Suara serta pendapat dari sekalian rakyat Astinapura terdengar bagai hembusan angin yang semakin hari semakin kencang, meniupkan bara yang membakar di hati Duryudana. Suara itu terbawa udara hingga menembus dinding istana yang seakan mampu pula berucap, “Dari seluruh pangeran, kiranya Yudhistira yang tepat menjadi raja. Seribu maaf, ia masih bisa menatap dengan sepasang matanya, tidak seperti halnya Destarastra yang hanya mampu mendengar, tapi tak dapat melihat apa-apa”.
“Benar,
kita telah tahu betapa bijak Yudhistira, betapa perkasa Bhima, Arjuna
tak terkalahkan dalam ilmu berperang, dan si kembar Nakula Sadewa
melengkapi kelima satria dalam memimpin Astinapura”, suara dari seorang
yang lain terdengar pula hingga ke istana.
“Duryudana
dan adik adiknya terlalu tinggi hati, seperti halnya sang ayah, ia
tidak layak dinobatkan sebagai raja”, suara itu bahkan terdengar lebih
kuat dari hembusan angin lesus.
Duryudana
merasa bara yang menyala di dalam diri perlahan menyala menjadi pijar
api hingga akhirnya berkobar, ia tahu ia tak akan pernah dapat
memadamkan. Kurawa pertama yang selalu mengira dirinya kelak layak
dinobatkan sebagai raja mengepalkan tangannya. Ia dan seisi istana telah
tahu tentang suara rakyat, satu hal yang semakin hari semakin
menyakiti hati, sungguhpun ia sulung Kurawa, akan tetapi tidak dapat
merebut hati orang banyak yang mesti dipimpin menuju kemakmuran. Apa
arti mahkota tanpa cinta dari rakyat jelata?
Andai
Pandawa, lima orang saudara sepupu menetap pula di istana sebagai lima
satria yang berhati perwira, adakah suara rakyat akan menyudutkannya?
Kurawa tak dapat menyadari, betapa ia telah melangkah terlalu jauh.
Sebenarnya tak pernah ada yang salah pada diri Pandawa. Lima satria itu
berhak akan pujian masyarakat, karena sikapnya yang gagah. Andai ia
dapat meneladani sikap Pandawa. Bukan menyalahkan sebagai kambing hitam,
karena tidak mendapatkan simpati dari khalayak. Kurawa terlalu tinggi
hati untuk mengakui kekurangan, sang ayah yang hanya dapat menatap gelap
lalai memberikan nasehat bijak, bahwa bertahta selaku raja bukanlah
satu-satunya tujuan. Ada yang lebih mulia dlam hidup, ia berlaku sesuai
etika, sehingga seorang tetap menjadi bagian dari yang lain tanpa perlu
perselisihan, terlebih kekerasan.
“Tidakkah
ayahanda raja telah mendengar suara rakyat Astinapura, mereka lebih
memilih Yudhistira selaku raja dengan didampingi empat Pandawa yang
lain? Mereka tak menghendaki penobatan Duryudana?” suara Duryudana berat
dan kering, ia sungguh merasa gerah dengan kehadiran Pandawa di istana,
keberadaan mereka nyata-nyata menjauhkan dirinya dari pilihan rakyat.
Wajah pangeran itu tampak merah padam, tangannya masih terkepal, dadanya
terasa sesak, di arena pertandingan tak seorang pun Kurawa mampu
mengalahkan Arjuna, satria tampan pilih tanding yang membuat nyalinya
menjadi kerdil.
Destarastra
hanya dapat melihat gelap, akan tetapi pendengarannya demikian tajam,
ia dapat mengenali jati diri setiap orang dari nada suara, detak
langkah, aroma tubuh serta hembusan napasnya. Kegelapan sepanjang hidup
seakan berubah menjadi tabir kelam yang mengatupkan sepasang mata hingga
selama-lamanya. Destarastra merasa dirinya selaku seorang raja malang
yang tidak mampu menempatkan dirinya selaku pihak tertinggi di dalam
suatu kerajaan. Suara dana gerak di sekitarnya seringkali berubah seakan
ejekan yang menyakiti hatinya. Sungguh tidak mudah menjalani takdir
selaku orang yang tidak sempurna.
Tak
sekalipun ia mampu membayangkan raut wajaah serta sosok tubuh Duryudana
serta Kurawa yang lain, akan tetapi Destarastra tahu seratus orang anak
yang dilahirkan Gandari memiliki perilaku yang jauh berbeda dengan
Pandawa. Destarastra tak bisa menyangkal, dari suara serta detak
langkahnya, ia harus mengakui Yudhistira adalah seorang yang bijak, yang
lebih pantas dinobatkan sebagai raja. Empat Pandawa yang lain akan
memperkuat tahta Yudhistira dengan seluruh kemampuannya, terlebih cinta
rakyat Astinapura. Iapun menyanyangi kelima Pandawa seakan anak kandung
yang dilahirkan.
Akan
tetapi, ketika akhirnya menyadari, Kurawa tak akan pernah seperti
menjadi seperti Pandawa. Jauh di dalam hati Destarastra mengeluh, ia
memahami kegundahan Duryudana, ia tahu rasanya kehilangan tahta ketika
jarak dengan singgasana ternyata demikian dekat hanya sebatas satu
lemparan batu dari lengan yang tidak terlalu kuat. Destarastra menarik
napas panjang, tak seharipun ia pernah merasa damai tanpa desakan dari
seratus orang anak yang nyata-nyata cemas tersingkir dari tahta.
Bukankah Pandawa adalah keturunan raja yang sesungguhnya? Yang tak
pernah buta sepasang matanya?
“Tidakkah
ayahanda telah mendengar? Apabila nanti benar Pandawa yang berhak akan
tahta Astinapura, apakah mereka akan tetap berlaku adil? Akupun putra
seorang raja, aku berhak akan tahta”, suara Duryudana setengah gemetar,
ia tidak bisa membayangkan ketika pada suatu hari seluruh rakyat
Asrinapura dan pejabat istana akan memberikan penghormatan kepada
Yudhistira sebagai raja. Hari itu pasti akan menjadi hari kematiannya.
Bila ia tidak berkeras akan tahta Astinapura, maka segala yang ia
kerjakan hari ini, tak ubahnya dengan menggali liang kubur bagi
pemakaman dirinya sendiri. Duryudana harus bertindak, kali ini ia
meminta pendapat Destarastra.
“Kurawa
putraku, sepasang mataku benar buta, setiap hari yang bisa kusaksikan
hanya gelap semata. Andai saja aku tidak terlahir sebagai bayi malang,
mungkin keadaan akan menjadi lain. Aku tahu kegundahan hatimu,
bersabarlah. Istana ini bukan hanya milik Pandawa, akan tetapi juga
milik Kurawa, tak seorangpun akan menyingkirkan kita dari istana ini”,
Destarastra membujuk Duryudana supaya bersabar. Sesungguhnya, suasana
hati raja malang itu lebih gundah dari Kurawa pertama. Iapun tidak bisa
membayangkan hari itu, hari ketika Yudhistira bertahta sebagai raja.
Cinta kasih kepada seratus anak kandung menyebabkan Destarastra bimbang
menentukan sikap. Ternyata tidak mudah berlaku adil, adil bagi Pandawa
berarti tidak adil bagi Kurawa. Siapa yang harus ia bela?
“Pandawa
seakan duri dalam daging, mereka tidak pernah membuat suasana menjadi
damai. Mereka seakan mentertawakan kekalahan kita, Pandawa tidak
mengerti kita cukup memiliki dukungan dari banyak pihak. Aswatama,
Mahaguru Drona, Mahaguru Kripa, dan Karna. Kita telah memberikan terlalu
banyak, mereka tidak akan berpaling dari Kurawa”, Duryudana meneruskan
kata-kata. Keduanya tengah duduk berhadapan pada suatu taman yang
terjaga dengan baik, sehingga pembicaraan itu tidak mudah didengar
siapapun, kecuali sikap cermat Mahatma Widura.
“Apa sebenarnya keinginanmu putraku?” akhirnya Destarastra bertanya.
“Bukankah
ayah bisa meminta Pandawa datang ke Waranawata, hutan yang menghijau
dengan rakyat yang selalu menantikan kelima bersuadara? Saya ingin
sejenak merasakan suasana damai di Astinapura tanpa kehadiran Pandawa”,
akhirnya Duryudana menyampaikan pula keinginannya, suatu hal yang
terlalu sulit untuk ditolak Destarastra, karena setelah pembicaraan itu,
Kanika tangan kanan Sangkuni kurang lebihnya menyampaikan hal yang sama
dengan Duryudana.
“Mohon
ampun paduka, hamba mohon paduka lebih berhati-hati mensikapi Pandawa
atau tahta Astinapura akan jatuh ke tangan orang yang tidak sebenarnya.
Untuk sementara waktu lebih baik Pandawa beristirahat di Waranawata,
hutan yang luas, hijau, dan indah. Dengan demikian Kurawa dapat sejenak
merasa damai di istana yang megah ini”, suara Kanika demikian
meyakinkan. Ia selalu berada di pihak Kurawa, ia sadar betapa kuat
Pandawa, betapa kekuatan itu nyaris sempurna dengan cinta seluruh rakyat
Astinapura. Apabila Pandawa memegang tahta Astinapura, adakah ia akan
memiliki pula tempat yang mulia di istana ini?
Destarastra
yang buta sepasang matanya dan hanya mampu melihat gelap semata,
merasa tatapanya semakin hitam. Ia masih dapat merasakan kesiur angin
dingin di taman istana, akan tetapi ia tak dapat melihat kelopak bunga
yang dengan indah meliuk, karena hembusan itu. Raja malang itu juga tak
pernah tahu, bahwa segala tindak tanduk penghuni istana tak pernah
terlepas dari pengamatan Mahatma Widura, juga pada pertemuan singkat
dengan Kanika. Destarastra memalingkan wajah, menghela napas panjang,
dadanya terasa sesak. Ia pun merasakan kehadiran Pandawa seakan duri di
dalam daging, ia tak mampu menidurkan kebencian seratus anak-anaknya
yang semakin hari semakin menyala, hanya menunggu tiupan badai untuk
mengobarkannya. Badai itu pasti datang, andai ia tak berkuasa
memisahkan.
“Kita
tahu betapa kuat kelima Pandawa, di arena pertandingan, tak seorang pun
mampu mengalahkan Arjuna. Ada satu hal yang lebih baik, ialah memasang
jarak. Waranawata cukup jauh dari Astinapura, kiranya jarak itu cukup
sudah untuk menyingkirkan duri yang bersemayam di dalam daging. Bukankah
seorang raja selalu ingin putranya kelak duduk bertahta di singgasana?”
mulut Kanika manis bermadu, ia sungguh pandai meyakinkan hati Paduka
supaya percaya kemudian menyarankan supaya Pandawa berkunjung ke
Waranawata.
Destarastra
tak mengucap apa-apa, sungguhpun kata-kata Kanika dapat menjadi bahan
pertimbangan. Akan tetapi, mulutnya tiba-tiba menjadi bungkam, sangat
berat menyingkirkan Pandawa dari istana. Adakah ia memiliki pilihan
lain, atau ia akan terus didesak untuk menjauhkan Pandawa dari istana?
Destarastra
masih tetap diam hingga datang hari berikutnya ketika Duryudana
kembali menghadap “Ayahanda, sudahkan yang mulia mempertimbangkan
permintaan ananda, kita telah memberi jabatan, pangkat, dan kehormatan
kepada orang-orang di sekitar Astina. Mereka telah bersumpah setia
kepada Kurawa. Bila Pandawa telah menetap di Waranawata, rakyat Astina
akan semakin jauh dari kelima satria, tak ada yang lebih berkuasa di
tempat ini, kecuali Kurawa”, Duryudana menatap sang ayah dengan segala
harap, ia sungguh cemas andai permintaan itu tak disepakati.
Kali
ini Destarastra juga diam, ia berada pada posisi sulit untuk mengambil
keputusan? Apa beda Pandawa dan Kurawa? Keduanya adalah satria
Astinapura, terlahir dari keturunan yang sama, memiliki hak menduduki
tahta. Destarasrtra tak pernah mendapatkan bukti kebencian Pandawa
terhadap Kurawa, kelima satria putra Kunthi demikian santun dan berbudi,
menjalankan peranan selaku pangeran dari kerajaan besar dengan
sebaik-baiknya. Apa sesungguhnya kesalahan sang keponakanm, kecuali
Yudhistira memang layak bertahta sebagai raja? Destarastra kembali
merasa dadanya seakan dibebani sebongkah batu teramat berat, napasnya
terasa sesak. Ia tahu Kurawa akan melakukan tindak kekerasan andai
permintaannya tak dikabulkan.
“Tunggulah
….” Hanya satu kata jawaban Destarastra, raja buta itu kemudian
berdiri, melangkah dengan pasti meninggalkan Duryudana. Ia memang tidak
dapat melihat apa-apa, akan tetapi ia telah mengenal setiap jengkal
sudut istana, tak seorang pun perlu memapahnya supaya ia dapat mencapai
tujuan. Baginda melangkah dengan galau, betapa ingin ia menumpahkan rasa
kesal, akan tetapi kepada siapa? Dan bagaimana?
Ketika
akhirnya memanggil Pandawa untuk menyampaikan maksud hati, Destarastra
harus mampu menyusun kata-kata yang indah, ia tak ingin menyakiti hati
Pandawa yang sejatinya tak memiliki kesalahan apa-apa, suaranya
terdengar lembut dan lemah, “Pandawa putraku, hutan Waranawata sangat
indah, rakyat di kampung itu sangat merindukan kehadiran lima satria.
Akan diselenggarakan upacara agung pemujaan Batara Siwa, kunjungan
Pandawa sangat diharapkan. Tidakkah pangeran berlima senang untuk
berlama-lama di tempat yang indah dan ramah itu?” demikian Destarastra
berucap dalam bahasa yang santun, ia benar-benar tak ingin melukai hati
pangeran yang tidak bersalah.
Kelima
Pandawa terdiam, demikian pula seisi balairung. Mahatma Widura dengan
cermat mengikuti setiap kata-kata sang raja, menatap wajah gembira
Kurawa, karena perintah itu serta memahami perubahan raut wajah Pandawa.
Yudhistira tampak terkejut, tetapi ia segera dapat menguasai diri.
Benarkah kata-kata yang lembut itu memiliki makna yang indah di
sebaliknya, atau hanya sebuah keping perintah bagi rencana berikutnya.
Ketika seorang tengah digiring pergi ke tempat lain dengan bahasa yang
paling halus sekalipun, sesungguhnya ia tengah disingkirkan. Menetap di Hutan Waranawata berlama-lama, sebuah tempat yang indah dengan masyarakat ramah yang merindukan kehadirannya? Yudhistira
saling bertatapan dengan empat Pandawa, sesungguhnya hati kecil
Yudhistira meragukan tawaran itu. Benarkah ia harus menjawab kerinduan
hati masyarakat Waranawata dalam sebuah upacara agung pemujaan Batara
Siwa? Tapi, haruskah ia mengatakan tidak?
Ketika
bertatapan dengan Mahatma Widura, Yudhistira dapat melihat perdana
menteri itu menganggukkan kepala dengan sebuah kerdipan mata. Pandawa
pertama itu tahu, ia tak harus menjalankan perintah tanpa pengawalan
dari perdana menteri. Satria itu memberikan sembah kemudian menjawab,
“Dengan segala hormat dan senang hati Pandawa dan Ibu Kunthi akan
berkunjung ke Waranawata apabila perlengkapan sudah disiapkan”, seperti
biasa Yudhistira yang lurus hati selalu santun dalam berucap, jauh di
dasar hati ia merasa tidak nyaman ketika sekejab melirik ke arah
Duryudana. Senyum Kurawa pertama itu seakan diliputi misteri. Selubung
tabir yang akan dapat terungkap apabila ia meneruskan perintah yang
mulia raja.
Niat apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik senyum Duryudana?
“Baiklah,
kami akan segera mempersiapkan keperluan dan perlengkapan bagi
kunjunganmu ke Warawanata”, Destarastra menganggukan kepalanya, ia tak
pernah merencanakan apa-apa, kecuali memenuhi permintaan anak-anak yang
dicintainya. Dengan keberangkatan Pandawa dalam waktu lama mungkin
suasana di Astinapura akan lebih damai bagi Kurawa.
Pertemuan
di baliarung selesai, akan tetapi tidak bagi Duryudana. Ia menemui
Purochana, mengucapkan perintah, “Siapkan istana dari papan kayu bagi
Pandawa, engkau pasti tahu tugas selanjutnya yang mesti dikerjakan. Aku
tak pernah ragu dengan kesetiaanmu”, Duryudana mengulurkan kantung
berisi kepingan logam emas yang diterima Purochana dengan wajah
berseri-seri. “Berangkatlah pada kesempatan pertama, kirimkan kurir
setelah semua selesai”.
Duryudana
sangat hati-hati dalam bercakap dengan Purochana, tetapi ia tidak
waspada dengan kemampuan Mahatma Widura dalam mencermati setiap perilaku
serta persiapan di Warawanata bagi kunjungan Pandawa dan Dewi Kunthi.
Apa bedanya memerintah Pandawa berangkat ke Warawanata dengan
menyingkirkan lima satria dari kehidupan istana. Mahatma Widura tahu,
antara Pandawa dan Kurawa tak pernah terjalin keakraban, keduanya mulai
bermusuhan sejak kedatangan Pandawa dari hutan. Kurawa tak pernah
nyaman dengan kehadiran itu. Pangeran dari ayah dan ibu yang lain adalah
ancaman bagi kelangsungan penerus tahta. Duryudana nyata-nyata tak
hendak kehilangan singgasana. Untuk itu Pandawa perlu disingkirkan
dengan hormat ke Warawanata. Orang butapun tahu maksud terselubung itu.
Perasaan Mahatma Widura tiba-tiba terasa gelisah ketika ia bertatapan
dengan Duryudana. Sepasang mata adalah jendela hati yang mampu
mengungkap keinginan terdalam manusia tanpa kata-kata. Mahatma Widura
yang bijak dan mampu menatap dengan mata hati bisa menerjemahkan bahasa
itu. Ia harus mengambil sikap.
Sementara
Duryudana dan sekutunya sibuk mempersiapkan istana serta perlengkapan
bagi kunjungan panjang Pandawa. Mahatma Widura juga mempersiapkan segala
sesuatu bagi rencana yang paling buruk, ia sungguh-sungguh
mengkhawatirkan keselamatan Pandawa. Tatapan Kurawa selalu berpijar
bagai nyala bara api ketika berpapasan dengan Pandawa, dua saudara
sepupu itu hidup bersama di bawah satu atap istana, akan tetapi tidak
pernah memiliki kesesuaian hati. Mahatma Widura tidak berpihak pada
salah satu dari keduanya, akan tetapi ia wajib berdiri di tempat yang
adil.
Ketika
kurir Duryudana datang dengan tergesa ke Astinapura, menyampaikan pesan
bahwa istana indah dari papan kayu sudah selesai. Dari kejauhan Mahatma
Widura terus mengamati, ia menangkap suatu kesan ganjil pada pertemuan
itu, keduanya berbicara dengan suara perlahan, seakan menggenggam sebuah
rahasia yang tidak boleh didengar, bahkan oleh dinding istana
sekalipun. Akan tetapi, Mahatma Widura yang berpandangan luas serta
bijak bestari dapat menangkap kemana arah pembicaraan itu. Sehingga ia
bisa menentukan sikap dengan pasti.
Demikian
ketika hari keberangkatan itu tiba, sejenak Mahatma Widura memerlukan
waktu untuk berbicara dengan Pandawa dan Dewi Kunthi. “Ibu Agung Kunthi
dan Pandawa berlima, saya harus menyampaikan pesan. Di dalam kehidupan
kita pasti menjumpai banyak musuh, tetapi musuh yang paling berbahaya
adalah musuh dalam selimut. Jaraknya terlalu dekat, sehingga niat jahat
serta tipu muslihat sulit terbaca kecuali kita bersikap cermat dan
hati-hati. Saya tahu pangeran berlima telah mengerti, siapa
sesungguhnya musuh itu. Andai perasaan hati tiba-tiba tidak nyaman, maka
kita harus waspada, sekali lagi waspada. Saya tak bisa menyertai
keberangkatan ke Waranawata, akan tetapi mempercayakan kepada pengawal
yang menyamar demi keselamatan ibu agung Kunthi dan Pandawa,” Mahatma
Widura menatap sepasang mata Yudhistira dalam-dalam, hatinya teriris. Ia
tahu kemungkinan terburuk yang bakal terjadi di hutan yang indah dengan
istana papan kayu yang telah berdiri megah. Kurawa tak pernah memiliki
niat baik terhadap Pandawa, ia telah terbukti dengan licik telah
berusaha mencelakai Bhima. Kini, apa lagi rencana itu?
Pandawa
mendengarkan pesan Mahatma Widura, tatapan tulus dan sarat kata-kata
tak terucapkan itu diam-diam membuat bulu kuduk Pandawa meremang.
Yudhistira tak menyangkal kebenaran kata-kata itu, ia tahu siapa Mahatma
Widura, perdana menteri itu tak pernah ragu dengan ucapannya. “Kami
akan selalu berhati-hati dan siapapun pengawal itu pasti kami
mempercayai. Kami berpamit”, mereka saling memberi hormat, sebelum
memisahkan itu. Pertemuan singkat itu, Kurawa tak boleh tahu.
Pandawa
dan Dewi Kunthi kemudian mohon diri kepada Bhisma, Destarastra, dan
pejabat istana yang lain. Kurawa telah hadir terlebih dahulu ke
Warawanata, tiba-tiba Yudhistira teringat pada tatapan Kurawa saat
Destarastra memintanya berangkat ke Warawanata. Tatapan itu dilumuri
senyum kemenangan, Kurawa tak merasa kehilangan ketika harus berpisah
dengan Pandawa. Ia tidak sedang dilepas bagi sebuah kunjungan ke
Waranawata, sebuah hutan yang indah dengan masyarakat yang merindukan
kehadirannya. Tatapan itu, seakan kemenangan seorang lawan ketika
berhasil mengirimkan musuh ke liang kematian. Benar, seperti ucapan
Mahatma Widura, tatapan mata Kurawa membuat hatiku tidak nyaman. Kita
bukan pergi ke Waranawata untut upacara agung pemujaan Batara Siwa,
bukankah telah dua kali Kurawa berusaha mencelakai Bhima? Bukankah
sesungguhnya mereka mengharapkan kematian Pandawa? Yudhistira
melangkah dengan gelisah, kegelisahan itu menyebar pula kepada Dewi
Kunthi dan empat Pandawa yang lain. Akan tetapi, tak sedikit pun rasa
gelisah itu tampak pada raut wajah atau sikap laku Pandawa.
Ketika
rakyat Astinapura berdiri pada dua tepi jalan melambaikan tangan
melepas pergi lima satria didampingi ibu agung beserta dayang dan
pemgawal. Pandawa tak henti melambai dan tersenyum, mereka tahu hati
rakyat jelata yang lugu, yang memiliki rasa hormat tanpa pamrih.
Sementara orang mengiring keberangkatah hingga ke batas wilayah
kerajaan, sebagian yang lain bahkan mengikuti terus hingga ke
Warawanata.
Semula
matahari bersinar cerah, langit biru seakan helai kain sutera yang
dibentangkan tiada bertepi, burung-burung riuh berkicau. Iring-iringan
panjang itu berjalan menyusuri jalan dari Astinapura menuju hutan
Waranawata. Akan tetapi semakin jauh perjalanan perlahan cuaca berubah
menjadi mendung, hijau daun seakan terkulai dari tangkainya. Menjelang
senja rombongan berhenti untuk beristirahat mendirikan tenda dan
menyalakan api unggun, jarak yang harus ditempuh tidaklah dekat.
“Ibunda,
sesungguhnya hatiku sedih menempuh perjalanan ini, segalanya terasa
ganjil. Mahatma Widura tampak cemas, ia telah mencium rencana jahat
Kurawa. Kita harus harus hati-hati, saya tak pernah menaruh rasa percaya
terhadap Duryudana”, akhirnya Yudhistira mengeluh pada Kunthi. Sepasang
matanya menatap api unggun dengan galau, esok ia akan sampai setelah
Kurawa bersiap memasang perangkap di hutan yang indah itu. Musuh yang
paling berbahaya sesungguhnya bersembunyi di balik selimut, demikianlah
sesungguhnya Kurawa.
“Tak
perlu merasa cemas, kita tidak sendiri. Mahatma Widura telah mengatur
pula rencana, kiranya Yang Maha Pencipta selalu bersama kita”, Kunthi
menggenggam tangan Yudhistira, perasaannya lebih cemas dari Pandawa
pertama, akan tetapi haruskah ia mengelak dari perintah Destarastra?
Sepasang
mata Yudhistira masih terus menatap lidah api yang menyala dari kayu
bakar, ia kini menjadi satu bagian kecil dari hutan yang sangat luas.
Esok akan sampai di tempat tujuan, selamanya ia harus bersandiwara,
berpura-pura tenang ketika hati sebenarnya geram berada di dekat Kurawa.
Sikap saudara sepupunya itu tak pernah membuat Pandawa merasa nyaman.
“Sekarang
tidurlah, esok kita akan sampai di tempat tujuan”, Kunthi mengakhiri
pembicaraan, ia membimbing Yudhistira menuju tenda untuk istirahat
sebelum perjalanan pada hari yang terakhir.
Yudhistira
memenuhi permintaan ibunda, ia segera membaringkan diri dengan segala
pikiran berkecamuk seakan ribuan bintang jatuh. Mengapa ia harus
memiliki saudara sepupu yang bernama seratus Kurawa? Semestinya saudara
memberikan rasa aman dan hangat dalam kebersamaan di istana, tetapi apa
yang terjadi. Dengan sangat halus Kurawa menyingkirkan ke hutan yang
sangat jauh dari rakyat dan Astinapura dan ia tak berkuasa menolak
perintah raja. Hingga jauh malam Yudhistira tak bisa memejamkan mata,
ketika ia terus berpikir dan akhirnya sampai pada satu keputusan. Bahwa
ia beserta empat Pandawa dan Dewi Kunthi tak akan berdiam diri dengan
segala niat jahat Kurawa. Perlahan-lahan kesadaran Yudhistira semakin
menjauh, sehingga akhirnya ia tertidur.
Keesokan
harinya perjalanan diteruskan dalam iring-iringan panjang dan sampai di
tempat tujuan menjelang senja. Kurawa menyambut kehadiran itu dengan
segala rasa hormat, akan tetapi Pandawa meragukan senyum kemenangan yang
tersungging di bibir saudara sepupunya itu. Mereka tetap waspada dan
semakin waspada ketika Purochana mempersilakan ibu Kunthi dan Pandawa
beristirahat di Istana Siwam – yang berarti istana
kesejahteraan, istana yang indah, akan tetapi terbuat dari papan kayu
serta bahan-bahan yang mudah terbakar. Ketika memperhatikan raut wajah
Purochana, Yudhistira kembali merasa gelisah, senyum itu terlalu
dipaksakan, tatapan mata pelayan itu diliputi ancaman.
“Perasaan
saya semakin tidak nyaman, lihatlah istana ini terbuat dari kayu dan
bahan-bahan yang mudah terbakar. Saya merasa kita tidak sedang datang
bagi sebuah upacara agung Batara Siwa, akan tetapi bagi upacara
pemakaman. Tetaplah waspada, tak usah menunjukkan rasa marah atau
takut.------------------------, tapi kita mesti mencari celah untuk
menyelamatkan diri”, Yudhistira membuka pembicaraan ketika mereka hanya
tinggal berenam.
“Ibupun
merasa tidak nyaman, Duryudana bisa bertindak apa saja termasuk
membunuh kita semua”, Dewi Kunthi tidak bisa menyembunyikan rasa cemas,
ia harus hati-hati, ia harus mampu mengatasi ulah licik Kurawa.
Menjelang
malam ketika orang yang diperintah Mahatma Widura datang secara rahasia
dengan wajah tak kalah cemas, berbisik, “Seribu maaf ibu agung Kunthi,
Mahatma Widura memerintahkan saya untuk menggali terowongan dari kamar
pribadi menuju keluar dinding istana ini. Bila terjadi apa-apa, kita
bisa segera menyelamatkan diri”, wajah pengawal itu menunjukkan
kejujuran dan kesungguhan, ia tidak sedang berdusta, ia tahu betapa
penting keselamatan Pandawa dan sang ibu. Ia akan melakukan apa saja
bagi keselamatan itu.
Wajah
Bhima menjadi merah padam, ia tidak menyangka Kurawa akan tega
mencelakakan saudara sepupu dengan cara seperti ini. Pandawa kedua itu
mengepalkan tanggannya, andai saat ini juga ia bisa merobek-robek
seluruh tubuh Kurawa. “Sudah berulang kali Kurawa berniat mencelakakan
Pandawa, terutama saya, Bhima. Kini mereka dan sekutunya berniat
membinasakan kita semua. Ayo, kita diam-diam menggali terowongan, kita
harus terlebih dahulu bertindak sebelum Kurawa melaksanakan niatnya.”
“Tapi
kita harus tetap bersikap, seolah tidak tahu apa-apa tentang rencana
Kurawa, tetaplah tenang dan waspada”, Dewi Kunthi berbisik, diam-diam
bulu kuduknya meremang, dengan pahit ia harus menyadari, bahwa saudara
satu keturunan bisa demikian membenci, sehingga tega membuat rencana
yang sungguh keji. Kini ia semakin tahu, betapa berharga kehidupan dan
keselamatan, ia akan melakukan apa saja bagi dua hal yang berharga itu.
“Ibu,
saya telah sangat lelah bersandiwara, hidup sedemikian dekat dengan
musuh, hanya karena persoalan tahta”, Nakula yang lebih banyak diam
akhirnya mengeluh.
“Kita
tak punya pilihan lain kecuali bersandiwara, belum saatnya melakukan
perang terbuka”, Arjuna mencoba menenangkan saudara kembarnya, meski
sebenarnya jantungnya berdegup lebih cepat, bergemuruh seakan curahan
air terjun.
“Benar,
kata-kata ibunda, penggalian terowongan dikerjakan secara diam-diam,
kita saling bergantian menjaga. Di luar semua ini, kita tetap menghadiri
upacara agung pemujaan Batara Siwa, seolah Kurawa tak memiliki niat
buruk apa-apa”, Yudhistira akhirnya mengambil sikap, satria utama itu
menghela napas panjang sebelum akhirnya menentukan tempat yang paling
tepat untuk menggali terowongan secara rahasia, tanpa dapat diketahui
pihak Kurawa.
Selanjutnya
ahli penggali terowongan bekerja siang malam secara bergantian tanpa
dapat diketahui Purochana yang menetap pada sebuah rumah mingil, di
samping pintu gerbang istana. Penggalian dimulai dari bawah kamar tidur
istana papan kayu, melewati bagian bawah pagar istana, bagian bawah
parit yang mengelilingi istana, dan terus memanjang semakin jauh dari
pagar istana hingga ke tengah hutan. Pada malam hari lima Pandawa
begantian menjaga upaya penggalian terowongan sehingga penggalian ini
tak akan pernah diketahui Purochana dan kawan-kawannya.
Pada
siang hari lima satria bersama ibu agung Kunthi mengikuti keseluruhan
rangkaian acara pemujaan Bathara Siwa, hadir di tengah-tengah keramaian
dengan sikap tenang seolah-olah tak menyadari niat jahat Kurawa beserta
sekutunya. Tatapan dan seluruh tindak tanduk Purochana dan seluruh
pembantu di istana itu tak pernah lepas dari pengamatannya. Berulang
kali Yudhistira membuang pandang, ia terlalu pandai menyembunyikan
kegelisahan. Tatapan mata Purachana selalu tampak seakan sebilah pisau
yang siap terayun, tepat menembus di ulu hati, hal itu berarti ia pasti
akan masti. Akan tetapi, setiap manusia, terlebih lima Pandawa tak akan
membiarkan kematian sia-sia di tangan penjaga istana atas perintah
Kurawa. Yudhistira tahu, kebenaran akan penggalian terowongan secara
rahasia itu, ia masih bersyukur, masih ada Mahatma Widura di Astina
Pura, seorang berhati mulia dengan kecerdikan tiada tara.
Widura tak mampu menghalangi niat jahat Kurawa, akan tetapi ia
telah mempersiapkan sebuah jalan keluar, terowongan penyelamatan.
Saat
acara berburu tiba, dengan cermat Pandawa mengamati keadaan pada setiap
penjuru hutan, wilayah ini termasuk bagian dari rencana penyelamatan.
Dimana kiranya arah yang dapat ditempuh tanpa dapat diketahui seorang
pun musuh. Kiranya rimbunan hutan ini dialiri pula sebatang anak sungai,
Sungai Gangga. Aliran air yang dapat segera menghilangkan jejak,
menjauhkan diri dari segala keinginan Kurawa untuk menyeretnya pada
kematian. Kelima Pandawa saling bertatapan kemudian menganggukkan
kepala, mereka tahu arah mana yang harus dituju.
Adapun
upacara pemujaan Bathara Siwa berlangsung dengan khidmad di kuil
istana, rangkaian upacara yang sesungguhnya menjadi sangat melelahkan,
karena sikap mengancam Puracahana. Sementara Purachana tak pernah
menyadari, bahwa setiap tingkah laku serta kata-katanya tak pernah
terlepas dari pengamatan Pandawa. Ketika ia mengawasi serta
memperhitungkan waktu yang tepat bagi sebuah niat jahat, demikian pula
Pandawa tetap mengamati untuk bersiap mengambil langkah penyelamatan
sebelum niat jahat terjadi. Senja, usai pemujaan Batara Siwa kewaspadaan
Yudhistira terbukti, ia berada satu atap dengan orang-orang yang
memiliki niat jahat, suara berbisik Puracaha tak urung, terdengar juga
pada sepasang telinga Yudhistira.
“Lima
Pandawa dan Ibu Kunthi telah merasa sangat lelah dengan rangkaian acara
pemujaan Bathara Siwa, malam besok waktunya. Setelah istana dari papan
kayu terbakar bersama Pandawa dan Kunthi di dalamnya, Kurawa akan
memberi kita banyak hadiah….” Suara Purachana terbawa semilir angin,
kaki tangan Kurawa itu tak menyadari, bahwa Yudhistira selalu waspada
mencermati setiap tingkah laku serta kata-katanya.
Maka
lepas senja hari berikutnya Kunthi menyelenggarakan perjamuan agung di
istana papan kayu dihadiri seluruh pelayan serta penjaga istana. Aneka
hidangan lezat disajikan secara cuma-Cuma, suara music yang merdu
memberikan suasana menyenangkan. Kunthi memerlukan beberapa saat berucap
di hadapan pelayan dan penjaga istana sebelum perjamuan diteruskan.
“Saya, Kunthi, Ibu Pandawa mengucapkan terima kasih atas pelayanan dan
keramahan seluruh penghuni Warawanatha. Untuk itu perjamuan ini
diselenggarakan, tak ada ritual resmi kecuali ramah tamah, dan mari kita
nikmati hidangan yang telah dipersiapkan”, ucapan singkat Kunthi
ditanggapi dengan tepuk tangan, akan tetapi diam-diam ibu agung itu
merasa bulu kuduknya meremang, ia tak sedang mendengar suara orang
bertepuk tangan, ia tengah mendengar suara kutukan bagi kematian seorang
ibu beserta lima orang putra tercinta. Ia yakin sudah tentang niat
jahat itu, ia tidak terlalu dungu membedakan sikap orang yang
bersahabat atau pura-pura bersahabat. Purachana dan seluruh sekutu
Kurawa nyata sudah sebagai musuh dalam selimut, ia dan lima Pandawa
telah bersiap menyelamatkan diri dari niat jahat itu. Andai Kurawa telah
mempersiapkan istana dari papan kayu yang mudah terbakar, terlebih oleh
tangah jahat yang sengaja menyulutnya, ia telah bersiap dengan
terowongan sekaligus waktu tepat bagi penyelamatan.
Pesta
terus berlangsung dengan meriah, aneka hidangan tak henti disajikan,
demikian pula dengan arak dan anggur. Gelas terus berdenting membaur
dengan suara tawa ria yang semakin larut semakin gaduh, karena penjaga
dan pelayan mulai mabuk, kehilangan kesadaran. Akan tetapi, tidak dengan
Pandawa dan Kunthi, udara beraroma anggur tak menyebabkan lima satria
kehilangan waspada. Kunthi terlebih dahulu meninggalkan ruang perjamuan,
sebenarnya dengan langkah gemetar, ia tak akan hadir lagi di ruangan
ini, Yudhistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa perlahan-lahan mengikuti
langkah Kunthi menuju. Di kamar tidur, terowongan telah digali hingga
jauh ke tengah hutan. Empat Pandawa membawa sekedar perbekalan untuk
sebuah pelarian yang belum juga diketahui dimana ujungnya, akan tetapi
mereka tak dapat meninggalkan istana papan kayu dengan tangan kosong.
Pakaian ganti, makanan, dan minuman sungguh diperlukan, atau mereka akan
terlantar pada sebuah wilayah tak bertuan tanpa tenaga.
Tak
seorang pun tahu ketika Yudhistira berjalan di depan, diikuti Kunthi,
Arjuna, Nakula, dan Sadewa mulai berjalan pada langkah pertama, memulai
pelarian menuju akhir terowongan yang terletak di tengah hutan. Bhima
masih berada di ruang perjamuan, ia menunggu hingga seluruh pelayan
lelah dan mabuk, Purachana dan kaki tangan Kurawa terlena setelah merasa
sedemikian kenyang, dan mabuk, karena anggur yang terus mengalir seakan
membanjiri ruang perjamuan. Sesaat Bhima menarik napas panjang, andai
musibah ini bisa dihindari. Seandainya ia tak perlu menuang minyak
kemudian menyulut api hingga seluruh istana papan kayu dan seluruh
penghuni hangus terbakar. Akan tetapi, adakah ia punya pilihan? Di
istana ini Kurawa telah merencanakan kematiannya, ia harus melakukan
suatu tindakan seolah kematian itu benar-benar terjadi, sehingga Kurawa
tak memiliki rencana jahat untuk kematian yang berikutnya. Pandawa akan
hidup damai tanpa rencana pembunuhan dari saudara sepupu.
Di
luar malam semakin hangus, hitam serupa jelaga tanpa kerdip bintang,
angin lebih dingin dari malam-malam biasa, menggigit pori-pori. Seisi
istana telah pulas tertidur, tak ada suara, bahkan jangkerik seakan
enggan berbahasa. Dengan perasaan galau Bhima menuang minyak ke atas
setumpuk kain, menyulutnya dengan api. Dalam sekejab api membesar dan
terus membesar tak dapat dihentikan, Pandawa kedua tak menunggu lebih
lama, dengan sigap dan tenaganya yang berukuran raksasa, ia segera
menyusul ibunda serta empat saudara yang lain menyelamatkan diri melalui
terowongan yang telah sengaja digali. Dengan langkah sigap Bhima dapat
pula menyusul Pandawa yang lain, sehingga akhirnya mereka dapat kembali
bersatu.
Sementara
di atas terowongan api terus membesar, menyambar atap yang memang mudah
terbakar. Ketika atap runtuh, maka seluruh dinding, lantai, dan seisi
istana termasuk Purachana dan kaki tangan Kurawa yang pulas tertidur,
karena terlalu gembira, kenyang, dan mabuk ikut pula dilahap api, hangus
terbakar. Purachana tak berkesempatan lagi menyulutkan api bagi
kematian Pandawa, ia kalah cepat, ia bahkan menjadi korban dari sebuah
persengkokolan. Suara ledakan dan jilatan api yang terus membesar,
membangunkan seisi penghuni Waranawata, tak seorang tidak merasa cemas.
Ketakutan menyebar sedemikian rupa, sementara orang berusaha memadamkan
api, sebuah upaya sia-sia, karena papan kayu dan seluruh bahan istana
yang mudah terbakar tak semudah itu dapat dipadamkan.
“Pandawa ….!!” Suara jeritan panjang melolong membelah malam yang segera berubah menjadi mimpi buruk, menyakitkan.
“Duryudana
pasti telah merencanakan kebakaran ini, Kurawa selalu mengharapkan
kematian Pandawa. Akan tetapi, mengapa harus dengan cara seperti ini?”
suara penghuni Warawanata itu terdengar bersama isak tangis serta
penyesalan yang teramat dalam.
Malam
yang semula sehitam jelaga, kini berubah terang benderang, jilatan api
membumbung tinggi, panas, dan menakutkan. Semua orang menduga, tak
satupun dari penghuni istana papan kayu selamat dari kobaran api,
terlebih Pandawa yang selalu disisihkan oleh Kurawa. Isak tangis ibu-ibu
tak tertahankan, mereka sangat mengasihi dan menghormati Pandawa
beserta ibu agung Kunthi. Calon pewaris tahta Astinapura yang lebih
cakap serta bijak pemimpin. Bagaimana kelima satria itu akhirnya akan
dapat memimpin kerajaan, kobaran api dari kebencian Kurawa telah
menyudahi keinginan itu?
Tak
seorang pun tahu, tidak juga penghuni Warawanata, bahkan Kurawa dan
Destarastra sementara api terus berkobaran dengan satu keyakinan, bahwa
Kunti dan Pandawa telah tewas terbakar. Sesungguhnya orang yang
semestinya menjadi korban pembunuhan terencana dengan dalih seolah telah
terjadi kecelakaan, kini berada dalam keadaan sehat. Enam orang itu
berjalan menunduk, menyusuri terowongan hingga kehabisan tenaga.
Sungguhpun tak seorang pun tahu akan penyelamatan ini, akan tetapi
Pandawa dihantui rasa takut, mereka merasa seolah-olah Kurawa tengah
mengejar melalui terowongan yang sama.
Ketika
akhirnya fajar memecah Pandawa bersama Kunthi telah sampai di tengah
hutan, jerih payah menggali serta berjalan menunduk di sepanjang
terowongan telah berakhir. Akan tetapi, sebuah perjalanan panjang arah
harus kembali ditempuh, mereka harus mampu menyelamatkan diri. Kurawa
bukanlah saudara sepupu yang berwenang akan hidup mati kelima Pandawa
dan ibu agung.
Di
hutan Warawanata fajar memecah dengan gelisah, istana papan kayu yang
indah telah runtuh menjadi gundukan arang, api masih menjilat, asap
masih mengepul. Tak seorang pun penghuni menampakkan diri, tidak juga
Pandawa. Suasana di hutan itu diliputi duka cita, tak tampak wajah
tersenyum, penghuni Warawanata kini adalah rakyat kecil yang
ditinggalkan pemimpin dengan cara yang tragis dan mengerikan. Seisi
kampung berkumpul di seputar tempat kebakaran, sia-sia mendapatkan tanda
kehidupan Pandawa. Lima satria dan ibu agung Kunthi tak ada tampak
bayang dirinya.
Sekelompok
pemuka kampung segera memacu kuda, menuju Astina Pura bagi sebuah kabar
duka. Destarastra harus mengetahui perihal terakhir keadaan Pandawa,
keponakannya, betapapun buruk keadaan itu. Pemuka kampung diterima
Destarastra dengan sepasang mata buta, ia tak pernah mengenal
wajah-wajah itu, akan tetapi kata-kata yang terucap disimak dengan baik.
“Mohon ampun yang mulia baginda raja, kami datang bagi sebuah kabar
duka”, suara itu terbata-bata diselingi isak tangis.
“Kabar
duka apa yang hendak engkau sampaikan?” andai mampu menatap,
Destarastra akan melihat, betapa pucat, lelah, dan memilukan wajah itu,
wajah orang-orang yang kehilangan pemimpin. Akan tetapi, sepasang
matanya hanya mampu melihat gelap, semakin gelap seakan malam tak
berkesudahan.
“Sekali
lagi beribu ampun, istana kayu Waranawatha terbakar habis malam tadi,
tiada yang bersisa. Kami tak dapat menjumpai seorang pun dari kelima
Pandawa, tidak juga ibu agung Kunthi, semuanya hangus terbakar api”,
suara tangis tertahan kemudian senyap.
Di
singgasana Destarstra duduk terpaku, napasnya seakan terhenti,
perasaannya berkecamuk seakan perang besar yang tengah menumpahkan
darah. Ia sangat menyanyangi Pandawa, kelima satria itu tak ubahnya
seperti anak-anak kandung yang mesti dibesarkan dengan cinta kasih. Ia
juga tak pernah membenci Kunthi, akan tetapi sikap Kurawa yang tak
pernah merasa nyaman ketika Pandawa berada di seputar istana, tekanannya
yang semakin berat dari hari ke hari, menyebabkan ia terancam. Ia tak
menaruh curiga terhadap rencana-rencana jahat Duryudana terhadap saudara
sepupu yang tak pernah sedikitpun berniat mencelakainya. Sesaat
sepasang mata yang buta itu memejam, Destarastra membayangkan malam
celaka itu ketika api melahap seisi istana, sementara Pandawa dan Kunthi
tengah tertidur lelap di dalamnya. Tanpa terasa air mata raja yang
malang itu menetes. Ia berada pada tempat yang terpojok, andai Duryudana
tidak terus menerus mendesak, mengirim Pandawa ke hutan Waranawata,
adakah musibah ini akan terjadi?
Ia
akan terbebas dari tekanan seratus Kurawa, karena seluruh anaknya
membenci Pandawa. Akan tetapi, apa bedanya? Jasad satria tak bersalah
itu bahkan tak dapat dimakamkan dengan layak. Ia menyimpan satu rahasia
menyakitkan yang tak akan dibahas dengan siapapun, Kurawa merencanakan
kunjungan Pandawa ke Warawanata kemudian mengatur kebakaran itu,
sehingga tak ada satu pihak pun yang dapat bersaing memperebutkan tahta.
Sebuah sikap licik dan curang yang tak mudah dimaafkan, namun ia tak
berwenang pula menuntut pertanggungjawaban. Duryudana terlalu pandai
meyangkal, sesungguhnya ia bahkan tidak mampu bersikap adil manakala
berada di bawah tekanan anak-anak yang dicintainya. Ia bukan seorang
raja bijak yang mampu mengendalikan perilaku seratus anak-anaknya.
Kepala
Destarastra terkulai, ia berusaha keras menahan sedu sedan, ia tak
pantas menangis di atas singgasana, di depan rakyat kecil berhati mulia
yang tengah menyampaikan kabar duka. Destarastra tak tahu mana yang
lebih menyakitkan, kehilangan lima orang keponakan bersama seorang ibu
pada sebuah musibah kebakaran atau kenyataan pahit, bahwa anak-anak yang
dirindukan sejak hari kelahiran ternyata tidak ditakdirkan memiliki
watak satria. Watak yang semestinya menurun dari kedua orang tua
sekaligus terbangun, karena pendidikan budi pekerti yang tinggi selaku
anak-anak seorang raja. Destarastra tiba-tiba merasa usianya bertambah
semakin tua tanpa melalui hitungan hari yang seharusnya. Ia bukan hanya
buta sepasang matanya, ia buta memberikan pendidikan budi pekerti luhur
kepada anak-anaknya. Rasa cinta berlebihan kepada Kurawa membuat
sepasang matanya yang buta semakin gelap adanya.
Sementara
berita kebakaran istana papan kayu di Waranawata segera menyebar ke
seisi istana dan seluruh kerajaan. Darah Bhisma yang agung tersirap,
jantungnya berdetak kencang, sepasang kakinya gemetar, andai ia bisa
meraung-raung merubuhkan seluruh dinding istana. Langkah Bhisma setengah
berlari ketika menuju istal, ia menarik tali kekang kemudian memacu
kuda perang dalam kecepatan tinggi. Ia tak pernah mempercayai sebuah
kabar, terlebih kabar kematian Pandawa, tanpa menyaksikan sendiri
keadaan terakhir saat anak cucunya meregang nyawa.
Di
sepanjang jalan debu mengepul, Bhisma, sang kesatria bhrahmana
melupakan rasa lelah, ia terlalu berduka, terlalu kehilangan, dan merasa
terlalu dungu. Ia tak menaruh curiga terhadap kunjungan Pandawa ke
hutan indah Warawanata dengan alasan rakyat merindukan sekaligus
pemujaan agung Bathara Siwa. Kini, apa yang akhirnya terjadi dengan
kunjungan itu, Pandawa dan ibu Kunthi telah hangus sehitam arang, serupa
debu. Benarkah kebakaran itu adalah suatu musibah tiba-tiba, atau
Kurawa yang membenci Pandawa telah menyediakan perangkap bagi kematian
itu? Dada kesatria bhrahmana itu terasa sesak, ia tak akan sanggup
kehilangan Pandawa tewas mengenaskan dengan cara seperti ini. Ia telah
bersumpah tak akan menikah, tak akan memiliki keturunan untuk
menghindarkan pertikaian antara anak-anak yang dilahirkan dengan
anak-anak Satyawati akan tahta Astinapura. Ternyata sumpah itu hanya
menunda satu generasi pertikaian, anak-anaknya dan anak-anak Satyawati
memang tak pernah bertikai, akan tetapi perselisihan antara Kurawa dan
Pandawa sejak dini memang tak pernah dapat dihindarkan. Kurawa tak
pernah rela melihat kecakapan serta kemampuan Pandawa menempatkan diri
di lingkungan kerajaan, sehingga rakyat Astinapura mencintainya.
Demikianlah akhir perselisishan dua saudara sepupu?
Bhisma
terus memacu kuda, ia seakan dirasuki kekuatan setan untuk segera
mencapai Waranawata dalam waktu yang lebih singkat dari perjalanan yang
pernah ditempuh Pandawa dan ibu Kunthi. Ia tak sabar mencapai istana
yang hanya menyisakan puing, ia ingin membuktikan pertanda, bahwa
Pandawa benar tewas secara mengenaskan terbakar api. Ia mengharap sebuah
kemungkinan, bahwa Pandawa selamat, ia masih dapat bersua dengan lima
satria dan ibu Kunthi dalam keadaan sehat.
Harapan
Bhisma sirna ketika ia terduduk bersimpuh di depan puing-puing
berserakan, tak ada yang tersisa dari keseluruhan istana kayu kecuali
arang dan abu. “Tidak….!!!!” Suara meraung itu sedemikian dasyat seakan
merobek langit, menggugurkan daun-daun, menghentikan aliran sungai.
Seisi kampung Waranawata kembali berkumpul di seputar puing-puing, api
telah padam. Semuanya menatap Bhisma yang tengah berduka dengan tatapan
hampa, andai Pandawa meninggal, karena usia tua, bukan karena musibah
kebakaran pada tengah malam.
Bhisma
menahan isak tangis, meski merasa sedemikian berduka, pantang bagi
seorang kesatria meraung-raung di tengah rakyat banyak, mereka sama
berduka dengan dirinya. Dibantu sekalian masyarakat Waranawata Bhisma
membongkar seluruh reruntuhan, ia harus mendapatkan bukti, sisa-sisa
senjata Pandawa yang tak akan meleleh terbakar, dalam jilatan api yang
paling besar sekalipun. Aneh, Bhisma tak mendapatkan bukti itu. Seluruh
istana benar telah runtuh, akan tetapi tak menyisakan senjata Pandawa
yang pastinya tertinggal saat mereka lengah dilahap lidah api. Demikian
pula perhiasan yang biasa dikenakan Pandawa yang terbuat dari logam
serta batu mulia. Berserakan pula sisa tulang belulang, Bhisma tidak
yakin, atau ia menolak suatu keyakinan, bahwa tulang belulang itu adalah
jasad tersisa Pandawa dan Ibu Kunthi.
Secercah
harapan muncul, adakah Pandawa dan Ibu Kunthi berhasil menyelamatkan
diri pada musibah mengerikan ini? Andai ia menerima pembenaran atas
harapan ini? Sepasang mata Bhisma memejam, kalaulah Pandawa selamat,
akankah mereka dapat kembali diterima Kurawa, atau kebakaran ini hanya
sebuah mula dari sebuah pertikaian besar yang tak akan pernah dapat
terhindarkan, karena satu alasan – tahta.
Bhisma
merasa seluruh tubuhnya lunglai, ia tak banyak berucap saat menerima
hormat dari sekalian masyarakat Waranawata, ketika mereka sekedar
menjamu dengan hidangan sekedarnya, membuka pintu rumah untuk sekedar
berisitirahat untuk kemudian memacu kuda secepat kilat kembali ke
Astinapura. Mulut bhrahmana satria itu membungkam, sebuah beban menindis
kepalanya seakan bongkah batu yang menimbulkan rasa sakit dan nyeri.
Sampai
di Astinapura, upacara pemakaman tengah diselenggarakan, Destarastra,
Kurawa, dan seluruh kerabat istana hadir dalam pakaian berkabung dan
wajah duka. Bahkan Kurawa terlalu pintar bersandiwara, wajah seratus
putra Destarastra itu tak kalah sendu dengan wajah kerabat istana.
Dalam barisan panjang menuju Sungai Gangga bagi upacara pemakaman tanpa
jenasah Pandawa tampak pula Mahatma Widura. Andai Destarastra mampu
melihat, ia akan tahu, di antara seluruh wajah berduka hanya Mahatma
Widura yang tampak sedemikian tenang, ia tidak sedang berkabung, ia
sedang berdoa bagi keselamatan Pandawa dan Ibu Kunthi. Ketika melihat
wajah Bhisma sedemikian pucat dan hampa, Mahatma Widura mendekat dan
berbisik.
“Bhisma
Yang Agung, apa yang kesatria bhrahmana dapatkan di Waranawata? Adakah
tersisa perhiasan atau persenjataan Pandawa?” suara itu tenang dan
ringan.
Bhisma
terhenyak, ia menatap Mahatma Widura dengan bimbang. Apa yang diketahui
si cerdik ini? Perlahan Bhisma menggelengkan kepala, tenggorokannya
seakan tercekik, nyeri, dan sakit. Ia terlalu ingin memenuhi harapan,
bahwa Pandawa masih hidup dalam keadaan selamat sekalipun berada pada
suatu tempat yang tak mudah dikunjungi.
“Andai
benar tak tersisa perhiasan serta senjata yang biasa dikenakan Pandawa,
artinya benda-benda itu telah selamat pula dari api kebakaran yang
telah sengaja direncanakan. Telah kuperintahkan orang-orang menggali
terowongan dari ruang tidur menuju hutan, suatu tempat aman, jauh dari
kobaran api. Dengan satu syarat, bahwa api itu bukanlah api kebencian.
Kebencian tak akan pernah padam sekalipun istana papan kayu telah hangus
tak bersisa pula senjata serta perhiasan Pandawa pada reruntuhan”,
pandangan Mahatma Widura demikian lembut ketika menatap Bhisma, ia tahu
hati kesatria tua sedemikian galau dengan kebakaran di Waranawata.
Sepasang
mata Bhisma membelalak lebar, menatap Mahatma Widura, duka hati sekejab
sirna, ia tak meragukan kejujuran serta kecerdikan perdana menteri ini,
seorang pengambil keputusan yang mampu berdiri di tengah-tengah tanpa
kekerasan. Tanda sadar Bhisma menghela napas panjang, dadanya yang sesak
kini terasa lapang, ia berada dengan seorang bijak yang mampu mengambil
tindakan tepat pada saat genting. Tak salah kiranya Mahatma Widura
menjabat selaku perdana menteri. “Lalu untuk apa upacara pemakaman ini
diselenggarakan?”
“Untuk meyakinkan Kurawa, bahwa Pandawa telah tiada”, ucapan Mahatma Widura perlahan, nyaris berbisik. Ia mengangguk sesaat, memberikan pertanda percakapan rahasia ini usai, kemudian menyatukan diri dalam iring-irringan panjang, upacara pemakaman tanpa lima jenazah Pandawa dan Ibu Kunthi. Widura masih dapat menatap wajah duka pada seratus orang Kurawa, perdana menteri itu membuang pandang, ia tahu wajah itu tak sesuai dengan suasana hati yang tengah bersuka ria, karena upacara pemakaman ini. Keinginan Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa telah berhasil. Akan tetapi, dimana sesungguhnya Pandawa dan ibu agung Kunthi?
“Untuk meyakinkan Kurawa, bahwa Pandawa telah tiada”, ucapan Mahatma Widura perlahan, nyaris berbisik. Ia mengangguk sesaat, memberikan pertanda percakapan rahasia ini usai, kemudian menyatukan diri dalam iring-irringan panjang, upacara pemakaman tanpa lima jenazah Pandawa dan Ibu Kunthi. Widura masih dapat menatap wajah duka pada seratus orang Kurawa, perdana menteri itu membuang pandang, ia tahu wajah itu tak sesuai dengan suasana hati yang tengah bersuka ria, karena upacara pemakaman ini. Keinginan Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa telah berhasil. Akan tetapi, dimana sesungguhnya Pandawa dan ibu agung Kunthi?
Jauh
di tengah hutan setelah melarikan diri melewati terowongan panjang,
Pandawa dan Kunthi akhirnya dapat kembali menghirup udara segar serta
bersentuhan dengan hangat sinar mentari. Enam orang itu terduduk di atas
akar-akar pohon dalam lelah tiada tara, tak ada suara apapun di tengah
hutan yang rimbun itu kecuali kicau burung dan tetes embun jatuh. Kunthi
telah kehabisan tenaga, ia tak mampu lagi melangkah, tenaganya tak
sekuat lima orang Pandawa. Akan tetapi pelarian tak boleh berhenti
sampai di sini. Kemungkinan terburuk adalah andai Kurawa menyangsikan
kebakaran itu, karena Purachana dan kaki tangannya telah tewas tanpa
ujud. Maka sepasukan pengawal bayaran akan mengejar, memastikan
kematiannya. Pandawa menyadari, betapa berharga sesungguhnya kehidupan.
Mereka sungguh tak ingin mati di tangan licik Kurawa, mereka telah cukup
bersabar bagi kelicikan itu. Sampai kapan kesabaran itu harus menjadi
suatu alasan perdamaian?
“Kita
harus tetap berjalan ibu”, Bhima menggendong Kunthi pada punggungnya,
merangkul Nakula dan Sadewa di dada, menuntun Yudhistira pada tangan
kiri dan kanan. Iapun terus melangkah, menembus hutan menjauh dari asap
kebakaran, Pandawa kedua iu terus berjalan hingga lelah sungguh dan
langkah kaki sampai di tepi Sungai Gangga.
Seorang
pendayung dengan sampan telah menunggu, dengan hormat pendayung itu
mengangguk kemudian berbisik, “Yang mulia Mahatma Widura meminta saya
untuk menunggu”, kata-kata itu diucapkan dengan hormat, Yudistira dapat
merasakan kejujuran pada tatapan sepasang mata laki-laki itu.
Pandawa
menghela napas panjang, mereka merasa lelah tiada terkira. Rasa lelah
itu semakin menjadi ketika masing-masing menyadari, tak seorangpun dari
Pandawa memiliki tempat aman di Astinapura. Istana adalah bayangan yang
terlalu jauh untuk dicapai, atau lebih baik disingkirkan jauh-jauh dari
pikiran. Tak ada pilihan lain kecuali beristirahat di tengah hutan, di
tepi sungai menunggu gelap tiba sebelum menyeberang ke tempat yang
aman. Perbekalan apa adanya dibuka, demikianlah keadaan sengsara ketika
lima satria dan seorang ibu berjuang bagi berharganya nilai kehidupan.
Waktupun
terus berjalan, mengubah terang menjadi gelap, lembayung sinar mentari
sekejab padam berganti menjadi cahaya redup sepotong bulan dan
bintang-bintang. Dengan hati-hati Pandawa dan Kunthi menempatkan diri di
atas sampan, dayung dikayuh, sampan bergerak menuju seberang. Andai
kaki tangan Kurawa mengejar, niscaya mereka tak akan mudah mencapai
tanpa adanya bantuan sampan. Tak seorang pun berucap di atas sampan
dalam hembusan angin yang dingin hingga sampan merapat ke tepi.
“Suatu
kehormatan, bahwa hamba dapat menyertai lima Pandawa dan ibu agung
Kunthi menyberangi Sungai Gangga, kiranya keselamatan dan perlindungan
Dewata senantiasa hadir bersama”, masih dengan sikap hormat dan santun
tukang sampan melepaskan Pandawa dan Kunthi untuk meneruskan perjalanan,
menembus hutan. Masih ada satu tugas mulia adalah menyampaikan perihal
keselamatan Pandawa dan Kunthi kepada Mahatma Widura, sebuah rahasia
yang akan tetap terbungkus hingga mati.
“Tak
akan pernah kami lupakan budi baik paman, kiranya Dewata akan
mempertemukan kita dalam keadaan yang lebih baik”, Yudhistira mewakili
Pandawa mengucap terima kasih kemudian kembali memimpin rombongan kecil
menembus hutan.
Sesekali
mereka menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada kaki tangan Kurawa
yang datang mengejar. Rombongan kecil itu terus berjalan hingga Kunthi
akhirnya mengeluh, “Sudah terlalu jauh kita melangkah, ibu tak sanggup
lagi. Andai kaki tangan Kurawa mengejar sampai di tempat ini, mungkin
memang sudah datang waktunya bagi kita”, tanpa menunggu jawab Kunthi
menghentikan langkah, sepasang kakinya tak mampu lagi digerakkan,
napasnya hampir putus, seluruh tubuhnya telah basah keringat. Tak
tersisa lagi sedikit tenaga untuk terus melangkah, wanita agung itu
merebahkan dirinya pada akar pohon, merasakan otot-otonya yang tegang
perlahan mengendur. Suasana di seputar hutan demikian sunyi dan diam,
Pandawa tak dapat menolak permintaan Kunthi. Merekapun sudah sedemikian
lelah dan kesakitan, lima satria melakukan hal yang sama, menghentikan
langkah kemudian merebahkan diri pada akar-akar pohon yang mencuat,
menyatu dengan hening alam.
Hanya
Bhima yang tak merasa lelah, kekuatannya berada di atas kemampuan
satria biasa. Ia segera mengumpulkan dahan serta ranting kering,
menyulutnya dengan api. Suasana yang semula gelap gulita perlahan
berubah menjadi remang dalam lidah api. Hati Bhima seakan teriris ketika
menyaksikan ibunda beserta empat saudara yang lain rebah di atas
akar-akar pohon selayaknya pengembara yang tak memiliki rumah tinggal.
Ia tak pernah mengira, sebagai keturunan raja akhirnya akan mengalami
hari-hari mencekam seperti ini. Apa sesungguhnya kesalahan Pandawa,
kecuali Yudhistira lebih berhak akan tahta?
Setelah
nyala api membesar, perlahan Bhima bergerak ia harus mendapatkan air,
ia tak akan membiarkan ibunda dan satria Pandawa yang lain mendapat
celaka, karena kehausan. Bhima memungut sepotong kayu yang masih
menyala sebagai penerang, menuju suatu arah untuk mendapatkan sumber
air, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah telaga dengan air sejernih
kaca. Pandawa kedua itu melepas dahaga, membasuh seluruh tubuh dengan
air dingin kemudian merasakan kesejukan. Ia memetik pula daun-daun
berukuran lebar untuk menampung air bagi saudaranya yang kehausan.
Sebuah upaya yang tak sia-sia, air telaga itu segera diteguk dengan
nikmat oleh empat Pandawa yang lain beserta Kunthi kemudian mereka
kembali rebah di atas akar-akar pohonm, tertidur.
Bhima
meletakkan kembali dahan-dahan kering di atas unggun supaya api tetap
menyala, di seputar hutan benar gelap semata. Tak terdengar suara
apa-apa, kecuali lolongan binatang malam, angin dingin berkesiur
menyentuh dedaunan seakan bisikan sendu sekelompok manusia yang
kehilangan rumah tinggal. Bhima tak berani mengatupkan sepasang mata, ia
tetap berjaga-jaga, tenggelam dalam hening alam, ketika daun-daun
menghijau bersentuhan antara yang satu dengan yang lain seakan atap
peneduh bagi manusia yang terancam. Tak pernah daun yang satu mematahkan
helai yang lain, lembaran-lembaran itu sama indahnya bahkan kita gelap
menyergap. Mengapa manusia tak bisa hidup berdampingan dan bersentuhan
dengan lembut tanpa pertikaian seperti halnya dedaunan. Setelah
perjalanan ke Warawanata yang mengerikan, sesaat Bhima mendapatkan
kembali apa arti damai, suasana alam yang berada terlalu jauh dari
pertikaian.
Keesokan
harinya mereka kembali meneruskan perjalanan setelah singgah di tepi
telaga untuk sekedar membersihkan diri dan menolak dahaga. Di sepanjang
perjalanan Bhima dengan cermat memperhatikan keadaan sekitar, ia selalu
mendapatkan buah-buahan dan binatang hutan sebagai bahan santapan. Pada
anak-anak sungai mereka mendapatkan air kehidupan untuk sebuah
perjalanan yang tidak diketahui dimana ujungnya. Berhari-hari dengan
mengandalkan buah-buahan, binatang hutan, dan air kali rombongan kecil
itu bertahan hidup, hingga akhirnya perjalanan yang melelahkan itu
mendekati titik akhir ketika terjadi pertemuan dengan Bagawan Wyasa.
Orang
tua bijak itu menerima kehadiran Pandawa dan ibu Kunthi dengan segala
rasa iba, sepasang tangannya terbuka. “Kehidupan hanya dua warna yang
selalu berubah, hitam dan putih, gelap dan terang, keduanya selalu
berganti tak dapat dipisahkan. Seperti halnya air laut, yang selalu
pasang untuk kemudian surut, akan tetapi, pandangan harus selalu lurus
ke depan, jangan menoleh ke kiri atau ke kanan. Suatu saat yang benar
akan tampak benar dan yang salah akan tampak salah, Sang Maha Pencipta
melihat semuanya. Selamat datang di rumah tinggal seorang Bagawan yang
sederhana. Beristirahatlah”, senyum Bagawan Wyasa demikian arif dan
bijaksana, seorang tua yang telah mengenyam asam garam kehidupan, cukup
memahami segala yang terjadi pada diri Pandawa dengan mata batinnya. Ia
tahu siapa sesungguhnya Kurawa dan tahu siapa pula sesungguhnya Pandawa,
bahwa lima satria bersama ibu agung Kunthi telah bertandang ke rumahnya
dalam keadaan terlunta-lunta adalah sebuah kehadiran yang tak
disangka-sangka. Akan tetapi, ia tak kehilangan apa-apa dan tak rugi
apa-apa menerima kedatangan ini, ia bahkan wajib memberikan dorongan
moral kepada para pangeran yang terbuang.
“Terima
kasih atas kebaikan dan kerelaan hati Bagawan, kami perlu sejenak
berisitirahat sebelum meneruskan perjalanan,“ Yudistira merapatkan kedua
tangan di dada sambil membungkukkan badannya, andai Bagawan Wyasa
enggan menerima kehadiran ini, karena takut terhadap tindakan Kurawa,
maka ia harus kembali melangkah menemukan rumah berikutnya.
Beristirahat
di bawah atap, menikmati sekedar makanan dan minuman yang dimasak dari
hati yang tulus sungguh merupakan kekuatan dan tenaga baru bagi Pandawa
dan Kunthi. Sejenak mereka melupakan perjalanan panjang dan melelahkan
dari hutan Warawantha hingga sampai di depan pintu rumah Bagawan Wyasa.
Akan tetapi, mereka masih harus menuju suatu tempat yang lebih jauh
dari jangkauan Kurawa, sehingga tak seorangpun dari satu Kurawa tahu,
bahwa Pandawa dan Kunthi masih selamat, sungguhpun istana indah dari
papan kayu di Warawanatha telah runtuh terbakar api. Untuk sementara
Pandawa masih dapat menghilangkan jejak, akan tetapi sampai kapan? Tak
seorang pun mampu menyembunyikan jati diri yang sebenarnya, meski dalam
waktu yang cukup lama.
Ketika
telah merasa cukup beristirahat dan siap berpamit, Bagawan Wyasa
berpesan, “Lebih baik Pandawa berlima dan ibu agung Kunthi berpakaian
selayaknya brahmana, dengan demikian tak seorangpun mengira Pandawa
dapat selamat dari kobaran api di istana papan kayu Warawanatha”,
dengan sikap tulus Bagawan Wyasa mengulurkan enam potong pakaian
brahmana.
Sebuah
usul yang bijak dan cerdik, hanya orang yang sangat lihai dan cermat
dapat mengenali jati diri Pandawa sesungguhnya di balik bersahaja
pakaian brahmana. Kabar duka, bahwa Pandawa tewas mengenaskan dalam
kobaran lidah api di hutan Warawanatha telah menyebar. Sementara upacara
pemakaman di Sungai Gangga secara pasti mengukukuhkan kabar duka itu.
Dengan takjim Pandawa dan Kunthi menerima kemudian mengenakan pakaian
brahmana itu. Bukan suatu hal yang mudah menanggalkan jati diri
kemudian tampil di hadapan khlayak ramai dengan suatu jati diri lain
yang tidak pernah sekalipun terbayangkan. Akan tetapi, adakah pilihan
yang lebih baik. Pandawa harus merelakan jati diri lima orang pengeran
dan satria terpilih Astinapura sebagai langkah penyelamatan.
“Yang
teramat bijak Bagawan Wyasa, kami berpamit. Terima kasih yang amat
dalam untuk semua kebajikan ini, kiranya Yang Maha Pencipta akan selalu
menyertai. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih, semoga akan ada waktu
untuk kembali bersua dalam keadaan yang lebih baik”, Yudhistira menahan
getaran hati, karena rasa haru yang dalam, suatu kemurahan, bahwa dalam
keadaan terancam dan terlunta-lunta masih ada seorang tua yang rela hati
menerima kehadirannya dengan kemungkinan paling buruk akan mendapatkan
siksa dari Kurawa.
“Selamat
jalan, semoga akan sampai di tempat aman dalam keadaan selamat”,
Bagawan Wyasa mengatupkan pula telapak tangan di dada, ia telah cukup
tua untuk memahami pertikaian dunia, perebutan kekuasaan dan tahta.
Dalam hal ini ia merasa tidak salah memilih jalan hidup sebagai seorang
bagawan yang jauh dari kemilau dan riuh rendah kehidupan istana.
Pandawa
masih satu kali menoleh untuk melambaikan tangan kepada Bawagan Wyasa,
sebelum akhirnya berjalan lurus ke depan, menjauh dari Warawantha dan
Astinapura. Pada sertiap punggung adalah perbekalan apa adanya serta
perhiasan dan senjata yang sengaja disembunyikan. Ada satu tempat yang
mesti dituju untuk meneruskan kehidupan dan mendapatkan keselamatan,
kota Ekacakra. Suatu perjalanan yang harus ditempuh dengan hati-hati dan
tidak mudah, akan tetapi akhirnya sampai juga pada tujuannya. Pakaian
brahmana yang melindungi tubuh dari jati diri sesungguhnya, menyebabkan
kehadiran Pandawa diterima dengan tangan terbuka oleh seorang brahmana.
Di rumah sederhana inilah untuk sementara Pandawa dan Kunthi menetap,
sejenak menghela napas dari ketakutan akan keinginan membunuh Kurawa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar