Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 9, Destarasta dan Gandari







Destarastra berdiri di peraduan, menghadapkan wajah ke luar jendela, ia dapat menghirup udara segar yang menerbangkan pula wangi bunga serta lembut aroma tanah basah, ia seakan dapat pula mendengarkan suara halus dari embun yang gugur. Akan tetapi, ia tak dapat melihat indah taman bunga, sejuk hijau daun, jernih air kolam, serta warna menakjubjan dari seluruh isi istana. Sepasang matanya hanya hanya mengenal satu warna, hitam, yang semakin lama seakan semakin kelam. Konon, sang ibu Ambika menutup  mata ketika mengikuti upacara  Putrotpadana yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh keturunan, maka bayi yang kemudian dilahirkan tidak mampu melihat apa-apa. Sepasang mata Dretarastra buta adanya.
Raja Astinapura itu kerap mengutuki takdir hidup yang mesti dijalani, ia dapat mengenali watak orang dari detak langkah kaki, ucapan, kata-kata serta nada bicara. Akan tetapi, ia tak pernah dapat mengenal raut wajah serta sosok tubuh dari pemilik wajah itu. Setiap jengkal wilayah di istana telah dikenali, ia tidak perlu dituntun selama berjalan, dari peraduan menuju ke tangga, menghitung jumlah anak tangga kemudian duduk dengan agung di singgasana. Akan tetapi, ia tak pernah tahu keadaan yang sesungguhnya terjadi di balairung agung kecuali dari setiap  kata-kata yang terucap. Dretarastra bahkan dapat melempar sebilah pisau tepat mengenai sasaran, akan tetapi ia tidak pernah tahu bagaimana mata pisau itu berkilat, bagaimana sebenarnya bentuk sasaran yang harus diserang.
Seharusnya ia berhak akan tahta, bukan Pandu, namun cacat sejak lahir menghalangi langkah kaki untuk mencapai tempat tertinggi di Astinapura, hingga akhirnya Pandu mengundurkan diri dari singgasana, karena terkena kutuk pasthu. Ia hanya mengenakan mahkota yang digadaikan,  kelak anak pertama Pandu akan meminta kembali mahkota itu, menggantikannya sebagai raja. Tentu, ia tidak seorang diri dalam memerintah Astinapura. Bhisma yang Agung sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih berat, ia yang sebenarnya berhak menduduki tahta. Usia Bhisma semakin tua, seluruh rambutnya telah memutih serupa dengan warna pakaian yang selalu dikenakan. Akan tetapi, kesaktian itu menyebabkan usia  tak pernah menyurutkan kemampuan Bhisma dalam menata pemerintahan, ia tetap tampak sebagai kesatria brahmana yang gagah dan tampan.
Mahatma Widura telah beranjak dewasa, ia telah mempelajari ilmu pemerintahan secara langsung dalam kehidupan istana sejak belia usia. Kini, ia adalah perdana menteri Astinapura yang mampu bersikap cakap dan bijak. Dretarastra tak kesulitan memimpin kerajaan menuju kemakmuran, yang menjadi masalah adalah kekecewaan terhadap sepasang matanya yang hanya mampu melihat gelap. Dretarastra tak dapat menatap wajah cantik Gandari, permaisuri yang hanya dikenal lewat merdu suara, hangat serta harum tubuhnya.
Ah Gandari, satu sosok dengan kisah cerita tersendiri.
Gandari, putri Raja Subala dari Kerajaan Gandhara, satu wilayah yang kelak akan bernama Kandahar, yang meliputi Pakistan Barat Daya dan Afganistan Timur. Gandari amat berharap, bahwa ia akan dinikahkan dengan Pandu. Akan tetapi Bhisma selalu lebih berhak akan perkawinan itu, Gandari dinikahkan dengan Dretarastra, saudara Pandu yang buta. Harapan Gandari berkeping-keping menjadi kekecewaan, terlebih ketika Bhisma memberi ijin Pandu untuk menikah pula dengan Dewi Madrim. Gandari tahu bagaimana harus menjalani perkawinan dalam kehidupan kerajaan tanpa rasa cinta dan kewenangan memilih, sejak hari perkawinan itu ia menutup pula sepasang matanya, maka di depan khalayak ramai, ia tampak pula sebagai permaisuri jelita yang buta sepasang matanya.
Shangkuni, adik bungsu Gandari menyertai ke Astinapura, kehadiran itu seakan percikan nyala api teramat kecil, akan tetapi ketika kehidupan istana berubah seakan gumpalan kapas yang telah dikucuri minyak, dengan licik Shangkuni tega meniupkan api di atasnya. Shangkuni menjadi simbol penjilat dan segala kelicikan yang tak pernah lepas dari kehidupan manusia.
Gandari  menjalani perkawinan dengan perasaan sukar dilukiskan, andai ia hidup pada suatu zaman, sehingga seorang putri raja memiliki hak untuk memilih seorang calon suami? Akan tetapi, ia hidup pada suatu masa ketika seorang putri raja harus tetap diam ketika dinikahkan, tugas utamanya adalah melahirkan. Persoalan yang muncul kemudian, beberapa tahun setelah perkawinan itu Gandari tak juga mengandung, bahkan setelah kabar Pandawa lahir di tengah hutan sampai pula ke istana. Gandari tahu, tanpa kemampuan seorang ibu melahirkan anak-anak, nasibnya akan dipertaruhkan, seisi istana akan menekan dengan banyak cara hingga ia akan tersisih dari kehidupan istana. Perasaan yang menyergam Gandari kemudian adalah galau, ia harus melakukan sesuatu bagi kelangsungan garis keturunan. Hingga suatu saat Resi Abiyasa datang berkunjung bagi Gandari di Astinapura.
“Senang dengan kehadiranmu Resi Abiyasa, engkau seakan segelas air di saat seorang permaisuri merasa haus”, Gandari menerima uluran tangan Resi Abiyasa, ia tahu apa yang harus dilakukan seorang permaisuri, ia tak boleh mencurahkan kesulitan kepada orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak dapat melakukan apa-apa. Ia menaruh rasa hormat terhadap Resi Abiyasa, ia seakan tengah dikunjungi orang tua yang dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan apa adanya. Dengan setulus hati Gandari memenuhi segala keperluan Resi Abiyasa selama menetap di istana, satu sikap yang menyentuh hati sanubari sang resi, ia memahami kegalauan serta kelembutan hati permaisuri Astinapura.
“Saya selalu berdoa semoga permaisuri Gandari selalu berada dalam keadaan sehat, menjadi cahaya bagi seluruh kerajaan Astinapura”, suara Resi Abiyasa dalam, ia telah melihat jauh cerita kehidupan, ia harus mengerti mengapa seorang permaisuri mesti menutupi indah sepasang matanya. Bahkan ketika sehelai kain sutera merah menghalau kemampuan melihat seorang ratu, kecantikn Gandari tetap tampak dengan nyata. Tubuh Gandari ramping dan semampai terbalut pakaian seorang ratu dengan perhiasan mewah berkilau menyilaukan mata. Tata rias wajahnya menakjubkan, sikapnya yang anggun mampu menyembuyikan seluruh gejolak diri, akan tetapi Gandari tak sepenuhnya mampu bersandiwara di depan seorang resi. Abiyasa mampu melihat dengan ketajaman mata hati.
“Seandainya Gandari benar bisa menjadi cahaya bagi Astinapura, karena sejak perkawinan itu, aku masih harus menunggu kelahiran seorang bayi. Apa sesungguhnya tugas seorang ratu, kecuali menurunkan calon penerus tahta”, suara Gandari mulai parau, tekanan dari Dretarastra  akan kelahiran anak-anaknya semakin hari terasa semakin melukai. Dretarastra tak bisa menuntut kelahiran anak kepada siapapun kecuali kepada Gandari. 
“Ada yang bisa saya kerjakan Ibunda Ratu?” Resi Abiyasa menanggapi keluhan Gandari dengan bijak, iapun tahu tugas seorang ratu adalah melahirkan atau ia akan dianggap tak memiliki peranan dalam kehidupan istana.
“Apakah aku harus dua kali berucap, perlunya kelahiran itu bagiku?” Gandari menarik napas panjang, ia tahu kesaktian Resi Abiyasa, maka ia tak perlu sungkan menyatakan keluhannya.
“Baiklah, saya akan memberi anugrah. Berapa anak yang permaisuri harapkan?”
“Aku menginginkan seratus anak yang sama hebat dengan ayahnya”, Gandari menyatakn sikap dengan tegas, ia menginginkan jumlah anak yang berlebihan tanpa menyadari akibat mengerikan dari jumlah yang harus dilahirkan.
“Baik, saya akan memberikan seratus anak sebagai anugrah”, Resi Abiyasa menganggukkan kepala sebagai kepastian akan anugrah itu.
Tak lama kemudian Gandari mengandung, ia merasakan kebahagiaan yang tiada tara, ia akan segera menjadi seorang ibu, memenuhi tugas berat seorang ratu. Akan tetapi jarak antara suka cita dan duka nestapa tidaklah jauh. Gandari merasa putus asa, setelah sembilan bulan sepuluh hari mengandung, bayi di dalam rahim tak juga terlahir. Ketika kanduganya berusisa dua tahun, bayi yang ditunggu-tunggu tak juga lahir. Gandari menjadi kalap, ia memukul perutnya yang membesar, maka terlahirlah sepotong daging keras tak bernyawa, tak berujud pula seorang bayi.
“Tuhanku....!” Gandari menjerit, tubuhnya lunglai sama dengan suasana hati, ia mengharapkan seratus orang bayi, tetapi yang terlahir hanya seonggok daging. Apa yang sesungguhnya telah berlaku pada takdir hidupnya?  Permaisuri Dretarastra itu menjadi semakin kalap, ia berniat menyambar seonggok daging tak berguna itu kemudian membuangnya jauh-jauh. Air mata telah jatuh berderai.
Tiba-tiba Resi Abiyasa telah hadir di ruangan itu, suaranya tenang saat berucap, “Anugrah yang saya berikan bukanlah kebohongan, sediakan seratus guci berisi minyak murni, saya akan memotong daging itu menjadi seratus bagian. Potongan daging itu akan menjadi seratus anak seperti  yang permaisuri harapkan”.
“Aku juga menginginkan seorang anak perempuan”,  Gandari masih memiliki satu permintaan.
“Baiklah, saya akan penuhi permintaan itu”, jawab Resi Abiyasa, masih dengan sikap yang tenang, amat tenang. Ia kemudian memotong daging menjadi seratus satu bagian, memasukkan masing-masing bagian ke dalam guci berisi minyak murni kemudian menutupnya. “Tunggulah pada waktunya hingga tutup guci ini dapat dibuka”.
Gandari tak sabar menunggu, ketika akhirnya tiba saat untuk membuka tutup guci pertama, permaisuri itu kembali bersuka cita. Ia mendapatkan seorang bayi laki-laki, memberinya nama Duryudana. Akan tetapi, segera setelah bayi Duryudana mulai menangis, segala binatang hutan  melolong sementara  pertanda bencana alam terlihat pula. Semua penduduk kerajaan Kuru terhenyak, merasa kecewa. Pertanda itu sudah cukup memberikan isyarat,  kelahiran Duryudana akan  membawa bencana bagi seluruh penghuni kerajaan Kuru.
Dengan segala hormat Widura memberikan saran, berucap, “Beribu ampun Paduka, suara binatang hutan dan pertanda bencana alam adalah isyarat yang tidak baik bagi kelahiran Duryudana. Dalam kitab suci jelas tertulis, untuk menyelamatkan satu keluarga, singkirkanlah satu orang. Untuk menyelamatkan sebuah desa, singkirkanlah satu keluarga, untuk menyelamatkan negeri, singkirkanlah satu desa, untuk menyelamatkan jiwa, lepaskan keduniawian. Demi kebaikan keluarga kerajaan, negeri dan seluruh umat manusia, pertimbangkan kembali untuk membesarkan Duryudana di lingkungan istana sebelum hal-hal yang buruk terjadi."
“Kami mengakui kecakapan dan kemuliaan hatimu selaku Perdana Menteri, tetapi dalam hal ini suaramu tidak akan mengubah pendirianku dan Gandari untuk membesarkan Duryudana serta seratus anak lainnya. Segala hal baik dan buruk yang akan terjadi biarakn terjadi”, Dretarastra menjawab kata-kata Mahatma Widura dengan tegas, ia telah lama menunggu kelahiran anak-anaknya, suara lolongan binatang hutan tak akan mampu mengubah pendirian seorang raja dan permaisuri untuk membesarkan seratus satu bayi di linggkungan istana. Meskipun buta, ia berhak  menentukan sikap selaku seorang raja.
 
Seratus bayi yang lain menyusul dikeluarkan dari seratus guci berisi minyak murni. Satu-satunya bayi perempuan diberi nama Dursala. Perasaan Dretarastra dan Gandari diliputi suka cita, keduanya tidak lagi terjebak dalam sunyi, seratus satu anak telah terlahir meramaikan istana yang megah ini. Ratu dan Raja memberikan pendidikan budi pekerti, sopan santun, ilmu perang, dan pemerintahan. Keseluruhan  anak-anak itu mestinya memiliki peluang untuk menjadi pemimpin yang bijak. Akan tetapi, satu kesalahan yang tidak sengaja terjadi.
 
Andai Shangkuni tidak menyertai Gandari untuk menetap di istana ini ....
 
 
 
 
Bersambung .... 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...