Drupadi, putri jelita dan
luhur budi dari Kerajaan Pancala akhirnya sampai pada suatu masa untuk
menjelang kehidupan perkawinan. Adalah suatu tradisi bagi putri raja untuk
memilih calon suami dalam sebuah sayembara. Seorang yang berhak menikahi putri
raja adalah kesatria terpilih yang piawai
memainkan senjata perang. Dengan demikiam maka perkawinan ini sekaligus
sebagai upaya untuk memperkuat kerajaan dari ancaman kerajaan lain. Putri raja
tidak disarankan untuk menikah dengan pemuda dari kalangan rakyat jelata yang
tidak bisa diperhitungkan kemampuannya dalam ilmu perang.
Hari itu sebuah
perhelatan agung digelar dengan hingar bingar, memberikan ruang dan waktu bagi
setiap kesatria untuk berlomba pada sebuah sayembara. Kesatria gagah yang mana
akhirnya dapat memenangkan sayembara kemudian menyunting Drupadi, Putri
Kerajaan Pancala yang jelita. Sebuah panggung yang kokoh telah didirikan di
tengah-tengah arena, tampak pula sebuah busur teramat berat berukuran raksasa
lengkap dengan anak panah. Kesatria yang mampu mengangkat busur, merentang,
memasang anak panah kemudian mengenai sasaran, maka dia yang berhak menyunting
Drupadi. Sasaran anak panah digantung di
belakang roda cakra yang terus berputar tanpa henti. Tepat di tengah-tengah
cakra adalah sebuah lubang sempit yang hanya dapat dilalui satu anak panah.
Dengan sayembara semacam ini, kiranya hanya kesatria yang mampu memusatkan
pikiran dan memiliki kecakapan memanah melebihi kemampuan manusia biasa yang
bisa keluar sebagai pemenang.
Pada sisi lain tak jauh dari
arena sayembara telah berdiri pula sebuah panggung yang dihias indah aneka
warna bunga dan lembut kain sutera bagi perkawinan agung. Tempat istimewa bagi
para tamu undangan telah dipersiapkan pula dengan hiasan yang menakjubkan.
Selama empat belas hari segala macam hiburan digelar untuk merayakan hari
perkawinan Drupadi. Kali ini Kerajaan Pancala menjadi tujuan bagi para pangeran
untuk mengadu kemampuan memanah untu memenangkan putri jelita.
Hari itu, sayembara
akhirnya dibuka, Kerajaan Pancala menjadi pusat keramaian, pengunjung datang ke
tengah arena tak terbendung, rakyat jelata, sekalian brahmana, ibu-ibu,
anak-anak dan yang teristimewa adalah para pangeran yang jatuh hati kepada
Drupadi dan berniat mempertaruhkan diri di tengah arena untuk memenangkan
sayembara. Sejak pagi hari matahari bersinar cerah, langit biru bagai dipulas
tangan sang maha warna, iring-iringan tamu agung berdatangan, dipersilakan menempati kursi istimewa di tempat istimewa
pula. Pada deretan kursi tamu tampak Khrisna, Sisupala, Jarasandra, Salya,
Duryudana dan adik-adiknya serta Karna. Semuanya
tampak menatap ke arena sayembara dengan harapan akan memenangkan Drupadi, sang
putri jelita. Suara music mengalun meramaikan keseluruhan suasana, menyambut
kehadiran hari bersejarah itu.
Tiba-tiba irama music
menurun, seluruh pandangan mata menuju gerbang istana, sebuah arak-arakan
panjang bergerak. Mula-mula tampak Dristadyumna, pangeran tampan yang bersiaga
mengawal jalannya sayembara, di belakang sang pangeran, Drupadi duduk di atas singgasana,
di atas punggung gajah yang dihias kain lembut serta kemilau emas bertahta batu
permata. Putri cantik itu tersenyum, melampai ke arah pengunjung yang datang
berdesakan untuk menyaksikan hari perkawinannya. Ketika putri Pancala itu turun
dari punggung gajah dengan hati-hati, seluruh tamu dan hadirin terpukau menahan
napas. Mereka seakan menyaksikan seorang putri
turun dari langit setelah mandi dengan air bunga tujuh rupa. Rambut
Drupadi yang hitam legam disanggul indah dihias tusuk konde dari emas murni,
berkilau, karena batu mulia. Kulit wajah
itu sehalus mutiara, dengan sepasang mata sejernih air telaga dinaungi
bulu mata yang lentik, sepasang alis mata yang melengkung alamiah. Bibir
Drupadi dipulas warna semerah darah, senyumnya tersipu ketika Dristadyumna menuntun dari singgasasa di punggung gajah.
Langkah Drupadi seanggun
ratu ketika Dristadyumna membimbing ke tengah arena, sekilas putri Pancala itu
menatap ke arah deretan kursi tamu undangan, mencari-cari seseorang. Ketika
kesatria yang dicari tak menampakkan kehadiran, ia kembali tersipu. Ia seorang putri,
ia harus mampu menyembunyikan isi hati, terlebih di tengah keramaian, ketika
kehadirannya menjadi pusat perhatian, ia tak dapat menunjukkan perasaan senang
atau kehilangan. Ia harus tersenyum, meski sesungguhnya hari perkawinan ini
dihadapi dengan dada bergetar. Ada seorang kesatria yang selalu hadir dalam
mimpi, ia sangat berharap hari ini ia akan dapat mengalungkan untaian bunga
sebagai tanda dikukuhkan sebagai pasangan suami istri, terhitung hari ini
hingga selama-lamanya.
Tetapi,
dimana kesatria itu?
Drupadi tetap tersipu
hingga ia duduk dengan sikap agung di atas panggung, pada sebuah kursi istimewa
pada hari yang telah ditunggu. Sekalian pangeran menghembuskan napas panjang,
berulang kali mencuri pandang ke arah Drupadi. Bahkan batu permata yang
berkilau pada dahi Putri Pancala itu tak berarti apa-apa, bila dibandiingkan
dengan kecantikan dan keluhuran budinya, demikian pula untaian batu mulia pada
jenjang lehernya. Drupadi adalah permata hati Kerajaan Pancala yang sejatinya,
seorang putri jelita yang akan diperebutkan dalam sebuah sayembara.
Drupadi tahu apa hakekat
seorang putri raja, terlebih pada hari ditunggu ketika ia mesti diperebutkan
pada sebuah sayembara. Sebuah arena terbuka dengan kehadirannya sebagai pusat
perhatian, sayembara ini mungkin sebuah teather, ia harus berperan sebagai
tokoh utama pada cerita yang sesungguhnya. Ia harus bersikap tenang seolah
permukaan air telaga pada suasana hening, ketika angin paling lembut sekalipun
enggan untuk bertiup menggugurkan helai daun. Drupadi tahu sekalian pangeran
dan kesatria mencuri pandang, tak dapat menutupi suasana hati yang terhanyut
teramat jauh pada impian tak bertepi. Ia harus bersikap seolah-olah tak pernah
tahu perasaan sesungguhnya yang berkecamuk pada hati peserta sayembara.
Ketika suara gong ditabuh
dengan keras menggelegar, seluruh hadirim terdiam, merelakan waktu terus
berlalu menuju langkah berikut. Sayembara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh
para brahmana, sekalian brahmana menampilkan diri ke tengah arena, membacakan
mantra upacara serta kidung suci bagi kemakmuran, ketentraman, dan kedamaian.
Suasana menjadi hening, sementara irama music berubah menjadi lembut mendayu.
Di atas kursi Drupadi tampak menundukkan kepala, ia khusuk memohon sesuatu
kepada Yang Maha Pencipta, tak seorangpun tahu, apa sesungguhnya isi hatinya?
Setelah pembacaan doa
selesai, dengan hormat para brahmana undur diri, kembali ke kursinya bermula. Dengan
gagah Pangeran Dristadyumna menuntun Drupadi ke tengah arena. Sekalian hadirin
kembali menahan nafas, tak seorang pun mengerdipkan mata. Wajah cantik Drupadi
disangga leher jenjang dengan tubuh ramping dan sepasang kaki indah terbalut
kain sutera yang lembut. Kulit putri Pancala itu sekuning buah langsat, langkah
kakinya demikian yakin dan mantab, tak tampak sedikitpun keraguan, senyumnya
kembali tersipu. Drupadi tetap tersipu ketika Dristadyumna berucap, “Selamat
datang para kesatria dan putra mahkota dan seluruh rakyat Pancala. Kami atas
nama Raja Pancala mengucapkan terima kasih atas kehadiran dalam sayembara
memanah untuk memenangkan Drupadi, putri jelita, permata hati Kerajaan Pancala.
Di tengah arena telah tersedia busur dan anak panah, di seberang sana, di
ketinggian adalah sasaran bagi anak panah. Siapapun yang berasal dari keluarga
baik-baik, mampu mengenai sasaran, melewati lubang di pusat cakra lima kali berturut-turut, dialah yang berhak
memenangkan sayembara ini, berhak menyunting adikku, Drupadi”, ucapan
Dristadyumna disambut dengan sorak sorai membahana.
Setelah menganggukkan
kepala Dristadyumna berbicara pelan kepada Drupadi tentang nama pangeran dan
kesatria yang ikut serta dalam sayembara memanah sambil menuntun kembali putrid
Pancala itu ke tempat duduknya. Kali ini jantung Drupadi seakan berpacu,
debaran demikian keras seakan curahan air terjun, sayembara akan segera
dimulai, kesatria yang mampu memenangkan sayembara akan berhak mendapatkan
kalung dari untaian bunga sebagai pertanda keduanya dikukuhkan sebagai suami
istri. Ia tak mengenal dengan baik seluruh peserta sayembara, akan tetapi ia
tak berwenang menolak pemenangnya, demikianlah takdir seorang putri.
Meskipun detak jantungnya
berpacu, Drupadi tetap tenang ketika kesatria pertama maju ke tengah-tengah
arena untuk mengangkat busur, merentang anak panah kemudian membidik sasaran.
Putri Pancala itu menghela napas panjang ketika kesatria pertama gagal memanah
sasaran, demikian pula dengan peserta kedua, dan seterusnya. Busur terlalu
berat, demikian pula dengan anak panah, tak seorangpun mampu mengenai sasaran,
tidak juga Khresna, Sisupala, Jarasandha, Salya, bahkan Duryudana. Suasan riuh
rendah, Drupadi masih tetap bersikap tenang, meski diam-diam mulai gelisah,
kesatria mana gerangan yang dapat memenangkan sayembara? Demikian hatinya
bertanya-tanya.
Wajah kesatria dan putra
mahkota yang kalah menjadi demikian kecewa, mereka mencuri pandang ke arah
Drupadi dengan keluhan tak terdengar, harapan berakhir di arena ini. Putri
Pancala itu tak mudah untuk diperebutkan, dan mereka harus menerima kekalahan dengan
lapang hati, tak seorangpun berhak melanggar aturan. Sementara suasana mendadak
hening hingga Karna tiba-tiba tampil ke tengah arena, wajah tampan dan tubuhnya
yang gagah serta kemilau anting-anting di telinga diam-diam mempesona setiap
tamu serta penonton yang hadir. Sikap Karna adalah kesatria sejati ketika
memberikan hormat ke arah Pangeran Dristadyumna dan Drupadi.
Ketika Karna dengan
segenap keyakinan mengangkat busur, sorak sorai kembali membahana, penonton
benar mengharapkan seorang pemenang yang sekaligus akan menjadi pengantin
Kerajaan Pancala. Senyum tipis mengembang pada wajah tampan Karna, sekilas ia
mencuri pandang ke arah sosok agung Drupadi. Kesatria mana yang tidak jatuh
hati kepada Putri Pancala yang jelita? Karna menghela napas, menenangkan diri,
memusatkan pikiran, ia sangat mengharap akan kemengan ini. Perkawinan dengan
Drupadi akan mengubah seluruh hidupnya.
Di atas panggung,
diam-diam wajah Drupadi berubah menjadi galau, ia tak dapat menyangkal
ketampanan dan kemampuan Karna dalam memainkan senjata perang. Akan tetapi,
apakah ia pernah bermimpi untuk menikah suatu
hari dengan anak seorang sais kereta yang diangkat Duryudana sebagai
sekutu, menjadi Raja Angga, betapapun tangguh kesatria itu. Tak seorang pun
tahu, beberapa saat Drupadi memejamkan sepasang matanya yang indah. Jauh di
dalam hati sebenarnya ia mengeluh, mengapa seorang putri raja harus mendapatkan
suami melalui sayembara, bukan karena hati yang
mencinta.
Ketika akhirnya Karna
gagal hanya seujung rambut membidikkan sasaran, Drupadi nyaris bersorak.
Busurpun jatuh terpelanting setelah lima anak panah menjauh dari sasaran. Karna
tampak masgul, akan tetapi ia harus berlapang dada dengan kegagalan ini, ia tak
mampu memenangkan sayembara dan tak dapat menikahi Drupadi. Setelah berdiri
tegak bagai patung batu, Raja Angga itu memberikan hormat kemudian berlalu
meninggalkan arena kembali ke kursi semula. Wajah tampan itu tampak sedemikian
kecewa, diam menunduk. Hatinya mengeluh, mengapa pula seorang putri raja hanya
bisa digapai melalui sayembara yang disaksikan khalayak ramai. Setiap kesatria
harus mempertaruhkan harga diri dengan akibat kekalahan, ia telah menanggung
pula kekalahan itu.
Sementara penonton
berseru menunjukkan kekecewaan, “Sayembara ini terlalu berat bagi kesatria yang
manapun ….”
“Mungkin tak akan hadir
seorangpun pemenang”.
“Atau sayembara ini
sengaja ditujukan untuk menjatuhkan putra mahkota”.
“Siapa sesungguhnya yang
layak menjadi pemenang?’
Suasana hiruk pikuk,
sesungguhnya menuju ketegangan, setiap penonton saling berpandangan kemudian
menatap ke tengah arena. Sasaran anak panah masih tetap seperti semula, sementara
matahari mulai beranjak tinggi. Di atas panggung Drupadi masih diam, menunggu.
Tiba-tiba tamu undangan
dan penonton dikejutkan oleh kehadiran seorang brahmana muda yang bangkit
berdiri, berjalan dengan sepenuh keyakinan ke tengah arena. Sorak sorai kembali
membahana seakan hendak merobohkan langit. Brahmana itu masih berusia muda,
pakaiannya bersahaja seperti halnya brahmana yang lain, akan tetapi di balik
kesahajaan terdapat sikap kesatria sejati. Langkah brahmana muda itu demikian
pasti, ia tidak tampak canggung atau ragu-ragu ketika melangkah, demikian pula
ketika berucap dengan santun, namun tegas.
“Seribu ampun Pangeran
Dristadyumna, adakah seorang brahmana diijinkan pula mengikuti sayembara?”
demikian brahmana muda itu bertanya.
“Siapapun yang berasal
dari keluarga baik-baik, diijinkan ikut serta”, Pangeran Dristadyumna dengan
gagah mempersilakan kesediaan brahmana muda untuk ikut serta.
Sementara di tempatnya
duduk tiba-tiba Drupadi terpana, sepasang matanya yang jeli tak dapat ditipu
oleh pakaian sederhana seorang brahmana, ia mengenali sosok sejati yang ada di
balik pakaian itu. Sosok yang selalu hadir dalam mimpi, sosok yang selalu ditunggu
pada hari sayembara sekaligus hari perkawinannya. Senyum Putri Pancala itu
menghiasi bibir semerah darah ketika sang brahmana muda sejenak menundukkan
kepala, memohon kepada para dewata dengan sepenuh keyakinan, tak berapa lama
kemudian dengan mantab tangan sang brahmana mengangkat busur. Senjata perang
yang sangat berat itu seakan tak membebani apa-apa, dengan cermat dan hati-hati
sang brahmana mulai membidikkan anak panah. Drupadi tak ragu sedikitpun bidikan
itu akan mengenai sasaran, pemenang sayembara akan mendapatkan kalungan untaian
bunga.
Sesaat brahmana muda itu
menatap ke seluruh arena, terakhir melirik wajah agung Drupadi, tersenyum.
Putri Pancala itu merasa darahnya tersirap. Ia tahu hari bahagia itu telah
tiba. Ketika lima anak panah secara berturut-turut melesat secepat kilat
mengenai sasaran, menembus lubang cakra yang
terus berputar. Anak panah pertama tepat mengenai sasaran, anak panah
kedua menembus anak panah pertama, demikian seterusnya hingga anak panah
kelima. Cakra terbelah jatuh ke atas tanah.
Suasana hening segera
terpecah menjadi sorak sorai, di tengah-tengah arena kesatria brahmana itu
berdiri dengan tegak, senyumnya mengembang. Ia memenangkan sayembara ini, ia
berhak menikahi Drupadi, permata hati Kerajaan Pancala, ia akan mengubah pula
takdir hidup Ibu Kunthi dan empat Pandawa yang lain. Sorak sorai dari kalangan
brahmana semakin seru ketika Pangeran Dristadyumna mempersilakan sang pemenang
menuju panggung kehormatan untuk menerima kalung untaian bunga dari Drupadi.
Sementara pada singgasana
Drupadi segera berdiri, senyumnya mengembang, menampilkan pesona yang
mengesankan. Seumur hidup ia telah menunggu hari ini, hari ketika ia tak
mengalungkan bunga pada kesatria yang salah. Tak seorangpun tahu, siapa
sesungguhnya brahmana yang berhasil memenangkan sayembara, akan tetapi Drupadi
mengerti, ia mengenali tindak, tanduk, ketampanan, serta sikap yakin seorang
kesatria, meski bersembunyi di balik sahaja pakaian brahmana. Semakin lama
jarak antara Drupadi dan pemenang sayembara semakin dekat, jantung Putri
Pancala itu semakin cepat berpacu, seluruh tubuhnya bergetar. Ketika jarak
antara keduanya hanya sebatas lengan, dengan anggun Drupadi mengalungkan untaian bunga yang merebakkan
aroma mewangi, suaranya merdu berbisik.
“Arjuna, aku tahu engkau
akan datang untuk memenangkan sayembara ini, meski bersembunyi di balik pakaian
brahmana”, Drupadi tahu akan peristiwa kebakaran di Warawanatha, ia juga tahu
upacara pemakaman di Sungai Gangga dari pihak Kurawa hanya sekedar ungkapan
“duka cita”. Setelah upacara pemakaman itu jenazah Pandawa dan Kunthi tak
pernah ditemukan, jauh di dasar hati Drupadi masih sangat berharap akan
keselamatan itu. Hari ini harapan itu terkabul, dengan memenangkan sayembara,
Arjuna adalah pengantinnya. Putri raja mana yang tak jatuh cinta dengan Arjuna,
kesatria pilih tanding dengan wajah tampan, berhati perwira.
Di pihak lain Arjuna
terpesona, ia tak pernah menyangka dalam jarak dekat Drupadi akan menampakkan
kecantikan yang sesungguhnya. Kecantikan yang menjadi sempurna, karena tata rias
seorang putri dengan hiasan sanggul yang kemilau bertahta batu mulia dengan sebutir
permata pada dahi. Kulit wajah yang
lembut, pakaian yang indah memperkuat ramping tubuhnya. Senyum Drupadi yang
lembut mengguncang hati, jantung Arjuna terus berpacu, ia adalah satria
terpilih yang dapat mengalahkan putra mahkota serta kesatria yang lain. Ketika
dengan anggun Drupadi mengalungkan untaian bunga ke leher Arjuna, keduanya
seakan melambung ke langit penghabisan. Drupadi ingin segera menyerahkan diri
ke pelukan Arjuna, ia melupakan keadaan sekitarnya ketika kelompok brahmana
masih bersorak sorai, bergembira karena kemenangan kaumnya. Ia ingin segera
menuju tempat yang sangat jauh tanpa
kehadiran siapa-siapa, hanya berdua dengan Arjuna pada suatu tempat yang sangat
rahasia.
Akan tetapi, tiba-tiba
sorak sorai berubah menjadi gaduh dan
kemarahan, kesatria dan putra mahkota yang kalah seakan dibakar api cemburu
ketika melihat Drupadi, Putri Pancala yang canti jelita tampak demikian bahagia
bersanding dengan pemenang sayembara yang mengenakan pakaian brahmana.
Yudhistira, Nakula, dan Sadewa telah menyelinap pergi kembali ke rumah tukang
kendi, tempatnya menumpang untuk mengabarkan kemenangan Arjuna dalam sayembara
mendapatkan Drupadi. Bhima tetap bersiaga, ia telah bersiap bagi kemungkinan
terburuk andai perselisihan terjadi, karena peserta sayembara tak dapat
menerima kemenangan Arjuna.
“Mengapa seorang brahmana
dapat memenangkan sayembara?!” suara kemarahan itu mengguntur.
“Sayembara harus dibatalkan,
khusus bagi kesatria dan putra mahkota!” suara lain kembali terucap.
Suasana bahagia dalam
sekejab berubah menjadi pertikaian,
Bhima segera mencabut sebatang pohon, menghalau segala serangan yang dapat
mencelakakan Arjuna atau Drupadi. Krishna dan Balarama berusaha menenangkan
kesatria yang marah supaya situasi terkendali. Arjuna mengambil langkah aman,
menggandeng Drupadi, undur dari keributan, bersama Bhima ketiganya berjalan
menuju rumah tukang kendi. Arjuna harus mempertemukan Drupadi dengan Ibu Kunthi
pada hari perkawinannya. Sementara Dristadyumna diam-diam mengikuti kemana arah
Arjuna dan Drupadi pergi, ia merasa heran ketika melihat sepasang pengantin
dikawal brahmana berbadan raksasa tak melangkah ke arah istana, tetapi menuju
rumah seorang tukang kendi.
Pada jarak terukur tanpa
sepengetahuan Arjuna, Drupadi atau Bhima, Dristadyumna terus mengamati segala
sesuatu yang akan terjadi. Sesungguhnya ia bertanya-tanya, siapa sesungguhnya
kesatria di balik sahaja pakaian brahmana? Tak mungkin ia ia seorang brahmana
biasa, karena kemampuannya memanah, bahkan melebihi seluruh kesatria dan putra
mahkota. Pada tempat yang tersembunyi Dristadyumna melihat pertemuan itu seakan
sandiwara bisu. Seorang ibu berpenampilan agung didampingi satu brahmana dan
dua brahmana kembar menyambut kedatangan Arjuna dan Drupadi. Pangeran Pancala
itu mempertajam pendengaran, angin segar membawa serta percakapan pada
pertemuan itu.
“Segala hormat bagimu Ibu
Agung Kunthi, kusampaikan sembah bagimu pada hari perkawinan ini”, suara
Drupadi lembut mendayu, ia menyentuh
kaki ibu agung itu, senyumnya tersipu.
“Drupadi, Putri Pancala
yang jelita, adalah suatu kemuliaan, bahwa putraku Arjuna dapat memenangkan
sayembara”, Kunthi menatap kehadiran Drupadi, takjub. Perkawinan Arjuna dan
Drupadi berarti hari terakhir bagi penyamaran ini, ia memang tak bisa terus
menerus bersembunyi. Akan tetapi, ia dan Pandawa kini menjadi bagian dari
Kerajaan Pancala, masihkah Kurawa berniat membakarnya hidup-hidup untuk yang
kedua kali.
Tetap dalam jarak
terukur, Pangeran Dristadyumna menghela napas panjang, kiranya brahmana muda
berwajah tampan adalah Arjuna, tak heran ia dapat memenangkan sayembara.
Dristadyumna mendengar pula perihal kebakaran istana kayu di Waranawatha, ia
tak yakin benar, bahwa Pandawa dan Kunthi tewas dalam musibah itu, karena
upacara pemakaman di Sungai Gangga tak disertai dengan penaburan abu jenazah.
Ada satu kemungkinan Pandawa dan Kunthi selamat. Kemungkinan itu benar, ia
dapat melihat Pandawa dan Kunthi tetap dalam keadaan selamat, meski bersembunyi
di balik pakaian brahmana.
Dristadyumna tak menunggu
berlama-lama, ia segera membalikkan badan, mengayun langkah, ia harus
menyampaikan kabar ini kepada ayahanda, Drupada, Raja Pancala. Sementara
Drupadi masih berdiri dengan sepasang kaki seakan mengambang, jemarinya yang
lentik tak lepas dari lengan Arjuna. Ia mulai memahami arti impian dan
mendapatkan, terhitung mulai hari ini hingga selama-lamanya, ia tak akan
terpisah dari Arjuna. Akan tetapi, kebahagiaan itu ternyata hanya sekejab,
hanya seumur anak panah yang terlepas dari busur mencapai sasaran. Drupadi
mengira ia akan menjadi istri tunggal
Arjuna, satu-satunya kesatria yang dicintainya. Darah Putri Pancala itu seakan
membeku ketika Kunthi mengucap kata-kata dengan mantab, tak tergoyahkan.
“Semua Putra Mahkota dan
kesatria pasti bermimpi untuk bisa memenangkan sayembara sekaligus memenangkan
hatimu. Akan tetapi, Arjuna bukan hidup seorang diri, ia Pandawa kedua, ia
bagian tak terpisahkan dari empat Pandawa yang lain. Sejak semula kami selalu
bersama-sama dalam susah dan senang, hingga hari ini ketika Arjuna atas nama
Pandawa yang sementara mengenakan pakaian brahmana keluar sebagai pemenang
sayembara. Seribu maaf Putri Pancala, menjadi istri Arjuna, berarti menjadi
istri lima Pandawa. Atau Arjuna tak akan menjadi suami siapa-siapa ….”
Untaian kata itu
menyebabkan sepasang mata indah Drupadi perlahan-lahan terbelalak, seakan maut
tengah menjemput tanpa bisikan. Beberapa saat ia seakan terbang ke langit biru
ketika jemarinya yang lentik mengalungkan rangkaian bunga ke leher Arjuna,
Pandawa kedua adalah satu-satunya pengantin laki-laki. Akan tetapi, kata-kata
kukuh Kunthi seakan pusaran angin lesus yang menyeretnya dari ketinggian langit
kemudian membantingnya keras-keras. Drupadi mulai merasakan sakit, keringat
dingin diam-diam mengucur membasahi seluruh tubuh, wajah cantik itu memucat.
Udara masih tetap hangat, akan tetapi tubuh semampai itu menggigil, demikian hebat, sehingga pegangan
pada lengan Arjuna terlepas. Napas Drupadi tersengal, matanya berkaca-kaca.
Tenggorokan Putri Pancala itu tercekik, ia sedang berjuang melawan air mata
yang nyaris jatuh.
“Maksud Ibu ….?” Suara
itu serak terpatah-patah, di tempatnya berdiri Drupadi menatap kosong ke depan,
berusaha menolak kebenaran kata-kata Kunthi.
“Pandawa tak pernah
terpisah, Kurawa menginginkan kematian
lima satriaku dengan banyak cara. Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa
selalu bersama sejak kanak-kanak hingga selama-lamanya, atau kami akan tewas
satu demi satu di tangan Kurawa. Arjuna bukan mengikuti sayembara bagi dirinya
sendiri, ia mewakili seluruh Pandawa untuk mendapatkan pendamping hidup.
Drupadi, Putri Pancala yang jelita selalu ada pilihan, seorang putri berwenang memutuskan”,
Kunthi tak pernah kehilangan kepercayaan diri, ia tak pernah “salah”, juga
ketika mesti berucap bagi kepentingan Pandawa.
“Benarkah ….?” Suara
Drupadi berubah menjadi rintihan, ia mencoba mendapatkan pembenaran, ia menatap
Arjuna untuk mendapatkan jawaban, bahwa kata-kata Kunthi salah. Rintihan itu
segera terpecah menjadi isak tangis ketika Arjuna menganggukkan kepala, demikian
juga dengan Yudhistira, Bhima, Nakula, dan
Sadewa.
Mulut Drupadi seketika
terkunci, tanpa sadar langkah kakinya bergerak mundur, terus mundur, air
matanya terjatuh, bening bagai embun. Sosok Kunthi dan Pandawa perlahan
mengabur kehilangan bentuk, tanpa sadar Drupadi berlari dan terus berlari, ia
melupakan keadaan sekitarnya, ia kehilangan tujuan. Ia hanya tahu, harus segera
menjauh dari rumah si tukang kendi, tempat Pandawa dan Kunthi tinggal
menumpang, menyamar sebagai keluarga brahmana.
Ketika sadar, Drupadi
mendapati dirinya tengah duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, di tepi
Sungai Gangga. Ia tak mampu menghitung berapa panjang waktu ia terduduk sendiri di
tempat itu, akan tetapi panas matahari perlahan berubah menjadi udara sejuk,
menghembus dalam semilir angin. Tak jauh dari tempatnya duduk air Sungai Gangga
tak berhenti bergerak dari hulu menuju muara, tak menyadari kehadiran seorang
Putri Pancala yang tengah berduka, yang kehilangan tujuan hidup secara
tiba-tiba. Ia telah dimenangkan kesatria gagah Arjuna, ia mengalungkan untaian
bunga dengan segala rasa bahagia. Akan tetapi, bagaimana ia dapat pula menjadi
istri Yudhistira, Bhima, Nakula, dan Sadewa? Seorang putri sejati harus menjadi
istri sekaligus lima Pandawa?
Drupadi memejamkan mata,
dengan berat hati ia dapat membatalkan perkawinan mustahil ini, namun ia akan
mengalami nasib seperti Amba. Tak seorangpun pangeran, kesatria atau putra
mahkota bersedia menikahinya, meskipun ia meminta, tidak juga Karna. Ia akan
menjadi seorang putri terbuang, tak satu sudutpun di Kerajaan Pancala mau
menerima kehadirannya, tidak juga ayahanda, Raja Drupada. Ia hanya akan
diterima sebagai Putri Pancala, karena Arjuna di sisinya. Drupadi merasa
dirinya terjebak, ia tak dapat surut ke belakang, tak mampu pula berjalan lurus
ke depan. Ia diam dalam rasa gamang dan sakit tak terkatakan.
Adakah
jalan keluar?
“Drupadi, Putri Pancala
yang jelita, permata hati seluruh kerajaan, mengapa pula harus berduka di
tempat yang sunyi ini? Ada yang membuatmu galau? Mungkin sayembara ini hanya
tata cara, karena sesungguhnya engkau mengharap Arjuan sebagai pemenang, dan ia
memang berhasil memenangkan sayembara ini. Ada lagi yang engkau risaukan?”
Khresna tiba-tiba telah berdiri di dekat Drupadi, sebagai seorang raja yang
bijak dan berpandangan luas, ia dapat memahami suasana hati Drupadi setelah
sayembara berhasil dimenangkan, ia mengikuti setiap jejak langkah sayembara,
hingga seorang berpakaian brahmana berhasil memenangkan sayembara. Sesungguhnya
Khresna tak yakin, seorang brahmana akan dapat memenangkan pertandingan,
kecuali di balik pakaian itu terdapat sikap seorang kesatria. Ketika angin
akhirnya berbisik, bahwa brahmana muda adalah Arjuna, Khresna menarik panas
lega. Ia mencemaskan nasib Pandawa setelah peristiwa kebakaran di Warawanatha,
ia selalu mengamati dan menanti kabar, bagaimana nasib Yudhistira, Bhima,
Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Kunthi setelah peristiwa mengerikan itu. Sayembara
ini membuktikan Arjuna tetap selamat, meski tak dapat menampakkan diri sebagai
kesatria Pandawa. Akan tetapi, kemenangan ini begitu nyata. Kini, putri yang
dimenangkan, bahkan mengasingkan diri di tempat terbuka, meski pengawal tetap
mengamati pada jarak terukur, tanpa sepengetahuan sang putri, cukup bagi
Khresna untuk memasuki wilayah pribadi ini.
“Adakah Putri Pancala tak
mampu lagi berkata-kata?” sekilas Khresna memandang wajah cantik itu,
kecantikan yang tak pernah pudar, meski Drupadi telah kehilangan senyum, dan
mungkin untuk selamanya.
Hening. Air Sungai Gangga
adalah satu-satunya suara yang hadir di tempat ini, sesaat angin bahkan terlalu
enggan untuk bertiup. Mulut Drupadi masih terkunci, ia belum mampu memutuskan,
adakah ia harus bersedia menjadi istri lima Pandawa, atau ia membatalkan
perkawinan ini dan akan menjadi putri terbuang seperti Amba. Dada Drupadi terasa sesak, ia harus menjalani
takdir yang sulit. Kali ini muncul pertanyaan yang tak pernah terpikirkan,
“Mengapa pula aku harus terlahir selaku
putri raja yang mesti menikah dengan kesatria pemenang sayembara?”
Drupadi tak mengalihkan
pandangan, meski ia tahu Khresna tak akan membuang-buang waktu bagi kesulitan
dirinya. Ia telah melakukan kesalahan, membiarkan dirinya berada di tempat jauh
tanpa kehadiran siapa-siapa. Akan tetapi, ia ingin benar-benar sendiri ketika
akhirnya tersadar, terlalu sulit mengambil sikap yang tepat selaku putri raja.
Ia hanya dapat menikah melalui sayembara, andai ia terlahir sebagai rakyat
jelata, adakah ia akan terdiam seorang diri di tepi Sungai Gangga dengan
pikiran gamang tanpa jawaban? Ia tak dapat memahami jalan pikiran Kunthi dan
Pandawa, pernahkah seorang putri menikahi lima saudara? Satu istri bagi lima
suami? Ia akan menjadi bahan pembicaraan semua orang, sementara ia hanya
mencintai Arjuna, bukan termasuk empat Pandawa yang lain. Ia tak menghendaki
Yudhistira, Bhima, Nakula, dan Sadewa, namun bagaimana ia harus memberi arti
sebuah kehendak? Putri yang telah dimenangkan pada sebuah sayembara bahkan tak
diijinkan memiliki kehendak.
“Apakah seorang
putri raja tak boleh juga merasakan
susah? Manusia terlahir dengan garis hidup, ia hanya menjalani. Apa
sesungguhnya beda antara susah dan senang, kemenangan dan kekalahan, keduanya
bahkan dapat disebut dua penipu yang berwatak sama ….” Suara Drupadi tak beda
dengan rintihan putus asa. Ia tahu akan menjemput lorong kelam teramat panjang
tanpa kesudahan, dan ia tak memiliki pilihan.
“Takdir hanya dapat
dijalani, terlebih bagi seorang putri…. Bangkitlah Drupadi, tetaplah tersenyum
apapun yang harus terjadi. Tak ada yang salah, kecuali hatimu tak pernah rela
menerima. Tak pernah ada yang pernah berubah setelah sayembara, kecuali seorang
putri Pancala yang harus menjalani hari esok ….” Sepasang lembut mata Khresna
menatap Drupadi sedemikian dalam seakan henduk menjenguk hingga ke relung hati.
Ia tahu sang putri akan mengambil sebuah keputusan bagi jalan damai.
Beberapa saat suasana di
tepi Sungai Gangga tetap hening, angin semakin dingin berkesiur. Drupadi masih
tetap terduduk dalam hampa. Ketika ia berdiri kemudian melangkahkan kaki,
Khresna tak berada lagi di tempatnya. Pertemuan itu hanya sekejab namun telah
mengubah takdir hidup Putri Pancala selama-lamanya.
***
Sementara di istana
Pancala Dristadyumna tengah menghadap ayahanda Raja Drupada, “Mohon ampun
ayahanda raja, sayembara telah dimenangkan seorang Brahmana yang ternyata
adalah Arjuna. Kelima Pandawa bersama ibu agung Kunthi kiranya selamat dari
kebakaran di Wirata, kini tinggal di rumah seorang tukang kendi. Drupadi tidak
merasa canggung, ia berbahagia dengan pemenang sayembara….”
Raja Drupada menghela
napas panjang, perjalanan hidup kiranya menyimpan banyak cerita. Pandawa dan
ibu agung Kunthi yang disangka telah tiada, ternyata masih hadir pula
memenangkan sayembara. “Aku mengundang kelima Pandawa dan Ibu Kunthi ke istana,
sekarang”, sang raja segera menentukan sikap, tak perlu lagi menunda waktu.
Dristadyumna
membungkukkan badan, ia tahu segala yang harus dilakukan setelah kemenangan ini,
sebuah perhelatan agung harus segera diselenggarakan untuk mengukuhkan pemenang
dan putri raja sebagai mempelai istana. Tidak diperlukan waktu yang lama bagi
pertemuan itu, beberapa tabuh kemudian Pandawa dan Kunthi telah menghadap sang
raja. Sesaat suasana hening sebelum akhirnya Yudhistira bersuara.
“Beribu terima kasih atas
kemurahan hati baginda mengundang kami ke istana, adalah sebuah penerimaan
sehingga kiranya perkawinan antara Arjuna dan Drupadi dapat diselenggarakan….”
Yudhistira sejenak kehilangan kata, ia tidak tahu bagaimana sikap baginda
dengan kesepakatan, bahwa seorang Putri Pancala harus menikah dengan kelima
Pandawa. Suasana mendadak hening, sunyi menggantung di balairung istana,
Yudhistira menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. Di singgasana Raja
Drupada menunggu, ada yang tidak lazim dalam sikap Yudhistira. Hati tuanya
seakan gelisah.
“Satu hal yang harus kami
sampaikan, bahwa bertahun tahun kami terlunta-lunta atas nama kebencian Kurawa.
Bila hari ini kami masih dapat hadir di istana adalah karena kami selalu
berbagi tak pernah terpisah antara yang satu dengan yang lain. Arjuna telah
memenangkan sayembara, tetapi Drupadi Putri Pancala harus menikah dengan kelima
Pandawa, ibunda Kunthi telah memberikan restu”, tak mudah bagi Yudhistira berkata-kata, tetapi harus.
Suasana hening di
balairung istana tiba-tiba berubah seakan tungku api dengan kayu bakar berpijar
semakin lama semakin membesar. Wajah Raja Drupada merah bagai saga, bagaimana
seorang putri raja harus menikah dengan lima orang saudara? Pernahkah ia
mendengar adat semacam ini? Sanggupkah ia merestui pernikahan ganjil bagi
permata hati? Kemarahan Drupada hampir memecah. Adakah |Drupadi sanggup
menghadapi pernikahan ini, atau ia mengelak dengan akibat tersisih untuk
selama-lamanya, tanpa seorang satriapun berkehendak meminang, tidak juga Karna.
“Sadar akan semua
ucapanmu Yudhistira?” Drupada berusaha menguasai diri, ia terjebak ke dalam
sebuah keadaan yang aneh, ia harus memutuskan untuk menentukan takdir Putri
Pancala selama-lamanya. Takdir yang tidak akan dikehendaki putri raja yang
manapun.
“Hamba sadar dengan
segala ucapan, sepanjang hidup Pandawa selalu berada dalam bahaya, menikahi
bersama seorang putri berarti menguatkan diri untuk selalu menghindar dari
bahaya. Beribu ampun atas kelancangan hamba….” Yudhistira membungkukkan badan
dalam-dalam, ia telah berucap melampaui batas keberanian di hadapan seorang
raja, tetapi ia tak memiliki pilihan kecuali bersikap berani. Ia bertanggung
jawab atas keselamatan Pandawa di bawah ancaman Kurawa.
Raja Drupada terdiam,
udara terasa gerah secara perlahan berubah menjadi mata pisau yang tajam
menyakiti, ia telah dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Tenggorokan sang
raja terasa kering, ia telah mempertaruhkan nasib seorang putri di lapangan
sayembara, menyerahkan kepada pemenang dengan akibat yang mencemaskan. “Tetapi,
dimana Putri Drupadi?”
Hening ….
“Hamba di sini ayahanda
raja ….” Suara Drupadi semerdu buluh perindu, ia telah mengambil keputusan, ia
seorang putri yang telah ditempa dengan asam garam kehidupan, dan tidak bisa
mengelak dari sebuah kemenangan. Ia akan memenuhi perkawinan ini, satu putri
raja bagi kelima Pandawa. “Hamba telah bersiap bagi perkawinan dengan kelima
Pandawa ….”
Hening suasana segera
terpecah dengan suara tarikan napas, sepasang mata tajam sang raja menatap Drupadi tak percaya. Permata hati
Pancala yang jelita dengan takdir hidup
ganjil yang tabah dijalani, sepasang mata sang raja nyaris gugur. Ia tak pernah
mengira Putri Pancala akan setabah ini.
Sesaat ketika bertatapan
dengan Arjuna, Drupadi bahkan tidak bisa menterjemahkan isi hati, masihkah ia
mencintai satria impiannya? Atau impian itu telah berkeping-keping, karena ia
harus membagi cinta dengan empat Pandawa yang lain? Drupadi kini tak perlu lagi memiliki perasaan, ia
harus memiliki kekuatan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar