Relina terhenyak, ia seakan terjebak ke dalam
selubung misteri yang membingungkan. Ia mencoba tidak mempercayai
situasi yang dalam sekejab telah berubah menjadi perangkap, psikolog
muda tak ubahnya seperti seekor kelinci, bingung dan ketakutan. Adapun
ruang interogasi ini mirip benar dengan kamar jenazah, dingin sekaligus
menggelisahkan.
Apa salahku?
Gadis itu membisu, ia bahkan telah
kehilangan akal sehatnya, ia terus bertanya-tanya di dalam hati, adakah
ia telah berada di tempat yang semestinya atau ia tengah berilusi? Suara
berdebum dari daun pintu yang dikatupkan kuat-kuat membawa Relina pada
kesadaran, posisinya kini di dalam ruang interogasi, ternyata benar
adanya.
Ia hendak pergi meninggalkan gelanggang
senam ketika petugas berseragam meringkusnya dengan tatapan sedingin es
batu. Ia satu-satunya orang di garasi yang berada di lantai lima sebuah
mall di jantung kota. Tak ada sesiapapun yang melihat manakala sepasang
tangannya yang halus diborgol secara paksa. Masa depan seakan
terjungkir. Ia telah menjadi seorang pesakitan. Relina ingin menjerit
bagi sebuah pertolongan, tetapi siapa mau mendengar? Ia pendatang baru
di kota ini, lajang di atas 30 tahun dengan predikat Master lulusan
Universtas ternama. Akan tetapi, apa guna predikat itu? Dalam sekejab ia
telah terpuruk menjadi manusia yang sangat malang.
Relina memilih diam. Ia harus bekerja
keras menyesuaikan diri dengan situasi. Tatapan tak bersahabat dari para
penyidik seakan menguliti wajahnya. Ia dapat merasakan arti seorang
wanita tanpa martabat, meja hijau agaknya telah menanti, ia akan
tersesat ke dalam lubang jarum. Bagaimana ia dapat mencari jalan keluar?
Seorang penyidik menatapnya dalam jarak
yang amat dekat, dengan pembatas meja besi yang telah kusam, sikapnya
amat bermusuhan. Ia membawa pula alat tulis bagi pencatatan. Interogasi
dimulai:
“Nama?”
“ Relina”
“Umur?”
“Tigapuluh tahun”.
“Pekerjaan?”
“Konsultan”.
“Agama?”
“Islam”.
“Alamat?”
“Jalan Padalarang”.
“Saudari Relina, anda berhak didampingi
seorang pengacara, tetapi anda telah dituduh melakukan pelanggaran lalu
lintas, merubuhkan tiang listrik. Sederhana persolannya, menabrak tiang
listrik. Akan tetapi, tiang listrik itu jatuh mengenai sebuah rumah
tinggal dengan akibat yang mengerikan sebuah konslet dan berlanjut
dengan kebakaran. Seisi rumah hangus dengan seluruh penghuninya tanpa
sisa. Kemudian kebakaran merambat menghanguskan pasar yang terletak
tidak jauh dari rumah yang terbakar. Tidak ada yang bisa diselamatkan
dari isi pasar, seluruh barang ludes, korban-korban berjatuhan. Saksi
menyatakan mobil anda melakukan pelangaran yang berakibat fatal, mereka
telah mencatat nomor, merek, dan warna mobil anda, itu sebabnya kami
harus menangkap anda untuk mempertangungjawabkan pelanggaran itu”, suara
itu meluncur dengan tegas dan pasti tanpa basi-basi. Di seberang meja
Relina menggigil, ia seakan tengah mendengar suara yang bergaung dari
masa purba.
Dimana aku tengah berpijak? Kapan ia pernah melakukan pelanggaran? Dimana kejadiannya? Apakah ia sedang bermimpi?
Relina ingin bertanya bagi sebuah
penjelasan, tetapi mulutnya terasa gagu, ia seakan telah kehilangan
separuh dari kesadarannya. Iapun terbungkam dengan tenggorokan kering
dan lidah serasa terbakar. Sementara suasana meningkat menuju pada
ketegangan yang menakutkan. Gadis itu terpaku selayaknya arca batu,
sebuah expresi yang menyenangkan hati sang penyidik, karena hal itu
berarti ia tak menangkap orang yang salah.
“Setelah pelanggaran itu anda melarikan
diri, anda meninggalkan musibah mengerikan yang menyusahkan banyak
orang. Untung sistem kerja kami dapat melacak jejak anda. Kami akan
menempuh prosedur yang seharusnya hingga pengadilan akan menjatuhkan
vonis bagi semua kesalahan anda”.
Mata Relina terbelalak, ia akan
kehilangan seluruh hidup yang telah dibangun dengan susah payah. Ia akan
menjadi penghuni terali besi, menjadi narapidana. Ia akan menempati
sebuah bangunan yang tak pernah menjadi mimpi siapapun. Aught!
Psikolog
itu terbungkam. Relina tak banyak membantah ketika ia digiring ke dalam
ruang tahanan yang dingin, basi, dan berlumut. Ketika pintu besi
terkatup dengan hentakan dasyat, Relina merasa dirinya telah dicampakkan
ke sebuah liang gelap tanpa udara. Gadis itu merasa napasnya sesak.
Ia bukan hanya sendiri dan kebingungan,
tetapi juga ngeri dan ketakutan. Gadis itu memejamkan mata, ia harus
bekerja keras untuk mendapatkan kembali kesadarannya, apa yang telah berlaku?
Relina merasa dingin lantai sel
menyergapnya seakan ribuan jarum berkarat membenam pada kedalaman luka,
ia perlu mengosongkan pikiran, ia harus kembali ke titik terendah, ia
tak boleh kehilangan kontrol diri. Ia telah berjuang untuk mendapatkan
segala sesuatu yang membuat hidupnya tak pernah sia-sia sampai hari ini
ketika tiba-tiba kebebasannya terampas. Ia tak akan membiarkan
sesiapapun merenggut kehidupan yang telah ia tata dengan
sindah-indahnya. Relina tak tahu dengan pasti berapa lama ia telah
berdiam diri, ia duduk bersila, memejamkan mata, mengatur pernapasan,
secara perlahan-lahan ia menghirup udara melaluli hidung, menyimpannya
di dalam rongga perut dan mengeluarkannya kembali melalui mulut. Segala
keterkejutan, ketakutan, dan kebingungan pelan-pelan menepi. Relina
terus melakukan pengaturan napas berulang kali, sehingga badannya yang
beku mulai berubah terasa hangat, kepalanya ringan. Ketika keringat
mulai menitik, iapun membuka mata.
Relina sadar, ia tengah berada di dalam
sel, ia sendiri, ia dituduh melakukan pelanggaran lalu lintas, menabrak
tiang listrik, sehingga tiang itu rubuh mengenai sebuah rumah tinggal
yang menyebabkan konslet dan berakibat kebakaran, seisi rumah dan
penghuninya hangus terbakar tiada bersisa. Kebakaran itu merambat,
menghanguskan seisi pasar dengan kerugian berkisar milliar rupiah. Dan
ia melarikan diri dari semua pelanggaran ini. Saksi mata mencatat nomor,
warna, dan merek mobilnya. Aparat kemamanan bergerak, ia ditangkap
dengan mudah, dinterogasi, dan dijebloskan ke dalam sel. Riwayat
hidupnya akan tamat, kecuali ia dapat membuktikan, bahwa ia tak pernah
melakukan pelanggaran yang berakibat fatal. Relina meraba-raba ke kiri
dan ke kanan, ia berusaha mendapat kembali tas dan hp, tetapi astaga! Ia
tak mendapatkan apa-apa. Tak ada barang miliknya yang tersisa, kecuali
pakaian yang melekat pada tubuhnya, bagaimana ia akan dapat
berkomunikasi dengan dunia luar.
Akan tetapi, siapa pula yang dapat
dihubungi? Ia lajang pendatang baru di kota ini, ia tak mengenal
siapapun secara akrab. Manager perusahaan tengah berada di luar negeri,
ia tinggal sebagai penghuni baru pada sebuah rumah bertingkat semi
apartemen. Kesibukan bekerja menyebabkan ia tidak sempat berkenalan
lebih dekat dengan penghuni bangunan yang lainnya. Ibunya berada di
tempat jauh, ia pasti tengah sibuk merawat ayah yang terkena strok, apa
yang terjadi bila ayah mendengar kabar ia dijebloskan ke dalam sel? Maya
adik tirinya, tak pernah sekalipun berkirim kabar, ia bahkan tidak tahu
berapa nomor hpnya. Sementara Hp sebagai satu-satunya alat komunikasi
yang berfungsi untuk coneckting people telah raib entah kemana.
Ia tak dapat berkomunikasi dengan siapa-siapa, nasibnya tergantung
kepada para penyidik dan pengacara yang belum lagi dapat dikenalnya.
Gadis itu merasa demikian lemas, seluruh
tulang belulangnya seakan telah tercabut dari tubuhnya. Iapun memejamkan
mata, menyandarkan diri ke dinding yang sama suram dengan suasana
hatinya. Ia tetap menggali sejumput kekuatan, ia harus mencari celah
untuk membuktikan bahwa ia tak pernah bersalah, tak pernah melakukan
pelanggaran, ia tak mau menerima vonis tanpa pernah melakukan kejahatan.
Tetapi, apa yang dapat ia lakukan?
***
Dita duduk menghadap secangkir susu dengan campuran
krim yang sangat halus, ia menikmati kesendirian di rumahnya yang
nyaman. Firman tengah dinas ke luar kota, Andesita pasti sedang sibuk
bermain di play group yang terletak di lingkungan perumahan. Gadis kecil
itu tumbuh dengan perkembangan fisik dan kecerdasan yang mengagumkan.
Dita tak menyesal meninggalkan karirnya yang cemerlang demi bocah kecil
yang telah dilahirkan. Kini di dalam rahimnya tengah hidup seorang
cabang bayi, anak kedua, yang akan menjadi adik Andesita. Anak-anak
tunggal sering mengalami problem dalam hal pergaulan, karena tak pernah
berkesampatan melakukan sosialisasi pada lingkungan yang paling kecil.
Keluarga. Andesita memerlukan seorang adik, ia memang telah siap untuk
itu.
Seorang orang loper datang mengulurkan
koran lokal hari ini. Firman telah berulang kali memprotes Dita supaya
tidak perlu berlangganan koran lokal, cukup dengan koran nasional,
majalah, televisi, dan radio. Tetapi Dita sangat hobi menonton bioskop,
ia tidak bisa menyaksikan aktor dan artis idolanya andai ia tak rajin
membaca iklan film yang disajikan koran lokal. Setelah mencicipi susu
yang terasa nikmat di lidah, wanita itu mulai membalik-balik halaman
koran. Susu amat mendukung bagi kesehatan ibu hamil sekaligus
pertumbuhan janin yang tengah dikandungnya. Ia tahu, bahwa perawatan
bayi selalu dimulai sejak janin berada di dalam kandungannya. Untuk itu,
maka ia selalu rajin menyeduh secangkir susu kemudian meneguknya hingga
tandas.
Semula Dita membaca sekilas judul-judul
berita, harga BBM yang terus melambung, demonstrasi mahasiswa,
penggusuran rumah kumuh, perselingkuhan kalangan selebritis, artikel
kesehatan, ulasan politik, tajuk rencana, dan tentu saja iklan film.
Keseluruhan berita tidak terlalu menarik seperti halnya berita yang
terbit pada hari lalu. Akan tetapi, Dita tertegun pada sebuah judul
berita di halaman pertama, kolom terbawah. Tercetak debuah judul
besar-besar. PROSES PENGADILAN BAGI RELINA, PSIKOLOG YANG
MENIMBULKAN MUSIBAH KEBAKARAN TELAH BERLANGSUNG. JAKSA MENGAJUKAN
TUNTUTAN HUKUMAN SEUMUR HIDUP!
Mata Dita terbelalak, ketika ia melihat
foto Relina terduduk di kursi terdakwa dengan wajah pucat. Mata wanita
itu semakin membeliak lebar ketika ia membaca berita selanjutnya.
Relina (30 tahun) psikolog konsultan
pada perusahaan kosmetik terkemuka, kini menjalani proses pengadilan
yang rumit. Pada malam tanggal 14 Februari lalu terdakwa melakukan
pelanggaran lalu lintas di sebuah kota Pt, pantai utara Jawa. Sebuah
tiang listrik rubuh kemudian konslet membakar rumah tinggal beserta
seluruh isi termasuk penghuninya. Kebakaran merambat menghanguskan
seluruh pasar dengan belasan korban jiwa dan kerugian yang berkisar
milliaran rupiah. Relina terancam hukuman seumur hidup untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.....
Dita terpengarah, ia membaca berita itu
berulang-ulang dengan harapan, bahwa isi berita itu keliru, akan tetapi
setelah berkali-kali memahami, maka ia harus menerima kenyataan. Berita
itu benar adanya, ia tidak sedang bermimpi. Adik kamarnya, Relina tengah
dipertaruhkan nasibnya, takdir membawanya pada sebuah arah untuk
menjadi hancur sama sekali. Dita yakin akan hal itu, ia teringat kembali
pada saat paling menyakitkan ketika gadis itu menampar pipinya. Relina
adalah pribadi yang tampak tegar, nyaris angkuh di luar, akan tetapi
buku harian itu telah menceritakan segalanya. Re berusaha tampak tegar
untuk menutupi suasana hatinya yang rapuh dan hal itu adalah hak
azasinya.
Sekali lagi Dita membaca berita itu,
tanggal pelanggaran adalah tanggal yang sama ketika ia hadir bersama
Relina dan beberapa alumni asrama lainnya pada resepsi perkawinan
Puspita. Hal itu berarti pada saat kejadian Relina tidak berada di TKP.
Ada kekeliruan, hakim tengah mengadili orang yang tidak bersalah. Dita
berani bersumpah untuk itu, ia bahkan dapat menghadirkan lebih dari
seratus saksi sebagai alibi, bahwa Relina tak ada di tempat kejadian.
Akan tetapi, siapa yang mau peduli pada nasib seorang Relina ketika
manusia sibuk dengan dirinya masing-masing. Sementara kandungannya
semakin berat, badannya semakin lemah. Dita kini mengerti, mengapa sorga ada di bawah telapak kaki ibu. Seorang ibu pasti bertaruh hidup dan mati untuk mengandung, melahirkan kemudian membesarkan anaknya.
Mestinya Dita bersorak dengan berita ringkas bagi
pengadilan Relina, ada sebuah sistem yang meminjamkan tangan untuk
membayar segala sakit hati dan mungkin dendam bagi Relina. Akan tetapi,
nanti dulu, setelah bertahun tamparan itu Re akhirnya datang mengulurkan
tangan dan memberikan ciuman persahabatan, meski ia tak pernah
menunjukkan sikap yang benar-benar akrab. Re mengulurkan tangan pada
malam pengantin Puspita yang berlangsung tanggal 13 – 14 Februari,
bertepatan dengan hari Valentin. Dita ingat tanggal itu, karena untuk
sekali dalam perkawinannya, ia tak merayakan hari kasih sayang dengan
Firman dan Andesita. Ia hadir pada perkawinan Puspita, dan Relina,
terdakwa itu ada hadir pula di sana.
Dita melempar koran itu, ia beranjak ke dalam kamar,
merebahkan diri, ia harus bertarung dengan hati nuraninya, untuk
bersaksi atau tidak bersaksi. Wanita itu menimbang-nimbang hingga air
mata mengucur dan ia sadar, bahwa hati nuraninya yang menang. Malam itu
ketika Firman telah kembali dari kantor, mereka duduk bersama menghadap
meja makan. Dita menghidangkan sayur asem, ayam bakar kalasan, dan tempe
bacem dengan hidangan penutup puding berlapis-lapis seakan warna
pelangi. Andesita menyudahi makan terlebih dahulu, ia tengah asyik
bermain boneka di atas permadani di depan televisi. Sesekali terdengar
suara anak itu berceloteh sendiri seakan boneka –benda mati—itu adalah
makhluk hidup yang bisa diajak berkata-kata. Dita merasakan kedamaian
menyusup ke dalam relung jiwa, ia mengerti benar permenungan ibu Kartini
yang dituang di dalam sebuah catatan, bahwa kebahagiaan seorang wanita pada prinsipnya adalah di dalam kehidupan rumah tangga.
Apalah arti karir, jabatan, harta, dan segudang pengalaman perjalanan
ke luar negeri apabila ia tak dapat menerima sekaligus diterima orang
lain yang akhirnya berstatus sebagai suami? Apalah arti reputasi tanpa
keturunan syah yang dapat dilahirkan? Ia tak memilih jalan hidup yang
salah sebagai ibu rumah tangga.
“Fir, baca berita ini”, Dita mengulurkan koran kepada
Firman, langsung menunjukkan berita persidangan bagi Relina. Firman
sekilas membaca berita itu, kemudian meletakkan surat kabar ke atas
meja.
“Apa masalahnya?” suara itu terdengar berat.
“Terdakwa, Relina adalah adik kamar ketika aku masih
tinggal di asrama, aku tak begitu akrab dengannya. Akan tetapi, pada
malam kejadian itu Relina ada bersamaku dan ratusan tamu undangan
lainnya pada pesta perkawinan Puspita. Aku berani bersumpah untuk itu,
hakim tengah mengadili orang yang tidak bersalah.”
“Apa rencanamu?”
“Aku harus mengumpulkan bukti-bukti, bahwa Re tak bersalah”.
“Kau mau jadi pahlawan?”
“Kalaulah benar aku dapat menjadi pahlawan, maka aku
tak akan mendapatkan apa-apa dan tak pula kekurangan apa-apa. Tak ada
yang berubah, aku hanya ingin mengikuti kata hatiku”.
Senyap. Di ruang tengah kembali terdengar suara
Andesita berceloteh, Firman menatap Dita berlama-lama, istrinya berada
dalam keadan hamil, mengumpulkan bukti-bukti untuk merubah vonis hakim
adalah pekerjaan sulit, amat sulit. Akan tetapi Firman tahu, betapa
keras kepala wanita yang dinikahinya itu, terlebih bila ia sadar, berada
di pihak yang benar. Percuma ia melarangnya, “Lakukan segala hal yang
menurutmu baik dan sesuai dengan kata hati,” akhirnya Firman menjawab
singkat.
Laki-laki itu segera meninggalkan meja makan,
bergabung dengan Andesita yang tengah asyik bermain boneka. Mereka
bertiga mulai terlibat dalam permainan yang mengasyikan, dari kejauhan
Dita memperhatikan anak, bapak, dan boneka itu seakan tengah menjalankan
peran dalam pertunjukkan pantomim. Dita mengemasi meja makan, setelah
semuanya beres, ia menyepi di ruang tamu dan mulai sibuk menelepon.
“Halo, Mbak Pita, apa kabar? Ada di mana sekarang?”
“Saya sudah kembali ke Irian”, terdengar suara burung prenjak Puspita dari dalam Hp.
“Maaf, saya mengganggu agenda bulan madu, akan tetapi ada hal yang sangat penting menyangkut adik kamarku dulu, Relina”.
“Kenapa dengan Re?”
“Dia sedang menunggu vonis atas tuduhan pelanggaran
lalu lintas yang menyebabkan kebakaran rumah dan pasar dan korban jiwa
yang berjatuhan. Saya berani bersaksi, pada malam kejadian itu 14
Februari lalu Re ada bersama dengan kita pada pesta perkawinan mbak
Pita. Tidak mungkin satu pribadi pada saat yang sama berada pada dua
tempat yang berbeda. Saksi mata pasti salah melihat, hakim tengah
mengadili orang yang salah. Bisa mbak Pita membantu?”
“Ada buku tamu, ada undangan, ada foto perkawinan,
jangan takut saya akan mengirimkan barang-barang itu ke alamatmu.
Selebihnya aku akan berusaha semampuku, okey, hubungi teman-teman yang
lain. Aku mendukung usahamu”.
Jawaban Puspita membuat Dita merasa lega, ia tak
prihatin seorang diri. Ia masih sibuk dengan pembicaraan via hp sampai
tiba-tiba badannya terasa lelah. Wanita itu menyudahi pembicaraannya,
menghambur ke dalam pelukan Firman yang tengah serius mengikuti berita.
“Bagaimana hasil langkah awal istriku?” Firman senyum-senyum, ia
menyetujui keputusan Dita, tetapi ulah sikap istrinya membuat ia geli.
Wanita yang telah berkeputusan menjadi ibu rumah tangga itu akan beraksi
di ruang sidang, menyangkal segala tuduhan jaksa penuntut umum,
mengubah vonis hakim, bagi seorang kawan yang telah berpisah lama dan
tak pernah terikat hubungan apa-apa. Agaknya ia telah menikah dengan seorang “ pejuang”!
Dita memejamkan mata, ia tahu Firman tengah
mentertawai dirinya, tetapi ia mengambil sikap seolah-olah ia tidak tahu
bila sedang ditertawai. Ia harus menunggu barang bukti yang dikirimkan
Puspita, setelah itu ia akan merubuhkan tuduhan jaksa penuntut umum
seperti ia dapat merubuhkan rumah boneka yang terbuat dari seonggok
pasir. Ia akan melakukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Dua hari kemudian datang sebuah paket kecil dari
Puspita, dengan antusias Dita membuka paket itu dan segera mendapatkan
barang bukti yang membuat dirinya semakin yakin akan keputusannya.
Puspita mengirimkan album foto perkawinan dengan tanggal dan hari
tertera di bagian depan, buku tamu, dan undangan perkawinan, selembar
surat yang Dita juga memilikinya. Dita merasa kepalanya ringan,
selanjutnya ia akan beraksi pada langkah yang seharusnya ditempuh, ia
tak peduli pada sikap geli suaminya.
***
Relina duduk membeku di atas kursi terdakwa, hijau
meja sidang telah melolosi keangkuhannya, tetapi bukan Re kalau ia tak
mengutamakan sikap tenang. Bahkan ketika hidup akan segera berakhir di
meja sidang gadis itu tak silap dengan penampilannya, ia tetap seorang
wanita dewasa yang menjadi demikian menarik, karena kecantikannya. Gadis
itu mengenakan blouse putih lengan panjang dengan rok span berwarna
kelabu, wajahnya nyata-nyata memucat, tetapi tak sedikitpun ia merasa
gentar, ia tak pernah melakukan kesalahan yang telah dituduhkan jaksa.
Kalaulah ada saksi-saksi yang dapat membuktikan keberadaannya waktu itu.
Re membuang pandang, ia merasa dirinya seakan aliran
air yang bergerak mengikuti arus teramat kuat tanpa tujuan yang pasti,
ia tertahan pada sebuah jebakan. Akan tetapi, air selalu sebagai
kekuatan alam yang terus bergerak perlahan namun pasti untuk mendapatkan
celah. Berpasang- pasang mata menatap penampilan gadis itu seakan tajam
mata belati yang tengah mengulitinya. Re merasa telah berada tepat pada
tiang gantung dengan seutas tali melingkar pada batang lehernya. Andai
algojo menendang sekali saja bangku yang dipijaknya pasti ia akan
tercekik dengan ekpresi wajah teramat buruk dan kehidupan baginya akan
tersisa sebagai kenangan.
Tuduhan keras dari jaksa telah menulikan telinga
gadis itu, ia tak ingin mendengar, tetapi ia tak dapat berlari jauh dari
kenyataan. Hidupnya tengah diperaruhkan, karirnya yang cemerlang
hancur, selebihnya hari esok segera menjelma menjadi puing-puing
bangunan. “Masih ada pembelaan dari pengacara sebelum vonis dijatuhkan?”
suara hakim ketua terdengar memecah hening.
Beberapa saat keheningan melarut menjadi suasana yang
menggelisahkan, Re melirik kepada pengacara yang dipersiapkan khusus
untuk membelanya, seorang pemuda berijazah master dan cita-cita yang
tinggi. Kehadiran pengacara tentu saja menjadi etika atau persyaratan
mutlak dalam setiap persidangan. Akan tetapi, syarat itu belum tentu
mampu membebaskan dari segala tuduhan, sungguhpun ia tak pernah
bersalah, tak pernah terlibat dalam musibah itu.
“Terima kasih, saya bermaksud menghadirkan saksi-saksi”, pengacara menanggapi pertanyaan dari hakim ketua.
Seterusnya Relina merasa tersedot ke dalam ilusi, ia
menatap seorang ibu muda yang melangkah pasti menuju ke tempat saksi.
Ibu muda itu mengenakan rok hijau lumut dengan jaket teramat longgar
untuk menyembunyikan kehamilannya. Wajah itu demikian muda dan segar
dinaungi rambut hitam legam yang digelung dengan hiasan tusuk konde
berwarna kuning keemasan. Sekilas ibu muda itu memandang ke arah Relina
memberikan senyuman, Re terpana. Ia tak akan terlupa pada wajah Dita
sekalipun ia tak pernah bermaksud mengingat wanita itu. Mantan kakak
kamarnya itu kini hadir pada saat nasibnya tengah dijungkir balikkan.
Untuk kepentingan apa?
Re kembali pada sikap tenang, ia hanya bisa duduk,
tak punya kesempatan untuk bicara. Masih ada yang tersisa ketika ia tak
punya hak apa-apa, ialah keyakinan, bahwa ia tengah diadili tanpa
melakukan kesalahan. Dari sudut mata Re dapat mengikuti setiap
peristiwa. Dita disumpah dibawah Al Quran, kemudian wanita itu memainkan
peranan dengan memukau ketika hakim memberikan kesempatan kepada Dita
untuk bersaksi.
