Perkebunan Teh Kaligua, Brebes, 1973
Hanya cerita konyol seorang bocah, namun tidak ada salahnya mengingat kembali
Saya hanya seorang bocah taman kanak-kanak yang merasa takjub
dengan cerita seru Sarinah --anak tetangga tentang ronggeng, kuda
lumping, kisah mistis di taman lele, horor kuntilanak, dan upacara
nyekar di makam Van De Jong yang biasa disebut Mbah Deyong. Seperti
apakah sebenarnya kenyataan kisah itu? Sebuah pertanyaan menggumpal
sampai tiba tanggal 1 Juli bertepatan dengan ulang tahun perkebunan yang
biasa dirayakan dengan aneka prosesi, nyekar, menghadirkan ronggeng,
panjat pinang, wayang kulit, dan yang paling seru tentunya kuda lumping.
Cerita seru Sarinah sungguh menggelitik hati, sehingga saya benar ingin
menyaksikan sendiri pertunjukan itu.
Pada sore hari yang telah ditentukan saya mandi lebih cepat
dari hari biasa, mengenakan pakaian layak pakai dan sandal jepit
berornamen bintang-bintang. Saya sudah diperingatkan berulang-ulang
untuk tidak menonton Kuda Lumping seorang diri, terlebih bila Kuda
Lumping termaksud “dijantur”, mengalami trance –kerasukan—sehingga bisa
kehilangan kendali diri sebagai manusia yang normal, dapat melahap
pecahan kaca, genting, dan batu-bata. Akan tetapi, saya terlalu gembira
dengan keramaian pada perayaan ulang tahun perkebunan. Mbak Su dan mama
seakan tak bisa berhenti dari kesibukan di dapur, Mas Pujo dan Mas Nunuk
entah kemana. Saya jemu di rumah, saya melihat rombongan manusia
berduyun-duyun pergi menuju ke komplek pemukiman staf pabrik yang
terletak di sebelah timur rumah dengan menuruni bukit, menyeberangi
jembatan, dan kembali memanjat bukit. Tanpa berpamit saya menyelinap
pergi, bergabung dengan sekalian pejalan kaki menuju ke pusat keramaian
ketika irama kendang dan kenong mulai berkumandang. Di sekitar keramaian
adalah bukit-bukit hijau ditumbuhi pohon teh seindah batu zambut,
menghampar dinaungi biru langit serta seleret kabut putih nun di
kejauhan.
Suasana benar-benar ramai, arena luas di tengah halaman
perumahan sengaja dikosongkan. Di teras-teras rumah orang-orang duduk
sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa menunggu pertunjukkan dimulai.
Saya duduk dengan orang-orang yang tak saya kenal, menunggu harap-harap
cemas akan kehebatan pertunjukkan kuda lumping. Saya tak mau kalah
dengan Sarinah yang lebih dahulu telah menonton ronggeng. Nanti kalau
gadis kecil itu dengan penuh kemenangan akan menceritakan pengalamannya
menonton Kuda Lumping, maka saya akan menjawab dengan penuh kemenangan
pula, bahwa saya pernah melihat pertunjukkan seni yang sama.
Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti
kuda imitasi, terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tak satu pun dari
catatan sejarah dapat menjelaskan asal usul tarian ini, hanya riwayat
verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada
sumber yang menyatakan, tari Kuda Lumping merupakan bentuk apresiasi dan
dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro
dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada juga versi yang menyatakan, bahwa
tari Kuda Lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, dibantu
oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain mengatakan
bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram
yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk
menghadapi pasukan Belanda.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari Kuda
Lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek militer dari pasukan
berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan ritmis, dinamis,
dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya
seekor kuda di tengah-tengah pertempuran. Seringkali dalam pertunjukan
tari Kuda Lumping, juga menampilkan atraksi yang menunjukkan kekuatan
supranatural bau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan
dengan golok, membakar dirinya sendiri, berjalan di atas pecahan kaca,
dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural,
yang di kerajaan Jawa kuno berkembang di lingkungan, dan merupakan
aspek non militer yang digunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Dalam pementasanya, tidak perlu koreografi khusus, dan
penyediaan peralatan serta Karawitan gamelan. Gamelan untuk mengiringi
tarian Kuda Lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong,
Gong, dan terompet, suling terdengar melengking. Puisi-puisi yang
dibawa untuk mengiringi tari, biasanya berisi imbauan bagi orang-orang
selalu melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Selain mengandung unsur hiburan dan agama, kesenian tradisional Kuda
Lumping sering juga merupakan unsur ritual. Sebelum acara dimulai,
biasanya pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca
cerah, karena pertunjukkan ini biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
Dalam setiap pagelarannya, tari Kuda Lumping disajikan dalam
empat fragmen, dua fragmen tari Buto Lawas , tari Senterewe, dan tari
Begon Putri. Pada fragmen Buto Lawas, biasanya dihadirkan empat hingga
enam orang penari laki-laki. Beberapa penari muda naik anyaman bambu dan
menari mengikuti alunan musik. Pada bagian ini, para penari Buto Lawas
telah dimiliki atau dikuasai oleh roh. Para penonton juga tidak luput
dari fenomena kepemilikan. Banyak orang lokal yang menyaksikan acara ke
trans dan menari dengan penari. Dalam alam bawah sadar, mereka terus
menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari
lainnya.
Untuk mengembalikan kesadaran para penari dan penonton yang
dimiliki, dalam hal apapun selalu hadir progenitor nya, orang yang
memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui
pakaian yang dikenakannya semua hitam. Nenek moyang ini akan memberikan
penawar hingga kesadaran para penari dan penonton pulih. Pada fragmen
selanjutnya, penari pria dan wanita membawa bergabung dengan senterewe
tari. Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai,
enam wanita membawa tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup
seluruh rangkaian atraksi tari Kuda Lumping.
Cukup lama penonton menunggu pertunjukkan yang memikat ini,
hingga akhirnya kepala rombongan yang mengenakan pakaian hitam-hitam
memberikan perintah supaya tarian dimulai. Penonton merapat di area
pertunjukkan, berwajah semringah, takjub pada kepiwiaian penari berlagak
laku seolah prajurit negara yang bersiap mengusir penjajahan Belanda.
Irama gamelan hingar bingar, semakin rancak, semakin meninggi, memenuhi
seisi udara, dua fragmen Buto Lawas beratraksi dengan menakjubkan.
Penonton bersorak-sorak, sebagian bahkan ikut menari-nari seakan pasukan
penunggang kuda. Saya merasa sungguh gembira menikmati pengalaman ini,
saya tak perlu gentar menyaksikan pertunjukkan Kuda Lumping seorang
diri.
Akan tetapi, suara gamelan tiba-tiba melengking pada ritme
tertinggi, terdengar ledekan pecut mengaum membelah langit. Penunggang
kuda yang semula berlenggong lenggong dalam gerakan rancak, tiba-tiba
kehilangan kontrol diri. Mereka meronta dalam lingkaran tata tarian,
melahap pecahan kaca, batu bata, dan genting. Saya benar terkejut dan
semakin ketakutan ketika tiba-tiba seorang penari memburu dengan cepat
ke arah saya berdiri dengan gerakan membabi buta. Saya menjerit,
menghambur ke tempat yang jauh, menghindar dari kerasukan seorang
penunggang Kuda Lumping yang mungkin berniat pula melahap seorang bocah.
Bukankah mereka dapat pula melahap benda aneh yang tidak seharusnya
ditelan manusia biasa.
“Mama .....” dada saya mulai terasa sesak, sekujur tubuh
gemetar, saya menuju dapur salah satu rumah, terduduk di lantai dengan
air mata tergenang.
“Mbak Dewi kenapa?” terdengar suara mengejutkan, samar-samar
saya mengenali wajah seorang ibu yang acapkali bersua di tengah jalan.
Wanita itu mengulurkan tangan, membimbing saya ke dapur meninggalkan
kesibukan memasak.
Saya terlalu malu dan terlalu takut untuk menjawab, ibu yang
bersangkutan pasti tahu, saya takut terhadap penari Kuda Lumping yang
kerasukan, saya tak hendak menjadi santapan penari kuda. Saya meneguk
segelas air yang diberikan, menerima kue terbungkus daun pisang. Ketika
di halaman belakang rumah suasana tampak aman, tanpa tanda-tanda adanya
penari Kuda Lumping yang kerasukan, saya menghapus air mata. Dengan
perlahan saya beranjak pergi tanpa berpamit pulang. Sampai di jalan
berbatu saya berlari sekencang-kencangnya kembali ke rumah. Saya
bersumpah tak akan pernah menyaksikan Kuda Lumping seorang diri dan
pastinya tak akan menceritakan pengalaman menakutkan ini pada Sarinah.
Saya bahkan tak menceritakan kekonyolan ini pada seorang pun di dalam
rumah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar