Selasa, 28 Mei 2019

S A L I --Kisah Seorang Wanita Suku Dani-- SATU





Sinopsis

 

Budaya patriakhal yang menempatkan pihak laki-laki sebagai pemegang otoritas di dalam kehidupan keluarga sekaligus komunitas berptotensi menimbulkan kekerasan dengan akibat paling menyedihkan ditanggung oleh perempuan. Perempuan kehilangan daya upaya untuk membela diri, mendapatkan hak hidup dan kesetaraan. Kematian adalah akibat terburuk yang tak terelakkan ketika kesetaraan gender bahkan masih terlalu jauh sebagai wacana. Adalah Liwa, seorang perempuan Suku Dani yang masih terjebak dalam patriakhal dan tidak bisa mengatakan “Tidak”. Sebagai objek otoritas dalam relasi gender hari-hari berubah  menjadi  teramat pahit setelah perkawinan yang indah dan diramaikan dengan babi-babi. Menyelenggarakan urusan rumah tangga dengan mengandalkan hasil kebun sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan, tanpa kecuali. Ketika tuntutan dan tekanan dari pihak suami semakin tidak rasionil, beban hidup tak tertahankan. Masihkah Liwa sanggung meneruskan hidup? Bahkan meninggalkan sali, menenggelamkan diri di dasar sungai menjadi suatu pembebasan.

 


Kata Pengantar

 

Jangan Ditanya Ke Mana Aku Pergi ….

Kata Pengantar untuk novel yang menarik ini diberi judul larik pertama sebuah nyanyian pop, “Jangan ditanya ke mana aku pergi ….”  Dalam konteks novel yang berjudul Sali karya Dewi Linggasari, larik pertama nyanyian ini, tiba-tiba menggetarkan. Sebab, kepergian sang perempuan --dalam novel ini yang dimaksud dengan perempuan adalah isteri, bukan hanya pergi dalam Bahasa Jawa disebut dengan istilah purik atau pulang ke rumah orang tuanya, tetapi bunuh diri.

Ini tentu tidak menarik perhatian kita, yang bukan anggota komunitas Suku Dani. Sekurangnya, mengapa Liwa atau Aburah, tokoh perempuan yang menjadi korban jagat patriakhi, tidak pulang saja ke rumah orang tua mereka, seperti perempuan-perempuan di Jawa. Apakah pulangnya seorang isteri ke rumah orang tua mereka dianggap aib oleh adat? Atau, adat yang begitu kuatnya tidak membuka peluang bagi perempuan untuk mencari perlindungan,  mengadukan nasibnya yang malang, jangankan secara hukum, secara kekeluargaanpun tidak mungkin.

Sebagai sebuah novel, narasi dan dialog yang ada di dalamnya, juga pilihan kata, pun penyusunan frasa dan kalimat, membangkitkan suasana atau atmosfir yang membuat orang Jawa, secara spontan, ngelus dhadha. Dan mungkin juga sedikit berguman: “O, koq ya ana kahanan kaya ngono ora enggal didandani. Mesakae banget para Wanita ing tlatah Baliem ….”

Karena itu, saya begitu menikmati novel ini, terbayang bahwa Sali, yakni pakaian yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang bunuh diri, karena tekanan adat melalui perilaku suaminya adalah sebuah tanda. Ia,  Sali  bukan sekedar pakaian, tetapi seperti kutang atau entroq adalah pakaian yang khas dikenakan oleh perempuan. Sali, seperti pakaian perempuan Jawa yang selesai dipakai belum dicuci, tentulah sangat penguk dan kecut, karena keringat. Tentu saja ini biasa. Setiap pakaian manusia, siapapun yang memakainya, pasti akan meninggalkan bau yang penguk, kecut, sengak, dan lainnya.

Akan tetapi, bau pada pakaian perempuan Suku Dani di Lembah Baliem -Wamena di Pulau Papua, menyerukan suara sesambat. Dan sesambat itu bernada pedih pilu, adalah: “Jangan ditanya kemana aku pergi ….”  Oleh karena itu, bau Sali yang ditinggalkan oleh perempuan yang bunuh diri tidak hanya menyengat hidung, tetapi juga menusuk sanubari, menyentuh nurani. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh tokoh-tokoh gerakan perempuan, misalnya Simone de Beauvoire, jika membaca novel ini.

Novel ini menyediakan dua lapis kandungan, yang pertama adalah uraian etnografis tentang keadaan komunitas Suku Dani di Lembah Baliem-Wamena. Lapis tananan ini kalau dibaca dengan kaca mata Culler adalah lapis semiotika tataran pertama. Lapis kedua adalah, lapis kalau dibaca dengan kaca mata Rolland Barthes dalam bukunya berjudul Mythologie, adalah mitos. Dalam Bahasa guru-guru SMA bersifat konotatif. Di sana, di dalam mitos itu, orang bisa mendengarkan dendang Dewi Linggasari tentang derita perempuan Lembah Baliem – Wamena.

Karena kuatnya semangat budaya Suku Dani, perempuan-perempuan dipandang sebagai mahkluk deuxieme sex, kalau kita meminjam kaca mata Simone de Beauvoire. Tidaklah mengherankan, para perempuan harus melakukan perkejaan apa saja, bukan pertama-tama untuk keluarga, tetapi untuk laki-lakinya. Ia tak sekedar, misalnya: umbah-umbah, olah-olah, momong bocah, dan njerabah saja, seperti dibayangkan tugas perempuan Jawa pada masa lalu, tetapi juga pekerjaan di luar rumah: mencari kayu bakar dan makanan serta, mungkin yang penting, menyediakan tembakau untuk suaminya.

Sementara itu tugas utama laki-laki adalah berperang dan berburu. Apa yang dimaksud dengan perang di sini juga menyangkut perang dalam kontek adat. Dalam bahasa wayang, perang adat itu bisa juha kita sebut sebagai the ritual war. Dengan perspektif ini, Bharatayuda bukanlah perang seperti antar para pedagang narkotik dalam film mafia.

Tetapi apapun komentar kita tentang perang itu, ,perubahan jaman telah terjadi. Apa yang kita sebut perang adat, semakin lama, semakin berkurang. Kalau tidak salah, ada campur tangan pemerintah dalam hal ini. Tetapi, ini pun kurang penting, yang terpenting adalah laki-laki tidak memiliki pekerjaan yang bisa dibanggakan lagi. Mungkin, satu-satunya yang ada adalah berburu. Namun, sudah terbayang, secara civil effect, berburu tak bisa tak mengungguli heroisme yang memancar dari dada para kesatria Lembah Baliem.

Dengan demikian, semakin berkurangnya perang adat, bukan saja laki-laki kehilangan pekerjaannya, tetapi yang lebih penting adalah hilangnya kebanggaan: pride. Secara kejiwaan, bisa dibayangkan, betapa menderita batin para laki-laki.

Dengan semakin sedikitnya atau hilangnya perang adat, laki-laki, tentu saja, semakin banyak di- rumah. Secara akal sehat, laki-laki yang banyak di rumah bisa membantu isterinya. Tetapi, dalam konteks jagat pikir Suku Dani, lelaki yang terlalu banyak di rumah dengan jiwa dalam keadaan tanpa makna, bisa dibayangkan akibatnya. Adapun akibat dimaksud  adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk meraih keperkasaan sebagai kesatria di medan perang yang hilang karena perubahan social. Mungkin, lelaki itu semakin banyak melakukan kekerasan terhadap istrinya.

Karena Sali lebih merupakan suatu deskripsi keadaan Suku Dani secara etnografis, yang bersifat psikologis, jika toh disentuh dalam novel ini belumlah sempat mendapat eklsplorasinya. Namun ada yang bisa dibayangkan oleh pembaca: mengapa tergeletakknya selembar Sali  sebagai penanda bahwa seorang isteri telah bunuh diri tidak menggerakkan suku itu untuk menghentikan sebab-sebab yang telah mendorong perbuatan nekat ini? Apakah tergeletakknya Sali sudah merupakan pemandangan yang biasa? Jika memang demikian, ada semacam “penghalalan” terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun psikis.

Salah satu peristiwa yang menarik adalah bahwa paling sedikit ada dua peristiwa kematian, Aburah, emak dari Liwa dan Liwa itu sendiri. Lebih tragis, bunuh diri bagi Liwa adalah suatu tindak penolakan untuk melakukan serong, agar pihak yang menyerongi dapat dituntut membayar beberapa puluh ekor babi.

Novel ini ditulis dengan basis hasil penelitian yang cermat. Di sana, dalam novel ini, seperti halnya lirik Pengakuan Pariem yang sangat sarat kosa kata Jawa, demikian pula Sali. Kosa kata Bahasa local di Baliem terpancar cukup lumayan, yang menjadikan warna local novel ini tak hanya sangat membasah, tetapi tatkala kebasahannya mengering, meninggalkan bercak-bercaknya di benak pembaca.

Penulis Dewi Linggasari, berhasil mengundang pembaca masuk ke dalam jagat pikir Suku Dani dengan segala persolannya. Dalam konteks gencarnya kegiatan pariwisata sekarang, novel ini bisa ikut mendukung, menarik minat orang, juga ilmuwan untuk bertamasya ke Baliem, sebuah jagat unik untuk nuansa-nuansa yang menyedihkan.

 

Selamat Membaca

 Bakdi Soemanto

 

 

*A not for my dad, with love


Prolog

Gayatri terpaku dalam udara Lembah Baliem yang membeku. Matanya menatap lurus ke depan dengan pandangan hampa. Ia tengah menyaksikan tragedi kehidupan, akhir dari sebuah peristiwa ketika seorang wanita terjebak ke dalam mata rantai persoalan, kalah, dan berputus asa. Gayatri tak tahu dengan pasti, berapa lama ia berdiri di tepi jurang dengan air sungai yang sangat dalam. Di atas bebatuan tersangkut sali –pakaian tradisionil wanita Suku Dani –melambai-lambai dihembus angin. Gayatri merasa jarum jam tak lagi bergerak, waktu pun berhenti. Sali itu sudah mengatakan semuanya, ia tak perlu lagi jawaban dan tak perlu lagi bertanya-tanya. Segalanya sudah selesai. Tapi, apakah kenangan terhadap wanita yang dikasihinya itu berakhir?
Dokter muda itu berlutut, meraih sali, mendekap ke dada, bahunya terguncang. Ia seakan tengah menembus lorong waktu, kembali ke masa lampau, pada suatu masa yang jauh. Jauh sekali ……..




S a t u 


Malam panjang dan senyap telah berlalu. Matahari pagi di Lembah Baliem tampak sebagai bola raksasa merah membara yang didorong kekuatan maha dasyat dan melambung perlahan ke angkasa. Kabut tipis melilit perkampungan Suku Dani bagai sehelai kain sifon yang melambai,  lembut, dan kacau. Cahaya matahari membuat kabut itu tampak sebagai tirai yang terus bergerak-gerak dan akhirnya lenyak sama sekali. Dan pegunungan yang mengungkung lembah itu adalah benteng alam berlapis-lapis yang membeku diselimuti kabut putih. Kemudian hutan tanpa batas akhir seolah kebun brokoli yang ditanam sejak awal masa purba.

Perkampungan Suku Dani adalah sekelompok silimo yang berjauhan satu sama lain. Silimo itu berpagar kayu dengan humus yang berfungsi sebagai pelindung pada ujung-ujungnya. Di dalamnya terdapat pilamo --honai laki-laki, ebe ai --honai perempuan, serta honai adat yang terletak lurus dengan pintu masuk. Di dalam honai adat tersimpan berupa senjata dan perlengkapan perang yang harus dijauhkan dari jangkauan tangan wanita. Konon, darah kotor wanita yang datang selalu setiap bulan dapat menyebabkan perlengkapan perang itu kehilangan tuah dan tak dapat dimanfaatkan untuk memenangkan lawan dalan sebuah pertarungan. Sebab itu wanita Dani tak diijinkan untuk mendekat, terlebih menyentuh perlengkapan perang itu. Ada pun bangunan lain dalam bentuk sederhana yang terdapat di dalam silimo adalah dapur dan kandang babi. Honai adalah rumah adat Suku Dani yang berbentuk seperti jamur dengan dinding kayu dan atap ilalang. Dari kejauhan perkampungan itu tampak seperti sekumpulan cendawan pada musim penghujan yang tumbuh di sela-sela perdu.
Perkampungan Suku Dani terjaga dalam udara dingin. Embun masih mengkristal pada ujung dedaunan, membiaskan tujuh warna pelangi. Suasana hening dan bisu, tak juga tampak tanda-tanda kehidupan, kecuali asap tipis yang mengepul perlahan dari atap honai yang terbuat dari jalinan ilalang. Ketika matahari terus membumbung tinggi, suasana masih tetap sunyi, kabut tebal berarak dengan cepat mengepung matahari, alam seakan gelap. Pada sebuah honai tampak seorang wanita terbaring dalam keadaan lemah. Wajahnya memucat bagai kertas, ia telah menangkap isyarat, bahwa hari-harinya tak akan  lama lagi. Demikian juga dengan janin yang belum genap tujuh bulan dalam kandungan. Pada sebuah mimpi wanita itu telah ditemui anak-anaknya yang telah meninggal. Anak itu melambaikan tangan, mengulurkan selembar sali kemudian membawanya pergi, melewati terowongan waktu, menuju dunia yang lain sama sekali. Dalam dunia yang lain itu, segalanya berwarna putih. Wanita itu tak merasakan apa-apa lagi, juga rasa sakit yang mencambuknya bagai cemeti setiap hari. Dan ia pun merasa tenang.

“Mama....” sebuah suara halus menyadarkan Aburah dari lamunannya. Ia menatap Liwa, anak perempuannya dengan sayu. Anaknya itu mengulurkan ubi manis yang telah dibakar dengan tangannya yang mungil. Tiba-tiba Aburah mendapatkan kembali sebuah kekuatan, bibir yang pucat itu pun tersenyum. Hanya sekejab, tangan Aburah  terlalu lemah untuk menerima pemberian itu. Ia hanya dapat menatap sepasang mata bening milik Liwa, sedemikian dekat, sehingga ia dapat melihat bayangan diri yang tak berdaya pada sepasang orang-orangan mata anaknya. Tak ada yang lebih berharga dari kehidupan seorang ibu, kecuali bayi yang telah dilahirkan kemudian dibesarkan. Demikian pula dengan Aburah. Ia masih memiliki sisa keinginan untuk membesarkan Liwa hingga dewasa kemudian menikahkan dalam upacara adat yang ramai oleh pemberian babi dari pihak laki-laki. Akan tetapi Aburah terlalu lemah untuk memenuhi keinginan itu. Ia teringat pada saudara tua Liwa yang telah tiada, karena malaria, kemudian pada bayi yang dikandungnya. Mata Aburah menjadi basah, ia tak pernah menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ia tak pernah punya pilihan lain dalam hidupnya.

Hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah ia memberi segala bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita Suku Dani hanyalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis itu masak sebagai bahan makanan. Bila tak ada makanan, maka Kugara suaminya akan mengamuk dan memukulnya.

Setelah kerja berat itu pun Aburah merasa lelah tak terkira, tulang-tulangnya ngilu, badannya menggigil dalam demam yang tinggi dan ia tak dapat lagi berdiri. Dalam keadaan seperti ini, ia baru dapat dinyatakan sakit dan diperbolehkan berisitirahat. Sungguh pun ia merasa lemah, tetapi selama ia masih mampu berdiri, maka ia masih dianggap sehat dan harus tetap bekerja.
“Mama, makanlah”, Liwa menyuapkan ubi manis ke mulut ibunya, tapi Aburah tampak tak berselera. Ia hanya mengunyah sedikit kemudian memuntahkannya. Aburah pun kembali terbaring, memejamkan mata. Wanita itu merasa ada sebongkah batu menindih kepalanya, bara api menempel pada sepasang kelopak matanya, dan panas api tungku membakar tubuhnya. Aburah hanya melilitkan sali pada seputar pinggang tanpa penutup dada. Peluh terus mengucur membsahi tubuhnya yang gempal, sebagai pertanda, bahwa ia tengah berjuang melawan rasa sakit yang dalam. Sekejab wanita itu membuka mata, pandangannya sayu ketika ia menatap Liwa, satu-satunya anak yang dapat dibesarkan.

Adat di kampung ini membenarkan seorang duda yang kehilangan istri, karena kematian, untuk menikah dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Dengan demikian, maka ikatan keluarga dengan pihak istri dapat tetap diteruskan. Sementara anaknya akan menjadi anak tiri dari saudara kandung istrinya sendiri. Hal itu berarti Liwa tidak akan dibesarkan oleh seorang wanita yang tidak dikenal.

Mengingat hal ini Aburah merasa bongkahan batu yang menindih kepalanya menjadi lebih ringan selama menderita penyakit. Ia tak memikirkan apa pun, kecuali nasib anaknya. Kini, ia telah mendapatkan jawaban. Aburah pun melepaskan segala beban pikiran dan tiba-tiba ia mengalami mati rasa.
“Mama bangunlah....”, Liwa terus mengguncang-guncang bahu Aburah. Ia tak memiliki apa pun di dunia ini kecuali ibunya. Aburah lah yang menjaganya sejak kecil, membaringkannya di dalam noken –tas tradisionil Suku Dani—dan memikulnya kemana pergi. Aburah selalu memberinya makan, berjenis-jenis hasil kebun dan binatang hutan serta buah-buahan. Dan ia pun terus bertumbuh. Wanita yang menjadi pelindungnya itu itu kini terbaring tanpa gerak dan suara. Hati kecil gadis itu membisikkan sesuatu yang menakutkan. Liwa terus memandang Aburah dalam risau dan gelisah yang tak bisa dikendalikan. Ia masih terlalu bocah untuk memahami semua ini.
Di lain pihak Aburah merasa kesadarannya semakin jauh, badannya seakan melayang seperti kabut putih yang mengapung di dalam ruangan hampa. Ia tak lagi merasakan sakit, karena beban hidup sehari-hari yang terus menindih. Ia merasa begitu ringan seakan gumpalan kapas yang melayang diterbangkan angin musim. Ketika tiba-tiba sebuah kekuatan dasyat menyedot badan halus yang berkuasa akan seluruh hidupnya, napas wanita itu pun tersengal-sengal. Hanya beberapa saat, sebab Aburah segera melihat tubuhnya terbaring lemah di lantai honai, sementara ia tengah melayang di langit-langit yang rendah. Aburah pun mencoba membujuk Liwa supaya anak kecil itu menghentikan tangisya, tapi suaranya tak dapat lagi didengar. Ia telah hidup di alam lain dan tak mampu lagi berbicara dengan orang-orang yang ditinggalkan. Ia telah mati.
Sementara suara meraung-raung Liwa telah memanggil seluruh anggota kerabat berdatangan untuk menyaksikan apa yang telah terjadi. Badan Aburah masih hangat, meski wajahnya kian memucat, napasnya terhenti. Liwa dicekam ketakutan yang tiada terkira. Mamaknya telah menutup mata untuk selama-lamanya, ia masih terlalu kecil untuk kehilangan tempat berlindung, tapi apa daya? Sementara anggota kerabat yang lain segera memenuhi seisi honai, melakukan hal yang sama, meraung-raung. Kesunyian di Kampung Dani itu pun segera berubah menjadi jerit kedukaan. Kesunyian terpecah sudah.
Setelah suara raungan, maka kerabat yang berduka itu segera menghambur keluar untuk mengolesi wajah dan tubuhnya dengan lumpur sebagai tanda duka cita. Seorang anggota puak telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi, meninggalkan semua yang masih hidup. Sementara Kugara segera menangis dengan lolongan yang sangat panjang. Ia adalah seoranag laki-laki dengan postur tinggi dan tegap, dan seluruh rambut dijalin menjadi kelabang-kelabang kecil. Tak ada pakaian dikenakan sebagai penutup tubuh kecuali koteka yang mencuat melindungi kemaluan sekaligus melambangkan kejantanan.
Laki-laki itu tak dapat melindungi hatinya yang lemah, ia telah kehilangan teman hidup. Seorang wanita yang melahirkan anaknya, menyediakan makanannya, merawat kebun dan babi-babi serta membelah kayu bakar. Kugara tak yakin, bahwa ia akan dapat meneruskan hidup setelah kematian itu. Ia tak akan pernah dapat melakukan pekerjaan yang pernah diselesaikan Aburah. Bagaimana hidupnya nanti? Kugara benar-benar merasa malang. Ia tak pernah menyadari, bahwa kematian itu secara tidak langsung merupakan hasil kesewenangnnya. Bahwa secara adat ia memang berhak memerintah Aburah, karena telah membayarnya dengan babi-babi pada hari perkawinan itu. Ia telah membeli seorang wanita dengan harga yang sangat mahal. Seperti halnya setiap laki-laki di kampung itu, ia berhak mempekerjakan wanita yang dinikahi, sekalipun wanita itu telah hamil atau baru saja melahirkan anak yang dikandungnya. Kugara terlalu bebal untuk memahami persoalan apa yang telah terjadi pada diri Aburah, sehingga ia harus menangisinya.
Kugara terus melolong hingga keesokan harinya, ketika orang-orang satu kampung mulai beramai-ramai menebang kayu di hutan bagi upacara pembakaran. Akhirnya sampailah saat-saat terakhir ketika Aburah dapat tampak dalam keadaan utuh sebagai manusia. Tumpukan kayu bakar telah dipersiapkan. Perdebatan mengenai segala kesalahan Aburah semasa hidup telah digelar, berjam-jam lamanya hingga diperoleh jalan damai dan kesepakatan, pembakaran jenazah dapat segera dilakukan. Kayu bakar telah disusun tinggi-tinggi, seisi kampung tengah berkumpul di halaman silimo untuk ikut serta berkabung menyatakan duka cita. Segala pekerjaan di kebun untuk sementara ditinggalkan. Tak ada aktivitas apa pun di kampung itu kecuali upacara pembakaran. Keseluruhan yang berkabung itu adalah wajah-wajah duka berlinang air mata. Kaum wanita hanya melilitkan Sali di seputar pinggang tanpa penutup dada. Sementara kaum laki-laki, semuanya mengenakan koteka, kulit labu kering yang berwarna kemerah-merahan, menutupi bagian tubuh yang sangat rahasia dan mencuat ke angkasa.

Liwa memeluk erat jenazah Aburah, ketika wanita yang dicintai digotong beramai-ramai menuju tumpukan kayu yang siap menyala-nyala. Ia tak sanggup ditinggalkan, tangisnya meledak seakan bilah-bilah bambu yang terus digesek secara bersama-sama, memekakkan gendang telinga. Liwa kehilangan tempat berpijak dan keseimbangan hidupnya bergoyang. Ketika jenazah Aburah dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar, kemudian kayu dinyalakan, semakin lama semakin membesar, dan asap tebal pun mengepul. Gadis kecil itu menangis sejadi-jadinya, ia merasa sakit di tenggorokan dan kering suara. Pembakaran jenazaah aburah telah menghanguskan pula masa kanak-kanak dan nalar kebocahannya. “Mama jangan pergi mama....!” jeritan Liwa tenggelam dalam tangis yang meraung. Bau sangit daging hangus mulai tercium, kemudian suara letusan yang memporak porandakan seluruh isi perut termasuk cabang bayi yang belum sempat dilahirkan. Selebihnya api yang terus menyala tanpa kenal ampun dan asap hitam yang semakin tinggi. Langit semakin gelap.

Kugara terus melolong dan berguling-guling melumuri seluruh wajah dan tubuhnya dengan lumpur, hingga sulit dikenali sebagai pribadi yang asli. Sementara badan halus Aburah telah melayang tanpa menjejakkan kaki di atas tanah. Upacara pembakaran itu telah menghanguskan badan kasarnya sebagai abu. Ia telah diperlakukan dengan baik sesuai dengan adat setempat, rohnya pun menjadi tenang. Tetapi tangis gadis kecilnya membuatnya terpana. Ia terus mencoba membujuk dan menghibur Liwa, tetapi kata-katanya tak lagi dapat didengar, sentuhannya tak lagi dapat dirasakan. Ia telah terpisah dari alam lain, alam yang tak memungkinkan manusia dapat melihat atau mendengar kata-katanya.
Akhirnya api yang menyala-nyala itu pun semakin lama semakin mengecil, kemudian padam menyisakan bara. Jenazah Aburah hanya tinggal bubuk putih yang terpisah dari abu dan segera disimpan di dalam tabung. Liwa kini bersimpuh di depan abu putih Aburah, tangisnya terhenti hanya tersisa rintihan. Ia telah kehabisan tenaga, suara, dan kekuatan, karena kematian itu. Di seputar Liwa seluruh isi kampung masih ramai berkumpul, ia tak menangis seorang diri, tetapi Liwa merasa seakan terlempar pada sebuah padang luas yang sunyi. Ia tak mendapatkan tangan-tangan kuat yang memeluknya, manakala angin dingin menerpa, Liwa pun menggigil, semakin lama semakin kuat. Dan tiba-tiba pandangan gadis kecil itu menjadi kabur, Liwa melihat ada gumpalan kabut putih bergulung-gulung di seputarnya, seluruh rasa sakitnya terlupakan. Dengan kepasrahan Liwa menjatuhkan diri ke dalam gumpalan kabut, melepaskan segala beban. Gadis kecil itu pun terkulai, ia pingsan di depan abu jenazah Aburah.

Lapina, adik perempuan Aburah segera merangkul tubuh mungil Liwa. Ia sungguh merasa belas kasihan terhadap seorang anak kecil yang harus ditinggal mati ibunya. Dengan kematian itu, maka Lapina memegang tanggung jawab terhadap pengasuhan anaknya. Tergesa Lapina membawa Liwa menuju honai dan membaringkannya di dekat perapian. Wanita muda itu mengurut-urut seluruh tubuh Liwa hingga gadis kecil itu tersadar.

“Mama Aburah....” suara Liwa merintih.

“Mama Aburah telah pergi, tak usah kau bersedih, ada saya, mama adik akan menjagamu”, Lapina mencoba menghibur Liwa, ia menatap mata gadis itu dekat-dekat. Hatinya teriris ketika ia mendapati rungan kosong pada sepasang mata keponakannya. Liwa tak banyak bicara, kecuali memanggil-manggil nama Aburah, tetapi tatapan matanya yang kosong sudah cukup membahasakan kehacuran hatinya, “Mama Aburah telah tenang, jangan engkau terus menangis, nanti rohnya tidak dapat terbang ke langit, sekarang tidurlah”, Lapina mengambil selembar kulit kayu yang sangat tipis dan kering kemudian mengipaskan di atas tubuh Liwa. Angin sejuk seolah menerpa, Liwa merasa amat lelah dengan semuanya, perlahan-lahan ia memejamkan sepasang mata. Rasa sedih dan duka membawa kesadaran gadi itu menuju alam lain. Sebuah kehidupan semu yang muncul tanpa kendali dan penolakan. Tak lama kemudian gadis kecil itu pun tertidur.

Lapina menyandarkan punggung ke dinding honai, matanya terus mengamati gadis kecil yang terbaring damai dalam dunia mimpi. Ia teringat akan kata-kata Aburah sebelum jenazah wanita itu dbakar dan menyiskan abu putih. “Kalau terjadi apa-apa deganku, kutitipkan Liwa kepadamu. Engkau ikut menjaganya selagi ia masih berada di dalam kandungan, kemudian menimangnya ketika dilahirkan. Aku tak punya siapa-siapa lagi untuk menjaga anakku, kecuali dirimu”.
Lapina terlalu galau dengan kata-kata Aburah, sehingga ia hanya terdiam terpaku menatap saudara tunya dengan segala tanda tanya. ”Engkau mendengar kata-kataku Lapina?” Aburah bertanya.

“Saya mendengar”, Lapina menjawab singkat, kemudian bertatapan dengan Aburah, ia  segera memejamkan mata dengan sebuah helaan napas lega, ketika dari tatapan matanya Lapina telah mengiyakan kata-katanya. Lapina tak menghendaki kematin itu, tapi siapa pula yang dapat menolak takdir-Nya? Kini Lapina harus menepati janji, meluluskan permintaan dari orang yang sudah tiada. Yah! Ia harus menjaga bocah kecil itu, Liwa.


                                                         ***
Menjelang gelap Liwa baru terjaga, cahaya redup di balik mendung yang sebentar lagi akan berubah menjadi kehitaman seakan pertanda, betapa muram hari esok gadis kecil itu. Di luar kesunyian mengungkung seisi lembah. Angin berhembus menebarkan suasana beku, mematahkan ranting-ranting kering. Tak berapa lama kemudian hujan pun turun. Seluruh isi silimo segera berlindung di dalam honai masin-masing. Lapina tinggal berdua dengan Liwa di dalam honai perempuan, wanita muda itu mengulurkan ubi manis yang telah dibakar kepada Liwa.

“Makanlah, seharian ini engkau belum makan apa-apa”.
Semula Liwa menolak pemberian itu, tapi Lapina terus membujuknya. Liwa menerima pemberian ubi itu dengan lemah. Tiba-tiba perutnya terasa lapar, ketika ia melihat bahwa Lapina tengah memejamkan mata, maka Liwa segera mengunyah ubi manis itu dengan rakus. “Air Lapina, aku haus sekali”, Liwa merengek, Lapina segera menyerahkan kantung air, sehingga bocah kecil itu pun terdiam sudah.

Keesokan harinya Liwa hanya dapat berbaring dan berbaring, ia tak mampu berdiri. Rasa sedih telah melumpuhkan kekuatan gadis kecil itu, ia tak mampu berbuat apa-apa, kecuali menatap langit-langit honai dengan muram. Lapina selalu menjaga setelah pulang dari kebun. Kugara menjenguk Liwa di dalam honai, tetapi laki-laki itu tak dapat berbuat apa-apa, ia terlalu bingung dengan dirinya sendiri. Sementara keadaan Liwa berangsur-angsur membaik, Lapina terus menjaga dan menyediakan makanan bagi Liwa, sehingga bocah itu mendapatkan kembali kesehatannya.

Setelah keadaan Liwa pulih, Lapina membawa gadis itu ke kebun.”Kau ikut saya ke kebunkah?” demikian Liwa membujuk. Liwa tak segera menanggapi, matanya yang bening menatap lurus ke wajah Lapina seolah mencoba memperoleh kepastian. Ketika naluri kebocahan Liwa mendapatkan isyarat ketulusan hati pada tatatapan Lapina, maka gadis kecil itu menganggukkan kepalanya, “Baiklah, aku ikut denganmu”, keduanya kemudian berjalan beriringan menuju kebun milik kerabat yang terletak tak jauh dari silimo, melewati jalan setapak. Di seputar jalan kecil itu adalah belukar, selebihnya rimbun belantara yang belum dijamah.

Liwa melangkahkan kaki dalam diam, ia merasa ada sesuatu yang aneh di seputar tempat tinggalnya. Semak belukar dan hijau belantara adalah suatu hal yang biasa, demikian juga dengan suasana sunyi yang terpecah oleh suara binatang hutan. Suasana ini telah menyatu dalam hidupnya. Tetapi Liwa merasa seolah-olah hutan ini menjadi lebih sunyi, ia tak sedang berjalan dengan wanita yang telah melahirkan kemudian membesarkan, tetapi dengan wanita yang menjadi saudara Aburah

“Ayo cepat sedikit”, Lapina menarik tangan Liwa, ia dapat merasakan duka pada hati gadis kecil itu. Secara adat, maka ialah yang bertanggung jawab atasnya. “Itu kebun sudah tampak, engkau bisa bermain-main di sana”, telunjuk Lapina menunding ke depan. Pandangan Liwa mengikuti arah telunjuk Lapina dan gadis kecil itu pun tersenyum.

Di langit sebelah timur, cahaya matahari masih condong kekuning-kuningan. Kabut putih melambai seakan tirai sutera yang tersibak oleh kearifan semesta. Selebihnya adalah hijau pepohonan yang mengurung lembah dengan barisan perbukitan. Lapina dan Liwa melompati pintu kebun dengan hati-hati dan mereka segera berhadapan dengan berjeis-jenis sayur yang terawat rapi. Di sekeliling kebun dalah pagar rendah dengan perlindungan humus pada atasnya. Kebun-kebun harus selalu dilindungi dengan pagar. Tanpa pagar pelindung, maka hantu dan roh jahat akan datang mengganggu, sehingga tanaman di dalam kebun itu akan kecil atau mati sama sekali.
Lapina segera meletakkan noken dan mulai bekerja merawat tanaman seperti hari-hari yang telah lalu. Wanita muda itu megenakan sali yang masih baru tanpa penutup dada, sehingga sepasang bukit kembar itu tampak telanjang, seakan sebuah tantangan ketika menjadi berkilat-kilat oleh keringat. Wajah Lapina masih sangat muda, ia belum sepenuhnya terjamah oleh kekerasan hidup. Sementara Liwa hanya duduk berdiam diri di bawah rindang sebatang pohon, ia tak melakukan apa-apa kecuali duduk mematung tanpa kehendak. Kabut seolah menutup paras bocah tak berdosa itu.

Liwa mulai bergerak ketika ia melihat seekor kupu-kupu berwarna ungu dengan titik-titik kuning pada sayapnya, hinggap pada kelopak setangkai bunga liar. Liwa tertarik untuk menangkapnya, tetapi kupu-kupu itu segera terbang menghindar. Liwa terus mengejarnya, tetapi kupu-kupu itu segera mengepakkan sayapnya dengan elok, menjauh dari jangkauan tangan kecil Liwa. Bocah itu menjadi gemas, ia terus memburu tanpa jemu, hingga kupu-kupu itu membumbung pada sebuah dahan yang tinggi. Tiba-tiba Liwa merasa lapar, sementara matahari semakin tinggi dan bocah kecil tu merasa lelah. Dari kejauhan Lapina sesekali memperhatikan ulah Liwa sambil terus bekerja. Ia merasa senang, ketika Liwa tampak asyik mengejar kupu-kupu, melupakan sejenak kedukaannya.

“Lapina, saya lapar!” Liwa berteriak dari kejauhan, teriakan itu menyadarkan Lapina akan kelelahannya. Wanita muda itu mengusap peluh, meneruskan pekerjaan sejenak, kemudian segera menjelang Liwa dengan pisang, pepaya, dan ubi manis di tangan.

Angin semilir ketika kedua orang itu menyantap hasil kebun. Tetapi pepaya dan pisang tak cukup mengenyangkan, sehingga Lapina harus menyalakan api untuk membakar ubi manis itu masak di dalam abu panas. Ia pun kembali bekerja hingga matahari terik dan tergelincir perlahan di langit sebelah barat.
Akhirnya Lapina telah mengisi berjenis-jenis hasil kebun di dalam noken. Ia merasa lelah tiada terkira dan segera duduk beristirahat di dekat Liwa. Ubi manis telah masak dalam abu panas, Liwa tampak benar-benar rakus menyantapnya. Ia menjadi kenyang setelah meneguk air dari kantung dari labu, demikian pula dengan Lapina. “Aku ingin bermain air Lapina”, Liwa memohon.
“Ayo, saya pun harus mencuci ubi manis ini”, Lapina mengemasi isi noken, meletakkan tali noken di kepalanya, sehingga seluruh bobot noken memberat di punggungnya. Keduanya meninggalkan kebun, menuju anak sungai yang tak jauh dari silimo.

Liwa segera tertawa girang ketika mendengar suara gemercik air sungai. Ia menanggalkan noken dan segera meloncat ke dalam air dengan suara berdebur. Anak kecil itu bermain air sambil membersihkan seluruh daki di badan dengan sebaik-baiknya, sehingga tubuhnya terasa segar. Sementara Lapina segera mencuci seluruh hasil kebun, ubi manis itu pun berubah warna menjadi putih cemerlang. Matahari terik, sedangkan air sungai itu sejuk dan segar. Entah berapa lama Liwa dan Lapina bersenang-senang dengan air sungai, tetapi tiba-tiba senja telah turun dalam warna jingga. Pelangi melengkung dalam tujuh warna maya, seolah selendang bidadari yang tersangkut di antara gumpalan mega dan pepohonan. Liwa telah mengenakan kembali Sali, ia tengah memetik bung-bunga kertas yang tumbuh bebas di antara semak belukar. Bunga itu ada yang berwarna ungu, kuning, jingga, dan merah muda dengan putik sari kuning keputih putihan. Bunga yang tengah kuncup akan digantung supaya mekar dalam kelopak-kelopak cantik abadi. Orang-orang Dani ada yang menyebut bunga kertas itu sebagai bunga seribu hari, karena bunga itu tak pernah layu bahkan setelah berhari-hari mekar.

“Hari hampir gelap, cepat pulang, nanti roh jahat datang mengganggu anak kecil dan kau dapat sakit”, Lapina bersiap pulang.

“Tunggu sebentar Lapina, saya hendak memetik bunga yang ada di sana”, Liwa menyanggah sambail melangkah menuju bunga kertas yang terletak agak jauh di tepi jurang. Tapi Lapina segera menarik tangan gadis kecil itu dan membawanya kembali ke silimo. Ia sungguh takut akan kegelapan sebagai sumber muasal hantu dan roh jahat yang dapat mencelakai bocah-bocah.
“Saya mau bunga kertas itu”, Liwa masih mencoba memberikan perlawanan.
“Tidakah kau lihat, gelap akan segera datang. Di dalam gelap hantu-hantu akan berkeliaran. Mereka senang anak-anak yang masih kecil, ayo cepat pulang”, Lapina mempercepat langkah. Kali ini Liwa tak lagi melawan, ia pun takut akan roh jahat yang selalu datang bersama gelap.

Cahaya matahari telah redup, membekaskan teja ketika Lapina dan Liwa memanjat pintu silimo. Sekawanan burung melintas langit dengan suara mencecet kemudian sunyi. Lapina masih mempunyai kerja, memberi makan babi-babi setelah itu ia baru dapat beristirahat, seharian membuatnya sangat lelah.
                                                             ***                                             
Kugara telah membakar batu sedemikian lama, sehingga batu-batu itu menjadi amat panas dan berwarna keputih-putihan. Tak jauh dari tempatnya membakar batu, ia telah menggali lubang bersama anggota kerabat laki-laki yang lain. Telah lama ia tak pernah berkumpul dengan kerabat-kerabat yang telah menyebar pada silimo yang jauh. Hari ini setelah masa berkabung bagi kematian Aburah selesai, maka ia telah mengundang kerabat untuk berkumpul dalam adat bakar batu.

Lapina dan kaum wanita linnya telah memetik hasil kebun dalam jumlah besar dan mencucinya degan air kali. Hari ini suasana di dalam silimo menjadi lebih ramai. Duka telah berlalu dan keadaan kembali seperti sediakala. Liwa juga tidak lagi menampakkan tanda duka yang berlebihan, ia selalu menempel pada Lapina untuk mendapatkan kembali bayang-bayang mamaknya, sehingga hatinya yang gundah dapat kembali kepada rasa tenang.

Perilaku Liwa dan Lapina tak pernah lepas dari pengamatan Kugara. Mata laki-laki itu selalu memandang dalam jarak yang dekat maupun jauh dan segera dapat memperoleh jawaban dari kerisauan hati, karena kematian Aburah. Lapina telah bersikap seolah-olah Liwa adalah anak kandungnya, kasih sayang terhadap anak  itu tampak begitu nyata. Hal itu berarti hanya ada satu perkara yang harus dilakukan untuk mengesahkan hubungan, yaitu mengawini Lapina.
Yah, mengawini Lapina. Dari balik asap rokok Kugara dapat terus memperhatikan Lapina. Gadis muda itu tengah mengalaskan rumput pada lubang yang digali. Batu-batu yang memutih itu diletakkan di dasar lubang dengan kayu sebagai alat bantu, kemudian berjenis-jenis hasil kebun ditimbun secara beraturan ke dalam lubang. Setelah seluruh hasil kebun masuk ke dalam lubang, ditutup dengan batu panas dan rerumputan, maka semua orang harus menunggu.
Kugara masih memperhatikan Lapina dengan dadanya yang telanjang. Wajahnya yang muda remaja, sungguh merupakan daya tarik yang tiada tara, kemudian sepasang bukit kembar yang mencuat dengan sali yang melillit pada pinggangnya yang ramping kemudian pemandangan di balik Sali itu. Kugara menelan ludah. Ia harus melakukan sesatu bagi gadis yang menjadi adik almarhum istinya itu. Adat di kampung ini membenarkan seorang duda untuk meikahi saudara perempuan istrinya setelah tiada, sungguh pun gadis itu masih belia. Tiba-tiba Kugara merasa seluruh kepedihan akan kematian Aburah terobati. Lapina!

Ketika lubang itu dibuka, maka makanan di dalamnya sudah masak dan segera dikeluarkan dengan asap yang masih mengepul serta aroma yang menerbitkan selera. Seorang wanita di dalam silimo telah memeras buah merah (Pandamus sp) sedemikian rupa, maka mencairlah saus berwarna merah darah yang dituangkan di atas sayur. Makanan yang tampak dalam ukuran besar dibagikan kepada kepada pihak laki-laki, sedangkan yang berukuran kecil diberikan kepada perempuan dan anak-anak. Adat selalu menempatkan laki-laki sebagai pihak yang harus dihormati, sehingga mereka selalu mendapatkan makanan yang terbaik.

Demikian pula dengan Kugara, sambil menyantap hidangan yang lezat, matanya selalu mengawasi Lapina. Dalam pandangan Kugara, gadis itu tiba-tiba menjelma menjadi setangkai bunga liar yang telah mekar penuh daya pikat. Ia sungguh-sungguh tak dapat lagi menguasai diri. Semenjak kematian Aburah, ia harus melewatkan malam yang membeku di honai laki-laki. Ia tak dapat lagi bermalam di honai perempuan, karena jenazah Aburah telah memutih sebagai abu. Kugara masih terus menatap Lapina, sementara orang-orang yang terlibat dalam adat bakar batu asyik bercakap-cakap sambil menyantap hidangan masing-masing. Demikian pula dengan Liwa, ia terus mengunyah sayur dan labu yang telah masak sambil menyandarkan punggung pada badan hangat Lapina.
Di lain pihak, Lapina tiba-tiba merasa ada sepasang mata yang terus mengawasi. Ketika pandangannya beradu dengan tatapan Kugara, gadis muda itu segera membuang pandang. Ia merasakan sebuah debaran yang tak bisa dipahami, dan wajahnya bersemu merah. Kugara menyeringai, ia pasti akan mendapatkan gadis itu. Pasti!

Adat bakar batu itu pun akhirnya selesai, masing-masing orang meninggalkan tempat sambil mengemasi sisa-sisa makanan. Hasil kebun yang menjadi masak oleh panas batu itu pun tandas sudah. Kugara menunggu suasana menjadi sunyi, ketika ia melihat Lapina duduk seorang diri, maka ia segera berjalan mendekati.
“Lapina”, Kugara duduk tepat berhadapan dengan Lapina, ia apat menyaksikan keremajaan Lapina sedemikian rupa, seolah buah segar yang dapat dikunyah-kunyah.
“Kenapa Kugara?” Lapina menjawab, matanya yang bening terus menatap laki-laki di depannya seolah ia ingin menjenguk isi hatinya.
“Kau pasti tahu, bahwa kini aku adalah seorang duda. Istriku telah tiada, anakku tak punya ibu, kau juga tahu, bahwa sebagai laki-laki aku tak bisa mengasuhnya. Masa berkabung telah selesai. Tak dapat selamanya aku tanpa istri dan menderita begini”, Kugara mulai berbicara.

“Apa maksudmu Kugara ?” Lapina  bertanya, hati kecilnya mengatakan, bahwa Kugara menginginkan sesuatu yang sangat penting dari dirinya.
“Adat kita membenarkan seorang laki-laki yang kehilangan istrinya, menikah dengan adik kandungnya. Hal itu berarti, dapatlah kiranya aku menikah denganmu dan Liwa dapat pula menjadi anak tirimu”, Kugara  menatap Lapina dengan penuh permohonan. “Ingat, engkau tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, bapa ibumu sudah tiada. Saudara pun engkau tak punya. Kau hanya memiliki aku dan Liwa”, Kugara bicara dengan hati-hati, ia berusaha sedapat mungkin untuk tidak menerjang Lapina dan memperlakukan sebagai istrinya.
“Aku mengerti akan hal itu Kugara”, Lapina menjawab perlahan-lahan, pandangan matanya menatap jauh pada barisan bukit yang tampak berlapis-lapis di dalam kabut. Ia adalah bagian dari adat di kampung ini. Ia juga mengasihi Liwa, tetapi menjadi istri Kugara? Lapina tak pernah mimpi.
“Jadi, kau memenuhi permintaanku?” Kugara semakin mendekat, memegangi tangan Lapina erat-erat.

“Aku tidak tahu Kugara”, Lapina menjadi bingung, ia tampak seakan seekor kelinci yang terdesak pada sebuah sudut, menunggu beberapa detik sebelum pemburu menangkap dan mencincangnya.

“Tidak usah kau bingung, kau harus tunduk kepada adat. Aku akan membayarmu dengan babi. Bila engkau menolak, maka masyarakat yang tunduk kepada adat akan mengucilkanmu”, Kugara tampak girang, ia yakin telah memenangkan kehendaknya, karena adat pasti membelanya. Ia terus menempel pada gadis muda yang tak berdaya itu, sehingga Lapina tak kuasa lagi menolaknya.

Ketika akhirnnya Kugara membayarnya dengan dua puluh ekor babi, Lapina hanya terdiam. Ia tak bersuara bukan karena menjadi bersuka cita dengan pemberian itu. Tetapi ia telah limbung, ada suara yang memerintahkannya untuk berontak, tetapi ia terlalu  belia bagi pemberontakannya terhadap adat yang sudah berlaku sejak zaman purba. Ia tak memiliki kekuatan apa-apa, daya tarik sebagai gadis remaja telah menjadi bumerang, ia harus menikah dengan laki-laki yang tak dikehendakinya. Lapina tak pernah bisa mengerti, mengapa adat dapat berlaku seperti itu dan mengapa pula ia harus menjalaniya.
Lapina tetap membisu sampai hari perkawinan tiba. Dua puluh ekor babi diserahkan sebagai mas kawin kemudian Kugara mengunjunginya pada kegelapan honai setiap malam menuntut haknya. Lapina tak dapat memahami ketika tabir tersingkap. Kisah-kisah yang sering dibisikkan sesama gadis remaja ternyata menjadi saat-saat yang membingungkan, aneh, dan dipenuhi halimun. Lapina seolah tak sadar terhadap perlakuan Kugara, atau ia memang taak pernah ingin menyadarinya. Kegelapan di dalam honai telah mengurangi ketakutan, karena ia tak harus melihat wajah Kugara yang menjadi begitu dekat tanpa jarak. Ia tak pernah merasa sebagai suami istri, ia hanyalah pelaku adat. Pelaku yang kehilangan sukma dan akhirnya tampil sebagai patung hidup.
Setiap malam ketika Kugara mengunjunginya di dalam honai. Lapina hanya memejamkan mata. Ada rasa sakit yang menyentak, karena ia kehilangan hak akan kebebasan diri. Lapina ingin menjauh, tetapi ia tak tahu kemana harus berlari. Ruangan di dalam honai ini terlalu sempit untuk mengelak dari belenggu adat. Setiap gelap tiba, akhirnya Lapina hanya dapat menyerah. Ia merasa dirinya melambung ke langit tinggi kemudian terbanting ke dasar ngarai tanpa dasar. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Lapina segera berubah, ia bukan lagi setangkai bunga liar yang meliuk-liuk dalam hembusan angin lembah. Ia hanyalah sebatang tangkai yang telah patah. Wajahnya yang pucat dan sorot matanya yang muram telah cukup sebagai bahasa.
Beban kerja Lapina semakin berat, ia harus bangun pagi, menyediakan makanan bagi Kugara, pergi ke kebun sambil menjaga Liwa, memberi makan babi-babi, dan bersikap sebagai layaknya seorang istri. Berbulan kemudian Lapina merasa dirinya semakin lemah dan sakit-sakitan. Meski demikian ia harus pergi ke kebun demi babi-babi dan makanan sehari-hari.
Suatu pagi Lapina tak dapat lagi bangkit, ia terbaring dan terus muntah. Perutnya mual, kepalanya pening, raut wajahnya pucat menguning. Demikian berhari-hari hingga persediaan makanan habis sudah, ia harus kembali pergi ke kebun untuk merawat tanaman dan memetiknya. Liwa seolah mengerti kesulitan Lapina, ia diam mengikut dan tak banyak menuntut ketika Lapina membawanya pergi ke kebun dengan tubuh yang lemah. Liwa membantu Lapina bekerja, hanya sedikit hasil kebun yng dibawa pulang, Lapina memilih berbaring dengan Liwa di atas rumput, di bawah pohon yang rindang. Ia sengaja pulang menjelang gelap untuk menghindari sesuatu yang terasa ganjil dalam kehidupannya kini.


Demikian berhari-hari, Lapina menghabiskan waktu di kebun dengan berbaring menatap biru langit, ia memahami persoalan yang menimpa hidupnya, tapi ia terlalu dungu sekedar untuk menjawab pertanyaannya. Sementara Liwa hanya dapat memperhatikan Lapina dengan mata kanak-kanaknya. Wanita yang menjadi ibunya itu, kini lebih senang berbaring di atas rumput dengan sedikit hasil kebun. Sementara babi-babi semakin banyak yang harus diberi makan. Sampai suatu hari Kugara menegurnya.

“Engkau selalu seharian di kebun, tetapi mengapa ubi manis yang kau bawa hanya sedikit?” demikian Kugara menegur Lapina di depan pintu silimo.
“Tidakkah engkau melihat, badanku kian hari kian lemah?” Lapina balik bertanya.
“Aku telah membayarmu dengan babi, kau harus bekerja untukku dan untuk babi-babi itu”, Kugara memberi tekanan dalam suaranya, tampak sekali bahwa ia tidak senang.

“Memang betul, tapi babi-babi itu tidak membuatku menjadi kuat”, Lapina menghempaskan seluruh bobot noken ke lantai honai dan ia pun mulai sibuk menyalakan kayu bakar. Ubi manis harus masak, bila tidak Kugara akan mengomel dan bukan tidak mungkin akan memukulnya.

“Aku tidak mau tahu, besok engkau harus pulang dengan hasil kebun yang lebih banyak, bila tidak kau akan tahu akibatnya!” Kugara mengancam, ia berlalu pergi sambil menyambar pisang masak dan mengunyahnya dengan lahap.
Sepeninggal Kugara, Lapina duduk mematung, ia mulai merasa ada kebencian menggumpal perlahan-lahan di dadanya. Wanita itu ingin menumpahkan rasa benci, tapi ia tak punya cukup keberanian untuk menyatakannya. Sepasang mata itu pun menadi muram dan mulai basah. Tak lama kemudian embun pun terjatuh.
“Saya lapar Lapina”, suara Liwa mengejutkan Lapina. Wanita yang menjadi ibu tirinya itu mengusap air mata dan segera membenamkan ubi manis ke dalam abu panas. “Kau makanlah pisang dulu sambil menunggu ubi masak”, Lapina menyorongkan dua sisir pisang kepada Liwa dan ia pun segera terbenam dalam gumpalan asap, mengutuki nasibnya.

Dari luar honai asap tipis terus bergerak menembus atap ilalang, menjadi pertanda, bahwa di dalam rumah berbentuk jamur itu telah terentang benang kehidupan. Seorang wanita telah dibayar dengan babi, ia harus menyalakan api supya ubi manis masak dan orang yang telah membayar dengan babi dapat menyantap jerih payahnya. Demikian Lapina harus terus bekerja sampai akhirnya ia menyadari, ada makhluk kecil tak berdosa telah hidup di dalam rahimnya. Wanita yang telah menikah dan tak lagi mendapatkan darah kotor biasa mengalami hal semacam ini sebelum akhirnya melahirkan seorang anak.
Lapina adalah seorang gadis belia, tetapi ia harus siap menjadi seorang ibu. Semakin hari perut Lapina semakin membesar, badannya kian lemah, tetapi Kugara tak peduli, Lapina harus terus bekerja di kebun, memberi makan seisi honai dan babi-babi serta membelah kayu bakar hingga hari kelahiran itu pun tiba. Lapina merasa seakan maut tengah menjemput, ketika bayinya berontak dari dalam rahim hendak bersinggungan langsung dengan kehidupan di dunia nyata. Ia telah merasakan sakit selama hari-hari yang panjang, dan kini rasa sakit itu sampai pada situasi yang paling menakutkan. Lapina sendiri di pinggi hutan, peluh membasahi seluruh tubuhnya. Dengan lolongan yang sangat panjang rasa sakit itu terpecah sudah. Seorang bayi laki-laki terlahir, darah menyembur. Konon, darah yang mengalir dari rahim seorang ibu yang melahirkan dapat menghilangkan tuah dari alat-alat berperang yang tersimpan di honai adat. Sebab itu Lapina harus melahirkan seorang diri, jauh dari silimo.
Liwa menyambut kedatangan Lapina dengan suka cita. Lapina membaringkan   bayi kecil itu di dalam noken, menempel di punggungnya. Wajah Lapina tak dapat menyembunyikan keletihan, ia membiarkan Liwa menggendong bayinya yang kecil. Dengan sebuah hempasan Lapina menjatuhkan dirinya di lantai honai   kemudian menyambar gumpalan rumput kering untuk menampung darah yang masih mengalir dari bagian tubuhnya yang paling rahasia. Senja turun dalam udara yang kian dingin. Seorang kerabat perempuan telah menyalakan kayu bakar untuk menghangatkan ruangan di dalam honai, Lapina tertidur melepaskan segala keletihan dan saat-saat yang paling mendebarkan dalam hidupnya. Ia telah menjadi seorang ibu.

Keesokan harinya Lapina terbangun dengan lunglai, ia seakan menyesali datangnya matahari. Seandainya malam tak berakhir, maka ia akan dapat tertidur dan bermimpi selamanya. Kehidupan dunia nyata terlalu menakutkan dan ia memerlukan tempat untuk bersembunyi. Lapina memaksa dirinya bangkit ketika ia mendengar tangis bayinya. Seperti halnya ibu-ibu yang lain ia harus menyusui, supaya tangis anaknya terhenti.

Kugara datang tak lama kemudian dengan dahi berkerut, ketika ia melihat tungku di honai belum juga menyala. Matanya berkeliaran menjelajahi seisi ruangan. Kerutan di dahi laki-laki itu menghilang ketika ia mendapat sisa ubi manis yang dibakar semalam. Tanpa banyak bertanya Kugara segera menyambar ubi manis dan memamahnya dengan nikmat. Tetapi agaknya persediaan ubi manis  semakin menipis, seisi honai pasti akan kelaparan seandainya tak ada seorang wanita pun yang bersedia pergi ke kebun untuk mencungkil ubi manis.

“Saya tahu kau baru melahirkan Lapina, tapi coba kau lihat persediaan makanan kita semakin menipis. Kalau engkau tak pergi ke kebun kita akan kelaparan”,  Kugara membuka pembicaraan.

“Engkau tahu badanku masih sangat lemah, tidakkah untuk sementara lau dapat menggantikan pekerjaanku?” Lapina menyanggah sambil menyusui anaknya yang mungil, ia sungguh merasa kasihan dan sayang terhadap anak tak berdosa yang telah dilahirkan.

“Bekerja di kebun dan mencari makan adalah urusanmu. Maaf sekali, aku tak dapat menggantikanmu. Kalau engkau tak segera pergi ke kebun untuk mencari makanan, kau akan tahu akibatnya”, Kugara menyatakan ancaman.
Seketika Lapina merasakan kebencian semakin menggumpal di dadanya, napasnya mendadak sesak dan memburu, matanya yang sayu sekejab berkilat. Beban hidupnya nyata-nyata semakin bertambah. Ia harus menikah dengan Kugara karena adat, babi-babi memang telah dimiliki sebagai mas kawin, tetapi ia harus memberi makan babi-babi itu setiap hari, juga laki-laki yang telah membayarnya dengan mas kawin itu. Ketika ia semakin lemah, karena kehamilan dan melahirkan ia harus tetap bekerja di kebun. Kini, ia harus menjaga pula anaknya, suatu hal yang tidak mudah, dan kerja kebun harus tetap diteruskan. Lapina menghela napas dengan satu tarikan berat, ia membuang pandang keluar pintu honai, bibirya yang tebal bergetar. Wajahnya menjadi muram.

Liwa yang kecil terus merekam kejadian demi kejadian di dalam benaknya dengan perasaan janggal. Nalar kebocahannya menangkap adanya ketidakadilan itu, meski ia tak sepenuhnya mengerti. Liwa teringat akan Aburah yang meninggal dengan bayi di dalam kandungannya, karena ia  harus bekerja dan bekerja. Kini, Lapina pun harus terus bekerja dengan bayi kecil yang baru dilahirkan. “Apa yang terjadi dengan kehidupan ini?” bocah itu bertanya-tanya di dalam hati. Rasa sayangnya kepada Lapina kian bertambah, ia tak mau kehilangan Lapina seperti ia pernah kehilangan   Aburah, gadis itu pun selalu membanttu Lapina menjaga bayi kecil.

Pagi hari ketika Lapina pergi ke kebun dengan bayi terbaring di dalam noken di belakang punggungnya, Liwa akan terus mengekornya. Sementara Lapina bekerja di kebun, maka Liwa menjaga anaknya, sehingga bayi kecil itu dapat tinggal dengan tenang, terbebas dari gangguan serangga liar. Liwa selalu  mendapati Lapina selesai bekerja di kebun dengan wajah yang letih dan keringat bercucuran. Wanita itu tak dapat lagi berkata-kata, ia seakan akan tengah menyimpan suatu rahasia. Liwa masih terlalu kanak-kanak untuk dapat menjenguk isi hati Lapina, tapi hati kecil gadis itu tak pernah berhenti bertanya, beginikah nasib seorang wanita? Adakah suatu saat ia akan menglami hal yang sama?

 

                                                       ***


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...