“Dengan nama Allah saya berani bersaksi, bahwa pada
malam kejadian 14 Februari tahun ini, terdakwa Relina tidak berada di
tempat kejadian, yang bersangkutan ada bersama saya dan rekan-rekan lain
menghadiri resepsi di Surakarta. Untuk itu kami memohon supaya terdakwa
dibebaskan dari segala tuduhan”, kata-kata Dita jernih dan lantang, ia
yakin dengan setiap suku kata yang diucapkan tanpa sedikitpun keraguan.
“Ada bukti yang mendukung untuk pernyataan itu?” hakim bertanya.
“Ada”, jawab pengacara. “Ini adalah undangan pesta
perkawinan tertanggal 14 Februari beserta buku tamu, dan foto-foto
perkawinan dengan tanggal yang sama. Kesimpulannya adalah saudara Relina
tak berada di TKP ketika musibah kebakaran berlangsung. Saksi mata
telah menuduh orang yang keliru. Dengan pernyataan saksi dan bukti-bukti
ini, maka kami memohon kepada bapak hakim untuk membebaskan terdakwa
dari segala tuduhan”.
Relina saling bertatapan dengan Dita, mendadak
matanya berkaca-kaca, ia tahu akan kemenangannya, pengadilan ini
hanyalah ujian, mungkin bagi kesombongan, karena ia terlalu yakin pada
dirinya sendiri, sebab seringkali ia tak memerlukan kehadiran orang
lain. Ketika menebar pandang seketika Re merasa dunia kembali mengecil,
ia merasa tak lagi berada di ruang sidang, ia tengah kembali ke balkon
asrama. Di balkon berlumut itu ia berkumpul kembali dengan Dita,
Puspita, Soraya, Murni, Erdi, Nelly, dan Inung.
Alumni asrama itu kini tengah duduk tenang seakan
benteng kokoh yang bersiap, seia, dan sehati untuk melindungi
kebebasannya. Re merasa betapa kecil dirinya kini, teramat kecil seolah
seekor semut yang melata pada keluasan gurun pasir. Nasibnya kini berada
di tangan kesaksian para alumni asrama, mereka mesti bersumpah atau ia
harus menjadi seekor kambing yang siap dikorbankan.
“Apakah tidak mungkin barang bukti itu dipalsukan?” pertanyaan hakim.
“Apakah saya diijinkan kembali menghadirkan saksi-saksi?” pengacara balas bertanya.
“Saksi disilakan” jawab hakim.
Puspita berjalan sepenuh keyakinan untuk memberikan
kesaksian, ia mengenakan stelan blazer dengan rok span warna merah hati
dan sepatu kulit berhak rendah dengan warna yang sama. Wanita itu tak
ragu ketika disumpah oleh seorang rohaniwan, suaranya merdu seakan
kicau burung prenjak ketika ia mulai berucap. “Saya adalah pengantin
yang mendapatkan doa restu atas kehadiran rekan-rekan termasuk si
terdakwa Relina pada tanggal 14 Februari tahun ini. Apabila kesaksian
ini diragukan, maka saya ada pula membawa surat nikah sebagai bukti
otentik atas sebuah pernikahan yang dilanjutkan dengan resepsi. Surat
nikah, foto, undangan, dan buku tamu dengan tanda tangan saudara Relina
di dalamnya bisa diperiksa untuk membuktikan keabsahannya”.
“Baik dan terima kasih kepada saudari Puspita yang
telah bersedia untuk menjadi saksi. Dan perlu saya tambahkan di sini,
bahwa di samping saudari Dita dan Puspita, maka masih ada saksi-saksi
lain yang dapat menguatkan pernyataan, bahwa pada tanggal 14 Februari
tahun ini, terdakwa di berada di tempat kejadian. Dengan kata lain,
bahwa saksi mata telah menginformasikan orang yang salah. Dengan adanya
pernyataan dari sekalian saksi, maka saya berharap, bahwa terdakwa
dibebaskan dari segala tuduhan, karena terbukti tidak pernah melakukan
kesalahan”. Demikian pembelaan terakhir dari pengacara.
Di kursi terdakwa, Relina merasa seakan tubuhnya
mengawang, ia tak pernah berpikir untuk menghubungi alumni asrama
sebagai saksi. Ia tak tahu bagaimana harus menghubungi mereka. Telepon
seluler, satu-satunya alat komunikasi yang dapat menghubungkan dirinya
dengan dunia luar telah raib, entah kemana. Ia hanya dapat
menggantungkan diri dengan pengacara, seorang yang tak pernah dikenal
sama sekali. Akan tetapi, ternyata pengacara itu telah melakukan hal tak
terduga yang dapat menyelamatkan seluruh hidupnya. Re tahu, ia akan
mendapatkan kembali kebebasannya.
Ketika akhirnya hakim mempersilakan berdiri sebelum
membacakan vonis, Re tak dapat membendung air mata. “Terdakwa dinyatakan
tidak bersalah dan dibebaskan dari segala macam tuduhan”.
Gadis itu berpandangan dengan pengacara, ia melihat
seulas senyuman, hatinya terasa damai. Ia memang tidak harus menyendiri
dalam rentang waktu yang lebih lama, ia memerlukan seorang teman hidup.
Seorang yang dapat menjadi pelindung dalam ketakutannya. Ia telah cukup
tahu apa yang disebut dengan ketakutan. Terali besi adalah terjemahan
yang paling mengerikan dari perasaan itu.
Selanjutnya detik-detik berjalan dengan cepat,
langkah Re seakan terbang ketika ia berlari memburu Dita dan terisak di
pangkuannya. Ia melupakan posisinya sebagai seorang konsultan, ia tak
sadar , bahwa ia seorang master dengan dedikasi mengagumkan. Kini, ia
hanyalah seonggok salju yang segera meleleh pada awal musim semi ketika
sinar surya yang jernih secara tiba-tiba memecah kebekuan. Re merasa
tangan Dita yang lembut mengusap rambutnya, apa yang tak pernah ia
miliki? Ia bahkan telah mendapatkan segalanya, kebebasan, rasa setia
kawan, dan kasih tak berbatas dari orang yang dibencinya. Lidah gadis
itu terasa kelu, tak sepatah katapun dapat terucap.
Re tidak tahu berapa lama ia terisak di pangkuan
Dita, ketika tersadar, maka satu demi satu para sahabat, Puspita, Inung,
Nelly, Erdi, dan Soraya mulai menyalaminya. Mereka berdiri berkelompok,
bercakap-cakap, hingga tanpa terasa ruang pengadilan menjadi sunyi.
Kelompok kecil dengan seorang pengacara berbakat di dalamnya bergerak
meninggalkan ruang sidang. Di muka pintu langkah Relina terhenti, ia
bertatapan dengan seraut wajah yang dibencinya, Maya. Wanita itu berdiri
menunggu, wajahnya segar, sorot matanya tulus tak memancarkan
sedikitpun rasa dengki. Tanpa menunggu lebih lama adik tiri itu segera
memburu Relina, memeluk dan menciumnya. “Maafkan, aku datang terlambat,
ibu menunggu ayah di rumah sakit tak bisa hadir, semua menitip salam
buat Mbak Re. Selamat untuk kebebasan ini”.
Relina menghirup aroma lembut parfum yang merebak
dari setiap ruas tubuh Maya. Ternyata, adik tiri inipun prihatin
terhadap nasibnya, jadi untuk apa ia mesti berlarut-larut membencinya?
Bukankah perasaan benci justru menutup mata hatinya? Relina merasa ada
tembok keras yang mengurung diri runtuh dengan pasti. Ia telah tiba pada
suatu masa untuk berhenti mengutuki saudara tirinya. Kisah bawang merah
dan bawang putih atau Cinderela dan Drunela serta Barbeta hanyalah
mitos, ia harus mempercayainya. Bukankah fakta itu tak benar-benar ada
atau tak semua fakta menegaskan, bahwa seorang saudara tiri selalu jahat
atau selalu berbuat jahat sepanjang umur hidupnya?
Di tempat parkir Firman telah menunggu, agaknya ia
merasa cemas terhadap kemampuan seorang ibu rumah tangga yang tengah
hamil untuk menjadi saksi dan membebaskan terdakwa dari segala macam
tuduhan jaksa penuntut umum. Dita menatap Firman dengan senyum
kemenangan, sang suami tak wajib mentertawai keputusannya. Ia memang
bukan seorang pahlawan, tetapi ia telah berhasil membuat suatu karya
seni terindah, menggilas rasa benci sekaligus membebaskan orang tak
bersalah dari segala tuduhan dan hukuman penjara yang bakal
menghancurkan seluruh hidupnya.
“Bagaimana kabarmu, saksi ahli?” Firman menatap Dita
dengan senyum nakal. Dita sadar akan ulah suaminya, ia sudah hafal betul
perangai dari seorang yang amat gemar berolok-olok. Dan di atas semua
itu, Dita kenal betul akan keluhuran budi orang yang telah dinikahi.
Sikap Firman adalah sebuah ungkapan dari cara untuk memanjakan.
“Ini yang namanya Relina”, Dita memperkenalkan Relina
kepada Firman. Keduanya saling berjabat tangan, Firman tahu, Dita tak
bertindak sia-sia sebagai saksi, ia telah memenangkan sidang. Satu hal
yang luar biasa! Tanpa canggung Firman memeluk kemudian memberikan
ciuman selamat di kedua pipi Dita. Ia tak menikah dengan wanita yang
salah, Dita tahu apa yang harus dikerjakan di saat yang paling genting.
“Aku telah memesan tempat di rumah makan istimewa,
semua pasti kelaparan dan perlu makan siang termasuk tuan pengacara. Ayo
semua....” Firman mengawal rombongan menuju rumah makan exlusif, tempat
ia biasa merayakan ulang tahun perkawinan bersama Dita dan Andesita, ia
layak memberikan pembenaran bagi pembelaan Dita terhadap Relina.
Rombongan itupun bergerak dalam kendaraan yang telah
dipersiapkan, perlahan-lahan iring-iringan mobil berlalu meninggalkan
tempat parkir pengadilan. Matahari beranjak tinggi, sinarnya menyengat,
akan tetapi Re merasa udara sejuk AC menyeruak dalam wangi melati yang
menentramkan. Ia mengerling pada pengacara yang duduk satu mobil
bersamanya, pada saat yang sama pengacara itu ternyata tengah
meliriknya.
***
Relina berdiri di koridor blok E, menatap ke depan
pada jalanan sunyi yang akan segera bangkit menjadi kehidupan. Ia
masih mengenakan gaun tidur dari kain satin berwarna putih tulang
dengan kimono berenda-renda dari kain dan warna serupa. Fajar perlahan
menyingsing, membiaskan semburat warna merah yang perlahan berubah
seakan lukisan tangan bidadari maya, dari warna yang menyala bening
menjadi benderang. Sinar bintang timur yang semula cerlang cemerlang
secara perlahan memudar dan menghilang. Satu malam telah lalu dalam
kenangan. Re masih memiliki ribuan malam ke depan dan ribuan hari yang
akan dijalani dengan banyak hal yang dapat dilakukan. Ingatan akan
kehidupan di balik terali adalah goresan yang harus dihapus hingga
bersih sama sekali. Ia mendapatkan kembali pekerjaan dan kebebasannya,
untuk mencapai kehidupan yang baik, ia harus berpikir akan hal-hal yang
baik, mengkonsentrasikan diri pada sebuah tujuan dan berjuang
mencapainya.
Ia tengah mengikuti kunjungan lapangan ke
Yogya dalam rangka mensurvei kecenderungan masyarakat dalam
mengkonsumsi produk kosmetik di perusahaan tempatnya bekerja. Tugasnya
telah selesai, ia mencuri waktu supaya dapat mengunjungi tempat tinggal
yang selalu membangkitkan kenangan. Setelah meninggalkan asrama puteri,
maka dalam setiap mimpi ia selalu hadir ke tempat ini, kembali ke
kamarnya bertemu dengan Murni, Dita, Puspita, Nelly, Erdi, Soraya, dan
warga yang lainnya. Suatu hal yang aneh, karena mimpi yang sama
“mengunjungi asrama” terus terjadi secara berulang-ulang selama
bertahun-tahun. Rupanya kehidupan di tempat ini telah membekas teramat
dalam, alam bawah sadar menggoreskan sebagai ingatan yang tetap bertahan
dalam keadaan tidur, selanjutnya muncul sebagai impian.
Re mengulang kembali menit-menit
mengesankan ketika ia menyambut pagi di antara rimbun dedaunan dan mekar
bunga aneka warna. Sementara sinar surya dengan perlahan, namun pasti
mulai berpijar dalam cahaya emas yang jatuh di atas hijau daun, sehingga
panorama di depan matanya tampak seakan lukisan. Pagi memecah adalah
jernih suasana seakan cermin yang dapat memantulkan semangat di dalam
diri manusia. Gadis itu tersentak ketika nada pengingat pesan pada
ponsel berdering, ia membuka layar, tertera nama Surya Dirgantara. Ah,
pengacara itu! Dengan gesit Re menekan tombol pembuka pesan, ia membaca
serangkaian pesan singkat dengan senyum mengembang:
Selamat pagi, aku menduga engkau
pasti sedang bernostalgia dengan segala kenanganmu di asrama putri.
Selamat untuk kebebasan ini, dan aku menunggu kedatanganmu –tentu saja
kalau engkau memang senang, bahwa aku sedang menunggu—Salam.
Senyum Re semakin mengembang, ia cukup
mengerti untuk sekedar menafsirkan arti pesan Dirgantara. Pengacara itu
telah berjuang untuk menyelamatkan hidupnya, ia bukan hanya berjuang,
tetapi memberikan segala dukungan dan dorongan, sehingga terkumpul lebih
dari sekedar bukti, bahwa ia benar tak bersalah. Kini, ia memiliki
kembali kesempatan untuk menoleh ke belakang, mengunjungi tempat yang
selalu hadir pada mimpi-mimpinya, Dirgantara memahami akan hal itu.
Dengan pasti Re membalas pesan singkat:
Benar, aku tengah kembali memunguti
kenangan dengan menoleh ke belakang, ke tempat aku pernah tinggal. Aku
akan kembali besok, bisa tolong jemput di bandara –tentu saja kalau
engkau masih bersedia menjemputku— salam
Re mengirim pesan singkat itu dengan
sepenuh keyakinan, pengalaman dan perjalanan hidup akhirnya membawanya
pada sebuah kesimpulan, telah tiba saatnya untuk mengakhiri masa lajang.
Re merasa, bahwa pagi ini adalah pagi yang paling cerah dari seluruh
pagi yang pernah merekah. Sementara dari kamar ke kamar mulai terdengar
suara-suara, bahwa para penghuni mulai terjaga untuk mengawali
aktivitas. Beberapa orang warga yang melintas menganggukkan kepala
sambil tersenyum, mereka senang dengan kunjungan alumni yang selalu
membawa berkah.
Kehidupan di asrama puteri itupun kembali bangkit!
***
Sebuah catatan dalam kehidupan di Asrama Putri
Agats, 22 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar