Tian mengepak seperangkat
cangkir dan poci antik di dalam kotak dengan sehelai kertas kado bermotif ros
berwarna pink. Ia tengah mempersiapkan hadiah exlusif bagi sahabat yang tetap
melekat di hati, meski jarak teramat jauh memisahkan. Hari terindah bagi setiap
orang, yaitu hari perkawinan, hari bersejarah yang akan merubah seluruh
perjalanan hidup. Ia dan teman-teman yang lain pernah menduga, bahwa Betani
bakal menikah dengan Orin, bintang remaja yang menjadi buah bibir di SMA,
tetapi jalan hidup tak dapat ditebak, karena cerita hidup manusia bukanlah
teka-teki silang yang bisa dijawab
dengan mudah, berdasarkan huruf yang saling mempengaruhi. Jalan hidup adalah
misteri yang hanya dapat diungkap oleh sang waktu, perjalanan semesta yang
secara arif --tanpa campur tangan manusia-- selalu menjawab setiap tanda tanya.
Selepas pesta perpisahan di halaman SMA, Tian memilih
menjadi guru TK, dalam jarak pandang yang sangat jauh, ia bisa memonitor segala
yang pernah terjadi pada diri Betani dan Orin. Sebagai sahabat, ia memahami
harapan-harapan keduanya, akan tetapi sebagai serorang gadis yang memiliki
keinginan dan tentu saja rasa cinta, Tian memendam rasa sakit. Ia tak pernah
dapat melupakan Orin, setiap kali bertemu dengan orang tua Orin di pasar atau
di tempat-tempat umum Tian selalu menyanyakan Orin dan selalu dijawab dengan
segala keramahan. Malya, perempuan budiman itu memahami bahasa Tian, guru TK
yang lembut, santun, dan baik budi. Bila dibandingkan dengan Betani, jelas Tian
kalah cantik, tetapi daya tarik dapat terbangun dari hati yang tulus.
Kecantikan hakiki pada prinsipnya justru terpancar dari dalam hati, bukan
penampilan lahiriah semata-mata.
Terakhir Tian bertemu Malya di salon untuk merapikan
rambut yang telah panjang berantakan,
hati gadis itu bersorak ketika Malya menyampaikan perihal kedatangan Orin.
Sementara di rumah Tian mendapat kunjungan pula dari Betani, sahabatnya itu
menyampaikan sendiri undangan perkawinan. Semula Tian mengira Betani menikah
dengan Orin, akan tetapi undangan itu mengungkapkan segalanya. Bagaimana kabar
Orin ketika akhirnya ia harus tahu, Betani menikah dengan orang lain? Tian tak
berani menduga-duga, ia pasti akan bertemu dengan Orin pada pesta perkawinan
Betani dan mereka dapat bertegur sapa.
Tian berdiri di depan kaca, memantas-mantas gaun
berwarna kelabu yang menutup hingga betis kaki, rambutnya yang sebahu telah
disanggul seperti pada hari biasa ia mengajar anak-anak yang lucu di ruangan
taman kanak-kanak. Rias wajahnya sederhana, gadis itu mengenakan seuntai kalung
emas dengan leontin mutiara serta sepasang giwang yang berkilat-kilat oleh
cahaya. Jarum jam telah menunjukkan pukul 15.30 WIT, Tian harus datang lebih
awal, ia akan membantu Betani berhias dengan pakaian adat, mengaraknya menuju
pelaminan untuk upacara cuci kaki. Ia akan baronggeng --menari--
dalam irama musik tradisonil, gong serta calung hingga larut malam,
bahkan dini hari untuk merayakan hari yang penuh suka cita ini.
Ibu guru Taman Kanak-kanak itu hanya memerlukan waktu
sekitar sepuluh menit berjalan kaki menuju ke rumah Betani. Suasana pesta
menyambut kehadiran gadis itu, halaman rumah Betani telah dipasang terap dengan
janur kuning melengkung indah tepat pada pintu gerbang. Meja-meja beralas daun
pisang dengan kursi-kursi telah ditata rapi bagi sebuah perjamuan. Sebuah
pelaminan dengan nuansa warna gading dan pink berkolaborasi secara menakjubkan
sekaligus menjadi konsentrasi pada suasana pesta. Ruangan kosong khusus untuk
acara baronggeng telah disiapkan
pula. Sementara orang tengah sibuk memasang lampu, sound system dan segala
perlengkapan bagi upacara cuci kaki, sebuah ritus yang melambangkan penerimaan
dari kerabat laki-laki bagi pengantin perempuan. Kediaman Lambert ada di pulau
yang sangat jauh, yang tidak memungkinkan Nayla datang, karena alasan
kesehatan, maka upacara adat ini diselenggarakan di rumah Betani.
Tian menyapa satu demi satu orang yang ia kenal, ia
menyalami Nayla dan ayahanda Betani kemudian beregas menuju ke kamar Betani,
“Halo sayang sudah siap menjadi ratu dalam semalam?” Tian menyeruak ke dalam
kamar pengantin yang telah dihias oleh tangan-tangan ahli, seluruh hiasan
bernuansa putih, mulai dari kain gorden, kelambu, sprei, dan kain penutup
dinding. Ruangan ini harum semerbak oleh aroma pewangi yang memberikan sasana rileks. Tian mendapatkan Betani dalam keadaan
segar selepas mandi, calon pengantin itu tengah berkemas menuju ke rumah
kerabat dekat untuk dirias selayaknya seorang pengantin. Tian berharap akan
wajah bahagia seorang pengantin yang siap menjelang hari istimewa, tetapi dahi
gadis itu berkerut ketika ia menyadari betapa murung wajah sang calon pengantin
itu. Pantaskah seorang yang tengah
menjelang hari bahagia berwajah mendung?
Betani tak banyak berujar pada saat mengantar surat undangan, ia tampak
tergesa-gesa, berbasa basi dan segera berpamit. Tian tak banyak tahu apa yang
sebenarnya telah terjadi dengan terselenggaranya perkawinan ini? “Beta bawa
kado untuk engkau, beta harap engkau menyenanginya”, Tian mengulurkan bungkusan
kado itu yang segera diterima Betani dengan air mata tergenang, hatinya
tersentuh pada ketulusan hati Tian, setelah sekian tahun tak lagi membuat
“kenakalan” sebagai sesama anggota geng, Tian masih tetap memberikan perlakuan
istimewa. Gadis itu telah menjadi wanita dewasa dengan sikap matang dan
meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya air mata Betani bersumber dari persoalan
yang lain, perlukah Tian tahu?
“Kapan engkau
menyusul?”
“Menyusul kemana?”
“Menyusul menjadi pengantin tentu saja”.
Tawa Tian meledak, gadis itu terbahak-bahak seakan
sedang menyaksikan adegan lawak yang paling lucu, Betani terdiam. Alangkah senangnya gadis itu, ia tak
terbeban masalah dan pilihan hidup yang membingungkan, ia bebas tertawa seolah
dalam hidup ini tak ada masalah apa-apa. Betani menahan genangan air mata,
ia harus bersikap dewasa, kewajiban menenangkan hati ibunda menjadi “tugas”
yang harus dipikul tanpa keluh kesah.
“Maaf, beta belum memikirkan perkawinan, belum laku,
tidak ada laki-laki yang berminat”.
“Ko pasti tipu!”
“Atau beta tak ada minat sama laki-laki, tak ada yang
memenuhi syarat”, Tian berbicara seenaknya, satu hal yang sebenarnya disukai
Betani, karena Tian tak suka berpura-pura.
“Ko pasti punya laki-laki pilihan, tapi masih
sembunyi, nanti kalau sudah dengar beta punya cerita, pasti engkau ingin
cepat-cepat kawin”, Betani menyisir
rambut, merapikan seluruh penampilan, ia akan dirias pada kediaman seorang
kerabat yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah tinggal. Setelah siap dengan
pakaian pengantin ia akan diarak beramai-ramai. Gadis itu tak peduli ketika
Tian kembali terbahak-bahak dengan gelak tawa lebih keras, sehingga mengundang
beberapa orang berdatangan untuk menyaksikan peristiwa apa yang sebenarnya telah
terjadi.
“Ayo nona, engkau harus segera dirias”, Meiyanti, seorang
perempuan setengah tua, terhitung kerabat dekat Betani menghambur masuk, tak
lama kemudian Betani telah digandeng menuju kediaman seorang kerabat dekat yang
lain, seorang perias pengantin telah menunggu. Tak lama kemudian Betani telah
duduk di depan meja rias berkaca jernih dengan suasana kamar yang bersih dan
segar, sengaja dipersiapkan untuk mempersiapkan ratu dalam semalam. Betani tak
banyak berulah, ia diam menuruti setiap gerak ahli dari sang juru rias yang
bertindak dengan sangat hati-hati. Penampilan dari seorang pengantin yang
menjadi pusat perhatian dari seluruh tamu sekaligus merupakan promosi bagi
permintaan pada hari-hari yang akan datang. Perias pengantin itu tidak bersedia
mengambil tindakan ceroboh, karena penampilan Betani segera berubah, dari
seorang gadis sederhana menjadi seorang
wanita dewasa yang bersedia mengarungi samudra hidup. Tata rias khas terletak
pada titik-titik berwarna putih yang memanjang secara simetris pada sepasang
alis mata pengantin itu. Pakaian adat yang dikenakan Betani adalah kain batik
dan kebaya dari brokat putih yang sangat halus dengan sepasang selendang kembar
yang disampirkan secara menyilang di bagian dada dan punggung. Tusuk konde
berbentuk kembang goyang dalam warna keemasan, giwang bermata mutiara dan
kalung dengan leontin serupa menggenapi seluruh penampilannya.
Di luar kerabat dari pihak laki-laki telah siap untuk
menjemput, suara canda ria menyatu dengan cahaya keemasan yang jatuh pada hijau
dedaunan dan bunga yang mekar dengan molek di halaman. Seorang kerabat setengah
tua segera menutup daun pintu, acara permintaan dari pihak pengantin laki-laki
kepada pengantin perempuan akan segera dilaksanakan. “Tok... tok...tok.... buka
pintu!” terdengar suara berat seorang laki-laki mohon dikuakkan pintu.
“Bayar dulu”, Meiyanti menjawab.
“Iyo, beta bayar, buka pintu”, dari luar daun pintu
kembali terdengar jawaban. Sesaat kemudian daun pintu terbuka, kedua orang tua
Lambert telah bersiap di pintu dengan lembaran rupiah di tangan, lembaran itu
diberikan kepada Meiyanti sebagai “uang tebusan” bagi calon pengantin
perempuan.
“Kurang, tambah lagi”, Meiyanti menadahkan tangan.
Maka ibunda Lambert segera mengulurkan lembaran rupiah yang masih baru kepada
orang yang sama dan diterima dengan senyum suka cita.
Betani diserahkan
kepada orang tua pengantin laki-laki, digandeng keluar dari kamar rias menuju
keramaian penjemput yang sudah bersiap mengarak pengantin menuju pelaminan
sambil baronggeng --menari-nari-- Mau
tidak mau Betani harus tersenyum ketika ia mulai menjadi titik perhatian dari
serombongan pengiring yang bersorak sorai dengan riuh menerima kehadirannya.
Empat orang perempuan membentangkan sehelai kain yang masih baru di atas kepala
Betani selayaknya payung, meski panas matahari tak lagi bersisa. Cahaya surya
lembayung keemasan, langit membentang dalam warna cerah, membiru sebagai
pertanda jarak yang tiada berbatas dengan pandangan mata. Burung-burung ramai
beterbangan, mencicit seakan nyanyian semesta, membelah langit.
Betani mulai
melangkah dengan kaki telanjang, Tian telah mengemasi seluruh barang-barangnya
dalam sebuah tas mungil dan menyandangnya di atas pundak. Iringan pengantin
mulai bergerak perlahan, cahaya senja terpantul sempurna, penampilan Betani
sungguh menyerupai bidadari yang turun dari langit bersama lengkung pelangi.
Juru rias telah berhasil menunjukkan kebolehannya, tangannya terampil mengubah
penampilan seorang gadis dalam menjelang malam pengantin.
Seluruh perhatian masyarakat yang menetap di
sepanjang jalan yang dilalui Betani menghambur dari dalam rumah untuk ikut
serta bersorak sorai. Setiap kendaraan yang berpapasan mengurangi kecepatan,
memberikan kesempatan kepada iring-iringan pengantin untuk menggunakan jalan
raya dengan lebih leluasa. Semakin lama iring-iringan semakin ramai,
samar-samar mulai terdengar gema irama gong dan calung beradu serta gelak tawa
dari orang yang menari-nari. Sejenak Betani terlupa dengan kesedihan, ia membaur
menjadi satu sebagai bagian dari adat dan rituil yang sudah mengakar beratus
tahun di tanah ini. Kurang lebih seratus meter dari pelaminan serombongan orang
beramai-ramai datang sambil membawa tikar anyaman daun pandan, mereka
menghentikan langkah kaki Betani kemudian membentangkan tikar dan mempersilakan
Betani melangkah di atas tikar. Tikar-tikar itu disambung dengan tikar-tikar
yang lain, Betani melangkah dengan sangat perlahan, ia tak sampai hati untuk
tidak tersenyum, ia dapat melihat betapa gembira orang-orang yang tengah
meramaikan adat perkawinannya, sekurang-kurangnya ia harus menunjukkan mimik
muka bahagia, meski hati kecil meragukannya.
Ketika langkah kaki telah melewati tikar
yang terbentang di depannya, maka tikar-tikar yang berada di bagian belakang
segera diangkat kemudian dipindahkan di bagian depan. Demikian, sehingga Betani
tak pernah menginjakkan kaki di atas tanah hingga ia dijemput di bawah janur
kuning yang melengkung, para kerabat membawakan tari cakalele dengan bersuka ria, irama gong dan calung terus menyatu,
menjadi musik yang meriah dan hingar bingar. Para penjemput terus meletakkan
tikar pandang di atas tanah yang akan dilewati pengantin perempuan hingga
Betani duduk di atas pelaminan berkursi tunggal, seorang wanita setengah tua
berkain kebaya memangkunya.
Setiap anggota kerabat membawakan tarian cakalele, satu demi satu menari dengan
iringan musik, tangan memegang perisai tradisionil dan janur. Setelah
memberikan penghormatan kepada pengantin perempuan, maka kerabat yang lain
mendapar giliran menari. Betani terduduk mengikuti keseluruhan acara tanpa
banyak berkata-kata, ia bertatapan dengan Lambert yang tampak berbahagia
menyaksikan betapa cantik pengantin perempuannya. Laki-laki itu begitu yakin,
bahwa ia tak memilih seorang istri yang keliru, perkawinan adalah ritual
terpenting dalam hidup yang akan mengubah masa depan seseorang untuk jangka
waktu yang tiada batasnya. Apabila ia memilih orang yang salah, maka akan porak
porandalah seluruh hidupnya. Ia berani menyelenggarakan upacara adat cuci kaki,
bagi Betani, karena suatu keyakinan, bahwa ia telah mempersunting seorang
wanita yang layak kiranya berperan sebagai istri, pendamping hidup sekaligus
ibu bagi anak yang bakal dilahirkan. Lambert mengenakan kemeja warna abu-abu
lengan panjang dan celana warna gelap, rambut laki-laki itu tampak rapi setelah
bercukur. Lambert duduk dengan tenang, ia menikmati suasana istimewa, ketika
irama gong dan calung berkolaborasi menciptakan suara yang spesifik dan
bergelora hingga ke dinding jiwa.
Di atas meja beralas daun pisang yang telah
dibersihkan hingga mengkilap, terhidang makanan tradisionil. Adalah nasi,
keladi, ubi, ikan, ayam, daging, berupa sayur mayur yang diolah dengan sedap
serta gelas bambu yang berisi tuak. Cahaya lilin berpendar dengan syahdu
menghidupkan suasana, seluruh hadirin bergembira, baronggeng bersama-sama mengikuti irama. Hingga akhirnya tibalah
acara cuci kaki, seorang gadis kecil dari kerabat Lambert, berkain kebaya
dengan tata rias wajah yang lembut serta konde di kepala, perlahan-lahan duduk menuju
ke pelaminan membawa mangkuk gelas berisi air serta cabang pohon yang dipetik
dengan seluruh daun-daun. Gadis itu berlutut kemudian mencelupkan dedaunan ke
dalam air, membasuh sepasang kaki Betani berulang-ulang hingga tiga kali. Adat
ini menjadi pertanda, bahwa Betani telah diterima secara resmi di sebagai
anggota kerabat keluarga Lambert, ia telah dikukuhkan secara simbolis.
Betani tersenyum kecil, kemudian pembawa
acara mempersilakan Betani untuk berkeliling ke seluruh kursi untuk menyuapkan
sesendok nasi bagi seluruh keluarga Lambert. Mula-mula pengantin itu menyuapkan
nasi bagi kedua orang tua Lambert, kemudian bagi kedua orang tuanya serta
seluruh kerabat lain diiringi sorak sorai menandakan kegembiraan. Ketika ia
duduk kembali ke pelaminan dipangku
seorang perempuan berkain kebaya, maka acara tari tari tide-tide dimulai. Sekelompok gadis kecil berkain kebaya dan
bergelung konde menari secara lemah gemulai di atas tikar pandan. Betani pernah
melakukan hal yang sama saat ia masih seorang gadis kecil, acara ini sangat
menyenangkan, ia akan menampilkan kebolehannya di hadapan para hadirin,
mendapat sanjungan serta pujian. Kini, ketika waktu berputar --bahkan dengan
amat cepat seakan anak panah yang melesat laksana kilat-- tiba saatnya ia
menjadi pengantin sementara anak-anak mempersembahkan tide-tide.
Kemudian tibalah saatnya bagi pengantin
perempuan untuk baronggeng, Betani digandeng menuju ke atas tikar yang
dibentangkan di tengah-tengah ruangan, iapun menari mengikuti irama kedua orang
tua pengantin laki-laki dan perempuan baronggeng
terlebih dahulu kemudian menyelipkan lembaran rupiah di atas kepala Betani.
Uang itu menjadi hak pengantin perempuan, kerabat dan tamu undangan lain
menyusul, baronggeng kemudian
menyelipkan lembaran rupiah di atas kepala Betani pada lipatan-lipatan konde,
sehingga kepala pengantin itu tampak seakan pohon uang. Betani larut dalam
kegembiraan, ketika Tian ikut pula baronggeng
sambil menyelipkan lembaran rupiah di atas kepalanya, Betani tak dapat menahan
tawa. Tian amat lincah baronggeng,
gadis itu menampakkan sikap persahabatan yang tulus.
Betani masih tetap baronggeng, sesekali pandangan matanya bertautan dengan pandangan
mata Nayla, ibunda tampak benar berbahagia. Kesehatannya membaik secara
tiba-tiba, Nayla melakukan pengobatan alternatif yang berdampak positif bagi
kesehatan. Keinginan untuk menikahkan
sang gadis dalam pesta adat yang meriah telah tercapai, ia akan merasa tenang
apa bila hal yang terburuk terjadi, Betani pasti akan bertanggung jawab
terhadap satu-satunya adik kandung yang mesti dibesarkan. Nayla duduk tenang
didampingi sang suami, pandangan matanya tak pernah terlepas dari setiap
gerakan anak gadisnya. Nayla dan Betani tak sempat memperhatikan kehadiran
seorang tamu yang mengikuti keseluruhan acara ini, bahkan tanpa seulas senyum.
Kedua orang perempuan itu terlalu sibuk, hanyut di dalam suasana.
Betani tersadar pada undangan yang diberikan
secara pribadi kepada Orin ketika ia merasa lelah baronggeng. Sekilas ia melihat bayangan Orin duduk membisu, pemuda
itu seakan bersembunyi dari meriah suasana, ia sengaja hadir, tetapi ia tidak
menjadi bagian yang berbahagia di dalamnya. Sekilas ketika keduanya bertatapan,
Betani merasa seakan seluruh suara terdiam, ia tak lagi dapat mendengar suara
gong serta calung, sorak sorai orang-orang yang tengah baronggeng serta gelak tawa dari orang yang mulai mabuk, karena
tuak dari gelas bambu. Orin datang sekedar memenuhi undangannya, bukan untuk
ikut serta berbahagia, wajah pemuda itu tak dapat menyembunyikan kesakitan,
satu hal yang melukainya. Betani membuang pandang, tanpa sadar ia berpamit
kembali ke kamar pengantin dengan alasan untuk memperbaiki rias wajah.
Tak berapa lama kemudian, pengantin itu
menghambur ke dalam keheningan kamar, irama gong serta calung terdengar semakin
samar, Betani mengatupkan daun pintu. Ia bermaksud menghempaskan diri di atas
pembaringan, akan tetapi karangan bunga segar dari sebuah jambangan antik
menarik perhatiaannya. Siapa memberikan rangkaian bunga indah pada hari
perkawinannya? Di antara bunga-bunga segar itu terdapat secarik kertas, Betani
meraih dan membaca deretan kalimat pendek di atasnya:
“Selamat Berbahagia, abadi dan
selamanya.....”
Orin
Untuk
sebuah ucapan pada hari perkawinan, kalimat itu terlalu pendek dan tak
bertendensi apa-apa. Akan tetapi, bagi
Betani kata-kata itu segera berubah layaknya sebilah bambu yang bergerak dengan
pasti, menghunjam tepat di relung hati. Pengantin itu memejamkan mata, ia
merasa seakan-akan seluruh isi kamar berkabut, semakin tebal-semakin tebal,
sehingga ia tak dapat mengendalikan seluruh pandangan mata.
***
Di
luar pesta masih tetap berlangsung, Tian tergelak-gelak di antara sekalian yang
bergembira. Akan tetapi gelak tawanya mereda ketika ia melihat bayangan Orin
terdiam pada salah sudut tanpa sepatah kata. Ia terlalu kelewatan dalam
berpesta, sehingga ia nyaris melupakan kehadiran yang satu ini. “Orin,
bagaimana engkau punya kabar? beta hampir tak dapat mengenal engkau. Kapan
datang? Ayo baronggeng”, Tian
menggenggam tangan Orin menariknya ke arena, tetapi Orin tampak enggan, pemuda
itu tetap terduduk. Setelah sekian lama berpisah dengan Tian, tiba-tiba ia
merasa aneh, gadis itu bersikap seolah-olah mereka teman akrab yang tak pernah
terpisah jarak, waktu, dan perbedaan. Kata-katanya ramah, tindak tanduknya
alamiah, Orin dapat merasakan kehangatan pada tatapan matanya, sementara
genggaman tangannya demikian erat.
Orin sengaja hadir pada upacara cuci kaki
lambat-lambat setelah malam benar-benar menghitam bagai cairan tinta, ia harus
memenuhi undangan Betani, meski suasana pesta akan berubah menjadi ritual asing
yang menggelisahkan. Pemuda itu menyerahkan karangan bunga yang diperoleh
dengan susah payah, memberikan kepada penerima tamu sambil berbisik supaya karangan bunga itu
diletakkan di dalam kamar pengantin kemudian duduk pada sudut yang tersembunyi,
mengikuti keseluruhan jalannya ritual. Ia mengira tak banyak lagi orang yang
mengenali, terlebih setelah seorang demi seorang mulai melayang, karena
pengaruh alkohol tuak yang alami. Dari kejauhan Orin menatap Betani yang tengah
dinobatkan menjadi ratu dalam semalam, penampilan gadis itu dalam semalam
sungguh berubah secara menakjubkan. Betani telah berubah menjadi seorang wanita
dewasa, ia bukan hanya cantik sekaligus matang, tetapi sangat menggairahkan.
Orin mengamati pula pengantin laki-laki yang tengah menikmati hari kemenangan
dengan menyunting seorang perawan impian. Lambert tampak sebagai laki-laki
dewasa dengan perangai terpelajar, gerak geriknya tenang, tutur katanya
bersahaja. Pengantin laki-laki itu selalu berada tak jauh dari lingkaran
keluarga yang nyata menunjukkan mereka adalah keluarga terpandang. Orin mengerti,
mengapa Nayla mempercayakan hari
perkawinan ini, Betani tak mendapatkan calon suami yang salah, mereka sungguh
serasi. Sederet kalimat yang ia tulis dan terselip pada karangan bunga
benar benar adanya, Betani akan mendapatkan
kebahagiaan abadi. Pasangan suami istri adalah dua orang yang akan saling
mengisi sekaligus memberikan pengaruh di dalam kebersamaan untuk jangka waktu
yang tak ada batasnya hingga maut memisahkan. Ketika seorang wanita baik-baik
ditakdirkan menikah dengan seorang laki-laki yang bertanggung jawab, maka
kebahagiaan hidup sudah pasti bakal terngenggam. Betani menjalani takdir yang
semestinya.
Andai pengantin
laki-laki itu adalah dirinya....
Orin memejamkan
mata, ia merasa kehampaan menguasai sesisi dada, pandangan matanya bergoyang,
napasnya tersengal. Ketika seorang mengulurkan gelas bambu berisi tuak Orin
segera menenggaknya, ia merasa lebih
baik. Gelas bambu pertama disusul gelas kedua, ketiga. Seterusnya Orin
mulai kehilangan kewaspadaan, separuh kesadarannya hilang, karena rasa sakit,
separuh hilang, karena akibat paling berbahaya dari alkohol. Orin tak tahu
dimana dirinya berpijak, ia merasa seakan melayang-layang di ketinggian,
dihempas angin, diguncang prahara, selebihnya kelabu. Suasana sekitar tampak
seakan mendung tebal menjelang hujan, mendung semakin padat, semakin dingin.
Orin mencoba bertahan dari sebuah kekuatan tak tembus mata yang seakan
menyedotnya menuju suatu pusaran aneh yang terus mengasing seakan terowongan
waktu. Ia mencoba bertahan dan terus bertahan, akan tetapi semakin lama seluruh
tulang belulangnya seakan terlepas dari persendian, ia terbaring tanpa
kerangka, ia merasa demikian lemas, sehingga ketika angin kencang berpusing
seakan gasing, pemuda itu hanya dapat pasrah, menyerahkan diri dicengkeram kekuatan
yang menakutkan.
Di keramaian pesta Orin memejamkan mata, menyandarkan
kepala, merebahkan tubuh pada kursi panjang. Suasana pesta semakin meriah,
Betani kembali baronggeng, kepalanya
berubah seakan pohon uang, tuak terus mengalir dituangkan dari gelas bambu yang
satu ke gelas bambu yang lain, suara gong serta calung semakin membahana. Akan
tetapi, di telinga Orin suara itu terdengar semakin jauh, semakin samar, kacau,
terpatah-patah, dan akhirnya berhenti sama sekali. Pemuda itu terkulai di kursi
panjang seakan tidur yang pulas, amat pulas. Tak seorangpun menaruh waspada
kecuali Tian, gadis itu mengguncang-guncang bahu Orin, tetapi pemuda itu tak
bereaksi. Tian mengira Orin benar mengantuk dan segera tertidur, ternyata
hingga acara selesai pada dini hari Orin tak juga terbangun, pemuda itu diserang
demam tinggi, mengigau. Keesokan harinya ketika seisi rumah sibuk berkemas
untuk membenahi tempat acara yang menjadi kacau balau, Orin masih juga terkulai
di atas kursi, sepasang matanya terpejam. Beberapa orang mencoba membangunkan,
Orin tak juga terjaga, suhu badan pemuda itu semakin tinggi, akhirnya pemuda
itu dilarikan ke rumah sakit. Sementara Betani tak pernah tahu apa yang telah
terjadi, ia harus kembali dirias dalam gaun putih untuk melakukan sakramen di
gereja.
***
Orin kehilangan komunikasi dengan dunia luar, ia tak
menyadari keberadaan diri dan perihal yang bakal terjadi, terlebih prosesi
sakramen perkawinan Betani, ia bahkan tak mengingat undangan perkawinan atau
acara adat cuci kaki. Ia berada di tempat yang sangat jauh dari jangkauan
tangan manusia, ia sendiri, tersisih, nyeri, dan linglung. Pemuda itu tak
menyadari hari yang tanggal, jarum jam yang aktif berputar, perubahan cahaya
dari gelap menuju terang dan sebaliknya. Orin berada di suatu tempat yang
sangat jauh, kesunyian menyeruak semakin dalam bagai tajam mata pisau terbenam
pada luka menganga. Akan tetapi, aneh Orin tak merasa nyeri atau pedih, ia
hanya merasa sendiri, tak dapat dijangkau siapapun. Ia berada di depan sebuah
gua dengan dinding-dinding yang samar
dan membingungkan, berkas cahaya berpendar pada ujung yang sangat jauh dan
suram dicengkeram kegelapan. Sesosok bayangan menggapai, “Orin, mari....”
Orin berniat
mengikuti sosok bayangan itu, tetapi langkah kaki seakan tersangkut
seribu akar pohon saling mengait, menyebabkan ia harus berjuang sekuat tenaga
untuk berontak, membebaskan kaki, menuju berkas cahaya di ujung gua. Pemuda
terengah-engah, semakin ia berusaha melawan, semakin kuat akar pohon menjerat,
akar pohon itu kini berubah menjadi taring, menggigit, menimbulkan rasa sakit.
Pemuda itu berteriak, mengeluh, sepasang matanya yang sayu terbuka,
penciumannya membau aroma obat-obatan yang menyengat.
Orin terjaga, pandangan matanya dipenuhi
kunang-kunang, kepalanya pening, tubuhnya ngilu tanpa tenaga. Apa yang tengah berlaku? Pemuda itu
mendapati dirinya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan
dinding-dinding yang suram. Ia dapat mengenali kembali wajah bunda dan
ayahanda, seorang berseragam putih, mungkin dokter, dan wajah seorang yang teramat cemas, wajah Tian. Gadis itu
menggenggam telapak tangannya yang serasa beku. Orin merasa terlalu lemah untuk
menyadari semua ini, ia kembali terkulai seakan ranting kering terlepas dari
cabang pohon, diterpa angin musim.
Pemuda itu harus terus menerus dirawat dan dijaga
selama seminggu penuh, selang infus meneteskan laktosa secara lemah dan pasti,
segala macam cara dilakukan untuk menyelamatkan Orin sampai akhirnya pemuda itu
terjaga dengan wajah suram. “Apa yang terjadi?” suara Orin pelan.
“Engkau minum tuak terlalu banyak, mabuk, pingsan,
dan tidak bangun selama satu minggu, syukur engkau selamat, berhenti minum
barang bodog itu atau engkau akan
sengsara selamanya”, Malya berbicara dengan ketakutan, ia telah membesarkan
pemuda ini selama sembilan bulan sepuluh hari di dalam kandungan, merawatnya
dari bayi hingga kanak-kanak, gesit sebagai pemuda remaja, dan cemerlang
menjadi mahasiswa. Anak kesayangannya itu kini terbaring tanpa daya, karena
tuak, minuman celaka yang sebenarnya tak berguna apa-apa. Malya tahu, Orin tak
pernah tertarik minum tuak, mengapa tiba-tiba anak itu menjadi gila?!
Orin terlalu lemah untuk memahami semuanya, ia
memejamkan mata melawan rasa sakit yang terus menggerogoti sekujur tubuh hingga
ke ulu hati. Ia berusaha kembali mendapatkan seluruh kesadaran, sehingga
akhirnya dirinya harus terkapar di atas ranjang rumah sakit. Samar-samar ia
teringat kepada suasana upacara cuci kaki dengan Betani sebagai tokoh utama
pada perhelatan itu. Ah! Ia telah kehilangan dengan mutlak, ia kalah telak, ia
gagal menggapai impian, ia menenggak tuak secara berlebihan, karena kekecewaan
yang dalam, dan kini terbaring tanpa daya dengan selang infus tetap bekerja.
Orin kembali memejamkan mata, ia seakan ingin
tertidur tanpa harus terjaga untuk selamanya, betapa indahnya mimpi, betapa
menyebalkan dunia nyata. Akan tetapi betapapun ia mencoba memejamkan mata, jiwanya tak bisa tertidur, ia tak bisa terus
berkompromi dengan dunia mimpi, kehidupan adalah nyata dan ia menjadi tokoh
baku di dalamnya. Tokoh yang patut
dikasihani dan sendirian, Orin mengeluh. Ia tahu akan berhadapan dengan
saat-saat sulit untuk jangka waktu yang tak ada batasnya, pemuda itu merasa
dirinya teramat kecil, kecil dan memalukan.
“Air....” Orin mengeluh, sesaat kemudian matanya yang
sayu bertautan dengan lembut tatapan Tian, air yang disuapkan dengan sendok ke
dalam mulutnya yang kering sama sejuknya dengan bening sepasang mata gadis itu.
Dada Orin seakan mengombak, ia tak benar-benar sendiri, ia tak benar-benar
kehilangan, ia tak sungguh-sungguh bernasib malang, ia berada di antara
orang-orang yang mencinta. Lantas, apa lagi?
Samar-samar Orin seakan melihat bayangan Betani
berputar-putar seakan gasing, bayangan itu semakin lama semakin kabur ditelan
halimun. Sesaat Betani menoleh, melempar seulas senyum kemudian gadis itu
berlari menerjang kabut, gaunnya yang putih berkibar laksana bendera raksasa
dihempas angin di udara. Bayangan itu terus menjauh, menyatu bersama kabut dan
akhirnya hilang ditelan warna. Orin merasakan nyeri di dada, rasa nyeri itu
semakin menikam, semakin dalam, pemuda itu memejamkan mata rapat-rapat.
Sementara waktu terus berputar, tak istirah karena seorang menjadi pasien di rumah
sakit atau ada sepasang pengantin baru yang tengah masyuk berkasih-kasihan.
Waktu tak pernah henti berputar.
Orin menjalani
perawatan intensif dari pihak rumah sakit dan keluarga, hingga ia kembali
mendapatkan kesadaran. Makanan dan minuman bergizi yang disuapkan ke dalam
mulutnya dengan kasih sayang oleh Malya memberinya kekuatan, dan ia --Orin--
adalah pemuda dengan bakat khusus, ia mahasiswa cerdas serta penggemar serta
pemain sepak bola yang handal. Ia telah berulang kali keluar dari kesulitan, ia
menang, kini ia telah melewati saat-saat kritis, dan ia selamat. Ia mempelajari
banyak hal, khususnya tentang kemandirian, bahwa tak ada sesuatu yang dapat
diharap untuk menyelematkan kehidupan kecuali semangat hidup itu sendiri. Ia
telah kehilangan Betani, janur kuning telah melengkung, ia tidak punya hak
apa-apa lagi, kecuali bertegur sapa sebagai warga masyarakat yang saling
mengenal. Akan tetapi, ia punya langit tak berwarna yang selalu menunggu segala
keinginan untuk merubah langit itu berubah wujud seperti kemaunannya.
Orin masih memiliki
hari esok, masa depan yang telah lama dipersiapkan dan tak bisa begitu saja
diabaikan, kecuali ia telah benar-benar kehilangan kewarasan. Ia telah
melewatkan sekian tahun di perantauan bagi selembar ijazah yang berfungsi
melegitimasi kemampuannya di bidang akademis yang akan mengubah seluruh
hidupnya. Suatu saat, setelah perjalanan sang waktu yang demikian panjang,
segala kepahitan hari ini akan berubah menjadi kenangan, kematangan jiwa akan
membuat ia dapat mengingat kembali dengan senyum.
Pemuda itu tengah
menghirup udara segar yang mengalir melalui bingkai jendela, ia telah
mendapatkan kembali kekuatan, ia telah terjungal dengan amat menyakitkan, ia
membiarkan rasa sakit menggerogoti sekujur tubuh hingga ke titik yang paling
mengerikan. Grafik alam secara natural bekerja, setelah garis penurunan yang
demikian tajam hingga ke titik terendah, maka sedikit demi sedikit bentuk garis
akan kembali meningkat menunggu titik keseimbangan. Orin memang menjadi lemah,
tetapi ia tidak terlalu lemah untuk sekedar keluar dari persoalan. Betani tentu
saja salah satu dari segala persoalan hidup yang harus dilewati.
Bukankah ia telah
melewati semua ini?
Orin meneguk
secangkir teh panas dan menikmati kehangatan menyusup hingga ke rongga dada. Ia
telah dapat mandi dengan air hangat serta menikmati buah-buahan segar, pemuda
itu sendiri di ruang rawat yang dipenuhi aneka makanan. Orin mencoba mengingat
seluruh kronologi peristiwa yang mengantarnya menuju ke ruang ini. Penanggalan
pada jam tangan menunjukkan tanggal 29, berarti telah 15 hari ia tergolek untuk
kembali kepada kesadaran memahami
datangnya hari ini. Betani tak memerlukan kehadirannya atau sebuah tekanan
membuat gadis itu tak mengijinkan ia datang dalam hidupnya. Jadi, untuk apa ia
mesti bersusah payah bagi sebuah kebersamaan yang mustahil. Ia dapat meneruskan
hidup tanpa Betani, bukankah hidup ini sebenarnya terlalu indah untuk sekedar
ditangisi. Ia masih ingin mengikuti kejuaran piala dunia untuk memperebutkan Davis Cup, ia masih ingin menikmati
hiruk piruk perebutan piala Eropa, ia masih ingin menjadi idola di lapangan
sepak bola disoraki gadis-gadis. Ia masih memiliki banyak keinginan yang
membuat langit hidupnya berubah warna menjadi corak rupa yang cerah dan
menggairahkan. Ia harus mengakhiri perawatan ini!
“Sudah lebih baik
Orin?” Tian menyeruak masuk dari pintu meletakkan keranjang kecil berisi duku
dan rambutan. Gadis itu mengenakan rok berwarna biru dengan blouse berbunga-bunga kecil berlengan kupu-kupu, tata
riasnya halus bersahaja selayaknya ia tengah berdiri di depan anak-anak TK.
Tangannya yang lembut mengusap dahi Orin tanpa rikuh, seolah ia adalah perawat
yang dapat menentukan dengan pasti kesembuhan pasien. Sekejab Orin terlena, ia
tidak benar-benar terlempar pada suatu tempat yang asing, ada seorang gadis
yang dengan tulus memberikan perhatian dan sopan santun. Orin bukan anak kecil,
ia bahkan dapat dengan mudah makna tatapan mata Tian. Sejenak ketika keduanya
bertatapan, Orin seakan merasa dirinya mengapung di antara lautan cahaya,
dadanya bergetar, dan mendadak badannya terasa segar. Tanpa sadar pemuda itu
tersenyum, sebuah reaksi yang membuat Tian menjadi yakin dengan tindakannya.
Ketika akhirnya
Tian menyuapkan makanan ke mulut Orin, pemuda itu mandah saja, dan selanjutnya
kesembuhan berlangsung dengan lebih cepat. Tian tetap mengunjungi Orin setelah
pemuda itu diijinkan dokter kembali ke rumah, ketika Tian alpa Orin merasakan
sesuatu yang hilang, iapun berbalik mengunjungi Tian, mula-mula kunjungan itu
teramat jarang semakin lama semakin rutin dan menjadi kebiasaan. Ketika Orin
harus kembali ke Makasar untuk menulis skripsi hubungan keduanya berlanjut
dengan banyak cara, termasuk telepon, telegram, dan surat menyurat.
Tahun berselang,
hubungan antara Orin dan Tian tetap terpelihara dengan baik. Ketika akhirnya
tiba saat bagi Orin untuk wisuda, maka Tian diundang pula datang sebagai
pendamping. Kedua orang tua Orin menjadi sadar perihal hubungan antara keduanya.
Mereka sudah dewasa, sikap dan bahasa tubuh keduanya telah saling berbicara,
bahwa antara Orin dan Tian benar saling membutuhkan dan tak terpisahkan. Mereka
telah saling mengenal, bahkan sejak masa kanak-kanak, sungguhpun Orin telah
merantau untuk menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi, tetapi pemuda itu tak
memiliki tautan hati dengan gadis yang dijumpai di perantauan, ia bahkan
kembali kepada sosok yang hadir pada jejak di masa lampau.
Sementara Tian ia
merasa telah menuai hasil dari kesabarannya, berapa tahun ia harus menunggu
hingga Orin menyadari, ia adalah satu-satunya wanita yang mencintai? Ia bahkan
lupa mengukur panjang waktu, ia berbesar hati dengan harapan sebuah takdir bagi
manusia beserta seluruh harapannya. Kini, Orin akan menjadi takdir baginya. Ia
datang pada saat yang tepat ketika Orin ditimpa rasa sakit, karena kehilangan
yang amat sangat, ia adalah penyelamat. Tian bukan kanak-kanak, ia mulai
menyadari ketergantungan Orin akan kehadiran dirinya, dan ia adalah gadis yang
baik. Tian memposisikan diri pada tempat yang tepat, sehingga kebersamaan
dengan Orin tampak secara alami dan meyakinkan.
Seperti yang telah
terjadi. Waktu tetap berputar dan akan tetap berputar.
Ketika akhirnya
Orin menjadi yakin untuk mengajukan pinangan terhadap Tian, maka ingatan yang
menyakitkan, karena kehilangan Betani sudah mulai menghilang. Seperti halnya
manusia yang mempercayai kehendak Tuhan, maka Orin menyerah kepada takdir.
Penyerahan itu lebih baik, karena ia memiliki alasan untuk berbesar hati, untuk
merasa lebih berarti sekaligus bersyukur atas kehidupan yang telah dijalani.
Sepenuhnya pemuda itu menyadari, bahwa sebagai mahluk hidup yang diciptakan
secara berpasang pasangan, ia tidak bisa mengelak dari suatu jalinan khusus
yang menyatukan dua manusia yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan.
Keduanya saling membutuhkan.
Sore itu Orin dan
Tian menapaki pasir putih, mereka membiarkan sepasang kakinya basah dijilati
lidah ombak. Setiap sudut yang ada di pantai ini, mungkin setiap jengkal tanahnya mereka seakan
telah dapat menghapal. Ombak pesisir yang bergemuruh tiada henti adalah saksi
terhadap perjalanan anak manusia, yang pernah mendekat, menjauh, berpisah
kemudian bertautan kembali, hingga tangan mereka saling menggenggam bagi sebuah
kesepakatan. Matahari semakin condong ke langit sebelah barat, bersiap
menjelang batas cakrawala untuk membagikan sinar pada belahan bumi yang
lainnya. Saat terindah ketika cahaya alam terpantul di batas ketinggian
berlangsung sempurna, sinar surya tak lagi menyengat, sementara udara jernih
dan angin sepoi berhembus serta hati yang berbunga-bunga seakan mengayun-ayun
Tian menuju sorga loka. Akhirnya ia dapat menggapai Orin, Betani telah memasuki
kehidupan rumah tangga, ia pasti seorang wanita baik-baik yang akan bertumpu pada
kesepakatan hidup berkeluarga dari pada berandai-andai dan terjerumus ke dalam
khayalan semu, karena cinta monyet di masa lalau. Adakah yang lebih berbahagia
dari seorang gadis yang tengah jatuh cinta dan bersiap menuju bahtera keluarga.
“Hei lihat! Bukankah
itu Betani dan Lambert!” tiba-tiba Tian memekik, sebelah tangannya tetap berada
pada genggaman tangan Orin, sebelah lagi menunjuk dua sosok bayangan yang
tengah duduk bercengkerama di bawah rindang pohon kelapa. Sejenak Orin menatap
dua sosok bayangan itu tanpa ekspresi, ketika langkah Tian memburu sosok Betani
dan Lambert, Orin tak dapat menolak. Ia tahu, Betani dan Tian tetap bersahabat.
“Beta! Apa kabar?!
Lama tidak bertemu, padahal tempat kita tinggal sangatlah kecil. Ahaa...!
engkau semakin cantik setelah menjadi ibu rumah tangga”, Tian segera
menghamabur ke dalam pelukan Betani, seakan telah puluhan tahun kedua sahabat
itu tak saling bersua.
Senyum Betani
terkembang, sesaat keningnya berkerut ketika ia melihat kehadiran Orin, sudah berapa lama ia tak bersua dengan
pemuda itu? Apa hubungan Tian dengan Orin, sehingga keduanya kini tampak seakan
dua sijoli yang tengah dimabuk cinta dan tengah bersumpah untuk sehidup semati
disaksikan ombak samudra? “Aih Tian, kabar baik tentunya, engkau tampak sangat
sehat dan gembira”, Betani menjawab dengan keramahan yang wajar seperti apa
adanya.
“Tahukah apa yang
mebuatku gembira?” Tian bertanya kemudian ia membisikkan kata-kata ke telinga
Betani. Sesaat kemudian keduanya terpekik dan tergelak-gelak, sehingga Orin dan
Lambert saling berpandangan dengan keheran-heranan. Apa yang dikatakan Tian ke telinga Betani?
“Selamat selamat
atas rencana pernikahan sahabat berdua, pasti kami akan datang meramaikan
seluruh acara” Betani menjabat tangan Tian dan Orin, perempuan itu berusaha
sedapat mungkin tersenyum, meski jauh di dalam hati ia merasa sungguh ganjil.
Jadi setelah hampir setahun perkawinan, ia bahkan belum memiliki tanda-tanda
bakal dikaruniai seorang anak, maka Orin sudah melupakan susah hati ketika ia
harus memohon maaf bagi perkawinannya dengan Lambert. Akan tetapi, mengapa pula
Orin harus terus mengingat perihal dirinya yang sudah nyata-nyata pergi dari
kehidupannya? Apa yang salah, kalau akhirnya Orin memutuskan menikah dengan
anggota geng masa remaja. Betani jadi teringat pada tatapan cemburu ketika Orin
selalu memanjakan kehadirannya, agaknya Tian telah memendam rasa cinta demikian
lama, setelah jauh perjalanan waktu akhirnya gadis itu berhasil mendapatkannya.
Betani menghela napas panjang, tiba-tiba ia menjadi bingung, tiba-tiba ia
merasa tersisih, karena pada khirnya dengan segala keasadaran Orin berhasil
mengatasi duka hati setelah perpisahan sekaligus menentukan pilihan
“Engkau melamun
Beta?” lembut suara Lambert berbisik di telinag Betani, menyadarkan perempuan
itu dari lamunan.
“Suatu kejutan
mereka akhirnya memutuskan menikah setelah sekian lama pertemanan”, Betani
menjawab pasti, ia tak akan mengijinkan Lambert mengetahui seluruh isi hati.
Mereka masih
bertukar kabar beberapa lama sampai akhirnya memutuskan untuk berpamit, dari
kejauhan empat sosok manusia itu tampak sebagai siluet yang saling melambai,
memisahkan diri dengan pasangan masing-masing. Langit masih seperti apa adanya,
biru dan purba, sinar matahari semakin pucat, semakin padam hingga akhirnya
hanya menyisakan berkas yang sia-sia menerangi isi dunia. Bayangan Orin dan
Tian menjauh, menyepi di antara rumput alang-alang, suasana sepi menyebabkan
keduanya semakin berani mengungkapkan gejolak hati.
***
dat cuci kaki bagi upacara pernikahan
Orin dan Tian akhirnya digelar dengan meriah. Tentu, Orin adalah anak saudagar
terkaya di kampung itu. Adapun Tian adalah bunga mekar yang dipetik pada
masanya dan mendapat restu dari seluruh warga. Perhelatan itu lebih meriah dari
perkawinan Betani lebih setahun yang lalu, Orin terayun ke dalam alam mimpi
saat menyaksikan sosok pengantin perempuan. Ia telah mengikuti suara hati untuk
berikrar dalam kehidupan bersama, untuk berkasih-kasihan dan membangun
kehidupan keluarga untuk jangka waktu yang tak ada batasnya.
Betani dan Lambert ada datang pada upacara cuci kaki,
mereka tampak benar sebagai pasangan suami istri yang berbahagia, meskipun
Betani belum ada tanda-tanda akan segera menggendong seorang bayi. Keduanya
memberikan salam serta ucapan selamat, tersenyum kemudian duduk dengan santun
melarutkan diri di dalam meriah suasana. Betani sengaja memasang jarak, ia
sadar betul akan martabatnya, ia ta berhak berbuat lebih terhadap Orin kecuali
sekedar tersenyum atau bertegur sapa. Di pihak lain, Orin merasa dadanya
bergemuruh ketika menyadari kehadiran Betani, betapa ingin ia meraih perempuan
itu ke dalam pelukannya, akan tetapi akal sehat menghalangi keinginannya. Orin
sadar tanggung jawab seorang laki-laki yang bersiap mengikatkan diri ke dalam tali
perkawinan, ia harus menghormati ikatan itu dengan membatasi hubungan dengan
perempuan yang manapun, termasuk Betani. Orin tahu, ia akan selalu berperang
melawan hawa napsu, perang yang amat dasyat, karena musuh itu ada di dalam
dirinya sendiri.
Dengan perkawinan itu, maka baik Orin maupun Tian
mulai menjalani kehidupan baru yang menuntut tanggung jawab dan kedewasaan.
Pada prinsipnya hubungan perkawinan membuat masing-masing pihak bersikap
dewasa, menerima kekurangan dan kelebihan pasangan hidup, menegur, menyesuaikan
sekaligus memaafkan hingga maut memisahkan. Semakin hari keduanya semakin
mengkristal sebagai bagian hidup dari masyarakat beserta segala tata cara,
aturan serta norma yang lazim di dalamnya.
Akan halnya sebagai mahkluk beragama keluarga Orin
yang muslim menyatu dalam kehidupan bermasyarakat dengan keluarga yang Islam
juga yang Kristen. Agama Islam berkembang di Maluku dalam kurun waktu lebih
satu milenium. Agama Kristen berkembang sejalan dengan kehadiran Portugis,
kerukunan hidup beragama di kepulauan Maluku --antara penganut agama Islam dan
Kristen-- sudah berlangsung selama lima abad. Maluku seakan kepingan mozaik
yang menyatu di dalam adat dan budaya, mengakar di antara pulau-pulau. Dari
ketinggian pulau-pulau itu tampak seakan untaian zamrud khatulistiwa yang
berserakan di atas sehelai kain beludru berwarna biru lazuardi.
Waktupun terus berputar, rutin dan pasti. Tak ada
yang salah dengan sejarah dan kehidupan bersama antara umat Islam dan Kristen
di Maluku. Akan tetapi, karena suatu sebab tragedi itu harus terjadi. Darahpun
tertumpah!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar