Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 6, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim







Pandu putra Wicitrawirya dan permaisuri Ambalika tumbuh secara wajar di lingkungan istana. Berbeda dengan Destarata yang terlahir dari rahim Ambika, ia tidak mampu mengenal cahaya dan aneka warna. Sepasang mata Pandu selalu berbinar. Ia mempelajari ilmu sastra, tata negara, serta kemampuan berperang, ia siap menggantikan tempat raja di singgasana, karena sepasang mata Destarata buta adanya. Tak ada yang kurang pada diri pangeran itu hingga ia benar-benar dewasa dan akhirnya berhak akan tahta. Seorang raja tak layak kiranya bertahta seorang diri di singgasana, ia harus didampingi seorang ratu yang dimenangkan dalam sebuah sayembara.

Jauh hari sebelum Pandu dewasa, nun jauh di sana hiduplah Sura, kakek Sri Krishna, adalah keturunan mulia dari Bangsa Yadawa. Sura memiliki seorang putri cantik, Pritha yang terkenal akan kebajikannya. Ia memiliki pula sepupu bernama Kuntibhoja yang kurang beruntung, karena tidak dikaruniai seorangpun anak. Maka Sura menyerahkan Pritha kepada Kuntibhoja, selanjutnya gadis cantik itu dikenal dengan nama Dewi Kunti, sesuai dengan nama ayah angkat.

Dewi Kunti telah mendapatkan pendidikan budi pekerti yang tinggi, sikapnya penuh sopan santun, hormat kepada setiap orang yang berada di sekitarnya. Demikian pula ketika Durwasa, resi maha sakti pernah tinggal lama di rumah ayah angkat Dewi Kunti. Gadis kecil itu selalu bersikap ramah, sabar, dan penuh hormat. Suatu hal yang mengesankan Resi Durwasa, sehingga ia merasa perlu memberikan mantra, dari mata batinnya ia telah melihat masa depan gadis santun itu. Dewi Kunti akan mengalami kehidupan yang  menyakitkan dalam kehidupan berkeluarga.

“Andai engkau ingin memanggil seorang dewa, ucapkan mantra ini. Maka, engkau akan memiliki seorang anak dengan keagungan serupa dengan dewa yang engkau panggil”, Resi Durwasa menatap wajah gadis kecil itu dengan lembut. Kunti masih seorang bocah, akan tetapi sikapnya sehari-hari telah tampak seakan wanita dewasa yang mampu bertanggung jawab dengan lingkungan serta orang-orang di sekitarnya.

Dewi Kunti masih terlalu bocah untuk menerima pemberian itu, ia bahkan tak dapat memikirkan akibatnya, akan tetapi ia melakukan kekeliruan, mencoba. Suasana di kediaman sunyi, semakin sunyi ketika Kunti sengaja  memisahkan diri, ia terdorong keinginan kuat untuk ingin tahu, ia tidak sabar mencoba kekuatan mantra sambil menyebut nama Batara Surya. Andai ia bersedia menunggu tepat pada waktunya. Sesaat setelah mengucapa mantra tiba-tiba biru langit berubah menjadi gelap, mendung tebal menggantung. Kunti terpaku, gadis manis itu diam tak bergeming ketika dari balik mendung perlahan membias cahaya, muncullah Dewa Matahari. Dengan takjub Dewa Matahari menatap Dewi Kunti, seorang gadis jelita yang membangkitkan gairah akan pesona duniawi. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak meraih lengan yang lembut itu kemudian menciumnya.

Dewi Kunti masih terpaku, ia berada dalam pengaruh kekuatan gaib mantra oemberian Resi Durwasa. Di depan Batara Surya, Dewi Kunti tak tampak selayaknya gadis kecil, ia adalah seorang wanita dewasa yang menarik dan memikat. Batara Surya terpesona, “Engkau memanggilku putri jelita?” suara Batara Surya bergetar ketika berucap, tak ada yang mampu menggoyahkan hatinya selama ini, kini ia berhadapan dengan seorang gadis di bawah kekuatan gaib. Ada yang meleleh di relung hati, tatapan matanya tak dapat terlepas dari wajah menawan itu, seraut wajah berbentuk bujur sirih dengan sepasang mata jernih, alis seakan semut beriring, hidung yang mancung serta bibir semerah delima.

“Oh, Dewata …. Siapakah sesungguhnya engkau?” Dewi Kunti merasa dadanya bergemuruh, ia takjub, gembira sekaligus ketakutan. Ia tak sepenuhnya memahami akibat dari mantra yang terucap, ia tak pernah  mengerti, bahwa mengucap mantra dengan memanggil Batara Surya berarti ia mesti bersedia mengandung anaknya. Ia harus menghadapi suatu peristiwa penting yang akan mengubah seluruh takdir hidupnya. Dewi Kunti masih terpaku ia tak kuasa menolak kehadiran Batara Surya dengan seluruh tingkah laku selayaknya kesatria muda yang tengah jatuh cinta.

“Putri jelita, aku adalah Batara Surya, Dewa Matahari. Mantra yang engkau ucap telah memanggilku, engkau sungguh seorang gadis yang mempesona dan sangat pantas melahirkan anakku”, Batara Surya menggenggam lembut jemari Dewi Kunti, detak jantungnya  berpacu, adakah seorang kesatria yang tidak terpikat dengan sosok lembut gadis itu.

“Aku Dewi Kunti, seorang gadis yang belum beranjak dewasa dan masih berada di bawah pengawasan seorang ayah. Aku belum mampu menjadi seorang ibu, aku belum memimpikannya. Kali ini aku hanya mencoba kekuatan mantra pemberian Resi Durwasa, kembalilah ke kayangan, maafkan segala kesalahanku”, suara Dewi Kunti lembut merayu. Di telinga Batara Surya suara itu sekan sebuah undangan yang memanggilnya menuju suatu tempat rahasia yang tak bisa dikunjungi siapapun kecuali mereka berdua.

“Yang cantik Dewi Kunti, aku tak dapat kembali ke kayangan sebelum engkau mengandung anak dari Batara Surya. Betapa mempesona seluruh kehadiranmu”, Batara Surya didorong suatu kekuatan yang tak bisa dikendalikan yang tak bisa pula ditolak Dewi Kunti, ia hanya seorang gadis kecil yang terpana dengan cahaya kemilau dari penampilan seorang Batara yang tengah jatuh cinta. Ia tak seluruhnya  menyadari apa yang kemudian terjadi dalam waktu yang terasa lebih cepat tanpa jeda, ia  hanyut pada suatu tempat tanpa peta yang tak akan pernah diceritakan kepada siapapun juga. Apakah Dewi Kunti merasa bahagia? Ia bahkan tidak mampu menterjemahkan apa sesungguhnya arti kata bahagia ketika terlibat hubungan rahasia dengan Batara Surya. Ia merasa dirinya mengapung tinggi-tinggi, melayang di antara gumpalan awan seputih kapas kemudian terhempas kembali ke dunia nyata dengan perasaan cemas tak terkatakan.

“Bagaimana bila aku benar-benar mengandung, pernikahan antara kita tak pernah terjadi, seluruh dunia pasti akan menghukumku?” suara itu lirih dan ketakutan.

Batara Surya kembali meraih tangan yang lembut itu, setelah hubungan rahasia itu ia bahkan tak mampu mengusir pesona seorang gadis jelita yang memanggilnya melalui kekuatan mantra. “Kunti yang jelita, jangan pernah merasa takut, tak seorangpun di dunia ini akan menghukummu, yang engkau kandung adalah anak Batara Surya. Engkau tidak memerlukan waktu Sembilan bulan sepuluh hari untuk membesarkan seorang janin di dalam rahim. Setelah mengandung, bayi itu akan segera terlahir dan engkau akan kembali menjadi seorang perawan suci”, setelah kata-kata itu Batara Surya berpamit kembali, ia hanya datang untuk yang pertama dan terakhir kali, meninggalkan Dewi Kunti bimbang mengandung seorang diri.

Kata-kata Batara Surya benar adanya, Dewi Kunti tak mengandung dalam waktu yang lama, segera setelah seorang janin bersemayam di dalam lahir, ia pun terlahir dengan melalui telinga. Dewi Kunti member nama bayi mungil itu Karna, dalam bahasa Sansekerta berarti telinga. Karna terlahir lengkap dengan seperangkat senjata perang serta hiasan telinga yang indah berkilau seakan matahari. Dewi Kunti merasa bingung dengan kelahiran ini, benar kesuciannya tak ternoda, karena Karna terkahir lewat telinga. Akan tetapi, apa bedanya, ia memiliki seoranag bayi di luar adat perkawinan, ia akan dipermalukan seisi dunia. Kunti tak kuasa menanggung malu, ia masih terlalu  belia, ia tidak tahu bagaimana mesti membesarkan Karna.

Bimbang dan takut mendorong Dewi Kunti melakukan kesalahan yang akan disesali seumur hidupnya. Ia hanya mendekap Karna sesaat, seorang bayi mungil tanpa dosa, berwajah tampan, seraut wajah yang sesungguhnya akan selalu meminta kasih sayang seorang ibu untuk jangka waktu tanpa batas. Kunti merasa lututnya menggigil, ia tak akan pernah mampu memberikan kasih sayang itu dan tak akan pernah. Hati gadis belia itu terlalu gamang ketika ia meraih sebuah kotak, napasnya tercekik ketika membaringkan bayi kecil itu ke dalamnya. Karna tertidur pulas, tak  pernah  menyadari hal yang terjadi pada dirinya. Dengan leleran air mata Dewi Kunti melarung bayi tanpa dosa itu ke Sungai Gangga, ia tak mampu menanggung rasa malu melahirkan seorang bayi tanpa suami. Ia mengorbankan takdir seorang bocah yang memiliki suratan hidup selaku kesatria perkasa.

Ketika kotak itu  mengapung dan hanyut mengikuti arus Sungai Gangga, Dewi Kunti terpaku, waktu seakan berhenti, alirannya darahnya mati. Gadis cantik itu terus menatap kotak berisi bayi tak berdosa, anak kandungnya, ia merasa kabut dingin menyergap seluruh tubuh ketika kotak itu akhirnya menghilang dalam batas pandang. Ia telah melakukan tindakan yang sangat kejam, akan tetapi adakah ia  memiliki pilihan untuk menyelamatkan nama baik? Ia memilih nama baik dari pada membesarkan Karna selaku anak kandung, membuang bayi tak berdosa pada arus Sungai Gangga, nasib bayi itu menuju suatu tempat yang tak mudah ditemukan tempatnya. Sesaat Dewi Kunti memejamkan mata, ia merasa hari berubah menjadi gelap lebih cepat dari batas waktu yang sesungguhnya. Ia tahu sisi hatinya yang sangat rahasia akan selalu gelap, bahkan ketika sinar surya berkilau pada cahaya yang paling terang. Kunti telah melakukan kesalahan.

Kemana  kotak yang membawa Karna pergi?

Bayi malang itu terus hanyut dalam keadaan tertidur pulas tanpa menyadari bahaya yang mengancam keselamatannya. Kematian dapat datang dengan banyak cara, akan tetapi suratan takdir menyatakan lain. Radheya, seorang sais kereta merasa heran ketika melihat sebuah kotak mengapung di atas permukaan Sungai Gangga. Sais kereta itu lebih terkejut lagi ketika melihat isinya, seorang bayi tampan tertidur pulas dengan perlengkapan perang dan hiasan telinga yang indah berkilau. Radheya tak perlu berpikir untuk yang kedua kali, ia memungut kotak itu. Lama nian dalam perkawinan ia merindukan seorang anak, tanpa disangka kerinduan itu kini terjawab. Rumahnya yang sederhana akan menjadi lebih hidup dengan kehadiran seorang bayi mungil yang ia selamatkan dari arus Sungai Gangga.

Di rumah Surtikanti, istri Radheya menyambut bayi itu dengan takjub. Ia tak pernah merasa sebahagia hari ini ketika keinginan untuk mendapatkan seorang anak terpenuhi, meski bukan anak yang terlahir dari rahimnya. Bayi kecil itu demikian tampan, lembut, dan memerlukan kasih sayang. Radheya dan Surtikanti bukanlah orang tua kandung bagi bayi itu, akan tetapi kasih sayangnya tak pernah berbeda, keduanya membesarkan Karna layaknya orang tua kandung lainnya.

Nun jauh di sana, Dewi Kunti membungkam seribu bahasa bagi sebuah rahasia gelap, tak seorang pun tahu, sesungguhnya ia adalah seorang ibu muda yang telah melahirkan seorang anak dengan cara berbeda, membuangnya, membiarkan luka menganga di kedalaman hati yang semakin lama semakin menyakiti. Dewi Kunti tetap menyimpan rahasia itu hingga tahun-tahun berlalu, ia beranjak dewasa, tiba saatnya menikah. Raja Kuntibhoja menyelenggarakan sayembara bagi sekalian pangeran dan raja muda untuk memenangkan pertarungan kemudian memboyong Dewi Kunti selaku permaisuri.

Hingga hari sayembara itu tiba, Dewi Kunti masih kukuh menyimpan rahasia, tak seorangpun kesatria tahu sesungguhnya ia telah  menjadi seorang ibu. Pada hari sayembara itu ia adalah seorang putrid raja yang dikenal, karena kecantikan dan kebajikan dan layak kiranya dimenangkan untuk mendampinginya pada tahta kerajaan. Sayembara demikian ramai, sekalian pangeran dan raja muda bertanding untuk memperebutkan seorang putri. Saat itu, siapakah yang tidak jatuh cinta kepada Dewi Kunti? Batara Surya bahkan jauh hari sudah jatuh cinta saat Kunti  masih gadis belia.

Siapakah pemenang sayembara?

Raja Pandu dari Astinapura telah berlatih ilmu perang sejak belia usia, ia telah cukup dewasa untuk memasuki bahtera rumah tangga. Ia mengikuti sayembara, mengalahkan satu demi satu lawan kemudian tersenyum bahagia kala Dewi Kunti mengalungkan untaian bunga sebagai lambang kemenangan. Pandu memboyong Dewi Kunti ke Astinapura, menyelenggarakan upacara perkawinan agung, mengukuhkan Kunti sebagai permaisuri. Mestinya Dewi Kunti merasa bahagia menjadi istri sah Pandu, putra Ambalika.

Akan tetapi ….

Sebelum menyingkap tabir malam pengantin yang mengesankan, Pandu menerima tantangan  Raja Salya dari Kerajaan Madra yang datang terlambat untuk memenangkan Dewi Kunti. Pandu tidak mungkin mengelak tantangan itu, ia bertanding melawan Raja Salya dengan taruhan Dewi Madrim, adik Raja Salya sebagai taruhan. Ternyata Raja Salya bukanlah lawan yang setara dengan kemampuan Pandu yang cakap memainkan senjata perang. Dengan hormat Raja Salya mengakui kesalahan, ia menyerahkan Dewi Madrim kepada Pandu untuk dinikahi sebagai istri kedua setelah Dewi Kunti.
Maka hari itu, ketika seisi kerajaan menyambut kemenangan bagi Pandu, Dewi Kunti telah bersiap mengalungkan bunga bagi Raja Astinapura sebagai bagian ritual upacara. Sebagai pengantin baru kerinduan terhadap Pandu selaku mempelai pria tak tertahankan. Angan-angannya terlalu  indah, namun khayalan itu perlahan jatuh berserakan ketika di pertengahan anak tangga istana ternyata Pandu tak datang seorang diri. Dari balik punggungnya perlahan muncul seorang wanita muda berpakaian selayaknya putri raja melangkah di samping Pandu dengan wajah penuh bahagia dan kemenangan. Wanita itu berusia lebih muda, wajahnya yang rupawan, senyum yang mengabarkan kekuasaan, tata rias yang memukau serta kemilau perhiasan mewah pada setiap ruas tubuhnya sudah cukup membahasakan semuanya. Jarak antara Pandu dan wanita itu nyaris tak ada, kecuali angin lembut yang lewat melalui celah yang terlalu sempit. Dewi Kunti terhenyak, ia tidak sedang menyambut mempelai laki-laki, ia harus menyambut sepasang pengantin yang berbahagia ketika upacara agung perkawinannya belum usai. Ramalan Resi Durwasa benar adanya, Dewi Kunti akhirnya menerima perlakuan buruk dari sang suami Pandu. Kekuatan hati Kunti cukup untuk menyembunyikan kegundahan hati, ia berjuang melawan tetesan air mata yang memberontak untuk mengucur, membasahi pipi. Ia adalah seorang permaisuri, pantang menampakkan kesedihan hati di depan khalayak, kesedihan itu cukup bagi dirinya sendiri, bukan bagi orang lain.
Ketika Dewi Kunti kembali mengalungkan untaian bunga bagi Pandu, ia merasa seakan tengah berhadapan dengan orang asing. Raja Astinapura itu seakan tak mengenalnya, kerinduannya sebagai pengantin baru meleleh seakan batang lilin dilahap api. Ia tak perlu merasa rindu, ia merasa terlontar ke suatu tempat yang sangat jauh tanpa peta, sendiri dan kesakitan. Masihkah seorang  gadis bermimpi menjadi putri raja yang mesti dimenangkan seorang kesatria pada sebuah sayembara? Dewi Kunti tak punya pilihan, ia juga harus menaburkan bunga bagi Dewi Madrim seorang wanita berwajah manis yang selalu diliputi senyum kemenangan. Apabila tak menyambut kehadiran itu, ia akan disingkirkan dari kehidupan istana, dianggap tak memahami dharma. Satu kata yang kini tak jelas lagi, apa sesungguhnya artinya? Kecuali ia  harus membiarkan dirinya terseret arus, membiarkan Dewi Madrim tersenyum menang, merampas malam terindah dalam hidupnya menjadi malam paling gelap tak berkesudahan. Dewi Kunti ingin upacara penyambutan ini segera berakhir, ia ingin segera berdiam diri di peraduannya yang dingin, meratapi nasibnya yang malang.
Dewi Kunti merasakan kesendirian yang lengkap ketika membanting diri di atas peraduan, Raja Pandu tak hendak mengujungi kamar pengantin, ia memiliki kamar yang lebih indah dan harum bersama pengantin yang lebih muda dan mempesona. Aneka kelopak bunga yag mekar di kamar ini tiba-tiba layu tanpa warna. Dewi Kunti membiarkan air matanya membanjir, ia kini seorang diri  bukan berdiri di balairung selaku permaisuri agung, ia berhak mencurahkan perasaan yang sesungguhnya. Dewi Kunti masih ingin tetap sendiri, namun tiba-tiba sesosok tubuh ramping terbalut pakaian indah dan kemilau perhiasan berdiri dengan senyum kemenangan di ruangan ini. Dewi Kunti kembali berdiri tegak, seperti sikapnya yang semula, ia tak perlu mencurahkan air mata di hadapan seorang istri muda.
“Beribu ampun kakak perempuan, aku hadir di sini untuk meminta restu bagi pernikahan dengan Pandu....” suara Dewi Madrim halus, lembut mendayu. Ia seolah telah menantikan hari bahagia itu, sepasang sinar matanya yang indah berbinar tak dapat menyembunyikan suasana hati yang tengah menjelang malam pengantin. “Pasti, tak seorang pun permaisuri mengharap kehadiran permaisuri yang lain. Akan tetapi, dapatkah aku menolak sebagai putri yang dipertaruhkan pada sebuah sayembara. Andai aku tak pernah dipertaruhkan dalam suatu perang tanding, wanita yang mana pun pasti akan mencintai Pandu. Di setiap istana seorang raja bisa memiliki istri lebih dari satu. Aku, Dewi Madrim menjalani takdir, meminta kemurahan hati permaisuri Dewi Kunti ....” sepasang mata Dewi Madrim mulai berkaca-kaca, ia dapat menatap raut wajah Dewi Kunti mengeras seakan batu kali, wanita itu tak melakukan tindakan jasmani yang menyakiti, akan tetapi sorot matanya yang tidak bersahabat, sikapnya yang kaku telah menunjukkan penolakan, ketidakrelaan akan kehadirannya di istana ini. Andai ia berkehendak mengikuti keinginan Dewi Kunti selaku istri tunggal, kemana kakinya harus melangkah? Ia telah dimenangkan dalam sebuah pertarungan, ia menjadi hak Raja Pandu. Bersyukur, ia jatuh cinta dengan raja muda itu pada pandangan pertama, ia tak  perlu melakukan penolakan dengan nasib tragis seperti Amba.
Hening ....
Kedua orang wanita itu bertatapan dalam jarak yang teramat dekat, Dewi Kunti tak berniat menjawab satu kata pun ucapan Dewi Madrim. Ia merasa dirinya terbanting, kecantikannya tak berarti apa-apa bila dibandingkan wajah rupawan  Putri Kerajaan Madra. Ia hanya seorang pengantin malang yang merasa demikian bahagia, tetapi tiba-tiba tercampakkan pada sebuah lorong gelap tak berujung. Haruskan ia menolak Madrim? Ia tak memiliki kewenangan apa pun di istana ini, kecuali tanggung jawab untuk menurunkan seorang raja dinasti Bharata. Selebihnya, hampa. Andai semua orang tahu apa sesungguhnya arti menjadi seorang putri raja? Andai ia hidup pada zaman yang membenarkan seorang putri raja memilih jalan hidup serta mempelai laki-laki, haruskah ia berhadapan dengan Dewi Madrim dalam keadaan seperti ini?
Dewi Kunti membuang pandang, ia tak pernah dapat menerima kehadiran Dewi Madrim di sisi Pandu, akan tetapi ia tak dapat pula menolaknya. Ia tak dapat memilih hitam atau putih, ia berdiri di tengah-tengah, di wilayah abu-abu. Dewi Madrim tak dapat mengajukan keberatan, karena ia tak menyerangnya, ia tak dapat pula merengkuh seluruh bahagia, karena sepasang tangannya tak akan pernah terbuka. Dengan tatapan dingin Dewi Kunti menantang sepasang mata Dewi Madrim, “Masih ada urusanmu? Masih ada yang harus engkau ucapkan? Kalau tidak, tinggalkan ruangan ini....” Dewi Kunti berjuang menguasai api cemburu yang berkobar sedemikian dasyat seakan hendak menghanguskan setiap ruas tubuh. Ia masih mampu mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindak kekerasan, betapa tidak nyaman merasa kalah di depan seorang wanita yang berdiri anggun dengan senyum kemenangan. Ia tahu bagaimana cara mengubah senyum itu menjadi isak tangis tanpa harus melontarkan senjata perang.
Di pihak lain Dewi Madrim terpaku, perasaan  hatinya bagai bertabur seribu bunga ketika ia berdampingan dengan Pandu selaku suami istri. Ia tak pernah bermimpi menjadi istri kedua, akan tetapi ia telah dipertaruhkan dalam sebuah sayembara.  Lebih dari semua itu, wanita bodoh mana yang mampu menolak lamaran Raja Muda Pandu. Ia akan menyesal seumur hidup andai perkawinan ini tak pernah terjadi. Akan tetapi, ia harus berhadapan dengan wajah dingin Dewi Madrim, hari ini dan selama-lamanya. Wanita cantik itu menghela napas panjang, tak mudah kiranya takdir yang harus dijalani. Sedingin apapun wajah Dewi Kunti menyambut kehadirannya, ia tak akan pernah meninggalkan Raja Pandu, ia tak lagi memiliki tempat di istana manapun kecuali di Astinapura, berdampingan dalam jarak teramat dekat dengan seorang permaisuri yang membencinya.
“Masih ada yang ingin engkau ucapkan?” Dewi Kunti mengulang pertanyaan, suaranya teramat halus, tetapi di telinga Madrim suara itu terdengar seakan sebatang anak panah yang terlepas dari gendewa, mendesis. Dewi Kunti membalikkan badan, melangkah ke dekat jendela, memandang ke luar, ia bersikap seolah tak ada siapa-siapa di rungan ini. Ada yang  mengeras di relung hati terdalam Putri Kuntibhoja itu, satu pertanyaan terus berputar-putar, mengapa seorang raja dapat memiliki istri lebih dari satu?
Dewi Kunti tak perlu menyadari bagaimana perubahan raut wajah Madrim, karena sikap dan kata-katanya. Bila ia harus menerima kenyataan pahit, betapa tidak mudah menjadi istri pertama, Dewi Madrim juga harus pula mengerti, akan sama susahnya menjadi istri kedua. Wajah Dewi Madrim memucat ketika ia memberi hormat, membungkukkan badan kemudian undur meninggalkan peraduan. Ada yang tergores di relung hati. Andai ia memiliki pilihan supaya goresan itu tidak semakin dalam melukai.....

***


 Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...