Pandu putra Wicitrawirya dan permaisuri Ambalika tumbuh secara wajar di lingkungan istana. Berbeda dengan Destarata yang terlahir dari rahim Ambika, ia tidak mampu mengenal cahaya dan aneka warna. Sepasang mata Pandu selalu berbinar. Ia mempelajari ilmu sastra, tata negara, serta kemampuan berperang, ia siap menggantikan tempat raja di singgasana, karena sepasang mata Destarata buta adanya. Tak ada yang kurang pada diri pangeran itu hingga ia benar-benar dewasa dan akhirnya berhak akan tahta. Seorang raja tak layak kiranya bertahta seorang diri di singgasana, ia harus didampingi seorang ratu yang dimenangkan dalam sebuah sayembara.
Jauh
hari sebelum Pandu dewasa, nun jauh di sana hiduplah Sura, kakek Sri
Krishna, adalah keturunan mulia dari Bangsa Yadawa. Sura memiliki
seorang putri cantik, Pritha yang terkenal akan kebajikannya. Ia
memiliki pula sepupu bernama Kuntibhoja yang kurang beruntung, karena
tidak dikaruniai seorangpun anak. Maka Sura menyerahkan Pritha kepada
Kuntibhoja, selanjutnya gadis cantik itu dikenal dengan nama Dewi Kunti,
sesuai dengan nama ayah angkat.
Dewi
Kunti telah mendapatkan pendidikan budi pekerti yang tinggi, sikapnya
penuh sopan santun, hormat kepada setiap orang yang berada di
sekitarnya. Demikian pula ketika Durwasa, resi maha sakti pernah tinggal
lama di rumah ayah angkat Dewi Kunti. Gadis kecil itu selalu bersikap
ramah, sabar, dan penuh hormat. Suatu hal yang mengesankan Resi Durwasa,
sehingga ia merasa perlu memberikan mantra, dari mata batinnya ia telah
melihat masa depan gadis santun itu. Dewi Kunti akan mengalami
kehidupan yang menyakitkan dalam kehidupan berkeluarga.
“Andai
engkau ingin memanggil seorang dewa, ucapkan mantra ini. Maka, engkau
akan memiliki seorang anak dengan keagungan serupa dengan dewa yang
engkau panggil”, Resi Durwasa menatap wajah gadis kecil itu dengan
lembut. Kunti masih seorang bocah, akan tetapi sikapnya sehari-hari
telah tampak seakan wanita dewasa yang mampu bertanggung jawab dengan
lingkungan serta orang-orang di sekitarnya.
Dewi
Kunti masih terlalu bocah untuk menerima pemberian itu, ia bahkan tak
dapat memikirkan akibatnya, akan tetapi ia melakukan kekeliruan,
mencoba. Suasana di kediaman sunyi, semakin sunyi ketika Kunti sengaja
memisahkan diri, ia terdorong keinginan kuat untuk ingin tahu, ia tidak
sabar mencoba kekuatan mantra sambil menyebut nama Batara Surya. Andai ia bersedia menunggu tepat pada waktunya. Sesaat
setelah mengucapa mantra tiba-tiba biru langit berubah menjadi gelap,
mendung tebal menggantung. Kunti terpaku, gadis manis itu diam tak
bergeming ketika dari balik mendung perlahan membias cahaya, muncullah
Dewa Matahari. Dengan takjub Dewa Matahari menatap Dewi Kunti, seorang
gadis jelita yang membangkitkan gairah akan pesona duniawi. Ia tak bisa
menahan diri untuk tidak meraih lengan yang lembut itu kemudian
menciumnya.
Dewi
Kunti masih terpaku, ia berada dalam pengaruh kekuatan gaib mantra
oemberian Resi Durwasa. Di depan Batara Surya, Dewi Kunti tak tampak
selayaknya gadis kecil, ia adalah seorang wanita dewasa yang menarik dan
memikat. Batara Surya terpesona, “Engkau memanggilku putri jelita?”
suara Batara Surya bergetar ketika berucap, tak ada yang mampu
menggoyahkan hatinya selama ini, kini ia berhadapan dengan seorang gadis
di bawah kekuatan gaib. Ada yang meleleh di relung hati, tatapan
matanya tak dapat terlepas dari wajah menawan itu, seraut wajah
berbentuk bujur sirih dengan sepasang mata jernih, alis seakan semut
beriring, hidung yang mancung serta bibir semerah delima.
“Oh,
Dewata …. Siapakah sesungguhnya engkau?” Dewi Kunti merasa dadanya
bergemuruh, ia takjub, gembira sekaligus ketakutan. Ia tak sepenuhnya
memahami akibat dari mantra yang terucap, ia tak pernah mengerti, bahwa
mengucap mantra dengan memanggil Batara Surya berarti ia mesti bersedia
mengandung anaknya. Ia harus menghadapi suatu peristiwa penting yang
akan mengubah seluruh takdir hidupnya. Dewi Kunti masih terpaku ia tak
kuasa menolak kehadiran Batara Surya dengan seluruh tingkah laku
selayaknya kesatria muda yang tengah jatuh cinta.
“Putri
jelita, aku adalah Batara Surya, Dewa Matahari. Mantra yang engkau ucap
telah memanggilku, engkau sungguh seorang gadis yang mempesona dan
sangat pantas melahirkan anakku”, Batara Surya menggenggam lembut jemari
Dewi Kunti, detak jantungnya berpacu, adakah seorang kesatria yang
tidak terpikat dengan sosok lembut gadis itu.
“Aku
Dewi Kunti, seorang gadis yang belum beranjak dewasa dan masih berada
di bawah pengawasan seorang ayah. Aku belum mampu menjadi seorang ibu,
aku belum memimpikannya. Kali ini aku hanya mencoba kekuatan mantra
pemberian Resi Durwasa, kembalilah ke kayangan, maafkan segala
kesalahanku”, suara Dewi Kunti lembut merayu. Di telinga Batara Surya
suara itu sekan sebuah undangan yang memanggilnya menuju suatu tempat
rahasia yang tak bisa dikunjungi siapapun kecuali mereka berdua.
“Yang
cantik Dewi Kunti, aku tak dapat kembali ke kayangan sebelum engkau
mengandung anak dari Batara Surya. Betapa mempesona seluruh
kehadiranmu”, Batara Surya didorong suatu kekuatan yang tak bisa
dikendalikan yang tak bisa pula ditolak Dewi Kunti, ia hanya seorang
gadis kecil yang terpana dengan cahaya kemilau dari penampilan seorang
Batara yang tengah jatuh cinta. Ia tak seluruhnya menyadari apa yang
kemudian terjadi dalam waktu yang terasa lebih cepat tanpa jeda, ia
hanyut pada suatu tempat tanpa peta yang tak akan pernah diceritakan
kepada siapapun juga. Apakah Dewi Kunti merasa bahagia? Ia bahkan tidak
mampu menterjemahkan apa sesungguhnya arti kata bahagia ketika terlibat
hubungan rahasia dengan Batara Surya. Ia merasa dirinya mengapung
tinggi-tinggi, melayang di antara gumpalan awan seputih kapas kemudian
terhempas kembali ke dunia nyata dengan perasaan cemas tak terkatakan.
“Bagaimana
bila aku benar-benar mengandung, pernikahan antara kita tak pernah
terjadi, seluruh dunia pasti akan menghukumku?” suara itu lirih dan
ketakutan.
Batara
Surya kembali meraih tangan yang lembut itu, setelah hubungan rahasia
itu ia bahkan tak mampu mengusir pesona seorang gadis jelita yang
memanggilnya melalui kekuatan mantra. “Kunti yang jelita, jangan pernah
merasa takut, tak seorangpun di dunia ini akan menghukummu, yang engkau
kandung adalah anak Batara Surya. Engkau tidak memerlukan waktu Sembilan
bulan sepuluh hari untuk membesarkan seorang janin di dalam rahim.
Setelah mengandung, bayi itu akan segera terlahir dan engkau akan
kembali menjadi seorang perawan suci”, setelah kata-kata itu Batara
Surya berpamit kembali, ia hanya datang untuk yang pertama dan terakhir
kali, meninggalkan Dewi Kunti bimbang mengandung seorang diri.
Kata-kata
Batara Surya benar adanya, Dewi Kunti tak mengandung dalam waktu yang
lama, segera setelah seorang janin bersemayam di dalam lahir, ia pun
terlahir dengan melalui telinga. Dewi Kunti member nama bayi mungil itu
Karna, dalam bahasa Sansekerta berarti telinga. Karna terlahir lengkap
dengan seperangkat senjata perang serta hiasan telinga yang indah
berkilau seakan matahari. Dewi Kunti merasa bingung dengan kelahiran
ini, benar kesuciannya tak ternoda, karena Karna terkahir lewat telinga.
Akan tetapi, apa bedanya, ia memiliki seoranag bayi di luar adat
perkawinan, ia akan dipermalukan seisi dunia. Kunti tak kuasa menanggung
malu, ia masih terlalu belia, ia tidak tahu bagaimana mesti
membesarkan Karna.
Bimbang
dan takut mendorong Dewi Kunti melakukan kesalahan yang akan disesali
seumur hidupnya. Ia hanya mendekap Karna sesaat, seorang bayi mungil
tanpa dosa, berwajah tampan, seraut wajah yang sesungguhnya akan selalu
meminta kasih sayang seorang ibu untuk jangka waktu tanpa batas. Kunti
merasa lututnya menggigil, ia tak akan pernah mampu memberikan kasih
sayang itu dan tak akan pernah. Hati gadis belia itu terlalu gamang
ketika ia meraih sebuah kotak, napasnya tercekik ketika membaringkan
bayi kecil itu ke dalamnya. Karna tertidur pulas, tak pernah menyadari
hal yang terjadi pada dirinya. Dengan leleran air mata Dewi Kunti
melarung bayi tanpa dosa itu ke Sungai Gangga, ia tak mampu menanggung
rasa malu melahirkan seorang bayi tanpa suami. Ia mengorbankan takdir
seorang bocah yang memiliki suratan hidup selaku kesatria perkasa.
Ketika
kotak itu mengapung dan hanyut mengikuti arus Sungai Gangga, Dewi
Kunti terpaku, waktu seakan berhenti, alirannya darahnya mati. Gadis
cantik itu terus menatap kotak berisi bayi tak berdosa, anak kandungnya,
ia merasa kabut dingin menyergap seluruh tubuh ketika kotak itu
akhirnya menghilang dalam batas pandang. Ia telah melakukan tindakan
yang sangat kejam, akan tetapi adakah ia memiliki pilihan untuk
menyelamatkan nama baik? Ia memilih nama baik dari pada membesarkan
Karna selaku anak kandung, membuang bayi tak berdosa pada arus Sungai
Gangga, nasib bayi itu menuju suatu tempat yang tak mudah ditemukan
tempatnya. Sesaat Dewi Kunti memejamkan mata, ia merasa hari berubah
menjadi gelap lebih cepat dari batas waktu yang sesungguhnya. Ia tahu
sisi hatinya yang sangat rahasia akan selalu gelap, bahkan ketika sinar
surya berkilau pada cahaya yang paling terang. Kunti telah melakukan
kesalahan.
Kemana kotak yang membawa Karna pergi?
Bayi
malang itu terus hanyut dalam keadaan tertidur pulas tanpa menyadari
bahaya yang mengancam keselamatannya. Kematian dapat datang dengan
banyak cara, akan tetapi suratan takdir menyatakan lain. Radheya,
seorang sais kereta merasa heran ketika melihat sebuah kotak mengapung
di atas permukaan Sungai Gangga. Sais kereta itu lebih terkejut lagi
ketika melihat isinya, seorang bayi tampan tertidur pulas dengan
perlengkapan perang dan hiasan telinga yang indah berkilau. Radheya tak
perlu berpikir untuk yang kedua kali, ia memungut kotak itu. Lama nian
dalam perkawinan ia merindukan seorang anak, tanpa disangka kerinduan
itu kini terjawab. Rumahnya yang sederhana akan menjadi lebih hidup
dengan kehadiran seorang bayi mungil yang ia selamatkan dari arus Sungai
Gangga.
Di
rumah Surtikanti, istri Radheya menyambut bayi itu dengan takjub. Ia
tak pernah merasa sebahagia hari ini ketika keinginan untuk mendapatkan
seorang anak terpenuhi, meski bukan anak yang terlahir dari rahimnya.
Bayi kecil itu demikian tampan, lembut, dan memerlukan kasih sayang.
Radheya dan Surtikanti bukanlah orang tua kandung bagi bayi itu, akan
tetapi kasih sayangnya tak pernah berbeda, keduanya membesarkan Karna
layaknya orang tua kandung lainnya.
Nun
jauh di sana, Dewi Kunti membungkam seribu bahasa bagi sebuah rahasia
gelap, tak seorang pun tahu, sesungguhnya ia adalah seorang ibu muda
yang telah melahirkan seorang anak dengan cara berbeda, membuangnya,
membiarkan luka menganga di kedalaman hati yang semakin lama semakin
menyakiti. Dewi Kunti tetap menyimpan rahasia itu hingga tahun-tahun
berlalu, ia beranjak dewasa, tiba saatnya menikah. Raja Kuntibhoja
menyelenggarakan sayembara bagi sekalian pangeran dan raja muda untuk
memenangkan pertarungan kemudian memboyong Dewi Kunti selaku permaisuri.
Hingga
hari sayembara itu tiba, Dewi Kunti masih kukuh menyimpan rahasia, tak
seorangpun kesatria tahu sesungguhnya ia telah menjadi seorang ibu.
Pada hari sayembara itu ia adalah seorang putrid raja yang dikenal,
karena kecantikan dan kebajikan dan layak kiranya dimenangkan untuk
mendampinginya pada tahta kerajaan. Sayembara demikian ramai, sekalian
pangeran dan raja muda bertanding untuk memperebutkan seorang putri.
Saat itu, siapakah yang tidak jatuh cinta kepada Dewi Kunti? Batara
Surya bahkan jauh hari sudah jatuh cinta saat Kunti masih gadis belia.
Siapakah pemenang sayembara?
Raja
Pandu dari Astinapura telah berlatih ilmu perang sejak belia usia, ia
telah cukup dewasa untuk memasuki bahtera rumah tangga. Ia mengikuti
sayembara, mengalahkan satu demi satu lawan kemudian tersenyum bahagia
kala Dewi Kunti mengalungkan untaian bunga sebagai lambang kemenangan.
Pandu memboyong Dewi Kunti ke Astinapura, menyelenggarakan upacara
perkawinan agung, mengukuhkan Kunti sebagai permaisuri. Mestinya Dewi
Kunti merasa bahagia menjadi istri sah Pandu, putra Ambalika.
Akan tetapi ….
Sebelum
menyingkap tabir malam pengantin yang mengesankan, Pandu menerima
tantangan Raja Salya dari Kerajaan Madra yang datang terlambat untuk
memenangkan Dewi Kunti. Pandu tidak mungkin mengelak tantangan itu, ia
bertanding melawan Raja Salya dengan taruhan Dewi Madrim, adik Raja
Salya sebagai taruhan. Ternyata Raja Salya bukanlah lawan yang setara
dengan kemampuan Pandu yang cakap memainkan senjata perang. Dengan
hormat Raja Salya mengakui kesalahan, ia menyerahkan Dewi Madrim kepada
Pandu untuk dinikahi sebagai istri kedua setelah Dewi Kunti.
Maka
hari itu, ketika seisi kerajaan menyambut kemenangan bagi Pandu, Dewi
Kunti telah bersiap mengalungkan bunga bagi Raja Astinapura sebagai
bagian ritual upacara. Sebagai pengantin baru kerinduan terhadap Pandu
selaku mempelai pria tak tertahankan. Angan-angannya terlalu indah,
namun khayalan itu perlahan jatuh berserakan ketika di pertengahan anak
tangga istana ternyata Pandu tak datang seorang diri. Dari balik
punggungnya perlahan muncul seorang wanita muda berpakaian selayaknya
putri raja melangkah di samping Pandu dengan wajah penuh bahagia dan
kemenangan. Wanita itu berusia lebih muda, wajahnya yang rupawan, senyum
yang mengabarkan kekuasaan, tata rias yang memukau serta kemilau
perhiasan mewah pada setiap ruas tubuhnya sudah cukup membahasakan
semuanya. Jarak antara Pandu dan wanita itu nyaris tak ada, kecuali
angin lembut yang lewat melalui celah yang terlalu sempit. Dewi Kunti
terhenyak, ia tidak sedang menyambut mempelai laki-laki, ia harus
menyambut sepasang pengantin yang berbahagia ketika upacara agung
perkawinannya belum usai. Ramalan Resi Durwasa benar adanya, Dewi Kunti
akhirnya menerima perlakuan buruk dari sang suami Pandu. Kekuatan hati
Kunti cukup untuk menyembunyikan kegundahan hati, ia berjuang melawan
tetesan air mata yang memberontak untuk mengucur, membasahi pipi. Ia
adalah seorang permaisuri, pantang menampakkan kesedihan hati di depan
khalayak, kesedihan itu cukup bagi dirinya sendiri, bukan bagi orang
lain.
Ketika
Dewi Kunti kembali mengalungkan untaian bunga bagi Pandu, ia merasa
seakan tengah berhadapan dengan orang asing. Raja Astinapura itu seakan
tak mengenalnya, kerinduannya sebagai pengantin baru meleleh seakan
batang lilin dilahap api. Ia tak perlu merasa rindu, ia merasa terlontar
ke suatu tempat yang sangat jauh tanpa peta, sendiri dan kesakitan.
Masihkah seorang gadis bermimpi menjadi putri raja yang mesti
dimenangkan seorang kesatria pada sebuah sayembara? Dewi Kunti tak punya
pilihan, ia juga harus menaburkan bunga bagi Dewi Madrim seorang wanita
berwajah manis yang selalu diliputi senyum kemenangan. Apabila tak
menyambut kehadiran itu, ia akan disingkirkan dari kehidupan istana,
dianggap tak memahami dharma. Satu kata yang kini tak jelas lagi, apa
sesungguhnya artinya? Kecuali ia harus membiarkan dirinya terseret
arus, membiarkan Dewi Madrim tersenyum menang, merampas malam terindah
dalam hidupnya menjadi malam paling gelap tak berkesudahan. Dewi Kunti
ingin upacara penyambutan ini segera berakhir, ia ingin segera berdiam
diri di peraduannya yang dingin, meratapi nasibnya yang malang.
Dewi
Kunti merasakan kesendirian yang lengkap ketika membanting diri di atas
peraduan, Raja Pandu tak hendak mengujungi kamar pengantin, ia memiliki
kamar yang lebih indah dan harum bersama pengantin yang lebih muda dan
mempesona. Aneka kelopak bunga yag mekar di kamar ini tiba-tiba layu
tanpa warna. Dewi Kunti membiarkan air matanya membanjir, ia kini
seorang diri bukan berdiri di balairung selaku permaisuri agung, ia
berhak mencurahkan perasaan yang sesungguhnya. Dewi Kunti masih ingin
tetap sendiri, namun tiba-tiba sesosok tubuh ramping terbalut pakaian
indah dan kemilau perhiasan berdiri dengan senyum kemenangan di ruangan
ini. Dewi Kunti kembali berdiri tegak, seperti sikapnya yang semula, ia
tak perlu mencurahkan air mata di hadapan seorang istri muda.
“Beribu
ampun kakak perempuan, aku hadir di sini untuk meminta restu bagi
pernikahan dengan Pandu....” suara Dewi Madrim halus, lembut mendayu. Ia
seolah telah menantikan hari bahagia itu, sepasang sinar matanya yang
indah berbinar tak dapat menyembunyikan suasana hati yang tengah
menjelang malam pengantin. “Pasti, tak seorang pun permaisuri mengharap
kehadiran permaisuri yang lain. Akan tetapi, dapatkah aku menolak
sebagai putri yang dipertaruhkan pada sebuah sayembara. Andai aku tak
pernah dipertaruhkan dalam suatu perang tanding, wanita yang mana pun
pasti akan mencintai Pandu. Di setiap istana seorang raja bisa memiliki
istri lebih dari satu. Aku, Dewi Madrim menjalani takdir, meminta
kemurahan hati permaisuri Dewi Kunti ....” sepasang mata Dewi Madrim
mulai berkaca-kaca, ia dapat menatap raut wajah Dewi Kunti mengeras
seakan batu kali, wanita itu tak melakukan tindakan jasmani yang
menyakiti, akan tetapi sorot matanya yang tidak bersahabat, sikapnya
yang kaku telah menunjukkan penolakan, ketidakrelaan akan kehadirannya
di istana ini. Andai ia berkehendak mengikuti keinginan Dewi Kunti
selaku istri tunggal, kemana kakinya harus melangkah? Ia telah
dimenangkan dalam sebuah pertarungan, ia menjadi hak Raja Pandu.
Bersyukur, ia jatuh cinta dengan raja muda itu pada pandangan pertama,
ia tak perlu melakukan penolakan dengan nasib tragis seperti Amba.
Hening ....
Kedua
orang wanita itu bertatapan dalam jarak yang teramat dekat, Dewi Kunti
tak berniat menjawab satu kata pun ucapan Dewi Madrim. Ia merasa dirinya
terbanting, kecantikannya tak berarti apa-apa bila dibandingkan wajah
rupawan Putri Kerajaan Madra. Ia hanya seorang pengantin malang yang
merasa demikian bahagia, tetapi tiba-tiba tercampakkan pada sebuah
lorong gelap tak berujung. Haruskan ia menolak Madrim? Ia tak memiliki
kewenangan apa pun di istana ini, kecuali tanggung jawab untuk
menurunkan seorang raja dinasti Bharata. Selebihnya, hampa. Andai semua
orang tahu apa sesungguhnya arti menjadi seorang putri raja? Andai ia
hidup pada zaman yang membenarkan seorang putri raja memilih jalan hidup
serta mempelai laki-laki, haruskah ia berhadapan dengan Dewi Madrim
dalam keadaan seperti ini?
Dewi
Kunti membuang pandang, ia tak pernah dapat menerima kehadiran Dewi
Madrim di sisi Pandu, akan tetapi ia tak dapat pula menolaknya. Ia tak
dapat memilih hitam atau putih, ia berdiri di tengah-tengah, di wilayah
abu-abu. Dewi Madrim tak dapat mengajukan keberatan, karena ia tak
menyerangnya, ia tak dapat pula merengkuh seluruh bahagia, karena
sepasang tangannya tak akan pernah terbuka. Dengan tatapan dingin Dewi
Kunti menantang sepasang mata Dewi Madrim, “Masih ada urusanmu? Masih
ada yang harus engkau ucapkan? Kalau tidak, tinggalkan ruangan ini....”
Dewi Kunti berjuang menguasai api cemburu yang berkobar sedemikian
dasyat seakan hendak menghanguskan setiap ruas tubuh. Ia masih mampu
mengendalikan diri untuk tidak melakukan tindak kekerasan, betapa tidak
nyaman merasa kalah di depan seorang wanita yang berdiri anggun dengan
senyum kemenangan. Ia tahu bagaimana cara mengubah senyum itu menjadi
isak tangis tanpa harus melontarkan senjata perang.
Di
pihak lain Dewi Madrim terpaku, perasaan hatinya bagai bertabur seribu
bunga ketika ia berdampingan dengan Pandu selaku suami istri. Ia tak
pernah bermimpi menjadi istri kedua, akan tetapi ia telah dipertaruhkan
dalam sebuah sayembara. Lebih dari semua itu, wanita bodoh mana yang
mampu menolak lamaran Raja Muda Pandu. Ia akan menyesal seumur hidup
andai perkawinan ini tak pernah terjadi. Akan tetapi, ia harus
berhadapan dengan wajah dingin Dewi Madrim, hari ini dan selama-lamanya.
Wanita cantik itu menghela napas panjang, tak mudah kiranya takdir yang
harus dijalani. Sedingin apapun wajah Dewi Kunti menyambut
kehadirannya, ia tak akan pernah meninggalkan Raja Pandu, ia tak lagi
memiliki tempat di istana manapun kecuali di Astinapura, berdampingan
dalam jarak teramat dekat dengan seorang permaisuri yang membencinya.
“Masih
ada yang ingin engkau ucapkan?” Dewi Kunti mengulang pertanyaan,
suaranya teramat halus, tetapi di telinga Madrim suara itu terdengar
seakan sebatang anak panah yang terlepas dari gendewa, mendesis. Dewi
Kunti membalikkan badan, melangkah ke dekat jendela, memandang ke luar,
ia bersikap seolah tak ada siapa-siapa di rungan ini. Ada yang mengeras
di relung hati terdalam Putri Kuntibhoja itu, satu pertanyaan terus
berputar-putar, mengapa seorang raja dapat memiliki istri lebih dari
satu?
Dewi
Kunti tak perlu menyadari bagaimana perubahan raut wajah Madrim, karena
sikap dan kata-katanya. Bila ia harus menerima kenyataan pahit, betapa
tidak mudah menjadi istri pertama, Dewi Madrim juga harus pula mengerti,
akan sama susahnya menjadi istri kedua. Wajah Dewi Madrim memucat
ketika ia memberi hormat, membungkukkan badan kemudian undur
meninggalkan peraduan. Ada yang tergores di relung hati. Andai ia
memiliki pilihan supaya goresan itu tidak semakin dalam melukai.....
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar