Sang kala terus bergerak laksana rotasi gerobak
pedati yang berputar perlahan namun pasti. Waktu selalu merubah segala
sesuatu di luar kemampuan nalar manusia untuk memperkirakan. Waktu
mengantar musim kemarau menuju musim penghujan, mengubah daun-daun
kering yang gugur kembali tunas dan bermekaran. Waktu menggugurkan usia
tua dan menggantinya dengan kehadiran kaum muda.
Kemarau tahun ini telah meranggas hingga
melampui batas yang biasanya menjadi ketentuan alam. Pohon kamboja hanya
tinggal menyisakan cabang dan ranting tanpa selembarpun daun, tanah
kering kerontang, debu ramai beterbangan, udara terik dan gerah. Sumber
air di asrama mulai menyusut, jatah air berkurang. Setiap pagi dan sore
apabila kamar yang bertugas mengalirkan air terlambat turun tangan, maka
dari setiap blok akan terdengar teriakan nyaring, “Air! Air!” Kesulitan
akan air adalah persoalan serius. Kemarau seakan memberangus sekalian
suasana, sehingga kehidupan asrama serasa lengang.
Warga-warga senior telah berhasil
menyelsaikan studi, bergembira dalam upacara wisuda kemudian berkemas
meninggalkan asrama. Sementara warga baru berdatangan menggantikan
tempat-tempat yang kosong. Jumlah seluruh warga tak berubah, fluktuasi
tetap delapan puluh mahasiswa. Karakter generasipun berubah, warga lama
dapat bersantai-santai dengan masa kuliah, mereka tak pernah terburu
untuk lulus, seorang sarjana bukan matang secara instan, akan tetapi
melalui suatu proses dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pengalamn
hidup akan mematangkan kemampuan akademisi seorang sarjana. Akan tetapi,
mahasiswa sekarang dituntut dengan inflasi, dengan biaya semester yang
semakin tinggi, harga pasar yang melambung, dan harga BBM yang mencekik.
Keluhan dari orang tua berkaitan dengan biaya kuliah menyebabkan setiap
mahasiswa harus berpacu dengan waktu untuk secepat mungkin meraih gelar
sarjana, mendapatkan pekerjaan dengan syarat ijasah dan mengurangi
beban orang tua, karena tak perlu lagi mendapat kiriman biaya kuliah.
Suasana asramapun mulai berubah, bangunan
itu seakan-akan bukan lagi “rumah” bagi mahasiswa yang tengah belajar,
tetapi lebih tepat sebagai tempat singgah. Kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan dies natalis, bulan suci Ramadhan, bakti sosial,
penerimaan warga baru, syukuran wisuda seakan kehilangan makna.
Masing-masing warga sibuk dengan dirinya masing-masing kebersamaan
menjadi renggang. Seringkali suasana menjadi nglangut dan lengang, tak
terdengar gelak tawa dari sekumpulan warga yang bercengkerama atau
kesibukan dalam rangka memperingati hari-hari isitimewa yang dikerjakan
dengan sepenuh hati.
Hari itu suasana asrama benar sunyi,
sebagian warga mengikuti kuliah di kampus, sebagian KKN, yang lain tugas
lapangan, selebihnya mencari pendapatan tambahan dengan memberi les
pada siswa SMA. Pesawat televisi di aula padam tanpa suara, tak
seorangpun warga tampak asyik mengikuti acara televisi. Kemarau menambah
gerah suasana, suhu udara meningkat, tetapi di atas langit mulai gelap.
Tanda-tanda kemarau akan berakhir tampaknya sudah mulai tampak dan
mendekat.
Puspita berdiri di atas balkon, ia
menatap pepohonan yang meranggas tampak merana, karena kekurangan air.
Ia telah hampir enam tahun menjadi penghuni di asrama, ia pernah
melampuai proses sosialisasi yang sulit sebagai warga baru,
perlahan-lahan menjadi bagian dari kehidupan asrama melalui bermacam
kegiatan asrama yang telah menjadi semacam rituil. Ia bersahabat dan
berselisih dengan warga yang lain sebagamana biasanya setiap individu
yang hidup menjadi bagian sebuah komunitas. Kini, ia termasuk senior,
warga tertua di blok G dan di asrama.
Saat menjadi warga baru Puspita pernah
berandai-andai, alangkah senangnya menjadi senior, ia pasti terbebas
dari segala tekanan mengerikan dan dapat bebas berbuat apa saja.
Ternyata antara senior dan warga baru hanya dapat saling memandang,
masing-masing memiliki persoalan yang berbeda, dan persoalan itu sama
bobotnya. Inan, Irin, Santi, dan senior galak lainnya telah berkiparah
di dunia kerja, kehidupan asrama bagi mereka hanya merupakan sepenggal
masa lalu. Demikian pula dengan Murni, Sisi, Sunarti, Agnes, dan Soraya,
sahabat-sahabatnya telah mendahului berhasil meraih gelar sarjana,
mendapatkan jati diri dengan segala status yang dimiliki.
Puspita merasakan sebuah keseimbangan
antara sayang dan benci ketika “musuh” dan sahabat-sahabatnya masih
menghidupi suasana di asrama ini. Kini, mereka telah pergi. Mestinya
Puspita merasa damai, karena ia tak terusik lagi dengan sikap jail
“musuh-musuh” yang sering menyakitkan hati. Akan tetapi, aneh, kehidupan
ini kehilangan “greget”, kehilangan seni, kehilangan keseimbangan
ketika ia justru memperoleh kebebasannya. Ia teringat betapa nyaman
ketika ia dan sahabat-sahabat dapat memanasi “musuh-musuh” dengan ulah
sikap yang membuat mereka meradang. Sungguh nikmat membuat orang yang
tidak disenangi merasa dendam dan kalah. Sementara malam-malam dan acara
intern yang diselenggarakan bersama para sahabat telah menyulut
kehangatan. Sungguhpun jauh dari keluarga, ia tak benar-benar seorang
diri, ia memiliki “musuh” dan sahabat dengan kekuatan yang seimbang.
Sekarang Puspita tak punya lawan, praktis
ia kehilangan “greget” sepercik api yang dapat membakar semangat untuk
menyalakan kehidupan hari ini. Puspita mengerti, mengapa setelah
kemenangan dalam perang Bharatayuda, Pandawa justru menjadi lemah. Satu
per satu kesatria pandawa gugur dalam perjalanan menuju pertapaan untuk
mencapai moksa. Mereka gugur ditelan sunyi dan sebuah keseimbangan yang
terguncang. Seorang tak akan pernah mecapai gelar kesatria bila tak
mempunyai peluan bertarung dengan raksasa –tanpa ada buto terong,
maka pagelaran wayang tidak akan pernah ramai-- Apa yang mau dikerjakan
seorang satria ketika perang berdarah-darah telah usai?
Puspita didera rasa rindu terhadap warga
–sahabat—yang menggores kenangan manis pada hari-hari yang telah lalu.
Ia seakan masih dapat merasakan kehadiran dan gelak tawa yang
menyebabkan ia merasa asrama ini benar tempat tinggalnya. Lidah Puspita
menjadi pahit ketika ia menyadari suasana di asrama ini telah menjadi
asing. Seorang senior berarti orang tua asuh bagi warga blok dan warga
asrama lainnya. Seorang tua tak boleh mengeluh, tak boleh menampakkan
wajah sedih, seorang tua harus menunjukkan sikap kuat dan mampu untuk
setiap tanggung jawab yang harus dipikul, seorang tua harus dapat
mengambil sikap dan keputusan apapun resikonya. Dan ternyata, betapa
tidak mudah semua itu. Puspita mengerti, mengapa senior asrama kala itu
dapat menjadi demikian galak, judes, dan menakutkan. Mereka memikul
beban tanggung jawab untuk menyatukan kehidupan warga asrama yang
terdiri atas bermacam suku, agama, dan golongan dengan bermacam karakter
yang berbeda. Asrama adalah masyarakat kecil, di dalamnya menetap
sebuah keluarga besar, tanpa adanya pihak yang mampu menyatukan
segalanya akan terpecah belah, seperti yang telah terjadi pada saat
sekarang ini.
Sementara persoalan bukan hanya mengenai
kehidupan di asrama. Ia telah menyelesaikan seluruh mata kuliah dan
KKN, kecuali skripsi. Karya ilmiah yang merupakan tanda dari kemampuan
seorang mahasiswa menyerap seluruh materi kuliah, menginterprestasi
sekaligus mengapresiasikannya. Skripsi acapkali menjadi momok bagi
sekalian mahasiswa ini, untuk sebab yang satu ini seorang mahasiswa
lebih baik memilih DO. Gagal menyusun skripsi berarti gagal dalam
menguasai sekaligus menterjemahkan segenap materi kuliah yang pernah
dipelajari. Dan ia, Puspitasari, ia tak mau gagal. Ia pernah berniat
mengikuti ujinan masuk ke perguruan tinggi untuk sebuah cita-cita,
keberhasilan. Di samping skripsi, maka persoalan hidup terus melilit tak
berkesudahan, Puspita tahu sebagai makhluk ciptaan-Nya ia tengah
dicoba.
“Non, lagi ngapain, saya cari di kamar,
sunyi, ternyata sedang menyendiri di sini?” sebuah suara memecah,
mengejutkan Puspita.
“Hai Re, aku sedang menunggu hujan,
Puspita menatap langit yang telah diliputi mendung hitam, hatinya
bersorak, ia lelah melewati kemarau panjang.
Relina menatap wajah sendu seniornya,
mereka telah membangun komunikasi secara perlahan-lahan dan
memeliharanya dengan baik. Jarak antara warga baru dan senior telah lama
tertutup, yang ada kini ikatan persahabatan. “O ya, aku ikut berbela
sungkawa atas meninggalnya ibunda”, Relina mengulurkan tangan, Puspita
menjabat tangan itu dengan lemah. Ia masih dalam suasana berkabung, duka
yang sungguh dalam, ia pernah berangan-angan sebuah foto wisuda di
antara ayah bunda, tetapi sang ayah telah lama pergi. Akhirnya ibundapun
menyusulnya, angan-angan itu hanya tinggal pecahan kaca yang
berkeping-keping. Ia telah kehilangan orang-orang yang dicintai sebelum
mampu menggapai cita-cita.
“Ibu sakit apa?” Relina menempatkan diri duduk menyudut di dekat Puspita.
“Ibu tidak sakit apa-apa, ia telah
selesai membersihkan seisi rumah, berbaring di tempat tidur kemudian
terlelap selamanya. Ibu seorang wanita Jawa yang berpikir sederhana, tak
ada pikiran apapun di kepalanya kecuali mengabdi kepada suami dan
anak-anak. Ia menerima segala perlakuan ayah, baik dan buruk tanpa
protes tanpa berkeluh kesah, bagi ibu memang demikianlah takdir yang
harus dijalani seorang wanita”, pandangan Puspita menerawang jauh, ia
merasa terhibur dengan kehadiran Relina, sungguhpun gadis itu tak dapat
merubah apapun dalam hidupnya, kecuali teman untuk berkeluh kesah.
“Saya baru pulang dari rumah ketika
teman-teman menyampaikan berita duka ini. Semoga mbak Pita mendapatkan
kekuatan untuk menghadapi semua ini. Segala yang pernah hidup pasti akan
berpulang kepada Sang Pencipta, ibu pasti seorang yang sangat baik,
kematian datang dengan mudah tanpa sakit yang berkepanjangan”, Relina
mencoba menghibur.
“Terima kasih Re, aku menyesal, karena
belum berhasil menjadi apa-apa, aku masih harus berjuang. Aku tak sempat
membalas budi, tak sempat membuktikan betapa ibu tak sia-sia melahirkan
kemudian membesarkanku. Ah, aku tak punya lagi tempat kembali....”
“Bukankah mbak Pita masih punya rumah untuk pulang?”
“Benar, tetapi aku tak mau pulang untuk
bertemu dengan wajah asing, wajah yang melukaiku. Aku telah mendapatkan
panggilan kerja di Irian, tetapi syaratnya harus lulus dulu. Nanti, aku
akan pergi selamanya dari rumah tinggalku dan menuju ke tempat yang sama
sekali baru”.
“Saudara-saudara mbak Pita ada di mana?”
“Saudaraku dua, semua telah berkeluarga,
ke rumah saudara akhirnya aku memutuskan untuk berlibur, mereka pula
yang bertanggung jawab membiayai kuliahku sampai selesai”.
“Siapa yang tinggal di rumah mbak Pita sekarang?”
“Seorang dengan wajah asing, untuk wajah
yang satu ini kumohon engkau tidak menanyakan, biarlah ia menjadi bagian
dari masa lalu. Kita hidup di masa sekarang dan masa depan”.
“Mbak Pita beruntung, masih bisa mengenal
ibu kandung yang melahirkan kemudian membesarkan. Saya hanya mengenal
wajah ibu lewat sebuah foto yang semakin hari semakin buram, saya tak
pernah tahu siapa ibu yang melahirkanku, ayah tak pernah bercerita”.
Kata-kata Relina membuat Puspita
tertegun, ia seakan tak percaya ketika menatap dalam-dalam wajah Relina,
betapa kosong tatapan mata gadis itu, kosong dan sayu. Ia masih
tenggelam dalam nestapa, karena kematian orang yang dicintainya, dan ia
masih beruntung, karena ia mengenal persis siapa wanita itu. Ia
mendapatkan kasih sayang, perhatian, tanggung jawab dalam segala
ketulusan hati. Sedangkan Relina, ia tak pernah mengenal ibu yang
melahirkan, tak merasakan kasih sayang, dan tanggung jawab. Relina
bahkan tak pernah yakin, sang ibu masih hidup atau telah tiada. Uf, betapa berliku jalan hidup ini!
Mereka masih terus bercakap-cakap hingga
tiba-tiba mendung menjadi jenuh, berubah menjadi rinai gerimis, dan
tertumpah menjadi hujan. “Ayo kita ke dalam”, Puspita meraih tangan
Relina, masuk ke dalam aula, keduanya melanjutkan bercakap-cakap di
dekat jendela sambil menikmati hujan runtuh dari langit, menyudahi
kemarau panjang. Perlahan-lahan tercium bau harum tanah basah, dari arah
barat, sinar matahari yang pucat masih lurus menembus melalui
celah-celah mendung yang terkuak tersibak angin. Rinai hujan berubah
seakan rangkaian bola kristal yang jatuh secara beraturan, luruh ke
dalam tanah kemudian musnah. Pepohonan yang meranggas, ranting yang
kerang kerontang seketika basah kuyup seakan kedinginan. Debu-debu lelap
kembali menyatu dengan tanah. Udara gerah segera berubah menjadi sejuk.
Angin menebar bau harum tanah ke seluruh penjuru.
“O ya, malam Minggu ini kamu kemana Re?”
“Saya mau baca novel, Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari”.
“Tidak bermalam Minggu dengan si doi?”
“Tidak, lebih asyik membaca novel”.
“Aku pernah melihatmu dengan mahasiswa hukum, tapi sudah lama sekali”.
“Kami sudah bersepakat untuk berpisah”.
“Kelihatannya kalian cukup serasi”.
“Dari luar mungkin, tapi Hendra cuma
seorang pemimpi, ia menekan saya untuk tampil selayaknya selebritis.
Satu hal yang tidak mungkin, ia sendiri cuma seorang mahasiswa abadi,
tinggal di kamar kost dan mencari tambahan penghasilan dengan menjadi
pelukis jalanan. Ia selalu bermimpi untuk menikahi seorang selebritis
atau paling tidak anak seorang artis supaya ia dapat menumpang
popularitas, karena ia tak mungkin terkenal dengan kemampuan yang
dimiliki. Ia tidak tahu betapa rumit hidup yang harus saya jalani. Saya
ingin menjadi diri saya sendiri, menyelesaikan kuliah, mencari
pekerjaan, lepas dari beban orang tua, melakukan hal terbaik yang dapat
saya lakukan. Bagaimana dengan mbak Pita skripsi?”
Puspita tak segera menjawab, nasibnya
kini ada di tangan dosen pembimbing. Dalam situasi tertentu seorang
dosen seakan dewata yang berwenang penuh menentukan hidup mati
mahasiswa. Dosen senior seringkali bersikap idealis, terlalu idealis,
sehingga kadang kala bimbingan skripsi harus dilakukan selama
bertahun-tahun, hingga orang tua mahasiswa yang bersangkutan meninggal
dan iapun datang melayat, menyampaikan bela sungkawa sambil berurai air
mata. Kini, ia telah kehilangan kedua orang tua, tetapi sang pembimbing
tak pernah tahu apa yang telah berlaku dalam liku-liku hidupnya. Seorang
mahasiswa dengan bodi sekekar Tarzan bahkan mesti berkeringat dingin
manakala harus menghadap dosen pembimbing dalam rangka konsultasi. Iapun
harus mengatur waktu secermat mungkin, memberanikan diri, mengawali
dengan doa dan melawan sakit mulas di perutnya sebelum menghadap
pembimbing. Duh Gusti!
“Proposalku
sudah disetujui, tetapi pembimbingku seorang profesor yang sangat
sibuk. Ia sibuk dan idealis, aku kesulitan untuk membangun komunikasi.
Mungkin harus kulakukan strategi yang tepat untuk mempermudah jalur,
sehingga ia dapat memahami kesulitanku. Skripsimu sendiri bagaimana Re?”
“Saya baru mengajukan proposal, sementara
disidangkan, pulang KKN baru persiapan untuk pengambilan data di
lapangan kemudian mulai menulis. O ya, nanti malam Minggu acara kemana?”
“Aku masih alam suasana duka, aku mau
menyepi di kamar tamu, memanjatkan doa untuk ibu”, kamar tamu terletak
di dekat ruang administrasi, sementara dalam keadaan kosong. Kamar itu
biasa digunakan untuk mahasiswa yang memerlukan ketenangan tanpa
terganggu oleh suara gaduh dari warga yang lain.
Di luar hujan turun semakin deras,
setiap orang pasti merasa gembira dengan perubahan musim. Kemarau
panjang berakhir sudah, di halaman beberapa orang warga bahkan ada yang
tampak bermain hujan sambil menampung air dari cucuran talang.
Perlahan-lahan langitpun padam.
“Re, blok E sudah terima undangan perkawinan dari mbak Yulistin?”
“Sudah”.
“Re mau datang?”
“Saya harus memantau perkembangan
proposal, pasti ada yang harus diperbaiki, lagipula Surabaya cukup jauh
dari Yogya. Mbak Pita datang?”
“Sepertinya begitu, Yulistin kawan dekat
saat ia masih tinggal di blok G, ia pasti kecewa kalau aku tidak hadir
pada perkawinannya. Kemarin ia menelepon, menyampaikan ucapan bela
sungkawa sekaligus meminta kesanggupanku datang. Aku akan berusaha
datang, masih dua minggu lagi”.
“Aku bisa titip hadiah kecil?”
“Bisa”.
“Bagaimana pula dengan rencana perkawinan mbak Pita?” Relina mengalihkan pembicaraan.
Pertanyaan ini membuat Puspita terdiam,
baginya perkawinan merupakan sebuah lembaga sakral yang disyahkan sekali
dalam hidup dan itu untuk selamanya. Bukan suatu hal yang mudah untuk
menentukan teman hidup, karena ia bahkan belum mampu menjadi dirinya
sendiri. Ia belum akan memutuskan untuk mencetak undangan perkawinan
sebelum urusan perkuliahan selesai, sebelum ia mendapatkan pekerjaan.
Toh jodoh tetap Tuhan yang mengaturnya. “Aku belum memikirkan, yang
lebih penting bagiku adalah menyelesaikan skripsi, yang lain menyusul,
ada yang lebih penting sebelum membagikan undangan perkawinan”.
“Pada beberapa kasus saya melihat setelah
menjalani perkawinan, wanita justru mengalami tekanan hidup yang
berlebihan, kekerasan dalam rumah tangga dan seterusnya. Saya tak akan
sebebas ini apabila harus sibuk mengurusi anak-anak dan suami’.
“Kau tak berniat menikah Re?”, Puspita
melihat adanya kecenderungan wanita memilih hidup melajang hingga usia
tua, karena beberapa alasan, termasuk kenyataan yang berbalik dari
impian-impian seorang pengantin.
“Saya melihat banyak pengalaman buruk
dari wanita yang menikah, pengalamanku dengan Hendra juga mengajarkan
demikian. Bila perkawinan membuat hidup menjadi lebih baik saya akan
menjalani, bila tidak, saya merasa tidak ada yang kurang dari hidup yang
sedang saya jalani”, Relina teringat pada perkawinan orang tuanya, ia
bahkan tak pernah mengenal ibunya, ibu tirinya kini mengalami persoalan
rumit dengan kesalahan-kesalahan ayah baik yang sengaja maupun yang
tidak. Re tahu ibu bertahan bagi Maya, anak kandungnya memerlukan
keluarga, memerlukan ibu dan ayah. Keberadaan dirinya adalah beban
tersendiri bagi ibu, tetapi wanita itu tetap tabah, ia menunjukkan rasa
cinta dan bakti yang berlebihan pada sang suami. Ibu berhemat, menabung
dari uang sisa belanja, setelah uang itu terkumpul, maka ayah akan
melakukan tekanan mencomotnya, dengan banyak cara. Ketika ayah memanen
hasil keuntungan, ia mulai menyusun rencana belanja tanpa meminta
pertimbangan ibu, sehingga uang itu ludes tanpa sisa. Seterusnya ayah
akan kembali menekan uang simpanan yang dikumpulkan ibu dengan susah
payah. Tekanan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Hebatnya, ibu tak
pernah rubuh dengan kesulitan yang menimpa hingga setua umur
perkawinannya. Ia mengutamakan tanggung jawab bagi masa depan anak-anak,
sungguhpun ia cuma seorang anak tiri. Re membayangkan, ia tak akan
pernah mampu menghadapi persoalan seperti ini.
“Ada sebuah buku menarik, kau harus
membacanya, buku tentang jati diri seorang wanita. Aku pernah merasa
gamang sepertimu, tetapi buku itu lebih dari sekedar cukup sebagai
solusi. Tunggu di sini”. Puspita berdiri beranjak ke kamar dan kembali
tak lama kemudian dengan sebuah buku di tangan. “Bacalah, dan sementara
sampai di sini pertemuan kita, nanti disambung lagi”.
Kedua gadis itu berpisah, saling
melambai, melangkah menuju pintu yang berbeda. Aula kembali diam. Di
luar langit telah padam berubah menjadi kegelapan. Hujan belum reda.
***
Sebuah pintu besi maha berat dan terkunci rapat
secara perlahan, namun pasti terkuak lebar setelah Relina membaca dan
memahami isi buku yang dipinjamkan Puspita. Ia terkurung di dalam
ruangan tertutup yang disebut dengan budaya patriakhi seumur hidupnya,
ia terjebak, menjerit, dan kesakitan dengan tekanan yang demikian berat
dan nyaris tak ada celah untuk keluar. Celah itu kini , melebar menjadi
daun pintu yang terpentang, sehingga Re merasa dapat menghirup udara
bebas dan menatap cakrawala yang tiada berbatas.
Ia pernah memvonis Hendra sebagai produk
absolut dari budaya patriakhi, satu sosok yang telah dikondisikan untuk
menjadi “diktator” di dalam sebuah lingkungan. “Diktator” bagi wanita
yang menjadi pasangan hidup, baik telah disyahkan maupun tidak. Kini,
mata Re terbuka, bahwa dirinyapun tak berbeda jauh dari Hendra, ia juga
satu sosok karakter hasil mutlak dari budaya yang sama. Satu karakter
yang terbentuk untuk berharap, tergantung, dan bermimpi akan kemuliaan
hati seorang pangeran dari negeri dongeng. Sang pangeran memang benar
hanya ada di dalam sebuah negeri dongeng, ia tak akan pernah turun ke
dunia sebagai realitas. Kecuali ia dapat terus terlelap dan bermimpi
selamanya. Ia memang telah bermimpi.
Re terjaga secara mengejutkan, selama ini
ia terjebak ke dalam kotak, dinding yang mengharuskan ia menggantungkan
diri terhadap laki-laki, sebagai pihak lemah yang harus dilindungi.
Mengapa ia harus merasa lemah? Mengapa ia harus dilindungi? Bukankah
selama ini ia menjalani hidup dengan keyakinan hati sepenuhnya? Ia dapat
menyelesaikan seluruh mata kuliah tanpa kehadiran laki-laki, ia dapat
menulis skripsi dan meraih gelar sarjana tanpa campur tangan laki-laki,
kecuali dosen pembimbing –dosen pembimbing bisa juga seorang perempuan,
ia dapat memperoleh pekerjaan mendapatkan penghasilan, dan mencapai
“power” tanpa campur tangan seorang kekasih atau suami.
Jadi, kepada siapa ia mesti bergantung
kecuali kepada dirinya sendiri? Laki-laki hanya seorang teman hidup,
iapun makhluk
“lemah” justru ketika tengah berhadapan dengan seorang perempuan, terlebih seorang perempuan cantik, cerdas, dan bermartabat. Ia dapat menjadi sosok perempuan seperti itu, dan ternyata tidak sulit. Ia menyadari artinya kemandirian, berkarya, berprestasi, dan berarti bagi orang lain. Hanya orang berjiwa besar yang dapat menerima dan diterima lingkungan tempat tinggalnya. Re tersenyum, kehidupan asrama telah mengkondisikannya untuk menjadi seperti itu, untuk bisa menerima dan diterima kondisi hidup yang paling keras sekalipun. Apa kini persoalannya?
“lemah” justru ketika tengah berhadapan dengan seorang perempuan, terlebih seorang perempuan cantik, cerdas, dan bermartabat. Ia dapat menjadi sosok perempuan seperti itu, dan ternyata tidak sulit. Ia menyadari artinya kemandirian, berkarya, berprestasi, dan berarti bagi orang lain. Hanya orang berjiwa besar yang dapat menerima dan diterima lingkungan tempat tinggalnya. Re tersenyum, kehidupan asrama telah mengkondisikannya untuk menjadi seperti itu, untuk bisa menerima dan diterima kondisi hidup yang paling keras sekalipun. Apa kini persoalannya?
Re menatap ke luar jendela dengan senyum
terkembang di bibirnya, dari bingkai jendela bunga hujan emas yang mekar
tampak lebih kuning, terjuntai lembut dari ketinggian seakan hendak
menggapai permukaan tanah, lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Re
tahu, ia akan melampaui hari-hari ke depan dengan lebih baik, tak ada
lagi dinding yang dapat membuatnya takut, karena ia telah melampaui
ketakutan itu sendiri. Re masih menggenggam buku itu dan membacanya
berulang kali, sehingga ia dapat menghapal isi di dalamnya.
“Mbak selamat pagi”, terdengar suara
asing bergema mengejutkan Relina, gadis itu menoleh. Ia segera mendapati
sesosok bayang, seorang gadis bercelana jeans warna biru langit dengan T
shirt dan sepatu kulit, sebuah tas kuliah tersandang di bahunya. Mereka
saling berpandangan, seolah mencoba untuk saling mengenal. “Maaf saya
Nelly, warga baru di sini, saya asal Medan, kuliah di jurusan
Pemerintahan tahun ke dua”, gadis yang mengaku sebagai warga baru itu
mengulurkan tangan, Relina segera menjabatnya, keduanya tersenyum.
“Saya Relina, sementara saya sendiri di
kamar ini, warga baru yang terakhir mengundurkan diri, gagal
bersosialisasi dengan asrama. Mari kutunjukkan kamarmu”, Re mengantar
Nelly ke dalam kamar dan menunjukkan dua pembaringan yang masih kosong.
“Kau bisa memilih tempat tidur mana yang engkau suka, barang-barang bisa
secepatnya engkau bawa kemari, engkau telah menjadi warga”.
“Baik mbak”, Nelly mengiakan, ia merasa
sejuk dengan sambutan Relina yang ramah. Ia telah menjadi warga baru
yang beruntung, sebagai senior Re telah mengubah kebiasaan dalam
menerima warga baru. Semua warga blok E harus bersikap yang sewajarnya,
tidak boleh mencurigai, mengintimidasi, menggunjing, “memusuhi”,
terlebih membuat si warga baru merasa tersisih. Demokrasi harus
diterapkan tanpa kecuali, khusus bagi warga baru yang “membandel”, maka
Re dapat mengambil tindakan keras, lebih keras dari tindakan senior
terdahulu, tanpa sandiwara atau dibuat-buat. Ia bertindak tegas dengan
sepenuhnya kesadaran, warga yang bengal memang harus ditertibkan.
Di samping Nelly, maka ada pula warga
baru yang lain, yaitu Theresia Kandida Kewawada, dipanggil Erdi, nona
manis asal Flores, Larantuka. Blok E mendapat jatah dua orang warga
baru, kini Relina yang tertua di blok ini, ia dapat berbuat apa saja
tanpa seorang warga dapat menegurnya. Dua orang warga baru sungguh manis
dan lugu, Re dan warga yang lain merasa terhibur, suasana asrama
menjadi ramai dan hidup. Nelly ternyata pintar melucu, ketika Re merasa
lelah dengan bimbingan skripsi, gadis itu dapat berpidato dengan
banyolan-banyolan yang menggelikan. Nelly bisa menyampaikan pedapat
dengan komunikatif, ia tak segan meminta pakaian Relina yang tak pernah
dikenakan, meminta uang untuk naik buskota ke kampus atau
bermanja-manja, karena ia sadar Relina menyayanginya.
Nelly menjadi adik kamar yang penurut,
namum kreatif. Kelak, Relina akan selalu teringat, bahwa ia tak pernah
sekalipun bertengkar selama tinggal sekamar dengan Nelly. Hal itu
mengobati sakit hati, bila ia mengingat kembali hubungannya dengan Dita
yang berakhir dengan tamparan pada pipi seniornya. Adapun Erdi, ia sama
manjanya dengan Nelly, gadis itu rutin datang setiap hari ke kamar untuk
bermacam keperluan. Ia mengalami sebuah kebebasan yang tak pernah
didapat warga sebelumnya. Kadang kala mereka berselisih, tetapi dengan
santai Re menegurnya kembali dan hubungan mereka segera menjadi akrab.
Mereka bertiga, Relina, Erdi, dan Nellt
tengah asyik menyantap bakso Malang Cak Mahmud ketika Puspita datang
dengan wajah segar selepas mandi. “Halo nona-nona, ada pesta kecil
rupanya?” suara Puspita terdengar nyaring seakan kicau burung prenjak.
“Hai, mari bergabung, masih ada bakso
menganggur”, Relina mempersilakan. “O ya, bukunya sudah selesai saya
baca, terima kasih, suatu teori yang jitu, tak ada lagi yang membuat
saya ketakutan”.
“Sementara saya juga sedang membaca,
pinjam dulu ya mbak”, Nelly membuka suara sambil asyik menyantap bakso.
Makanan rakyat ini telah menjadi kegemarannya, tentu saja setelah ayam
eski Arek-Arek Surabaya.
“O ya silakan”, Puspita mencicipi satu
sendok bakso dari mangkuk Relina. “Enak sekali, tetapi aku ada keperluan
lain. Motorku turun mesin, menginap di bengkel, jadi aku datang untuk
meminta kebaikan hatimu Re, boleh pinjam motormu?”
“O boleh, kebetulan saya tak kemana-mana,
besok mau tinggal di kamar membaca buku untuk memperdalam kerangka
teori”, Relina masuk ke dalam kamar dan keluar tak lama kemudian sambil
membawa kunci motor dan STNK. “Mau kemana mbak?” Re mengulurkan kedua
benda itu sambil bertanya.
“Ada deh, besok ceritanya. Okey sebelumnya terima kasih, saya permisi. Daaa.....”
“Daaa....” jawab Re, Nelly, dan Erdi
bersamaan. Mereka meneruskan makan malam bersama, suara gending dari
arah belakang asrama kembali terdengar syahdu seakan gema dari dunia
mistis.
Tiba-tiba terdengar suara intercome dari ruang tamu. “Tuuut....!”
“Yap!” Nelly menjawab tangkas.
“Selamat malam nona-nona, Erdi ada?”
terdengar suara berat dari pita seorang pemuda. Nelly sudah hapal suara
Yono, saudara laki-laki Erdi yang kuliah pada fakultas yang sama.
“Halo Yono apa kabar? Baik-baik saja
bukan? Erdi pergi sama pacarnya, aku aja yang turun ya?” dengan suara
kenes Nelly kembali beraksi.
“Ya, boleh turun yang penting bawa sepiring kue dan secangkir kopi”.
“Kopi mahal, kue juga mahal”, Nelly bersuara segenit mungkin, sehingga Re tergelak-gelak.
“Yono, Nelly bohong, Erdi ada. Kami ada
sandra adikmu, tebus dengan sekeranjang rambutan, maka engkau bisa
bertemu dengan adikmu. Ha ha ha....!” Relina kembali terpingkal-pingkal,
diikuti Nelly.
“Hei, kak Yono, tunggu dulu, sebentar
saya turun!” Tergesa Erdi berlari ke kamar, ia harus berpakaian rapi
sebelum turun ke ruang tamu. Ia sudah hapal memang pada kelakuan Re dan
Nelly dalam menyambut kedatangan kakaknya. “Saya ke ruang tamu dulu”.
“Salam untuk kakakmu, jangan lupa pada kunjungan berikut, wajib pajak dengan sekeranjang rambutan”, kata Relina.
“Iyo, salam kembali, rambutan belum
musim, harganya juga mahal”, suara Yono kembali terdengar di intercome,
seketika Nelly dan Relina terpingkal-pingkal, mereka tak mengira Yono
menguping pembicaraannya lewat intercome.
Sepeninggal Erdi, Relina dan Nelly
menghabiskan bakso hingga sendok terakhir kemudian mengemasi mangkok dan
membersihkan meja kotor. Relina segera menghadap meja belajar, membaca
buku, sementara Nelly membaca buku milik Puspita sambil berbaring di
tempat tidur. Suasana menjadi hening, Nelly menghidupkan radio, sedetik
kemudian bergema suara Roxette membawakan lagu andalan yang menjadi
soundtrack dalam flm Pretty Woman yang dibintangi Julia Robert dan
Richard Gere. Nelly mengecilkan volume, lagu itu hanya bisa didengar di
dalam ruangan, bening dan menyentuh.
Re merasa bosan membaca literatur, iapun
mengalihkan sasaran, membcaca novel dari penulis idolanya Sidney
Sheldon. Gadis itu tenggelam dalam petualangan kaum Separatis Eta,
spaonyol hingga tanpa terasa jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi.
Mata gadis itu terasa berat, kepalanya pening, badan mulai terasa linu,
basah keringat dingin.
Keesokan paginya Puspita datang ke kamar
Relina untuk mengembalikan kunci dan STNK, ia membawa pula sekotak kue
yang lezat. Puspita mendapati Relina dalam keadaan kurang sehat. Wajah
gadis itu tampak pucat dan kuyu, jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIB,
tetapi Relina belum beranjak dari tempat tidur. Nelly telah berangkat
kuliah usai piket membersihkan seisi kamar. “Re, kau tampak pucat?”
Puspita mengerutkan alisnya.
“Saya membaca literatur kemudian lanjut
dengan Sidney Seldon hingga pukul tiga pagi. Butir-butir waktu, dasyat
sekali”.
“Dasyat sih dasyat, tetapi kondisi
badanmu menurun. Mari kukeroki, kau hanya bisa sembuh dengan kerokan”,
Puspita menawarkan jasa baik. Mereka telah terbiasa saling kerok
mengerok, bila salah seorang berada dalam keadaan sakit. Seisi asrama
telah tahu akan kebiasaan itu. Pengobatan cara tradisionil ini terbukti
ampuh, karena segala sakit dan ngilu di sekujur badan akan menghilang.
“Baiklah”, Re mengikuti saran Puspita,
tanpa kerokan ia akan merasa linu berhari-hari, lemah, dan akibatnya
seluruh aktivitas terhenti. Re mengulurkan minyak kapak dengan sekeping
uang logam seratus rupiah, dan selembar tisu. Ia membuka pakaian hingga
tampaklah punggungnya yang halus, kuning, dan lembut. Re berbaring
menelungkup, Puspita mengoleskan minyak kemudian mulai menggores dengan
keping uang logam. Tangan gadis itu demikian ahli dalam melakukan hal
yang satu ini, Puspita melakukan gerakan berulang kali dengan tekana
kuat dan teratur.
“Merah Re, benar kau masuk angin”,
Puspita terus bertindak, sehingga seluruh punggung Relina tergores warna
merah secara simetris seperti bentuk duri ikan. Perlahan-lahan Relina
merasa ngilu di badannya menghilang, pengaruh minyak kapak memberikan
efek hangat. Iapun merasa nyaman. Acara kerok mengerok itupun berakhir,
Relina mencicipi kue yang dibawakan Puspita, ia dapat merasakan
kelezatannya. Puspita menyeduhkan pula segelas teh manis. “Lebih baik
kau istirahat, tidur sebentar dan bangun dalam keadaan lebih baik. Aku
pulang dulu, ada yang harus kukerjakan”.
“Baik terima kasih”, Relina kembali
berbaring, ia merasa cukup kenyang dengan segelas teh panas dan sekotak
kue pemberian Puspita. Gadis itu menjadi sakit bukan hanya karena
“wayangan”, ia memikirkan sesuatu yang lebih penting, bimbingan skripsi
yang menegangkan dan menyiksa seluruh urat saraf, iapun tersungkur. Ia
perlu satu dua hari istirahat untuk memulihkan stamina dan aktif deperti
sediakala.
***
Relina menuang santan ke dalam panci, membubuhinya
dengan agar-agar, ia measukkan pula gula merah dan gula pasir. Api
kompor menyala dalam warna biru, cairan itupun mendidih, Re mengaduk
telur menuangkan sedikit demi sedikit ke dalam cairan yang telah
mendidih. Iapun menuangnya ke dalam cetakan yang telah dilapisi dengan
biscuit regal. Re harus menunggu beberapa menit, sebelum agar-agar itu
mengeras, ia meletakkan agar-agar itu di meja yang terletak di koridor
sebagai tanda, bahwa siapapun warga yang lewat boleh memotong dan
mencicipinya. Re memisahkan beberapa potongan agar-agar ke dalam piring,
ia bermaksud membagi hasil masakannya untuk Inung.
Di dalam kamar Inung tengah duduk
melamun, ia hanya tinggal berdua dengan seorang warga baru, satu tempat
tidur kosong menunggu warga baru datang mengisinya. Sementara adik
kamarnya tengah kuliah sore, iapun tenggelam dalam kesendirian yang
menyakitkan. Sunyi yang menyentak dan mengulitinya, seandainya ia
berwenang mengubah takdir atau memutar jarum waktu ke belakang dan
memperbaiki segala sesuatu yang keliru kemudian meluruskan?
“Inung, sedang apa dirimu?” Relina muncul
dari balik pintu dengan piring berisi agar-agar. Ia mendapati Inung
tengah duduk menghadap meja belajar dengan sebuah buku agenda terbuka.
“Aku ada buat agar-agar, kuharap engkau menyukainya”, Re meletakkan
piring di atas meja belajar, tetapi Inung tampak tak berselera. Re tahu,
mengapa wajah Inung menjadi demikian murung. “Belum lama, ibu mbak Pita
meninggal, aku baru mengucap bela sungkawa. Sekarang aku juga harus
berbela sungkawa untuk kematian adik perempuanmu, kematian bisa datang
kapan saja, dengan banyak cara. Tuhan berkuasa untuk semua hal yang Ia
kehendaki”.
Inung melirik foto yang terletak di atas
meja berbingkai indah, tampak gambar close up dari seorang gadis remaja
bergaun putih dengan seraut wajah yang lembut dan mata teduh, wajah
yang demikian jernih. Wajah itu dinaungi rambut ikal yang disisir rapi
dengan jepit warna emas berkilauan. “Adikku begitu cantik, ia bukan
hanya cantik, tetapi memiliki hati yang lembut, dan sepasang tangan yang
telaten dalam mengurus seisi rumah, hanya tinggal beberapa bulan ia
berniat menyusul ke Yogya setelah studi di SMA selesai, tetapi maut
datang lebih cepat dari rencananya”, Inung mulai bersuara, perlahan dan
seakan merintih, matanya berkaca-kaca.
“Apa penyakitnya?”
“Adikku, Laras, ia sering mengeluh sakit
pada ulu hati, mungkin maag yang sudah sangat kronis. Aku tak tahu
persis apa yang telah terjadi, terakhir ia mengirim surat, ia menjadi
ketakutan dengan rencana perkawinan dari orang tuaku. Laras terlalu muda
untuk memahami apa itu perkawinan, ia baru tujuh belas tahun,
dijodohkan dengan seorang pengusaha dua kali dari usianya. Ketakutan
membuat penyakitnya bertambah parah, aku tak tahu apa yang sebenarnya
telah terjadi. Tubuhnya telah kaku ketika aku melihat untuk yang
terakhir kali”, air mata Inung menitik, setengah terisak ia kembali
bersuara, pandangan gadis itu hampa, seolah ia tengah berbicara kepada
dirinya sendiri ketika di sekitarnya tak ada siapa-siapa. “Kami lima
bersaudara, aku anak keempat, Laras adik bungsu, ia satu-satunya yang
kucintai dari seluruh yang dapat kumiliki. Ibuku memperlakukan kelima
anak dengan cara yang sanga berbeda. Anak laki-laki bebas dari segala
kewajiban mengurus rumah dan dapur, mereka diperlakukan seakan raja
meskipun tak akan pernah memiliki mahkota. Anak perempuan cuma debu,
jongos yang harus melayani kebutuhan sang raja, aku kesakitan dengan
semua perlakuan itu, Laras mengalami hal yang sama. Anak laki-laki bebas
pergi hingga malam menjadi larut, ia juga bisa mengejek anak perempuan
dengan kain jongos yang harus digenggan setiap hari. Kami merasa sangat
nista, Laras sering sakit-sakitan, karena dibebani kerja sehari-hari
yang sangat berat. Rumah kami sangat besar dengan tujuh buah kamar.
Tugas anak perempuan, aku dan Laras adalah membersihkan setiap hari
sepanjang tahun. Kami tak bisa meninggalkan rumah ketika azdan magrib
telah terdengar, pemali kata ibuku. Banyak teman laki-laki Laras datang
berkunjung, ia memang sangat santun dan menarik, adikku pintar menulis
puisi, ia sering diminta untuk menulis di majalah dinding untuk itu
teman-temannya datang berkunjung. Ibu selalu curiga dengan kedatangan
teman-teman Laras, satu kali Laras pernah sakit maag, muntah-muntah, ibu
menuduhnya tengah hamil, karena bergaul dengan teman laki-laki. Laras
terlalu lugu untuk disentuh laki-laki yang manapun, ia tak pernah
berpikir untuk hal yang terkutuk itu....” Inung menyusut air matanya.
“Laras sangat terpukul dengan perlakuan ibu, ia terlalu bocah untuk
membela diri, orang tua benar sepenuhnya, anak-anak cuma boneka yang
berhutang budi dan harus membayar dengan menurut, menurut setiap
perkataan dan perlakuan, benar atau salah. Saya atau Laras tak pernah
memohon untuk dilahirkan, ibu memutuskan sebuah malam pengantin dengan
ayah, maka kami ada....”
Relina termangu, ia seakan tersedot ke
dalam alur cerita Inung dengan tokoh Laras di dalamnya, ia dapat
merasakan pedih perih. Apakah benar, seorang ibu kandung dapat
berlaku seperti itu? Tetapi tak mungkin kiranya Inung berbohon. Jadi,
Laras adalah kisah nyata. Relina meraih tisu, mengulurkannya pada Inung, gadis itupun menyusut air matanya.
“Aku mengalami perasaan yang sama dengan
Laras, tetapi aku lebih keras kepala. Aku kerjakan semua tugas-tugas
jongos kemudian aku mengunci diri di kamar, belajar. Laras berusaha
mengikuti langkahku, tetapi hatinya terlalu peka. Ketika masih tingal
serumah Laras masih mempunyai teman untuk berkeluh kesah dan berbagi
tugas sebagai jongos, setelah aku kuliah, ia membanting tulang seharian
sebagai jongos tanpa teman untuk berkeluh kesah. Tekanan, bentakan, caci
maki dari ibu hampir diterima setiap hari. Saudara laki-lakiku tak ada
yang berhasil, mereka hanya petentang-petenteng memikul kelamin menuntut
modal dan modal untuk berusaha, namun tak pernah berhasil. Laras hanya
tinggal menunggu beberapa bulan untuk menyusulku ke Yogya dan keluar
dari kemelut ini, tetapi Tuhan berkehendak lain”.
“Ia dijodohkan dengan seorang pengusaha?” Re bertanya.
“Ya, seorang yang kaya raya, aku tahu
betapa ibu sangat berambisi tentang kekayaan, juga saudara laki-lakiku
yang lain. Laras dikorbankan, kalaulah aku boleh mendapatkan mukjizat,
aku ingin adikku dibangkitkan kembali, supaya aku dapat menyelamatkan
seperti aku sedang berusaha menyelamatkan diriku sendiri”, isak tangis
Inung mulai mereda, ia telah menumpahkan segala beban hati, selama ini
ia menyimpan persoalan ini, tetapi untuk apa ia menyembunyikan rahasia,
apabila setan itu terus menghantuinya.
“Ini adalah akibat terburuk dari budaya
patriakhi, budaya yang menempatkan laki-laki sebagai subyek dan
perempuan sebagai obyek, budaya yang tak akan berubah kecuali para
pelaku sadar, memahami, dan berusaha mengubahnya. Waktu terus berputar,
masa berganti. Camkan, suatu saat kita akan menjadi orang tua, akan
melahirkan keturunan laki-laki dan perempuan. Perlakukan mereka dengan
kewajiban dan hak yang sama, manusia menjadi berbeda bukan karena jenis
kelamin, tetapi karena budi pekerti dan perilakunya”.
“Memang benar begitu, pada banyak negara
kaum perempuan mengalami nasib yang serupa, gender selalu menjadi
masalah global, tetapi aku tak mengira, bahwa Laras adikku akan menjadi
korban, karenanya. Ibuku tak pernah bercerita penyakit apa yang telah
telah diderita Laras, tetapi adikku telah tiada”, Inung telah dapat
menguasai diri, ia perlu menuang segelas air putih, menegukknya untuk
membasahi tenggorokannya yang kering. “Maaf Re, aku membagi beban hidup
denganmu”.
“Bebagi dalam susah dan senang sudah
merupakan keharusan, jangan merasa bersalah. Aku juga mempunyai seorang
adik perempuan, Maya, aku ingin menyayanginya seperti engkau menyayangi
Laras, tetapi aku selalu gagal. Entahlah, aku tak dapat berbuat sebaik
dirimu”.
“Saudara dapat menjadi sahabat dapat pula
menjadi musuh, situasi dan pandangan hidup sangat mendukung, untuk
segala hal yang buruk kita dapat mengubah dari diri kita sendiri”.
“Terima kasih untuk kedatangan dan
nasehatmu. Ah, tiba-tiba aku merasa lapar, engkau membuat agar-agar?”
Inung mulai tertarik dengan agar-agar yang ditawarkan Relina. Ia sudah
merasa cukup berkeluh kesah, sudah cukup menumpahkan air mata. Kalaulah
air matanya berubah menjadi darah, sang adinda tak akan dapat
dibangkitkan kembali, ia telah terbaring dalam keabadian.
“Iya, ini untukmu, makanlah untuk tambah
tenaga. Boleh sedih, tetapi jangan berlarut-larut, engkau masih dapat
menyelamatkan Laras-Laras yang lain”, mereka masih terus bercakap-cakap
hingga hari menjadi gelap, jam malam tidak lagi ditandai dengan suara
dentuman gong delapan kali. Beberapa orang tamu sempat mengejek, suara
itu sama persis dengan bunyi rantang jatuh untuk mengusir mereka pergi.
Setelah gong itu hilang dicuri, koordinator seksi asrama mengganti
dengan suara instrumen musik di ruang tamu sebagai tanda jam berkunjung
sudah selesai.
“Perlu kutemani engkau tidur malam ini,
dari pada sendiri?” Re menawarkan diri, ia tahu betapa sepi rasa hati
seorang yang ditinggal pergi untuk selamanya.
“Aku tak merepotkanmu Re?”
“Tidak, aku mengunci kamar dulu, sebentar
datang lagi”, Re kembali ke kamar, beberapa menit kemudian ia kembali
lagi ke kamar Inung dengan membawa serta perlengkapan tidur.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar