Hutan itu teramat lebat, adalah pohon-pohon yang
tinggi menjulang menggapai angkasa dengan batang yang kokoh. Hijau daun
menjadi kekuatan warna yang indah dan menentramkan, akan tetapi tiada
terdengar suara gemercik air, bahkan dari anak sungai yang paling kecil
sekalipun. Lahan di seputar hutan itu dipenuhi bongkahan batu, tak ada
mahkluk hidup yang dapat bertahan, kecuali aneka binatang buas, si raja
rimba, ular, gajah, banteng, badak, dan sebagainya. Sepanjang masa
suasana hutan ini diliputi kesunyian, tanda kehidupan atau asap yang
mengepul tanpa bentuk nyaris tak pernah tampak. Tanpa keberanian tak
seorang pun mampu menginjakkan kaki di hutan yang lebat ini.
Akan tetapi hari itu suasana di tengah rimba raya tampak
berubah, berbeda dengan hari-hari biasa. Adalah Dushmanta, seorang raja
berperawakan perkasa, berwajah tampan yang selalu meluangkan waktu
untuk berburu binatang hutan, menunjukkan keberanian. Tentu, Sang Raja
tak seorang diri, ia pergi berburu bersama sekelompok prajurit pilihan
untuk bisa menaklukkan seekor gajah. Sekelompok tenda tampak berdiri di
tengah hutan, di bawah rimbun dedaunan, angin demikian segar dan ramah,
dari perapian tampak asap mengepul menerbitkan aroma.
Tak jauh dari tenda didirikan Raja Dushmanta bersama prajurit
pilih tanding tengan mengendap-endap untuk menombak sekelompok gajah.
Ia adalah seorang raja yang telah terlatih dalam bertempur sekaligus
berburu, sebatang tombak berhasil terlontar menembus tubuh besar seekor.
Binatang itu menggeram dengan suara aneh seakan bermiat membangunkan
seisi rimba, gajah yang lain terkejut. Tombak terus beterbangan melukai
kawanan gajah, ada yang mati terkapar, ada yang berlari menyelamatkan
diri, ada pula yang balas menyerang. Perburuan demikian seru, menantang
sekaligus mengucurkan darah.
Gajah yang mengamuk melukai pula seorang prajurit kemudian
seorang lagi yang lainnya, pemburu telah menyusun formasi. Prajurit
penyerang terus memburu, prajurit pelindung menolong rekan-rekan yang
terluka. Suasana hutan lebat yang semula senyap tanpa tanda kehidupan,
kini menjadi gegap gempita. Dalam suasana seperti ini Raja Dushmanta
merasa keperkasaan sebagai seorang raja seakan hidup, ia menantang
bahaya dengan kemungkinan selamat dan keluar sebagai pemenang. Ia tak
merasa dirinya wajib kalah, ia harus mendapat segala yang diinginkan,
termasuk memenangkan perburuan.
Sementara satu demi satu gajah roboh, meregang nyawa dan
terluka, sinar surya perlahan menjadi padam, merah bara di langit
sebelah barat, bersiap tenggelam. Udara berubah menjadi sejuk, menjelang
dingin. Seorang raja mengerti, kapan perburuan paling seru sekalipun
mesti diakhiri, perubahan sinar matahari selalu sebagai penanda. “Kita
sudahi perburuan kali ini, semua kembali ke tenda”.
Kata-kata seorang raja adalah perintah, setiap gerakan
perburuan terhenti, kini setiap orang merasa demikian lelah, beberapa
orang prajurit mengerang kesakitan, prajurit yang lain tetap merawat
bagi kesembuhan. Dengan perlahan, tapi pasti Raja Dushmanta memimpin
rombongan kembali ke tenda untuk berisitirahat, menikmati hasil buruan.
Malam pun berpijar dalam panas api unggun di tengah hutan lebat ketika
udara terasa menjadi dingin. Di atas bintang-bintang berserakan seakan
kilau batu berlian. Raja Dushmanta sangat menggemari suasana seperti
ini, sejenak meninggalkan megah kehidupan istana serta urusan kerajaan
yang melelahkan, kembali pada susasana alam dengan sebutan pemburu yang
menang.
Keesokan hari rombongan bergerak melintasi padang rumput yang
sangat luas, sejauh mata memandang yang tampak adalah hijau sabana
berbatas kaki langit. Tak terdengar suara apapun di padang yang luas itu
kecuali derap sekawanan kaki kuda yang bergemuruh menerbangkan debu,
kemudian hampa. Raja Dushmanta bersama seluruh prajurit akhirnya sampai
pada suatu pemukiman, disambut masyarakat setempat dengan segala hormat.
“Segala hormat bagi Baginda bersama seluruh prajurit yang
telah berkenan singgah di kampung kami yang jauh. Apabila berkenan
Baginda Raja dapat bersua dengan Resi Kanwa yang menetap di tengah
hutan, ia seorang pertapa yang masyur”, seorang warga masyarakat
menyambut kedatangan itu dan menunjukkan tempat yang lebih tepat bagi
seorang raja untuk berisitirahat setelah perjalanan yang jauh.
“Baik, terima kasih. Sekarang juga saya dan semua prajurit akan
segera menuju ke pertapaan”, suara Dushmanta bergaung mantap dan
berwibawa. Sesaat ia menatap warga kampung itu dengan tatapan berterima
kasih kemudian memacu kuda secepat yang mampu ia pacu menuju ke
pertapaan Resi Kanwa sebelum rembang petang.
Perjalanan itu tak menghalami kesulitan, pertapaan Resi Kanwa
mudah dicapai. Sampai di pintu gerbang Dushmanta memerintahkan prajurit
untuk berisitirahat, mendirikan tenda, ia hendak menjumpai resi seorang
diri untuk memberikan rasa hormat sekaligus penyucian. Langkah kaki Sang
Raja setegap sosoknya, hati Raja Muda itu seketika terasa nyaman.
Pelataran luas Resi Kanwa ditumbuhi aneka tanaman yang menghijau dengan
buah-buah ranum bergelantungan, siap dipetik, aneka kelopak bunga mekar
menebarkan wewangian. Sebatang anak sungai dengan air yang sangat jernih
mericik sebagai suara alam yang memberikan rasa tentram. Sekejab Raja
Dushmanta terlupa akan hiruk pikuk suasana perburuan, ia tersedot ke
dalam suasana berbeda yang membuat jiwanya terasa damai. Kaki Sang Raja
terus melangkah hingga mencapai pintu pertapaan.
“Hormat dan salam dari Raja Astina, Dushmanta”, suara Dushmanta
bergaung ke seluruh pertapaan, akan tetapi sosok Resi Kanwa tak tampak
bergegas menyambut kedatangannya. Hening bergulir beberapa saat, hingga
akhirnya Raja Dushmanta dikejutkan oleh keberadaan seorang gadis dalam
pakaian pertapa.
“Hormat yang mulia Baginda Raja Dushmanta, adakah yang bisa
saya kerjakan bagi Paduka”, suara itu demikian lembut dan jernih,
terucap dari seorang gadis dalam pakaian bersahaja. Akan tetapi
betapapun sederhana pakaian itu, sosok tinggi semampai terbalut kulit
putih bersih dengan rambut hitam legam tak dapat disembunyikan.
Darah Dushmanta tersirap, ia tak menduga di tempat pertapaan
yang indah ini ia akan berjumpa dengan seorang gadis cantik dengan suara
lembut mendayu. Ketika bertapapan jantung Dushmanta beredegup kencang,
ia bisa melihat sepasang mata indah, sejernih air sungai yang mangalir
di tepi pertapaan. Adakah ia tengah bermimpi? Dushmanta terus
menatap gadis cantik itu, ia sadar seluruh tubuhnya bergetar, ada
kekuatan yang terus mendorong untuk tidak mengalihkan pandangan mata.
“Adakah engkau putri Resi Kanwa?” setelah terpana Dushmanta
akhirnya bertanya dengan satu keraguan di hati, bukankah seorang resi
tak pernah menikah sepanjang hidup, bagaimana pula ia bisa memiliki
seorang putri?
“Mohon ampun Baginda, hamba Syakuntala, anak angkat Resi
Kanwa”, suara itu masih tetap merdu, sepasang mata lembut Syakuntala
menatap sosok Raja Dushmanta dengan takjub. Tak terbayang, setelah
bertahun yang sunyi dan panjang, ia akan dapat bersua dengan seorang
raja. Seorang yang demikian berkuasa yang tak pernah mampu ditemui dalam
mimpi indah sekalipun, kini sosok gagah perkasa ini nyata-nyata berdiri
tepat di depannya. Akan tetapi, Syakuntala dibesarkan seorang resi, ia
terlalu pandai untuk sekedar mengusai diri, di hadapan seorang raja
besar sekalipun.
“Bagaimana engkau bisa berada di pertapaan ini?” Raja Dushmanta
menarik napas lega, Resi Kanwa menetap bersama seorang gadis rupawan di
tempat ini bukan karena suatu kesalahan. Tatapan raja muda itu tetap
melekat pada raut wajah yang damai, secantik purnama saat
bintang-bintang bersinar gemerlapan. Dushmanta harus menyadari, ia telah
jatuh hati pada pandangan pertama terhadap anak angkat Resi Kanwa ini.
Ia merasa kelopak bunga yang mekar wangi di pelataran pertapaan, kini
mekar pula di taman hati.
“Sebuah cerita yang panjang Paduka, tapi mari silakan bila
Paduka berkenan duduk, melepas lelah”, lengan gemulai Syakuntala
mempersilakan Raja Muda itu duduk di atas tikar yang sederhana.
Diam-diam Dushmanta merasa tubuhnya seakan terbang melayang, ia tak
pernah merasa seperti ini, demikian bahagia dan tersanjung berdua dengan
seorang gadis cantik yang baru dikenalnya.
“Ceritakan tentang dirimu?” betapa ingin Dushmanta merengkuh
Syakuntala ke dalam pelukannya, tetapi ia masih berkuasa menahan diri.
Ia seorang raja, terikat dengan terlalu banyak tata cara dalam
bertindak.
“Cerita yang panjang Paduka, apabila Paduka berkenan
mendengar”, Syakuntala tak hendak menutupi kesejatian diri, ia tak
berhak berbohong di depan seorang raja, apapun akibatnya.
“Aku tak keberatan mendengarnya”, Raja Dushmanta sungguh
berminat akan cerita hidup Syakuntala, ia tak boleh salah memilih, ia
terus menatap wajah ayu Saykuntala, sementara gadis cantik itu kemudian
bercerita.
Dahulu, tersebutlah seorang bernama Wiswamitra yang tak pernah
merasa puas dengan kesaktiannya. Ia terus khusuk bertapa, sehingga
Batara Indra ketakutan, jika tapa Wiswamitra berhasil, kesaktian itu
akan berhasil menggulingkan tahtanya di Indrtaloka. Batara Indra
memanggil Dewi Menaka, memerintah bidadari itu untuk menggoda
Wiswamitra. Dewi Menaka semula merasa berat, karena Wismamitra adalah
seorang sakti mandraguna dan pemarah. Ia teralhir sebagai seorang
kesatria, akan tetapi karena kebajikan, dharma, dan kesaktian, maka ia
menjadi seorang brahmana. Ia mampu membuat gempa bumi, karena
kemarahannya. Apabila harus menggoda Dewi menaka perlu dibantu Maruta,
Dewa Angin yang menyebarkan wewangian pohon-pohon serta Manamatha, Sang
Dewa Cinta. Dewi Menaka kemudian menemui Wiswamitra di pertapaan,
melaksanakan perintah Batara Indra, menggoda pertapa sakti itu. Saat
tengah berdua, tiba-tiba angin bertiup kencang menyingkap kain lembut
Dewi Menaka, menampakkan sepasang betis yang indah bak bulir padi
berisi. Wiswamitra terpana. Ia mengira angin akan berhenti bertiup,
tetapi hembusan semakin kencang menerbangkan seluruh pakaian Dewi
Menaka. Wanita cantik berubah seakan boneka emas yang terhenyak,
berpura-pura hendak mengejar pakaian, karena malu.
Hati Wiswamitra bergetar, ia tahu telah gagal bertapa,
kecantikan itu demikian polos tanpa tata rias yang paling sederhana
sekalipun, Menaka tampil dalam keadaan apa adanya, molek dan mempesona.
Suasana khusus pertapaan segera berpijar oleh kobaran api cinta,
Wiswamitra berpaling dari tujuan semula. Ia tak hendak lagi bertapa, ia
memilih untuk mempersunting seorang putri jelita yang tiba-tiba muncul,
telanjang dalam hembusan angin. Kini, keduanya adalah sepasang suami
istri.
Tiada lama berselang Dewi Menaka mengandung cabang bayi di
dalam rahimnya, Sembilan bulan setelah kehamilan itu Menaka pergi ke
tepi Sungai Malini di Lembah Gunung Himalaya. Suasana di lembah sangat
indah, ialah padang rumput yang ditumbuhi bunga, udara teramat dingin,
di kejauhan kabut putih senantiasa berarak seakan lembut kepas putih
menyelimuti kuduk gunung-gunung. Air sungai Malini mengalir dengan damai
dari hulu menuju lepas pantai, di tepi sungai ini Menaka melahirkan
seorang bayi perempuan. Dengan tega perempuan cantik itu meninggalkan
bayi tanpa dosa di tepi sungai, ia kembali ke kahyangan tempat semula
berasal, meninggalkan pula perkawinannya. Tugasnya menggoda Wiswamitra
telah berhasil, pertapa itu gagal mencapai kesaktian tertinggi, tak akan
mampu menggulingkan tahta Batara Indra.
Bayi tanpa dosa itu terbaring di tepi sungai dilindungi
burung-burung syakuntala, Resi Kanwa menaruh belas kasihan terhadap
seorang bayi tanpa ibu. Ia menyelamatkan bayi cantik itu, memberi nama
Syakuntala sesuai dengan nama burung yang tengah melindungi pada saat
pertama ia menemukannya. Resi Kanwa yang bijak membesarkan Syakuntala
seakan bocah itu adalah anak kandungnya, sehingga bocah itu kini tumbuh
menjadi seorang gadis jelita.
“Aku tak perlu mempersoalkan dari mana sebenarnya engkau
berasal, kini engkau adalah seroang gadis jelita Syakuntala”, sejenak
Dushmanta menghentikan kata-kata, ada yang bergemuruh di dalam dada. Ia
yakin, tak akan pernah mampu meninggalkan pertapaan ini tanpa
mendapatkan cinta Syakuntala. Ia seorang raja, pantang baginya tidak
memperoleh sesuatu yang benar dikehendakinya, tetapi ia harus mengatakan
dalam tata cara. “Bila ada satu permintaan dan engkau tidak
berkeberatan?” dengan lembut Dushmanta mengulurkan tangan, ia segera
merasakan balutan kulit yang teramat lembut menebarkan wewangian.
Keduanya kini demikian dekat, nyaris tanpa jarak.
“Beribu ampun, apakah permintaan Baginda, mungkin hamba bisa
memenuhi”, Syakuntala adalah gadis cantik yang dibesarkan dengan sopan
santun oleh seorang pertapa, ia cukup memahami perasaan raja besar itu,
akan tetapi ia memerlukan sebuah pernyataan. Gadis mana yang tidak
tersanjung mendapatkan kehormatan kunjungan serta sikap ramah seorang
raja.
“Tanpa seorang permaisuri istanaku terasa sunyi, bila bersedia,
hari juga aku meminangmu, sehingga kesunyian itu tak akan terasa lagi.
Kita akan menikah secara gandharwa”, Raja Dushmanta tak mampu lagi menahan diri, ia memberikan penawaran dengan akibat yang sangat berat. Gandharwa adalah perkawinan tanpa seorang saksi, kecuali dua hati yang mengasihi.
Syakuntala nyaris terlonjak, lembut raut wajah itu berhasil
menyembunyikan keterkejutan. “Apakah tidak sebaiknya kita menunggu
kehadiran Resi yang sementara tengah memetik buah di tempat jauh”,
Syakuntala tak dapat membayangkan akibat perkawinan tanpa saksi,
kemungkinan terburuk pihak suami dapat menyangkal perkawinan itu di
kemudian hari. Akan tetapi, bagaimana ia akan dapat menolak keinginan
seorang raja, gadis itu merasa tersudut, meski hati kecilnya menolak
untuk tidak mendapatkan pula Raja Dushmanta. Adakah seorang gadis yang
tidak berniat menjadi seorang permaisuri?
“Mengapa pula harus menunggu ayahanda? Seorang manusia selalu
berhak atas diri sendiri, ia berhak atas segala tindakan dan bertanggung
jawab terhadap tindakan itu. Perkawinan Gandharwa adalah yang
paling tepat untuk keadaan seperti sekarang ini, tak usah ragu. Seorang
raja tak akan pernah mencabut ucapannya. Engakulah permaisuri
pilihanku”, Raja Dushmanta menatap Syakuntala dengan segala harap, ia
benar-benar tak akan meninggalkan pertapaan ini tanpa perkawinan
gandharwa.
Hening.
Tak terdengar suara apa-apa, kecuali daun kering yang gugur
diterpa angin. Syakuntala dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Ia
tak mampu menolak permintaan seorang raja, akan tetapi menikah tanpa
saksi. Bagaimana bila dikemudian hari Dushmanta menyangkal perkawinan
ini? Di lain pihak Dushmanta semakin terpesona, betapa semakin cantik
wajah yang bimbang ini.
“Atau engkau ada memiliki pula persyaratan, sebelum menerima
pinangan ini?” Dushmanta mendekat, ia dapat menghirup aroma lembut dari
setiap ruas tubuh gadis itu, darahnya tersirap. Genggaman pada telapak
tangan Syakuntala semakin erat, seolah tak hendak melepaskan andai
bandai paling kencang sekalipun menerpa.
Syakuntala membuang pandang, ia tahu tak akan pernah dapat
menolak permintaan seorang raja, meski ia harus menanggung akibat yang
demikian berat dan mungkin suatu saat tak akan sanggup menanggungnya.
Akan tetapi, bagaimana ia dapat mengelak? Persyaratan mungkin akan
menyebabkan Dushmanta mempertimbangkan kembali pinangannya. “Beribu
ampun paduka, andai anak yang hamba lahirkan kelak akan menjadi putra
mahkota dan berhak akan tahta, hamba akan mempertimbangkan perkawinan
gandharwa”.
“Seorang permaisuri pasti akan melahirkan bayi yang kelak akan
menggantikanku selaku seorang raja. Kuterima persyaratanmu?” senyum
Dushmanta mengembang, ia tak pernah merasa bahagia seperti sekarang ini,
tubuhnya yang kekar seakan melayang di ketinggian di antara putih
gumpalan awan. Syakuntala, si gadis jelita akan segera dipersunting
dalam sebuah perkawinan gandharwa.
Tanpa menunggu lebih lama Raja Dushmanta dan putri angkat
seorang pertapa, Syakuntala bergandengan tangan, mengelilingi api suci,
mengucap mantra, mengukuhkan diri sebagai suami istri. Upacara gandharwa berlalu
dengan cepat, kemudian Dushmanta dan Syakuntala merobek malam paling
menakjubkan di bawah temaram cahaya lentera yang semakin malam semakin
memudar. Keduanya hanyut dalam kebersamaan yang panjang ketika semakin
lama malam semakin dingin, tanpa suara. Dushmanta merasa seluruh aliran
darahnya mendidih, ia telah menyingkap rahasia terdalam yang tak pernah
dimengerti sebelum pertemuan dengan Syakuntala. Andai malam tak akan
pernah berakhir ….
Akan tetapi, malam paling mendebarkan sekalipun pasti akan
sampai juga pada ujungnya, cahaya fajar merekah dalam warna keemasan
menerobos melalui celah hijau daun, butiran embun menetes, angin lembut
berdesir menebar aroma tanah basah. Dengan menyesal Dushmanta harus
mengakhiri malam perkawinan gandharwa, ia harus kembali dengan
kelompok prajurit, menempuh perjalanan panjang, kembali ke istana,
melaksanakan tanggung jawab sebagai seorang raja.
“Andaikan aku bisa tetap bersamamu di pertapaan ini, akan
tetapi sekelompok prajurit menunggu di luar pintu gerbang, aku harus
kembali ke istana. Yakinlah, akan datang pengawal istana untuk
memboyongmu selaku permaisuri ke kota raja. Sekali lagi aku tak akan
pernah mencabut kata-kata seorang raja”, Syakuntala luluh dalam pelukan
Dushmanta, sekali lagi ia tak bisa mengelak, seperti halnya ketika Sang
Raja meminta perkawinan gandharwa. Kini, rasa cemas menyergap lebih cepat dari batas waktu yang ditentukan. Setelah ia memberikan dharma pada malam terindah sepanjang hidup, demikian cepat Raja Dushmanta berpamit kembali ke istana.
Apa yang dapat diucapkan?
Syakuntala hanya membisu hingga Raja Dushmanta berkemas,
meninggalkan pintu pertapaan ini dan tak pernah menoleh lagi. Bahagia
terlalu cepat berubah menjadi hampa dan harapan yang luluh tak pasti,
gadis cantik itu duduk bersimpuh dalam pikiran kacau. Suasana hati tak
menentu, sehingga ketika Resi Kanwa datang, Syakuntala tak memilik
keberanian untuk menyongsong kehadiran itu, ia terdiam tanpa sepatah
kata. Ia tak merasa yakin, benarkah seorang dari Isatana Wangsa Puru akan datang menjemput, memboyongnya layak seorang ratu?
Resi Kanwa, pertapa yang sakti serta berbudi mulia itu segera
menangkap perubahan pada diri putri angkatnya. Gadis lugu itu tampak
risau, tak lagi merasa yakin dengan hari-hari yang telah dan harus
dilalui. Ia tak perlu bertanya, Resi Kanwa telah mengerti, ia sanggup
menatap bagian manusia yang jauh tersembunyi di relung hati.
“Syakuntala, anak yang sungguh kukasihi, ada yang pernah engkau lakukan tanpa sepengetahuanku. Tidak mengapa, perkawinan gandharwa antara seorang Raja Wangsa Puru dan anak gadis seorang pertapa, syah adanya. Engkau tak melakukan kesalahan apa-apa, gandharwa adalah
upacara terbaik bagi seorang kesatria. Dushmanta adalah raja yang agung
dan bijak, anak yang akan kau lahirkan kelak akan menjadi seorang
pangeran yang tangguh dan ternama. Pada saatnya ia akan bertahta selaku
Raja Wangsa Puru”, suara Resi Kanwa demikian halus, seolah desir angin
ketika sinar matahari demikian panas membakar. Ia tahu Syakuntala
berhadapan dengan pilihan yang sulit manakala seorang diri berhadapan
dengan seorang raja.
Syakuntala terisak, ia tak berniat melampaui perkawinan tanpa
restu ayahanda, akan tetapi betapa tidak mungkin mengelak dari
permintaan Raja Dushmanta.ia hanya anak seorang pertapa yang mesti
menjalani takdir, apapun yang akan terjadi setelah perkawinan tanpa
saksi. Dengan takzim Syakuntala membasuh sepasang kaki ayahnda, betapa
ia sangat berhutang budi terhadap orang tua yang bijak ini. “Beribu
ampun ayahanda, ananda memohon doa resu bagi perkawinan ini, berikan
pula doa dan restu bagi seluruh rakyat Wangsa Puru”, suara Syakuntala
lemah dan terpatah-patah, hatinya tersayat, bahwa Resi Kanwa tak
melontarkan kemarahan untuk perkawinan tanpa saksi adalah sebuah
keajaiban.
“Pasti kuberikan restu untuk perkawinan serta kehadiran Raja
Dushmanta selaku suamimu juga seluruh rakyat Puru. Kini, ada lagi yang
engkau inginkan?” Resi Kanwa menatap anak angkatnya dengan pandangan
sepenuh kasih, ia sungguh merasa iba dengan nasib seorang bayi yang
telah ditinggalkan ibunda di tepi sungai.
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table
Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New
Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
“Hamba mohon supaya Raja-raja Paurawa, Raja-raja keturunan
Wangsa Puru akan senantiasa memiliki kejayaan dan kekuatan hingga
selama-lamanya”, Syakuntala menundukkan kepala, menahan genangan air
mata, ia meminta terlalu banyak dari pertapa ini, tapi kepada siapa lagi
ia bisa meminta?
“Kupenuhi permintaanmu Syakuntala, kini janganlah engkau merasa bersedih. Doaku akan selalu bersamamu”, Resi Kanwa memilih kata-kata terbaik untuk memberi kekuatan bagi satu-satunya anak gadis yang telah dibesarkan. Ia yakin akan setiap doa yang dipanjatkan kepada Sang Maha Pencipta, ia tahu kekuatan doa.
Maka si jelita Syakuntala kembali menjalani hari-hari seperti
semula, ia merawat seisi pertapaan dengan baik. Hijau daun tetap tumbuh
menaungi ranum aneka buah-buahan, warna bunga demikian elok digenangi
embun pagi hari, suara ricik air sungai di samping pertapaan memberikan
suasana alam yang abadi. Syakuntala menunggu ponggawa istana datang
menjemput, akan tetapi hingga janin di dalam kandungan kian hari kian
membesar menginjak usia terakhir kehamilan, tak seorang pun utusan
datang menjemput.
Adakah Raja Dushmanta telah melupakan janji?
Syakuntala masih menunggu, ia meregang nyawa bagi bayi tanpa
dosa yang mesti terlahir ke dunia tanpa didampingi seorang yang paling
bertanggung jawab bagi kelahiran itu. Ibu muda itu masih bersabar, dan
tetap bersabar hingga bayi mungil itu terus tumbuh menjadi seorang
bocah, tengkuram, duduk, berdiri, berjalan kemudian berlari. Bocah kecil
itu mewarisi kegagahan sang ayah dan kecantikan sang ibu, mestinya
Syakuntala merasa berbahagia dikaruniai seorang anak yang tampan dan
tangkas. Akan tetapi, kapan sebenarnya utusan Dushmanta akan datang bagi
sebuah janji. Anak yang dilahirkan adalah seorang pangeran, ia adalah
permaisuri, ia tak mungkin tetap tinggal bersama ayahanda, seorang
pertapa. Ia melakukan dharma seorang istri terhadap suami.
Resi Kanwa lambat laun memahami kegalauan itu, ia sering
mendapatkan Syakuntala berdiri di depan pintu dengan sikap menunggu.
Akan tetapi penantian itu berakhir pada sia-sia, tak seorang pun
ponggawa istana datang. Resi Kanwa harus bijak menentukan sikap, suatu
hari saat senja perlahan padam, terik mentari berguncang pada temaram
cahaya alam, orang tua arif itu membuka pembicaraan. “Putriku
Syakuntala, telah lama engkau menjadi seorang istri dalam perkawinan gandarwa dengan seorang raja, akan tetapi engkau tidak tinggal di dalam istana. Ada jarak yang menghalangi dharma seorang
istri. Engkau telah sabar menunggu, namun sampai hari ini tak seorang
pun utusan istana datang, mungkin Raja Dushmanta terlalu sibuk dengan
urusan kerajaan. Anakmu harus mengenal lebih dekat seorang ayah,
pergilah ke istana. Doaku selalu menyertaimu”, Resi Kanwa memberikan
petunjuk, ada kemungkinan terburuk, Raja Dushmanta menyangkal perkawinan
itu, ia tidak mengakui Syakuntala selaku seorang istri. Akan tetapi,
seburuk apapun kemungkinan harus tetap dihadapi, supaya Syakuntala dapat
menentukan sikap. Anak kesayangannya itu tak lagi harus menunggu,
penantian itu harus segera diakhiri.
Sejenak suasana sunyi, bahkan angin paling lembut pun seolah
enggan berdesir. Syakuntala harus menyadari, bahwa selama tiga tahun
risau hati tak pernah dapat dipungkiri, betapa terus menunggu,
menyebabkan seorang yang paling sabar dan mencintai sekalipun dapat
terpuruk menjadi jemu. Kata-kata Resi Kanwa benar adanya, ia harus hadir
ke istana, ia harus mampu menguji kebenaran janji seorang raja. Adakah
Dushmanta hanya sekedar berucap atau selaku raja ia tak akan pernah
mencabut kata-katanya. Tiga tahun janji itu belum juga terpenuhi, kini
ia harus memberanikan diri menuntut hak selaku permaisuri. Syakuntala
menatap sepasang mata teduh ayahanda, bertahun sudah ia tumbuh menjadi
dewasa karena kebajikan pertapa ini. Kini, ia harus berpamit pergi, Resi
Kanwa tak hendak mengusirnya, tetapi ia harus mengakhiri penantian dan
membuktikan kebenaran janji seorang raja.
“Demikianlah pendapat ayahanda? Benar hamba jemu menunggu,
hamba akan menuruti kata-kata ayahanda dengan permohonan doa restu.
Semoga Yang Mulia Raja Dushmanta tak akan pernah mengingkari janji,
meski dalam tiga tahun ini hamba tak juga mendapatkan kepastian”,
Syakuntala berucap lirih, seumur hidup ia tak pernah meninggalkan tempat
yang damai ini, tetapi karena suatu alasan yang kuat ia harus pergi dan
mungkin tak akan pernah kembali. Perempuan jelita itu kini menyadari
pedih arti perpisahan, tapi adakah ia memiliki pilihan? Setelah
perkawinan gandharwa ia adalah seorang ratu, anak yang
dilahirkan adalah seorang pangeran, kelak ia akan bertahta menjadi
seorang raja atas doa restunya. Semua itu bisa terjadi andai Dushmanta
menepati janji. Hal itu berarti Syakuntala harus menempatkan diri untuk
menerima dua hal bertolak belakang, Raja Dushmanta tak akan pernah
menjilat ucapannya atau sebaliknya, berpura-pura tak mengenal setelah
berhasil meminta malam gandharwa yang indah itu. Syakuntala
mengerti, ia akan berhadapan dengan hari-hari yang tidak mudah sekaligus
menentukan takdir hidup selamanya, satu-satunya sikap yang harus
dikukuhkan adalah menyusun keberanian. Ia bukan lagi gadis kecil, ia
adalah seorang permaisuri. Ia harus bersiap bagi dua hal dalam waktu
yang sama dan suasana yang sangat berbeda sejak janji Sang Raja terucap.
Keesokan harinya Syakuntala berpamit, beribu perasaan
berkecamuk, wanita cantik itu tak banyak berucap, kecuali terima kasih
yang dalam serta permohonan doa restu supaya perjalanan ini akan sampai
pada akhir yang semestinya. Beberapa orang resi menyertai keberangkatan
itu, seorang ibu muda dan kanak-kanak tidak aman hanya berdua dalam
perjalanan yang jauh. Kali ini adalah perjalanan Syakuntala yang
pertama, berhari-hari rombongan kecil itu meneruskan perjalanan,
menembus hutan, melewati hijau padanag rumput, menyeberangi sungai
hingga akhirnya sampai di istana Raja Dushmanta.
Jantung perempuan itu berdegup kecang ketika melewati pintu
gerbang istana yang megah, dijaga dengan ketat. Dua orang pengawal
mengantarnya untuk menghadap Yang Mulia Raja. Syakuntala tak pernah
membayangkan, suatu hari dalam perjalanan hidupnya akan berkunjung ke
tempat seindah ini. Di balik pintu gerbang adalah bangunan megah, tinggi
menjulang dengan dinding kukuh, warna cemerlang, taman bunga menebarkan
wangi kelopak kembang. Diam-diam Syakuntala menjadi gentar, bagaimana nanti sikap Raja Dushmanta akan kehadirannya? Ia telah berpegang dengan keberanian, apapun yang akan terjadi kemudian, andai kemungkinan buruk harus dihadapi.
Langkah kaki Syakuntala akhirnya sampai di balairung tempat
Raja Dushmanta bertahta di singgasana dikelilingi pengawal pilihan dan
para menteri. Pilar-pilar istana demikian megah, segala yang berada di
balairung adalah keindahan, lantai istana berkilau bagai kaca.
Syakuntala duduk bersimpuh dengan bocah kecil tetap dalam rangkulan, ia
menghaturkan sembah.
“Hormat dan sembah kepada Yang Mulia Raja Dushmanta, hamba
Syakuntala putri seorang Resi Kanwa, seorang pertapa”, sekilas
Syakuntala menatap wajah agung Dushmanta, hatinya mengeluh, tatapan mata
itu seolah tak pernah mengenalnya.
“Kuterima hormat dan sembahmu Syakuntala, jauh sekali
perjalanan dari tempat pertapaan, maka kabar apa sebenarnya yang hendak
engkau sampaikan?” Raja Dushmanta menatap wajah ayu Syakuntala, tentu ia
tak melupakan paras nan elok itu meski hanya terbalut pakaian
bersahaja. Ia terlupa satu hal penting yang menyangkut janji, tetapi
bagaimana pula ia harus mengakui saat ia tengah bertahta di singgasana
di hadapan menteri dan sekalian pejabat istana. Kehadiran perempuan ini
diam-diam mengejutkan hati, Syakuntala ternyata memiliki keberanian,
ketika ia tak pernah memerintah ponggawa istana untuk menjemput, maka
hari ini ia hadir tanpa sehelai surat undangan. Dan siapa gerangan bocah
tampan yang tak pernah lepas dari rangkulan? Dushmanta menghela napas
panjang, ia harus menerima akibat dari suatu perbuatan.
“Beribu ampun paduka, apakah kiranya paduka yang mulia telah
melupakan hari itu, tiga tahun yang lalu?” Syakuntala mengumpulkan
keberanian berucap, apapun nanti jawaban seorang raja. Ia memerlukan
sebuah kepastian, meski akan pahit terasa.
Suasana di balairung agung tiba-tiba diam, masing-masing
pejabat istana yang hadir saling menatap dengan pertanyaan tak terucap. Siapakah
perempuan cantik nan rendah hati ini? Apa yang pernah terjadi tiga
tahun yang lalu? Mengapa pula ia berani bertanya kepada seorang raja
dengan seorang bocah tampan dalam rangkulannya?
Dushmanta menghela napas panjang, ia telah mengelak dari sebuah
tanggung jawab, ia tidak pernah lupa malam indah tiga tahun yang lalu
ketika untuk pertama kali ia jatuh cinta kepada seorang wanita, cinta
pada pertemuan pertama. Akan tetapi, tugas kerajaan demikian panjang tak
terelakkan, andaikan ia segera menepati janji untuk mengirim utusan. Ia
tak perlu bertemu dengan Syakuntala dalam suasana seperti ini, pikiran
raja itu bekerja keras, ia harus mendapatkan jalan keluar.
“Syakuntala, atau siapapun nama itu. Setiap perempuan di
kerajaan ini dapat dengan tiba-tiba hadir di balairung kemudian
memintaku mengingat peristiwa yang telah lama terjadi. Tentu tak semudah
bagiku melupakan. Akan tetapi, adakah engkau memiliki bukti”, Raja
Dushmanta berucap setenang mungkin, ia perlu menjaga citra diri bahkan
pada situasi yang genting dan tidak meguntungkan.
Di pihak lain Syakuntala menunduk, ia telah mendapatkan
pertanda buruk, dan kini Sang Raja meminta bukti. Bukti apa yang ia
miliki, kecuali ia dan Sang Raja telah bersumpah dalam perkawinan gandharwa, kecuali keyakinan akan dharma
dan kesaksian dewata, Sang Maha Pencipta, ia tak memiliki bukti, mati
atau tersurat. Darah perempuan itu berdesir, ia tak hendak dan akan
menang bersilat lidah dengan seorang yang demikian berkuasa. Akan
tetapi, ia masih memiliki sepenggal waktu untuk hening, untuk memohon
kepada Sang Pencipta akan perkawinan tanpa saksi gandharwa tiga tahun yang lalu. Syakuntala menahan air mata yang mulai tergenang, dengan terbata ia berucap.
“Semoga Dushmanta, Raja Agung nan bijaksana senantiasa
mendapatkan derajat yang tinggi dan kemuliaan. Benar hamba tak memiliki
bukti, terlebih sehelai surat di atas daun lontar. Hamba hanya telah
jemu menunggu. Andai Baginda berkenan, kiranya tak mungkin seorang raja
melupakan janji. Akan tetapi, bila janji itu hanya sekedar pemanis lidah
yang terbuang setelah keinginan tercapai, ijinkan hamba kembali ke
pertapaan”, suara itu terdengar seperti rintihan, diam-diam bulu kuduk
Dushmanta meremang, ia dihadapkan pada pilihan yang berat. Waktu
tiba-tiba berubah menjadi sepasang jeruji yang berhimpitan, menjepit
kelalaian yang pernah dilakukan. Kehadiran Syakuntala di tempat ini
bukanlah suatu kesalahan. Akan tetapi, ia adalah seorang raja, ia tak
pernah “bersalah”.
“Andai saksi itu adalah sekalian Dewata, maka mintalah ia
berucap, sehingga seisi balairung ini dapat mempercayainya”, Raja
Dushmanta ingin saat-saat ini segera berlalu, ia tak ingin terusik
dengan kehadiran seorang perempuan. Kekuasaannya demikian luas
menyangkut hidup mati seisi kerajaan, ia hanya cukup berucap, maka
ucapakan itu akan segera menjadi kenyataan.
“Semoga dewata yang agung akan membuktikan kebenaran ucapan
Baginda yang mulia, hamba hanya anak seorang pertapa, tak lazim kiranya
memberi paksaan kepada seorang raja”, Syakuntala sadar kehadirannya tak
dikehendaki di balairung ini, sekalian pejabat menatapnya dengan aneh.
Tiba-tiba ia merasa asing, ia merindukan suasana tentram di pertapaan
ketika setiap orang yang ada di tempat ini akan bertegur sapa dengan
santun dan memandangnya dengan rasa kasih. Setelah memberikan sembah
peremuan cantik itu mengundurkan diri, sikap dan ucapan Raja Dushmanta
telah berubah seakan pisau tajam yang menyayat tepat di ulu hati
menimbulkan rasa perih. Raja besar itu telah menyangkal perkawinan gandhara dengan
bahasanya. Ia terlalu kecil untuk sekedar memulihkan ingatan Baginda,
ia seperti seorang peminta-minta. Impiannya untuk hidup sebagai
permaisuri hancur berserakan menguap bersama keringat dingin yang
menetes. Syakuntala merasa sekujur tubuhnya gemetar. Lantai istana yang
berkilau laksana kaca seakan berguncang, siap membelah, menelan rapuh
tubuhnya, kemudian mengatup kembali supaya ia tak pernah datang lagi ke
tempat ini.
Sesisi balairung menatap sosok Syakuntala yang berjalan
menunduk memikul kekalahan, tak satu pun berani berkata. Mereka tak
pernah ada di antara seorang raja dan Syakuntala, mereka masih
bertanya-tanya. Sementara Raja Dushmanta tetap duduk di singgasana,
agung dalam pakaian kebesaran serta mahakota yang indah gemerlapan.
Betapa ingin ia turun dari singgasana menggenggam sepasang tangan lembut
Syakuntala, akan tetapi keduanya berada dalam ruang waktu yang salah.
Dushmanta diam mematung, lidahnya gagal berucap, terasa pahit. Ia
menyesal, tapi apa yang harus diperbuat.
Diam menggantung teramat panjang di dalam balairung agung
hingga sosok Syakuntala bergerak menjauh. Beberapa jengkal langkah bagi
Syakuntala terasa jauh lebih panjang dari penantian selama tiga tahun
yang berakhir sia-sia. Akan tetapi, kini ia telah dapat menentukan
sikap, ia tak akan menunggu, ia akan membesarkan seorang bocah tanpa
keluarga. Perempuan itu masih memiliki sisa kekuatan untuk menahan
banjir air mata, akan ada saat untuk menangis, memohon kepada Sang
Pencipta untuk ketidak adilan ini. udara tiba-tiba menjadi demikian
dingin mengiris pori-pori, langkah Syakuntala seakan mengambang. Akan
tetapi, sebelum Syakuntala mencapai anak tangga pertama, secara ajaib
tiba-tiba terdengar suara.
“Raja yang Agung Dushmanta, kupenuhi permintaanmu, bukti
perkawinan gandhara antara engkau dan Syakuntala tiga tahun yang lalu di
pertapaan. Akulah saksinya, setelah tiga tahu menunggu Syakuntala
meminta kepastian, sebab seorang istri tak bisa terus menerus menunggu,
ia memerlukan seorang ayah bagi bayi yang dilahirkan. Bocah tampan itu
adalah seorang anak berjiwa agung yang akan dikenal dengan nama Bharata,
yang dipuja. Jika menyia-nyiakan Syakuntala dan Bharata, engkau akan
tertimpa malapetaka besar. Syakuntala tidak berdusta….!”
Secara ajaib pula suara itu kemudian menghilang, hening
menyelimuti seisi balairung, terpecah tak lama kemudian ketika Raja
Dushmanta berucap dengan mantap “Seluruh menteri, pendeta, dan pejabat
istana, semua telah mendengar bukti perkawinan gandhara antara
aku sebagai raja dan seorang perempuan anak pertapa bernama Syakuntala.
Aku sengaja meminta bukti supaya di kemudian hari tiada pernah terjadi
penyangkalan, karena perkawinan ini hanya benar hanya disaksikan
pengantin perempuan dan laki-laki. Kuterima Syakuntala sebagai
permaisuri dan Bharata sebagai keturunan Dushmanta”, raja besar itu
menarik napas lega, ia telah keluar dengan kemenangan pada celah sempit
yang nyaris melemparnya dari ketinggian. Sesungguhnya ia tak pernah
dapat menidurkan rasa cinta teramat dalam kepada Syakuntala, dan betapa
tampan seorang bocah yang dilahirkan.
Sementara Syakuntala segera menghentikan langkah sebelum
menuruni anak tangga, ia menghela napas melepas segala beban dan
kemungkinan, Dewata Yang Agung agaknya senantiasa melindungi dharma dan
kejujuran hati. Impian untuk menjadi seorang permaisuri akhirnya teraih
kembali, tidaklah jauh jarak yang terentang antara suka dan duka,
antara sedih dan bahagia. Bhatara, bayi mungil yang dilahirkan akan
hidup selayaknya putra mahkota, kelak akan bertahta sebagai raja. Wajah
pucat Syakuntala berubah menjadi merah merona, sepasang mata yang basah
air mata kini bercahaya seakan seakan bintang di ketinggian. Perempuan
itu seakan terbang bersama angin ketika merasa sepasang tangan kekar
Raja Dushmanta perlahan menggenggam telapak tangannya yang dingin.
Perjalanan panjang dan melelahkan ini tidak berakhir dengan sia-sia.
Keesokan harinya Raja Dushmanta memerintahkan sebuah upacara
penyambutan bagi permaisuri dan putra mahkota. Upacara agung itu
mengawali sebuah cerita panjang. Permohonan Syakuntala kepada Resi
Kanwa, supaya keturunan Wangsa Puru akan mendapatkan perlindungan
sebagai raja-raja besar dikabulkan. Kekuatan doa Sang Resi terbukti,
karena kesaktian. Di kemudian hari keturunan Bharata benar menjadi
bangsa yang besar, Bharata menurunkan pula raja-raja perkasa. Salah
seorang dari raja itu adalah Santanu.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar