Senja merah di tepi Sungai Gangga adalah saat mengesankan
ketika bola matahari perlahan turun mendekati kaki langit, cahayanya
memudar, memantul kemilau di atas permukaan air sungai. Desir angin
lembut menebarkan aroma bunga liar, rumput-rumput menghijau, sekawanan
burung terbang melintasi biru langit, kembali ke sarang. Pohon-pohon
tinggi menjulang, angin senja menggoyang dedaunan, mencumbu kupu-kupu.
Kali ini senja berbeda dengan hari-hari yang telah lalu, Raja
Santanu – keturunan Raja Agung Bharata meluangkan sejenak waktu setelah
kesibukan menangani berbagai tugas kerajaan. Ia perlu sejenak
menyegarkan pikiran sebelum tugas-tugas pada hari berikut menunggu. Sang
Raja menanti saat-saat menentukan saat mahatari akan berubah seakan
bola raksasa dalam warna tembaga, perlahan turun kemudian menghilang di
garis cakrawala. Kemilau cahaya emas memantulkan pakaian kebesaran Sang
Raja, di balik pakaian itu adalah sesosok badan yang kekar, menyangga
seraut wajah tampan dan agung. Santanu mewarisi kebesaran dari raja-raja
sebelumnya, keturunan Raja Besar Bharata.
Raja Santanu tengah tenggelam dalam kemuliaan alam ketika
tiba-tiba ia dikejutkan oleh sosok berpinggang ramping disangga jenjang
sepasang betis, terbalut pakaian serba indah. Cahaya senja menyebabkan
perhiasan emas bertahta batu permata tampak berkilauan. Desir angin yang
ramah membawa aroma wangi dari rambut yang halus dan panjang. Santanu
terpana, ia tak pernah menyangka, bahwa pada suatu senja yang indah ia
akan dapat bersua dengan seroang perempuan jelita. Wajah perempuan itu
membelakangi cahaya senja, tampak seakan bayang semu susah dikenal.
Santani perlu mendekat beberapa langkah sebelum akhirnya berhenti dengan
darah tersirap, ia menatap seraut wajah yang teramat cantik tanpa cela.
Kulit wajah yang halus, sepasang mata seakan cahaya bintang timur,
hidung yang mancung, bibir yang mungil semerah darah. Jantung Raja itu
berpacu dengan kencang saat senyum perempuan cantik itu mengembang,
tubuh sang raja seakan melayang di ketinggian, ia tak berminat lagi
kembali ke tanah.
“Senja yang indah perempuan jelita, aku Raja Santanu. Andai
boleh aku mengenal namamu?” tanpa sadar Santanu berucap, tangannya yang
kekar terulur, ia segera menggenggan telapak yang halus dan lunak
menentramkan.
“Segala hormat bagimu Raja Yang Agung Santanu, aku Dewi Gangga,
suatu kemuliaan bisa bersua dengan Sang Raja di tepi sungai yang indah
ini”, Dewi Gangga masih tersenyum, ia tampak seakan patung pualam yang
tergurat halus tanpa cela, meski tak pernah diketahui siapa sesungguhnya
sang pemahat.
“Namamu seindah wajahmu”, Santanu semakin erat menggenggam
telapak Dewi Gangga, ia terlalu bahagia dengan pertemuan itu, ia bahkan
terlupa untuk sekedar bertanya, dari mana sesungguhnya perempuan itu
berasal, dimana rumahnya? Sang Raja terpikat dengan suara merdu yang
terucap dari bibir merah itu. Ia tahu, tak akan pernah sanggup
meninggalkan Sungai Gangga tanpa kesediaan Sang Dewi menyertai pula
kembali ke istana. Seperti halnya Raja Dushmanta kala itu, kini Santanu
jatuh cinta kepada seorang wanita tak dikenal pada pandangan pertama.
“Saya tersanjung, karena ucapan seorang Raja yang agung
bijaksana”, suara itu benar merdu bagai angin senja yang berdesir
menyentuh hijau daun. Santanu merasa seluruh isi dada bergemuruh,
sepasang matanya berbinar, ia tak menatap wajah Dewi Gangga tanpa
berkedip. Ia cemas, andai satu kerdipan mata akan membawa pergi Gangga
dari hadapannya. Santanu tak mampu kehilangan wanita rupawan itu.
“Kiranya Sang Maha Pencipta telah mewarnai senja ini bagi
sebuah pertemuan, aku tak ingin pertemuan ini berakhir. Seorang raja
layaknya didampingi permaisuri, maka akan terlahir putra mahkota sebagai
raja penerus berikutnya”, secara halus dan santun Santanu mengajukan
permintaan, ia seorang raja, permintaannya tak bisa ditolak, tetapi ia
tahu, ia tak boleh memaksa.
“Suatu kebahagiaan untuk menerima sekaligus memenuhi permintaan
seorang raja, akan tetapi layakkah Dewi Gangga menjadi seorang
permaisuri?” Dewi Gangga menunduk, sepasang pipinya yang lembut merona,
sejenak keduanya bertemu pandang. Santanu merasa seluruhnya tubuhnya
bergetar. Perempuan jelita ini terlalu merendahkan diri, ia harus
menegaskan maksudnya.
“Duhai Gangga, hari ini juga, aku Raja Santanu meminangmu
sebagai permaisuri, engkau alan tinggal di istana di tempat yang mulia,
melahirkan putra mahkota, menjadi pendampingku selamanya”, senja akan
terjungkal menjadi malapetaka, andai Dewi Gangga mengatakan “tidak”.
Raja Santanu tengah terbakar dalam hasrat yang menyala, cinta membuat
siapapun, bahkan seorang raja menjadi buta. Ia mengajukan permintaan
tanpa terlebih dahulu mengetahui jati diri seorang wanita yang akan
menjadi permaisuri. Santanu menatap Gangga sepenuh harap, apa yang tak
pernah ia miliki, harkat, martabat, kekuasann, ketampanan, mahkota, dan
cinta?
Di langit sebelah barat, matahari perlahan padam, semakin dekat
ke garis batas dalam warna yang kemilau mengesankan. Langit tembaga,
membara disepuh indah cahaya. Angin sejuk bagai dihembuskan dari suatu
tempat yang ditumbuhi beribu bunga. Santanu melihat senyum semakin
mengambang di bibir Dewi Gangga, raut wajah ayu itu semakin memikat.
“Setiap gadis mungkin bermimpi untuk menjadi permaisuri, akan tetapi
betapa tidak mudah untuk menjalani. Andai baginda berkenan memenuhi
persyaratan”.
“Apa persyaratan itu?” Santanu tak sabar menunggu kata-kata
Dewi Gangga, ia akan segera memboyong putri jelita sebelum senja
berakhir, tepi sungai akan berubah menjadi gelap hanya berkedip karena
cahaya bintang dan kunang-kunang.
“Pertama, selaku permaisuri tak seorangpun, tidak juga Sang
Raja beratnya siapa sesungguhnya Dewi Gangga? Dari mana pula asalnya?
Kedua, Baginda akan selalu membenarkan segala tingkah laku permaisuri,
baik atau buruk, tak berhak menghalangi. Ketiga, Baginda tak boleh marah
kepada permaisuri, bila ada hal-hal yang tidak menyenangkan, Gangga
akan berpamit pergi”.
Sebuah persyaratan yang berat dan sesungguhnya tidak masuk
akal, akan tetapi cinta membuat mata hati Raja Santanu buta adanya. Ia
tak menginginkan apa-apa kali ini, ia hanya ingin Dewi Gangga dikukuhkan
sebagai seorang permaisuri, mendampinginya di istana, melahirkan putra
mahkota, dan hidup berbahagia selama-lamanya. Santanu terpikat dengan
segala hal yang berada pad diri Dewi Gangga, ia tak merasa perlu
berpikir panjang, ia menyetujui persyaratan itu, tanpa mempertimbangkan
akibatnya kemudian.
“Apapun permintaanmu, aku tiada berkebaratan, yang penting mari
kita pulang ke istana untuk upacara perkawinan agung esok hari”
Santanu menggandeng lembut lengan Dewi Gangga, ia seakan melangkah di
atas seribu harum bunga ketika berjalan kembali istana untuk sebuah
perhelatan besar esok hari. Akhirnya ia mendapatkan seorang tambatan
hati untuk dikukuhkan sebagai permaisuri.
Ketika upacara perkawinan agung itu digelar, Santanu tak ingin
berlama-lama duduk di pelaminan, ia ingin segera menjelang indah kamar
pengantin, hanya berdua dengan pengantinnya yang jelita. Ia telah
menyunting seorang putri cantik tanpa tanding di kerajaan ini, Santanu
merasa sebagai orang yang paling berbahagia. Ia belum lagi menyadari
sebuah peristiwa memilukan yang bakal dihadapi lebih sembilan bulan
setelah pesta besar ini. hati Raja Santanu berbunga-bunga ketika
menyadari beberapa bulan kemudian Dewi Gangga tampak mengandung calon
putra mahkota, ia sungguh menanti hari kelahiran itu. Ia akan menjadi
seorang ayah dari seorang bayi mungi dari seorang istri yang sangat
dicintai. Akan tetapi, benarkah raja besar itu berhak akan kebahagiaan
ketika tiba saat bagi Dewi Gangga untuk melahirkan.
Ketika usia kandungan Gangga menginjak angka sembilan bulan
sepuluh hari, permaisuri berpamit pergi ke tepi Sungai Gangga seorang
diri tanpa seorangpun dayang. Dewi Gangga mencari tempat yang terlindung
untuk melahirkan, beberapa saat seetelah bayi mungil terlahir, tanpa
banyak berucap ia segera menghanyutkan bayi tanpa dosa itu ke Sungai
Gangga. Permaisuri berwajah rupawan ini membersihkan diri kemudian
kembali ke istana dengan wajah berseri-seri, seolah tak pernah terjadi
apa-apa dalam hidupnya. Santanu tengah menunggu kehadiran seorang bayi,
akan tetapi permaisuri kembali dengan tangan hampa, tanpa banyak
berucap, seolah ia tidak baru mengalami peristiwa penting, melahirkan
seorang putra mahkota. Raja Santanu dicekam sebuah pertanyaan besar,
rasa ingin tahu yang menyodok hati nurani. Akan tetapi, raja besar itu
membungkam, ia teringat pada sumpah yang terucap di tepi Sungai Gangga.
Andai ia menegur atau bertanya tentang sesuatu hal yang tidak berkenan
di hati permaisuri, maka Dewi Gangga akan pergi. Raja Santanu menelan
kembali pertanyaannya, ia merasa demikian gelisah. Akan tetapi, adakah
pilihan lain kecuali untuk tetap merasa gelisah atau ia akan kehilangan
permaisuri yang dicintai. Sampai hari itu Santanu memilih untuk tetap
merasa gelisah.
Tahun berikutnya ketika permaisuri mengandung, Raja Santanu
kembali bergembira untuk menanti kelahiran putra berikutnya. Akan
tetapi, kegembiraan itu kembali berubah menjadi duka mendalam. Dewi
Gangga melakukan hal sama ketika hari persalinan tiba. Wanita rupawan
itu pergi ke tepi Sungai Gangga, mencari tempat terlindung untuk
melahirkan, ketika seorang bayi manis terlahir, ia kembali menghanyutkan
bayi tanpa dosa itu ke Sungai Gangga. Dewi Gangga kemudian kembali ke
istana dengan wajah damai, seolah ia tak pernah melahirkan kemudian
menghanyutkan seorang bayi ke dalam arus sungai. Dan Santanu kembali
terbungkam dalam sebuah tanda besar, dimanakah bayi yang telah
dilahirkan permaisuri? Adakah ia berhak untuk bertanya?
Kali ini Raja Satanu masih menepati janji, ia terlalu sayang
kepada Dewi Gangga, merasa tak mampu ditinggalkan permaisuri andai ia
bertanya tentang suatu hal yang menyinggung perasaannya. Santanu masih
terdiam. Akan tetapi, sampai kapan Raja Besar ini dapat terus terdiam,
ketika Dewi Gangga kembali membuang bayi ke tiga, keempat, kelima, dan
ke tujuh yang dilahirkan. Santanu tak dapat terus menyimpan tanda tanya,
ia berhak tahu bagaimana sesungguhnya nasib bayi-bayi itu.
Anak-anaknya....
Ketika Dewi Gangga mengandung anak ke delepan, tiba hari
melahirkan, diam-diam Raja Santanu mengawasi tingkah laku Dewi Gangga,
demikian pula ketika permaisuri melangkah dengan anggun, meninggalkan
istana untuk melahirkan di tepi Sungai Gangga. Tanpa sepengetahuan Dewi
Gangga, Raja Santanu mengikuti kemana langkah kaki itu pergi. Ia
bersembunyi di balik sebatang pohon yang besar ketika Gangga meregang
nyawa, melahirkan seorang bayi tanpa dosa. Beberapa saat kemudian tampak
sosok permaisuri bergerak ke tepi sungai, memeluk seorang bayi. Jantung
Raja Santanu berdebar, degup jantung itu semakin kencang ketika ia
melihat gerakan aneh Dewi Gangga, perempuan itu bersiap melarung bayi ke
delapan yang dilahirkan ke Sungai Gangga.
“Apa yang telah berlaku?”
Pertanyaan itu demikian menyentak, mendorong gerakan Raja
Santanu untuk segera mendekat, menahan lengan Dewi Gangga, sebelum bayi
ke delapan hanyut pula pada arus sungai. “Cukup permaisuri, kiranya
engkau tega membunuh bayi tak berdosa ke Sungai Gangga. Sadarkah engkau
akan perbuatan itu?” tatapan Raja Santanu tajam menikam, ia terlupa
pada sumpah atau tak perlu lagi kiranya ia memegang sumpah. Ia
memerlukan jawaban atas tindakan ganjil permaisuri.
Di lain pihak Dewi Gangga terhenyak, ketika saling bertatapan,
Raja Santanu menangkap kekewecaan teramat dalam pada sepasang mata
permaisuri yang dicintai. Hati raja itu menjadi demikian gamang, tapi
apa lagi yang bisa dilakukan. Ia berhak menimang seorang bayi untuk
dibesarkan selaku Puta Mahkotaa, ia harus memiliki pewaris tahta. Betapa
kejam tindakan seorang ibu yang tega melarung bayi tanpa dosa ke Sungai
Gangga. Siapa sesungguhnya putri cantik yang telah lama dikukuhkan sebagai permaisuri? Wajah Raja Santanu merah padam. Wajah itu segera berubah menjadi pucat, ketika dengan tegas kemudian Dewi Gangga berucap.
“Yang mulia Baginda Raja Santanu, sebelum pernikahan itu Gangga
telah meminta supaya Baginda jangan pernah menegur atau melarang segala
tindak tanduk permaisuri. Akan tetapi, kiranya Baginda tak cukup kuat
memegang janji, tidak mengapa. Bukan suatu hal yang salah bila Baginda
menginginkan bayi ini, meski hal itu berarti Baginda tidak menghendaki
kehadiran Gangga selaku permaisuri. Beribu maaf Paduka, sesungguhnya
Dewi Gangga adalah bidadari yang memainkan laku duka, karena sumpah Resi
Wasistha. Delapan orang wasu telah berbuat kesalahan kemudian mendapatkan kutuk pasthu, dipaksa
lahir ke bumi, memintaku agar kiranya sudi menjadi seorang ibu. Atas
seijin Raja Santanu, selaku ibu, Gangga melahirkan kembali ke delapan
orang wasu ke dunia. Atas kebajikan itu Paduka akan
mendapatkan tempat yang mulia kelak di alam baka. Ternyata semua
berakhir sampai di sini, Gangga akan membawa serta bayi ke delapan,
mengasuhnya hingga cukup besar. Pada saatnya Dewi Gangga akan
menyerahkan bayi mungil ini kepada Baginda, betapa kita pernah saling
mencintai dan hidup bersama di dalam istana”.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Dewi Gangga menghilang
bersama bayi tampan yang dilahirkan, meninggalkan Raja Santanu berdiri
terpaku dalam hembusan angin dingin yang terasa amat kejam. Dalam waktu
yang teramat singkat Raja Santanu kehilangan permaisuri, hati Sang Raja
merasa demikian hampa. Ia masih memiliki secercah harap, menunggu Dewi
Gangga bersama seorang bayi suatu waktu. Kini ia memahami siapa
sesungguhnya permaisuri, Dewi Gangga ternyata seorang bidadari. Sebuah
cerita membawa bidadari itu turun ke bumi, di tepi Sungai Gangga pada
suatu senja merah yang tak akan pernah terhapus dari ingatan.
Bagaimana sesungguhnya cerita itu?
Pada suatu hari, delapan orang wasu berjalan-jalan di
pegunungan, masing-masing bersama seorang istri. Suasana pegunungan
teramat damai, adalah gunung-gunung yang menjulang dililit kabut
seputih warna kapas, angin yang lembut berdesir dalam sejuk udara
menyentuh hijau rumput dan aneka bunga liar. Tiada suara hiruk pikuk
atau kesibukan manusia berdagang, yang ada hanya hening. Pada keheningan
ini Resi Wasistha mendirikan pertapaan, ia memilih hidup untuk selalu
dekat kepada Sang Maha Pencipta sebagai dharma -- pengabdian.
Delapan orang wasu termaksud mengunjungi pula
pertapaan Resi Wasistha, akan tetapi Sang Resi tiada berdiam di tempat.
Suasana sunyi, di pelataran tampan Nandini, sapi piaraan Sang Resi
tengah merumput. Ternak itu terawat dengan baik, Nandini sedemikian
gemuk, bersih, dan jinak, menawan hati istri para wasu. Salah seorang istri wasu berucap.
“Indahnya Nandini milik Sang Resi, aku ingin sekali memilikinya”, istri wasu memandang Nandini dengan takjub, ia telah melihat beragam ujud sapi, tapi tak pernah ia melihat sapi secantik Nandini.
“Nandini adalah sapi milik Resi Wasistha, ia tengah pergi entah
kemana? Tak baik mengambil ternak berharga seorang Resi tanpa
seijinnya. Kesaktian Resi Wasistha membuat seorang manusia yang meminum
susu Nandini, dapat hidup abadi. Kita adalah sekalian dewa yang pasti
hidup abadi, tak ada gunanya lagi arti susu Nandini. Biarkan sapi itu
merumput, Resi Wasistha akan menjatuhkan kutuk bila kita mengambilnya”,
seorang wasu menyanggap permintaan istri, karena takut akan kutuk yang bakal terjadi.
“Aku punya seorang teman yang sangat kukasihi, ia manusia
biasa. Aku ingin memberinya susu Nandini supaya ia hidup abadai.
Tangkaplah Nandini lalu kita pergi, Resi Wasistha tak akan pernah tahu.
Susu Nandini amat berharga bagi seorang teman”, sang istri tidak
mengindahkan kata-kata suami, ia demikin berminat terhadp susu Nandini
tanpa menyadari ancaman yang dapat terjadi bila ia mencuri ternak
piaraan Sang Resi.
Atas dasar permintaan itu kedelapan orang wasu akhirnya
bahu membahu menangkap sapi canti Nandini bersama anaknya kemudian
membawanya pergi bersama tanpa seijin Sang Resi. Tak lama setelah
Nandini bersama anaknya pergi bersama para wasu, Resi Wasistha
kembali, suasana pertapaan tamak lebih sunyi, ada yang salah. Sang Resi
tak mendapatkan Nandini dan anaknya di pelataran pertapaan. Susu Nandini
selalu bermanfaat dalam setiap upacara persembahan. Kemana gerangan sapi cantik itu?
Resi Wasistha bertanya-tanya dalam hati, ia memerlukan jawaban.
Dengan kesaktian Resi Wasistha melakukan yoga, kali ini lebih khusuk,
ia harus memberikan hukuman kepada para pencuri. Tak susah bagi Sag
Resi, ia segera mengetahui apa yang telah terjadi ketika ia pergi,
kiranya delapann orang wasu telah berjalan-jalan di pegunungan
ini, singgah di pertapaan, terpikat kepada keelokan Nandini, membawanya
pergi bersama anaknya pula. Resi Wasistha teramat murka, tak seorang pun
berhak mencuri harta miliknya yang sangat berharga. Dalam kemarahannya
Resi Wasistha mengucapkan kuthuk pasthu bagi para wasu.
“Engka delapan orang wasu yang telah mecuri Nandini dan
anak sapi itu akan terlahir ke dunia, hidup sebagai manusia yang
menderita. Terimalah hukuman sebagai pencuri yang telah merampas harta
berharga seorang Resi”.
Delapan orang wasu menjadi takut, karena kutukan itu.
Mereka menyesal, tapi penyesalan selalu datang pada waktu yang salah.
Mereka bertandang kembali ke pertapaan mengembalikan Nandini bersama
anak yang dilahirkan, memohon ampun, “Beribu ampun atas kesalahan kami
Resi, kami kembalikan lagi Nandini”, suara itu demikian lemah, karena
ketakutan dan salah.
“Kuthuk pasthu telah terucap, akan berlaku pada waktunya. Aku tak dapat mencabut kembali, wasu yang melarikan Nandini akan hidup lebih lama di dunia dalam kemuliaan. Tujuh wasu yang
lain terlepas dari kuthuk ini, akan segera setelah terlahir sebagai
manusia. Aku tak dapat lagi mencabut kuthukan ini, kecuali
meringankannya”, Resi Wasistha memahami ketakutan para wasu, kemarahannya sedikit mereda, karena Nandini telah dikembalikan pula.
Resi Wasistha kemudian bersemadi, ia duduk bersila, diam,
mengatur napas, memusatkan pikiran, meredakan amarah. Seorang Resi yang
melakukan tapabrata --semedi selalu bisa mendapatkan kesaktian untuk mengucap kutuk pasthu. Akan tetapi, ketika kutuk termaksud telah terucap, derajat kesucian yang dicapai segera berkurang. Delapan orang wasu yang ketakutan merasa sedikit lega, karena kekuatan kutukan akan dilunakkan, pergilah mereka menemui Dewi Gangga, memohon.
“Beribu sembah dan bakti dari kami delapan orang wasu yang senantiasa memuja Batari. Andai kami dapat memohon satu pertolongan”, delapan orang wasu memberikan salam dan hormat dengan takjim di hadapan Dewi Gangga, seorang Batari yang cantik dan lembut hati.
“Kuterima salam dan hadirmu delapan wasu, tetapi apa yang bisa kulakukan untuk memenuhi permintaanmu?” suara Dewi Ganggaa lembut dan syahdu, hati delapan orang wasu itu menjadi demikian damai mendengar merdu suara Dewi Gangga, Sang Batari.
“Kami telah berbuat kesalahan dengan mencuri Nandini, sapi suci
Resi Wasistha. Nandini telah kami kembalikan, tetapi Resi Wasistha
benar-benar murka, mengucap kutuk pastu. Andai Batari berkenan,
sudikah kiranya Batari menjadi ibu kami, turun ke Mayapada, menikah
dengan seorang raja. Kelak, satu demi satu dari kami akan terlahir lewat
rahim Paduka. Segera setelah kami lahir, buanglah ke Sungai Gangga,
sehingga kutuk pasthu itu musnah sudah”, suara itu demikian
penuh penyesalan, Dewi Gangga terdiam sejenak. Ia tak berkuasa menolak
satu permohonan yang menyangkut kedamaian hidup delapan orang wasu. Ia cukup bijak untuk memenuhi permintaan itu, ia hanya memerlukan beberapa saat untuk menjawab setelah menghela napas panjang.
“Aku mengerti bagaimana kesulitan itu, kupenuhi permintaan itu
dengan satu syarat, jangan pernah mengambil apapun yang menjadi hak
orang lain kecuali dengan seijinnya”, Dewi Gangga hanya sebentar
berucap, pertemuan itu berakhir.
Hari berikutnya Dewi Gangga turun ke bumi, menempatkan diri di
tepi Sungai Gangga, senja yang indah dan mengesankan menyempurnakan
kecantikannya, maka Raja Santanu segera jatuh cinta pada pandangan
pertama. Pertemuan yang segera berlanjut menjadi pernikahan agung,
kelahiran bayi pertama dan ketujuh yang selalu dihanyutkan ke Sungai
Gangga sesuai dengan permintaan delapan orang wasu yang terkena kutuk pasthu.
Suatu tindakan yang menimbulkan tanda Tanya besar bagi Raja Santanu,
karena ia tak pernah tahu dari mana asal usul Dewi Gangga, mengapa pula
ia menerima permintaan menjadi istri seorang raja
Ketika terlahir bayi yang ke delapan, Raja Santanu tak dapat
lagi menahan diri untuk tidak menghentikan tindakan Dewi Gangga yang
menurut anggapannya sangat kejam. Maka berpamitlah Dewi Gangga beserta
bayi mungil ke delapan, meninggalkan Santanu seorang diri di tepi Sungai
Gangga. Santanu telah melanggar janji untuk tidak bertanya atau
melarang segala tindak tanduk Dewi Gangga.
Raja besar itu merasakan kesendirian yang lengkap setelah Dewi
Gangga lenyap bersama seorang bayi dalam gendongan. Santanu tak berkuasa
menahan, ia harus rela ditinggalkan seorang diri, desir angin terasa
lebih dingin menggigit kulit. Hati Raja Santanu terasa demikian hampa,
ia mencintai seorang perempuan yang merahasiakan asal usulnya, cinta
memang membuat mata hati menjadi buta. Kini ia harus duduk seorang diri
di singgasana tanpa seorang permaisuri, tugas beratnya sebagai seorang
raja tak bisa ditinggalkan sekalipun Dewi Gangga telah pergi ke tempat
yang sangat jauh dan tak akan kembali lagi.
Raja Santanu lebih sering meluangkan waktu untuk kehidupan
rohani demi mendapatkan kekuatan diri, ia nyaris meninggalkan kesenangan
duniawi, memerintah kerajaan dengan lebih bijaksana, mengutamakan
kemakmuran bagi rakyatnya. Akan tetapi, ia tak pernah dapat melupakan
sosok Dewi Gangga, seorang permaisuri berwajah rupawan yang menawan
hatinya.
Untuk menghibur diri ada kalanya Raja Santanu berjalan-jalan ke
tepi Sungai Gangga, ia selalu mengingat hari pertemuan itu, saat-saat
mengesankan yang berakhir dengan perpisahan panjang tanpa ujung dan
diam-diam menyakiti hatinya. Sepasang mata raja itu menatap sedemikian
jauh pada sebuah peta yang tak dapat dikunjungi atau sebenarnya Santanu
tah tahu kemana sebenarnya sepasang matanya menatap, kecuali rindu akan
sosok Dewi Gangga yang melukai hatinya.
Tiba-tiba Raja Santanu terpana, ia menatap seorang bocah
berwajah manis, berbadan tegap layaknya calon kesatria. Kulit bocah itu
tampak demikian halus di bawah kemilau cahaya senja, sepasang matanya
tajam, namun sejernih embun. Tangannya yang mungil merentang gendewa,
dengan sepenuh keyakinan membidik sasaran jauh di depannya. Bocah itu
diliputi aura kemegahan dan keagungan Dewendra, raja dari segala dewa
dan batara. Ia seorang diri, tanpa seorang pengasuh atau pengawal, akan
tetapi ia memiliki cukup keberanian untuk hadir seorang diri di tepi
Sungai Gangga. Raja Santanu merasa takjub melihat seorang bocah tampak
seakan kesatria muda, ia teringat pada tujuh orang bayi yang hanyut di
Sungai Gangga, tak pernah kembali ke istana, ia teringat akan bayi
mungil yang dibawa serta pergi oleh Dewi Gangga ke suatu tempat yang tak
dapat dikunjungi, bahkan dalam mimpinya sekalipun. Perlahan Raja
Santanu mendekat, ia hendak mengulurkan tangan, menyapa bocah tampan
itu. Akan tetapi, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di hadapannya kini
berdiri sesosok tubuh, seraut wajah yang selalu dikenang ketika siang
dan malam datang silih berganti mengikuti peredaran matahari. Wajah
jelita itu, wajah Dewi Gangga, Raja Santanu menahan napas, seakan tahu
pada tarikan napas berikutnya wanita yang dicintainya akan segera pergi
berlalu.
Dewi Gangga tersenyum lembut selayaknya seorang permaisuri
agung yang memberikan seluruh bakti kepada seorang raja. Suaranya tetap
merdu ketika berucap, “Yang Mulia Paduka Raja, sungguh senja yang masih
indah untuk kembali bersua. Dialah putra kita, Dewabrata, sesuai janji
saya pertemukan kembali dengan Paduka. Dewabrata telah mahir berolah
senjata, menguasai ilmu perang, memiliki kesaktian setara dengan
Parasurama. Ia telah mempelajari Weda dan falsafah Wedanta dari
Resi Wasistha. Putra kita Dewabrata memahami pula seni, ilmu gaib
Sanjiwini yang dikuasai Sukra. Sambutlah Dewabrata, besarkanlah di dalam
kehidupan istana, kelak ia akan menjadi seorang kesatria dan senapati
agung”, Dewi Gangga hanya sekejab hadir di tepi Sungai Gangga, ia
menepati janji menyerahkan seorang putra kepada Raja Santanu. Seorang
putra yang sangat rupawan, kehadirannya di istana akan mengubah sejarah
kehidupan keturunan Baratha. Setelah berucap sosok Dewi Gangga
menghilang, meninggalkan Raja Santanu yang masih berdiri terpakau tanpa
sepatah kata, ia mencoba mencari-cari bayangan wanita yang dicintai,
tetapi sosok Dewi Gangga benar kini tak ada.
Suasana hampa kembali menghantam relung hari raja besar itu,
Dewi Gangga tak berkenan lagi untuk hidup selaku permaisuri, ia kembali
ke tempat semula, kehidupan yang tak akan dapat dikunjungi. Santanu
menghela napas panjang, ia merasakan kehilangan serupa saat Dewi Gangga
berpamit sambil membawa serta bayi ke delapan yang dilahirkan. Apa yang
dapat ia lakukan kecuali merasa kehilangan? Akan tetapi, di dekatnya
kini berdiri seorang bocah cakap yang meluluhkan hatin. Santanu tahu, ia
tak benar-benar sendiri, ia kini memiliki seorang putra mahkota yang
memiliki hak meneruskan tahta. Perlahan bibir raja itu tersenyum,
sepasang tangannya mengembang, sekejab kemudian Dewabrata telah berada
dalam pelukannya.
Raja Santanu kini seorang ayah.
***
Bersambung .....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar