Minggu, 02 Juni 2019

ASRAMA PUTRI --Tentang Relasi Gender-- LIMA

  

Puspita terjaga di pagi yang jernih pada hari ke dua puluh delapan, bulan Mei tahun ke dua puluh lima. Hari ini menjadi istimewa, ia hanya merayakan sekali dalam satu tahun. Ia telah merencanakan sebuah acara kecil bagi sekalian warga untuk meramaikan suasana. Gadis itu beranjak ke kamar mandi, ia kembali dalam keadaan lebih bersih dan segar. Puspita berganti pakaian, ia mengenakan stelan celana panjang dari kain katun warna biru tinta yang sangat halus, T shirt dan jaket parasut berwarna kelabu. Ia telah bersepakat dengan Emi, warga baru asal Flores, Momere untuk pergi belanja ke pasar.

            Emi telah siap pula, warga baru itu berkulit putih dengan wajah seakan keturunan Portugis. Emi mengenakan celana jeans hitam yang sudah mulai pudar dan T shirt berwarna putih, ia telah rapi. “Emi ayo”, Puspita melambai, mereka berjalan beriringan menuju ke ruang parkir untuk mengambil motor, tak lama kemudian keduanya tampak akrab bergoncengan.

            Kurang lebih dua jam kemudian ketika Puspita dan Emi datang kembali ke kamar dengan keranjang penuh muatan, sebuah kejutan kecil terjadi. Puspita mendapatkan kamar dalam keadaan rapi, meja belajar tertata seakan ada tangan dingin mengaturnya, tempat tidur telah licin, selimut terlipat pada tempatnya. Di atas meja tampak rangkaian bunga gladiola aneka warna tertata artistik di dalam jambangan. Ada pula hadiah kecil terbungkus kertas kado dengan corak dan kemasan serta pita aneka warna.

            Puspita tengah membaca ucapan selamat yang tertera pada secarik kertas, terselip pada rangkaian bunga –ucapan panjang umur dari blok G—ketika Relina, Nelly, dan Erdi datang membawa jambangan dengan rangkaian bunga lily, krisan, dan aster. “Selamat ulang tahun, semoga panjang umur”, ucapan selamat datang bergantian. Puspita tertawa lebar, rangkaian bunga, hadiah kecil, dan ucapan selamat ini mencipta suasana hangat dan istimewa. Ia memasuki usia ke 25 dengan sebuah kesan persahabatan dari orang-orang di sekelilingnya.

            Hari ini ia tak ke kampus, bimbingan skripsi masih esok hari, dibantu Emi, Nelly, Erdi, Heni, dan Relina, ia mulai mengupas ketela rambat dan mengirisnya menjadi bentuk dadu. Mereka memotong-motong pula pisang raja, dan memarut kelapa. Menjelang tengah hari seluruh ketela rambat yang berwarna kuning seperti mentega telah terpotong dan dicuci dengan bersih. Mereka berisitirahat sejenak untuk makan siang bersama dengan lauk seekor ikan, sambal terasi dan sayur bayam campur gambas. Nasi mengepul panas, dalam keadaan lapar menu seperti ini terasa sedap sekali.

            Puspita menunggu hingga seluruh tukang masak telah mengemasi perlengkapan dan seisi dapur, kompor-kompor telah padam. Ia akan memasak kolak ketela dan pisang untuk berbagi dengan seluruh warga. Pada hari ulang tahunnya Relina biasa membuat cocktail dari bahan apel, pepaya, labu, dan nanas satu panci besar, ada warga yang membuat empek-empek, ada pula yang merayakan dengan ayam eski atau aneka makanan ringan dan es sirup. Ulang tahun biasa dirayakan dengan cara unik dan sederhana.

            Ketika dapur dan ruang makan mulai tampak sepi, Puspita dibantu beberapa orang warga menyalakan kompor, merebus potongan ketela dengan secukup air di dalam sebuah panci berukuran terbesar dan membiarkannya hingga ketela itu menjadi lunak. Potongan pisang dimasukkan, menyusul santan, gula merah, gula pasir, garam serta daun pandan. Tak lama kemudian aroma ewangi tercium dari asap panci, karena kolak yang telah masak. Dengan sangat hati-hati Nelly dan Emi mengangkat panci itu menuju koridor blok G, Emi telah meminjam setumpuk mangkuk dan sendok dari koordinator seksi perlengkapan. Gadis itu tengah sibuk membersihkan mangkuk dan sendok dengan selembar lap bersih.

            Menjelang sore setelah Pupita berhias dan tampil dalam keadaan segar, maka sekalian warga mulai ramai berdatangan. “Selamat ulang tahun, semoga panjang umur, murah rejeki, dekat jodoh, dan sehat selalu”, demikian warga asrama memberikan ucapan selamat.

            “Iya, terima kasih, terima kasih”, Puspita tampak benar gembira. Hadiah-hadiah kecil dan karangan bunga kembali berdatangan, menghiasi meja belajar. Kolak dituang dari mangkuk ke mangkuk hingga seluruh mangkuk yang tersedia terisi kemudian dibagikan kepada masing-masing warga, suasana menjadi ramai. Warga yang tidak kebagian mangkuk, membawa mangkuk dari kamar masing-masing hingga akhirnya sepanci besar kolak habis tiada bersisa.

            “Eh, kolaknya enak sekali, ini namanya perbaikan gizi, kalau setiap hari seperti ini pasti seluruh warga akan mengalami kegemukan”, Nelly berkomentar, ia masih seorang warga baru, tetapi penghuni asrama ini menerimanya dengan hangat, toh ia tidak menjadi keras kepala.

            “Besok kalau Nelly ulang tahun, tiba giliran memasak cocktail”, Erdi menimpali.

            “Semoga akan datang waktunya, dan kalau Erdi ulang tahun kita akan menanggap topeng monyet”, kata-kata Nelly membuat Erdi tersenyum malu, ia dibesarkan di Larantuka, pada sebuah pulau dengan budaya yang amat berbeda dengan situasi ketika pertunjukan topeng monyet bahkan dapat menjadi kesenian rakyat. Sementara  Nelly terus menyendok kolak, ia ingin menambah satu  mangkuk lagi, tetapi panci telah kosong.

            “Dagangan mbak Pita laris rupanya”, celoteh warga yang lain.

            Puspita tersenyum lebar, ia telah melakukan sesuatu, sehingga seluruh warga dapat berkumpul dan merasa gembira. Makan bersama bukan hanya suatu perilaku biologis dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi bagi   kesehatan dan pertumbuhan. Akan tetapi, merupakan suatu perilaku sosio kultural, bahwa seseorang akan berbagi dan makan bersama-sama apabila ada ikatan persahabatan di antara mereka. Makan bersama akan memelihara keutuhan suatu komunitas.

            Akhirnya waktu menghentikan acara pesta kolak, semua warga kembali ke kamar masing-masing untuk meneruskan aktivitas. Puspita merebahkan diri di atas pembaringan, memandangi bunga-bunga segar yang dirangkai dengan artistik beraneka warna. Hadiah kecil dalam kemasan yang manis tersusun rapi, Puspita sudah menebak hadiah itu pasti berisi coklat, gula-gula, biskuit, kwaci, buku agenda, bross, kotak perhiasan, kerajinan tangan, dan yang sejenisnya. Hadiah kecil yang menghibur. Dugaan Puspita benar, ketika ia membuka hadiah demi hadiah. Ia merasakan sebuah kesan dan kegembiraan pada ulang tahun yang keduapuluh lima. Belum lama ia merasa amat berduka, karena kematian ibunda. Akan tetapi waktu terus bergulir, ia tak dapat terus menerus meratap. Kalaulah air mata telah berubah menjadi darah, maka ia tak akan dapat menemui sang ibu dalam keadaan hidup kembali. Ibunda berpulang kepada Sang Pencipta. Ia harus belajar dengan lebih keras untuk meneruskan hidup.

Kini, duka itu mulai tersamar, karena tuntutan hidup dan hal-hal yang bersifat kecil, seperti pesta kolak, kehadiran warga asrama, dan hadiah-hadiah yang murah meriah. Gadis itupun tahu, bahwa batas antara duka dan bahagia amatlah tipis, keduanya seperti hukum alam yang merubah siang menjadi malam, antara gelap dan terang serta pada detik-detik menjelang perubahan ketika manusia dapat membangun keseimbangan.

 

                                                         ***

 

             Bahkan malam yang amat panjang dan paling gelappun akan berakhir ketika sinar surya memecah fajar dan menghalau kehitaman dengan cahaya terang benderang. Setiap upaya dan jerih payah akan sampai pada hasilnya, demikian pula dengan ketekunan mahasiswa dalam menyusun skripsi sebagai hasil karya. Inung terlebih dahulu lulus dalam ujian pendadaran dengan nilai A, Puspita akhirnya dapat bernapas lega, setelah melakukan pendekatan skripsi dinyatakan selesai, ia tengah menunggu jadwal ujian yang ditetapkan melalui sidang di jurusan. Adapun Relina, ia telah merasa yakin dengan karya tulis yang disusun dengan susah payah. Iapun telah mendapatkan persetujuan, kini tim dosen tengah menentukan empat orang penguji. Relinapun  yakin pada bulan Februari nanti ia akan mengikuti wisuda bersama Inung dan Puspita.

            Ada beberapa hal yang harus dilalui sambil menunggu hari yang menentukan itu. Pertama, memenuhi permintaan Erdi untuk menanggap topeng monyet pada hari ulang tahun, yang jatuh sehari sebelum Natal. Re tahu, betapa sedih Erdi, ia tak pernah dapat merayakan Natal bersama keluarga yang tinggal di tempat jauh. Ia terbiasa merayakan Natal dengan warga asrama yang berasal dari luar Jawa dan tak berkesempatan untuk berkumpul bersama keluarga.

            Rombongan kesenian rakyat itu hampir setiap sore berjalan melewati jalan di depan asrama sambil menyuarakan bunyi-bunyian yang terdengar gaduh. Erdi sering memperhatikan rombongan itu dari koridor, ia ingin sekali menyaksikan kecerdasan seekor monyet dalam menterjemahkan perintah sang tuan. Sejak kecil hingga beranjak dewasa ia tak pernah melihat pertunjukkan seperti itu. Ia telah meminta kepada Wina, komisaris blok untuk mendapat hadiah berupa pertunjukkan topeng monyet, bukan bingkisan dalam kemasan kertas kado yang indah. Permintaan itu disetujui.

            Maka sore itu, Erdi yang tengah berulang tahun tampak tersenyum cerah, ia berusaha mengatasi rasa sedih, Natal jauh dari keluarga. Gadis itu mengenakan celana jeans hitam dengan T shirt ungu, garis wajahnya adalah sebuah kesan polos dan lugu. Ia seakan tak pernah sengaja berbuat salah dalam hal apapun, sementara logat Indonesia Timur yang terdengar aneh dan sulit dipahami  di telinga gadis-gadis Jawa, menjadi hal yang sangat lucu, mengundang tawa, dan kesan tersendiri.

            Warga asrama telah berkumpul di halaman depan untuk menonton ataraksi, semakin lama suasana menjadi ramai, karena anak-anak yang sering bermain di lingkungan asrama ikut pula bergabung menonton. Suara musik tradisionil benar-benar gaduh, ketua rombongan mulai memerintahkan monyet yang mengenakan rok warna merah saga dengan topi berbentuk kerucut warna serupa. “Selamat sore mbak-mbak yang manis, Sarimin telah datang untuk menghibur supaya mbak-mbak sekalian bergembira. Ayo! Ayo! Sarimin pasang aksi, ambil kaca, pakai bedak, sisir rambut, ambil payung!” monyet itupun segera mengambil kaca, memakai bedak, meyisir rambut, dan mengambil payung. Warga asrama mulai tertawa.

            “Sarimin membawa tas, pergi ke pasar”, si monyet menyambar tas berjalan berputar-putar di halaman kemudian kembali kepada si tuan. Suara tawa semakin ramai.

            “Sarimin pergi berburu menunggang kuda”, si monyet segera duduk di punggung seekor anjing, adapun binatang berkaki empat tersebut segera berjalan keliling membawa serta monyet di punggungnya. Suasana menjadi riuh rendah dengan gelak tawa. Si monyet terus beraksi mengikuti perintah dari sang tuan, duduk, berdiri, melompat, jungkir balik, dan sebagainya hingga seluruh perintah diberikan dan pertunjukan itupun selesai sudah. Wina membayarkan sejumlah uang kepada ketua rombongan topeng monyet, sementara satu demi satu warga memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Erdi. “Selamat ulang tahun Erdi, cepat lulus, murah rejeki, dekat jodoh”, demikian warga asrama berujar.

“Terima kasih”, Erdi menjawab singkat, ia merasakan dua hal sekaligus, duka dan bahagia. Natal jauh dari keluarga selalu menimbulkan rindu tak berujung yang sudah pasti akan menguras air matanya. Akan tetapi perhatian lucu dan menggelikan dengan kesediaan komisaris blok memberikan hadiah ulang tahun dalam bentuk pertunjukkan topeng monyet merupakan sebuah kesan yang tak akan pernah terlupakan. Erdi telah mendengar cerita, tentang betapa kejamnya sikap warga senior dalam menerima kehadiran warga baru. Ia belum lama menjadi penghuni asrama ini, akan tetapi warga senior tak pernah bersikap seperti itu.Relina bahkan memberinya hadiah sehelai daster dari kain katun yang sangat halus berwarna hijau muda dengan renda-renda yang cantik. Hadiah yang membuat warga lain menjadi iri. Sementara Puspita memberinya hadiah sebatang coklat Cadbury yang dikemas dengan amat manis dalam sehelai kertas kado bermotif kue tart berhias lilin kecil.

 Nanti, bertepatan dengan malam Natal Erdi akan  berdoa lebih khusuk  di depan altar, memohon dan bersyukur,  usianya  genap dua puluh dua tahun. Ia teringat pada malam-malam Natal sebelumnya ketika  masih berkumpul dengan seluruh anggota keluarga. Betapa damai dan sayhdu saat-saat seperti itu, seisi ruang tamu telah dihias, lampu-lampu  berkedip lembut pada sebatang pohon Natal, lagu-lagu rohani berkumandang, segala macam jenis hidangan berhamburan, dan ia akan berkumpul dengan teman-teman sepermainan, semua mengenakan baju baru. Kini, ia merayakan Natal dalam suasana yang lain sama sekali, ia bersama dengan beberapa warga Nasrani yang bertempat tinggal di luar Jawa dan tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Erdi selalu mengakhiri doa dengan tangis, meskipun ia sadar sudah terlambat untuk mencucurkan air mata.

Satu minggu setelah perayaan Natal bagi kaum Nasrani, maka seluruh dunia, tanpa kecuali bersuka ria merayakan  tahun baru. Pergantian milenium masih akan berlangsung tujuh tahun ke depan. Menit-menit menjelang pergantian tahun berlangsung, jalanan kota Yogya berubah menjadi lautan manusia, arak-arakan sepeda motor memadati seluruh ruas jalan raya. Seluruh tempat wisata dan hiburan seperti Parang Tritis, Krakal, Kali Urang, Pub, Discotik, dan ruangan bergengsi pada hotel-hotel berbintang ramai dipenuhi pengunjung. Tugu, sebagai simbol abadi dari manunggaling kawula gusti –bersatunya sang pemimpin dengan rakyat—menjadi pusat dari segala kerumunan masa.  Pembakaran kembang api akan berlangsung tepat pada pukul 00.00 WIB. Setelah itu penanggalan akan berubah menjadi tahun baru.

Sebagian warga asrama putri ada yang ikut melarut pada pesta suka cita di sepanjang jalan raya atau di tempat-tempat wisata. Sebagian lagi pada yang tetap merayakan di asrama. Di aula pengurus telah menyediakan  anglo untuk membakar roti dan jagung serta satu teko besar jahe panas. Pesawat televisi menyala, menayangkan kaledoskop tahun yang telah lalu dengan harapan-harapan baik pada tahun yang akan datang. Dari jalanan terdengar suara gemuruh arak-arakan kendaraan bermotor

Di balkon asrama Relina, Inung, dan Puspita duduk memandang ke jalanan menikmati malam terakhir sebelum sang kala mengubah angka tahun penanggalan. Mereka telah beberapa kali melewatkan malam tahun baru di jalan raya, di tempat-tempa wisata atau pada sebuah pesta resmi keluarga. Kali ini mereka memutuskan untuk menyambut tahun baru di asrama dengan acara informal bersama warga yang lainnya.

“Tahun ini untuk yang terakhir kali, kita berkumpul  menyambut tahun baru. Entah akan berada di mana kita pada tahun yang akan datang, semua menjadi misteri”, Inung membuka pembicaraan, ia mengenakan rok span  hitam dan sweater berwarna kelam, udara malam dingin selepas hujan. Ujian skripsi hanya menunggu tanggal, ia berharap bisa mengikuti wisuda pada bulan Februari nanti. Hal itu berarti, ia tak lagi terdaftar sebagai warga pada pergatian tahun, dua belas bulan ke depan.

“Kemanapun pergi, aku tak akan pernah melupakan kehidupan di asrama ini. Kuharap kita tetap saling kontak, aku juga tidak sepenuhnya tahu kemana langkah membawa pergi”, Relina menjawab pelan, ia mengenakan celana jeans yang digunting hingga sebatas lutut dengan blouse bermotif lukisan Bali yang sangat longgar. Gadis itu membiarkan rambutnya tergerai, meriap dihembus angin. Relina yakin, ia tak akan lama lagi menetap di asrama ini. Ia sengaja tak merayakan tahun baru di jalanan, di pantai atau di Kali Urang, karena ia ingin melewatkan saat-saat mengesankan bersama sahabat yang pasti akan berpisah. Ada rasa bahagia, karena ia akan segera meraih gelar sarjana. Akan tetapi perpisahan dengan sahabat adalah persoalan lain yang tak bisa dikesampingkan pula. Terlalu banyak hal yang membekas pada kehidupan di tempat ini.

Puspita baru pulang dari misa tahun baru di Katedral, ia masih mengenakan gaun panjang berwarna secoklat tanah dengan model leher Sabrina, menampakkan kuduknya yang kuning halus ditumbuhi bulu-bulu lembut. Pada dada sebelah kiri tampak bross bermotif bunga anggrek, kuning berkilau, tata  rias wajahnya   bersahaja. Puspita memiliki pendirian yang sama dengan Inung dan Relina, ia ingin memapas tahun baru di asrama sebelum ia harus berpamit sebagai warga.

            “Halo nona-nona, selamat tahun baru”, sesosok bayangan menampakkan diri dari balik pintu aula, bersuara dengan ramah. Baik Relina maupun Puspita pernah mengenal suara ini, secara serentak mereka membalikkan badan, secara serentak pula keduanya berteriak. “Mbak Murni!!”

Sosok itu hadir seakan mimpi, telah berapa lama mereka berpisah. Murni tampak dewasa dan matang setelah bertahun sudah ia meninggalkan asrama. Gadis itu mengenakan stelan kulot dan blouse dari kain sutera kuning kunyit dengan motif kupu-kupu warna kecoklatan. Perhiasan emas yang berkilau pada sepasang telinga, leher, tangan dan jemari meyakinkan keseluruhan penampilan. Ia berbeda dengan warga asrama yang tampil dalam penampilan keseharian dengan perhiasan imitasi.

“Apa kabar mbak?” mereka bertiga bergantian menyalami Murni, Puspita tampak demikian rindu, mereka pernah mengalami saat-saat tak terlupakan ketika masih akrab sebagai warga. Adapun Relina kini mengenali Murni dalam sosok yang lain, sebagai pribadi yang ramah dan elegan.

“Kabar baik, saya ada undangan konferensi untuk persoalan gender se-Asia Tenggara. Acara selesai, saya ingin melihat keadaan asrama yang sudah lama saya tinggalkan. Bagaimana keadaan semua? Betah di asrama?”

“Betah sih betah, tetapi semakin betah berarti semakin tua di fakultas, kami sudah bersiap ujian, sekarang sedang menikmati tahun baru terakhir, tahun depan pasti kami sudah berpisah, entah kemana nasib membawa?” jawab Puspita.

“Mbak Murni nginap di sini tho?” Re bertanya.

“Saya tinggal di Garuda dengaan rombongan, sebenarnya ada acara tahun baru dengan panitia dan peserta, tetapi saya ingin melihat keadaan asrama”.

“O ya, ayo kita bakar jagung dan roti”, Inung mengalihkan pembicaraan, ia merasa perlu memberi suguhan kepada tamu yang baru datang.

“Iya Inung, terima kasih”, Murni masih tampak akrab bercakap-cakap dengan Puspita. Re dan Inung mulai sibuk membakar roti dan jagung, menghidangkan dalam piring, mereka menuang pula jahe panas ke dalam gelas. Suasana menjadi sama hangat dengan jahe yang dihidangkan, mereka berempat saling bertukar cerita. Di atas bintang-bintang kembali bertaburan, hujan hanya turun sesaat, menurunkan suhu udara yang panas.

“Ini hadiah tahun baru untuk semua”, Murni mengulurkan keranjang rotan berisi bermacam makanan kering, gula-gula, coklat, minuman ringan, dan buah-buahan segar. Uluran keranjang itu disambut dengan hangat. Warga yang lain mulai berdatangan, mereka bersiap melewati detik-detik terakhir sebelum jarum jam menunjukkan pukul tepat 00.00 dan tahunpun berganti.

            Oleh-oleh Murni segera diserbu warga yang berdatangan dengan lahap, Murni hanya tersenyum melihat ulah sikap warga asrama, dulu iapun pernah seperti itu. Hidangan yang paling sederhana sekalipun dapat menjadi demikian lezat, karena kebersamaan seluruh warga. Sementara jarum jampun terus bergerak dengan pasti, tahun baru hanya tinggal beberapa menit lagi. Sejarah akan terus berputar, mereka semua akan menjadi pelaku sekaligus saksi.

            Tepat pukul 00.00 WIB seluruh warga bersorak, mereka saling bersalaman dan mencium pipi warga yang lain sebagai pernyataan suka cita. Tiga ratus enam puluh lima hari telah berlalu, hari pertama di tahun baru telah datang, tentu saja dengan harapan-harapan baru dan tantangan yang tidak mudah. Akan tetapi, mereka telah cukup dewasa untuk menghadapi setiap tantangan.

            Di mushola sebagian warga mengawali tahun baru dengan sholat berjamaah. Di dalam kamar ada warga yang khusuk berdoa sesuai dengan keyakinannya. Sebagian warga yang lain bersuka ria pada hiruk pikuk suasana jalan raya atau beramai-ramai menyambut tahun baru di tempat-tempat wisata. Setelah melewati detik-detik yang memastikan dalam pergantian tahun, Relina kembali ke dalam kamar, ia mematikan seluruh lampu, menyalakan sebatang lilin, dan mendirikan sembahyang. Doa adalah suatu hal yang mutlak dalam mengawali hari pertama pada tahun.

 

                                                             ***

 

            Tepat tanggal 19 Universitas kembali merayakan hari kemenangan, hari ketika lebih dari seribu mahasiswa dinyatakan selesai melewati masa studi kemudian dikukuhkan sebagai sarjana. Asrama putri menjadi bagian rutin dari perayaan itu, tiga orang warga berhasil menyelesaikan studi, Puspita, Relina, dan Inung. Hari ini mereka terbangun lebih awal dari hari-hari biasa, ketika langit masih mengantuk berselimut kabut, kerlip bintang memucat seakan kunang-kunang yang ketakutan. Mereka telah memesan jasa pelayanan dari salon terdekat supaya bisa tampil istimewa di hari yang istimewa.

            Ketika pagi memecah, tiga orang wisudawati itu segera menjadi pusat perhatian dari seisi asrama. Puspita mengenakan kebaya pink, Relina mengenakan kebaya warna biru laut, sedangkan kebaya Inung sama cerahnya dengan warna bunga matahari yang tengah mekar. Tata rias dan sanggul, serta selop berhak tinggi, dan toga berwarna hitam pekat seakan burung jalak menyempurnakan seluruh penampilan itu. Wajah gadis-gadis itu tampak lebih cantik dari hari-hari biasa, rasa bahagia yang terpancar dalam senyum cerah menyebabkan siapapun harus mengakui, betapa menarik penampilan mereka.

            Setiap meja di ruang tamu kembali dihiasi rangkaian bunga hidup aneka warna, gladiola, anggrek, dahlia, krisan, lily, aster, anyelir, dan sebagainya. Rangkaian bunga juga tampil dengan cantik pada setiap meja wisudawati. Sementara suasana di jalan seputar kampus menjadi lebih sibuk dari pada hari-hari biasa, senyum kemenangan kembali bertebaran. Masing-masing wisudawan dan wisudawati didampingi sanak keluarga, kekasih hati, dan sekalian sahabat.

            Puspita didampingi saudara tua, kerabat, dan teman-teman dekat. Ia berusaha menekan rasa hampa dan keinginan yang mustahil untuk bergambar di antara kedua orang tuanya. Mereka telah tiada, tetapi di hati yang mencinta tak ada seorangpun yang pernah pergi, mereka tetap ada meski kematian telah memisahkan. Inung didampingi kedua orang tua yang nyaris meneteskan air mata menyaksikan keberhasilan seorang anak perempuan. Inung berhasil membuktikan, sungguhpun ia bukan seorang anak laki-laki, akan tetapi ia mampu bertindak sama bahkan lebih dari seorang anak laki-laki. Relina didampingi ibu dan seorang kerabat dekat, Maya menjaga ayah yang terbaring sakit. Ia cukup berbahagia akan kehadiran itu.

            Upacara wisuda dibuka secara resmi oleh protokol, dilanjutkan sambutan rektor. Khusus pada wisuda kali ini, hadir pula seorang dosen yang telah resmi dilantik sebagai seorang  menteri. Dalam sambutannya menteri tersebut menyampaikan, “Kalaulah saya pernah mencapai keberhasilan, maka keberhasilan itu akibat dari sebuah sebab, karena saya pernah dibesarkan oleh universitas yang menjadi kebanggaan   bangsa ini”, pernyataan itu disambut oleh tepuk tangan dari sekalian wisudawan dan wisudawati. “Kelak, di antara wisudawan dan wisudawati yang tengah berbahagia pada hari ini, akan tampil para pemimpin bangsa yang mempunyai kepedulian kepada rakyatnya”, sekali lagi tepuk tangan terdengar ramai bergemuruh.

            Akhirnya dekan dari masing-masing fakultas disilakan untuk membagikan ijasah bagi setiap calon sarjana yang dipanggil secara berurutan sesuai dengan  deretan tempat duduk yang memang telah diatur sedemikian rupa. Puspita, Inung, dan Relina menerima masing-masing ijasah sesuai dengan urutan daftar yang tela disusun pihak fakultas. Setelah semua ijasah dibagikan kepada yang berhak, maka tepat tengah hari keseluruhan acara selesai. Suasana balairung yang semula tertib seketika berubah seakan kantung beras yang terbuka dengan seluruh isi menghambur keluar dalam waktu yang sama.

            Seluruh sarjana baru mulai sibuk bergambar mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Di atas langit cerah, seorang pawang hujan telah sengaja didatangkan untuk menunda gejala alam yang berakibat kurang menguntungkan terhadap keseluruhan rangkaian acara. Ada pernah terjadi hujan lebat baru turun ketika acara telah berakhir, sekali terjadi hujan lebat tak bisa ditunda ketika acara tengah berlangsung. Akan tetapi, yang selalu terjadi adalah langit cerah bagai kain sifon berwarna biru membentang luas tiada bertepi.

            Setelah puas berfoto ria, akhirnya sebagian sarjana baru meneruskan acara syukuran di fakultas, sebagian yang lain kembali ke tempat tinggal. Puspita, Relina, dan Inung kembali ke asrama. Seketika suasana asrama menjadi ramai, warga telah menunggu kehadiran sarjana baru untuk memberi ucapan selamat dan bergambar bersama. Setelah puas berfoto akhirnya sarjana baru itupun mengalami lelah yang luar biasa. Udara panas menyebabkan baju kebaya basah kuyup oleh keringat, saatnya berganti pakaian dan melepas atribut yang mencengkeram seluruh tubuh.

            Upacara wisuda dilanjutkan pula dengan syukuran bersama seluruh warga asrama. Sebuah pesta kecil yang selalu dihadiri rektor dan ibu digelar di aula. Seluruh warga asrama, terlebih warga yang telah diwisuda dan menjadi pusat perhatian dari keseluruhan acara tampil bak selebritis. Suasana asrama jauh berbeda dengan situasi pada hari-hari biasa, terlebih pada pagi hari ketika seisi asrama terjaga dengan daster kusut dan wajah mengantuk.

            Warga baru mementaskan atraksi tari kontemporer dan opera dengan cerita bawang abang dan bawang putih. Atraksi itu dibawakan dengan aksi menggelikan, sehingga rektor dan ibu tertawa terpingkal-pingkal. Wisudawati merasa terhibur, karena mendapat suguhan yang menyegarkan dan penuh kreativitas. Sementara hidangan terus dibagikan, fotografer beraksi, mengabadikan seluruh kenangan. Dan akhirnya sang kala membatasi segalanya. Acara ditutup dengan hura-hura foto bersama dalam bermacam gaya sebelum akhirnya seluruh warga merasa lelah dan merekapun harus berisitirahat.

 

                                                            ***

 

            Setelah pesta suka cita bagi kelulusan wisudawati, maka datanglah saat duka cita ketika tiga orang warga yang telah resmi sebagai sarjana itu berpamit dari kamar ke kamar, memohon maaf atas segala kesalahan. Ekspresi wajah warga yang ditinggakan adalah kehampaan sekaligus tanda tanya, adakah mereka akan dapat bersua? Sebuah pertanyaan yang tak mudah dijawab, karena sang waktu akan membawa para sarjana baru pergi menuju kehidupan yang berbeda. Kehidupan di asrama telah menjadi jejak yang  mungkin akan terhapus dan terlupakan sama sekali. Amat jarang warga yang telah lulus berbalik ke belakang untuk memunguti kembali jejak yang pernah membekas.

            Puspita, Inung, dan Relina membagi-bagikan pakaian serta perlengkapan kepada warga yang memiliki hubungan dekat. Pemberian itu, apapun bentuknya selalu diterima dengan senyum lebar sebagai tanda prsahabatan. Pakaian dan seluruh benda yang dibagikan menyebabkan warga yang menerima akan selalu mengingat sang pemberi. Relina memberikan radio, pakaian, dan perhiasan kepada Nelly. Ia cukup mengerti isi hati gadis itu, Nelly tampak demikian gembira ketika ia merayakan hari wisuda, tetapi kegembiraan itu lenyap ketika ia mulai membagi-bagikan pakaian sebagai tanda perpisahan. Mereka telah menjadi kakak dan adik yang sangat rukun tanpa pernah ada sedikitpun perselisihan.

            Puspita, Inung, dan Relina saling berkunjung ke kamar untuk memberikan tanda mata. Puspita memberikan syal warna ungu kepada Relina dan bross bermotif kupu-kupu kepada Inung. Relina memberikan Puspita dan Inung masing-masing kotak perhiasan berbentuk jantung hati dengan motif setangkai rose. Sedangkan Inung memberi Relina seuntai kalung dari rangkaian batu berwarna lazuardi, adapun Puspita mendapatkan jepit rambut bermotif sehelai daun dengan hiasan mote yang cantik. Mereka saling bertukar alamat rumah dan kota yang bakal dituju supaya dapat tetap saling mengkontak. Puspita berangkat ke Irian, Inung mendapat panggilan di Surabaya, sedangkan Relina mendapatkan peluang sebagai konsultan perusahaan kosmetik di ibu kota yang telah dikenal khalayak ramai. Setelah berakrab-akrab untuk yang terakhir kalinya, dengan sebuah janji dan sepenggal harapan ketiganyapun berpisah.

            Relina menatap asrama untuk yang terakhir kali  beramcam perasaan tak terjemahkan, akhirnya iapun bersiap pergi!

 

                                                               *** 


Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...