Jumat, 21 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 15, Drupadi



  

Drupadi, putri jelita dan luhur budi dari Kerajaan Pancala akhirnya sampai pada suatu masa untuk menjelang kehidupan perkawinan. Adalah suatu tradisi bagi putri raja untuk memilih calon suami dalam sebuah sayembara. Seorang yang berhak menikahi putri raja adalah kesatria terpilih yang piawai  memainkan senjata perang. Dengan demikiam maka perkawinan ini sekaligus sebagai upaya untuk memperkuat kerajaan dari ancaman kerajaan lain. Putri raja tidak disarankan untuk menikah dengan pemuda dari kalangan rakyat jelata yang tidak bisa diperhitungkan kemampuannya dalam ilmu perang.
Hari itu sebuah perhelatan agung digelar dengan hingar bingar, memberikan ruang dan waktu bagi setiap kesatria untuk berlomba pada sebuah sayembara. Kesatria gagah yang mana akhirnya dapat memenangkan sayembara kemudian menyunting Drupadi, Putri Kerajaan Pancala yang jelita. Sebuah panggung yang kokoh telah didirikan di tengah-tengah arena, tampak pula sebuah busur teramat berat berukuran raksasa lengkap dengan anak panah. Kesatria yang mampu mengangkat busur, merentang, memasang anak panah kemudian mengenai sasaran, maka dia yang berhak menyunting Drupadi. Sasaran anak panah  digantung di belakang roda cakra yang terus berputar tanpa henti. Tepat di tengah-tengah cakra adalah sebuah lubang sempit yang hanya dapat dilalui satu anak panah. Dengan sayembara semacam ini, kiranya hanya kesatria yang mampu memusatkan pikiran dan memiliki kecakapan memanah melebihi kemampuan manusia biasa yang bisa keluar sebagai pemenang.
Pada sisi lain tak jauh dari arena sayembara telah berdiri pula sebuah panggung yang dihias indah aneka warna bunga dan lembut kain sutera bagi perkawinan agung. Tempat istimewa bagi para tamu undangan telah dipersiapkan pula dengan hiasan yang menakjubkan. Selama empat belas hari segala macam hiburan digelar untuk merayakan hari perkawinan Drupadi. Kali ini Kerajaan Pancala menjadi tujuan bagi para pangeran untuk mengadu kemampuan memanah untu memenangkan putri jelita.
Hari itu, sayembara akhirnya dibuka, Kerajaan Pancala menjadi pusat keramaian, pengunjung datang ke tengah arena tak terbendung, rakyat jelata, sekalian brahmana, ibu-ibu, anak-anak dan yang teristimewa adalah para pangeran yang jatuh hati kepada Drupadi dan berniat mempertaruhkan diri di tengah arena untuk memenangkan sayembara. Sejak pagi hari matahari bersinar cerah, langit biru bagai dipulas tangan sang maha warna, iring-iringan tamu agung berdatangan, dipersilakan  menempati kursi istimewa di tempat istimewa pula. Pada deretan kursi tamu tampak Khrisna, Sisupala, Jarasandra, Salya, Duryudana dan adik-adiknya serta Karna.  Semuanya tampak menatap ke arena sayembara dengan harapan akan memenangkan Drupadi, sang putri jelita. Suara music mengalun meramaikan keseluruhan suasana, menyambut kehadiran hari bersejarah itu.
Tiba-tiba irama music menurun, seluruh pandangan mata menuju gerbang istana, sebuah arak-arakan panjang bergerak. Mula-mula tampak Dristadyumna, pangeran tampan yang bersiaga mengawal jalannya sayembara, di belakang sang pangeran, Drupadi duduk di atas singgasana, di atas punggung gajah yang dihias kain lembut serta kemilau emas bertahta batu permata. Putri cantik itu tersenyum, melampai ke arah pengunjung yang datang berdesakan untuk menyaksikan hari perkawinannya. Ketika putri Pancala itu turun dari punggung gajah dengan hati-hati, seluruh tamu dan hadirin terpukau menahan napas. Mereka seakan menyaksikan seorang putri  turun dari langit setelah mandi dengan air bunga tujuh rupa. Rambut Drupadi yang hitam legam disanggul indah dihias tusuk konde dari emas murni, berkilau, karena batu mulia. Kulit wajah  itu sehalus mutiara, dengan sepasang mata sejernih air telaga dinaungi bulu mata yang lentik, sepasang alis mata yang melengkung alamiah. Bibir Drupadi dipulas warna semerah darah, senyumnya tersipu ketika Dristadyumna  menuntun dari singgasasa di punggung gajah.
Langkah Drupadi seanggun ratu ketika Dristadyumna membimbing ke tengah arena, sekilas putri Pancala itu menatap ke arah deretan kursi tamu undangan, mencari-cari seseorang. Ketika kesatria yang dicari tak menampakkan kehadiran, ia kembali tersipu. Ia seorang putri, ia harus mampu menyembunyikan isi hati, terlebih di tengah keramaian, ketika kehadirannya menjadi pusat perhatian, ia tak dapat menunjukkan perasaan senang atau kehilangan. Ia harus tersenyum, meski sesungguhnya hari perkawinan ini dihadapi dengan dada bergetar. Ada seorang kesatria yang selalu hadir dalam mimpi, ia sangat berharap hari ini ia akan dapat mengalungkan untaian bunga sebagai tanda dikukuhkan sebagai pasangan suami istri, terhitung hari ini hingga selama-lamanya.
Tetapi, dimana kesatria itu?
Drupadi tetap tersipu hingga ia duduk dengan sikap agung di atas panggung, pada sebuah kursi istimewa pada hari yang telah ditunggu. Sekalian pangeran menghembuskan napas panjang, berulang kali mencuri pandang ke arah Drupadi. Bahkan batu permata yang berkilau pada dahi Putri Pancala itu tak berarti apa-apa, bila dibandiingkan dengan kecantikan dan keluhuran budinya, demikian pula untaian batu mulia pada jenjang lehernya. Drupadi adalah permata hati Kerajaan Pancala yang sejatinya, seorang putri jelita yang akan diperebutkan dalam sebuah sayembara.
Drupadi tahu apa hakekat seorang putri raja, terlebih pada hari ditunggu ketika ia mesti diperebutkan pada sebuah sayembara. Sebuah arena terbuka dengan kehadirannya sebagai pusat perhatian, sayembara ini mungkin sebuah teather, ia harus berperan sebagai tokoh utama pada cerita yang sesungguhnya. Ia harus bersikap tenang seolah permukaan air telaga pada suasana hening, ketika angin paling lembut sekalipun enggan untuk bertiup menggugurkan helai daun. Drupadi tahu sekalian pangeran dan kesatria mencuri pandang, tak dapat menutupi suasana hati yang terhanyut teramat jauh pada impian tak bertepi. Ia harus bersikap seolah-olah tak pernah tahu perasaan sesungguhnya yang berkecamuk pada hati peserta sayembara.
Ketika suara gong ditabuh dengan keras menggelegar, seluruh hadirim terdiam, merelakan waktu terus berlalu menuju langkah berikut. Sayembara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh para brahmana, sekalian brahmana menampilkan diri ke tengah arena, membacakan mantra upacara serta kidung suci bagi kemakmuran, ketentraman, dan kedamaian. Suasana menjadi hening, sementara irama music berubah menjadi lembut mendayu. Di atas kursi Drupadi tampak menundukkan kepala, ia khusuk memohon sesuatu kepada Yang Maha Pencipta, tak seorangpun tahu, apa sesungguhnya isi hatinya?
Setelah pembacaan doa selesai, dengan hormat para brahmana undur diri, kembali ke kursinya bermula. Dengan gagah Pangeran Dristadyumna menuntun Drupadi ke tengah arena. Sekalian hadirin kembali menahan nafas, tak seorang pun mengerdipkan mata. Wajah cantik Drupadi disangga leher jenjang dengan tubuh ramping dan sepasang kaki indah terbalut kain sutera yang lembut. Kulit putri Pancala itu sekuning buah langsat, langkah kakinya demikian yakin dan mantab, tak tampak sedikitpun keraguan, senyumnya kembali tersipu. Drupadi tetap tersipu ketika Dristadyumna berucap, “Selamat datang para kesatria dan putra mahkota dan seluruh rakyat Pancala. Kami atas nama Raja Pancala mengucapkan terima kasih atas kehadiran dalam sayembara memanah untuk memenangkan Drupadi, putri jelita, permata hati Kerajaan Pancala. Di tengah arena telah tersedia busur dan anak panah, di seberang sana, di ketinggian adalah sasaran bagi anak panah. Siapapun yang berasal dari keluarga baik-baik, mampu mengenai sasaran, melewati lubang di pusat cakra  lima kali berturut-turut, dialah yang berhak memenangkan sayembara ini, berhak menyunting adikku, Drupadi”, ucapan Dristadyumna disambut dengan sorak sorai membahana.
Setelah menganggukkan kepala Dristadyumna berbicara pelan kepada Drupadi tentang nama pangeran dan kesatria yang ikut serta dalam sayembara memanah sambil menuntun kembali putrid Pancala itu ke tempat duduknya. Kali ini jantung Drupadi seakan berpacu, debaran demikian keras seakan curahan air terjun, sayembara akan segera dimulai, kesatria yang mampu memenangkan sayembara akan berhak mendapatkan kalung dari untaian bunga sebagai pertanda keduanya dikukuhkan sebagai suami istri. Ia tak mengenal dengan baik seluruh peserta sayembara, akan tetapi ia tak berwenang menolak pemenangnya, demikianlah takdir seorang putri.
Meskipun detak jantungnya berpacu, Drupadi tetap tenang ketika kesatria pertama maju ke tengah-tengah arena untuk mengangkat busur, merentang anak panah kemudian membidik sasaran. Putri Pancala itu menghela napas panjang ketika kesatria pertama gagal memanah sasaran, demikian pula dengan peserta kedua, dan seterusnya. Busur terlalu berat, demikian pula dengan anak panah, tak seorangpun mampu mengenai sasaran, tidak juga Khresna, Sisupala, Jarasandha, Salya, bahkan Duryudana. Suasan riuh rendah, Drupadi masih tetap bersikap tenang, meski diam-diam mulai gelisah, kesatria mana gerangan yang dapat memenangkan sayembara? Demikian hatinya bertanya-tanya.
Wajah kesatria dan putra mahkota yang kalah menjadi demikian kecewa, mereka mencuri pandang ke arah Drupadi dengan keluhan tak terdengar, harapan berakhir di arena ini. Putri Pancala itu tak mudah untuk diperebutkan, dan mereka harus menerima kekalahan dengan lapang hati, tak seorangpun berhak melanggar aturan. Sementara suasana mendadak hening hingga Karna tiba-tiba tampil ke tengah arena, wajah tampan dan tubuhnya yang gagah serta kemilau anting-anting di telinga diam-diam mempesona setiap tamu serta penonton yang hadir. Sikap Karna adalah kesatria sejati ketika memberikan hormat ke arah Pangeran Dristadyumna dan Drupadi.
Ketika Karna dengan segenap keyakinan mengangkat busur, sorak sorai kembali membahana, penonton benar mengharapkan seorang pemenang yang sekaligus akan menjadi pengantin Kerajaan Pancala. Senyum tipis mengembang pada wajah tampan Karna, sekilas ia mencuri pandang ke arah sosok agung Drupadi. Kesatria mana yang tidak jatuh hati kepada Putri Pancala yang jelita? Karna menghela napas, menenangkan diri, memusatkan pikiran, ia sangat mengharap akan kemengan ini. Perkawinan dengan Drupadi akan mengubah seluruh hidupnya.
Di atas panggung, diam-diam wajah Drupadi berubah menjadi galau, ia tak dapat menyangkal ketampanan dan kemampuan Karna dalam memainkan senjata perang. Akan tetapi, apakah ia pernah bermimpi untuk menikah suatu  hari dengan anak seorang sais kereta yang diangkat Duryudana sebagai sekutu, menjadi Raja Angga, betapapun tangguh kesatria itu. Tak seorang pun tahu, beberapa saat Drupadi memejamkan sepasang matanya yang indah. Jauh di dalam hati sebenarnya ia mengeluh, mengapa seorang putri raja harus mendapatkan suami melalui sayembara, bukan karena hati yang  mencinta.
Ketika akhirnya Karna gagal hanya seujung rambut membidikkan sasaran, Drupadi nyaris bersorak. Busurpun jatuh terpelanting setelah lima anak panah menjauh dari sasaran. Karna tampak masgul, akan tetapi ia harus berlapang dada dengan kegagalan ini, ia tak mampu memenangkan sayembara dan tak dapat menikahi Drupadi. Setelah berdiri tegak bagai patung batu, Raja Angga itu memberikan hormat kemudian berlalu meninggalkan arena kembali ke kursi semula. Wajah tampan itu tampak sedemikian kecewa, diam menunduk. Hatinya mengeluh, mengapa pula seorang putri raja hanya bisa digapai melalui sayembara yang disaksikan khalayak ramai. Setiap kesatria harus mempertaruhkan harga diri dengan akibat kekalahan, ia telah menanggung pula kekalahan itu.
Sementara penonton berseru menunjukkan kekecewaan, “Sayembara ini terlalu berat bagi kesatria yang manapun ….”
“Mungkin tak akan hadir seorangpun pemenang”.
“Atau sayembara ini sengaja ditujukan untuk menjatuhkan putra mahkota”.
“Siapa sesungguhnya yang layak menjadi pemenang?’
Suasana hiruk pikuk, sesungguhnya menuju ketegangan, setiap penonton saling berpandangan kemudian menatap ke tengah arena. Sasaran anak panah masih tetap seperti semula, sementara matahari mulai beranjak tinggi. Di atas panggung Drupadi masih diam, menunggu. 
Tiba-tiba tamu undangan dan penonton dikejutkan oleh kehadiran seorang brahmana muda yang bangkit berdiri, berjalan dengan sepenuh keyakinan ke tengah arena. Sorak sorai kembali membahana seakan hendak merobohkan langit. Brahmana itu masih berusia muda, pakaiannya bersahaja seperti halnya brahmana yang lain, akan tetapi di balik kesahajaan terdapat sikap kesatria sejati. Langkah brahmana muda itu demikian pasti, ia tidak tampak canggung atau ragu-ragu ketika melangkah, demikian pula ketika berucap dengan santun, namun tegas.
“Seribu ampun Pangeran Dristadyumna, adakah seorang brahmana diijinkan pula mengikuti sayembara?” demikian brahmana muda itu bertanya.
“Siapapun yang berasal dari keluarga baik-baik, diijinkan ikut serta”, Pangeran Dristadyumna dengan gagah mempersilakan kesediaan brahmana muda untuk ikut serta.
Sementara di tempatnya duduk tiba-tiba Drupadi terpana, sepasang matanya yang jeli tak dapat ditipu oleh pakaian sederhana seorang brahmana, ia mengenali sosok sejati yang ada di balik pakaian itu. Sosok yang selalu hadir dalam mimpi, sosok yang selalu ditunggu pada hari sayembara sekaligus hari perkawinannya. Senyum Putri Pancala itu menghiasi bibir semerah darah ketika sang brahmana muda sejenak menundukkan kepala, memohon kepada para dewata dengan sepenuh keyakinan, tak berapa lama kemudian dengan mantab tangan sang brahmana mengangkat busur. Senjata perang yang sangat berat itu seakan tak membebani apa-apa, dengan cermat dan hati-hati sang brahmana mulai membidikkan anak panah. Drupadi tak ragu sedikitpun bidikan itu akan mengenai sasaran, pemenang sayembara akan mendapatkan kalungan untaian bunga.
Sesaat brahmana muda itu menatap ke seluruh arena, terakhir melirik wajah agung Drupadi, tersenyum. Putri Pancala itu merasa darahnya tersirap. Ia tahu hari bahagia itu telah tiba. Ketika lima anak panah secara berturut-turut melesat secepat kilat mengenai sasaran, menembus lubang cakra yang  terus berputar. Anak panah pertama tepat mengenai sasaran, anak panah kedua menembus anak panah pertama, demikian seterusnya hingga anak panah kelima. Cakra terbelah jatuh ke atas tanah.
Suasana hening segera terpecah menjadi sorak sorai, di tengah-tengah arena kesatria brahmana itu berdiri dengan tegak, senyumnya mengembang. Ia memenangkan sayembara ini, ia berhak menikahi Drupadi, permata hati Kerajaan Pancala, ia akan mengubah pula takdir hidup Ibu Kunthi dan empat Pandawa yang lain. Sorak sorai dari kalangan brahmana semakin seru ketika Pangeran Dristadyumna mempersilakan sang pemenang menuju panggung kehormatan untuk menerima kalung untaian bunga dari Drupadi.
Sementara pada singgasana Drupadi segera berdiri, senyumnya mengembang, menampilkan pesona yang mengesankan. Seumur hidup ia telah menunggu hari ini, hari ketika ia tak mengalungkan bunga pada kesatria yang salah. Tak seorangpun tahu, siapa sesungguhnya brahmana yang berhasil memenangkan sayembara, akan tetapi Drupadi mengerti, ia mengenali tindak, tanduk, ketampanan, serta sikap yakin seorang kesatria, meski bersembunyi di balik sahaja pakaian brahmana. Semakin lama jarak antara Drupadi dan pemenang sayembara semakin dekat, jantung Putri Pancala itu semakin cepat berpacu, seluruh tubuhnya bergetar. Ketika jarak antara keduanya hanya sebatas lengan, dengan anggun Drupadi  mengalungkan untaian bunga yang merebakkan aroma mewangi, suaranya merdu berbisik.
“Arjuna, aku tahu engkau akan datang untuk memenangkan sayembara ini, meski bersembunyi di balik pakaian brahmana”, Drupadi tahu akan peristiwa kebakaran di Warawanatha, ia juga tahu upacara pemakaman di Sungai Gangga dari pihak Kurawa hanya sekedar ungkapan “duka cita”. Setelah upacara pemakaman itu jenazah Pandawa dan Kunthi tak pernah ditemukan, jauh di dasar hati Drupadi masih sangat berharap akan keselamatan itu. Hari ini harapan itu terkabul, dengan memenangkan sayembara, Arjuna adalah pengantinnya. Putri raja mana yang tak jatuh cinta dengan Arjuna, kesatria pilih tanding dengan wajah tampan, berhati perwira.
Di pihak lain Arjuna terpesona, ia tak pernah menyangka dalam jarak dekat Drupadi akan menampakkan kecantikan yang sesungguhnya. Kecantikan yang menjadi sempurna, karena tata rias seorang putri dengan hiasan sanggul yang kemilau bertahta batu mulia dengan sebutir permata pada dahi. Kulit wajah  yang lembut, pakaian yang indah memperkuat ramping tubuhnya. Senyum Drupadi yang lembut mengguncang hati, jantung Arjuna terus berpacu, ia adalah satria terpilih yang dapat mengalahkan putra mahkota serta kesatria yang lain. Ketika dengan anggun Drupadi mengalungkan untaian bunga ke leher Arjuna, keduanya seakan melambung ke langit penghabisan. Drupadi ingin segera menyerahkan diri ke pelukan Arjuna, ia melupakan keadaan sekitarnya ketika kelompok brahmana masih bersorak sorai, bergembira karena kemenangan kaumnya. Ia ingin segera menuju tempat  yang sangat jauh tanpa kehadiran siapa-siapa, hanya berdua dengan Arjuna pada suatu tempat yang sangat rahasia.
Akan tetapi, tiba-tiba sorak sorai berubah  menjadi gaduh dan kemarahan, kesatria dan putra mahkota yang kalah seakan dibakar api cemburu ketika melihat Drupadi, Putri Pancala yang canti jelita tampak demikian bahagia bersanding dengan pemenang sayembara yang mengenakan pakaian brahmana. Yudhistira, Nakula, dan Sadewa telah menyelinap pergi kembali ke rumah tukang kendi, tempatnya menumpang untuk mengabarkan kemenangan Arjuna dalam sayembara mendapatkan Drupadi. Bhima tetap bersiaga, ia telah bersiap bagi kemungkinan terburuk andai perselisihan terjadi, karena peserta sayembara tak dapat menerima kemenangan Arjuna.
“Mengapa seorang brahmana dapat memenangkan sayembara?!” suara kemarahan itu mengguntur.
“Sayembara harus dibatalkan, khusus bagi kesatria dan putra mahkota!” suara lain kembali terucap.
Suasana bahagia dalam sekejab berubah  menjadi pertikaian, Bhima segera mencabut sebatang pohon, menghalau segala serangan yang dapat mencelakakan Arjuna atau Drupadi. Krishna dan Balarama berusaha menenangkan kesatria yang marah supaya situasi terkendali. Arjuna mengambil langkah aman, menggandeng Drupadi, undur dari keributan, bersama Bhima ketiganya berjalan menuju rumah tukang kendi. Arjuna harus mempertemukan Drupadi dengan Ibu Kunthi pada hari perkawinannya. Sementara Dristadyumna diam-diam mengikuti kemana arah Arjuna dan Drupadi pergi, ia merasa heran ketika melihat sepasang pengantin dikawal brahmana berbadan raksasa tak melangkah ke arah istana, tetapi menuju rumah seorang tukang kendi.
Pada jarak terukur tanpa sepengetahuan Arjuna, Drupadi atau Bhima, Dristadyumna terus mengamati segala sesuatu yang akan terjadi. Sesungguhnya ia bertanya-tanya, siapa sesungguhnya kesatria di balik sahaja pakaian brahmana? Tak mungkin ia ia seorang brahmana biasa, karena kemampuannya memanah, bahkan melebihi seluruh kesatria dan putra mahkota. Pada tempat yang tersembunyi Dristadyumna melihat pertemuan itu seakan sandiwara bisu. Seorang ibu berpenampilan agung didampingi satu brahmana dan dua brahmana kembar menyambut kedatangan Arjuna dan Drupadi. Pangeran Pancala itu mempertajam pendengaran, angin segar membawa serta percakapan pada pertemuan itu.
“Segala hormat bagimu Ibu Agung Kunthi, kusampaikan sembah bagimu pada hari perkawinan ini”, suara Drupadi lembut mendayu, ia  menyentuh kaki ibu agung itu, senyumnya tersipu.
“Drupadi, Putri Pancala yang jelita, adalah suatu kemuliaan, bahwa putraku Arjuna dapat memenangkan sayembara”, Kunthi menatap kehadiran Drupadi, takjub. Perkawinan Arjuna dan Drupadi berarti hari terakhir bagi penyamaran ini, ia memang tak bisa terus menerus bersembunyi. Akan tetapi, ia dan Pandawa kini menjadi bagian dari Kerajaan Pancala, masihkah Kurawa berniat membakarnya hidup-hidup untuk yang kedua kali.
Tetap dalam jarak terukur, Pangeran Dristadyumna menghela napas panjang, kiranya brahmana muda berwajah tampan adalah Arjuna, tak heran ia dapat memenangkan sayembara. Dristadyumna mendengar pula perihal kebakaran istana kayu di Waranawatha, ia tak yakin benar, bahwa Pandawa dan Kunthi tewas dalam musibah itu, karena upacara pemakaman di Sungai Gangga tak disertai dengan penaburan abu jenazah. Ada satu kemungkinan Pandawa dan Kunthi selamat. Kemungkinan itu benar, ia dapat melihat Pandawa dan Kunthi tetap dalam keadaan selamat, meski bersembunyi di balik pakaian brahmana.
Dristadyumna tak menunggu berlama-lama, ia segera membalikkan badan, mengayun langkah, ia harus menyampaikan kabar ini kepada ayahanda, Drupada, Raja Pancala. Sementara Drupadi masih berdiri dengan sepasang kaki seakan mengambang, jemarinya yang lentik tak lepas dari lengan Arjuna. Ia mulai memahami arti impian dan mendapatkan, terhitung mulai hari ini hingga selama-lamanya, ia tak akan terpisah dari Arjuna. Akan tetapi, kebahagiaan itu ternyata hanya sekejab, hanya seumur anak panah yang terlepas dari busur mencapai sasaran. Drupadi mengira ia akan  menjadi istri tunggal Arjuna, satu-satunya kesatria yang dicintainya. Darah Putri Pancala itu seakan membeku ketika Kunthi mengucap kata-kata dengan mantab, tak tergoyahkan.
“Semua Putra Mahkota dan kesatria pasti bermimpi untuk bisa memenangkan sayembara sekaligus memenangkan hatimu. Akan tetapi, Arjuna bukan hidup seorang diri, ia Pandawa kedua, ia bagian tak terpisahkan dari empat Pandawa yang lain. Sejak semula kami selalu bersama-sama dalam susah dan senang, hingga hari ini ketika Arjuna atas nama Pandawa yang sementara mengenakan pakaian brahmana keluar sebagai pemenang sayembara. Seribu maaf Putri Pancala, menjadi istri Arjuna, berarti menjadi istri lima Pandawa. Atau Arjuna tak akan menjadi suami siapa-siapa ….”
Untaian kata itu menyebabkan sepasang mata indah Drupadi perlahan-lahan terbelalak, seakan maut tengah menjemput tanpa bisikan. Beberapa saat ia seakan terbang ke langit biru ketika jemarinya yang lentik mengalungkan rangkaian bunga ke leher Arjuna, Pandawa kedua adalah satu-satunya pengantin laki-laki. Akan tetapi, kata-kata kukuh Kunthi seakan pusaran angin lesus yang menyeretnya dari ketinggian langit kemudian membantingnya keras-keras. Drupadi mulai merasakan sakit, keringat dingin diam-diam mengucur membasahi seluruh tubuh, wajah cantik itu memucat. Udara masih tetap hangat, akan tetapi tubuh semampai itu  menggigil, demikian hebat, sehingga pegangan pada lengan Arjuna terlepas. Napas Drupadi tersengal, matanya berkaca-kaca. Tenggorokan Putri Pancala itu tercekik, ia sedang berjuang melawan air mata yang nyaris jatuh.
“Maksud Ibu ….?” Suara itu serak terpatah-patah, di tempatnya berdiri Drupadi menatap kosong ke depan, berusaha menolak kebenaran kata-kata Kunthi.
“Pandawa tak pernah terpisah, Kurawa menginginkan  kematian lima satriaku dengan banyak cara. Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa selalu bersama sejak kanak-kanak hingga selama-lamanya, atau kami akan tewas satu demi satu di tangan Kurawa. Arjuna bukan mengikuti sayembara bagi dirinya sendiri, ia mewakili seluruh Pandawa untuk mendapatkan pendamping hidup. Drupadi, Putri Pancala yang jelita selalu ada pilihan, seorang putri berwenang memutuskan”, Kunthi tak pernah kehilangan kepercayaan diri, ia tak pernah “salah”, juga ketika mesti berucap bagi kepentingan Pandawa.
“Benarkah ….?” Suara Drupadi berubah menjadi rintihan, ia mencoba mendapatkan pembenaran, ia menatap Arjuna untuk mendapatkan jawaban, bahwa kata-kata Kunthi salah. Rintihan itu segera terpecah menjadi isak tangis ketika Arjuna menganggukkan kepala, demikian juga dengan Yudhistira, Bhima, Nakula, dan  Sadewa.
Mulut Drupadi seketika terkunci, tanpa sadar langkah kakinya bergerak mundur, terus mundur, air matanya terjatuh, bening bagai embun. Sosok Kunthi dan Pandawa perlahan mengabur kehilangan bentuk, tanpa sadar Drupadi berlari dan terus berlari, ia melupakan keadaan sekitarnya, ia kehilangan tujuan. Ia hanya tahu, harus segera menjauh dari rumah si tukang kendi, tempat Pandawa dan Kunthi tinggal menumpang, menyamar sebagai keluarga brahmana.
Ketika sadar, Drupadi mendapati dirinya tengah duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, di tepi Sungai Gangga. Ia tak mampu menghitung  berapa panjang waktu ia terduduk sendiri di tempat itu, akan tetapi panas matahari perlahan berubah menjadi udara sejuk, menghembus dalam semilir angin. Tak jauh dari tempatnya duduk air Sungai Gangga tak berhenti bergerak dari hulu menuju muara, tak menyadari kehadiran seorang Putri Pancala yang tengah berduka, yang kehilangan tujuan hidup secara tiba-tiba. Ia telah dimenangkan kesatria gagah Arjuna, ia mengalungkan untaian bunga dengan segala rasa bahagia. Akan tetapi, bagaimana ia dapat pula menjadi istri Yudhistira, Bhima, Nakula, dan Sadewa? Seorang putri sejati harus menjadi istri sekaligus lima Pandawa?
Drupadi memejamkan mata, dengan berat hati ia dapat membatalkan perkawinan mustahil ini, namun ia akan mengalami nasib seperti Amba. Tak seorangpun pangeran, kesatria atau putra mahkota bersedia menikahinya, meskipun ia meminta, tidak juga Karna. Ia akan menjadi seorang putri terbuang, tak satu sudutpun di Kerajaan Pancala mau menerima kehadirannya, tidak juga ayahanda, Raja Drupada. Ia hanya akan diterima sebagai Putri Pancala, karena Arjuna di sisinya. Drupadi merasa dirinya terjebak, ia tak dapat surut ke belakang, tak mampu pula berjalan lurus ke depan. Ia diam dalam rasa gamang dan sakit tak terkatakan.
Adakah jalan keluar?
“Drupadi, Putri Pancala yang jelita, permata hati seluruh kerajaan, mengapa pula harus berduka di tempat yang sunyi ini? Ada yang membuatmu galau? Mungkin sayembara ini hanya tata cara, karena sesungguhnya engkau mengharap Arjuan sebagai pemenang, dan ia memang berhasil memenangkan sayembara ini. Ada lagi yang engkau risaukan?” Khresna tiba-tiba telah berdiri di dekat Drupadi, sebagai seorang raja yang bijak dan berpandangan luas, ia dapat memahami suasana hati Drupadi setelah sayembara berhasil dimenangkan, ia mengikuti setiap jejak langkah sayembara, hingga seorang berpakaian brahmana berhasil memenangkan sayembara. Sesungguhnya Khresna tak yakin, seorang brahmana akan dapat memenangkan pertandingan, kecuali di balik pakaian itu terdapat sikap seorang kesatria. Ketika angin akhirnya berbisik, bahwa brahmana muda adalah Arjuna, Khresna menarik panas lega. Ia mencemaskan nasib Pandawa setelah peristiwa kebakaran di Warawanatha, ia selalu mengamati dan menanti kabar, bagaimana nasib Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Kunthi setelah peristiwa mengerikan itu. Sayembara ini membuktikan Arjuna tetap selamat, meski tak dapat menampakkan diri sebagai kesatria Pandawa. Akan tetapi, kemenangan ini begitu nyata. Kini, putri yang dimenangkan, bahkan mengasingkan diri di tempat terbuka, meski pengawal tetap mengamati pada jarak terukur, tanpa sepengetahuan sang putri, cukup bagi Khresna untuk memasuki wilayah pribadi ini.
“Adakah Putri Pancala tak mampu lagi berkata-kata?” sekilas Khresna memandang wajah cantik itu, kecantikan yang tak pernah pudar, meski Drupadi telah kehilangan senyum, dan mungkin untuk selamanya.
Hening. Air Sungai Gangga adalah satu-satunya suara yang hadir di tempat ini, sesaat angin bahkan terlalu enggan untuk bertiup. Mulut Drupadi masih terkunci, ia belum mampu memutuskan, adakah ia harus bersedia menjadi istri lima Pandawa, atau ia membatalkan perkawinan ini dan akan menjadi putri terbuang seperti Amba.  Dada Drupadi terasa sesak, ia harus menjalani takdir yang sulit. Kali ini muncul pertanyaan yang tak pernah terpikirkan, “Mengapa pula aku  harus terlahir selaku putri raja yang mesti menikah dengan kesatria pemenang sayembara?”
Drupadi tak mengalihkan pandangan, meski ia tahu Khresna tak akan membuang-buang waktu bagi kesulitan dirinya. Ia telah melakukan kesalahan, membiarkan dirinya berada di tempat jauh tanpa kehadiran siapa-siapa. Akan tetapi, ia ingin benar-benar sendiri ketika akhirnya tersadar, terlalu sulit mengambil sikap yang tepat selaku putri raja. Ia hanya dapat menikah melalui sayembara, andai ia terlahir sebagai rakyat jelata, adakah ia akan terdiam seorang diri di tepi Sungai Gangga dengan pikiran gamang tanpa jawaban? Ia tak dapat memahami jalan pikiran Kunthi dan Pandawa, pernahkah seorang putri menikahi lima saudara? Satu istri bagi lima suami? Ia akan menjadi bahan pembicaraan semua orang, sementara ia hanya mencintai Arjuna, bukan termasuk empat Pandawa yang lain. Ia tak menghendaki Yudhistira, Bhima, Nakula, dan Sadewa, namun bagaimana ia harus memberi arti sebuah kehendak? Putri yang telah dimenangkan pada sebuah sayembara bahkan tak diijinkan memiliki kehendak.
“Apakah seorang putri  raja tak boleh juga merasakan susah? Manusia terlahir dengan garis hidup, ia hanya menjalani. Apa sesungguhnya beda antara susah dan senang, kemenangan dan kekalahan, keduanya bahkan dapat disebut dua penipu yang berwatak sama ….” Suara Drupadi tak beda dengan rintihan putus asa. Ia tahu akan menjemput lorong kelam teramat panjang tanpa kesudahan, dan ia tak memiliki pilihan.
“Takdir hanya dapat dijalani, terlebih bagi seorang putri…. Bangkitlah Drupadi, tetaplah tersenyum apapun yang harus terjadi. Tak ada yang salah, kecuali hatimu tak pernah rela menerima. Tak pernah ada yang pernah berubah setelah sayembara, kecuali seorang putri Pancala yang harus menjalani hari esok ….” Sepasang lembut mata Khresna menatap Drupadi sedemikian dalam seakan henduk menjenguk hingga ke relung hati. Ia tahu sang putri akan mengambil sebuah keputusan bagi jalan damai.
Beberapa saat suasana di tepi Sungai Gangga tetap hening, angin semakin dingin berkesiur. Drupadi masih tetap terduduk dalam hampa. Ketika ia berdiri kemudian melangkahkan kaki, Khresna tak berada lagi di tempatnya. Pertemuan itu hanya sekejab namun telah mengubah takdir hidup Putri Pancala selama-lamanya.
                                                                                ***
Sementara di istana Pancala Dristadyumna tengah menghadap ayahanda Raja Drupada, “Mohon ampun ayahanda raja, sayembara telah dimenangkan seorang Brahmana yang ternyata adalah Arjuna. Kelima Pandawa bersama ibu agung Kunthi kiranya selamat dari kebakaran di Wirata, kini tinggal di rumah seorang tukang kendi. Drupadi tidak merasa canggung, ia berbahagia dengan pemenang sayembara….”
Raja Drupada menghela napas panjang, perjalanan hidup kiranya menyimpan banyak cerita. Pandawa dan ibu agung Kunthi yang disangka telah tiada, ternyata masih hadir pula memenangkan sayembara. “Aku mengundang kelima Pandawa dan Ibu Kunthi ke istana, sekarang”, sang raja segera menentukan sikap, tak perlu lagi menunda waktu.
Dristadyumna membungkukkan badan, ia tahu segala yang harus dilakukan setelah kemenangan ini, sebuah perhelatan agung harus segera diselenggarakan untuk mengukuhkan pemenang dan putri raja sebagai mempelai istana. Tidak diperlukan waktu yang lama bagi pertemuan itu, beberapa tabuh kemudian Pandawa dan Kunthi telah menghadap sang raja. Sesaat suasana hening sebelum akhirnya Yudhistira bersuara.
“Beribu terima kasih atas kemurahan hati baginda mengundang kami ke istana, adalah sebuah penerimaan sehingga kiranya perkawinan antara Arjuna dan Drupadi dapat diselenggarakan….” Yudhistira sejenak kehilangan kata, ia tidak tahu bagaimana sikap baginda dengan kesepakatan, bahwa seorang Putri Pancala harus menikah dengan kelima Pandawa. Suasana mendadak hening, sunyi menggantung di balairung istana, Yudhistira menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. Di singgasana Raja Drupada menunggu, ada yang tidak lazim dalam sikap Yudhistira. Hati tuanya seakan gelisah.
“Satu hal yang harus kami sampaikan, bahwa bertahun tahun kami terlunta-lunta atas nama kebencian Kurawa. Bila hari ini kami masih dapat hadir di istana adalah karena kami selalu berbagi tak pernah terpisah antara yang satu dengan yang lain. Arjuna telah memenangkan sayembara, tetapi Drupadi Putri Pancala harus menikah dengan kelima Pandawa, ibunda Kunthi telah memberikan restu”, tak mudah  bagi Yudhistira berkata-kata, tetapi harus.
Suasana hening di balairung istana tiba-tiba berubah seakan tungku api dengan kayu bakar berpijar semakin lama semakin membesar. Wajah Raja Drupada merah bagai saga, bagaimana seorang putri raja harus menikah dengan lima orang saudara? Pernahkah ia mendengar adat semacam ini? Sanggupkah ia merestui pernikahan ganjil bagi permata hati? Kemarahan Drupada hampir memecah. Adakah |Drupadi sanggup menghadapi pernikahan ini, atau ia mengelak dengan akibat tersisih untuk selama-lamanya, tanpa seorang satriapun berkehendak meminang, tidak juga Karna.
“Sadar akan semua ucapanmu Yudhistira?” Drupada berusaha menguasai diri, ia terjebak ke dalam sebuah keadaan yang aneh, ia harus memutuskan untuk menentukan takdir Putri Pancala selama-lamanya. Takdir yang tidak akan dikehendaki putri raja yang manapun.
“Hamba sadar dengan segala ucapan, sepanjang hidup Pandawa selalu berada dalam bahaya, menikahi bersama seorang putri berarti menguatkan diri untuk selalu menghindar dari bahaya. Beribu ampun atas kelancangan hamba….” Yudhistira membungkukkan badan dalam-dalam, ia telah berucap melampaui batas keberanian di hadapan seorang raja, tetapi ia tak memiliki pilihan kecuali bersikap berani. Ia bertanggung jawab atas keselamatan Pandawa di bawah ancaman Kurawa.
Raja Drupada terdiam, udara terasa gerah secara perlahan berubah menjadi mata pisau yang tajam menyakiti, ia telah dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Tenggorokan sang raja terasa kering, ia telah mempertaruhkan nasib seorang putri di lapangan sayembara, menyerahkan kepada pemenang dengan akibat yang mencemaskan. “Tetapi, dimana Putri Drupadi?”   
Hening ….
“Hamba di sini ayahanda raja ….” Suara Drupadi semerdu buluh perindu, ia telah mengambil keputusan, ia seorang putri yang telah ditempa dengan asam garam kehidupan, dan tidak bisa mengelak dari sebuah kemenangan. Ia akan memenuhi perkawinan ini, satu putri raja bagi kelima Pandawa. “Hamba telah bersiap bagi perkawinan dengan kelima Pandawa ….”
Hening suasana segera terpecah dengan suara tarikan napas, sepasang mata tajam sang raja  menatap Drupadi tak percaya. Permata hati Pancala  yang jelita dengan takdir hidup ganjil yang tabah dijalani, sepasang mata sang raja nyaris gugur. Ia tak pernah mengira Putri Pancala akan setabah ini.
Sesaat ketika bertatapan dengan Arjuna, Drupadi bahkan tidak bisa menterjemahkan isi hati, masihkah ia mencintai satria impiannya? Atau impian itu telah berkeping-keping, karena ia harus membagi cinta dengan empat Pandawa yang lain? Drupadi  kini tak perlu lagi memiliki perasaan, ia harus memiliki kekuatan.

                                                                                      ***

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...