Minggu, 02 Juni 2019

ASRAMA PUTRI --Tentang Relasi Gender-- TUJUH




  
Relina terhenyak, ia seakan terjebak ke dalam selubung misteri yang membingungkan. Ia mencoba tidak mempercayai situasi yang dalam sekejab telah berubah menjadi perangkap, psikolog muda tak ubahnya seperti seekor kelinci, bingung dan ketakutan. Adapun ruang interogasi ini mirip benar dengan kamar jenazah, dingin sekaligus menggelisahkan.
            Apa salahku?
            Gadis itu membisu, ia bahkan telah kehilangan akal sehatnya, ia terus bertanya-tanya di dalam hati, adakah ia telah berada di tempat yang semestinya atau ia tengah berilusi? Suara berdebum dari daun pintu yang dikatupkan kuat-kuat membawa Relina pada kesadaran, posisinya kini di dalam ruang interogasi, ternyata benar adanya.
            Ia hendak pergi meninggalkan gelanggang senam ketika petugas berseragam meringkusnya dengan tatapan sedingin es batu. Ia satu-satunya orang di garasi yang berada di lantai lima sebuah mall di jantung kota. Tak ada sesiapapun yang melihat manakala sepasang tangannya yang halus diborgol secara paksa. Masa depan seakan terjungkir. Ia telah menjadi seorang pesakitan. Relina ingin menjerit bagi sebuah pertolongan, tetapi siapa mau mendengar? Ia pendatang baru di kota ini, lajang di atas 30 tahun dengan predikat Master lulusan Universtas ternama. Akan tetapi, apa guna predikat itu? Dalam sekejab ia telah terpuruk menjadi manusia yang sangat malang.
            Relina memilih diam. Ia harus bekerja keras menyesuaikan diri dengan situasi. Tatapan tak bersahabat dari para penyidik seakan menguliti wajahnya. Ia dapat merasakan  arti seorang wanita tanpa martabat, meja hijau agaknya telah menanti, ia akan tersesat ke dalam lubang jarum. Bagaimana ia dapat mencari jalan keluar?
            Seorang penyidik menatapnya dalam jarak yang amat dekat, dengan pembatas meja besi yang telah kusam, sikapnya amat bermusuhan. Ia membawa pula alat tulis bagi pencatatan. Interogasi dimulai:
            “Nama?”
           “ Relina”
             “Umur?”
             “Tigapuluh tahun”.
            “Pekerjaan?”
            “Konsultan”.
            “Agama?”
            “Islam”.
            “Alamat?”
            “Jalan Padalarang”.
            “Saudari Relina, anda berhak didampingi seorang pengacara, tetapi anda telah dituduh melakukan pelanggaran lalu lintas, merubuhkan tiang listrik. Sederhana persolannya, menabrak tiang listrik. Akan tetapi, tiang listrik itu jatuh mengenai sebuah rumah tinggal dengan akibat yang mengerikan sebuah konslet dan berlanjut dengan kebakaran. Seisi rumah hangus dengan seluruh penghuninya tanpa sisa. Kemudian kebakaran merambat menghanguskan pasar yang terletak tidak jauh dari rumah yang terbakar. Tidak ada yang bisa diselamatkan dari isi pasar, seluruh barang ludes, korban-korban berjatuhan. Saksi menyatakan mobil anda melakukan pelangaran yang berakibat fatal, mereka telah mencatat nomor, merek,  dan warna mobil anda, itu sebabnya kami harus menangkap anda untuk mempertangungjawabkan pelanggaran itu”, suara itu meluncur dengan tegas dan pasti tanpa basi-basi. Di seberang meja Relina menggigil, ia seakan tengah mendengar suara yang bergaung dari masa purba.
            Dimana aku tengah berpijak? Kapan ia pernah melakukan pelanggaran? Dimana kejadiannya? Apakah ia sedang bermimpi?
            Relina ingin bertanya bagi sebuah penjelasan, tetapi mulutnya terasa gagu, ia seakan telah kehilangan separuh dari kesadarannya. Iapun terbungkam dengan tenggorokan kering dan lidah serasa terbakar. Sementara suasana meningkat menuju pada ketegangan yang menakutkan. Gadis itu terpaku selayaknya arca batu, sebuah expresi yang menyenangkan hati sang penyidik, karena hal itu berarti ia tak menangkap orang yang salah.
            “Setelah pelanggaran itu anda melarikan diri, anda meninggalkan musibah mengerikan yang menyusahkan banyak orang. Untung sistem kerja kami dapat melacak jejak anda. Kami akan menempuh prosedur yang seharusnya hingga pengadilan akan menjatuhkan vonis bagi semua kesalahan anda”.
            Mata Relina terbelalak, ia akan kehilangan seluruh hidup yang telah dibangun dengan susah payah. Ia akan menjadi penghuni terali besi, menjadi narapidana. Ia akan menempati sebuah bangunan yang tak pernah menjadi mimpi siapapun. Aught!
            Psikolog itu terbungkam. Relina tak banyak membantah ketika ia digiring ke dalam ruang tahanan yang dingin, basi, dan berlumut. Ketika pintu besi terkatup dengan hentakan dasyat, Relina merasa dirinya telah dicampakkan ke sebuah liang gelap tanpa udara. Gadis itu merasa napasnya sesak.
            Ia bukan hanya sendiri dan kebingungan, tetapi juga ngeri dan ketakutan. Gadis itu memejamkan mata, ia harus bekerja keras untuk mendapatkan kembali kesadarannya, apa yang telah berlaku?   
            Relina merasa dingin lantai sel menyergapnya seakan ribuan jarum berkarat membenam pada kedalaman luka, ia perlu mengosongkan pikiran, ia harus kembali ke titik terendah, ia tak boleh kehilangan kontrol diri. Ia telah berjuang untuk mendapatkan segala sesuatu yang membuat hidupnya tak pernah sia-sia sampai hari ini ketika tiba-tiba kebebasannya terampas. Ia tak akan membiarkan sesiapapun merenggut kehidupan yang telah ia tata dengan sindah-indahnya. Relina tak tahu dengan pasti berapa lama ia telah berdiam diri, ia duduk bersila, memejamkan mata, mengatur pernapasan, secara perlahan-lahan ia menghirup udara melaluli hidung, menyimpannya di dalam rongga perut  dan mengeluarkannya kembali melalui mulut. Segala keterkejutan, ketakutan, dan kebingungan pelan-pelan menepi. Relina terus melakukan pengaturan napas berulang kali, sehingga badannya yang beku mulai berubah terasa hangat, kepalanya ringan. Ketika keringat mulai menitik, iapun membuka mata.
            Relina sadar, ia tengah berada di dalam sel, ia sendiri, ia dituduh melakukan pelanggaran lalu lintas, menabrak tiang listrik, sehingga tiang itu rubuh mengenai sebuah rumah tinggal yang menyebabkan konslet dan berakibat kebakaran, seisi rumah dan penghuninya hangus terbakar tiada bersisa. Kebakaran itu merambat, menghanguskan seisi pasar dengan kerugian berkisar milliar rupiah. Dan ia melarikan diri dari semua pelanggaran ini. Saksi mata mencatat nomor, warna, dan merek mobilnya.  Aparat kemamanan bergerak, ia ditangkap dengan mudah, dinterogasi, dan dijebloskan ke dalam sel. Riwayat hidupnya akan tamat, kecuali ia dapat membuktikan, bahwa ia tak pernah melakukan pelanggaran yang berakibat fatal. Relina meraba-raba ke kiri dan ke kanan, ia berusaha mendapat kembali tas dan hp, tetapi astaga! Ia tak mendapatkan apa-apa. Tak ada barang miliknya yang tersisa, kecuali pakaian yang melekat pada tubuhnya, bagaimana ia akan dapat berkomunikasi dengan dunia luar.
            Akan tetapi, siapa pula yang dapat dihubungi? Ia lajang pendatang baru di kota ini, ia tak mengenal siapapun secara akrab. Manager perusahaan tengah berada di luar negeri, ia tinggal sebagai penghuni baru pada sebuah rumah bertingkat semi apartemen. Kesibukan bekerja menyebabkan ia tidak sempat berkenalan lebih dekat dengan penghuni bangunan yang lainnya.  Ibunya berada di tempat jauh, ia pasti tengah sibuk merawat ayah yang terkena strok, apa yang terjadi bila ayah mendengar kabar ia dijebloskan ke dalam sel? Maya adik tirinya, tak pernah sekalipun berkirim kabar, ia bahkan tidak tahu berapa nomor hpnya. Sementara Hp sebagai satu-satunya alat komunikasi yang berfungsi untuk coneckting people telah raib entah kemana. Ia tak dapat berkomunikasi dengan siapa-siapa, nasibnya tergantung kepada para penyidik dan pengacara yang belum lagi dapat dikenalnya.
            Gadis itu merasa demikian lemas, seluruh tulang belulangnya seakan telah tercabut dari tubuhnya. Iapun memejamkan mata, menyandarkan diri ke dinding yang sama suram dengan suasana hatinya. Ia tetap menggali sejumput kekuatan, ia harus mencari celah untuk membuktikan bahwa ia tak pernah bersalah, tak pernah melakukan pelanggaran, ia tak mau menerima vonis tanpa pernah melakukan kejahatan. Tetapi, apa yang dapat ia lakukan?
                                                            ***
Dita duduk menghadap secangkir susu dengan campuran        krim yang sangat halus, ia menikmati kesendirian di rumahnya yang nyaman. Firman tengah dinas ke luar kota, Andesita pasti sedang sibuk bermain di play group yang terletak di lingkungan perumahan. Gadis kecil itu tumbuh dengan perkembangan fisik dan kecerdasan yang mengagumkan. Dita tak menyesal meninggalkan karirnya yang cemerlang demi bocah kecil yang telah dilahirkan. Kini di dalam rahimnya tengah hidup seorang cabang bayi, anak kedua, yang akan menjadi adik Andesita. Anak-anak tunggal sering mengalami problem dalam hal pergaulan, karena tak pernah berkesampatan melakukan sosialisasi pada lingkungan yang paling kecil. Keluarga. Andesita memerlukan seorang adik, ia memang telah siap untuk itu.
            Seorang orang loper  datang mengulurkan koran lokal hari ini. Firman telah berulang kali memprotes Dita supaya tidak perlu berlangganan koran lokal, cukup dengan koran nasional, majalah, televisi, dan radio. Tetapi Dita sangat hobi menonton bioskop, ia tidak bisa menyaksikan aktor dan artis idolanya andai ia tak rajin membaca iklan film yang disajikan koran lokal. Setelah mencicipi susu yang terasa nikmat di lidah, wanita itu mulai membalik-balik halaman koran. Susu amat mendukung bagi kesehatan ibu hamil sekaligus pertumbuhan janin yang tengah dikandungnya. Ia tahu, bahwa perawatan bayi selalu dimulai sejak janin berada di dalam kandungannya. Untuk itu, maka ia selalu rajin menyeduh secangkir susu kemudian meneguknya hingga tandas.
            Semula Dita membaca sekilas judul-judul berita, harga BBM yang terus melambung, demonstrasi mahasiswa, penggusuran rumah kumuh, perselingkuhan kalangan selebritis, artikel kesehatan, ulasan politik, tajuk rencana, dan tentu saja iklan film. Keseluruhan berita tidak terlalu menarik seperti halnya berita yang terbit pada hari lalu. Akan tetapi, Dita tertegun pada sebuah judul berita di halaman pertama, kolom terbawah. Tercetak debuah judul besar-besar. PROSES PENGADILAN BAGI RELINA, PSIKOLOG YANG MENIMBULKAN MUSIBAH KEBAKARAN TELAH BERLANGSUNG. JAKSA MENGAJUKAN TUNTUTAN HUKUMAN SEUMUR HIDUP!
            Mata Dita terbelalak, ketika ia melihat foto Relina terduduk di kursi terdakwa dengan wajah pucat. Mata wanita itu semakin membeliak lebar ketika ia membaca berita selanjutnya.
            Relina (30 tahun) psikolog konsultan pada perusahaan kosmetik terkemuka, kini menjalani proses pengadilan yang rumit. Pada malam tanggal 14 Februari lalu terdakwa melakukan pelanggaran lalu lintas di sebuah kota Pt, pantai utara Jawa. Sebuah tiang listrik rubuh kemudian konslet membakar rumah tinggal beserta seluruh isi termasuk penghuninya. Kebakaran merambat menghanguskan seluruh pasar dengan belasan korban jiwa dan kerugian yang berkisar milliaran rupiah. Relina terancam hukuman seumur hidup untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.....
            Dita terpengarah, ia membaca berita itu berulang-ulang dengan harapan, bahwa isi berita itu keliru, akan tetapi setelah berkali-kali memahami, maka ia harus menerima kenyataan. Berita itu benar adanya, ia tidak sedang bermimpi. Adik kamarnya, Relina tengah dipertaruhkan nasibnya, takdir membawanya pada sebuah arah untuk menjadi hancur sama sekali. Dita yakin akan hal itu, ia teringat kembali pada saat paling menyakitkan ketika gadis itu menampar pipinya. Relina adalah pribadi yang tampak tegar, nyaris angkuh di luar, akan tetapi buku harian itu telah menceritakan segalanya. Re berusaha tampak tegar untuk menutupi suasana hatinya yang rapuh dan hal itu adalah hak azasinya.
            Sekali lagi Dita membaca berita itu, tanggal pelanggaran adalah tanggal yang sama ketika ia hadir bersama Relina dan beberapa alumni asrama lainnya pada resepsi perkawinan Puspita. Hal itu berarti pada saat kejadian Relina tidak berada di TKP. Ada kekeliruan, hakim tengah mengadili orang yang tidak bersalah. Dita berani bersumpah untuk itu, ia bahkan dapat menghadirkan lebih dari seratus saksi sebagai alibi, bahwa Relina tak ada di tempat kejadian. Akan tetapi, siapa yang mau peduli pada nasib seorang Relina ketika manusia sibuk dengan dirinya masing-masing. Sementara kandungannya semakin berat, badannya semakin lemah. Dita kini mengerti, mengapa sorga ada di bawah telapak kaki ibu. Seorang ibu pasti bertaruh hidup dan mati untuk mengandung, melahirkan kemudian membesarkan anaknya.
Mestinya Dita bersorak dengan berita ringkas bagi pengadilan Relina, ada sebuah sistem yang meminjamkan tangan untuk membayar segala sakit hati dan mungkin dendam bagi Relina. Akan tetapi, nanti dulu, setelah bertahun tamparan itu Re akhirnya datang mengulurkan tangan dan memberikan ciuman persahabatan, meski ia tak pernah menunjukkan sikap yang benar-benar akrab. Re mengulurkan tangan pada malam pengantin Puspita yang berlangsung tanggal 13 – 14 Februari, bertepatan dengan hari Valentin. Dita ingat tanggal itu, karena untuk sekali dalam perkawinannya, ia tak merayakan hari kasih sayang dengan Firman dan Andesita. Ia hadir pada perkawinan Puspita, dan Relina, terdakwa itu ada hadir pula di sana.
Dita melempar koran itu, ia beranjak ke dalam kamar, merebahkan diri, ia harus bertarung dengan hati nuraninya, untuk bersaksi atau tidak bersaksi. Wanita itu menimbang-nimbang hingga air mata mengucur dan ia sadar, bahwa hati nuraninya yang menang. Malam itu ketika Firman telah kembali dari kantor, mereka duduk bersama menghadap meja makan. Dita menghidangkan sayur asem, ayam bakar kalasan, dan tempe bacem dengan hidangan penutup puding berlapis-lapis seakan warna pelangi. Andesita menyudahi makan terlebih dahulu, ia tengah asyik bermain boneka di atas permadani di depan televisi. Sesekali terdengar suara anak itu berceloteh sendiri seakan boneka –benda mati—itu adalah makhluk hidup yang bisa diajak berkata-kata. Dita merasakan kedamaian menyusup ke dalam relung jiwa, ia mengerti benar permenungan ibu Kartini yang dituang di dalam sebuah catatan, bahwa kebahagiaan seorang wanita pada prinsipnya adalah di dalam kehidupan rumah tangga. Apalah arti karir, jabatan, harta, dan segudang pengalaman perjalanan ke luar negeri apabila ia tak dapat menerima sekaligus diterima orang lain yang akhirnya berstatus sebagai suami?  Apalah arti reputasi tanpa keturunan syah yang dapat dilahirkan? Ia tak memilih jalan hidup yang salah sebagai ibu rumah tangga.
“Fir, baca berita ini”, Dita mengulurkan koran kepada Firman, langsung menunjukkan berita persidangan bagi Relina. Firman sekilas membaca berita itu, kemudian meletakkan surat kabar ke atas meja.
“Apa masalahnya?” suara itu terdengar berat.
“Terdakwa, Relina adalah adik kamar ketika aku masih tinggal di asrama, aku tak begitu akrab dengannya. Akan tetapi, pada malam kejadian itu Relina ada bersamaku dan ratusan tamu undangan lainnya pada pesta perkawinan Puspita. Aku berani bersumpah untuk itu, hakim tengah mengadili orang yang tidak bersalah.”
“Apa rencanamu?”
“Aku harus mengumpulkan bukti-bukti, bahwa Re tak bersalah”.
“Kau mau jadi pahlawan?”
“Kalaulah benar aku dapat menjadi pahlawan, maka aku tak akan mendapatkan apa-apa dan tak pula kekurangan apa-apa. Tak ada yang berubah, aku hanya ingin mengikuti kata hatiku”.
Senyap. Di ruang tengah kembali terdengar suara Andesita berceloteh, Firman menatap Dita berlama-lama, istrinya berada dalam keadan hamil, mengumpulkan bukti-bukti untuk merubah vonis hakim adalah pekerjaan sulit, amat sulit. Akan tetapi Firman tahu, betapa keras kepala wanita yang dinikahinya itu, terlebih bila ia sadar, berada di pihak yang benar. Percuma ia melarangnya, “Lakukan segala hal yang menurutmu baik dan sesuai dengan kata hati,” akhirnya Firman menjawab singkat.
Laki-laki itu segera meninggalkan meja makan, bergabung dengan Andesita yang tengah asyik bermain boneka. Mereka bertiga mulai terlibat dalam permainan yang mengasyikan, dari kejauhan Dita memperhatikan anak, bapak, dan boneka itu seakan tengah menjalankan peran dalam pertunjukkan pantomim. Dita mengemasi meja makan, setelah semuanya beres, ia menyepi di ruang tamu dan mulai sibuk menelepon.
“Halo, Mbak Pita, apa kabar? Ada di mana sekarang?”
“Saya sudah kembali ke Irian”, terdengar suara burung prenjak Puspita dari dalam Hp.
“Maaf, saya mengganggu agenda bulan madu, akan tetapi ada hal yang sangat penting menyangkut adik kamarku dulu, Relina”.
“Kenapa dengan Re?”
“Dia sedang menunggu vonis atas tuduhan pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan kebakaran rumah dan pasar dan korban jiwa yang berjatuhan. Saya berani bersaksi, pada malam kejadian itu 14 Februari lalu Re ada bersama dengan kita pada pesta perkawinan mbak Pita. Tidak mungkin satu pribadi pada saat yang sama berada pada dua tempat yang berbeda. Saksi mata pasti salah melihat, hakim tengah mengadili orang yang salah. Bisa mbak Pita membantu?”
“Ada buku tamu, ada undangan, ada foto perkawinan, jangan takut saya akan mengirimkan barang-barang itu ke alamatmu. Selebihnya aku akan berusaha semampuku, okey, hubungi teman-teman yang lain. Aku mendukung usahamu”.
Jawaban Puspita membuat Dita merasa lega, ia tak prihatin seorang diri. Ia masih sibuk dengan pembicaraan via hp sampai tiba-tiba badannya terasa lelah. Wanita itu menyudahi pembicaraannya, menghambur ke dalam pelukan Firman yang tengah serius mengikuti berita. “Bagaimana hasil langkah awal istriku?” Firman senyum-senyum, ia menyetujui keputusan Dita, tetapi ulah sikap istrinya membuat ia geli. Wanita yang telah berkeputusan menjadi ibu rumah tangga itu akan beraksi di ruang sidang, menyangkal segala tuduhan jaksa penuntut umum, mengubah vonis hakim, bagi seorang kawan yang telah berpisah lama dan tak pernah terikat hubungan apa-apa. Agaknya ia telah menikah dengan seorang “ pejuang”!
Dita memejamkan mata, ia tahu Firman tengah mentertawai dirinya, tetapi ia mengambil sikap seolah-olah ia tidak tahu bila sedang ditertawai. Ia harus menunggu barang bukti yang dikirimkan Puspita, setelah itu ia akan merubuhkan tuduhan jaksa penuntut umum seperti ia dapat merubuhkan rumah boneka yang terbuat dari seonggok pasir. Ia akan melakukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dua hari kemudian datang sebuah paket kecil dari Puspita, dengan antusias Dita membuka paket itu dan segera mendapatkan barang bukti yang membuat dirinya semakin yakin akan keputusannya. Puspita mengirimkan album foto perkawinan dengan tanggal dan hari tertera di bagian depan, buku tamu, dan undangan perkawinan, selembar surat yang Dita juga memilikinya. Dita merasa kepalanya ringan, selanjutnya ia akan beraksi pada langkah yang seharusnya ditempuh, ia tak peduli pada sikap geli suaminya.
                                        ***
Relina duduk membeku di atas kursi terdakwa, hijau meja sidang telah melolosi keangkuhannya, tetapi bukan Re kalau ia tak mengutamakan sikap tenang. Bahkan ketika hidup akan segera berakhir di meja sidang gadis itu tak silap dengan penampilannya, ia tetap seorang wanita dewasa yang menjadi demikian menarik, karena kecantikannya. Gadis itu mengenakan blouse putih lengan panjang dengan rok span berwarna kelabu, wajahnya nyata-nyata memucat, tetapi tak sedikitpun ia merasa gentar, ia tak pernah melakukan kesalahan yang telah dituduhkan jaksa. Kalaulah ada saksi-saksi yang dapat membuktikan keberadaannya waktu itu.
Re membuang pandang, ia merasa dirinya seakan aliran air yang bergerak mengikuti arus teramat kuat tanpa tujuan yang pasti, ia tertahan pada sebuah jebakan. Akan tetapi, air selalu sebagai kekuatan alam yang terus bergerak perlahan namun pasti untuk mendapatkan celah. Berpasang- pasang mata menatap penampilan gadis itu seakan tajam mata belati yang tengah mengulitinya. Re merasa telah berada tepat pada tiang gantung dengan seutas tali melingkar pada batang lehernya. Andai algojo menendang sekali saja bangku yang dipijaknya pasti ia akan tercekik dengan ekpresi wajah teramat buruk dan kehidupan baginya akan tersisa sebagai kenangan.
Tuduhan keras dari jaksa telah menulikan telinga gadis itu, ia tak ingin mendengar, tetapi ia tak dapat berlari jauh dari kenyataan. Hidupnya tengah diperaruhkan, karirnya yang cemerlang hancur, selebihnya hari esok segera menjelma menjadi puing-puing bangunan. “Masih ada pembelaan dari pengacara sebelum vonis dijatuhkan?” suara hakim ketua terdengar memecah hening.
Beberapa saat keheningan melarut menjadi suasana yang menggelisahkan, Re melirik kepada  pengacara yang dipersiapkan khusus untuk membelanya, seorang pemuda berijazah master dan cita-cita yang tinggi. Kehadiran pengacara tentu saja menjadi etika atau persyaratan mutlak dalam setiap persidangan. Akan tetapi, syarat itu belum tentu mampu membebaskan dari segala tuduhan, sungguhpun ia tak pernah bersalah, tak pernah terlibat dalam musibah itu.
“Terima kasih, saya bermaksud menghadirkan saksi-saksi”, pengacara menanggapi pertanyaan dari hakim ketua.
Seterusnya Relina merasa tersedot ke dalam ilusi, ia menatap seorang ibu muda yang melangkah pasti menuju ke tempat saksi. Ibu muda itu mengenakan rok hijau lumut dengan jaket teramat longgar untuk menyembunyikan kehamilannya. Wajah itu demikian muda dan segar dinaungi rambut hitam legam yang digelung dengan hiasan tusuk konde berwarna kuning keemasan. Sekilas ibu muda itu memandang ke arah Relina memberikan senyuman, Re terpana. Ia tak akan terlupa pada wajah Dita sekalipun ia tak pernah bermaksud mengingat wanita itu. Mantan kakak kamarnya itu kini hadir pada saat nasibnya tengah dijungkir balikkan. Untuk kepentingan apa?
Re kembali pada sikap tenang, ia hanya bisa duduk, tak punya kesempatan untuk bicara. Masih ada yang tersisa ketika ia tak punya hak apa-apa, ialah keyakinan, bahwa ia tengah diadili tanpa melakukan kesalahan. Dari sudut mata Re dapat mengikuti setiap peristiwa. Dita disumpah dibawah Al Quran, kemudian wanita itu memainkan peranan dengan memukau ketika hakim memberikan kesempatan kepada Dita untuk bersaksi.
“Dengan nama Allah saya berani bersaksi, bahwa pada malam kejadian 14 Februari tahun ini, terdakwa Relina tidak berada di tempat kejadian, yang bersangkutan ada bersama saya dan rekan-rekan lain menghadiri resepsi di Surakarta. Untuk itu kami memohon supaya terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan”, kata-kata Dita jernih dan lantang, ia yakin dengan setiap suku kata yang diucapkan tanpa sedikitpun keraguan.
“Ada bukti yang mendukung untuk pernyataan itu?” hakim bertanya.
“Ada”, jawab pengacara. “Ini adalah undangan pesta perkawinan tertanggal 14 Februari beserta buku tamu, dan foto-foto perkawinan dengan tanggal yang sama. Kesimpulannya adalah saudara Relina tak berada di TKP ketika musibah kebakaran berlangsung. Saksi mata telah menuduh orang yang keliru. Dengan pernyataan saksi dan bukti-bukti ini, maka kami memohon kepada bapak hakim untuk membebaskan terdakwa dari segala tuduhan”.
Relina saling bertatapan dengan Dita, mendadak matanya berkaca-kaca, ia tahu akan kemenangannya, pengadilan ini hanyalah ujian, mungkin bagi kesombongan, karena ia terlalu yakin pada dirinya sendiri, sebab seringkali ia tak memerlukan kehadiran orang lain. Ketika menebar pandang seketika Re merasa dunia kembali mengecil, ia merasa tak lagi berada di ruang sidang, ia tengah kembali ke balkon asrama. Di balkon berlumut itu ia berkumpul kembali dengan Dita, Puspita, Soraya, Murni, Erdi, Nelly, dan Inung.
Alumni asrama itu kini tengah duduk tenang seakan benteng kokoh yang bersiap, seia, dan sehati untuk melindungi kebebasannya. Re merasa betapa kecil dirinya kini, teramat kecil seolah seekor semut yang melata pada keluasan gurun pasir. Nasibnya kini berada di tangan kesaksian para alumni asrama, mereka mesti bersumpah atau ia harus menjadi seekor kambing yang siap dikorbankan.
“Apakah tidak mungkin barang bukti itu dipalsukan?” pertanyaan hakim.
“Apakah saya diijinkan kembali menghadirkan saksi-saksi?” pengacara balas bertanya.
“Saksi disilakan” jawab hakim.
Puspita berjalan sepenuh keyakinan untuk memberikan kesaksian, ia mengenakan stelan blazer dengan rok span warna merah hati dan sepatu kulit berhak rendah dengan warna yang sama. Wanita itu tak ragu ketika disumpah oleh seorang rohaniwan, suaranya  merdu seakan kicau burung prenjak ketika ia mulai berucap. “Saya adalah pengantin yang mendapatkan doa restu atas kehadiran rekan-rekan termasuk si terdakwa Relina pada tanggal 14 Februari tahun ini. Apabila kesaksian ini diragukan, maka saya ada pula membawa surat nikah sebagai bukti otentik atas sebuah pernikahan yang dilanjutkan dengan resepsi. Surat nikah, foto, undangan, dan buku tamu dengan tanda tangan saudara Relina di dalamnya bisa diperiksa untuk membuktikan keabsahannya”.
“Baik dan terima kasih kepada saudari Puspita yang telah bersedia untuk menjadi saksi. Dan perlu saya tambahkan di sini, bahwa di samping saudari Dita dan Puspita, maka masih ada saksi-saksi lain yang dapat menguatkan pernyataan, bahwa pada tanggal 14 Februari tahun ini, terdakwa di berada di tempat kejadian. Dengan kata lain, bahwa saksi mata telah menginformasikan orang yang salah. Dengan adanya pernyataan dari sekalian saksi, maka saya berharap, bahwa terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan, karena terbukti tidak pernah melakukan kesalahan”. Demikian pembelaan terakhir dari pengacara.
Di kursi terdakwa, Relina merasa seakan tubuhnya mengawang, ia tak pernah berpikir untuk menghubungi alumni asrama sebagai saksi. Ia tak tahu bagaimana harus menghubungi mereka. Telepon seluler, satu-satunya alat komunikasi yang dapat menghubungkan dirinya dengan dunia luar telah raib, entah kemana. Ia hanya dapat menggantungkan diri dengan pengacara, seorang yang tak pernah dikenal sama sekali. Akan tetapi, ternyata pengacara itu telah melakukan hal tak terduga yang dapat menyelamatkan seluruh hidupnya. Re tahu, ia akan mendapatkan kembali kebebasannya.
Ketika akhirnya hakim mempersilakan berdiri sebelum membacakan vonis, Re tak dapat membendung air mata. “Terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala macam tuduhan”.
Gadis itu berpandangan dengan pengacara, ia melihat seulas senyuman, hatinya terasa damai. Ia memang tidak harus menyendiri dalam rentang waktu yang lebih lama, ia memerlukan seorang teman hidup. Seorang yang dapat menjadi pelindung dalam ketakutannya. Ia telah cukup tahu apa yang disebut dengan ketakutan. Terali besi adalah terjemahan yang paling mengerikan dari perasaan itu.
Selanjutnya detik-detik berjalan dengan cepat, langkah Re seakan terbang ketika ia berlari memburu Dita dan terisak di pangkuannya. Ia melupakan posisinya sebagai seorang konsultan, ia tak sadar , bahwa ia seorang master dengan dedikasi mengagumkan. Kini, ia hanyalah seonggok salju yang segera meleleh pada awal musim semi ketika sinar surya yang jernih secara tiba-tiba memecah kebekuan. Re merasa tangan Dita yang lembut mengusap rambutnya, apa yang tak pernah ia miliki? Ia bahkan telah mendapatkan segalanya, kebebasan, rasa setia kawan, dan kasih tak berbatas dari orang yang dibencinya. Lidah gadis itu terasa kelu, tak sepatah katapun dapat terucap.
Re tidak tahu berapa lama ia terisak di pangkuan Dita, ketika tersadar, maka satu demi satu para sahabat, Puspita, Inung, Nelly, Erdi, dan Soraya mulai menyalaminya. Mereka berdiri berkelompok, bercakap-cakap, hingga tanpa terasa ruang pengadilan menjadi sunyi. Kelompok kecil dengan seorang pengacara berbakat di dalamnya bergerak meninggalkan ruang sidang. Di muka pintu langkah Relina terhenti, ia bertatapan dengan seraut wajah yang dibencinya, Maya. Wanita itu berdiri menunggu, wajahnya segar, sorot matanya tulus tak memancarkan sedikitpun rasa dengki. Tanpa menunggu lebih lama adik tiri itu segera memburu Relina, memeluk dan menciumnya. “Maafkan, aku datang terlambat, ibu menunggu ayah di rumah sakit tak bisa hadir, semua menitip salam buat Mbak Re. Selamat untuk kebebasan ini”.
Relina menghirup aroma lembut  parfum yang merebak dari setiap ruas tubuh Maya. Ternyata, adik tiri inipun prihatin terhadap nasibnya, jadi untuk apa ia mesti berlarut-larut membencinya? Bukankah perasaan benci justru menutup mata hatinya? Relina merasa ada tembok keras yang mengurung diri runtuh dengan pasti. Ia telah tiba pada suatu masa untuk berhenti mengutuki saudara tirinya. Kisah bawang merah dan bawang putih atau Cinderela dan Drunela serta Barbeta hanyalah mitos, ia harus mempercayainya. Bukankah fakta itu tak benar-benar ada atau tak semua fakta menegaskan, bahwa seorang saudara tiri selalu jahat atau selalu berbuat jahat sepanjang umur hidupnya?
Di tempat parkir Firman telah menunggu, agaknya ia merasa cemas terhadap kemampuan seorang ibu rumah tangga yang tengah hamil untuk menjadi saksi dan membebaskan terdakwa dari segala macam tuduhan jaksa penuntut umum. Dita menatap Firman dengan senyum kemenangan, sang suami tak wajib mentertawai keputusannya. Ia memang bukan seorang pahlawan, tetapi ia telah berhasil membuat suatu karya seni terindah, menggilas rasa benci sekaligus membebaskan orang tak bersalah dari segala tuduhan dan hukuman penjara yang bakal menghancurkan seluruh hidupnya.
“Bagaimana kabarmu, saksi ahli?” Firman menatap Dita dengan senyum nakal. Dita sadar akan ulah suaminya, ia sudah hafal betul perangai dari seorang yang amat gemar berolok-olok. Dan di atas semua itu, Dita kenal betul akan keluhuran budi orang yang telah dinikahi. Sikap Firman adalah sebuah ungkapan dari cara untuk memanjakan.
“Ini yang namanya Relina”, Dita memperkenalkan Relina kepada Firman. Keduanya saling berjabat tangan, Firman tahu, Dita tak bertindak sia-sia sebagai saksi, ia telah memenangkan sidang. Satu hal yang luar biasa! Tanpa canggung Firman memeluk kemudian memberikan ciuman selamat di kedua pipi Dita. Ia tak menikah dengan wanita yang salah, Dita tahu apa yang harus dikerjakan di saat yang paling genting.
“Aku telah memesan tempat di rumah makan istimewa, semua pasti kelaparan dan perlu makan siang termasuk tuan pengacara. Ayo semua....” Firman mengawal rombongan menuju rumah makan exlusif, tempat ia biasa merayakan ulang tahun perkawinan bersama Dita dan Andesita, ia layak memberikan pembenaran bagi pembelaan Dita terhadap Relina.
Rombongan itupun bergerak dalam kendaraan yang telah dipersiapkan, perlahan-lahan iring-iringan mobil berlalu meninggalkan tempat parkir pengadilan. Matahari beranjak tinggi, sinarnya menyengat, akan tetapi Re merasa udara sejuk AC menyeruak dalam wangi melati yang menentramkan. Ia mengerling pada pengacara yang duduk satu mobil bersamanya, pada saat yang sama pengacara itu ternyata tengah meliriknya.
                                                 ***
 Relina berdiri di koridor blok E, menatap ke depan pada  jalanan sunyi yang akan segera bangkit menjadi kehidupan.   Ia masih mengenakan      gaun tidur dari kain satin berwarna putih tulang dengan kimono berenda-renda dari kain dan warna serupa. Fajar perlahan menyingsing, membiaskan semburat warna merah yang perlahan berubah seakan lukisan  tangan bidadari maya, dari warna yang menyala bening menjadi benderang. Sinar bintang timur yang semula cerlang cemerlang secara perlahan memudar dan menghilang. Satu malam telah lalu dalam kenangan. Re masih memiliki ribuan malam ke depan dan ribuan hari yang akan dijalani dengan banyak hal yang dapat dilakukan. Ingatan akan kehidupan di balik terali adalah goresan yang harus dihapus hingga bersih sama sekali. Ia mendapatkan kembali pekerjaan dan kebebasannya, untuk mencapai kehidupan yang baik, ia harus berpikir akan hal-hal yang baik, mengkonsentrasikan diri pada sebuah tujuan dan berjuang mencapainya.
            Ia tengah mengikuti kunjungan lapangan ke Yogya dalam rangka mensurvei kecenderungan masyarakat dalam mengkonsumsi produk kosmetik di perusahaan tempatnya bekerja. Tugasnya  telah selesai, ia mencuri waktu supaya dapat mengunjungi tempat tinggal yang selalu membangkitkan kenangan. Setelah meninggalkan asrama puteri, maka dalam setiap mimpi ia selalu hadir ke tempat ini, kembali ke kamarnya bertemu dengan Murni, Dita, Puspita, Nelly, Erdi, Soraya, dan warga yang lainnya. Suatu hal yang aneh, karena mimpi yang sama “mengunjungi asrama” terus terjadi secara berulang-ulang selama bertahun-tahun. Rupanya kehidupan di tempat ini telah membekas teramat dalam, alam bawah sadar menggoreskan sebagai ingatan yang tetap bertahan dalam keadaan tidur, selanjutnya muncul sebagai impian.
            Re mengulang kembali menit-menit mengesankan ketika ia menyambut pagi di antara rimbun dedaunan dan mekar bunga aneka warna. Sementara sinar surya dengan perlahan, namun pasti mulai berpijar dalam cahaya emas yang jatuh di atas hijau daun, sehingga panorama di depan matanya tampak seakan lukisan. Pagi memecah adalah jernih suasana seakan cermin yang dapat memantulkan semangat di dalam diri manusia. Gadis itu tersentak ketika nada pengingat pesan pada ponsel berdering, ia  membuka layar, tertera nama Surya Dirgantara. Ah, pengacara itu! Dengan gesit Re menekan tombol pembuka pesan, ia membaca serangkaian pesan singkat dengan senyum mengembang:
            Selamat pagi, aku menduga engkau pasti sedang bernostalgia dengan segala kenanganmu di asrama putri. Selamat untuk kebebasan  ini, dan aku menunggu kedatanganmu –tentu saja kalau engkau memang senang, bahwa aku sedang menunggu—Salam.
            Senyum Re semakin mengembang, ia cukup mengerti untuk sekedar menafsirkan arti pesan Dirgantara. Pengacara itu telah berjuang untuk menyelamatkan hidupnya, ia bukan hanya berjuang, tetapi memberikan segala dukungan dan dorongan, sehingga terkumpul lebih dari sekedar bukti, bahwa ia benar tak bersalah. Kini, ia memiliki kembali kesempatan untuk  menoleh ke belakang, mengunjungi tempat yang selalu hadir pada mimpi-mimpinya, Dirgantara memahami akan hal itu. Dengan pasti Re membalas pesan singkat:
            Benar, aku tengah kembali memunguti kenangan dengan menoleh ke belakang, ke tempat aku pernah tinggal. Aku akan kembali besok, bisa tolong jemput di bandara –tentu saja kalau engkau masih bersedia menjemputku— salam
            Re mengirim pesan singkat itu dengan sepenuh keyakinan, pengalaman dan perjalanan hidup akhirnya membawanya pada sebuah kesimpulan, telah tiba saatnya untuk mengakhiri masa lajang. Re merasa, bahwa pagi ini adalah pagi yang paling cerah dari seluruh pagi yang pernah merekah. Sementara dari kamar ke kamar mulai terdengar suara-suara, bahwa para penghuni mulai terjaga untuk mengawali aktivitas. Beberapa orang warga yang melintas menganggukkan kepala sambil tersenyum, mereka senang dengan kunjungan alumni yang selalu membawa  berkah.

            Kehidupan di asrama puteri itupun kembali bangkit!

                                                               ***
Sebuah catatan dalam kehidupan di Asrama Putri
Agats, 22 November 2007         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...