Sepasang mata Maret menatap ke kaki langit yang
tidak diketahui dimana batas ujungnya, sebab angin senja menghembus
halimun hingga menyelimuti kuduk bukit-bukit, seakan gumpalan kapas yang
teramat lembut menghampar di atas hijau daun. Udara semakin dingin
seakan berasal dari sumber musim yang teramat beku. Ia telah bersiap
dengan jawaban ketika sekali lagi emak pasti bertanya dengan wajah kelam
seakan bongkah batu yang terlontar dari kepundan gunung berapi. “Benar
engkau tolak lamaran Wahyudi? Apa kekurangannya? Ia memang sudah tak
muda lagi, tetapi orang terpandang, berpenghasilan besar. Engkau akan
hidup mukti tak kekurangan apa-apa?” wajah emak yang kehitam-hitaman
amat dekat dengan Maret seakan ingin menelan seluruh tubuh muda itu
bagi sebuah keinginan.
“Aku ingin sekolah mak, ibu guru telah bekerja
keras mendapatkan bea siswa ke perguruan tinggi. Aku tak ingin menikah
muda ….” Jawaban Maret menyebabkan sepasang mata emak berubah seakan
bola api yang akan berkobar tak berkesudahan andai angin sepoi
meniupnya. Emak telah mengkhayalkan sebuah perhelatan besar di ibu kota
kecamatan yang jauh dari ibu kota negara. Sebuah tempat yang bernama
Petung Kriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah --adalah deretan
perbukitan sebagai lingkungan hidup alam pedesaan. Beruntung ia menetap
di Mudal, bukan di Sawangan atau Simego yang terlampau jauh untuk
dikunjungi dengan kendaraan bermotor sekalipun.
“Perguruan tinggi? Bukankah cita-citamu terlalu
muluk?” suara emak sinis, ia telah mendidik seorang anak perempuan
menjadi pengurus rumah tangga yang terampil. Sebelum pergi ke sekolah
Maret bangun terlebih dahulu, menjerang air, menanak nasi, mengoreng
ikan garam serta memanasi sayur lodeh, menyapu lantai rumah yang semakin
hari semakin tua. Maret bisa
mengerjakan apa saja, termasuk membantu di warung sebagai
sumber pendapatan sampingan keluarga. Andai anak gadis itu mengikuti
keinginan untuk menikah dengan seorang yang kaya dan terpandang, ia akan
terbawa pula hidup mukti. Akan tetapi, sekolah telah menyebabkan
kembang desa ini keras kepala. Wajah emak semakin kelam seakan hitam
langit malam ditinggalkan bintang-bintang.
Maret membuang pandang, tanpa sepatah kata ia
menyudahi percakapan ini, ia tak pernah mampu menyelesaikan kata-kata
dengan emak, seorang perempuan desa yang memiliki keinginan demikian
kuat akan kemewahan. Emak kerap bertandang pada rumah seorang petani
kaya yang memiliki luas lahan bawang putih dan menjualnya ke kota. Emak
pernah pula pergi ke kota terseret keriuhan serta kemerlip lampu-lampu
jalanan, makanan yang lezat, dan kemilau perhiasan emas yang melingkar
pada leher gemuk perempuan penjual daging. Ah, emak seorang perempuan
dengan keinginan tak kalah muluk, bermimpi pergi ke ibu kota Jakarta
untuk sekedar membeli minyak wangi. Maret telah maklum akan perangai
emak, ia telah mencoba menjadi anak penurut yang sedia membantu urusan
rumah tangga tanpa ucapan terima kasih. Emak tak pernah bersikap manis,
kemarahan demi kemarahan semakin jauh tak berujung, tanpa sebab kecuali
alasan sama bagi seluruh keluarga di kampung ini, hidup yang serba
terbatas.
Masih ada satu pekerjaan sore ini, adalah memetik
sayur untuk lauk makan malam bersama ikan garam. Maret mengerjakan
dengan tabah, meski sejak percakapan itu emak tidak pernah tersenyum,
seolah ia adalah musuh yang menyusup terlalu jauh ke dalam hangat
selimut. Maret telah melihat akibat dari perkawinan muda yang
menempatkan seorang istri sebagai korban. Kampung ini memang sangat
jauh dari keramaian, pada tahun 1980 sekelompok pelajar dari kota
mengadakan perkemahan, memberikan corak kehidupan yang lain. Mengapa ada
pelajar dalam seragam coklat muda dan coklat tua melakukan kegiatan
berbeda di tempat terpencil ini? Tahun selanjutnya sekelompok mahasiswa
mengadakan latihan penelitian, mengamati, bertanya, kemudian mencatat
segala kehidupan di kampung ini. Entah untuk kepentingan apa?
Tahun berikutnya mahasiswa selalu berdatangan,
Maret masih seorang bocah, ia senang dengan kedatangan itu, sekelompok
mahasiswa laki-laki dan perempuan dengan sikap dan penampilan yang jauh
berbeda dengan sehari-hari orang di kampung ini. Alangkah cantik dan
semringah gadis-gadis itu, jauh berbeda dengan dirinya yang sehari-hari
harus berleleran keringat di dapur demi asap yang harus tetap mengepul,
pakaian tanpa mode, dan wajah tanpa tata rias. Maret hanya seorang anak
desa yang menyaksikan dan perlahan-lahan menjadi bagian perubahan ketika
pergantian millennium terus berlalu. Tiba-tiba tampak sekelompok orang
bertopi datang makan di warung setelah lelah mengukur panjang jalan
untuk pengaspalan, kemudian jalan berbatu mulai berubah menjadi licin
berasapal, angkutan umum meraung, wisatawan berdatangan menyaksikan
keindahan alam serta gemuruh air Curug Muncar. Adapun tenaga guru dan
kesehatan semakin banyak pula ditempatkan untuk alasan hak masyarakat
dan pembangunan. Menara Telkomsel dibangun tinggi menjulang menggapai
biru langit, di setiap tempat terdengar nada dering dari panggilan atau
sms. Akhirnya hadir pula mahasiswa KKN yang meluangkan waktu mengajar di
sekolah, mengisahkan betapa menarik dan menantang bersekolah di
perguruan tinggi, betapa Pendidikan adalah hak setiap orang, laki-laki
dan perempuan. Zaman telah berubah, dan Maret ada di dalam pusaran
perubahan itu dengan suatu akibat yang harus dipikul, berseberangan
dengan emak, menerima tatapan permusuhan untuk rentang waktu yang amat
panjang.
“Pergilah sekolah bersama ibu guru, bapak akan
menghemat gaji sebagai mantri kesehatan untuk mengirim uang saku tiap
bulan”, suara bijak sang bapak ibarat tumpahan air segar kala kelopak
hati Maret terasa layu. Gadis manis itu tersenyum, ia memang telah
menginjak usia dewasa bagi kembang di kampung ini, akan tetapi bagi
seorang yang berpandangan cukup jauh, usia bukanlah satu-satunya alasan
untuk kawin paksa. Gadis itu tengah membuka belanga yang berisi nasi
jagung, kali ini aroma nasi itu terasa lebih wangi. Maret memiliki emak
yang berpandangan sempit, akan tetapi bapak adalah seorang yang berbudi
luhur. Seorang yang telah mampu berpikir, bahwa kewajiban seorang anak
perempuan bukan sekedar dirias sebagai pengantin tanpa keinginan diri.
Pendidikan tinggi akan mampu mengubah takdir hidup anak kandungnya.
“Bapak benar, pergilah mencari ilmu, aku akan
membantumu. Cukup mbakyumu yang menikah muda dan terjebak dalam urusan
rumah tangga. Tak usah bertanya aku bahagia atau tidak, tetapi aku
setuju dengan bapak”, Daryati, saudara perempuan tertua Maret memberi
dukungan. Setelah perkawinan wajah lembut Daryati berubah mejadi tua
dengan tiga orang anak dalam pangkuannya.
Senyum Maret kembali mekar, ia telah mendapat
dukungan dari orang-orang yang menentukan, ibu guru, bapak, dan kali ini
mbakyu. Tanpa keramahan dari emak Maret mengunyah hangat nasi jagung,
sayur lodeh, ikan garam, dan sambal terasi dengan lahap. Masih tersisa
beberapa minggu sebelum hari keberangkatan tiba dan ia akan berwenang
mengubah takdir hidup selama-lamanya. Ia akan meninggalkan tempat yang
jauh ini untuk bekal hidup yang lebih baik, ia akan berlaku seperti
gadis-gadis yang KKN di kampung ini. Kelak ia akan pula melakukan hal
serupa di tempat yang berbeda.
“Jadi benar engkau menolak lamaran itu dan berkeras
pergi sekolah?” wajah emak masih tetap gelap seperti langit mendung
yang bersiap mencurahkan hujan. Sepasang matanya merah seakan bara,
karena telah yakin akan jawaban anaknya.
Sesaat Maret diam terpaku, pada hari-hari biasa ia
selalu menghindari percakapan, terlebih tatapan membara sepasang mata
emaknya. Kali ini tidak, ia telah terlalu lama diam, ada satu pertanyaan
kecil terhadap sikap emaknya, “Benarkah ia anak kandung yang pernah dilahirkan. Atau ia hanya seorang anak pungut yang menumpang dibesarkan?”
sepasang mata gadis itu tak kalah tajam ketika menantang tatapan
seorang emak, suaranya perlahan, tetapi pasti. “Emak sudah pernah
bertanya dan sudah tahu pula jawabannya. Saya tak hendak kawin muda,
saya hendak pergi kuliah, menolak lamaran dan mencari ilmu bukan berarti
melawan orang tua. Mengapa seorang emak harus merasa berat dengan
keinginan sekolah anakknya. Mengapa mak?” Maret tak dapat menahan rasa
geram, ia sangat memerlukan doa restu, akan tetapi andai emak tak
memberikan ijin, apakah ia harus menyerah?
Emak tak pernah menjawab, ia tahu sepeninggal Maret
ia akan bertambah beban, mengirim uang saku serta mengurusi seisi
tumah, tiga orang adik Maret laki-laki, tak pernah memegang gagang sapu.
Ketiganya membantu kerja di kebun atau mengurusi ternak sepulang
sekolah. Tak akan ada tambahan modal untuk memperbesar warung, maka
penghasilannya akan tetap sama. Emak membuang muka, ia tak pernah
mengerti mengapa seorang anak perempuan bisa demikian keras kepala,
berbeda dengan Daryati yang selalu menurut, bahkan ketika harus menikah
pada usia muda. Kekecewaan menghantam ulu hati emak seakan badai
menghempas gelombang lautan yang berdebur menakutkan. Maret menjauhkan
diri, ia mulai harus bersiap untuk sebuah perjalanan panjang dengan satu
nyeri di rongga hati tanpa doa restu dari seorang emak. Kelak, bila ia
telah kembali sebagai seorang ibu guru dan menyandang gelar teladan,
memiliki kelas sosial, kehidupan serta penghasilan yang lebih baik, emak
akan menyadari, betapa ia telah melakukan tindakan yang benar.
Hari yang ditunggu akhirnya datang, didampingi ibu
guru Maret berpamit mencium tangan bapak, emak, memeluk Daryati dan
adik-adiknya. Wajah emak gelap tanpa harapan, Maret bisa menangkap
kebencian pada sepasang bola matanya. Satu hal yang bisa dilakukan Maret
adalah pura-pura tidak tahu, ia mengambil sikap seolah tak pernah ada
kebencian seorang ibu terhadap anak kandung yang menolak lamaran demi
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada rasa kehilangan ketika ia
terduduk di jok angkutan umum untuk memulai sebuah perjalanan, ia
berpisah dengan orang-orang tercinta untuk pulang pada liburan semester,
ia meninggalkan sebuah kampung yang jauh serta dingin dengan
pemandangan alam yang sangat indah.
Di kuduk bukit halimun tampak lebih lembut --putih
yang terputih, bagai gumpalan kapas yang dihempas angin dari negeri
ajaib, hijau daun melambai di pada kiri kanan jalan. Setelah rasa
kehilangan tetap bertumbuh secercah harapan, Maret akan beradaptasi
dengan suasana baru, suatu hal yang tidak mudah, tetapi harus dilalui.
Sesaat mata gadis itu menatap halimun untuk yang terakhir sebelum
kendaraan terus meraung, berbelok di tikungan, maka putih halimun segera
menghilang dari batas pandang.
Kota Hujan, Agats - Asmat, 30 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar