Jumat, 07 Juni 2019

KUDA LUMPING



  

Perkebunan Teh Kaligua, Brebes, 1973
Hanya cerita konyol seorang bocah, namun tidak ada salahnya mengingat kembali


Saya hanya seorang bocah taman kanak-kanak yang merasa takjub dengan cerita seru Sarinah --anak tetangga tentang ronggeng, kuda lumping, kisah mistis di taman lele, horor kuntilanak, dan upacara nyekar di makam Van De Jong yang biasa disebut Mbah Deyong. Seperti apakah sebenarnya kenyataan kisah itu? Sebuah pertanyaan  menggumpal sampai tiba tanggal 1 Juli bertepatan dengan ulang tahun perkebunan yang biasa dirayakan dengan aneka prosesi, nyekar, menghadirkan ronggeng, panjat pinang, wayang kulit, dan yang paling seru tentunya kuda lumping. Cerita seru Sarinah sungguh menggelitik hati, sehingga saya benar ingin menyaksikan sendiri pertunjukan itu.
Pada sore hari yang telah ditentukan saya mandi lebih cepat dari hari biasa, mengenakan pakaian layak pakai dan sandal jepit berornamen bintang-bintang. Saya sudah diperingatkan berulang-ulang untuk tidak menonton Kuda Lumping seorang diri, terlebih bila Kuda Lumping termaksud “dijantur”, mengalami trance –kerasukan—sehingga bisa kehilangan kendali diri sebagai manusia yang normal, dapat melahap pecahan kaca, genting, dan batu-bata. Akan tetapi, saya terlalu gembira dengan keramaian pada perayaan ulang tahun perkebunan. Mbak Su dan mama seakan tak bisa berhenti dari kesibukan di dapur, Mas Pujo dan Mas Nunuk entah kemana. Saya jemu di rumah, saya melihat rombongan manusia berduyun-duyun pergi menuju ke komplek pemukiman staf pabrik yang terletak di sebelah timur rumah dengan menuruni bukit, menyeberangi jembatan, dan kembali memanjat bukit. Tanpa berpamit saya menyelinap pergi, bergabung dengan sekalian pejalan kaki menuju ke pusat keramaian ketika irama kendang dan kenong mulai berkumandang. Di sekitar keramaian adalah bukit-bukit hijau ditumbuhi pohon teh seindah batu zambut, menghampar dinaungi biru langit serta seleret kabut putih nun di kejauhan.
Suasana benar-benar ramai, arena luas di tengah halaman perumahan sengaja dikosongkan. Di teras-teras rumah orang-orang duduk sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa menunggu pertunjukkan dimulai. Saya duduk dengan orang-orang yang tak saya kenal, menunggu harap-harap cemas akan kehebatan pertunjukkan kuda lumping. Saya tak mau kalah dengan Sarinah yang lebih dahulu telah menonton ronggeng. Nanti kalau gadis kecil itu dengan penuh kemenangan akan menceritakan pengalamannya menonton Kuda Lumping, maka saya akan menjawab dengan penuh kemenangan pula, bahwa saya pernah melihat pertunjukkan seni yang sama.
Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti kuda imitasi, terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tak satu pun dari catatan sejarah dapat menjelaskan asal usul tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada sumber yang menyatakan, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada juga versi yang menyatakan, bahwa tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain mengatakan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek militer dari pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah-tengah pertempuran. Seringkali dalam pertunjukan tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang menunjukkan kekuatan supranatural bau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar dirinya sendiri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural, yang di kerajaan Jawa kuno berkembang di lingkungan, dan merupakan aspek non militer yang digunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Dalam pementasanya, tidak perlu koreografi khusus, dan penyediaan peralatan serta Karawitan gamelan. Gamelan untuk mengiringi tarian Kuda Lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan terompet, suling terdengar melengking. Puisi-puisi yang dibawa untuk mengiringi tari, biasanya berisi imbauan bagi orang-orang selalu melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta. Selain mengandung unsur hiburan dan agama, kesenian tradisional Kuda Lumping sering juga merupakan unsur ritual. Sebelum acara dimulai, biasanya pawang hujan  akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca cerah, karena pertunjukkan  ini biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping disajikan dalam empat  fragmen, dua fragmen tari  Buto Lawas , tari Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada fragmen Buto Lawas, biasanya dihadirkan empat hingga enam orang penari laki-laki. Beberapa penari muda naik anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian ini, para penari Buto Lawas telah dimiliki atau dikuasai oleh roh. Para penonton juga tidak luput dari fenomena kepemilikan. Banyak orang lokal yang menyaksikan acara ke trans dan menari dengan penari. Dalam alam bawah sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.
Untuk mengembalikan kesadaran para penari dan penonton yang dimiliki, dalam hal apapun selalu hadir progenitor nya, orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui pakaian yang dikenakannya semua hitam. Nenek moyang ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari dan penonton pulih. Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita membawa bergabung dengan senterewe tari. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam wanita membawa tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
Cukup lama penonton menunggu pertunjukkan yang memikat ini, hingga akhirnya kepala rombongan yang mengenakan pakaian hitam-hitam memberikan perintah supaya tarian dimulai. Penonton merapat di area pertunjukkan, berwajah semringah, takjub pada kepiwiaian penari berlagak laku seolah prajurit negara yang bersiap mengusir penjajahan Belanda. Irama gamelan hingar bingar, semakin rancak, semakin meninggi, memenuhi seisi udara, dua fragmen Buto Lawas beratraksi dengan menakjubkan. Penonton bersorak-sorak, sebagian bahkan ikut menari-nari seakan pasukan penunggang kuda. Saya merasa sungguh gembira menikmati pengalaman ini, saya tak perlu gentar menyaksikan pertunjukkan Kuda Lumping seorang diri.
Akan tetapi, suara gamelan tiba-tiba melengking pada ritme tertinggi, terdengar ledekan pecut mengaum membelah langit. Penunggang kuda yang semula berlenggong lenggong dalam gerakan rancak, tiba-tiba kehilangan kontrol diri. Mereka meronta dalam lingkaran tata tarian, melahap pecahan kaca, batu bata, dan genting. Saya benar terkejut dan semakin ketakutan ketika tiba-tiba seorang penari memburu dengan cepat ke arah saya berdiri dengan gerakan membabi buta. Saya menjerit, menghambur ke tempat yang jauh, menghindar dari kerasukan seorang penunggang Kuda Lumping yang mungkin berniat pula melahap seorang bocah. Bukankah mereka dapat pula melahap benda aneh yang tidak seharusnya ditelan manusia biasa.
“Mama .....” dada saya mulai terasa sesak, sekujur tubuh gemetar, saya menuju dapur salah satu rumah, terduduk di lantai dengan air mata tergenang.
“Mbak Dewi kenapa?” terdengar suara mengejutkan, samar-samar saya mengenali wajah seorang ibu yang acapkali bersua di tengah jalan. Wanita itu mengulurkan tangan, membimbing saya ke dapur meninggalkan kesibukan memasak.
Saya terlalu malu dan terlalu takut untuk menjawab, ibu yang bersangkutan pasti tahu, saya takut terhadap penari Kuda Lumping yang kerasukan, saya tak hendak  menjadi santapan penari kuda. Saya meneguk segelas air yang diberikan, menerima  kue terbungkus daun pisang. Ketika di halaman belakang rumah suasana tampak aman, tanpa tanda-tanda adanya penari Kuda Lumping yang kerasukan, saya menghapus air mata. Dengan perlahan saya beranjak pergi tanpa berpamit pulang. Sampai di jalan berbatu saya berlari sekencang-kencangnya kembali ke rumah. Saya bersumpah tak akan pernah menyaksikan Kuda Lumping seorang diri dan pastinya tak akan menceritakan pengalaman menakutkan ini pada Sarinah. Saya bahkan tak menceritakan kekonyolan ini pada seorang pun di dalam rumah.

                                                                ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...