Jumat, 07 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 13, Istana dari Papan Kayu



  


Suara serta pendapat dari sekalian rakyat Astinapura terdengar bagai hembusan angin yang semakin hari semakin kencang, meniupkan bara yang membakar di hati Duryudana. Suara itu terbawa udara hingga menembus dinding istana yang seakan mampu pula berucap, “Dari seluruh pangeran, kiranya Yudhistira yang tepat menjadi raja. Seribu maaf, ia masih bisa menatap dengan sepasang matanya, tidak seperti halnya Destarastra yang hanya mampu mendengar, tapi tak dapat melihat apa-apa”.
“Benar, kita telah tahu betapa bijak Yudhistira, betapa perkasa Bhima, Arjuna tak terkalahkan dalam ilmu berperang, dan si kembar Nakula Sadewa melengkapi kelima satria dalam memimpin Astinapura”, suara dari seorang yang lain terdengar pula hingga ke istana.
“Duryudana dan adik adiknya terlalu tinggi hati, seperti halnya sang ayah, ia tidak layak dinobatkan sebagai raja”, suara itu bahkan terdengar lebih kuat dari hembusan angin lesus.
Duryudana merasa bara yang menyala di dalam diri perlahan menyala menjadi pijar api hingga akhirnya berkobar, ia tahu ia tak akan pernah dapat memadamkan. Kurawa pertama yang selalu  mengira dirinya kelak layak dinobatkan sebagai raja mengepalkan tangannya. Ia dan seisi istana telah tahu tentang suara rakyat, satu hal  yang semakin hari semakin menyakiti hati, sungguhpun ia sulung Kurawa, akan tetapi tidak dapat merebut hati orang banyak yang mesti dipimpin menuju kemakmuran. Apa arti mahkota tanpa cinta dari rakyat jelata?
Andai Pandawa, lima orang saudara sepupu menetap pula di istana sebagai lima satria yang berhati perwira, adakah suara rakyat akan menyudutkannya? Kurawa tak dapat menyadari, betapa ia telah melangkah terlalu jauh. Sebenarnya tak pernah ada yang salah pada diri Pandawa. Lima satria itu berhak akan pujian masyarakat, karena sikapnya yang gagah. Andai ia dapat meneladani sikap Pandawa. Bukan menyalahkan sebagai kambing hitam, karena tidak mendapatkan simpati dari khalayak. Kurawa terlalu tinggi hati untuk mengakui kekurangan, sang ayah yang hanya dapat menatap gelap lalai memberikan nasehat bijak, bahwa bertahta selaku raja bukanlah satu-satunya tujuan. Ada yang lebih mulia dlam hidup, ia berlaku sesuai etika, sehingga seorang tetap menjadi bagian dari  yang lain tanpa perlu perselisihan, terlebih kekerasan.
“Tidakkah ayahanda raja telah mendengar suara rakyat Astinapura, mereka lebih memilih Yudhistira selaku raja dengan didampingi empat Pandawa yang lain? Mereka tak menghendaki penobatan Duryudana?” suara Duryudana berat dan kering, ia sungguh merasa gerah dengan kehadiran Pandawa di istana, keberadaan mereka nyata-nyata menjauhkan dirinya dari pilihan rakyat. Wajah pangeran itu tampak merah padam, tangannya masih terkepal, dadanya terasa sesak, di arena pertandingan tak seorang pun Kurawa mampu mengalahkan Arjuna, satria tampan pilih tanding yang membuat nyalinya menjadi kerdil.
Destarastra hanya dapat melihat gelap, akan tetapi pendengarannya demikian tajam, ia dapat mengenali jati diri setiap orang dari nada suara, detak langkah, aroma tubuh serta hembusan napasnya. Kegelapan sepanjang hidup seakan berubah menjadi tabir kelam yang mengatupkan sepasang mata hingga selama-lamanya. Destarastra merasa dirinya selaku seorang raja malang yang tidak mampu menempatkan dirinya selaku pihak tertinggi di dalam suatu kerajaan. Suara dana gerak di sekitarnya seringkali berubah seakan ejekan yang menyakiti hatinya. Sungguh tidak mudah menjalani takdir selaku  orang yang tidak sempurna.
Tak sekalipun ia mampu membayangkan raut wajaah serta sosok tubuh Duryudana serta Kurawa yang lain, akan tetapi Destarastra tahu seratus orang anak yang dilahirkan Gandari memiliki  perilaku yang jauh berbeda dengan Pandawa. Destarastra tak bisa menyangkal, dari suara serta detak langkahnya, ia harus mengakui Yudhistira adalah seorang yang bijak, yang lebih pantas dinobatkan sebagai raja. Empat Pandawa yang lain akan memperkuat tahta Yudhistira dengan seluruh kemampuannya, terlebih cinta rakyat Astinapura. Iapun menyanyangi kelima Pandawa seakan anak kandung yang dilahirkan.
Akan tetapi, ketika akhirnya menyadari, Kurawa tak akan pernah seperti menjadi seperti Pandawa. Jauh di dalam hati Destarastra mengeluh, ia memahami kegundahan Duryudana, ia tahu rasanya kehilangan tahta ketika jarak dengan singgasana ternyata demikian dekat hanya sebatas satu lemparan batu dari lengan yang tidak terlalu kuat. Destarastra menarik napas panjang, tak seharipun ia pernah merasa damai tanpa desakan dari seratus orang anak yang nyata-nyata cemas tersingkir dari tahta. Bukankah Pandawa adalah keturunan raja yang sesungguhnya? Yang tak pernah buta sepasang matanya?
“Tidakkah ayahanda telah mendengar? Apabila nanti benar Pandawa yang berhak akan tahta Astinapura, apakah mereka akan tetap berlaku adil? Akupun putra seorang raja, aku berhak akan tahta”, suara Duryudana setengah gemetar, ia tidak bisa membayangkan ketika pada suatu hari seluruh rakyat Asrinapura dan pejabat istana akan memberikan penghormatan kepada Yudhistira  sebagai raja. Hari itu pasti akan  menjadi hari kematiannya. Bila ia tidak berkeras akan tahta Astinapura, maka segala yang ia kerjakan hari ini, tak ubahnya dengan menggali liang kubur bagi pemakaman dirinya sendiri. Duryudana harus bertindak, kali ini ia meminta pendapat Destarastra.
“Kurawa putraku, sepasang mataku benar buta, setiap hari yang bisa kusaksikan hanya gelap semata. Andai saja aku tidak terlahir sebagai bayi malang, mungkin keadaan akan menjadi lain. Aku tahu kegundahan hatimu, bersabarlah. Istana ini bukan hanya milik Pandawa, akan tetapi juga milik Kurawa, tak seorangpun akan menyingkirkan kita dari istana ini”, Destarastra membujuk Duryudana supaya bersabar. Sesungguhnya, suasana hati raja malang itu lebih gundah dari Kurawa pertama. Iapun tidak bisa membayangkan hari itu, hari ketika Yudhistira bertahta sebagai raja. Cinta kasih kepada seratus anak kandung menyebabkan Destarastra bimbang menentukan sikap. Ternyata tidak mudah berlaku adil, adil bagi Pandawa berarti tidak adil bagi Kurawa. Siapa yang harus ia bela?
“Pandawa seakan duri dalam daging, mereka tidak pernah membuat suasana menjadi damai. Mereka seakan mentertawakan kekalahan kita, Pandawa tidak mengerti kita cukup memiliki dukungan dari banyak pihak. Aswatama, Mahaguru Drona, Mahaguru Kripa, dan Karna. Kita telah memberikan terlalu banyak, mereka tidak akan berpaling dari Kurawa”, Duryudana meneruskan kata-kata. Keduanya tengah duduk berhadapan pada suatu taman yang terjaga dengan baik, sehingga pembicaraan itu tidak mudah didengar siapapun, kecuali sikap cermat Mahatma Widura.
“Apa sebenarnya keinginanmu putraku?” akhirnya Destarastra bertanya.
“Bukankah ayah bisa meminta Pandawa datang ke  Waranawata, hutan yang menghijau dengan rakyat yang selalu menantikan kelima  bersuadara? Saya ingin sejenak merasakan suasana damai di Astinapura tanpa kehadiran Pandawa”, akhirnya Duryudana menyampaikan pula keinginannya, suatu hal yang terlalu sulit untuk ditolak Destarastra, karena setelah pembicaraan itu, Kanika tangan kanan Sangkuni kurang lebihnya menyampaikan hal yang sama dengan Duryudana.
“Mohon ampun paduka, hamba mohon paduka lebih berhati-hati mensikapi Pandawa atau tahta Astinapura akan jatuh ke tangan orang yang tidak sebenarnya. Untuk sementara waktu lebih baik Pandawa beristirahat di Waranawata, hutan yang luas, hijau, dan indah. Dengan demikian Kurawa dapat sejenak merasa damai di istana yang megah ini”, suara Kanika demikian meyakinkan. Ia selalu berada di pihak Kurawa, ia sadar betapa kuat Pandawa, betapa kekuatan itu nyaris sempurna dengan cinta seluruh rakyat Astinapura. Apabila Pandawa memegang tahta Astinapura, adakah ia akan memiliki pula tempat yang mulia di istana ini?
Destarastra yang  buta sepasang matanya dan hanya mampu melihat gelap semata, merasa tatapanya semakin hitam. Ia masih dapat merasakan kesiur angin dingin di taman istana, akan tetapi ia tak dapat melihat kelopak bunga yang dengan indah meliuk, karena hembusan itu. Raja malang itu juga tak pernah tahu, bahwa segala tindak tanduk penghuni istana tak pernah terlepas dari pengamatan Mahatma Widura, juga pada pertemuan singkat dengan Kanika. Destarastra memalingkan wajah, menghela napas panjang, dadanya terasa sesak.  Ia pun merasakan kehadiran Pandawa seakan duri di dalam daging, ia tak mampu menidurkan kebencian seratus anak-anaknya yang semakin hari semakin menyala, hanya menunggu tiupan badai untuk mengobarkannya. Badai itu pasti datang, andai ia tak berkuasa memisahkan.
“Kita tahu betapa kuat kelima Pandawa, di arena pertandingan, tak seorang pun mampu mengalahkan Arjuna. Ada satu hal yang lebih baik, ialah memasang jarak. Waranawata cukup jauh dari Astinapura, kiranya jarak itu cukup sudah untuk menyingkirkan duri yang bersemayam di dalam daging. Bukankah seorang raja selalu ingin putranya kelak duduk bertahta di singgasana?” mulut Kanika manis bermadu, ia sungguh pandai meyakinkan hati Paduka supaya percaya kemudian menyarankan supaya Pandawa berkunjung ke Waranawata.
Destarastra tak mengucap apa-apa, sungguhpun kata-kata Kanika dapat menjadi bahan pertimbangan. Akan  tetapi, mulutnya tiba-tiba menjadi bungkam, sangat berat menyingkirkan Pandawa dari istana. Adakah ia memiliki pilihan lain, atau ia akan terus didesak untuk menjauhkan Pandawa dari istana?
Destarastra masih tetap diam hingga datang hari  berikutnya ketika Duryudana kembali menghadap “Ayahanda, sudahkan yang mulia mempertimbangkan permintaan ananda, kita telah memberi jabatan, pangkat, dan kehormatan kepada orang-orang di sekitar Astina. Mereka telah bersumpah setia kepada Kurawa. Bila Pandawa telah menetap di Waranawata, rakyat Astina akan semakin jauh dari kelima satria, tak ada yang lebih berkuasa di tempat ini, kecuali Kurawa”, Duryudana menatap sang ayah dengan segala harap, ia sungguh cemas andai permintaan itu tak disepakati.
Kali ini Destarastra juga diam, ia berada pada posisi sulit untuk mengambil keputusan? Apa beda Pandawa dan Kurawa? Keduanya adalah satria Astinapura, terlahir dari keturunan yang sama, memiliki hak menduduki tahta. Destarasrtra tak pernah mendapatkan bukti kebencian Pandawa terhadap Kurawa, kelima satria putra Kunthi demikian santun dan berbudi, menjalankan peranan selaku pangeran dari kerajaan besar dengan sebaik-baiknya. Apa sesungguhnya kesalahan sang keponakanm, kecuali Yudhistira memang layak bertahta sebagai raja? Destarastra kembali merasa dadanya seakan dibebani sebongkah batu teramat berat, napasnya terasa sesak. Ia tahu Kurawa akan melakukan tindak kekerasan andai permintaannya tak dikabulkan.
“Tunggulah ….” Hanya satu kata jawaban Destarastra, raja buta itu kemudian berdiri, melangkah dengan pasti meninggalkan Duryudana. Ia memang tidak dapat melihat apa-apa, akan tetapi ia telah mengenal setiap jengkal sudut istana, tak seorang pun perlu memapahnya supaya ia dapat mencapai tujuan. Baginda melangkah dengan galau, betapa ingin ia menumpahkan rasa kesal, akan tetapi kepada siapa? Dan bagaimana? 
Ketika akhirnya memanggil Pandawa untuk menyampaikan maksud hati, Destarastra harus mampu menyusun kata-kata yang indah, ia tak ingin menyakiti hati Pandawa yang sejatinya tak memiliki kesalahan apa-apa, suaranya terdengar lembut dan lemah, “Pandawa putraku, hutan Waranawata sangat indah, rakyat di kampung itu sangat merindukan kehadiran lima satria. Akan diselenggarakan upacara agung pemujaan Batara Siwa, kunjungan Pandawa sangat diharapkan. Tidakkah pangeran berlima senang untuk berlama-lama di tempat yang indah dan ramah itu?” demikian Destarastra berucap dalam bahasa yang santun, ia benar-benar tak ingin melukai hati pangeran yang tidak bersalah.
Kelima Pandawa terdiam, demikian pula seisi balairung. Mahatma Widura dengan cermat mengikuti setiap kata-kata sang raja, menatap wajah gembira Kurawa, karena perintah itu serta memahami perubahan raut wajah Pandawa. Yudhistira tampak terkejut, tetapi ia segera dapat menguasai diri. Benarkah kata-kata yang lembut itu memiliki makna yang indah di sebaliknya, atau hanya sebuah keping perintah bagi rencana berikutnya. Ketika seorang tengah digiring pergi ke tempat lain dengan bahasa yang paling halus sekalipun, sesungguhnya ia tengah disingkirkan. Menetap di Hutan Waranawata berlama-lama, sebuah tempat yang indah dengan masyarakat ramah yang merindukan kehadirannya? Yudhistira saling bertatapan dengan empat Pandawa, sesungguhnya hati kecil Yudhistira meragukan tawaran itu. Benarkah ia harus menjawab kerinduan hati masyarakat Waranawata dalam sebuah upacara agung pemujaan Batara Siwa? Tapi, haruskah ia mengatakan tidak?
Ketika bertatapan dengan Mahatma Widura, Yudhistira dapat melihat perdana menteri itu menganggukkan kepala dengan sebuah kerdipan mata. Pandawa pertama itu tahu, ia tak harus menjalankan perintah tanpa pengawalan dari perdana menteri. Satria itu memberikan sembah kemudian menjawab, “Dengan segala hormat dan senang hati Pandawa dan Ibu Kunthi akan berkunjung ke  Waranawata apabila perlengkapan sudah disiapkan”, seperti biasa Yudhistira yang lurus hati selalu santun dalam berucap, jauh di dasar hati ia merasa tidak nyaman ketika sekejab melirik ke arah Duryudana. Senyum Kurawa pertama itu seakan diliputi misteri. Selubung tabir yang akan dapat terungkap apabila ia meneruskan perintah yang mulia raja.
Niat apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik senyum Duryudana?
“Baiklah, kami akan segera mempersiapkan keperluan dan perlengkapan bagi kunjunganmu ke Warawanata”, Destarastra menganggukan kepalanya, ia tak pernah merencanakan apa-apa, kecuali memenuhi permintaan anak-anak yang dicintainya. Dengan keberangkatan Pandawa dalam waktu lama mungkin suasana di Astinapura akan lebih damai bagi Kurawa.
Pertemuan di baliarung selesai, akan tetapi tidak bagi Duryudana. Ia menemui Purochana, mengucapkan perintah, “Siapkan istana dari papan kayu bagi Pandawa, engkau pasti tahu tugas selanjutnya yang mesti dikerjakan. Aku tak pernah ragu dengan kesetiaanmu”, Duryudana mengulurkan kantung berisi kepingan logam emas yang diterima Purochana dengan wajah berseri-seri. “Berangkatlah pada kesempatan pertama, kirimkan kurir setelah semua selesai”.
Duryudana sangat hati-hati dalam bercakap dengan Purochana, tetapi ia tidak waspada dengan kemampuan Mahatma Widura dalam mencermati setiap perilaku serta persiapan di Warawanata bagi kunjungan Pandawa dan Dewi Kunthi. Apa bedanya memerintah Pandawa berangkat ke Warawanata dengan menyingkirkan lima satria dari kehidupan istana. Mahatma Widura tahu, antara Pandawa dan Kurawa tak pernah  terjalin keakraban, keduanya mulai bermusuhan sejak kedatangan Pandawa dari hutan. Kurawa tak pernah nyaman dengan kehadiran itu. Pangeran dari ayah dan ibu yang lain adalah ancaman bagi kelangsungan penerus tahta. Duryudana nyata-nyata tak hendak kehilangan singgasana. Untuk itu Pandawa perlu disingkirkan dengan hormat ke Warawanata. Orang butapun tahu maksud terselubung itu. Perasaan Mahatma Widura tiba-tiba terasa gelisah ketika ia bertatapan dengan Duryudana. Sepasang mata adalah jendela hati yang mampu mengungkap keinginan terdalam manusia tanpa kata-kata. Mahatma Widura yang bijak dan mampu menatap dengan mata hati bisa menerjemahkan bahasa itu. Ia harus mengambil sikap.
Sementara Duryudana dan sekutunya sibuk mempersiapkan istana serta perlengkapan bagi kunjungan panjang Pandawa. Mahatma Widura juga mempersiapkan segala sesuatu bagi rencana yang paling buruk, ia sungguh-sungguh mengkhawatirkan keselamatan Pandawa. Tatapan Kurawa selalu berpijar bagai nyala bara api ketika berpapasan dengan Pandawa, dua saudara sepupu itu hidup bersama di bawah satu atap istana, akan tetapi tidak pernah memiliki kesesuaian hati. Mahatma Widura tidak berpihak pada salah satu dari keduanya, akan tetapi ia wajib berdiri di tempat yang adil.
Ketika kurir Duryudana datang dengan tergesa ke Astinapura, menyampaikan pesan bahwa istana indah dari papan kayu sudah selesai. Dari kejauhan Mahatma Widura terus mengamati, ia menangkap suatu kesan ganjil pada pertemuan itu, keduanya berbicara dengan suara perlahan, seakan menggenggam sebuah rahasia yang tidak boleh didengar, bahkan oleh dinding istana sekalipun. Akan tetapi, Mahatma Widura yang berpandangan luas serta bijak bestari dapat menangkap kemana arah pembicaraan itu. Sehingga ia bisa menentukan sikap dengan pasti.
Demikian ketika hari keberangkatan itu tiba, sejenak Mahatma Widura memerlukan waktu untuk berbicara dengan Pandawa dan Dewi Kunthi. “Ibu Agung Kunthi dan Pandawa berlima, saya harus menyampaikan pesan. Di dalam kehidupan kita pasti menjumpai banyak musuh, tetapi musuh yang paling berbahaya adalah musuh dalam selimut. Jaraknya terlalu dekat, sehingga niat jahat serta tipu muslihat sulit terbaca kecuali kita bersikap cermat dan hati-hati. Saya tahu pangeran  berlima telah mengerti, siapa sesungguhnya musuh itu. Andai perasaan hati tiba-tiba tidak nyaman, maka kita harus waspada, sekali lagi waspada. Saya tak bisa menyertai keberangkatan ke Waranawata, akan tetapi mempercayakan kepada pengawal yang menyamar demi keselamatan ibu agung Kunthi dan Pandawa,” Mahatma Widura menatap sepasang mata Yudhistira dalam-dalam, hatinya teriris. Ia tahu kemungkinan terburuk yang bakal terjadi di hutan yang indah dengan istana papan kayu yang telah berdiri megah. Kurawa tak pernah memiliki niat baik terhadap Pandawa, ia telah terbukti dengan licik telah berusaha mencelakai Bhima. Kini, apa lagi rencana itu?
Pandawa mendengarkan pesan Mahatma Widura, tatapan tulus dan sarat kata-kata tak terucapkan itu diam-diam membuat bulu kuduk Pandawa meremang. Yudhistira tak menyangkal kebenaran kata-kata itu, ia tahu siapa Mahatma Widura, perdana  menteri itu tak pernah ragu dengan ucapannya. “Kami akan selalu berhati-hati dan siapapun pengawal itu pasti kami mempercayai. Kami berpamit”, mereka saling memberi hormat, sebelum memisahkan itu. Pertemuan singkat itu, Kurawa tak boleh tahu.
Pandawa dan Dewi Kunthi kemudian mohon diri kepada Bhisma, Destarastra, dan pejabat istana yang lain. Kurawa telah hadir terlebih dahulu ke Warawanata, tiba-tiba Yudhistira teringat pada tatapan Kurawa saat Destarastra memintanya berangkat ke Warawanata. Tatapan itu dilumuri  senyum kemenangan, Kurawa tak merasa kehilangan ketika harus berpisah dengan Pandawa. Ia tidak sedang dilepas bagi sebuah kunjungan ke Waranawata, sebuah hutan yang indah dengan masyarakat yang merindukan kehadirannya. Tatapan itu, seakan kemenangan seorang lawan ketika berhasil mengirimkan musuh ke liang kematian. Benar, seperti ucapan Mahatma Widura, tatapan mata Kurawa membuat hatiku tidak nyaman. Kita bukan pergi ke Waranawata untut upacara agung pemujaan Batara Siwa, bukankah telah dua kali Kurawa berusaha mencelakai Bhima? Bukankah sesungguhnya mereka mengharapkan kematian Pandawa? Yudhistira melangkah dengan gelisah, kegelisahan itu menyebar pula kepada Dewi Kunthi dan empat Pandawa yang lain. Akan tetapi, tak sedikit pun rasa gelisah itu tampak pada raut wajah atau sikap laku Pandawa.
Ketika rakyat Astinapura berdiri pada dua tepi jalan melambaikan tangan melepas pergi lima satria didampingi ibu agung beserta dayang dan pemgawal. Pandawa tak henti melambai dan tersenyum, mereka tahu hati rakyat jelata yang lugu, yang memiliki rasa hormat tanpa pamrih. Sementara orang mengiring keberangkatah hingga ke batas wilayah kerajaan, sebagian yang lain bahkan mengikuti terus hingga ke Warawanata.
Semula matahari bersinar cerah, langit biru seakan helai kain sutera yang dibentangkan tiada bertepi, burung-burung riuh berkicau. Iring-iringan panjang itu berjalan menyusuri jalan dari Astinapura menuju hutan Waranawata. Akan tetapi semakin jauh perjalanan perlahan cuaca berubah menjadi mendung, hijau daun seakan terkulai dari tangkainya. Menjelang senja rombongan berhenti untuk beristirahat mendirikan tenda dan  menyalakan api unggun, jarak yang harus ditempuh tidaklah dekat.
“Ibunda, sesungguhnya hatiku sedih menempuh perjalanan ini, segalanya terasa ganjil. Mahatma Widura tampak cemas, ia telah mencium rencana jahat Kurawa. Kita harus harus hati-hati, saya tak pernah menaruh rasa percaya terhadap Duryudana”, akhirnya Yudhistira mengeluh pada Kunthi. Sepasang matanya menatap api unggun dengan galau, esok ia akan sampai setelah Kurawa bersiap memasang perangkap di hutan yang indah itu. Musuh yang paling berbahaya sesungguhnya bersembunyi di balik selimut, demikianlah sesungguhnya Kurawa.
“Tak perlu merasa cemas, kita tidak sendiri. Mahatma Widura telah mengatur pula rencana, kiranya Yang Maha Pencipta selalu bersama kita”, Kunthi menggenggam tangan Yudhistira, perasaannya lebih cemas dari Pandawa pertama, akan tetapi haruskah ia mengelak dari perintah Destarastra?
Sepasang mata Yudhistira masih terus  menatap lidah api yang menyala dari kayu bakar, ia kini menjadi satu bagian kecil dari hutan yang sangat luas. Esok akan sampai di tempat tujuan, selamanya ia harus bersandiwara, berpura-pura tenang ketika hati sebenarnya geram berada di dekat Kurawa. Sikap saudara sepupunya itu tak pernah membuat Pandawa merasa nyaman.
“Sekarang tidurlah, esok kita akan sampai di tempat tujuan”, Kunthi mengakhiri pembicaraan, ia membimbing Yudhistira menuju tenda untuk istirahat sebelum perjalanan pada hari yang terakhir.
Yudhistira memenuhi permintaan ibunda, ia segera membaringkan diri dengan segala pikiran berkecamuk seakan ribuan bintang jatuh. Mengapa ia harus memiliki saudara sepupu yang bernama seratus Kurawa? Semestinya saudara memberikan rasa aman dan hangat dalam kebersamaan di istana, tetapi apa yang terjadi. Dengan sangat halus Kurawa menyingkirkan ke hutan yang sangat jauh dari rakyat dan Astinapura dan ia tak  berkuasa menolak perintah raja. Hingga jauh malam Yudhistira tak bisa memejamkan mata, ketika ia terus berpikir dan akhirnya sampai pada satu keputusan. Bahwa ia beserta empat Pandawa dan Dewi Kunthi tak akan berdiam diri dengan segala niat jahat Kurawa. Perlahan-lahan kesadaran Yudhistira semakin menjauh, sehingga akhirnya ia tertidur.
Keesokan harinya perjalanan diteruskan dalam iring-iringan panjang dan sampai di tempat tujuan menjelang senja. Kurawa menyambut kehadiran itu dengan segala rasa hormat, akan tetapi Pandawa meragukan senyum kemenangan yang tersungging di bibir saudara sepupunya itu. Mereka tetap waspada dan semakin waspada ketika Purochana mempersilakan ibu Kunthi dan Pandawa beristirahat di Istana Siwam – yang berarti istana kesejahteraan, istana  yang indah, akan tetapi terbuat dari papan kayu serta bahan-bahan yang mudah terbakar. Ketika memperhatikan raut wajah Purochana, Yudhistira kembali merasa gelisah, senyum itu terlalu dipaksakan, tatapan mata pelayan itu diliputi ancaman.
“Perasaan saya semakin tidak nyaman, lihatlah istana ini terbuat dari kayu dan bahan-bahan yang mudah terbakar. Saya merasa kita tidak sedang datang bagi sebuah upacara agung Batara Siwa, akan tetapi bagi upacara pemakaman. Tetaplah waspada, tak usah menunjukkan rasa marah atau takut.------------------------, tapi kita mesti mencari celah untuk menyelamatkan diri”, Yudhistira membuka pembicaraan ketika mereka hanya tinggal berenam.
“Ibupun merasa tidak nyaman, Duryudana bisa bertindak apa saja termasuk membunuh kita semua”, Dewi Kunthi tidak bisa menyembunyikan rasa cemas, ia harus hati-hati, ia harus mampu mengatasi ulah licik Kurawa.
Menjelang malam ketika orang yang diperintah Mahatma Widura datang secara rahasia dengan wajah tak kalah cemas, berbisik, “Seribu maaf ibu agung Kunthi, Mahatma Widura memerintahkan saya untuk menggali terowongan dari kamar pribadi menuju keluar dinding istana ini. Bila terjadi apa-apa, kita bisa segera menyelamatkan diri”, wajah pengawal itu menunjukkan kejujuran dan  kesungguhan, ia tidak sedang berdusta, ia tahu betapa penting keselamatan Pandawa dan sang ibu. Ia akan melakukan apa saja bagi keselamatan itu.
Wajah Bhima menjadi merah padam, ia tidak menyangka Kurawa akan tega mencelakakan saudara sepupu dengan cara seperti ini. Pandawa kedua itu  mengepalkan tanggannya, andai saat ini juga ia bisa merobek-robek seluruh tubuh Kurawa. “Sudah berulang kali Kurawa berniat mencelakakan Pandawa, terutama saya, Bhima. Kini mereka dan sekutunya berniat membinasakan kita semua. Ayo, kita diam-diam menggali terowongan, kita harus terlebih dahulu bertindak sebelum Kurawa melaksanakan niatnya.”
“Tapi kita harus tetap bersikap, seolah tidak tahu apa-apa tentang rencana Kurawa, tetaplah tenang dan waspada”, Dewi Kunthi berbisik, diam-diam bulu kuduknya meremang, dengan pahit ia harus menyadari, bahwa saudara satu keturunan bisa demikian membenci, sehingga tega membuat rencana yang sungguh keji. Kini ia semakin tahu, betapa berharga kehidupan dan keselamatan, ia akan melakukan apa saja bagi dua hal yang berharga itu.
“Ibu, saya telah sangat lelah bersandiwara, hidup sedemikian dekat dengan musuh, hanya karena persoalan tahta”, Nakula yang lebih banyak diam akhirnya  mengeluh.
“Kita tak punya pilihan lain kecuali bersandiwara, belum saatnya melakukan perang terbuka”, Arjuna  mencoba menenangkan saudara kembarnya, meski sebenarnya jantungnya berdegup lebih cepat, bergemuruh seakan curahan air terjun.
“Benar, kata-kata ibunda, penggalian terowongan dikerjakan secara diam-diam, kita saling bergantian menjaga. Di luar semua ini, kita tetap menghadiri upacara agung pemujaan Batara Siwa, seolah Kurawa tak memiliki niat buruk apa-apa”, Yudhistira akhirnya mengambil sikap, satria utama itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menentukan tempat yang paling tepat untuk  menggali terowongan secara rahasia, tanpa dapat diketahui pihak Kurawa.
Selanjutnya ahli penggali terowongan bekerja siang malam secara bergantian tanpa dapat diketahui Purochana yang menetap pada sebuah rumah mingil, di samping pintu gerbang istana. Penggalian dimulai dari  bawah kamar tidur istana papan kayu, melewati bagian bawah pagar istana, bagian bawah parit yang mengelilingi istana, dan terus memanjang semakin jauh dari pagar istana hingga ke tengah hutan. Pada malam hari lima Pandawa begantian  menjaga upaya penggalian terowongan sehingga penggalian ini tak akan pernah diketahui Purochana dan kawan-kawannya.
Pada siang hari lima satria bersama ibu agung Kunthi mengikuti keseluruhan rangkaian acara pemujaan Bathara Siwa, hadir di tengah-tengah keramaian dengan sikap tenang seolah-olah tak menyadari niat jahat Kurawa beserta sekutunya. Tatapan dan seluruh tindak tanduk Purochana dan seluruh pembantu di istana itu tak pernah lepas dari pengamatannya. Berulang kali Yudhistira membuang pandang, ia terlalu pandai menyembunyikan kegelisahan. Tatapan mata Purachana selalu tampak seakan sebilah pisau yang siap terayun, tepat menembus di ulu hati, hal itu berarti ia pasti akan masti. Akan tetapi, setiap manusia, terlebih lima Pandawa tak akan membiarkan kematian sia-sia di tangan penjaga istana atas perintah Kurawa. Yudhistira tahu, kebenaran akan penggalian terowongan secara rahasia itu, ia masih bersyukur, masih ada Mahatma Widura di Astina Pura, seorang berhati mulia dengan kecerdikan tiada tara. Widura           tak mampu menghalangi niat jahat Kurawa, akan tetapi ia telah mempersiapkan sebuah jalan keluar, terowongan penyelamatan.
Saat acara berburu tiba, dengan cermat Pandawa mengamati keadaan pada setiap penjuru hutan, wilayah ini termasuk bagian dari rencana penyelamatan. Dimana kiranya arah yang dapat ditempuh tanpa dapat diketahui seorang pun musuh. Kiranya rimbunan hutan ini dialiri pula sebatang anak sungai, Sungai Gangga. Aliran air yang dapat segera menghilangkan jejak, menjauhkan diri dari segala keinginan Kurawa untuk menyeretnya pada kematian. Kelima Pandawa saling bertatapan kemudian menganggukkan kepala, mereka tahu arah mana yang harus dituju.
Adapun upacara pemujaan Bathara Siwa berlangsung dengan khidmad di kuil istana, rangkaian upacara yang sesungguhnya menjadi sangat melelahkan, karena sikap mengancam Puracahana. Sementara Purachana tak pernah menyadari, bahwa setiap tingkah laku serta kata-katanya tak pernah terlepas dari pengamatan Pandawa. Ketika ia mengawasi serta memperhitungkan waktu  yang tepat bagi sebuah niat jahat, demikian pula Pandawa tetap mengamati untuk bersiap mengambil langkah penyelamatan sebelum niat jahat terjadi. Senja, usai pemujaan Batara Siwa kewaspadaan Yudhistira terbukti, ia berada satu atap dengan orang-orang yang memiliki niat jahat, suara berbisik Puracaha tak urung, terdengar juga pada sepasang telinga Yudhistira.
“Lima Pandawa dan Ibu Kunthi telah merasa sangat lelah dengan rangkaian acara pemujaan Bathara Siwa, malam besok waktunya. Setelah istana dari papan kayu terbakar bersama Pandawa dan Kunthi di dalamnya, Kurawa akan memberi kita banyak hadiah….” Suara Purachana terbawa semilir angin, kaki tangan Kurawa itu tak menyadari, bahwa Yudhistira selalu waspada mencermati setiap tingkah laku serta kata-katanya.
Maka lepas senja hari berikutnya Kunthi menyelenggarakan perjamuan agung di istana papan kayu dihadiri seluruh pelayan serta penjaga istana. Aneka hidangan lezat disajikan secara cuma-Cuma, suara music yang merdu memberikan suasana menyenangkan. Kunthi memerlukan beberapa saat berucap di hadapan pelayan dan penjaga istana sebelum perjamuan diteruskan. “Saya, Kunthi, Ibu Pandawa mengucapkan terima kasih atas pelayanan dan keramahan seluruh penghuni Warawanatha. Untuk itu perjamuan ini diselenggarakan, tak ada ritual resmi kecuali ramah tamah, dan mari kita nikmati hidangan yang telah dipersiapkan”, ucapan singkat Kunthi ditanggapi dengan tepuk tangan, akan tetapi diam-diam ibu agung itu merasa bulu kuduknya meremang, ia tak sedang mendengar suara orang bertepuk tangan, ia tengah mendengar suara kutukan bagi kematian seorang ibu beserta lima orang putra tercinta. Ia yakin sudah tentang niat jahat itu, ia tidak terlalu dungu membedakan sikap orang yang  bersahabat atau pura-pura bersahabat. Purachana dan seluruh sekutu Kurawa nyata sudah sebagai musuh dalam selimut, ia dan lima Pandawa telah bersiap menyelamatkan diri dari niat jahat itu. Andai Kurawa telah mempersiapkan istana dari papan kayu yang mudah terbakar, terlebih oleh tangah jahat yang sengaja menyulutnya, ia telah bersiap dengan terowongan sekaligus waktu tepat bagi penyelamatan. 
Pesta terus berlangsung dengan meriah, aneka hidangan tak henti disajikan, demikian pula dengan arak dan anggur. Gelas terus berdenting membaur dengan suara tawa ria yang semakin larut semakin gaduh, karena penjaga dan pelayan mulai mabuk, kehilangan kesadaran. Akan tetapi, tidak dengan Pandawa dan Kunthi, udara beraroma anggur tak menyebabkan lima satria kehilangan waspada. Kunthi terlebih dahulu meninggalkan ruang perjamuan, sebenarnya dengan langkah gemetar, ia tak akan hadir lagi di ruangan ini, Yudhistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa perlahan-lahan  mengikuti langkah Kunthi menuju. Di kamar tidur, terowongan telah digali hingga jauh ke tengah hutan. Empat Pandawa membawa sekedar perbekalan untuk sebuah pelarian yang belum juga diketahui dimana ujungnya, akan tetapi mereka tak dapat meninggalkan istana papan kayu dengan tangan kosong. Pakaian ganti, makanan, dan minuman sungguh diperlukan, atau mereka akan terlantar pada sebuah wilayah tak bertuan tanpa tenaga.
Tak seorang pun tahu ketika Yudhistira berjalan di depan, diikuti Kunthi, Arjuna, Nakula, dan Sadewa mulai berjalan pada langkah pertama, memulai pelarian menuju akhir terowongan yang  terletak di tengah hutan. Bhima masih berada di ruang perjamuan, ia menunggu hingga seluruh pelayan lelah dan mabuk, Purachana dan kaki tangan Kurawa terlena setelah merasa sedemikian kenyang, dan mabuk, karena anggur yang terus mengalir seakan membanjiri ruang perjamuan. Sesaat Bhima menarik napas panjang, andai musibah ini bisa dihindari. Seandainya ia tak perlu menuang minyak kemudian menyulut api hingga seluruh istana papan kayu dan seluruh penghuni hangus terbakar. Akan tetapi, adakah ia punya pilihan? Di istana ini Kurawa telah merencanakan  kematiannya, ia  harus melakukan suatu tindakan seolah kematian itu benar-benar terjadi, sehingga Kurawa tak memiliki rencana jahat untuk kematian yang berikutnya. Pandawa akan hidup damai tanpa rencana pembunuhan dari saudara sepupu.
Di luar malam semakin hangus, hitam serupa jelaga tanpa kerdip bintang, angin lebih dingin dari malam-malam biasa, menggigit pori-pori. Seisi istana telah pulas tertidur, tak ada suara, bahkan jangkerik seakan enggan berbahasa. Dengan perasaan galau Bhima menuang minyak ke atas setumpuk kain, menyulutnya dengan api. Dalam sekejab api membesar dan terus membesar tak dapat dihentikan, Pandawa kedua tak menunggu lebih lama, dengan sigap dan tenaganya yang berukuran raksasa, ia segera menyusul ibunda serta empat saudara yang lain menyelamatkan diri melalui terowongan yang telah sengaja digali. Dengan langkah sigap Bhima dapat pula menyusul Pandawa yang lain, sehingga akhirnya mereka dapat kembali bersatu.
Sementara di atas terowongan api terus membesar, menyambar atap yang memang mudah terbakar. Ketika atap runtuh, maka seluruh dinding, lantai, dan seisi istana termasuk Purachana dan kaki tangan Kurawa yang pulas tertidur, karena terlalu gembira, kenyang, dan mabuk ikut pula dilahap api, hangus terbakar. Purachana tak berkesempatan lagi menyulutkan api bagi kematian Pandawa, ia kalah cepat, ia bahkan  menjadi korban dari sebuah persengkokolan. Suara ledakan dan jilatan api yang terus membesar, membangunkan seisi penghuni Waranawata, tak seorang tidak merasa cemas. Ketakutan menyebar sedemikian rupa, sementara orang berusaha memadamkan api, sebuah upaya sia-sia, karena papan kayu dan seluruh bahan istana yang mudah terbakar tak semudah itu dapat dipadamkan.
“Pandawa ….!!” Suara jeritan panjang melolong membelah malam yang segera berubah menjadi mimpi buruk, menyakitkan.
“Duryudana pasti telah merencanakan kebakaran ini, Kurawa selalu mengharapkan kematian Pandawa. Akan tetapi, mengapa harus dengan cara seperti ini?” suara penghuni Warawanata itu terdengar bersama isak tangis serta penyesalan yang teramat dalam.
Malam yang semula sehitam jelaga, kini berubah terang benderang, jilatan api membumbung tinggi, panas, dan menakutkan. Semua orang menduga, tak satupun dari penghuni istana papan kayu selamat dari kobaran api, terlebih Pandawa yang selalu disisihkan oleh Kurawa. Isak tangis ibu-ibu tak tertahankan, mereka sangat mengasihi dan menghormati Pandawa beserta ibu agung Kunthi. Calon pewaris tahta Astinapura yang lebih cakap serta bijak pemimpin. Bagaimana kelima satria itu akhirnya akan dapat memimpin kerajaan, kobaran api dari kebencian Kurawa telah menyudahi keinginan itu?
Tak seorang pun tahu, tidak juga penghuni Warawanata, bahkan Kurawa dan Destarastra sementara api terus berkobaran dengan satu keyakinan, bahwa Kunti dan Pandawa telah tewas terbakar. Sesungguhnya orang yang semestinya menjadi korban pembunuhan terencana dengan dalih seolah telah terjadi kecelakaan, kini berada dalam keadaan sehat. Enam orang itu berjalan menunduk, menyusuri terowongan hingga kehabisan tenaga. Sungguhpun tak seorang pun tahu akan penyelamatan ini, akan tetapi Pandawa dihantui rasa takut, mereka merasa seolah-olah Kurawa tengah mengejar melalui terowongan yang sama.
Ketika akhirnya fajar memecah Pandawa bersama Kunthi telah sampai di tengah hutan, jerih payah menggali serta berjalan menunduk di sepanjang terowongan telah berakhir. Akan tetapi, sebuah perjalanan panjang arah harus kembali ditempuh, mereka harus mampu menyelamatkan diri. Kurawa bukanlah saudara sepupu  yang berwenang akan hidup mati kelima Pandawa dan ibu agung.
Di hutan Warawanata fajar memecah dengan gelisah, istana papan kayu yang indah telah runtuh menjadi gundukan arang, api masih menjilat, asap  masih mengepul. Tak seorang pun penghuni menampakkan diri, tidak juga Pandawa. Suasana di hutan itu diliputi duka cita, tak tampak wajah tersenyum, penghuni Warawanata kini adalah rakyat  kecil yang ditinggalkan pemimpin dengan cara yang tragis dan mengerikan. Seisi kampung berkumpul di seputar tempat kebakaran, sia-sia mendapatkan tanda kehidupan Pandawa. Lima satria dan ibu agung Kunthi tak ada tampak bayang dirinya.
Sekelompok pemuka kampung segera memacu kuda, menuju Astina Pura bagi sebuah kabar duka. Destarastra harus mengetahui perihal terakhir keadaan Pandawa, keponakannya, betapapun buruk keadaan itu. Pemuka kampung diterima Destarastra dengan sepasang mata buta, ia tak pernah mengenal wajah-wajah itu, akan tetapi kata-kata yang terucap disimak dengan baik. “Mohon ampun yang mulia baginda raja, kami datang bagi sebuah kabar duka”, suara itu terbata-bata diselingi isak tangis.
“Kabar duka apa yang hendak engkau sampaikan?” andai mampu menatap, Destarastra akan melihat, betapa pucat, lelah, dan memilukan wajah itu, wajah orang-orang yang kehilangan pemimpin. Akan tetapi, sepasang matanya hanya mampu melihat gelap, semakin gelap seakan malam tak berkesudahan.
“Sekali lagi beribu ampun, istana kayu Waranawatha terbakar habis malam tadi, tiada yang bersisa. Kami tak dapat menjumpai seorang pun dari kelima Pandawa, tidak juga ibu agung Kunthi, semuanya hangus terbakar api”, suara tangis tertahan kemudian senyap.
Di singgasana Destarstra duduk terpaku, napasnya seakan terhenti, perasaannya berkecamuk seakan perang besar yang tengah menumpahkan darah. Ia sangat menyanyangi Pandawa, kelima satria itu tak ubahnya seperti anak-anak kandung yang mesti dibesarkan dengan cinta kasih. Ia juga tak pernah membenci Kunthi, akan tetapi sikap Kurawa yang tak pernah merasa nyaman ketika Pandawa berada di seputar istana, tekanannya yang semakin berat dari hari ke hari, menyebabkan ia terancam. Ia tak menaruh curiga terhadap rencana-rencana jahat Duryudana terhadap saudara sepupu yang  tak pernah sedikitpun berniat mencelakainya. Sesaat sepasang  mata yang buta itu memejam, Destarastra membayangkan malam celaka itu ketika api melahap seisi istana, sementara Pandawa dan Kunthi tengah tertidur lelap di dalamnya. Tanpa terasa air mata raja yang malang itu menetes. Ia berada pada tempat yang terpojok, andai Duryudana tidak terus menerus mendesak, mengirim Pandawa ke hutan Waranawata, adakah musibah ini akan terjadi?
Ia akan terbebas dari tekanan seratus Kurawa, karena seluruh anaknya membenci Pandawa. Akan tetapi, apa bedanya? Jasad satria tak bersalah itu bahkan tak dapat dimakamkan dengan layak. Ia menyimpan satu rahasia menyakitkan yang tak akan dibahas dengan siapapun, Kurawa merencanakan kunjungan Pandawa ke Warawanata kemudian mengatur kebakaran itu, sehingga tak ada satu pihak pun yang dapat bersaing memperebutkan tahta. Sebuah sikap licik dan curang yang tak mudah dimaafkan, namun ia tak berwenang pula menuntut pertanggungjawaban. Duryudana terlalu pandai meyangkal, sesungguhnya ia bahkan tidak mampu bersikap adil manakala berada di bawah tekanan anak-anak yang dicintainya. Ia bukan seorang raja bijak yang mampu mengendalikan perilaku seratus anak-anaknya.
Kepala Destarastra terkulai, ia berusaha keras menahan sedu sedan, ia tak pantas menangis di atas singgasana, di depan rakyat kecil berhati mulia yang tengah menyampaikan kabar duka. Destarastra tak tahu mana yang lebih  menyakitkan, kehilangan lima orang keponakan bersama seorang ibu pada sebuah musibah kebakaran atau kenyataan pahit, bahwa anak-anak yang dirindukan sejak hari kelahiran ternyata tidak ditakdirkan memiliki watak satria. Watak yang semestinya menurun dari kedua orang tua sekaligus terbangun, karena pendidikan budi pekerti yang tinggi selaku anak-anak seorang raja. Destarastra tiba-tiba merasa usianya bertambah semakin tua tanpa melalui hitungan hari yang seharusnya. Ia bukan hanya buta sepasang matanya, ia buta memberikan pendidikan budi pekerti luhur kepada anak-anaknya. Rasa cinta berlebihan kepada Kurawa membuat sepasang matanya yang buta semakin gelap adanya.
Sementara berita kebakaran istana papan kayu di Waranawata segera menyebar ke seisi istana dan seluruh kerajaan. Darah Bhisma yang agung tersirap, jantungnya berdetak kencang, sepasang kakinya gemetar, andai ia bisa meraung-raung merubuhkan seluruh dinding istana. Langkah Bhisma setengah berlari ketika menuju istal, ia menarik tali kekang kemudian memacu kuda perang dalam kecepatan tinggi. Ia tak pernah mempercayai sebuah kabar, terlebih kabar kematian Pandawa, tanpa menyaksikan sendiri keadaan terakhir saat anak cucunya meregang nyawa.
Di sepanjang jalan debu mengepul, Bhisma, sang kesatria bhrahmana melupakan rasa lelah, ia terlalu berduka, terlalu kehilangan, dan merasa terlalu dungu. Ia tak menaruh curiga terhadap kunjungan Pandawa ke hutan indah Warawanata dengan alasan rakyat merindukan sekaligus pemujaan agung Bathara Siwa. Kini, apa yang akhirnya terjadi dengan kunjungan itu, Pandawa dan ibu Kunthi telah hangus sehitam arang, serupa debu. Benarkah kebakaran itu adalah suatu musibah tiba-tiba, atau Kurawa yang membenci Pandawa telah menyediakan perangkap bagi kematian itu? Dada kesatria bhrahmana itu terasa sesak, ia tak akan sanggup kehilangan Pandawa tewas mengenaskan dengan cara seperti ini. Ia telah bersumpah tak akan menikah, tak akan memiliki keturunan untuk menghindarkan pertikaian antara anak-anak yang dilahirkan dengan anak-anak Satyawati akan tahta Astinapura. Ternyata sumpah itu hanya menunda satu generasi pertikaian, anak-anaknya dan anak-anak Satyawati memang tak pernah bertikai, akan tetapi perselisihan antara Kurawa dan Pandawa sejak dini memang tak pernah dapat dihindarkan. Kurawa tak pernah rela melihat kecakapan serta kemampuan Pandawa menempatkan diri di lingkungan kerajaan, sehingga rakyat Astinapura mencintainya. Demikianlah akhir perselisishan dua saudara sepupu?   
Bhisma terus memacu kuda, ia seakan dirasuki kekuatan setan untuk segera  mencapai Waranawata dalam waktu yang lebih singkat dari perjalanan yang pernah ditempuh Pandawa dan ibu Kunthi. Ia tak sabar mencapai istana yang hanya menyisakan puing, ia ingin membuktikan pertanda, bahwa Pandawa benar tewas secara mengenaskan terbakar api. Ia mengharap sebuah kemungkinan, bahwa Pandawa selamat, ia masih dapat bersua dengan lima satria dan ibu Kunthi dalam keadaan sehat.
Harapan Bhisma sirna ketika ia terduduk bersimpuh di depan puing-puing berserakan, tak ada yang tersisa dari keseluruhan istana kayu kecuali arang dan abu. “Tidak….!!!!” Suara meraung itu sedemikian dasyat seakan merobek langit, menggugurkan daun-daun, menghentikan aliran sungai. Seisi kampung Waranawata kembali berkumpul di seputar puing-puing, api telah padam. Semuanya menatap Bhisma yang tengah berduka dengan tatapan hampa, andai Pandawa meninggal, karena usia tua, bukan karena musibah kebakaran pada tengah malam.
Bhisma menahan isak tangis, meski merasa sedemikian berduka, pantang bagi seorang kesatria meraung-raung di tengah rakyat banyak, mereka sama berduka dengan dirinya. Dibantu sekalian masyarakat Waranawata Bhisma membongkar seluruh reruntuhan, ia harus mendapatkan bukti, sisa-sisa senjata Pandawa yang tak akan meleleh terbakar, dalam jilatan api yang paling besar sekalipun. Aneh, Bhisma tak mendapatkan bukti itu. Seluruh istana benar telah runtuh, akan tetapi tak menyisakan senjata Pandawa yang pastinya tertinggal saat mereka  lengah dilahap lidah api. Demikian pula perhiasan yang biasa dikenakan Pandawa yang terbuat dari logam serta batu mulia. Berserakan pula sisa tulang belulang, Bhisma tidak yakin, atau ia menolak suatu keyakinan, bahwa tulang belulang itu adalah jasad tersisa Pandawa dan Ibu Kunthi.  
Secercah harapan muncul, adakah Pandawa dan Ibu Kunthi berhasil menyelamatkan diri pada musibah mengerikan ini? Andai ia menerima pembenaran atas harapan ini? Sepasang mata Bhisma memejam, kalaulah Pandawa selamat, akankah mereka dapat kembali diterima Kurawa, atau kebakaran ini hanya sebuah mula dari sebuah pertikaian besar yang tak akan pernah dapat terhindarkan, karena satu alasan – tahta.
Bhisma merasa seluruh tubuhnya lunglai, ia tak banyak berucap saat menerima hormat dari sekalian masyarakat Waranawata, ketika mereka sekedar menjamu dengan hidangan sekedarnya, membuka pintu rumah untuk sekedar berisitirahat untuk kemudian memacu kuda secepat kilat kembali ke Astinapura. Mulut bhrahmana satria itu membungkam, sebuah beban menindis kepalanya seakan bongkah batu yang menimbulkan rasa sakit dan nyeri.
Sampai di Astinapura, upacara pemakaman tengah diselenggarakan, Destarastra, Kurawa, dan seluruh kerabat istana hadir dalam pakaian berkabung dan wajah duka. Bahkan Kurawa terlalu pintar bersandiwara, wajah seratus putra Destarastra itu tak kalah sendu dengan wajah kerabat istana. Dalam  barisan panjang menuju Sungai Gangga bagi upacara pemakaman tanpa jenasah Pandawa tampak pula Mahatma Widura. Andai Destarastra  mampu melihat, ia akan tahu, di antara seluruh wajah berduka hanya Mahatma Widura yang tampak sedemikian tenang, ia tidak sedang berkabung, ia sedang berdoa bagi keselamatan Pandawa dan Ibu Kunthi. Ketika melihat wajah Bhisma sedemikian pucat dan hampa, Mahatma Widura mendekat dan berbisik.
“Bhisma Yang Agung, apa yang kesatria bhrahmana dapatkan di Waranawata? Adakah tersisa perhiasan atau persenjataan Pandawa?” suara itu tenang dan ringan.
Bhisma terhenyak, ia menatap Mahatma Widura dengan bimbang. Apa yang diketahui si cerdik ini? Perlahan Bhisma menggelengkan kepala, tenggorokannya seakan tercekik, nyeri, dan sakit. Ia terlalu ingin memenuhi harapan, bahwa Pandawa masih hidup dalam keadaan selamat sekalipun berada pada suatu tempat yang tak mudah dikunjungi.
“Andai benar tak tersisa perhiasan serta senjata yang biasa dikenakan Pandawa, artinya benda-benda itu telah selamat pula dari api kebakaran yang telah sengaja direncanakan. Telah kuperintahkan orang-orang menggali terowongan dari ruang tidur menuju hutan, suatu tempat aman, jauh dari kobaran api. Dengan satu syarat, bahwa api itu bukanlah api kebencian. Kebencian tak akan pernah padam sekalipun istana papan kayu telah hangus tak bersisa pula senjata serta perhiasan Pandawa pada reruntuhan”, pandangan Mahatma Widura demikian lembut ketika menatap Bhisma, ia tahu hati kesatria tua sedemikian galau dengan kebakaran di Waranawata.
Sepasang mata Bhisma membelalak lebar, menatap Mahatma Widura, duka hati sekejab sirna, ia tak meragukan kejujuran serta kecerdikan perdana menteri ini, seorang pengambil keputusan yang mampu berdiri di tengah-tengah tanpa kekerasan. Tanda sadar Bhisma menghela napas panjang, dadanya yang sesak kini terasa lapang, ia berada dengan seorang bijak yang mampu mengambil tindakan tepat pada saat genting. Tak salah kiranya Mahatma Widura menjabat selaku perdana menteri. “Lalu untuk apa upacara pemakaman ini diselenggarakan?”

“Untuk meyakinkan Kurawa, bahwa Pandawa telah tiada”, ucapan Mahatma Widura perlahan, nyaris berbisik. Ia mengangguk sesaat, memberikan pertanda percakapan rahasia ini usai, kemudian menyatukan diri dalam iring-irringan panjang, upacara pemakaman tanpa lima jenazah Pandawa dan Ibu Kunthi. Widura masih dapat menatap wajah duka pada seratus orang Kurawa, perdana menteri itu membuang pandang, ia tahu wajah itu tak sesuai dengan suasana hati yang tengah bersuka ria, karena upacara pemakaman ini. Keinginan Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa telah berhasil. Akan tetapi, dimana sesungguhnya Pandawa dan ibu agung Kunthi?
Jauh di tengah hutan setelah melarikan diri melewati terowongan panjang, Pandawa dan Kunthi akhirnya dapat kembali menghirup udara segar serta bersentuhan dengan hangat sinar mentari. Enam orang itu terduduk di atas akar-akar pohon dalam lelah tiada tara, tak ada suara apapun di tengah hutan yang rimbun itu kecuali kicau burung dan tetes embun jatuh. Kunthi telah kehabisan tenaga, ia tak mampu lagi melangkah, tenaganya tak sekuat lima orang Pandawa. Akan tetapi pelarian tak boleh berhenti sampai di sini. Kemungkinan terburuk adalah andai Kurawa menyangsikan kebakaran itu, karena Purachana dan kaki tangannya telah tewas tanpa ujud. Maka sepasukan pengawal bayaran akan mengejar, memastikan kematiannya. Pandawa menyadari, betapa berharga sesungguhnya kehidupan. Mereka sungguh tak ingin mati di tangan licik Kurawa, mereka telah cukup bersabar bagi kelicikan itu. Sampai kapan kesabaran itu harus menjadi suatu alasan perdamaian?
“Kita harus tetap berjalan ibu”, Bhima menggendong Kunthi pada punggungnya, merangkul Nakula dan Sadewa di dada, menuntun Yudhistira pada tangan kiri dan kanan. Iapun terus melangkah, menembus hutan menjauh dari asap kebakaran, Pandawa kedua iu terus berjalan hingga lelah sungguh dan langkah kaki sampai di tepi Sungai Gangga.
Seorang pendayung dengan sampan telah menunggu, dengan hormat pendayung itu mengangguk kemudian  berbisik, “Yang mulia Mahatma Widura meminta saya untuk menunggu”, kata-kata itu diucapkan dengan hormat, Yudistira dapat merasakan kejujuran pada tatapan sepasang mata laki-laki itu.
Pandawa menghela napas panjang, mereka merasa lelah tiada terkira. Rasa lelah itu semakin menjadi ketika masing-masing menyadari, tak seorangpun dari Pandawa memiliki tempat aman di Astinapura. Istana adalah bayangan yang terlalu jauh untuk dicapai, atau lebih baik disingkirkan jauh-jauh dari pikiran. Tak ada pilihan lain kecuali beristirahat di tengah hutan, di tepi sungai menunggu gelap tiba sebelum menyeberang ke tempat  yang aman. Perbekalan apa adanya dibuka, demikianlah keadaan sengsara ketika lima satria dan seorang ibu berjuang bagi berharganya nilai kehidupan.
Waktupun terus berjalan, mengubah terang menjadi gelap, lembayung sinar mentari sekejab padam  berganti menjadi cahaya redup sepotong bulan dan bintang-bintang. Dengan hati-hati Pandawa dan Kunthi menempatkan diri di atas sampan, dayung dikayuh, sampan bergerak menuju seberang. Andai kaki tangan Kurawa mengejar, niscaya mereka tak akan mudah mencapai tanpa adanya bantuan sampan. Tak seorang pun berucap di atas sampan dalam hembusan angin yang dingin hingga sampan merapat ke tepi.
“Suatu kehormatan, bahwa hamba dapat menyertai lima Pandawa dan ibu agung Kunthi menyberangi Sungai Gangga, kiranya keselamatan dan perlindungan Dewata senantiasa hadir bersama”, masih dengan sikap hormat dan santun tukang sampan melepaskan Pandawa dan Kunthi untuk meneruskan perjalanan, menembus hutan. Masih ada satu tugas mulia adalah menyampaikan perihal keselamatan Pandawa dan Kunthi kepada Mahatma Widura, sebuah rahasia yang akan tetap terbungkus hingga mati.
“Tak akan pernah kami lupakan budi baik paman, kiranya Dewata akan mempertemukan kita dalam keadaan yang lebih baik”, Yudhistira mewakili Pandawa mengucap terima kasih kemudian kembali memimpin rombongan kecil menembus hutan.
Sesekali mereka menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada kaki tangan Kurawa yang datang mengejar. Rombongan kecil itu terus berjalan hingga Kunthi akhirnya mengeluh, “Sudah terlalu jauh kita melangkah, ibu tak sanggup lagi. Andai kaki tangan Kurawa mengejar sampai di tempat ini, mungkin memang sudah datang waktunya bagi kita”, tanpa menunggu jawab Kunthi menghentikan langkah, sepasang kakinya tak mampu lagi digerakkan, napasnya hampir putus, seluruh tubuhnya telah basah keringat. Tak tersisa lagi sedikit tenaga untuk terus melangkah, wanita agung itu merebahkan dirinya pada akar pohon, merasakan otot-otonya yang tegang perlahan mengendur. Suasana di seputar hutan demikian sunyi dan diam, Pandawa tak dapat menolak permintaan Kunthi. Merekapun sudah sedemikian lelah dan kesakitan, lima satria melakukan hal yang sama, menghentikan langkah kemudian merebahkan diri pada akar-akar pohon yang mencuat, menyatu dengan hening alam.
Hanya Bhima yang  tak merasa lelah, kekuatannya berada di atas kemampuan satria biasa. Ia segera mengumpulkan dahan serta ranting kering, menyulutnya dengan api. Suasana yang semula gelap gulita perlahan berubah menjadi remang dalam lidah api. Hati Bhima seakan teriris ketika menyaksikan ibunda beserta empat saudara yang lain rebah di atas akar-akar pohon selayaknya pengembara yang tak memiliki rumah tinggal. Ia tak pernah mengira, sebagai keturunan raja akhirnya akan mengalami hari-hari mencekam seperti ini. Apa sesungguhnya kesalahan Pandawa, kecuali Yudhistira lebih berhak akan tahta?
Setelah nyala api membesar, perlahan Bhima bergerak ia  harus mendapatkan air, ia tak akan membiarkan ibunda dan satria Pandawa yang lain mendapat celaka, karena kehausan. Bhima memungut sepotong kayu yang  masih menyala sebagai penerang, menuju suatu arah untuk mendapatkan sumber air, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah telaga dengan air sejernih kaca. Pandawa kedua itu melepas dahaga, membasuh seluruh tubuh dengan air dingin kemudian merasakan kesejukan. Ia memetik pula daun-daun berukuran lebar untuk menampung air bagi saudaranya yang kehausan. Sebuah upaya yang tak sia-sia, air telaga itu segera diteguk dengan nikmat oleh empat Pandawa yang lain beserta Kunthi kemudian mereka kembali rebah di atas akar-akar pohonm, tertidur.
Bhima meletakkan kembali dahan-dahan kering di atas unggun supaya api tetap menyala, di seputar hutan benar gelap semata. Tak terdengar suara apa-apa, kecuali lolongan binatang malam, angin dingin berkesiur menyentuh dedaunan seakan bisikan sendu sekelompok manusia yang kehilangan rumah tinggal. Bhima tak berani mengatupkan sepasang mata, ia tetap berjaga-jaga, tenggelam dalam hening alam, ketika daun-daun menghijau bersentuhan antara yang satu dengan yang lain seakan atap peneduh bagi manusia yang terancam. Tak pernah daun yang satu mematahkan helai yang lain, lembaran-lembaran itu sama indahnya bahkan kita gelap menyergap. Mengapa manusia tak  bisa hidup berdampingan dan bersentuhan dengan lembut tanpa pertikaian seperti halnya dedaunan. Setelah perjalanan ke Warawanata yang mengerikan, sesaat Bhima mendapatkan kembali apa arti damai, suasana alam yang berada terlalu jauh dari pertikaian.
Keesokan harinya mereka kembali meneruskan perjalanan setelah singgah di tepi telaga untuk sekedar membersihkan diri dan menolak dahaga. Di sepanjang perjalanan Bhima dengan cermat memperhatikan keadaan sekitar, ia selalu mendapatkan buah-buahan dan binatang hutan sebagai bahan santapan. Pada anak-anak sungai mereka mendapatkan air kehidupan untuk sebuah perjalanan yang tidak diketahui dimana ujungnya. Berhari-hari dengan mengandalkan buah-buahan, binatang hutan, dan air kali rombongan kecil itu bertahan hidup, hingga akhirnya perjalanan yang melelahkan itu mendekati titik akhir ketika terjadi pertemuan dengan Bagawan Wyasa.

Orang tua bijak itu menerima kehadiran Pandawa dan ibu Kunthi dengan segala rasa iba, sepasang tangannya terbuka. “Kehidupan hanya dua warna yang selalu berubah, hitam dan putih, gelap dan terang, keduanya selalu berganti tak dapat dipisahkan. Seperti halnya air laut, yang selalu pasang untuk kemudian surut, akan tetapi, pandangan harus selalu lurus ke depan, jangan menoleh ke kiri atau ke kanan. Suatu saat yang benar akan tampak benar dan yang salah akan tampak salah, Sang Maha Pencipta melihat semuanya. Selamat datang di rumah tinggal seorang Bagawan yang sederhana. Beristirahatlah”, senyum Bagawan Wyasa demikian arif dan bijaksana, seorang tua yang telah mengenyam asam garam kehidupan, cukup memahami segala yang terjadi pada diri Pandawa dengan mata batinnya. Ia tahu siapa sesungguhnya Kurawa dan tahu siapa pula sesungguhnya Pandawa, bahwa lima satria bersama ibu agung Kunthi telah bertandang ke rumahnya dalam keadaan terlunta-lunta adalah sebuah kehadiran yang tak disangka-sangka. Akan tetapi, ia tak kehilangan apa-apa dan tak rugi apa-apa menerima kedatangan ini, ia  bahkan wajib memberikan dorongan moral kepada para pangeran yang terbuang.
“Terima kasih atas kebaikan dan kerelaan hati Bagawan, kami perlu sejenak berisitirahat sebelum meneruskan perjalanan,“ Yudistira merapatkan kedua tangan di dada sambil membungkukkan badannya, andai Bagawan Wyasa enggan menerima kehadiran ini, karena  takut terhadap tindakan Kurawa, maka ia harus  kembali melangkah menemukan rumah berikutnya.
Beristirahat di bawah atap, menikmati sekedar makanan dan minuman yang dimasak dari hati yang tulus sungguh merupakan kekuatan dan tenaga  baru bagi Pandawa dan Kunthi. Sejenak mereka  melupakan perjalanan panjang dan melelahkan dari hutan Warawantha hingga sampai di depan pintu rumah Bagawan Wyasa. Akan tetapi, mereka masih harus menuju suatu tempat yang lebih jauh dari jangkauan Kurawa, sehingga tak seorangpun dari satu Kurawa tahu, bahwa Pandawa dan Kunthi masih selamat, sungguhpun istana indah dari papan kayu di Warawanatha telah runtuh terbakar api. Untuk sementara Pandawa masih dapat menghilangkan jejak, akan tetapi sampai kapan? Tak seorang pun mampu menyembunyikan jati diri yang sebenarnya, meski dalam waktu yang cukup lama.
Ketika telah merasa cukup beristirahat dan siap berpamit, Bagawan Wyasa berpesan, “Lebih baik Pandawa berlima dan ibu agung Kunthi berpakaian selayaknya brahmana, dengan demikian tak seorangpun mengira Pandawa dapat selamat dari  kobaran api di istana papan kayu Warawanatha”, dengan sikap tulus Bagawan Wyasa  mengulurkan enam potong pakaian brahmana.
Sebuah usul yang bijak dan cerdik, hanya orang yang sangat lihai dan cermat dapat mengenali jati diri Pandawa sesungguhnya di balik bersahaja pakaian brahmana. Kabar duka, bahwa Pandawa tewas mengenaskan dalam kobaran lidah api di hutan Warawanatha telah menyebar. Sementara upacara pemakaman di Sungai Gangga secara pasti mengukukuhkan kabar duka itu. Dengan takjim Pandawa dan Kunthi menerima kemudian mengenakan pakaian brahmana itu. Bukan suatu hal  yang mudah menanggalkan jati diri kemudian tampil di hadapan khlayak ramai dengan suatu jati diri lain yang tidak pernah sekalipun terbayangkan. Akan tetapi, adakah pilihan yang lebih baik. Pandawa harus merelakan jati diri lima orang pengeran dan satria terpilih Astinapura sebagai langkah penyelamatan.
“Yang teramat  bijak Bagawan Wyasa, kami berpamit. Terima kasih yang amat dalam untuk semua kebajikan ini, kiranya Yang Maha Pencipta akan selalu menyertai. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih, semoga akan ada waktu untuk kembali bersua dalam keadaan yang lebih baik”, Yudhistira menahan getaran hati, karena rasa haru yang dalam, suatu kemurahan, bahwa dalam keadaan terancam dan terlunta-lunta masih ada seorang tua yang rela hati menerima kehadirannya dengan kemungkinan paling buruk akan mendapatkan siksa dari Kurawa.
“Selamat jalan, semoga akan sampai di tempat aman dalam keadaan selamat”, Bagawan Wyasa mengatupkan pula telapak tangan di dada, ia telah cukup tua untuk memahami pertikaian dunia, perebutan kekuasaan dan tahta. Dalam hal ini ia merasa tidak salah memilih jalan hidup sebagai seorang bagawan yang jauh dari kemilau dan riuh rendah kehidupan istana.
Pandawa masih satu kali menoleh untuk melambaikan tangan kepada Bawagan Wyasa, sebelum akhirnya berjalan lurus ke depan, menjauh dari Warawantha dan Astinapura. Pada sertiap punggung adalah perbekalan apa adanya serta perhiasan dan senjata yang sengaja disembunyikan. Ada satu tempat yang mesti dituju untuk meneruskan kehidupan dan mendapatkan keselamatan, kota Ekacakra. Suatu perjalanan yang harus ditempuh dengan hati-hati dan tidak mudah, akan tetapi akhirnya sampai juga pada tujuannya. Pakaian  brahmana yang melindungi tubuh dari jati diri sesungguhnya, menyebabkan kehadiran Pandawa diterima dengan tangan terbuka oleh seorang brahmana. Di rumah sederhana inilah untuk sementara Pandawa dan Kunthi menetap, sejenak menghela napas dari ketakutan akan keinginan membunuh Kurawa.
 
 ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...