuan pertimbangan diperlukan demi pengorbanan ini,” Yudhistira mengerutkan keningnya, mampukah ia mempertaruhkan nasib dua orang adinda.
“Benarkah kita akan diam selamanya? Apa arti hari lahir seorang kesatria? Apa arti kemasyuran, tanpa kemampuan menanggung akibat melawan kejahatan? Dengan kemampuan mengukur kekuatan tidak mustahil kita akan menang,” Bhima mengabaikan pendapat Yudhistira.
“Benar,  mengapa pula kita harus merasa tidak mampu, sekarang adalah saat bagi pertempuran. Kelak akan tiba waktu mengenakan jubah suci, meninggalkan arena peperangan, pergi bertapa ke hutan serta berpuasa untuk tujuan keagamaan. Kita masih bertanggungjawab dengan tindakan perwira sesuai dengan kebiasaan yang telah turun temurun,” Arjuna berpendapat pula.
Senyum di bibir Krishna mengembang mendengar kata-kata Arjuna, “Sependapat dengan kata-kata Arjuna Putra Kunthi keturunan Wangsa Bharata. Cepat atau lambat kematian akan tiba bagi setiap manusia, entah yang bersangkutan pahlawan atau lawan, satu hal yang tak akan pernah berubah kewajiban satria adalah mengabdi kepada bangsa serta keyakinan, menaklukkan musuh dalam setiap peperangan demi kebenaran,” tak ragu sedikitpun Krishna dalam mengucapkan kata.
Beberapa tabuh Yudhistira terdiam, ia perlu menimbang, memikirkan, memperhitungkan segala akibat, baik dan buruk sebelum benar memutuskan. “Baiklah, lakukan pertarungan secara kesatria untuk memenangkan yang benar dan mengalahkan yang salah ….”
“Hidimba, Hamsa, Kangsa, dan sekutu Jarasandha yang lain telah tiada. Saatnya menghadapi raksasa itu satu lawan satu, dengan atau tanpa senjata ….” Krishna benar telah yakin untuk menumpas Jarasandha sebelum korban yang lain berjatuhan.
Sebagai siasat pertarungan Krishna, Bhima, dan Arjuna menyamar selaku pertapa yang mengembara mengenakan jubah kulit kayu. Rumput darbha di tangan sesuai kebiasaan yang  telah lama mengakar. Sampai pada tempat tujuan, Magadha keduanya segera menuju Istana Jarasandha. Raksasa yang dituju kiranya telah mendapatkan firasat buruk. Jarasandha merasa gelisah, ada yang tidak nyaman pada suasana hati seakan butir kerikil yang terinjak di telapak kaki. Dalam hal ini Jarasandha cukup tahu apa yang harus dilakukan, ia meminta para pendeta berdoa bagi ketenangan serta keselamatannya kemudian berpuasa, bersemedi.
Sementara Krishna, Bhima, dan Arjuna yang menyamar sebagai pendeta memasuki istana tanpa bersenjata. Jarasandha menerima dengan tangan terbuka, sikap serta tutur kata tiga orang tamu tak dikenal menunjukkan mereka berasal dari kalangan terhormat. Bhima dan Arjuna lebih memilih diam, keduanya lebih baik diam dari pada mengatakan kebohongan.
“Kedua pendeta sementara tengah bertapa brata dan tapa bisu, tengah malam baru mendapat ijin untuk kembali berbicara ….” Demikian penjelasan Krishna terhadap Jalasandha tentang kebungkaman Bhima danArjuna.
Jalasandha terdiam, memperhatikan ketiga tamu, orang asing dengan tatapan sedalam lautan, ia selalu waspada, tidak mudah percaya, namun tidak juga bertindak gegabah. Beberapa saat kemudian Jalasandha undur diri, ia perlu beristirahat, demikian juga ketiga orang tamu yang datang dari jauh. Lewat tengah malam Jalasandha kembali datang, ia perlu mengenal lebih dekat ketiga orang tamu yang datang ke istana. Apa sesungguhnya keinginan mereka? Sepasang mata tajam Jalasandha kembali menatap, dahinya berkerut ketika mendapati lecet tali busur pada ketiga tangan tamu di hadapannya. Semakin tajam mata Jalasandha menatap, semakin ia waspada, ketiga orang tamu itu tidak menunjukkan sikap layaknya pendeta. Wajah rupawan, tatapan mata yang tajam, perawakan tegap, gerak laku yang terlatih serta hati-hati cukup menunjukkan ketiga orang itu adalah kesatria.
Jalasandha menghela napas panjang, kegelisahan kembali muncul. Benar ia memiliki kekuatan raga nyaris tapa tanding, tetapi ia terlahir dengan badan terpisah. Seorang satria yang mampu memisahkan kedua badan Jalasandha sudah pasti akan mengalahkannya. Seperti memisahkan lidi dari ikatannya, tercerai berai tanpa kekuatan apa-apa, tanpa sisa. Jantung Jalasandha bergemuruh, ia telah lalai, disusupi musuh sedemikian dekat hingga jauh ke dalam dinding istana. Ternyata ia tak benar-benar tangguh seperti persangkaan setiap orang, kali ini ia tidak lagi waspada. Masihkah ia harus berpura-pura tidak tahu?
“Siapa sesungguhnya kalian bertiga? Musuh  yang menyamar sebagai pendeta?” tak dapat disangkal lidah Jalasandha getir mengatakannya. Kegelisahan memuncak, ubun ubunnya seakan digenangi air mendidih, sesal dan amarah bergulung menjadi satu seakan ombak lautan.
Di tempatnya berdiri Krishna tak lagi memiliki alasan mengelak, ia tak perlu lagi bersembunyi untuk apa kedatangan ini? “Siapa kami bertiga? Adalah orang yang merasa tidak bisa tetap diam dengan kesewenanganmu Jalasandha. Andai engkau bisa berdamai dengan setiap manusia yang hidup, tetapi langkahmu terlalu jauh, sudah di luar batas kemanusiaan. Tugas kami menghentikan …. “ tak ragu Krishna mengatakan, ia tak perlu lagi menyamar.
Jalasandha terus menatap, hingga ia tahu siapa sesungguhnya satria yang berdiri di depannya, ia telah diperdaya, napasnya memburu, dadanya terasa sesak. “Krishna, engkau cuma seorang pengecut! Arjuna hanya seorang bocah, tapi engkau Bhima, seorang satria yang gagah perkasa. Kuterima tantanganmu ….!” Suara Jalasandha menggelegar, antara marah dan geram, karena telah diperdaya di istana tempat tinggalnya.
“Kuterima tantanganmu Jalasandha dengan tangan kosong tanpa senjata,” Bhima menerima tantangan itu.
“Aku pun tidak akan menggunakan senjata,” Jalasandha tahu benar aturan pertarungan, ketika lawan tidak menggunakan senjata, demikian pula keduatangannya.
Kedua petarung itu sama-sama kuat, sama-sama tangguh, tak mudah menjatuhkan antara yang satu dengan yang lain. Sehari dua hari tak cukup untuk menentukan pemenang, bahkan seminggu pun pertarungan belum sampai pada babak penentuan. Pada hari ke empat belas Jalasandha mulai tampak lelah, ia tak memenangkan kekuatan tenaga dari Bhima yang memang perkasa. Wajah raksasa itu tampak memucat, napasnya memburu, beberapa kali ia terpelanting seakan daun kering dicampakkan ranting, keringat dingin mulai mengucur.
Krishna tahu apa yang harus dilakukan, ia memberi isyarat supaya Bhima membanting Jarasandha ke atas tanah. Bhima menangkap isyarat itu, Pandawa kedua itu memusatkan tenaganya, menyambar satu kali kaki Jalasandha ke tanah, mengangkat lawan itu tinggi-tinggi, memutarnya seakan gasing, kemudian menghempaskan ke atas tanah sekuat tenaga hingga tubuh raksasa itu terbelah menjadi dua. Napas raksasa itu pun terputus, tak menyisakan tanda kehidupan pada darah yang mengalir membasahi tanah. Bhima menarik napas lega, pertarungan hidup dan mati itu selesai.
Akan tetapi, tiba-tiba kedua badan Jalasandha kembali menyatu, utuh dan perkasa, kemudian bangkit menyerang Bhima. Pandawa kedua nyaris lengah, akan tetapi dengan gesit ia mengelak, menyelamatkan diri. Tak pernah disangka, badan terpisah itu akan kembali tersambung hidup seperti semula. Satria itu terpana, beberapa saat tak pernah tahu apa yang harus dilakukan untuk memenangkan pertarungan ini. Ketika menatap Krishna, akhirnya ia mengerti.
Krishna mengacungkan sebatang jerami, dibelah menjadi dua. Masing-masing belahan dilontarkan pada dua arah yang berbeda. Bhima menganggukkan kepala. Sekali lagi ia mempersiapkan diri, mengerahkan tenaga, menyambar kedua kaki Jalasandha, mengangkatnya tinggi-tinggi, memutarnya seperti baling-baling kemudian membantingnya keras-keras. Untuk yang kedua kali tubuh Jalasandha terbelah dua, Bhima tak  membuang waktu. Masing-masing bagian tubuh itu digenggam pada tangan kiri dan kanan kemudian dilempar sejauh mungkin pada dua arah yang berlawanan. Kali ini kedua badan Jalasandha tak dapat kembali menyatu. Raksasa jahat itu menemui ajalnya.
Sejenak Bhima menghela napas panjang, ia telah memenangkan pertarungan panjang yang melelahkan. Ketiga satria itu tak perlu membuang waktu, mereka harus membebaskan sekalian raja yang ditahan, memulangkan ke istana masing-masing. Satu hal terpenting yang harus dilakukan sebelum kembali ke Indraprasta adalah menobatkan Putra Jalasandha sebagai Raja Magadha.

                                                              ***


--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...