Minggu, 02 Juni 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- DUA PULUH





Jauh di luar dinding istana, Pangeran Wang Jung sudah menunggu kedatangan Hae Soo di rumahnya. Ia mengulurkan tangan saat Hae Soo hendak turun dari tandu. Seharusnya Hae Soo merasakan sebuah uluran damai, ia sudah memenuhi keinginan meninggalkan istana yang berlumuran darah, karena tahta menjadi satu-satunya kekuasaan. Akan tetapi, uluran tangan sang pangeran bahkan membawa ingatan melayang kepada Wang So saat ia masih seorang pangeran dan berniat menunjukkan sesuatu sebagai hadiah ulang tahun. Benarkah kepergian ini tak akan pernah mampu menghapus ingatan akan cinta seorang raja?  Sepasang mata Hae Soo segera digenangi embun saat uluran tangan Pangeran Wang Jung. Ia tahu Wang Jung seorang pangeran berhati mulia dan berani menentukan sikap.
Dengan tulus Pangeran Wang Jung menuntun Hae Soo menuju ke kamar yang diam-diam sudah ia hias dengan indah, “Raja melarang kita melakukan upacara pernikahan. Apakah engkau keberatan?”
“Ini sudah lebih dari cukup.…” Hae Soo menggelengkan kepala, kesalahan besar andai ia tak berterima kasih terhadap kebaikan hati Pangeran Wang Jung, akan tetapi mengapa raut wajah Raja Wang So semakin mengusiknya? Benarkah ia telah mengambil keputusan tepat dengan meninggalkannya.
Pangeran Wang Jung merasaan hal tak biasa dengan awal mula ini, wajah lembut Hae Soo tampak sedemikian risau. Ia mengerti kekasih raja ini telah melampaui tahun-tahun yang berat dan kesulitan menenangkan diri. Perasaannya yang halus terseret terlalu jauh sampai batas ia tak mampu lagi merasakan. “Aku akan tetap menganggapmu sebagai teman, meskipun telah menikah. Pernikahan ini hanya sebagai alasan supaya engkau bisa meninggalkan istana, seperti yang engkau kehendaki.  Singgahlah di rumahku kapanpun engkau mau,  tempat tinggalku tidak jauh dari tempat tinggal Soo”, Pangeran Wang Jung telah melakukan suatu hal luar biasa, mengorbankan perkawinan tanpa alasan untuk menyentuh Hae Soo sebagai seorang istri, karena ia adalah seorang kekasih raja. Hanya yang bersangkutan tahu, bagaimana sesungguhnya perasaan terhadap Yang Mulia Raja setelah pergi meninggalkannya? Ia tak berhak memaksakan kehendak, meski rasa cinta terhadap Hae Soo terlalu dalam seakan dasar lautan.
Hae Soo menganggukkan kepala, hatinya bergetar dengan ketulusan Pangeran Wan Jung. Ia tak pernah menduga seorang Pangeran Goryeo bisa bertindak rela dalam keadaan sulit. Ia benar telah menemukan tambatan hati. Seandainya wajah Yang Mulia Raja Wang So tidak terus membayang, kini ia tahu pedihnya perpisahan, jarak yang terlalu jauh dan mungkin tak akan kembali dapat terengkuh.
“Terima kasih  engkau telah mengatakan bersedia”, Pangeran Wang Jung mengulurkan hiasan rambut yang pernah dititipkan pada Pangeran Baek Ah. Hae Soo tertegun, hiasan rambut itu seakan menikamnya bagai lidah pisau tepat di ulu hati. Ingatannya terus melayang kepada Raja Wang So, betapa ia telah melewati tahaun-tahun yang panjang dengan beribu cerita. Apa yang tengah dikerjakan Yang Mulia saat ini?
Setelah Pangeran Wang Jung berpamit, Hae Soo harus merasakan betapa tidak mudah seorang diri, ia menatap hiasan rambut itu berlama-lama, hatinya tercabik. Betapapun bijak Pangeran Wang Jung, sanggupkah ia hidup tanpa Wang So? Hae Soo membuka kotak kayu menatap isi di dalamnya, kesunyian yang dalam menyergapnya, berlembar-lembar puisi yang pernah ia tulis bagi Pangeran Wang So adalah catatan, ia pernah menjadi bagian dari kehidupan Yang Mulia dengan segenap perasaan. Wajah Yang Mulia semakin dekat membayang, adakah akan tersisa sepenggal waktu u ntuk bersua? Hae Soo memejamkan mata, ia terlalu malu untuk menangis, menyesali keputusannya.
Satu hal yang dapat dilakukan Hae Soo di tempat tinggal yang baru, jauh dari istana adalah  duduk di halaman, menggambar wajah Raja Wang So di atas batu sambil menemani Pangeran Wang Jung berlatih pedang. Tiba-tiba sang pangeran berteriak marah, menancapkan bilah pedang ke permukaan tanah. Hae Soo mendekat, mengulurkan sapu tangan, wajah Pangeran ke14 basah keringat.
Sepasang mata jeli Pangeran Wang Jung melirik ke arah dinding tidak jauh dari tempatnya berlatih. “Tolong sapu tangan”, dari satu titik tampak bahasa tubuh yang manja Pangeran Wang Jung meminta Hae Soo membasuh keringat yang berleleran.
Tanpa membantah, Hae Soo menurut, tak ada yang salah membasuh keringat seorang pangeran budiman yang lelah berlatih pedang. “Terima kasih”, Pangeran Wang Jung menggenggam tangan Hae Soo. Hati Pangeran ke-14 teriris, tubuh Hae Soo tampak lemah, wajahnya yang lembut memucat, sungguhpun wanita itu berusaha tetap kuat. Akan tetapi, pandang matanya yang hampa cukup membahasakan, “pernikahan” ini tak selalu membuat bahagia. “Engkau harus bersedia diperiksa oleh tabib.  Tabib istana telah menyelesaikan masa tugas,  akan kembali ke kampung halaman, aku memintanya untuk singgah”.
“Aku sehat-sehat saja, tidak memerlukan seorang tabib”, Hae Soo mengelak. Ia tak mau merepotkan sang pangeran.
“Tidak, engkau harus tetap diperiksa”, Pangeran ke-14 tak perlu meminta persetujuan Hae Soo, ia adalah seorang yang paling bertanggung jawab dengan keselamatan wanita ini. Layaknya seorang kekasih yang mencintai sepenuh hati, sang pangeran menuntun Hae Soo masuk ke dalam rumah. Tanpa sepengetahuan Hae Soo, sang pangeran mencuri pandang ke arah dinding, ia tahu seorang pria yang menatap keduanya dari tempat tersembunyi. Adalah mata-mata raja, maka ia sengaja berlaku sebagaimana layaknya suami istri yang mengasihi.
Ketika tabib istana yang telah selesai masa tugas datang untuk memeriksa, Hae Soo dan Pangeran Wang Jung terkejut, demikian pula sang tabib.”Nyonya tengah  mengandung, tetapi dulu pada pemeriksaan pemula saya tidak mendengar detak jantung bayi”, suara itu tak dapat menyembunyikan cemas. Seisi ruangan menjadi sunyi. “Kesehatan nyonya adalah persoalan besar untuk meneruskan kehamilan”, seorang tabib tua tahu benar kesehatan seorang ibu yang tengah megandung, terlalu pahit untuk menyatakan kebenarannya.
“Bayi ini berhak terlahir, berhak untuk hidup. Aku akan tetap menjaga kesehatan”, Hae Soo berkeras mempertahankan kandungan. Ia akan menjadi seorang ibu bagi putera Raja Wang So, sungguhpun ia telah meninggalkan istana.  Adakah pencapaian tertinggi seoraang ibu kecuali membesarkan anaknya?
“Engkau harus mengutamakan kesehatan”, tatapan Pangeran Wang Jung tak kalah cemas dengan tabib tua, ia mencemaskan kesehatan Hae Soo, sementara wanita sangat mengharapkaan kelahiran seorang bayi. “Kuminta kepada tabib menunda waktu kembali ke kampung halaman, tinggal sementara di rumahku. Rahasiakan kehamilan ini”, sang pangeran tahu, arti kelahiran seorang anak raja, lebih baik ia merahasiakannya.
“Baiklah, tapi nyonya lebih baik tetap tinggal di dalam rumah, istrahat. Di luar angin terlalu dingin”, tabib itu mengiyakan.
                                                                    ***
Sementara itu di ruang tahta Yang Mulia Raja kembali murka, karena kabar, betapa mesra hubungan Hae Soo dan Pangeran Wang Jung. Api cemburu kembali membakar. Megapa harus Jung yang merampas Soo dari sisinya?
“Pernikahan ini hanya sebuah alasan, bukan benar-benar terjadi”, Pangeran Baek Ah mencoba menenangkan amarah raja.
“Sebuah alasan? Lihat ini!” dengan geram sang raja menunjukkan sehelai surat yang diterima dari seorang pengawal istana yang bertugas memata-matai Pangeran Jung dan Hae Soo.
“Yang Mulia pasti sudah tahu Soo sudah berteman dengan Jung sejak remaja. Soo selalu bersikap baik dengan semua orang, pria atau wanita”, Choi Ji Mong melakukan hal serupa dengan Pangeran Baek Ah.
Apakah seorang raja yang dibakar  cemburu mampu menerima pembelaan itu? Wajah Raja Wang So merah seakan bara. Mengapa ia harus kembali dikhianati?
                                                                 ***
Sementara di halaman rumah Hae Soo kembali menelan getir, karena kerinduan tak berujung kepada Raja Wang So. Ia mampu meninggalkan, tetapi tak mampu melupakan. Sang raja adalah tambatan hati untuk yang terakhir kali. Tangannya yang mungil kembali menggambar wajah Yang Mulia Raja di atas batu. Diam-diam ia merasakan nyeri di dada.
Tak lama kemudian Pangeran Wang Jung datang, hatinya bergetar saat melihat tubuh ringkih Hae Soo terpaku di halaman, dihalau angin dingin. “Kalau engkau masih juga duduk di halaman terkena angina dingin, bayimu akan berada dalam bahaya”, betapa ia ingin merengkuh tubuh ringkih itu dalam pelukan, tetapi betapa ia tidak mampu menyakiti wanita yang dicintai.
Baik Pangeran Wang Jung maupun Hae Soo tak pernah tahu, kata-kata dan kebersamaan itu tertangkap sepasang  mata dan telinga Raja Wang So yang diam-diam berkunjung untuk memastikan kabar mata-mata kerajaan. Ketika telinganya menangkap kata ‘bayi’, api cemburu kembali berkobar. Sang raja tak pernah mendengar keseluruhan bahasa, sesungguhnya Hae Soo tengah mengandung anaknya saat pergi meninggalkan istana. Kobaran api cemburu semakin membesar, ketika tampak Pangeran Wang Jung menggendong Hae So sepenuh hati kembali ke dalam rumah.
Sampai larut malam Pangeran Wang Jung masih  Bersama Hae Soo, ia tahu wanita ini terlalu rapuh untuk ditinggalkan seorang diri. Sang pangeran tak keberatan berbaring sambil sambil melipat kaki, karena ukuran tempat tidur terlalu pendek untuk tubuhnya yang jangkung. “Ini untuk kali pertama aku tidur di kamar yang sama dengan istriku. Mengapa engkau terus menyuruhku pergi?”wajah manis Pangeran Wang Jung tampak jenaka. Betatapun mencintai ia tak memiliki keberanian memaksa Hae Soo berlaku sebagai suami istri. Ia tahu pernikahan hanya sebuah alasan supaya Soo data meninggalkan istana. Sebagai jawaban Hae Soo tertawa kecil, ia menjalani kehidupan aneh, menikah dengan seorang pangeran tanpa menjalani arti perkawinan yang sesungguhnya. Pangeran Wang Jung berlaku lebih dari seorang sahabat, mengasihi dengan tulus tanpa batas dan syarat.
“Satu hal yang kurasakan saat ini, adalah seakan kita berdua sudah sama tua. Waktu cepat sekali berlalu”, Pangeran Wang Jung selalu merasa damai di sisi Hae Soo.
“Benar hari-hari cepat berlalu, suka duka silih berganti, seperti halnya gelap malam berubah menjadi siang. Seperti halnya air laut, sebentar pasang kemudian surut”, Hae Soo teringat kata-kata terakhir Pangeran Wang Wook, bahwa Jung akan memperlakukan dengan baik. Kata-kata itu benar adanya.
“Ingatkah saat kita pertama kali bertemu?” ingatan Pangeran Wang Jung menerawang jauh ke belakang.
“Di perpustakaan Pangeran ke-8? Atau waktu aku menyelamatkanmu?” Hae Soo balik bertanya.
“Aku tertegun saat engkau tiba-tiba datang mempertaruhkan nyawa dengan sebatang kayu pendek. Engkau berkelahi dengan Eun, rambutmu acak-acakan, Eun memar di kepalanya”, Pangeran Wang Jung tergelak  mengingat kekonyolan itu. “Engkau pernah berjanji akan bernyanyi saat ulang tahunku, tetapi engkau selalu ingkar. Setiap tahun aku selalu menunggu”, kali ini sang pangeran pura-pura merajuk.
“Baiklah aku akan menyanyi pada ulang tahunmu nanti. Aku tak akan pernah  ingkar”, Hae Soo berjanji.
“Waktu engkau tiba-tiba muncul di kolam pemandian pangeran. Aku yakin engkau pasti melihat banyak hal”, sepasang m ata Pangeran Wang Jung mengerling jenaka.
“Tak ada yang dapat kulihat waktu itu. Aku  terlalu terkejut , tidak menyadari keadaan sekitar”, Hae Soo membantah. Keduanya saling membantah kemudian tergelak.
Baik Pangeran Wang Jung maupun Hae Soo tak pernah menyadari, Raja Wang So masih terpaku dalam jarak terukur dari kamar tempat mereka bercakap serta tergelak. Suara gelak tawa itu terdengar bagai bilah bambu yang saling bergesekan di telinga Yang Mulia Raja. Wajah Raja Wang So merah padam, kemarahan sang raja meluap bagai leleran lava pijar ketika tak lama kemudian suasana di dalam rumah itu gelap, karena lentera yang padam. Ia tak pernah tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, tetapi ia yakin sesuatu telah terjadi.
Hal pertama yang dilakukan Yang Mulia Raja ketika sampai di istana adalah meminta Choi Ji Mong untuk tidak melaporkan apapun  tentang Jung dan Soo. Ia telah melihatnya sendiri, ia tidak perlu mendengar kabar apa-apa lagi. Ingatan tentang seorangkekasih bernama Hae Soo berakhir sudah sampai di sini.
Sementara hari-hari terus berlalu, tak satupun hari terlewat tanpa Hae Soo pernah melupakan Yang Mulia Raja. Ketika jarak dan perpisahan meregang, kiranya kerinduan semakin merindukan dalam. Sedemikian dalam kerinduan itu, maka seakan akan sosok Raja Wang So berada di dekat saat Hae Soo menulis berlembar-lembar surat. Hae Soo tersenyum, karena dalam khayalan sang raja juga tersenyu.
“Akhirnya hanya ada kita berdua, jauh dari istana. Hanya engkau dan aku. Aku dan kamu. Sekarang aku bisa melupakan tentang kebenaran dan kebohongan, kesalahpahaman dan kecemburuan, perseteruan berbahaya demi sebuah tahta dan kematian. Sekarang aku bisa mencurahkan seluruh waktu hanya untuk mencintaimu”, kata-kata hanya terucap di dalam hati.
Hae Soo kembali duduk di halaman sambil menggambarkan wajah Raja Wang So. Ia telah menggambar wajah yang sama berhari-hari lamanya dengan suatu harapan yang tidak akan diketahui dengan pasti dimana ujungnya. Hae Soo menuruti keinginan diri, menulis surat dan menggambar wajah Yang Mulia Raja. Kerinduan ternyata lebih menyakiti dari segala rasa sakit yang pernah ia bayangkan. Dalam khayalan tampak Yang Mulia Raja tersenyum, Hae Soo kembali tersenyum, hanya  sesaat. Tiupan angin dingin menyebabkan Hae Soo tahu, ia hanya seorang diri tanpa kehadiran Raja Gotyeo, Wang So. 
Kurang lebih enam bulan kemudian Pangeran Wang Jung berjalan mondar-mandir dengan gelisah di depan kamar Hae Soo. Ia bersikap selayaknya seorang ayah kandung bagi bayi yang tengah dilahirkan. Kegelisahan Pangeran ke-14 mereda ketika seorang wanita tua akhirnya keluar sambil menggendong seorang bayi mungil. “Pangeran memiliki bayi yang sangat cantik”.
Beragam perasaan berkecamuk saat Pangeran Wang Jung menatap wajah cantik bayi itu –amat mirip dengan ibunda yang melahirkan. “Bawa bayi ini kepada pengasuh, sampaikan kabar bahwa bayi ini meninggal saat lahir. Ingat ucapanku”, setelah melihat bayi mungil dalam keadaan selamat, Pangeran Wang Jung dilanda kecemasan berbeda, nasib ke depan bayi tak berdosa ini.
Wanita tua itu membungkukkan badan kemudian pergi membawa bayi Hae Soo.
Saat Pangeran Wang Jung menemui Hae Soo, hatinya terisiris. Keadaan wanita ini sangat lemah, sang pangeran berusaha membuang kemungkinan terburuk. Seorang ibu masih bertanggung jawab membesarkan bayi yang dilahirkan.”Bayimu telah dirawat baik-baik, ia cantik dan sehat, tak usah cemas. Seorang pengasuh akan selalu menjaganya”.
“Terima kasih”, Hae Soo mencoba tersenyum, ia merasa seakan seluruh tulang belulang telah tercabut dari badan.
“Engkau harus kembali sehat supaya dapat membesarkan bayi cantic itu”, Pangeran Wang Jung menggenggam tangan Hae Soo. Tangan itu hanya diam, tak mencoba menggenggamnya kembali. Hae So terlalu lemah.
“Sampaikan kepada Yang Mulia Raja”, air mata Hae Soo menetes. Berlembar-lembar surat telah ia kirim, tak satupun ada balasan. Yang Mulia Raja telah membenci dan melupakannya. Ia  mendapatkan kebaikan hati Pangeran Wang Jung, tanpa syarat, tetapi betapa mustahil melupakan Wang So, sang raja. Kali ini adalah suratnya yang terakhir, ia mengulurkan kepada Pangeran Wang Jung.
“Apakah engkau ingin memperlihatkan bayi itu kepada So?” Pangerana ke-14 bertanya, ia membaca tulisan pada amplop, Kepada Yang Mulia Raja.
“Aku hanya ingin bertemu Yang Mulia”, suara Hae Soo lemah, kehadiran sang raja pasti akan mengobati kerinduannya. Ia akan mendapatkan kembali kesehatan dan kekuatan.
Pangeran Wang Jung mengangguk, ia mengerti. Saat pelayan hendak membawa surat, Pangeran Wang Jung menahannya. Tulisan Hae Soo sama persis dengan Wang So, satu keganjilan yang  akan terlihat aneh. Sang pangeran mengambil amplop baru, menuliskan dengan tangannya sendiri ‘Kepada Yang Mulia’  lalu memasukkan surat Hae Soo itu ke dalam amplop itu. Ia menambahkan pula tulisan, ‘Dari Wang Jung’.
Semetara kesehatan Hae Soo semakin memburuk, ia menunggu kehadiran Yang Mulia Raja dengan sia-sia. Wang So benar telah melupakannya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, saat menggendong  bayi ia terhuyung nyaris jatuh. Malam hari tabib tua itu datang kembali memeriksa kesehatan Hae Soo.
                                                                                  ***
Surat Hae Soo akhirnya sampai di tangan kasim Raja Wang So, diulurkan dengan hormat kepada Yang Mulia Raja, “Surat dari Pangeran Wang Jung”.
Raja Wang So hanya melirik sekilas kemudian melempar surat itu ke atas tumpukan surat Pangeran Jung yang lain, yang tidak pernah dibaca. “Apakah Yang Mulia tidak berkenan  membacanya?” Choi  Ji Mong bertanya.
“Surat itu pasti penuh dengan kebencian. Aku akan merasa buruk membacanya”.
“Pesan Pangeran Jung adalah supaya Yang Mulia membacanya. Pangeraan Jung bahkan mengirimkan seseorang”.
“Apakah aku tampak seperti memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan orang seperti itu?!” suara Yang Mulia Raja meninggi. Ia tidak mau lagi berurusan dengan Jung, seorang yang telah merampas Hae Soo dari istana. Kasim istana sadar Yang Mulia Raja tidak berkenan, iapun memohon maaf, membungkuk kemudian mengundurkan diri.
Sementara Hae Soo menunggu dengan sia-sia, kerinduan ini ternyata lebih menyakiti dari pada hukuman mati demi hukuman mati yang harus disaksikan di istana. Benar dinding Goryeo berlumuran darah, tetapi ia selalu berada di dekat Wang So. Seorang raja yang mencintainya. Harapan Hae Soo pupus ketika melihat raut wajah Pangeran Wang Jung, ia tahu berlembar-lembar surat yang ia tulis tak pernah sampai di ruan tahta, atau Yang Mulia memang tidak pernah berminat membacanya. Betapa tidak mudah perpisahan, betapa mematikan jarak.
“Bukankah engkau telah  mengirimkan seseorang?” suara Hae Soo lemah.
“Benar, tapi….” Pangeran Wang Jung tidak sanggup melanjutkan kata-kata, wajah Hae Soo demikian lesi, tatapan matanya hampa. “O ya, aku lupa. Akan kukirim seseorang untuk menemui Wang So”, sang pangeran memberikan harapan. Jauh dalam hati ia  mulai dilanda rasa takut –takut akan kehilangan. Hae Soo tersenyum, mash tersisa setitik harapan, tetapi tibia-tiba sepasang matanya tergenang bagai riak gelombang pada luas lautan.
“Mari kita duduk di luar”, Pangeran Wang Jung membimbing Hae Soo, mungkin udara segar akan memberi sedikit kekuatan. Ia mendatangkan musisi paling terkenal dari Songak. “Kalau hatimu merasa bahagia, engkau  akan sehat kembali. Aku juga membawa bunga peony,  mau melihatnya?” beragam cara dilakuan Pangeran Wang Jung untuk membuat Hae Soo merasa kuat.
“Lagu apa yang paling ingin didengar?” sang pangeran bertanya, sebaga jawaban Hae Soo menggelengkan kepala. ”Nyanyikan lagu kesukaanmu”,  pinta Pangeran Wang Jung keada sang penyanyi.
Maka terlantunlah satu judul lagu merdu, tentang seorang raja yang jatuh cinta kepada seorang dayang. Sederet syair yang mengingatkan Hae Soo pada kisah diri, “Aku ingin mendengarkan”, suara itu masih lemah seakan berbisik.
Judul lagu kedua terlantun, adalah lagu pernah dinyanyikan Hae Soo ketika Pageran Wang Eun  berulang tahun. Kesedihan kembali menyeruak, Hae Soo terkenang kembali pada sikap jenaka Pangeran ke-10, sikap yang berakhir dengan tragis di ujung mata pedang. Sang pangeran telah tenang di alam sana.
“Dulu engkau pernah berjanji akan memperlakukan hidupku seperti hidupmu sendiri. Ingat?” Hae Soo bertanya. “Tolong jaga puteriku, ia tidak boleh menetap di istana”, Hae Soo sadar ia memiliki beban tanggung jawab teramat besar, tanggung jawab yang kini ia ragu untuk memikulnya.
 “Aku akan selalu menjaga putrimu, tanpa engkau harus meminta”, suara Pangeran Wang Jung  bergetar, ia telah menangkap pesan yang menakutkan.
“Dia tidak akan datang….”, Hae Soo sampai pada penantian kali yang penghabisan, ia tidak merasa keliru telah meninggalkan istana. Akan tetapi, mengapa Yang Mulia Raja tiada berkunjung atau berbalas surat setelah kerinduan ini perlahan membunuhnya. Seluruh udara tiba-tiba diliputi kabut, semakin tebal, semakin tebal, meruapkan udara beku. Tanpa sepengetahuan Pangeran Wang Jung, tubuh Hae Soo menggigil, kekuatan tubuhnya tersisa tarikan napas penghabisan. Ia menyandarkan seluruh bobot tubuh di pundak Pangeran Wang Jung, pangeran yang rela menyertai ketika ia terhempas dalam kesendirian yang Panjang. Sepasang matanya mulai terasa berat, ia tahu andai sepasang mata ini memejam, ia tak akan mampu membuka kembali. Ia tak akan mampu melihat bayi yang dilahirkan bertumbuh dewasa. “Wang So, bukankah engkau akan selalu mengingatku pada kehidupan selanjutnya?” wajah Yang Mulia Raja Wang So tampak tersenyum, semakin lama senyum itu semakin samar, semakin samar. Sosok Yang Mulia menjauh, sia-sia Hae Soo menggapai, perlahan napasnya tercekik. “Aku akan melupakanmu,  akan melupakan semuanya, bahkan dalam mimpi sekalipun”, sepasang mata Hae Soo yang dihiasi bulu-bulu lentik, mengatup untuk lamanya-selamanya. Ia berpulang dalam sunyi, ketika kerinduan kepada sang raja perlahan membunuhnya.
Pangeran Wang Jung merasa tubuh ringkih Hae Soo yang tersandar di pundaknya kini tak bergerak. Ia hendak menolak kenyataan wanita itu telah tiada, namun benar napas itu telah menghembus untuk yang terakhir kalinya. Soo meninggalkan bayi mungil  yang kini menjadi tanggung jawabnya. Andai raja berkenan hadir,  mungkin kematian ini dapat dtunda. Atau usia Hae Soo dapat meregang lebih lama. Dimana sang raja? Dimana Wang So?   
Pangeran Wang Jung memeluk tubuh mati itu dengan nyeri terlalu dalam di ulu hati, ia telah menangkap tanda-tanda datangnya hari duka. Akan tetapi, kehilangan wanita yang dicintai dalam keadaan hampa, karena kerinduang tak terjawab? Ia tak pernah cemburu kepada sang raja, ia tak pernah merasa disisihkan, karena setelah meninggalkan istana yang selalu berada di hati Hae Soo adalah Wang Soo –bukan Wang Jung. Akan tetapi, berada di sisi Soo adalah suatu kemuliaan, seorang wanita dengan watak yang tidak akan pernah dijumpai di Goryeo. Wanita itu kini telah pergi, meninggalkan bayi mungil yang pasti akan dibesarkan seolah anak kandungnya sendiri.
Air mata Pangeran Wang Jung bercucuran, suara sang penyanyi tak lagi mengidungkan lagu cinta, tetapi lagu kematian. Jung tahu kematian adalah perpisahan tak berujung, samudera luas yang tak dapat diseberangi. Ia harus menyelenggarakan pemakaman, maka Hae Soo dapat beristirahat dalam damai, selama-lamanya ….
                                                            ***
Tak perlu menelan hitungan bulan, berita duka tentang kematian Hae Soo akhirnya sampai ke telinga Yang Mulia Raja. Wang So dengan geram memang telah melupakan sang kekasih hati, akan teteapi kematian adalah perpisahan abadi. Wajah Yang Mulia memucat, sebongkah batu seakan menghantam di relung hati, ia tak pernah bersua setelah Hae Soo bersikeras  meinggalkan istana. “Ia pasti sangat membenciku….” Yang Mulia masih mampu membendung air mata.
“Soo pernah mengirim berlembar lembar surat, adakah Yang Mulia pernah membacanya?” Choi Ji Mong bertanya.
Tumpukan surat itu, darah Raja Wang So tersirap. Ia menduga setiap pucuk surat menyiratkan dendam dan kebencian. Ia telah ditinggalkan, mengapa pula harus membuka surat yang berisi kutukan? Kali ini, tangan Yang Mulia terulur mengambil sehelai amplop,  surat dari Jung. Di dalam amplop terdapat lagi amplop yang lain tanpa nama Jung. Tergesa Yang Mulia membaca isi surat, ia mengenal tulisan tangan Hae Soo yang halus.

Hidup bagai sebuah impian, benar dan salah, cinta dan benci. Semuanya terkubur seiring dengan perjalanan waktu dan diam-diam pergi tanpa meninggalkan bekas. Apakah Yang Mulia masih berpikir tidak pernah memiliki seluruh hatiku dan membenciku? Aku selalu khawatir akan hal itu. Aku mungkin meninggalkanmu dengan  kebencian, bukan cinta, tidak membiarkanmu menduduki tahta dengan tenang.  Satu hal, setelah meninggalkan istana, aku masih mencintaimu, tak pernah mampu melupakanmu.
Ketika engkau bersikeras menanggung akibat, berdiri di sampingku saat hujan, memayungkan jubah kebesaran. Saat engkau melemparkan tubuh untuk melindungiku dari bidikan anak panah. Engkau telah menjadi seseorang yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Sosokmu abadi bahkan setelah perpisahan terjadi.
Akhirnya aku baru tersadar, kalau kebalikan dari mencintai bukanlah membenci, tapi meninggalkan. Aku takut kau mungkin berpikir aku meninggalkanmu atau kau meninggalkanku. Sesungguhnya aku tak pernah meninggalkan Yang Mulia Raja Wang So. Kerinduan adalah akibat paling menyakiti dari perpisahan, leleran darah telah memuatku takut berada di dekatmu, di lingkungan istana. Aku berharap dan menunggu untuk bertemu walau hanya sekejab, tetapi hingga berlembar-lembar surat terkirim, tak satupun balasan kuterima, tak sekalipun dirimu hadir. Bahkan hari-hari tersisa bagi hembusan napas penghabisan. Mungkin seorang raja tak pernah berkewajiban membalas sepucuk surat dari seorang kekasih yang telah berkeras hati meninggalkan istana ….

Raja Wang So tak mampu memendung air mata setelah membaca surat, ia telah salah mengerti, ia  membiarkan seorang kekasih meninggal perlahan-lahan di tempat yang jauh, karena sia-sia menunggu. Ia terlalu cepat murka, andai ia sempat berjumpa sebelum kematian tiba. Sesal selalu datang terlambat, kehilangan selalu menyakitkan. Dimana Soo dimakamkan? Ia merindukan setiap detik setelah perpisahan itu, tetapi ia telah mendustai diri sendiri.
Sang raja tak perlu mengulur waktu untuk memacu seekor kuda pilihan, ia tahu kemana hendak menuju. Hatinya membeku saat menatap Pangeran Wang Jung tengah memeluk guci indah dari batu giok berwarna hijau lembut. Di meja terhambur batu-batu bergambar sosok  dirinya. Demikianlah cara Hae Soo menumpahkan kerinduan? Dada Yang Mulia Raja berguncang.
Saat Pangeran Baek Ah datang, Yang Mulia Raja mengulurkan sepucuk surat. Adalah surat dari Hae Soo yang ditujukan kepada Pangeran Baek Ah. Kali ini Raja Goryeo tak perlu merasa malu untuk meraung, ia tahu isi guci batu giok yang dipeluk Pangeran Wang Jung. Pasti abu jenasah Hae Soo yang telah diperabukan dengan khidmad tanpa kehadirannya. Ia datang terlambat, karena pesangkaan yang salah.
“Apa sesungguhnya yang harus dikerjakan seorang raja,  membaca sehelai surat juga tidak. Hae Soo menunggu hingga sekarat, hingga napas penghabisan. Engkau terlalu sombong untuk datang berkunjung. Air matamu tak berarti apa-apa”, Pangeran  Jung Wung menatap Yang Mulia dengan marah, sedikitpun ia tak pernah merasa takut kepada Yang Mulia, Wang So adalah raja yang bertahta tanpa titah.
Dengan geram Raja Wang So mencengkeram pakaian Pangeran Wang Jung, “Semua ini salahmu! Namamu tertulis di amplop! Aku tidak tahu surat Soo ada di dalamnya!”
“Mungkin aku salah untuk hal ini, aku melakukannya, karena tulisan tangan So sangat sama dengan raja. Tapi setidaknya, seorang rajapun tidak terlalu sombong untuk membaca surat. Bukankah Yang Mulia mengirim pula seorang  mata-mata ke rumah ini?” dada Pangeran Wang Jung terasa sesak, ia kehilangan Hae Soo, seorang  yang memberikan makna hidup berbeda.
“Engkau berbagi kamar dengan Soo dan hidup selayaknya sepasang kekasih. Untuk alasan itu Yang Mulia berhenti menerima laporan dari rumah ini”, Pangeran Baek Ah ikut pula menjawab.
Raja Wang So melepaskan cengkeramannya pada Pangeran Wang Jung, dengan kalap memeluk guci abu Hae Soo. Raungannya menyayat, seakan melekat pada setiap dinding bangunan. Ia pasti akan memangis hingga kering air mata. Guci batu giok yang berisi abu Hae Soo adalah haknya membawa pergi, ia akan menempatkan guci itu pada tempat yang selayaknya. Akan tetapi, Pangeran Wang Jung keberatan, ia akan merasa hampa tanpa abu jenasah dari seorang yang dikasihi.
“Lepaskan,  Soo memang telah tiada, tetapi ia tetap milikku”, satu-satunya penghiburan setelah perpisahan ini adalah abu jenazah yang akan menyimpan segala ingatan.
“Engkau telah melupakan”, Pangeran Wang Jung juga merasa berhak atas abu jenazah, keduanya bersitegang.
“Jung, seharusnya engkau tahu! Dengan siapa sebenarnya Soo ingin bersama….” Pangerana Baek Ah menengahi.
Pangeran Wang Jung terpaksa berdiam diri ketika Raja Wang So membawa guci abu Hae Soo dengan isak tangis yang belum juga reda. Sang raja memang lebih berhak, meski ia merasa kehilangan separuh dari kekuatan hidup, ia hanya dapat mengenang Hae Soo dalam ingatan tanpa abu jenazah yang dipersemayamkan dengan segala rasa hormat. Wang Jung menyembunyikan satu kenyataan, ia memiliki hak perwalian membesarkan bayi cantik Hae Soo. Satu hal akan membuatnya mampu mengantar Hae Soo menuju peristirahatan terakhir dengan damai. Wang SO tak akan berhak membesarkan seoranag bayi yang dilahirkan kekasih hati. Diam-diam Pangeran Wang Jung tersenyum, meski hanya sekejab.
“Tidak perlu berselisih dengan raja, jika engkau benar-benar menganggap Soo sebagai sahabat. Selama ini Soo terjebak di tengah kehidupan  istana, di antara para pangeran. Ia tidak leluasa menentukan sikap , satu hal yang  merisaukannya. Bila engkau terus berselisih dengan raja, Soo tidak akan tenang di alam sana”, Pangeran Baek Ah selalu mengutamakan sikap bijak.
Pangeran Jung mengambil sesuatu dari balik pakaian, setelah sekejab senyum, ia kini meraung, “Ingatkah engkau benda apa ini?”
“Kau tidak mungkin….” Sepasang mata Pangeran Baek Ah terbelalak, ia harus menyadari ternyata selama ini Wang Jung selama ini juga mencintai Hae Soo lebih dari seorang sahabat. Demikian istimewa sosok wanita itu, sehingga mampu mencuri hati sekalian pangeran. Setulus hati Pangeran Baek Ah memeluk Pangeran Wang Jung, seperti halnya Jung kini terjebak dalam kehilangan, iapun pernah merasakan hal serupa, ditinggalkan orang-orang yang dicintai menuju keabadian.
                                                               ***
Sementara Yang Mulia Raja tak pernah dapat menghitung, berapa panjang waktu ia akan dapat meredakan rasa kehilangan. Sesal datang terlambat, andai ia tidak terlalu sombong untuk sekedar membaca sehelai surat, andai hatinya tidak selalu diliputi dendam. Mungkin Hae Soo masih hidup, keduanya masih bisa membahasakan perasaan sepasang kekasih dengan beragam cara, meski terpisah dari lingkungan istana. Seribu andai menghantam kepala Yang Mulia Raja seakan badai. Teringat kembali pada pertemuan pertama saat ia adalah pangeran yang terbuang, pertemuan pertemuan berikutnya. Ketika Hae Soo menolak menjadi selir raja dengan melukai pergelangan tangan kemudian dihukum menjadi dayang. Ketika dayang itu membantu menyamarkan bekas luka di wajah, maka dengan dasyat ia dapat menurunkan hujan pada ritual yang harus dipimpin. Beribu kenangan menikam hati. Tak seorang pun dapat menggantikan tempat Hae Soo di hati Yang Mulia Raja, tidak pula Ratu Goryeo.  Raja Wang So juga teringat kembali kepada janji Hae Soo untuk  tidak meninggalkannya. Ia tak pernah merasa bersalah untuk kembali mencucurkan air mata.
Ah, Wang So ….
Seorang pangeran terbuang yang telah belajar menyulut dendam pada usia kanak-kanak, karena tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Ia pernah meminta, mengemis, mengancam, dan menggertak, tetapi bagi seorang ibu ia adalah cela. Ia pernah dengan lihai menempatkan diri selaku raja setelah Wang Yo berpulang, tetapi ia mulai ditinggalkan orang-orang yang seharusnya mengasihi. Berapa banyak orang yang pernah meninggalkan?
                                                                   ***   
Pangeran Wang Won merasa seluruh tubuhnya limbung ketika dipaksa masuk ke dalam sebuah ruangan. Beberapa prajurit telah menunggu,  racun diletakkan tepat di depan sang pangeran. Wajah tampan itu memucat, ia tahu, Yang Mulia meminta keberaniannya  menjemput maut. Adakah ia cukup memiliki keberanian untuk itu, sekalipun Raja Goryeo meminta?
Tak lama kemudian Pangeran Baek Ah dating dengan sehelai surat di tangan. “Mengapa? Apakah raja menyuruhmu datang untuk memastikan aku sudah mati atau belum?” Pangeran Wang Won menyindir dengan sinis.
“Ada sesuatu yang harus kuberikan, titipan dari Soo sebelum ia meninggal”,  Pangeran Baek Ah  memberikan amplop kepada Wang Won, memenuhi permintaan terakhir Hae Soo. Adalah surat Chae Ryung.
“Soo sudah lama berpulang?” Pangeran Wang Won tampak terkejut, usia kekasih raja ternyata cepat adanya.
“Di dalam suratnya, ia memintaku untuk memberikan surat Chae Ryung untukmu. Dan maafkan, tak ada lagi yang bisa kulakukan untukmu”, Pangeran Baek Ah pun berlalu, Wang Won harus menanggung akibat dari segala hal yang telah dilakukannya.  
Masih dalam tubuh yang limbung Pangeran Wang Won membaca surat Chae Ryung, sehelai surat pendek yang menyatakan segala rasa cinta serta akibat paling buruk dari segala hal yang telah dikerjakannya. Sehelai surat yang memukulnya dengan telak, sebagai seorang pangeran yang telah memanfaatkan cinta seorang dayang hingga berujung pada kematian. Sehelai surat yang mengingatkan kembali kebersamaannya dengan Chae Ryung. Wang Won terduduk lemas.   “Gadis bodoh,  mengapa engkau tidak harus membenciku, mengapa?” sesal selalu datang terlambat dan sia-sia ditebus dengan cucuran air mata.
                                                          ***
Setelah mengunjungi Wang Jung dan Wang Won, kini Pangeran Baek Ah mengunjungi pula Pangeran Wang Wook. Seorang gadis mungil menyambutnya. “Aku adalah pamanmu”, sang pangeran memperkenalkan diri.
“Benarkah?” wajah mungil itu menunjukkan mimik seolah ia  tidak percaya, tak ada seorangpun paman yang berkunjung selama ini.
“Siapa namamu anak manis?”
“Bok Soon”.
Jawaban singkat yang mengingatkan Baek Ah kepada  Woo Hee. Sewaktu menutupi jati diri, gadis itu mengaku bernama Bok Soon. Wajah Pangeran Baek Ah menjadi muram, setelah sekian tahun berlalu, kehilangan itu masih teramat dalam. Sesaat sang pangeran tertegun ketika melihat ia  hiasan pakaian yang dikenakan Bok Soon kecil. “Bukankah itu zhen mu shou? Dimana engkau mendapatkan itu?”
“Entahlah, aku selalu memilikinya, ini benda kesukaanku”, suara itu merdu dan lucu.
Pangeran Baek Ah kembali  terdiam lagi, terbayang kembali wajah cantik Woo Hee yang seakan menyimpan rahasia. Gadis  itu selalu disertai hiasan seperti yang disukai Bok Soon. Sudahkah Woo Hee tenang di alam sana setelah kematian yang mengerikan? Pandangan Pangeran Baek Ah menerawang jauh sampai pada suatu tempat yang tidak akan pernah dapat dijangkau siapapun. Ketika ia hendak kembali bertanya, bayangan Bok Soon kecil kini tak ada.
Tak lama kemudian Pangeran Wang Wook muncul, Pangeran Baek Ah merasa dadanya sesak. Dimana sosok Wang Wook, pangeran tampan, cendikiawan Goryeo, putra Ratu Hwangbo? Ia hampir tak mengenali  Wang Wook. Pangeran ke-8 kini hanya seorang laki-laki tua dengan tubuh setipis batang bamboo, wajah pucat, tatapan mata yang hampa, dililit pakaian sederhana, dan terbatauk-batuk. Wang Wook tak benar-benar sehat.
“Mengapa  harus tidak menikah, menghabiskan waktu dari satu tempat ke tempat yang lain?” suatu penghiburan ketika Pangeran Baek Ah datang berkunjung, meski sang pangeran tak jua didampingi seorang istri.
“Tanpa seorang istri yang mencintai, hari-hari terasa hampa. Tak ada yang mampu menggantikan Woo Hee sampai saat ini”, ingatan Pangeran Baek Ah tetap melekat pada Woo Hee, kematia hanya memisahkan, tetapi tak dapat menghapus dari ingatan.
“Kudengar So tengah membaca Intisari Pemerintahan di Rezin Zhenguan, ia mulai menghunuskan pedang, memerdekakan budak dan mengembalikan kedudukan mereka. Ia mengambil alih kekuasaan dari keluarga bangsawan”, dari jauh Wang Wook masih memantau kehidupan di dalam istana.
“Engkau masih tertarik dengan kehidupan istana?” Baek Ah bertanya.
“Aku hanya sekedar mengamati. Sejak mula sudah kusdarai So akan menjadi raja seperti apa. Mungkinkah Goryeo memiliki raja yang paling berkuasa dalam sejarah?” wajah Wang Wook muram, mengenang kembali kehidupan di istana hingga terbuang.
“So  harus mengorbankan banyak hal”, Baek Ah memberi penjelasan.
Pangeran Wang Wook tersenyum dan tiba-tiba ia terbatuk-batuk, tangannya yang keriput memegangi perut, ia tampak kesakitan. “Akhir-akhir ini ada wajah-wajah yang tidak bisa berhenti kupikirkan”, napas sang pangeran terbuang terdengar sesak.
“Apa engkau masih merindukan Hae Soo?” Pangeran Baek Ah bertanya.
“Entahlah….” Wang Wook menatap Baek Ah kemudian tertawa dengan pahit. “Ia selalu memberikan seluruh hati, tapi aku selalu membuat kesalahan. Aku terlambat menyadarinya”, sekali lagi Wang Wook, pangeran terbuang menghela napas panjang, ia telah menuliskan takdir hidup dengan tragis. Nyonya  Hae setulus hati mencintai, meski tahu ia meletakkan hati pada Hae Soo. Cinta tanpa syarat yang  tak lekang dibawa serta pada kehidupan abadi. Wajah Wang Wook semakin muram, ia telah berlaku tolol --berlaku tolol ….     
                                                                               ***
Ratu Yeon Hwa mulai merasa batas kesabarannya sudah semakin dekat. Ia telah melahirkan seorang putra mahkota untuk dipersiapkan sebagai raja. Akan tetapi pernahkah Yang Mulia bersikap baik terhadap Wang Ju? “Ayahanda raja bahkan tidak berkenan  hadir pada hari ulang tahaunnya?” wajah cantik sang ratu tampak menyimpan amarah, di atas aula istana Raja Wang So tengah bersungguh-sungguh membaca setumpuk arsip.
“Kehadiranmu sudah cukup bagi Ju”, Yang Mulia Raja merasa tidak penting hadir pada hari ulang tahun putra mahkota.
“Ju takut pada ayahnya sendiri, engkau memperlakukannya sebagai musuh. Setelah melenyapkan sepupumu Gyeongchunwon dan Heunghwagoong, setidaknya engkau harus mempercayai putramu Wang Ju”, Ratu Yeon Hwa sudah cukup bersabar, kali ini kesabarannya nyaris tak bersisa. Ia telah  mengemis sepanjang usia perkawinan. Apakah ia harus selalu menjadi pengemis?
“Aku sangat tahu siapa orang yang menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng. Suatu saat Wang Ju dan Ibunda Ratu akan sangat pandai merongrongku”, Yang Mulia Raja membanting setumpuk arsip hingga berserakan. Sikap dan kata-kata sang ratu selalu menimbulkan amarah, ia bahkan terlalu enggan untuk menatap wajah cantik itu.
“Engkau masih hanya mengingatnya?”, Ratu Yeon Hwa mulai merasa api cemburu kembali membakarnya. Ia seorang ratu, tetapi sesungguhnya hanya pengemis di sisi seorang dayang yang pernah hilang ingatan. Sementara wajah Yang Mulia menjadi semerah bara, pertanyaan sang ratu  nyata-nyata menyinggungnya. Ia semakin tidak menyukai kehadiran Yeon Hwa di sisinya.
“Soo adalah satu-satunya orang yang bicara tentang kesetaraan. Engkau membebaskan para budak , karena tidak bisa melupakan Soo. Engkau kira aku tidak tahu?”
“Andai anggapanmu benar, tidak ada satu halpun yang dapat diubah. Aku berhak menentukan segalanya”, Raja Wang So menatap sang ratu tajam, lentikan api berkobar pada sepasang matanya.
“Sekarang aku tahu kenapa Soo meninggalkanmu”, Ratu Yeon Hwa masih mengharapkan sepenggal percakapan, tetapi sang raja mengakhirinya. Dengan pahit ia harus mengakui, ia  hanyalah seorang ratu yang malang dan kesepian. Sia-sia ia mengharap sang raja menatap wajahnya nan jelita, benar ia seorang wanita paling berkuasa di Goryeo. Akan tetapi, apa istimewanya? Yang Mulia bahkan tidak pernah memandangnya sebelah mata. Ia pernah meminjam tangan Wang Wook dan keluarga besar Hwangbo menekan seorang raja mengakui pernikahan. Akan tetapi, ia tak pernah dapat meraih hatinya. Tatapan sang raja tetap tertuju kepada seorang dayang hilang ingatan yang telah berpulang menuju keabadian. Sang ratu menghela napas panjang, wajahnya berubah menjadi kelam –teramat kelam.
Ah Yeon Hwa, sang ratu jelita. Adakah ia menyesali keputusannya untuk menjadi pendamping raja kemudian mengemis, mengkhianati Wang Wook dan seluruh keluarga untuk dapat melahirkan seorang putra mahkota? Adakah seorang ratu  masih terlalu sombong untuk mengakui kesalahannya? 
Wang So menganggap percakapan itu tak pernah ada, perkawinannya dengan seorang puteri keluarga Hwangbo adalahsebuah kesalahan yang mengubah takdir hidup selama-selamanya. Ia seorang raja, tapi bahkan tidak pernah berhak menentukan seorang wanita yang menjadi satu-satunya ratu dalam kehidupannya. Sang raja kembali berdiri di tepi danau, menatap permukaan air yang jernih, menatap air selalu memberikan rasa damai. Dan tempat ini selalu mengingatkan ia akan kehadiran Hae Soo. Tiba-tiba sang raja mendengar suara gadis kecil yang memanggil, “Ayah….”
Ketika sang raja  berbalik,  tanpa sengaja gadis itu menabraknya. Sekilas keduanya bertatapan, kemudian dengan lucu si gadis mengaduh kesakitan. Sosok gadis kecil serta caranya mengaduh mengingatkan Wang So pada Hae Soo, keduanya pernah bertabrakan, Soo melakukan hal yang sama, mengaduh kesakitan.
“Kau yang menabrakku”, dengan takjub Wang So berjongkok menatap seorang bocah yang manis berpakaian indah. “Siapa namamu?” seakan sang raja telah mengenal gadis kecil itu, dengan tulus ia mengelus pipinya yang lembut.
Gadis kecil itu tak juga menjawab, ia segera berlari, bersembunyi di balik satu sosok. Yang Mulia tertegun ketika tanpa disangka-sangka ia akan bertemu dengan saudara kandung hari ini. Pangeran Wang Jung. Sikap sang raja  segera berubah menjadi  dingin. “Seharusnya engkau tidak meninggalkan Chungju, mengapa harus  datang ke istana?” Yang Mulia tak pernah  menghendaki pertemuan ini, ia berharap Wang Jung menghilang ditelan bumi.
“Sekarang adalah hari peringatan kematian Soo. Maafkan untuk pertemuan ini, kuharap tidak akan terjadi lagi”, Pangeran Wang Jung berniat undur diri, ia sengaja berkunjung ke istana untuk mengenang suatu tempat yang pernah  menjadi latar kehidupan Hae Soo.  Setelah bertahun kematian, sosok wanita itu tetap lekat dalam ingatan, ia mencintai tanpa syarat.
“Apakah gadis  kecil itu anakmu?” Wang So bertanya, entah mengapa tiba-tiba tumbuh rasa sayang terhadap gadis mungil itu.
Wajah Pangeran Wang Jung menjadi tegang, ia segera menyembunyikan gadis kecil itu di balik badannya. Di pihak lain Yang Mulia teringat,  keluarga Jung meminta izin agar sang pangeran bisa menikah, dan ia mengizinkannya. Akan tetapi, gadis kecil itu terlalu besar untuk  menjadi anak Wang Jung terlalu besar. “Berapa umurnya?” Yang Mulia Raja bertanya.
“Masihkah seorang raja yang sibuk memimpin negara,  perlu menanyakan umur  anakku?” Wang Jung juga tidak mengharap pertemuan ini, ia segera  menggendong gadis mungil pergi.
“Tinggalkan anak itu”, suara raja kali ini bernada perintah. Wang So melihat tusuk rambut pada kepala gadis mungil itu. Darahnya tersirap, hiasan rambut itu dibeli di pasar, niatnya diberikan kepada ibunda Ratu Yoo, tetapi urung. Ia terlalu malu untuk memberikan,  karena suatu hal ia memberikannya kepada Hae Soo. Kini, seorang gadis kecil yang manis mengesankan mengenakan dengan elok sebagai hiasan rambut. Bila Hae Soo meninggalkan istana dalam keadaan mengandung, bukankah gadis kecil itu tepat menjadi anaknya. Sekali lagi Wang So merasa takjub, betapa mirip sosok itu dengan Hae Soo.
Bulu kuduk Pangeran Wang Jung berdiri, sikap dan cara sang raja menatap. Cukup membahasakan, Yang Mulia tahu, bahwa gadis kecil itu anak kandungnya. Wang Jung segera menurunkan si gadis kecil dari gendongan, berlutut. “Aku tidak bisa meninggalkan, meskipun engkau membunuhku!”
“Benarkah?” Wang So mulai diliputi amarah. Bertahun setelah kematian itu Wang Jung tega menyembunyikan anak kandung Hae Soe, anak Raja Gwangjong. Adakah sebuah alasan?
“Soo memintaku untuk tidak membiarkan anak ini tinggal di istana, tempat yang menakutkan dan menimbulkan kesepian. Adalah pesan yang terakhir sebelum kematiannya”, Pangeran Wang Jung memiliki satu alasan.
Sesaat Wang So terdiam, kemudian menghela napas panjang. Ia menyadari kebenaran alasan Wang Jung. Ketika menatap betapa jelita gadis kecil yang dilahirkan Hae Soo senyumnya mengembang, sang kekasih hati tak benar-benar pergi. Ia meninggalkan sebuah tanda mata berharga yang akan menjadi semangat serta menumbuhkan rasa cinta selamanya. Seorang anak, puteri Gwangjong yang terlahir dari kekasih hati. Raja Wang So tahu apa yang harus dilakukan untuk membalas budi baik Wang Jung membesarkan anak Hae Soo. “Terhitung mulai hari ini engkau Pangeran Wang Jung terbebas dari hukuman, aku akan senang jika engkau bersedia berkunjung ke istana. Tentunya bersama gadis kecil yang manis ini”, tatapan Raja Wang So sepenuh  kasih, kali ini ia dapat merasa damai. Satu tabuh kemudian Yang Mulia Raja berlalu, adapun Pangeran Wang Jung memeluk gadis kecil itu erat-erat. Ia tak akan sanggup kehilangan, ia adalah ayah terkasih dari seorang gadis yang memberikan kekuatan, mengapa seorang harus tetap bertahan hidup dan berlaku baik.
                                           ***
 Setelah pertemuan tak terduga dengan seorang gadis kecil, yang ternyata adalah anak mungil yang terlahir dari Hae Soo, mencabut hukuman bagi Pangeran Wang Jung. Seharusnya YangMulia Raja merasa tetap damai. Tetapi ….
Hari ini di halaman besar istana Wang So bertemu dengan Choi Ji Mong, ahli bintang itu membawa sekedar buntalan, mengenakan pakaian ringkas, siap bepergian. Chi Ji Mong memutuskan  pergi meninggalkan istana. Yang Mulia Raja pernah memintanya untuk tetap tinggal, tetapi si ahli bintang tidak mengubah keputusannya. Wajah Raja Wang So kembali muram, ia seorang yang memeiliki wewenang mutlak, tetapi bahkan seorang ahli bintang memilih meninggalkan.
“Aku memang berjanji untukselalu berada di samping raja, adalah Taejo Wang Geon. Di samping seorang raja ia adalah saudara tua dan seorang teman bagiku”, Choi Ji Mong sudah bulat dengan keputusannya. Ada begitu banyak hal tidak selaras yang membuatnya tidak lagi nyaman menetap di istana, betapapun mewah kehidupan yang ia dapatkan.
Di tempatnya berdiri Raja Wang So masih berdiri, suasana di halaman yang luas ini terasa lebih sunyi, sementara bangunan istana demikian megah berdiri. Andai ia memiliki satu alasan, sehingga Choi Ji Mong bersedia menjadi pendukung dan mampu mengerjakan apa saja? Akan tetapi, ia bahkan tak mampu menghentikan langkah si ahli bintang.
“Hae Soo berasal dari dunia lain, dunia yang tidak akan pernah kita kunjungi. Ia seolah sengaja hadir untuk menunjukkan sesuatu yang memang harus kita lihat. Kini ia telah pergi, yang bisa kita lakukan hanya mengingat, ia pernah ada, tetapi tidak akan pernah kembali datang. Relakan, atau seorang Raja Goryeo akan bernasib sama dengan Choi Ji Mong”, si ahli bintang sebenarnya berusaha mengingatkan sekaligus menghibur raja, tetapi Wang So tampak tidak berkenan. Choi Ji Mong hanya tertawa sesaat, kemudian terdiam. Ia tak lagi memiliki waktu sebagai penasehat Goryeo, ia berkeputusan mengakhiri semuanya.  
Lama sudah Raja Taejo Wang Geon berpulang, tetapi ia selalu mengingat sosok raja besar yang berhasil menyatukan kerajaan. Andai ia tak memiliki banyak istri, mungkin para pangeran tak perlu berebut tahta. Tak ada darah tertumbah menggenangi lantai istana. Dengan takjim Choi Ji Mong membungkuk kemudian berjalan lurus meninggalkan istana, membawa seluruh kenangan, ia tak pernah menoleh lagi.
Di halaman istana yang luas kini Raja Wang  So hanya seorang diri, angin seakan terkulai menerpa sosok yang tegap itu, perlahan sang raja  berjalan menyusuri lapangan. Tiba-tiba langit yang semula biru membentang perlahan padam menjadi temaram, saat menengadah Gwangjong Wang So merasa takjub. Ia masih seorang diri di bawah keperkasaan sang maha raya, ketika matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis lurus dalam rentang jarak yang paling dekat. Dengan perlahan, namun pasti bayangan bulan mulai bersentuhan menutup tubuh matahari. Sinar surya tak lagi menyilaukan, tetapi temaram, cahaya terindah yang menyadarkan setiap manusia betapa ajaib penampakan alam. Sang raja masih menengadah, ketika tubuh rembulan terus bergerak dalam hitungan pasti menutup seluruh permukaan matahari. Maka cahaya mentari kini tampak seakan kilauan batu mulia yang berpendar dari lingkaran gelap. Sang raja seakan berdiri di tempat yang belum pernah dikunjungi, ia seorang diri, bermandikan cahaya alam nan lembut, temaram, mengingatkan kembali satu masa ketika ia memacu kuda meninggalkan Shinju untuk kembali ke Songak ketika matahari secara total ditelan gerhana. Pertemuan pertama dengan Hae Soo, kisah cinta yang mengharu biru, seluruh kenangan yang  membawa sang raja pada satu kesimpulan. Bahwa kata-kata Choi Ji Mong “Hae Soo berasal dari dunia lain, dunia yang tidak akan pernah kita kunjungi”, bisa diterima  kebenarannya. Sosok Hae Soo, penampilan dan keseluruhan sikap nyaris tak pernah tampil pada diri satu pun wanita di Goryeo pada zaman ini.
                                                                   ***
Di dalam sebuah kamar dengan dekorasi millennium, Ko Ha Jin terbangun dari tidur, ia bertanya-tanya, mengapa harus terjaga dengan bercucuran air mata? Mengapa ia harus  menangis? Ha Jin tidak bisa terus bertanya-tanya, ia harus segera pergi bekerja pada sebuah mall yang menjual produk kecantikan.
Kali ini ia harus memamerkan produk-produk kecantikan kuno di museum yang tengah memyelenggarakan  Pameran Kebudayaan Tata Rias pada  Zaman Goryeo, jaman yang pernah berkembang seribu tahun lalu. Seseorang petugas museum menjelaskan kepada para pengunjung, “Di jaman Goryeo produk-produk sabun dan kecantikan mulai berkembang seperti yang terlihat pada pameran”, benar, tampak sabun dengan bentuk mirip seperti yang pernah dibuat oleh Hae Soo.
Sementara  Ha Jin terlihat mulai sibuk, ia sempat berkeluh kesah, “Hampir setahun ini aku terus menerus memimpikan hal yang sama. Seorang pria dengan bekas luka di seputar mata, menutupnya dengan topeng, mengenakan pakaian kuno”, Ko Ha Jin mengingat kembali mimpi-mimpinya.
“Engkau pernah hampir saja tenggelam, pingsan dan baru terbangun satu tahun kemudian”, jawab seorang rekan.
“Aku telah kembali sehat seperti semula, tetapi selalu memimpikan orang yang sama dan selalu  menangis”, Ha Jin masih bertany-tanya, apa sesungguhnya yang terjadi pada dirinya. Ia mengalami suatu hal yang aneh dan tak biasa. Benarkah seorang bisa tersedot ke masa lampau, masa yang telah berakhir, para pelaku telah menjadi abu.
Ha Jin melihat ke arah pengunjung yang tengah mengerumuni petugas. Ia melihat satu sosok dari arah dari samping dan kesulitan mengingat. Sosok itu tak berbeda sedikitpun dengan Choi Ji Mong, si ahli bintang pada zaman Goryeo yang diyakini Raja Taejo Wang Geon berasal dari masa depan. Saat sosok itu mendekat,  Ha Jin memberi salam padanya, dan dibalas dengan tatapan, seolah ia telah mengenal Ha Jin dengan baik.
“Namamu Ko Ha Jin?” sosok itu bertanya.
“Benar”, Ha Jin terkejut, mengapa seorang tak dikenal harus mengenal namanya.
“Tahukah? Pada zaman Goryeo Ko adalah Hae?” sosok itu kembali bertanya.
“Oh, benarkah?”, satu fakta yang mengejutkan, bahwa pada zamab Goryeo, seribu tahun yang lalu nama Ko berarti Hae. “Kami kebetulan menjual produk kecantikan zaman Goryeo. Suatu kebetulan yang sangat menarik…”.
“Tidak ada yang kebetulan. Sesuatu hanya kembali pada tempat asalnya”, jawaban itu demikian yakin, seolah sosok itu benar menganal Ha Jin pada zaman yang lampau.
“Tahukah  aroma mawar yang sangat kuat tercium dari sana?”
“Produk kami mengandung minyak mawar Bulgaria….” kata-kata itu tak berlanjut, Ha Jin teringat benar, ia pernah mendapatkan hadiah minyak mawar ini. Ia menjadi tampak seperti orang yang linglung, sulit membedakan antara hari ini dan kemarin. Muncul pula ingatan tentang seseorang yang mengatakan tidak akan melepaskannya.
Ha Jin tiba-tiba limbung, hampir terjatuh, seorang rekan kerja segera datang membantu, “Lebih baik engkau pulang,  beristirahat”.
“Maafkan saya”, Ha Jin menyampaikan permintaan maaf kepada seorang yang mirip si ahli bintang pada masa Goryeo. Maka iapun berpamit, Hajin tak pernah menyadari sosok orang yang baru dikenal itu terus menatapnya, seakan ia tahu siapa sesungguhnya jati dirinya?
Setelah mengganti pakaian kerja, Ha Jin melangkah untuk kembali, ia perlu sekedar menenagkan diri hari ini. Ada hal aneh yang tidak bisa dimengerti dengan akal sehat. Ia melewati pula salah satu ruangan yang memamerkan lukisan zaman Goryeo. Tanpa  sengaja ia melihat lukisan orang yang seperti sedang menari dengan menggenakan topeng. Sebuah ingatan kembali muncul di kepalanya. Sebuah keramaian di malam hari dan banyak orang yang memakai topeng.
Ada satu dorongan yang meminta Ko Ha Jin memasuki ruangan, gadis itu terhenyak. Lukisan pertama yang menarik perhatian adalah  ritual hujan, tampak seorang tinggi tegap dalam pakaian serba putih  berdiri di puncak tangga sambil menengadahkan tangan ke langit. Di belakang orang tersebut, adalah sekumpulan khalayak dengan beraneka penampilan pakaian seribu tahun yang lalu.
Ha Jin teringat kembali prosesi ritual hujan itu, ia teringat sosok pemimpin ritual saat menoleh ke belakang ketika berada di panggung altar. “Ini bukan mimpi”, gadis itu bergumam di dalam hati. Saat menatap lukisan demi lukisan ingatan Ha Jin kembali datang. Ia pernah bersimpuh di depan raja, menyelamatkan Pangeran Wang Jung di hutan,  saat ulang tahun Pangeran Wang Eun. Gerimis mulai merinai pada sepasang mata yang indah. Tampak pula lukisan sepasang pria dan wanita berjalan di salju. Ia sangat mengenal wanita itu dan pernah ada bersama, Hae Soo dan Pangeran Wang Wook. Kemudian lukisan Pangeran Wang Wook menggendong Nonya Hae dengan seorang wanita mengikuti dari belakang.
Lukisan terakhir yang dilihatnya adalah Raja Gwangjong. Ha Jin teringat kata-kata, “Dia milikku,  Kukatan  dia milikku” Kenangan bersama sang raja kembali mengalir, tak terbendung. Apa sesungguhnya yang telah terjadi? Di samping lukisan Raja Gwangjong tercantum catatan, nama asli Gwangjong adalah Wang So dengan jasa membebaskan budak yang diambil saat peperangan. Gwangjong adalah raja yang baik dan bijaksana dan melakukan pembersihan besar-besaran. Ha Jin mulai menangis,  teringat janji membantu Raja Wang So, sehingga tidak akan diingat sebagai raja yang kejam dalam sejarah. Pada satu lukisan yang lain, Ha Jin melihat Wang So seorang diri di halaman istana yang sangat luas. Seorang raja tanpa siapa-siapa, tanpa seorang ratu, hanya seorang diri.
Isak tangis Ha Jin semakin dalam, tanpa sadar ia berucap, “Maafkan aku telah meninggalkanmu….” Air mata itu terus tergenang bagai kubangan danau abadi.
                                                                                ***
Di halaman istana yang amat luas, di bawah cahaya menakjubkan gerhana matahari total Raja Wang So masih tetap seorang diri di tengah lapangan istana. Temaram sinar surya bagai menyertai kehadiran Pangeran Baek Ah untuk menyampaikan berita duka, “Wook telah meninggal, lama sudah ia sakit-sakitan”, suara itu sungguh memilukan.
Yang Mulia Raja memejamkan mata, ia pernah amat kecewa dengan Wang Wook, keterlibatan dalam kematian direncanakan Raja Wang Mo. Niatnya yang licik memaksakan perkawinan dengan Yeon Hwa, telah melumurkan jelaga pada seluruh hidupnya. Ia merubah hukuman mati menjadi hukuman buang, maka sang pangeran meninggal perlahan-lahan. Ketika kematian itu benar terjadi, benarkah ia masih membenci Wook? Seorang pangeran tak berdaya di bawah mutlak kekuasaannya?
Kehadiran Pangeran Baek Ah  tidaklah lama, setelah menyampaikan kabar duka. Ia undur diri. Tak ada lagi pangeran yang hendak ia temui. Di atas langit, perlahan gerhana mulai sirna tubuh rembulan perlahan bergeser, merelakan kemilau sinar bak batu permata, semakin lebar. Temaram cahaya dengan perlahan dan menakjubkan kembali berpulang kepada terang.  Tatapan mata Yang Mulia Raja tak lepas dari bayangan Baek Ah berlalu pergi. Baek Ah, seorang pangeran budiman yang tak pernah menghendaki tahta, yang bersyukur dengan segala hal yang dapat dimilikinya, yang selalu berbagi serta berkunjung antara sesame pangeran bagi sebuah kabar, hingga kabar yang penghabisan. Pangeran Baek Ah tak pernah menoleh, iapun telah memeasang jarak dengan kehidupan istana. Baek Ah, satu-satunya pangeran yang dikasihi akhirnya meninggalkan seorang diri.  
Ingatan sang raja kembali melayang kepada percakapan dengan Hae Soo saat keduanya menyusuri jalan di tepi danau. “Ketika menghembuskan napas penghabisan, Raja Taejo mengatakan, kalau hidup itu sangat sebentar, singkat dan sia-sia”. Benarkah hidup ini sia-sia, kecuali ia tidak pernah mengenal Hae Soo?
Tiba-tiba Hae Soo menghentikan langkah, menoleh ke arah danau, tatapannya menerawang demikian jauh ke tempat yang asing. “Aku selalu gugup dengan tatapan mata serupa itu. Seolah engkau akan pergi jauh meninggalkanku. Jauh sekali. Apa yang engkau takutkan? Apa yang engkau sembunyikan?” Wang So bertanya.
“Aku cemas pada setiap hari yang tanggal. Setiap langkah seakan berjalan di atas lapisan es yang tipis, harus berhati-hati. Kadang-kadang aku merasa kesulitan bernapas.…” Hae Soo tahu sang raja akan kesulitan memahami bila ia menyatakan jati diri yang sebenarnya.
“Meskipun engkau memiliki aku? Haruskah merasa cemas?” Wang So masih juga bertanya.
Hae Soo masih menerawang jauh, berandai-andai. Andai ia dipertemukan di dunia lain pada dimensi waktu yang berbeda, pasti akan sangat menyenangkan. “Jika hal itu bisa terjadi, tak perlu ada yang harus dicemaskan. Aku memiliki kebebasan untuk mencintai dan memiliki”.
Yang Mulia masih tetap seorang diri di halaman istana yang luas saat langit kembali menjadi biru. Wang So menyentuh bekas luka di wajahnya, luka yang tak lagi tampak, karena tangan Hae Soo menyamarkan dengan cekatan. Benar ia tak bisa melupakan sang kekasih hati dan akan terus mencarinya. “Jika kita tidak berasal dari dunia yang sama, aku akan menemukanmu. Soo….”

Ingatan Yang Mulia kembali lagi bertahun lalu di tepi danau, ia masih berjalan bersisihan dengan Hae Soo. Khayalan sang raja menjadi demikian jauh tak bertepi. Tiba-tiba sang kekasih berhenti mengeluh, “Lututku sakit”.
Wang So melihat ke sekelilingnya, memastikan keadaan benar sunyi kemudian berjongkok di depan Hae Soo, “Naiklah ke punggungku”.
Semula Hae Soo keberatan, tetapi Wang So terus mendesak. Maka tampaklah perilaku tak biasa pada masa seribu tahun yang lalu ketika keluarga raja  menggendong seorang dayang kemudian berlari kencang. Suatu kebebasan yang pada zaman Goryeo nyaris tak mungkin ditemui, karena kekuasan  berada di tangan seorang raja  secara mutlak.


–TAMAT–

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...