Selasa, 04 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, Sekapur Sirih

  




 
Mabharata –The Great Epic of India, adalah karya sastra yang tak pernah lekang, bahkan setelah ribuan tahun waktu berlalu,  ribuan cerita lain bermunculan dalam  berupa bentuk dan judul. Penayangan berulang-ulang di layar kaca, menghidupkan kembali tokoh Pandawa dan Kurawa, seolah sosok mereka benar pernah ada. Karakter kelima Pandawa melambangkan kebajikan dan seratus Kurawa melambangkan kejahatan, sebuah binary oposisi –dua hal yang berlawanan akan tetapi selalu bersisihan tak pernah terpisahkan. Karakter itu seolah hidup dalam dunia nyata.
Dalam kebudayaan Jawa Epos Mahabharata menyatu dalam karya sastra dan kesenian tradisionil. Pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan seorang dalang semalam suntuk, diiringi suara merdu waranggono serta alunan seperangkat gamelan menjadi ritual yang selalu tampil dalam beragam perhelatan. Ki Dalang selalu melakonkan keping cerita Mahabharata, sedemikian seru, sehingga penonton datang berduyun-duyun menatap kelir sejak petang hingga fajar menyingsing. Mahabhrata mengalami akulturasi budaya, antara epos yang berasal dari India, menyeberanag ke tanah Jawa, bersinergi dengan budaya setempat, maka lahirlah pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk yang tak terdapat di tanah cerita termaksud berasal.
Karya sastra mengajarkan moral, budi  pekerti sebagai suatu hal yang mendasari setiap perilaku, sehingga setiap individu dapat diarahkan untuk melakukan hal-hal baik, tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Kehidupan dapat berjalan dengan damai. Adapun seni mengajarkan keindahan yang di dalamnya terkandung pula muatan filsafat dengan tujuan nyaris serupa dengan karya sastra, kandungan moral yang sangat penting dalam setiap perilaku. Demikian indahnya pertunjukkan wayang kulit dan demikian tingginya filsafat yang terkandung dalam setiap lakon cerita, maka tokoh Pandawa seakan  menjadi panutan para penggemar wayang yang memerlukan filsafat dalam menjalani kehidupan.
Adapun Mahabhrata adalah kisah panjang yang terdiri atas berkeping-keping cerita berkaitan antara yang satu dengan yang lain, tak terpisahkan. Perkawinan antara Raja Dushmanta dan si gadis jelita Syakuntala di wilayah pertapaan telah melahirkan seorang bayi tampan yang kelak di kemudian hari akan melahirkan keturunan Bharata di Astina Pura. Kisah cinta Raja Santanu dan Dewi Gangga melahirkan Bhisma. Perkawinan antara Raja Santanu dan Saraswati melahirkan Citranggada. Citranggada menurunkan Wichitrawira. Wichitrawira memiliki dua istri Ambika dan Ambalika. Ambika menurunkan Dritarastra, Ambalika menurunkan Pandu.
Dritarastra menikah dengan Gandari, maka terahirlah 100 orang Kurawa. Pandu menikah dengan Kunti, terlahir Yudhistira, Bhima, Arjuna. Perkawinan kedua Pandu dengan Madri melahirkan di kembar Nakula dan Sadewa. Pandu meninggal pada usia muda, tak dapat meneruskan tahta, maka Dritarastra yang buta menggantikan posisinya. Sang Raja yang buta itu membesarkan seratus Kurawa dan lima Pandawa bersama Bhisma, yang telah bersumpah menjadi resi, tak pernah menikah, sehingga tak memiliki keturunan yang berhak akan tahta. Keseratus Kurawa tak pernah nyaman dengan kehadiran Pandawa, perselisihan selalu terjadi. Demikian pula ketika usia mereka telah beranjak dewasa dan tiba saat untuk menuntut ilmu bersama Mahaguru Drona, perselisihan antara Panda dan Kurawa tak pernah padam, bahkan semakin menyala.
Kebencian Kurawa semakin menjadi Yudhistira dinobatkan menjadi raja Astina Pura, kebencian it uterus berkobar, karena kebencian Karna —  yang sesungguhnya adalah sulung Pandawa. Anak pertama Kunti dengan Bhatara Surya sebelum perkawinannya dengan Pandu. Karna selalu mengira dirinya anak Radeya, sais kereta. Budi baik Duryudana mengukuhkan posisinya untuk selalu berada di pihak Kurawa, bermusuhan dengan Pandawa. Demikian benci Kurawa dengan Pandawa, sehingga muncul niat licik untuk membakar kelima Pandawa hidup-hidup. Akan tetapi Pandwa selamat.
Tipu muslihat Kurawa tak berhenti sampai di sini, dan tak akan pernah berhenti hingga akhirnya Pandawa memutuskan untuk mengakhiri pertikaian dalam perang besar yang disebut dengan Bharata Yuda. Perang besar yang mengerikan, karena masing-masing pihak sesungguhnya tidak sedang berusaha menumpas musuh yang nyata-nyata menghancurkan kehidupan bernegara. Pandawaa dan Kurawa adalah saudara sepupu, satu keturunan, akan tetapi iri dengki dapat mengubah hubungan persaudaraan menjadi peperangan, karena tahta. Satu kekuasaan yang sebenarnya telah dimiliki Kurawa, akan tetapi iri hati menyebabkan ia tak pernah rela melihat Yudhistira arif menduduki singgasana.
Satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dimana sebenarnya posisi musuh? Kecuali iri hati yang selalu berkobar di dalam diri. Musuh manusia bukan terletak pada lawan perang, akan tetapi kebencian terhadap orang lain, bahkan saudara sepupu yang tak pernah bisa dipadamkan. Mahabharata mengajarkan satu pengertian, suatu strategi menghadapi lawan dengan cara paling akhir, perang. Epos ini memberikan pula suatu pesan – meski kelima Pandawa bersimbah darah pada adegan perang kembang, akan tetapi kejahatan seratus Kurawa pada akhir cerita tak pernah menang.
Bagaimana jalan cerita kepingan kisah Mahabharat yang saling berkaitan? Ayo ikuti Mahabhrata –The Great Epic of India pada episode pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya …..



DewiLinggasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...