Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --Great Epic of India, 2 Raja Santanu







Senja merah di tepi Sungai Gangga adalah saat mengesankan ketika bola matahari perlahan turun mendekati kaki langit, cahayanya memudar, memantul  kemilau di atas permukaan air sungai. Desir angin lembut menebarkan aroma bunga liar, rumput-rumput menghijau, sekawanan burung terbang melintasi biru langit, kembali ke sarang. Pohon-pohon tinggi menjulang, angin senja menggoyang dedaunan, mencumbu kupu-kupu.
Kali ini senja berbeda dengan hari-hari yang  telah lalu, Raja Santanu – keturunan Raja Agung Bharata meluangkan sejenak waktu setelah kesibukan menangani berbagai tugas kerajaan. Ia perlu sejenak menyegarkan pikiran sebelum tugas-tugas pada hari berikut menunggu. Sang Raja menanti saat-saat menentukan saat  mahatari akan berubah seakan bola raksasa dalam warna tembaga, perlahan turun kemudian menghilang di garis cakrawala. Kemilau cahaya emas memantulkan pakaian kebesaran Sang Raja, di balik pakaian itu adalah sesosok badan  yang kekar, menyangga seraut wajah tampan dan agung. Santanu mewarisi kebesaran dari raja-raja sebelumnya, keturunan Raja Besar Bharata.
Raja Santanu tengah tenggelam dalam kemuliaan alam ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh sosok berpinggang ramping disangga jenjang sepasang betis,  terbalut pakaian serba indah. Cahaya senja menyebabkan perhiasan emas bertahta batu permata tampak berkilauan. Desir angin yang ramah membawa aroma wangi dari rambut yang halus dan panjang. Santanu terpana, ia tak pernah menyangka, bahwa pada suatu senja yang indah ia akan dapat bersua dengan seroang perempuan jelita. Wajah perempuan itu membelakangi cahaya senja,  tampak seakan bayang semu susah dikenal. Santani perlu mendekat beberapa langkah sebelum akhirnya berhenti dengan darah tersirap, ia menatap seraut wajah yang teramat cantik tanpa cela. Kulit wajah yang halus, sepasang mata seakan cahaya bintang timur, hidung  yang mancung, bibir yang mungil semerah darah. Jantung Raja itu berpacu dengan kencang saat senyum perempuan cantik itu mengembang, tubuh sang raja seakan melayang di ketinggian, ia tak berminat lagi kembali ke tanah.
“Senja yang indah perempuan jelita, aku Raja Santanu. Andai boleh aku mengenal namamu?” tanpa sadar Santanu berucap, tangannya yang kekar terulur, ia segera menggenggan telapak yang halus dan lunak menentramkan.
“Segala hormat bagimu Raja Yang Agung Santanu, aku Dewi Gangga, suatu kemuliaan bisa bersua dengan Sang Raja di tepi sungai yang indah ini”, Dewi Gangga masih tersenyum, ia tampak seakan patung pualam yang tergurat halus tanpa cela, meski tak pernah diketahui siapa sesungguhnya sang pemahat.
 “Namamu seindah wajahmu”, Santanu semakin erat menggenggam telapak Dewi Gangga, ia terlalu bahagia dengan pertemuan itu, ia bahkan terlupa untuk sekedar bertanya, dari mana sesungguhnya perempuan itu berasal, dimana rumahnya? Sang Raja terpikat dengan suara merdu yang terucap dari bibir merah itu. Ia tahu, tak akan pernah sanggup meninggalkan Sungai Gangga tanpa kesediaan Sang Dewi menyertai pula kembali ke istana. Seperti halnya Raja Dushmanta kala itu, kini Santanu jatuh cinta kepada seorang wanita tak dikenal pada pandangan pertama.
 “Saya tersanjung, karena ucapan seorang Raja yang agung bijaksana”, suara itu benar merdu bagai angin senja yang berdesir menyentuh hijau daun. Santanu merasa seluruh isi dada bergemuruh, sepasang matanya berbinar, ia tak menatap wajah Dewi Gangga tanpa berkedip. Ia cemas, andai satu kerdipan mata akan membawa pergi Gangga dari hadapannya. Santanu tak mampu kehilangan wanita rupawan itu.
“Kiranya Sang Maha Pencipta telah mewarnai senja ini bagi sebuah pertemuan, aku tak ingin pertemuan ini berakhir. Seorang raja layaknya didampingi permaisuri, maka akan terlahir putra mahkota sebagai raja penerus berikutnya”, secara halus dan santun Santanu mengajukan permintaan, ia seorang raja, permintaannya tak bisa ditolak, tetapi ia tahu, ia tak boleh memaksa.
“Suatu kebahagiaan untuk menerima sekaligus memenuhi permintaan seorang raja, akan tetapi layakkah Dewi Gangga menjadi seorang permaisuri?” Dewi Gangga menunduk, sepasang pipinya yang lembut merona, sejenak keduanya bertemu pandang. Santanu merasa seluruhnya tubuhnya bergetar. Perempuan jelita ini terlalu merendahkan diri, ia harus menegaskan maksudnya.
“Duhai Gangga, hari ini juga, aku Raja Santanu meminangmu sebagai permaisuri, engkau alan tinggal di istana di tempat yang mulia, melahirkan putra mahkota, menjadi pendampingku selamanya”, senja akan terjungkal menjadi malapetaka, andai Dewi Gangga mengatakan “tidak”. Raja Santanu tengah terbakar dalam hasrat yang menyala, cinta membuat siapapun, bahkan seorang raja menjadi buta. Ia mengajukan permintaan tanpa terlebih dahulu mengetahui jati diri seorang wanita yang akan menjadi permaisuri. Santanu menatap Gangga sepenuh harap, apa yang tak pernah ia miliki, harkat, martabat, kekuasann, ketampanan, mahkota, dan cinta?
Di langit sebelah barat, matahari perlahan padam, semakin dekat ke garis batas dalam warna yang kemilau mengesankan. Langit tembaga, membara disepuh indah cahaya. Angin sejuk bagai dihembuskan dari suatu tempat yang ditumbuhi beribu bunga. Santanu melihat senyum semakin mengambang di bibir Dewi Gangga, raut wajah ayu itu semakin memikat. “Setiap gadis mungkin bermimpi untuk menjadi permaisuri, akan tetapi betapa tidak mudah untuk menjalani. Andai baginda berkenan memenuhi persyaratan”.
“Apa persyaratan itu?” Santanu tak sabar menunggu kata-kata Dewi Gangga, ia akan segera memboyong putri  jelita sebelum senja  berakhir, tepi sungai akan berubah menjadi gelap hanya berkedip karena cahaya bintang dan kunang-kunang.
“Pertama, selaku permaisuri tak seorangpun, tidak juga Sang Raja beratnya siapa sesungguhnya Dewi Gangga? Dari mana pula asalnya? Kedua, Baginda akan selalu membenarkan segala tingkah laku permaisuri, baik atau buruk, tak berhak menghalangi. Ketiga, Baginda tak boleh marah kepada permaisuri, bila ada hal-hal yang tidak menyenangkan, Gangga akan  berpamit pergi”.
Sebuah persyaratan yang  berat dan sesungguhnya tidak masuk akal, akan tetapi cinta membuat mata hati Raja Santanu buta adanya. Ia tak menginginkan apa-apa kali ini, ia hanya ingin Dewi Gangga dikukuhkan sebagai seorang permaisuri, mendampinginya di istana, melahirkan putra mahkota, dan hidup berbahagia selama-lamanya. Santanu terpikat dengan segala hal yang berada pad diri Dewi Gangga, ia tak merasa perlu berpikir panjang, ia menyetujui persyaratan itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya kemudian.
“Apapun permintaanmu, aku tiada berkebaratan, yang penting mari kita pulang ke istana untuk upacara perkawinan agung esok hari”  Santanu menggandeng lembut lengan Dewi Gangga, ia seakan melangkah di atas seribu harum bunga ketika berjalan kembali istana untuk sebuah perhelatan besar esok hari. Akhirnya ia mendapatkan seorang tambatan hati untuk dikukuhkan sebagai permaisuri.   
Ketika upacara perkawinan agung itu digelar, Santanu tak ingin berlama-lama duduk di pelaminan, ia ingin segera menjelang indah kamar pengantin, hanya berdua dengan pengantinnya yang jelita. Ia telah menyunting seorang putri cantik tanpa tanding di kerajaan ini, Santanu merasa sebagai orang yang paling berbahagia. Ia belum lagi menyadari sebuah peristiwa memilukan yang bakal dihadapi lebih sembilan bulan setelah pesta besar ini. hati Raja Santanu berbunga-bunga ketika menyadari beberapa bulan kemudian Dewi Gangga tampak mengandung calon putra mahkota, ia sungguh menanti hari kelahiran itu. Ia akan  menjadi seorang ayah dari seorang bayi mungi dari seorang istri yang sangat dicintai. Akan tetapi, benarkah raja besar itu berhak akan kebahagiaan ketika tiba saat bagi Dewi Gangga untuk melahirkan.
Ketika usia kandungan Gangga menginjak angka sembilan bulan sepuluh hari, permaisuri berpamit pergi ke tepi Sungai Gangga seorang diri tanpa seorangpun dayang. Dewi Gangga mencari tempat yang terlindung untuk melahirkan, beberapa saat seetelah bayi mungil terlahir, tanpa banyak berucap ia segera menghanyutkan bayi tanpa dosa itu ke Sungai Gangga. Permaisuri berwajah rupawan ini membersihkan diri kemudian kembali ke istana dengan wajah berseri-seri, seolah tak pernah terjadi apa-apa dalam hidupnya. Santanu tengah menunggu kehadiran seorang bayi, akan tetapi permaisuri kembali dengan tangan hampa, tanpa banyak berucap, seolah ia tidak baru mengalami peristiwa penting, melahirkan seorang putra mahkota. Raja Santanu dicekam sebuah pertanyaan besar, rasa ingin tahu yang menyodok hati nurani. Akan tetapi, raja besar itu membungkam, ia teringat pada sumpah yang terucap di tepi Sungai Gangga. Andai ia menegur atau bertanya tentang sesuatu hal yang tidak berkenan di hati permaisuri, maka Dewi Gangga akan pergi. Raja Santanu menelan kembali pertanyaannya, ia merasa demikian gelisah. Akan tetapi, adakah pilihan lain kecuali untuk tetap merasa gelisah atau ia akan kehilangan permaisuri yang dicintai. Sampai hari itu Santanu memilih untuk tetap merasa gelisah.
Tahun berikutnya ketika permaisuri mengandung, Raja Santanu kembali bergembira untuk menanti kelahiran putra berikutnya. Akan tetapi, kegembiraan itu kembali berubah menjadi duka mendalam. Dewi Gangga melakukan hal sama ketika hari persalinan tiba. Wanita rupawan itu pergi ke tepi Sungai Gangga, mencari tempat terlindung untuk melahirkan, ketika seorang bayi manis terlahir, ia kembali menghanyutkan bayi tanpa dosa itu ke Sungai Gangga. Dewi Gangga kemudian kembali ke istana dengan wajah damai, seolah ia tak pernah melahirkan kemudian menghanyutkan seorang bayi ke dalam arus sungai. Dan Santanu kembali terbungkam dalam sebuah tanda besar, dimanakah bayi yang telah dilahirkan permaisuri? Adakah ia berhak untuk bertanya?
Kali ini Raja Satanu masih menepati janji, ia terlalu sayang kepada Dewi Gangga, merasa tak mampu ditinggalkan permaisuri andai ia bertanya tentang suatu hal yang menyinggung perasaannya. Santanu masih terdiam. Akan tetapi, sampai kapan Raja Besar ini dapat terus terdiam,  ketika Dewi Gangga kembali membuang bayi ke tiga, keempat, kelima, dan ke tujuh yang dilahirkan. Santanu tak dapat terus menyimpan tanda tanya, ia berhak tahu bagaimana sesungguhnya nasib bayi-bayi itu. Anak-anaknya....
Ketika Dewi Gangga mengandung anak ke delepan, tiba hari melahirkan, diam-diam Raja Santanu mengawasi tingkah laku Dewi Gangga, demikian pula ketika permaisuri melangkah dengan anggun, meninggalkan istana untuk melahirkan di tepi Sungai Gangga. Tanpa sepengetahuan Dewi Gangga, Raja Santanu  mengikuti kemana langkah kaki itu pergi. Ia bersembunyi di balik sebatang pohon yang besar ketika Gangga meregang nyawa, melahirkan seorang bayi tanpa dosa. Beberapa saat kemudian tampak sosok permaisuri bergerak ke tepi sungai, memeluk seorang bayi. Jantung Raja Santanu berdebar, degup jantung itu semakin kencang ketika ia melihat gerakan aneh Dewi Gangga, perempuan itu bersiap melarung bayi ke delapan  yang dilahirkan ke Sungai Gangga.
Apa yang telah berlaku?”
Pertanyaan itu demikian menyentak,  mendorong gerakan Raja Santanu untuk segera mendekat, menahan lengan Dewi Gangga, sebelum bayi ke delapan hanyut pula pada arus sungai. “Cukup permaisuri, kiranya engkau tega membunuh bayi tak berdosa ke Sungai Gangga. Sadarkah engkau akan perbuatan itu?”  tatapan Raja Santanu tajam menikam, ia terlupa pada sumpah  atau tak perlu lagi kiranya ia memegang sumpah. Ia memerlukan jawaban atas tindakan ganjil permaisuri.
Di lain pihak Dewi Gangga terhenyak, ketika saling bertatapan, Raja Santanu menangkap kekewecaan teramat dalam pada sepasang mata permaisuri yang dicintai. Hati raja itu menjadi demikian gamang, tapi apa lagi yang bisa dilakukan. Ia berhak menimang seorang bayi untuk dibesarkan selaku Puta Mahkotaa, ia harus memiliki pewaris tahta. Betapa kejam tindakan seorang ibu yang tega melarung bayi tanpa dosa ke Sungai Gangga. Siapa sesungguhnya putri cantik yang telah lama dikukuhkan sebagai permaisuri? Wajah Raja Santanu merah padam. Wajah itu segera berubah menjadi pucat, ketika dengan tegas kemudian Dewi Gangga berucap.
“Yang mulia Baginda Raja Santanu, sebelum pernikahan itu Gangga telah meminta supaya Baginda jangan pernah menegur atau melarang segala tindak tanduk permaisuri. Akan tetapi, kiranya Baginda tak cukup kuat memegang janji, tidak mengapa. Bukan suatu hal yang salah bila Baginda menginginkan bayi ini, meski hal itu berarti Baginda tidak menghendaki kehadiran Gangga selaku permaisuri. Beribu maaf Paduka, sesungguhnya Dewi Gangga adalah bidadari yang memainkan laku duka, karena sumpah Resi Wasistha. Delapan orang wasu telah berbuat kesalahan kemudian  mendapatkan kutuk  pasthu, dipaksa lahir ke bumi, memintaku agar kiranya sudi menjadi seorang ibu. Atas seijin Raja Santanu, selaku ibu, Gangga melahirkan kembali ke delapan orang wasu  ke dunia. Atas kebajikan itu Paduka akan mendapatkan tempat yang mulia kelak di alam baka. Ternyata semua berakhir sampai di sini, Gangga akan membawa serta bayi ke delapan, mengasuhnya hingga cukup besar. Pada saatnya Dewi Gangga akan menyerahkan bayi mungil ini kepada Baginda, betapa kita pernah saling mencintai dan hidup bersama di dalam istana”.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Dewi Gangga menghilang bersama bayi tampan yang dilahirkan, meninggalkan Raja Santanu berdiri terpaku dalam hembusan angin dingin yang terasa amat kejam. Dalam waktu yang teramat singkat Raja Santanu kehilangan permaisuri, hati Sang Raja merasa demikian hampa. Ia masih memiliki secercah harap,  menunggu Dewi Gangga bersama seorang bayi suatu waktu. Kini ia memahami siapa sesungguhnya permaisuri, Dewi Gangga ternyata seorang bidadari. Sebuah cerita membawa bidadari itu turun ke bumi, di tepi Sungai Gangga pada suatu senja merah yang tak akan pernah terhapus dari ingatan.
Bagaimana sesungguhnya cerita itu?
Pada suatu hari, delapan orang wasu berjalan-jalan di pegunungan, masing-masing bersama seorang istri. Suasana pegunungan  teramat damai, adalah gunung-gunung yang menjulang dililit kabut seputih warna kapas, angin yang lembut berdesir dalam sejuk udara menyentuh hijau rumput dan aneka bunga liar. Tiada suara hiruk pikuk atau kesibukan manusia berdagang, yang ada hanya hening. Pada keheningan ini Resi Wasistha mendirikan pertapaan, ia memilih hidup untuk selalu dekat kepada Sang Maha Pencipta sebagai dharma --  pengabdian.
Delapan orang wasu termaksud mengunjungi pula pertapaan Resi Wasistha, akan tetapi Sang Resi tiada berdiam di tempat. Suasana sunyi, di pelataran tampan Nandini, sapi piaraan Sang Resi tengah merumput. Ternak itu terawat dengan baik, Nandini sedemikian gemuk, bersih, dan jinak, menawan hati istri para wasu. Salah seorang istri wasu berucap.
“Indahnya Nandini milik Sang Resi, aku ingin sekali memilikinya”, istri wasu memandang Nandini dengan takjub, ia telah melihat beragam ujud sapi, tapi tak pernah ia melihat sapi secantik Nandini.
“Nandini adalah sapi milik Resi Wasistha, ia tengah pergi entah kemana? Tak baik mengambil ternak berharga seorang Resi tanpa seijinnya. Kesaktian Resi Wasistha membuat seorang manusia yang meminum susu Nandini, dapat hidup abadi. Kita adalah sekalian dewa yang pasti hidup abadi, tak ada gunanya lagi arti susu Nandini. Biarkan sapi itu merumput, Resi Wasistha akan menjatuhkan kutuk bila kita mengambilnya”, seorang wasu menyanggap permintaan istri, karena takut akan kutuk yang bakal terjadi.
“Aku punya seorang teman yang sangat kukasihi, ia manusia biasa. Aku ingin memberinya susu Nandini supaya ia hidup abadai. Tangkaplah Nandini lalu kita pergi, Resi Wasistha tak akan pernah tahu. Susu Nandini amat berharga bagi seorang teman”, sang istri tidak mengindahkan kata-kata suami, ia demikin berminat terhadp susu Nandini tanpa menyadari ancaman yang dapat terjadi bila ia mencuri ternak piaraan Sang Resi.
Atas dasar permintaan itu kedelapan orang wasu akhirnya bahu membahu menangkap sapi canti Nandini bersama anaknya kemudian membawanya pergi bersama tanpa seijin Sang Resi. Tak  lama setelah Nandini bersama anaknya pergi bersama para wasu, Resi Wasistha kembali, suasana pertapaan tamak lebih sunyi, ada yang salah. Sang Resi tak mendapatkan Nandini dan anaknya di pelataran pertapaan. Susu Nandini selalu bermanfaat dalam setiap upacara persembahan. Kemana gerangan sapi cantik itu?
Resi Wasistha bertanya-tanya dalam hati, ia memerlukan jawaban. Dengan kesaktian Resi Wasistha melakukan yoga, kali ini lebih khusuk, ia harus memberikan hukuman kepada para pencuri. Tak susah bagi Sag Resi, ia segera mengetahui apa yang telah terjadi ketika ia pergi, kiranya delapann orang wasu telah berjalan-jalan di pegunungan ini, singgah di pertapaan, terpikat kepada keelokan Nandini, membawanya pergi bersama anaknya pula. Resi Wasistha teramat murka, tak seorang pun berhak mencuri harta miliknya yang sangat berharga. Dalam kemarahannya Resi Wasistha mengucapkan kuthuk pasthu bagi para wasu.
“Engka delapan  orang wasu yang telah mecuri Nandini dan anak sapi itu akan terlahir ke dunia, hidup sebagai manusia yang menderita. Terimalah hukuman sebagai pencuri yang telah merampas harta berharga seorang Resi”.
Delapan orang wasu menjadi takut, karena kutukan itu. Mereka menyesal, tapi penyesalan selalu datang pada waktu  yang salah. Mereka bertandang kembali ke pertapaan mengembalikan Nandini bersama anak yang dilahirkan, memohon ampun, “Beribu ampun atas kesalahan kami Resi, kami kembalikan lagi Nandini”, suara itu demikian lemah, karena ketakutan dan salah.
“Kuthuk pasthu telah terucap, akan berlaku pada waktunya. Aku tak dapat mencabut kembali, wasu yang melarikan Nandini akan hidup lebih lama di dunia dalam kemuliaan. Tujuh wasu yang lain terlepas dari kuthuk ini, akan segera setelah terlahir sebagai manusia. Aku tak dapat lagi mencabut kuthukan ini, kecuali meringankannya”, Resi Wasistha memahami ketakutan para wasu,  kemarahannya sedikit mereda, karena Nandini telah dikembalikan pula.   
Resi Wasistha kemudian bersemadi, ia duduk bersila, diam, mengatur napas, memusatkan pikiran, meredakan amarah. Seorang Resi yang melakukan tapabrata --semedi selalu bisa mendapatkan kesaktian untuk mengucap kutuk pasthu. Akan tetapi, ketika kutuk termaksud telah terucap, derajat kesucian yang dicapai segera berkurang. Delapan orang wasu yang ketakutan merasa sedikit lega, karena kekuatan kutukan akan dilunakkan, pergilah mereka menemui Dewi Gangga, memohon.
“Beribu sembah dan bakti dari kami delapan orang wasu yang senantiasa memuja Batari. Andai kami dapat memohon satu pertolongan”, delapan orang wasu memberikan salam dan hormat dengan takjim di hadapan Dewi Gangga, seorang Batari yang cantik dan lembut hati.
“Kuterima salam dan hadirmu delapan wasu, tetapi apa yang bisa kulakukan untuk memenuhi permintaanmu?” suara Dewi Ganggaa lembut dan syahdu, hati delapan orang wasu itu menjadi demikian damai mendengar merdu suara Dewi Gangga, Sang Batari.
“Kami telah berbuat kesalahan dengan mencuri Nandini, sapi suci Resi Wasistha. Nandini telah kami kembalikan, tetapi Resi Wasistha benar-benar murka, mengucap kutuk pastu. Andai Batari berkenan, sudikah kiranya Batari menjadi ibu kami, turun ke Mayapada, menikah dengan seorang raja. Kelak, satu demi satu dari kami akan terlahir lewat rahim Paduka. Segera setelah kami lahir, buanglah  ke Sungai Gangga, sehingga kutuk pasthu  itu musnah sudah”, suara itu demikian penuh penyesalan, Dewi Gangga terdiam sejenak. Ia tak berkuasa menolak satu permohonan yang menyangkut kedamaian hidup delapan orang wasu. Ia cukup bijak untuk memenuhi permintaan itu, ia hanya memerlukan beberapa saat untuk menjawab setelah menghela napas panjang.
“Aku mengerti bagaimana kesulitan itu, kupenuhi permintaan itu dengan satu syarat, jangan pernah mengambil apapun yang menjadi hak orang lain kecuali dengan seijinnya”, Dewi Gangga hanya sebentar berucap, pertemuan itu berakhir.
Hari berikutnya Dewi Gangga turun ke bumi, menempatkan diri di tepi Sungai Gangga, senja yang indah dan  mengesankan menyempurnakan kecantikannya, maka Raja Santanu segera jatuh cinta pada pandangan pertama. Pertemuan yang segera berlanjut menjadi pernikahan agung, kelahiran bayi  pertama dan ketujuh yang selalu dihanyutkan ke Sungai Gangga sesuai dengan permintaan delapan orang wasu yang terkena kutuk pasthu. Suatu tindakan yang menimbulkan tanda Tanya besar bagi Raja Santanu, karena ia tak pernah tahu dari  mana asal usul Dewi Gangga, mengapa pula ia menerima permintaan menjadi istri seorang raja
Ketika terlahir bayi yang ke delapan, Raja Santanu tak dapat lagi menahan diri untuk tidak menghentikan tindakan Dewi Gangga yang menurut anggapannya sangat kejam. Maka berpamitlah Dewi Gangga beserta bayi mungil ke delapan, meninggalkan Santanu seorang diri di tepi Sungai Gangga. Santanu telah melanggar janji untuk tidak bertanya atau melarang segala tindak tanduk Dewi Gangga.
Raja besar itu merasakan kesendirian yang lengkap setelah Dewi Gangga lenyap bersama seorang bayi dalam gendongan. Santanu tak berkuasa menahan, ia harus rela ditinggalkan seorang diri, desir angin terasa lebih dingin menggigit kulit. Hati Raja Santanu terasa demikian hampa, ia mencintai seorang perempuan yang merahasiakan asal usulnya, cinta memang membuat mata hati menjadi buta. Kini ia harus duduk seorang diri di singgasana tanpa seorang permaisuri, tugas beratnya sebagai seorang raja tak bisa ditinggalkan sekalipun Dewi Gangga telah pergi ke tempat yang sangat jauh dan tak akan kembali lagi.
Raja Santanu lebih sering meluangkan waktu untuk kehidupan rohani demi mendapatkan kekuatan diri, ia nyaris meninggalkan kesenangan duniawi, memerintah kerajaan dengan lebih bijaksana, mengutamakan kemakmuran bagi rakyatnya. Akan tetapi, ia tak pernah dapat  melupakan sosok Dewi Gangga, seorang permaisuri berwajah rupawan yang menawan hatinya.
Untuk menghibur diri ada kalanya Raja Santanu berjalan-jalan ke tepi Sungai Gangga, ia selalu  mengingat hari pertemuan itu, saat-saat mengesankan yang berakhir dengan perpisahan panjang tanpa ujung dan diam-diam menyakiti hatinya. Sepasang mata raja itu menatap sedemikian jauh pada sebuah peta yang tak dapat dikunjungi atau sebenarnya Santanu tah tahu kemana sebenarnya sepasang matanya  menatap, kecuali rindu akan sosok Dewi Gangga yang melukai hatinya.
Tiba-tiba Raja Santanu terpana, ia menatap seorang bocah berwajah manis, berbadan tegap layaknya calon kesatria. Kulit bocah itu tampak demikian halus di bawah kemilau cahaya senja, sepasang matanya tajam, namun sejernih embun. Tangannya yang mungil merentang gendewa, dengan sepenuh keyakinan membidik sasaran jauh di depannya. Bocah itu diliputi aura kemegahan dan keagungan Dewendra, raja dari segala dewa dan batara. Ia seorang diri, tanpa seorang pengasuh atau pengawal, akan tetapi ia memiliki cukup keberanian untuk hadir seorang diri di tepi Sungai Gangga. Raja Santanu merasa takjub melihat seorang bocah tampak seakan kesatria muda, ia teringat pada tujuh orang bayi yang hanyut di Sungai Gangga, tak pernah kembali ke istana, ia teringat akan bayi mungil yang dibawa serta pergi oleh Dewi Gangga ke suatu tempat yang tak dapat dikunjungi, bahkan dalam mimpinya sekalipun. Perlahan Raja Santanu mendekat, ia hendak mengulurkan tangan, menyapa bocah tampan itu. Akan tetapi, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di hadapannya kini berdiri sesosok tubuh, seraut wajah yang selalu dikenang ketika siang dan malam datang silih berganti mengikuti peredaran matahari. Wajah jelita itu, wajah Dewi Gangga, Raja Santanu menahan napas, seakan tahu pada tarikan napas berikutnya wanita yang dicintainya akan segera pergi berlalu.
Dewi Gangga tersenyum lembut selayaknya seorang permaisuri agung yang memberikan seluruh bakti kepada seorang raja. Suaranya tetap merdu ketika berucap, “Yang Mulia Paduka Raja, sungguh senja yang masih indah untuk kembali bersua. Dialah putra kita,  Dewabrata, sesuai janji saya pertemukan kembali dengan Paduka. Dewabrata telah mahir berolah senjata, menguasai ilmu perang, memiliki kesaktian setara dengan Parasurama. Ia telah mempelajari Weda dan falsafah Wedanta dari Resi Wasistha. Putra kita Dewabrata memahami pula seni, ilmu gaib Sanjiwini yang dikuasai Sukra. Sambutlah Dewabrata, besarkanlah di dalam kehidupan istana, kelak ia akan menjadi seorang kesatria dan senapati agung”, Dewi Gangga hanya sekejab hadir di tepi Sungai Gangga, ia menepati janji menyerahkan seorang putra kepada Raja Santanu. Seorang putra yang sangat rupawan, kehadirannya di istana akan mengubah sejarah kehidupan keturunan Baratha.  Setelah berucap sosok Dewi Gangga menghilang, meninggalkan Raja Santanu yang masih berdiri terpakau tanpa sepatah kata, ia mencoba mencari-cari bayangan wanita yang dicintai, tetapi sosok Dewi Gangga benar kini tak ada.
Suasana hampa kembali menghantam relung hari raja besar itu, Dewi Gangga tak berkenan lagi untuk hidup selaku permaisuri, ia kembali ke tempat semula, kehidupan yang tak akan dapat dikunjungi. Santanu menghela napas panjang, ia merasakan  kehilangan serupa saat Dewi Gangga berpamit sambil membawa serta bayi ke delapan yang dilahirkan. Apa yang dapat ia lakukan kecuali merasa kehilangan? Akan tetapi, di dekatnya kini berdiri seorang bocah cakap yang meluluhkan hatin. Santanu tahu, ia tak  benar-benar sendiri, ia kini memiliki seorang putra mahkota yang memiliki hak meneruskan tahta. Perlahan bibir raja itu tersenyum, sepasang tangannya mengembang, sekejab kemudian Dewabrata telah berada dalam pelukannya.
Raja Santanu kini seorang ayah.

                                                                         ***

Bersambung .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...