Perempuan berasal
dari kata --empu, berarti sang pemilik
yang berwenang akan segala sesuatu termasuk dalam relasi gender. Kewenangan
dalam relasi gender akan membawa perempuan pada peta yang mana pun untuk tetap
eksis mendapatkan hak dalam segala hal, sehingga ia tidak akan pernah
tertinggal. Akan tetapi, apa kemudian
yang berlaku? Duka cerita kisah perempuan seakan tak berkesudahan, bahkan
ketika waktu terus berotasi membawa sejarah melewati lebih satu dekade
pergantian millennium. Peta kehidupan perempuan teramat luas, sama luasnya
dengan jumlah daratan yang tak terendam permukaan air laut. Akan tetapi
kemajuan daratan yang satu tak berjalan parallel dengan daratan yang lain.
Ketika di Benua Eropa seorang anak perempuan dari keturunan raja, mutlak berhak akan tahta
tanpa intrik, maka di belahan bumi yang lain kemampuan seorang memimpin
kerajaan dan negara masih dipertanyakan. Sementara perempuan masih terbelit
dengan tugas-tugas domestik --melahirkan, menyusui serta mengejakan beban rumah
tangga yang tak memberikan imbalan financial dan yang membuat sosoknya tak pernah eksis dalam
statusnya sebagai bagian dari komunitas setempat. Kekerasan di dalam rumah tangga, baik, fisik,
psikologis, maupun ekonomi menjadi buah mulut sehari-hari yang berakibat pada
trauma, luka berdarah, bahkan kematiannya.
Dari mana sebenarnya kekerasan itu berasal?
Dahulu kala, jauh hari sebelum
sejarah tercatat, pada tahap kehidupan
masyarakat sederhana, setiap komunitas mengatur strategi pertahanan hidup dari
berburu dan meramu. Masing-masing kelompok mengkristalkan diri dalam bentuk band,
seorang laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan serta mampu mendapatkan
lebih banyak binatang buruan akan dinyatakan sebagai kepala suku atau pemimpin
kelompok. Ada pun perempuan, terlebih ketika berada dalam keadaan hamil,
melahirkan, dan menyusui selalu berada dalam kondisi fisik yang lemah dan
semakin lemah. Pekerjaan yang bisa diselesaikan antara lain bertanam. Perempuan
tak memiliki kodrat untuk menjadi seorang pemburu sekaligus kepala suku, karena
kekuatan fisiknya. Superioritas mulai muncul yang akhirnya berakibat fatal pada
ketidaksetaraan gender. Bibit budaya patriakhal mulai ditebar.
Ketika sejarah terus tercatat dengan
bermacam perubahan dan kemajuan yang terjadi, perempuan tetap menjadi warga
komunitas kelas dua dengan akibat tragis dari kecenderungan poligami,
kekerasan, dan penelantaran. Kisah perempuan di Tepi Barat, Palestina adalah
tragedy bagi seorang gadis yang dibakar keluarga, karena mengandung di luar
perkawinannya, ada pun si pemuda, selamat, karena ia terlahir sebagai
laki-laki. Perempuan di Timur Tengah membungkan dalam duka lara, karena
pembenaran dalam poligami. Sementara Kaisar Cina --Sang Putera Langit, konon
memiliki 3.000 selir. Perempuan termaksud semula adalah gadis-gadis yang
berasal dari keluarga tidak mampu tanpa jaminan hidup dari kedua orang tuanya.
Atas nama perbaikan taraf hidup bagi seluruh anggota keluarga, maka mereka
didorong untuk memasuki intrik dalam rumah tangga kekaisaran yang diliputi iri
dengki dari 2.999 selir yang lain dan seorang permaisuri. Intrik di dalam
istana sering kali berlumuran darah bahkan berakibat pada kematiaanya. Kasus
serupa terjadi pula pada kehidupan Kesultanan Turki yang didampingi terlalu
banyak selir, hingga terpecah perselisihan yang mengerikan di antara mereka
Perempuan Nusantara baru dapat ikut
serta dalam proses pendidikan setelah perjuangan emansipasi oleh Ibu Kartini
yang terlahir pada 21
April 1879 dan hidup 25 tahun setelah hari kelahiran itu. Kurang lebih satu
abad kemudian, setelah melewati pergantian millennium, maka seorang perempuan
dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, beberapa menduduki kursi menteri,
kursi wakil rakyat, juga posisi structural, dan fungsional. Pada sejarah
Singasari, sekitar 1.000 tahun yang
lalu, di Tanah Jawa pernah terlahir Ken Dedes –Ardanareswari, ialah seorang
perempuan yang telah ditakdirkan untuk melahirkan raja-raja di Tanah Jawa.
Kecantikan dan ambisi telah mendorong untuk
melakukan tindakan paling kejam bagi suami pertama dan kedua dengan
sikap dingin, ia meminjam tangan orang lain. Sehingga kesepuluh jarinya tetap
bersih, tiada berlepotan darah, ada pun tahta jatuh ke tangan anak kandungnya.
Takdirnya untuk meurunkan raja Tanah Jawa telah berbicara.
Sejarah pasti tercatat, akan tetapi tidak semua perempuan memiliki peluang yang sama. Sementara pada satu belahan bumi seorang perempuan telah duduk berkuasa mengenakan mahkota, maka di belahan bumi yang lain, perempuan masih terbelenggu pada tugas-tugas domestic yang tak mampu mengubah nasib diri serta generasi penerusnya. Kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran membawa kehidupan rumah tangga sampai pada titik terendah yang berakibat pada hancur mentalitas dan kemampuan fisik generasi penerus. Sebuah mata rantai persoalan terus melingkar, tidak ada satu cara pun untuk mendapatkan jalan keluar, kecuali dengan mematahkan.
Perkawinan dini pada suku bangsa tertentu pada prinsipnya memicu awal mula persoalan yang terlalu rumit untuk ditelusuri kemudian diperoleh solusi. Pun sikap keluarga dalam memperlakukan sosok pribadi --antara laki-laki dan perempuan. Bahwa anak-anak perempuan ditekan untuk mengerjakan urusan rumah tangga --pergi ke pasar, memasak, mencuci piring, lantai pakaian, merawat tanaman, menjaga adik, anak laki-laki terbebas dari segala hal termaksud. Sementara lingkungan social dan sekolah melakukan tekanan serupa. Lembaga pendidikan dan jaringan birokrasi akhirnya terbuka bagi proses pendidikan dan karir, akan tetapi betapa tidak proposional jumlah kursi yang diduduki perempuan dibanding laki-laki. Berapa jumlah kursi menteri? Berapa banyak yang diduduki perempuan? Atau berapa banyak perempuan yang mampu menempati kursi DPR?
Dalam budaya patriakhal, secara cultural perempuan dikondisikan sebagai penyerta, bukan subyek, membangkang dianggap sebagai suatu kesalahan atau amoral. Kondisi semacam ini secara permanen menghambat seorang perempuan untuk bertindak sebagai pelaku. Maka ketika perkawinan dimulai, terlebih dalam usia yang sangat dini tanpa kesiapan mental, fisik, dan financial, kekerasan di dalam rumah tangga kembali terjadi. Pihak perempuan ditekan untuk mengalah --mengalah bahkan ketika darah mulai mengucur, kekerasan tak juga berhenti hingga kematian datang mengakhiri.
Untuk mengatasi kondisi semacam ini, seorang harus berfikir sekaligus bekerja keras, mencurahkan seluruh kemampuan membangun keyakinan serta potensi diri, sehingga mata rantai persoalan dapat dipatahkan. Keluarga sebagai unit satuan terkecil dalam kehidupan masyarakat merupakan pihak yang paling berwenang dalam mematahkan mata rantai, sehingga kesetaraan gender bisa tercapai dengan cara menerapkan beban serta tanggung jawab yang adil dan bijak terhadap anak laki-laki dan perempuan. Apabila anak perempuan harus mengerjalan segala urusan rumah tangga, maka anak laki-laki harus melakukan hal yang sama, tanpa kecuali. Demikian pula dalam hal pendidikan, proses yang harus ditempuah serta biaya yang harus dibarkan antara anak- laki-laki dan perempuan sama. Masyarakat sering kali sulit menerima perubahan, karena terikat dengan adat dan pandangan social yang telah mengakar. Akan tetapi suatu perubahan apa pun bentuknya bila berdampak positif lambat laun akan diterima dengan senang hati.
BKKBN pernah memiliki program permanen, ialah pendewasaan usia perkawinan, suatu strategi yang berfungsi ganda dalam membangun kehidupan keluarga dan kesetaraan gender. Sungguh pun badan termaksud sudah tidak nampak di tingkat daerah, akan tetapi program dapat diteruskan, mengingat fungsinya yang sangat penting dalam pengembanngan masyarakat. Jangan pernah tergesa menjelang pernikahan, sebelum suatu akibat yang teramat buruk dan tak pernah dapat dobayangkan. Ikon perkawinan adalah “selamat berbahagia”, dalam banyak kasus yang terjadi justru sebaliknya. Kesiapan fisik, psikis, dan financial amat mendukung untuk mencapai suatu masa yang disebut dengan kebahagiaan sekaligus mengantisipasi kekerasan di dalam rumah tangga.
Akhirnya ada empat hal yang dapat mendukung seorang perempuan dalam mencapai kesetaraan gender, pertama dorongan dari pihak keluarga, kedua budaya masyarakat setempat, ketiga kebijakan pemerintah, dan keempat kemampuan dari perempuan itu sendiri. Bahkan Tuhan pun tak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tak bermaksud mengubah nasibnya sendiri. Demikian pula, Tuhan tak akan pernah mengubah takdir seorang perempuan kecuali perempuan mengubah nasibnya sendiri.
***
Sejarah pasti tercatat, akan tetapi tidak semua perempuan memiliki peluang yang sama. Sementara pada satu belahan bumi seorang perempuan telah duduk berkuasa mengenakan mahkota, maka di belahan bumi yang lain, perempuan masih terbelenggu pada tugas-tugas domestic yang tak mampu mengubah nasib diri serta generasi penerusnya. Kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran membawa kehidupan rumah tangga sampai pada titik terendah yang berakibat pada hancur mentalitas dan kemampuan fisik generasi penerus. Sebuah mata rantai persoalan terus melingkar, tidak ada satu cara pun untuk mendapatkan jalan keluar, kecuali dengan mematahkan.
Perkawinan dini pada suku bangsa tertentu pada prinsipnya memicu awal mula persoalan yang terlalu rumit untuk ditelusuri kemudian diperoleh solusi. Pun sikap keluarga dalam memperlakukan sosok pribadi --antara laki-laki dan perempuan. Bahwa anak-anak perempuan ditekan untuk mengerjakan urusan rumah tangga --pergi ke pasar, memasak, mencuci piring, lantai pakaian, merawat tanaman, menjaga adik, anak laki-laki terbebas dari segala hal termaksud. Sementara lingkungan social dan sekolah melakukan tekanan serupa. Lembaga pendidikan dan jaringan birokrasi akhirnya terbuka bagi proses pendidikan dan karir, akan tetapi betapa tidak proposional jumlah kursi yang diduduki perempuan dibanding laki-laki. Berapa jumlah kursi menteri? Berapa banyak yang diduduki perempuan? Atau berapa banyak perempuan yang mampu menempati kursi DPR?
Dalam budaya patriakhal, secara cultural perempuan dikondisikan sebagai penyerta, bukan subyek, membangkang dianggap sebagai suatu kesalahan atau amoral. Kondisi semacam ini secara permanen menghambat seorang perempuan untuk bertindak sebagai pelaku. Maka ketika perkawinan dimulai, terlebih dalam usia yang sangat dini tanpa kesiapan mental, fisik, dan financial, kekerasan di dalam rumah tangga kembali terjadi. Pihak perempuan ditekan untuk mengalah --mengalah bahkan ketika darah mulai mengucur, kekerasan tak juga berhenti hingga kematian datang mengakhiri.
Untuk mengatasi kondisi semacam ini, seorang harus berfikir sekaligus bekerja keras, mencurahkan seluruh kemampuan membangun keyakinan serta potensi diri, sehingga mata rantai persoalan dapat dipatahkan. Keluarga sebagai unit satuan terkecil dalam kehidupan masyarakat merupakan pihak yang paling berwenang dalam mematahkan mata rantai, sehingga kesetaraan gender bisa tercapai dengan cara menerapkan beban serta tanggung jawab yang adil dan bijak terhadap anak laki-laki dan perempuan. Apabila anak perempuan harus mengerjalan segala urusan rumah tangga, maka anak laki-laki harus melakukan hal yang sama, tanpa kecuali. Demikian pula dalam hal pendidikan, proses yang harus ditempuah serta biaya yang harus dibarkan antara anak- laki-laki dan perempuan sama. Masyarakat sering kali sulit menerima perubahan, karena terikat dengan adat dan pandangan social yang telah mengakar. Akan tetapi suatu perubahan apa pun bentuknya bila berdampak positif lambat laun akan diterima dengan senang hati.
BKKBN pernah memiliki program permanen, ialah pendewasaan usia perkawinan, suatu strategi yang berfungsi ganda dalam membangun kehidupan keluarga dan kesetaraan gender. Sungguh pun badan termaksud sudah tidak nampak di tingkat daerah, akan tetapi program dapat diteruskan, mengingat fungsinya yang sangat penting dalam pengembanngan masyarakat. Jangan pernah tergesa menjelang pernikahan, sebelum suatu akibat yang teramat buruk dan tak pernah dapat dobayangkan. Ikon perkawinan adalah “selamat berbahagia”, dalam banyak kasus yang terjadi justru sebaliknya. Kesiapan fisik, psikis, dan financial amat mendukung untuk mencapai suatu masa yang disebut dengan kebahagiaan sekaligus mengantisipasi kekerasan di dalam rumah tangga.
Akhirnya ada empat hal yang dapat mendukung seorang perempuan dalam mencapai kesetaraan gender, pertama dorongan dari pihak keluarga, kedua budaya masyarakat setempat, ketiga kebijakan pemerintah, dan keempat kemampuan dari perempuan itu sendiri. Bahkan Tuhan pun tak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum tersebut tak bermaksud mengubah nasibnya sendiri. Demikian pula, Tuhan tak akan pernah mengubah takdir seorang perempuan kecuali perempuan mengubah nasibnya sendiri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar