Minggu, 02 Juni 2019

ASRAMA PUTRI --Tentang Relasi Gender-- EMPAT

 




 

Sang kala terus bergerak laksana rotasi gerobak pedati yang berputar perlahan namun pasti. Waktu selalu merubah segala sesuatu di luar kemampuan nalar manusia untuk memperkirakan. Waktu mengantar musim kemarau menuju musim penghujan, mengubah daun-daun kering yang gugur kembali tunas dan bermekaran. Waktu menggugurkan usia tua dan menggantinya dengan kehadiran kaum muda.
            Kemarau tahun ini telah meranggas hingga melampui batas yang biasanya menjadi ketentuan alam. Pohon kamboja hanya tinggal menyisakan cabang dan ranting tanpa selembarpun daun, tanah kering kerontang, debu ramai beterbangan, udara terik dan gerah. Sumber air di asrama mulai menyusut, jatah air berkurang. Setiap pagi dan sore apabila kamar yang bertugas mengalirkan air terlambat turun tangan, maka dari setiap blok akan terdengar teriakan nyaring, “Air! Air!” Kesulitan akan air adalah persoalan serius. Kemarau seakan memberangus sekalian suasana, sehingga kehidupan asrama serasa lengang.
            Warga-warga senior telah berhasil menyelsaikan studi, bergembira dalam upacara wisuda kemudian berkemas meninggalkan asrama. Sementara warga baru berdatangan menggantikan tempat-tempat yang kosong. Jumlah seluruh warga tak berubah, fluktuasi tetap delapan puluh mahasiswa. Karakter generasipun berubah, warga lama dapat bersantai-santai dengan masa kuliah, mereka tak pernah terburu untuk lulus, seorang sarjana bukan matang secara instan, akan tetapi melalui suatu proses dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pengalamn hidup akan mematangkan kemampuan akademisi seorang sarjana. Akan tetapi, mahasiswa sekarang dituntut dengan inflasi, dengan biaya semester yang semakin tinggi, harga pasar yang melambung, dan harga BBM yang mencekik. Keluhan dari orang tua berkaitan dengan biaya kuliah menyebabkan setiap mahasiswa harus berpacu dengan waktu untuk secepat mungkin meraih gelar sarjana, mendapatkan pekerjaan dengan syarat ijasah dan mengurangi beban orang tua, karena tak perlu lagi mendapat kiriman biaya kuliah.
            Suasana asramapun mulai berubah, bangunan itu seakan-akan bukan lagi “rumah” bagi mahasiswa yang tengah belajar, tetapi lebih tepat sebagai tempat singgah. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan dies natalis, bulan suci Ramadhan, bakti sosial, penerimaan warga baru, syukuran wisuda seakan kehilangan makna. Masing-masing warga sibuk dengan dirinya masing-masing kebersamaan menjadi renggang. Seringkali suasana menjadi nglangut dan lengang, tak terdengar gelak tawa dari sekumpulan warga yang bercengkerama atau kesibukan dalam rangka memperingati hari-hari isitimewa yang dikerjakan dengan sepenuh hati.
            Hari itu suasana asrama benar sunyi, sebagian warga mengikuti kuliah di kampus, sebagian KKN, yang lain tugas lapangan, selebihnya mencari pendapatan tambahan dengan memberi les pada siswa SMA. Pesawat televisi di aula padam tanpa suara, tak seorangpun warga tampak asyik mengikuti acara televisi. Kemarau menambah gerah suasana, suhu udara meningkat, tetapi di atas langit mulai gelap. Tanda-tanda kemarau akan berakhir tampaknya sudah mulai tampak dan mendekat.
            Puspita berdiri di atas balkon, ia menatap pepohonan yang meranggas tampak merana, karena kekurangan air. Ia telah hampir enam tahun menjadi penghuni di asrama, ia pernah melampuai proses sosialisasi yang sulit sebagai warga baru, perlahan-lahan menjadi bagian dari kehidupan asrama melalui bermacam kegiatan asrama yang telah menjadi semacam rituil. Ia bersahabat dan berselisih dengan warga yang lain sebagamana biasanya setiap individu yang hidup menjadi bagian sebuah komunitas. Kini, ia termasuk senior, warga tertua di blok G dan di asrama.
            Saat menjadi warga baru Puspita pernah berandai-andai, alangkah senangnya menjadi senior, ia pasti terbebas dari segala tekanan mengerikan dan dapat bebas berbuat apa saja. Ternyata antara senior dan warga baru hanya dapat saling memandang, masing-masing memiliki persoalan yang berbeda, dan persoalan itu sama bobotnya. Inan, Irin, Santi, dan senior galak lainnya telah berkiparah di dunia kerja, kehidupan asrama bagi mereka hanya merupakan sepenggal masa lalu. Demikian pula dengan Murni, Sisi, Sunarti, Agnes, dan Soraya, sahabat-sahabatnya telah mendahului berhasil meraih gelar sarjana, mendapatkan jati diri dengan segala status yang dimiliki.
            Puspita merasakan sebuah keseimbangan antara sayang dan benci ketika “musuh” dan sahabat-sahabatnya masih menghidupi suasana di asrama ini. Kini, mereka telah pergi. Mestinya Puspita merasa damai, karena ia tak terusik lagi dengan sikap jail “musuh-musuh” yang sering menyakitkan hati. Akan tetapi, aneh, kehidupan ini kehilangan “greget”, kehilangan seni, kehilangan keseimbangan ketika ia justru memperoleh kebebasannya. Ia teringat betapa nyaman ketika ia dan sahabat-sahabat dapat memanasi “musuh-musuh” dengan ulah sikap yang membuat mereka meradang. Sungguh nikmat membuat orang yang tidak disenangi merasa dendam dan kalah. Sementara malam-malam dan acara intern yang diselenggarakan bersama para sahabat telah menyulut kehangatan. Sungguhpun jauh dari keluarga, ia tak benar-benar seorang diri, ia memiliki “musuh” dan sahabat dengan kekuatan yang seimbang.
            Sekarang Puspita tak punya lawan, praktis ia kehilangan “greget” sepercik api yang dapat  membakar semangat untuk menyalakan kehidupan hari ini. Puspita mengerti, mengapa setelah kemenangan dalam perang Bharatayuda, Pandawa justru menjadi lemah. Satu per satu kesatria pandawa gugur dalam perjalanan menuju pertapaan untuk mencapai moksa. Mereka gugur ditelan sunyi dan sebuah keseimbangan yang terguncang. Seorang tak akan pernah mecapai gelar kesatria bila tak mempunyai peluan bertarung dengan raksasa –tanpa ada buto terong, maka pagelaran wayang tidak akan pernah ramai-- Apa yang mau dikerjakan seorang satria ketika perang berdarah-darah telah usai?
            Puspita didera rasa rindu terhadap warga –sahabat—yang menggores kenangan manis pada hari-hari yang telah lalu. Ia seakan masih dapat merasakan kehadiran dan gelak tawa yang menyebabkan ia merasa asrama ini benar tempat tinggalnya. Lidah Puspita menjadi pahit ketika ia menyadari suasana di asrama ini telah menjadi asing. Seorang senior berarti orang tua asuh bagi warga blok dan warga asrama lainnya. Seorang tua tak boleh mengeluh, tak boleh menampakkan wajah sedih, seorang tua harus menunjukkan sikap kuat dan mampu untuk setiap tanggung jawab yang harus dipikul, seorang tua harus dapat mengambil sikap dan keputusan apapun resikonya. Dan ternyata, betapa tidak mudah semua itu. Puspita mengerti, mengapa senior asrama kala itu dapat menjadi demikian galak, judes, dan menakutkan. Mereka memikul beban tanggung jawab untuk menyatukan kehidupan warga asrama yang terdiri atas bermacam suku, agama, dan golongan dengan bermacam karakter yang berbeda. Asrama adalah masyarakat kecil, di dalamnya menetap sebuah keluarga besar, tanpa adanya pihak yang mampu menyatukan segalanya akan terpecah belah, seperti yang telah terjadi pada saat sekarang ini.
            Sementara persoalan  bukan hanya mengenai kehidupan di asrama. Ia telah menyelesaikan seluruh mata kuliah dan KKN, kecuali skripsi. Karya ilmiah yang merupakan tanda dari kemampuan seorang mahasiswa menyerap seluruh materi kuliah, menginterprestasi sekaligus mengapresiasikannya. Skripsi acapkali menjadi momok bagi sekalian mahasiswa ini, untuk sebab yang satu ini seorang mahasiswa lebih baik memilih DO. Gagal menyusun skripsi berarti gagal dalam menguasai sekaligus menterjemahkan segenap materi kuliah yang pernah dipelajari. Dan ia, Puspitasari, ia tak mau gagal. Ia pernah berniat mengikuti ujinan masuk ke perguruan tinggi untuk sebuah cita-cita, keberhasilan. Di samping skripsi, maka persoalan hidup terus melilit tak berkesudahan, Puspita tahu sebagai makhluk ciptaan-Nya ia tengah dicoba.
            “Non, lagi ngapain, saya cari di kamar, sunyi, ternyata sedang menyendiri di sini?” sebuah suara memecah, mengejutkan Puspita.
            “Hai Re, aku sedang menunggu hujan, Puspita menatap langit yang telah diliputi mendung hitam, hatinya bersorak, ia lelah melewati kemarau panjang.
            Relina menatap wajah sendu seniornya, mereka telah membangun komunikasi secara perlahan-lahan dan memeliharanya dengan baik. Jarak antara warga baru dan senior telah lama tertutup, yang ada kini ikatan persahabatan. “O ya, aku ikut berbela sungkawa atas meninggalnya ibunda”, Relina mengulurkan tangan, Puspita menjabat tangan itu dengan lemah. Ia masih dalam suasana berkabung, duka yang sungguh dalam, ia pernah berangan-angan sebuah foto wisuda di antara ayah bunda, tetapi sang ayah telah lama pergi. Akhirnya ibundapun menyusulnya, angan-angan itu hanya tinggal pecahan kaca yang berkeping-keping. Ia telah kehilangan orang-orang yang dicintai sebelum mampu menggapai cita-cita.
            “Ibu sakit apa?” Relina menempatkan diri duduk menyudut di dekat Puspita.
            “Ibu tidak sakit apa-apa, ia telah selesai membersihkan seisi rumah, berbaring di tempat tidur kemudian terlelap selamanya. Ibu seorang wanita Jawa yang berpikir sederhana, tak ada pikiran apapun di kepalanya kecuali mengabdi kepada suami dan anak-anak. Ia menerima segala perlakuan ayah, baik dan buruk tanpa protes tanpa berkeluh kesah, bagi ibu memang demikianlah takdir yang harus dijalani seorang wanita”, pandangan Puspita menerawang jauh, ia merasa terhibur dengan kehadiran Relina, sungguhpun gadis itu tak dapat merubah apapun dalam hidupnya, kecuali teman untuk berkeluh kesah. 
            “Saya baru pulang dari rumah ketika teman-teman menyampaikan berita duka ini. Semoga mbak Pita mendapatkan kekuatan untuk menghadapi semua ini. Segala yang pernah hidup pasti akan berpulang kepada Sang Pencipta, ibu pasti seorang yang sangat baik, kematian datang dengan mudah tanpa sakit yang berkepanjangan”, Relina mencoba menghibur.
            “Terima kasih Re, aku  menyesal, karena belum berhasil menjadi apa-apa, aku masih harus berjuang. Aku tak sempat membalas budi, tak sempat membuktikan betapa ibu tak sia-sia melahirkan kemudian membesarkanku. Ah, aku tak punya lagi tempat kembali....”
            “Bukankah mbak Pita masih punya rumah untuk pulang?”
            “Benar, tetapi aku tak mau pulang untuk bertemu dengan wajah asing, wajah yang melukaiku. Aku telah mendapatkan panggilan kerja di Irian, tetapi syaratnya harus lulus dulu. Nanti, aku akan pergi selamanya dari rumah tinggalku dan menuju ke tempat yang sama sekali baru”.
            “Saudara-saudara mbak Pita ada di mana?”
            “Saudaraku dua, semua telah berkeluarga, ke rumah saudara akhirnya aku memutuskan untuk berlibur, mereka pula yang bertanggung jawab membiayai kuliahku sampai selesai”.
            “Siapa yang tinggal di rumah mbak Pita sekarang?”
            “Seorang dengan wajah asing, untuk wajah yang satu ini kumohon engkau tidak menanyakan, biarlah ia menjadi bagian dari masa lalu. Kita hidup di masa sekarang dan masa depan”.
            “Mbak Pita beruntung, masih bisa mengenal ibu kandung yang melahirkan kemudian membesarkan. Saya hanya mengenal wajah ibu lewat sebuah foto yang semakin hari semakin buram, saya tak pernah tahu siapa ibu yang melahirkanku, ayah tak pernah bercerita”.
            Kata-kata Relina membuat Puspita tertegun, ia seakan tak percaya ketika menatap dalam-dalam wajah Relina, betapa kosong tatapan mata gadis itu, kosong dan sayu. Ia masih tenggelam dalam nestapa, karena kematian orang yang dicintainya, dan ia masih beruntung, karena ia mengenal persis siapa wanita itu. Ia mendapatkan kasih sayang, perhatian, tanggung jawab dalam segala ketulusan hati. Sedangkan Relina, ia tak pernah mengenal ibu yang melahirkan, tak merasakan kasih sayang, dan tanggung jawab. Relina bahkan tak pernah yakin, sang ibu masih hidup atau telah tiada. Uf, betapa berliku jalan hidup ini!
            Mereka masih terus bercakap-cakap hingga tiba-tiba mendung menjadi jenuh, berubah menjadi rinai gerimis, dan tertumpah menjadi hujan. “Ayo kita ke dalam”, Puspita meraih tangan Relina, masuk ke dalam aula, keduanya melanjutkan bercakap-cakap di dekat jendela sambil menikmati hujan runtuh dari langit, menyudahi kemarau panjang. Perlahan-lahan tercium bau harum tanah basah, dari arah barat, sinar matahari yang pucat masih lurus menembus melalui celah-celah mendung yang terkuak tersibak angin. Rinai hujan berubah seakan rangkaian bola kristal yang jatuh secara beraturan, luruh ke dalam tanah kemudian musnah. Pepohonan yang meranggas, ranting yang kerang kerontang seketika basah kuyup seakan kedinginan. Debu-debu lelap kembali menyatu dengan tanah. Udara gerah segera berubah menjadi sejuk. Angin menebar bau harum tanah ke seluruh penjuru.
            “O ya, malam Minggu ini kamu kemana Re?”
            “Saya mau baca novel, Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari”.
            “Tidak bermalam Minggu dengan si doi?”
            “Tidak, lebih asyik membaca novel”.
            “Aku pernah melihatmu dengan mahasiswa hukum, tapi sudah lama sekali”.
            “Kami sudah bersepakat untuk berpisah”.
            “Kelihatannya kalian cukup serasi”.
            “Dari luar mungkin, tapi Hendra cuma seorang pemimpi, ia menekan saya untuk tampil selayaknya selebritis. Satu hal yang tidak mungkin, ia sendiri cuma seorang mahasiswa abadi, tinggal di kamar kost dan mencari tambahan penghasilan dengan menjadi pelukis jalanan. Ia selalu bermimpi untuk menikahi seorang selebritis atau paling tidak anak seorang artis supaya ia dapat menumpang popularitas, karena ia tak mungkin terkenal dengan kemampuan yang dimiliki. Ia tidak tahu betapa rumit hidup yang harus saya jalani. Saya ingin menjadi diri saya sendiri, menyelesaikan kuliah, mencari pekerjaan, lepas dari beban orang tua, melakukan hal terbaik yang dapat saya lakukan. Bagaimana dengan mbak Pita skripsi?”
            Puspita tak segera menjawab, nasibnya kini ada di tangan dosen pembimbing. Dalam situasi tertentu seorang dosen seakan dewata yang berwenang penuh menentukan hidup mati mahasiswa. Dosen senior seringkali bersikap idealis, terlalu idealis, sehingga kadang kala bimbingan skripsi harus dilakukan selama bertahun-tahun, hingga orang tua mahasiswa yang bersangkutan meninggal dan iapun datang melayat, menyampaikan bela sungkawa sambil berurai air mata. Kini, ia telah kehilangan kedua orang tua, tetapi sang pembimbing tak pernah tahu apa yang telah berlaku dalam liku-liku hidupnya. Seorang mahasiswa dengan bodi sekekar Tarzan bahkan mesti berkeringat dingin manakala harus menghadap dosen pembimbing dalam rangka konsultasi. Iapun harus mengatur waktu secermat mungkin, memberanikan diri, mengawali dengan doa dan melawan sakit mulas di perutnya sebelum menghadap pembimbing. Duh Gusti!
            “Proposalku sudah disetujui, tetapi pembimbingku seorang profesor yang sangat sibuk. Ia sibuk dan idealis, aku kesulitan untuk membangun komunikasi. Mungkin harus kulakukan strategi yang tepat untuk mempermudah jalur, sehingga ia dapat memahami kesulitanku. Skripsimu sendiri bagaimana Re?”
            “Saya baru mengajukan proposal, sementara disidangkan, pulang KKN baru persiapan untuk pengambilan data di lapangan kemudian mulai menulis. O ya, nanti malam Minggu acara kemana?”
            “Aku masih alam suasana duka, aku mau menyepi di kamar tamu, memanjatkan doa untuk ibu”, kamar tamu terletak di dekat ruang administrasi, sementara dalam keadaan kosong. Kamar itu biasa digunakan untuk mahasiswa yang memerlukan ketenangan tanpa terganggu oleh suara gaduh dari warga yang lain.
              Di luar hujan turun semakin deras, setiap orang pasti merasa gembira dengan perubahan musim. Kemarau panjang berakhir sudah, di halaman beberapa orang warga bahkan ada yang tampak bermain hujan sambil menampung air dari cucuran talang. Perlahan-lahan langitpun padam.
            “Re, blok E sudah terima undangan perkawinan dari mbak Yulistin?”
            “Sudah”.
            “Re mau datang?”
            “Saya harus memantau perkembangan proposal, pasti ada yang harus diperbaiki, lagipula Surabaya cukup jauh dari Yogya. Mbak Pita datang?”
            “Sepertinya begitu, Yulistin kawan dekat saat ia masih tinggal di blok G, ia pasti kecewa kalau aku tidak hadir pada perkawinannya. Kemarin ia menelepon, menyampaikan ucapan bela sungkawa sekaligus meminta kesanggupanku datang. Aku akan berusaha datang, masih dua minggu lagi”.
            “Aku bisa titip hadiah kecil?”
            “Bisa”.
            “Bagaimana pula dengan rencana perkawinan mbak Pita?” Relina mengalihkan pembicaraan.
            Pertanyaan ini membuat Puspita terdiam, baginya perkawinan merupakan sebuah lembaga sakral yang disyahkan sekali dalam hidup dan itu untuk selamanya. Bukan suatu hal yang mudah untuk menentukan teman hidup, karena ia bahkan belum mampu menjadi dirinya sendiri. Ia belum akan memutuskan untuk mencetak undangan perkawinan sebelum urusan perkuliahan selesai, sebelum ia mendapatkan pekerjaan. Toh jodoh tetap Tuhan yang mengaturnya. “Aku belum memikirkan, yang lebih penting bagiku adalah menyelesaikan skripsi, yang lain menyusul, ada yang lebih penting sebelum membagikan undangan perkawinan”.
            “Pada beberapa kasus saya melihat setelah menjalani perkawinan, wanita justru mengalami tekanan hidup yang berlebihan, kekerasan dalam rumah tangga dan seterusnya. Saya tak akan sebebas ini apabila harus sibuk mengurusi anak-anak dan suami’.
            “Kau tak berniat menikah Re?”, Puspita melihat adanya kecenderungan wanita memilih hidup melajang hingga usia tua, karena beberapa alasan, termasuk kenyataan yang berbalik dari impian-impian seorang pengantin.
            “Saya melihat banyak pengalaman buruk dari wanita yang menikah, pengalamanku dengan Hendra juga mengajarkan demikian. Bila perkawinan membuat hidup menjadi lebih baik saya akan menjalani, bila tidak, saya merasa tidak ada yang kurang dari hidup yang sedang saya jalani”, Relina teringat pada perkawinan orang tuanya, ia bahkan tak pernah mengenal ibunya, ibu tirinya kini mengalami persoalan rumit dengan kesalahan-kesalahan ayah baik yang sengaja maupun yang tidak. Re tahu ibu bertahan bagi Maya, anak kandungnya memerlukan keluarga, memerlukan ibu dan ayah. Keberadaan dirinya adalah beban tersendiri bagi ibu, tetapi wanita itu tetap tabah, ia menunjukkan rasa cinta dan bakti yang berlebihan pada sang suami. Ibu berhemat, menabung dari uang sisa belanja, setelah uang itu terkumpul, maka ayah akan melakukan tekanan  mencomotnya, dengan banyak cara. Ketika ayah memanen hasil keuntungan, ia mulai menyusun rencana belanja tanpa meminta pertimbangan ibu, sehingga uang itu ludes tanpa sisa. Seterusnya ayah akan kembali menekan uang simpanan yang dikumpulkan ibu dengan susah payah. Tekanan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Hebatnya, ibu tak pernah rubuh dengan kesulitan yang menimpa hingga setua umur perkawinannya. Ia mengutamakan tanggung jawab bagi masa depan anak-anak, sungguhpun ia cuma seorang anak tiri. Re membayangkan, ia tak akan pernah mampu menghadapi persoalan seperti ini.
            “Ada sebuah buku menarik, kau harus membacanya, buku tentang jati diri seorang wanita. Aku pernah merasa gamang sepertimu, tetapi buku itu lebih dari sekedar cukup sebagai solusi. Tunggu di sini”. Puspita berdiri beranjak ke kamar dan kembali tak lama kemudian dengan sebuah buku di tangan. “Bacalah, dan sementara sampai di sini pertemuan kita, nanti disambung lagi”.
            Kedua gadis itu berpisah, saling melambai, melangkah menuju pintu yang berbeda. Aula kembali diam. Di luar langit telah padam berubah menjadi kegelapan. Hujan belum reda.
                                                        ***
Sebuah pintu besi maha berat dan terkunci rapat secara perlahan, namun pasti terkuak lebar setelah Relina membaca dan memahami isi buku yang dipinjamkan Puspita. Ia terkurung di dalam ruangan tertutup yang disebut dengan budaya patriakhi seumur hidupnya, ia terjebak, menjerit, dan kesakitan dengan tekanan yang demikian berat dan nyaris tak ada celah untuk keluar. Celah itu kini , melebar menjadi daun pintu yang terpentang, sehingga Re merasa dapat menghirup udara bebas dan menatap cakrawala yang tiada berbatas.
            Ia pernah memvonis Hendra sebagai produk absolut dari budaya patriakhi, satu sosok yang telah dikondisikan untuk menjadi “diktator” di dalam sebuah lingkungan. “Diktator” bagi wanita yang menjadi pasangan hidup, baik telah disyahkan maupun tidak. Kini, mata Re terbuka, bahwa dirinyapun tak berbeda jauh dari Hendra, ia juga satu sosok karakter hasil mutlak dari budaya yang sama. Satu karakter yang terbentuk untuk berharap, tergantung, dan bermimpi akan kemuliaan hati seorang pangeran dari negeri dongeng. Sang pangeran memang benar hanya ada di dalam sebuah negeri dongeng, ia tak akan pernah turun ke dunia sebagai realitas. Kecuali ia dapat terus terlelap dan bermimpi selamanya. Ia memang telah bermimpi.
            Re terjaga secara mengejutkan, selama ini ia terjebak ke dalam kotak, dinding yang mengharuskan ia menggantungkan diri terhadap laki-laki, sebagai pihak lemah yang harus dilindungi. Mengapa ia harus merasa lemah? Mengapa ia harus dilindungi? Bukankah selama ini ia menjalani hidup dengan keyakinan hati sepenuhnya? Ia dapat menyelesaikan seluruh mata kuliah tanpa kehadiran laki-laki, ia dapat menulis skripsi dan meraih gelar sarjana tanpa campur tangan laki-laki, kecuali dosen pembimbing –dosen pembimbing bisa juga seorang perempuan, ia dapat memperoleh pekerjaan mendapatkan penghasilan, dan mencapai “power” tanpa campur tangan seorang kekasih atau suami.
            Jadi, kepada siapa ia mesti bergantung kecuali kepada dirinya sendiri? Laki-laki hanya seorang teman hidup, iapun makhluk
“lemah” justru ketika tengah berhadapan dengan seorang perempuan, terlebih seorang perempuan cantik, cerdas, dan bermartabat. Ia dapat menjadi sosok perempuan seperti itu, dan ternyata tidak sulit. Ia menyadari artinya kemandirian, berkarya, berprestasi, dan berarti bagi orang lain. Hanya orang berjiwa besar yang dapat menerima dan diterima lingkungan tempat tinggalnya. Re tersenyum, kehidupan asrama telah mengkondisikannya untuk menjadi seperti itu, untuk bisa menerima dan diterima kondisi hidup yang paling keras sekalipun. Apa kini persoalannya?
            Re menatap ke luar jendela dengan senyum terkembang di bibirnya, dari bingkai jendela bunga hujan emas yang mekar tampak lebih kuning, terjuntai lembut dari ketinggian seakan hendak menggapai permukaan tanah, lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Re tahu, ia akan melampaui hari-hari ke depan dengan lebih baik, tak ada lagi dinding yang dapat membuatnya takut, karena ia telah melampaui ketakutan itu sendiri. Re masih menggenggam buku itu dan membacanya berulang kali, sehingga ia dapat menghapal isi di dalamnya.
            “Mbak selamat pagi”, terdengar suara asing bergema mengejutkan Relina, gadis itu menoleh. Ia segera mendapati sesosok bayang, seorang gadis bercelana jeans warna biru langit dengan T shirt dan sepatu kulit, sebuah tas kuliah tersandang di bahunya. Mereka saling berpandangan, seolah mencoba untuk saling mengenal. “Maaf saya Nelly, warga baru di sini, saya asal Medan, kuliah di jurusan Pemerintahan tahun ke dua”, gadis yang mengaku sebagai warga baru itu mengulurkan tangan, Relina segera menjabatnya, keduanya tersenyum.
            “Saya Relina, sementara saya sendiri di kamar ini, warga baru yang terakhir mengundurkan diri, gagal bersosialisasi dengan asrama. Mari kutunjukkan kamarmu”, Re mengantar Nelly ke dalam kamar dan menunjukkan dua pembaringan yang masih kosong. “Kau bisa memilih tempat tidur mana yang engkau suka, barang-barang bisa secepatnya engkau bawa kemari, engkau telah menjadi warga”.
            “Baik mbak”, Nelly mengiakan, ia merasa sejuk dengan sambutan Relina yang ramah. Ia telah menjadi warga baru yang beruntung, sebagai senior Re telah mengubah kebiasaan dalam menerima warga baru. Semua warga blok E harus bersikap yang sewajarnya, tidak boleh mencurigai, mengintimidasi, menggunjing, “memusuhi”, terlebih membuat si warga baru merasa tersisih. Demokrasi harus diterapkan tanpa kecuali, khusus bagi warga baru yang “membandel”, maka Re dapat mengambil tindakan keras, lebih keras dari tindakan senior terdahulu, tanpa sandiwara atau dibuat-buat. Ia bertindak tegas dengan sepenuhnya kesadaran, warga yang bengal memang harus ditertibkan.
            Di samping Nelly, maka ada pula warga baru yang lain, yaitu Theresia Kandida Kewawada, dipanggil Erdi, nona manis asal Flores, Larantuka. Blok E mendapat jatah dua orang warga baru, kini Relina yang tertua di blok ini, ia dapat berbuat apa saja tanpa seorang warga dapat menegurnya. Dua orang warga baru sungguh manis dan lugu, Re dan warga yang lain merasa terhibur, suasana asrama menjadi ramai dan hidup. Nelly ternyata pintar melucu, ketika Re merasa lelah dengan bimbingan skripsi, gadis itu dapat berpidato dengan banyolan-banyolan yang menggelikan. Nelly bisa menyampaikan pedapat dengan komunikatif, ia tak segan meminta pakaian Relina yang tak pernah dikenakan, meminta uang untuk naik buskota ke kampus atau bermanja-manja, karena ia sadar Relina menyayanginya.
            Nelly menjadi adik kamar yang penurut, namum kreatif. Kelak, Relina akan selalu teringat, bahwa ia tak pernah sekalipun bertengkar selama tinggal sekamar dengan Nelly. Hal itu mengobati sakit hati, bila ia mengingat kembali hubungannya dengan Dita yang berakhir dengan tamparan pada pipi seniornya. Adapun Erdi, ia sama manjanya dengan Nelly, gadis itu rutin datang setiap hari ke kamar untuk bermacam keperluan. Ia mengalami sebuah kebebasan yang tak pernah didapat warga sebelumnya. Kadang kala mereka berselisih, tetapi dengan santai Re menegurnya kembali dan hubungan mereka segera menjadi akrab.
            Mereka bertiga, Relina, Erdi, dan Nellt tengah asyik menyantap bakso Malang Cak Mahmud ketika Puspita datang dengan wajah segar selepas mandi. “Halo nona-nona, ada pesta kecil rupanya?” suara Puspita terdengar nyaring seakan kicau burung prenjak.
            “Hai, mari bergabung, masih ada bakso menganggur”, Relina mempersilakan. “O ya, bukunya sudah selesai saya baca, terima kasih, suatu teori yang jitu, tak ada lagi yang membuat saya ketakutan”.
            “Sementara saya juga sedang membaca, pinjam dulu ya mbak”, Nelly membuka suara sambil asyik menyantap bakso. Makanan rakyat ini telah menjadi kegemarannya, tentu saja setelah ayam eski Arek-Arek Surabaya.
            “O ya silakan”, Puspita mencicipi satu sendok bakso dari mangkuk Relina. “Enak sekali, tetapi aku ada keperluan lain. Motorku turun mesin, menginap di bengkel, jadi aku datang untuk meminta kebaikan hatimu Re, boleh pinjam motormu?”
            “O boleh, kebetulan saya tak kemana-mana, besok mau tinggal di kamar membaca buku untuk memperdalam kerangka teori”, Relina masuk ke dalam kamar dan keluar tak lama kemudian sambil membawa kunci motor dan STNK. “Mau kemana mbak?” Re mengulurkan kedua benda itu sambil bertanya.
            “Ada deh, besok ceritanya. Okey sebelumnya terima kasih, saya permisi. Daaa.....”
            “Daaa....” jawab Re, Nelly, dan Erdi bersamaan. Mereka meneruskan makan malam bersama, suara gending dari arah belakang asrama kembali terdengar syahdu seakan gema dari dunia mistis.
            Tiba-tiba terdengar suara intercome dari ruang tamu. “Tuuut....!”
            “Yap!” Nelly menjawab tangkas.
            “Selamat malam nona-nona, Erdi ada?” terdengar suara berat dari pita seorang pemuda. Nelly sudah hapal suara Yono, saudara laki-laki Erdi yang kuliah pada fakultas yang sama.
            “Halo Yono apa kabar? Baik-baik saja bukan? Erdi pergi sama pacarnya, aku aja yang turun ya?” dengan suara kenes Nelly kembali beraksi.
            “Ya, boleh turun yang penting bawa sepiring kue dan secangkir kopi”.
            “Kopi mahal, kue juga mahal”, Nelly bersuara segenit mungkin, sehingga Re tergelak-gelak.
            “Yono, Nelly bohong, Erdi ada. Kami ada sandra adikmu, tebus dengan sekeranjang rambutan, maka engkau bisa bertemu dengan adikmu. Ha ha ha....!” Relina kembali terpingkal-pingkal, diikuti Nelly.
            “Hei, kak Yono, tunggu dulu, sebentar saya turun!” Tergesa Erdi berlari ke kamar, ia harus berpakaian rapi sebelum turun ke ruang tamu. Ia sudah hapal memang pada kelakuan Re dan Nelly dalam menyambut kedatangan kakaknya. “Saya ke ruang tamu dulu”.
            “Salam untuk kakakmu, jangan lupa pada kunjungan berikut, wajib pajak dengan sekeranjang rambutan”, kata Relina.
            “Iyo, salam kembali, rambutan belum musim, harganya juga mahal”, suara Yono kembali terdengar di intercome, seketika Nelly dan Relina terpingkal-pingkal, mereka tak mengira Yono menguping pembicaraannya lewat intercome.
            Sepeninggal Erdi, Relina dan Nelly menghabiskan bakso hingga sendok terakhir kemudian mengemasi mangkok dan membersihkan meja kotor. Relina segera menghadap meja belajar, membaca buku, sementara Nelly membaca buku milik Puspita sambil berbaring di tempat tidur. Suasana menjadi hening, Nelly menghidupkan radio, sedetik kemudian bergema suara Roxette membawakan lagu andalan yang menjadi soundtrack dalam flm Pretty Woman yang dibintangi Julia Robert dan Richard Gere. Nelly mengecilkan volume, lagu itu hanya bisa didengar di dalam ruangan, bening dan menyentuh.
            Re merasa bosan membaca literatur, iapun mengalihkan sasaran, membcaca novel dari penulis idolanya Sidney Sheldon. Gadis itu tenggelam dalam petualangan kaum Separatis Eta, spaonyol hingga tanpa terasa jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Mata gadis itu terasa berat, kepalanya pening, badan mulai terasa linu, basah keringat dingin.
            Keesokan paginya Puspita datang ke kamar Relina untuk mengembalikan kunci dan STNK, ia membawa pula sekotak kue yang lezat. Puspita mendapati Relina dalam keadaan kurang sehat. Wajah gadis itu tampak pucat dan kuyu, jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, tetapi Relina belum beranjak dari tempat tidur. Nelly telah berangkat kuliah usai piket membersihkan seisi kamar. “Re, kau tampak pucat?” Puspita mengerutkan alisnya.
            “Saya membaca literatur kemudian lanjut dengan Sidney Seldon hingga pukul tiga pagi. Butir-butir waktu, dasyat sekali”.
            “Dasyat sih dasyat, tetapi kondisi badanmu menurun. Mari kukeroki, kau hanya bisa sembuh dengan kerokan”, Puspita menawarkan jasa baik. Mereka telah terbiasa saling kerok mengerok, bila salah seorang berada dalam keadaan sakit. Seisi asrama telah tahu akan kebiasaan itu. Pengobatan cara tradisionil ini terbukti ampuh, karena segala sakit dan ngilu di sekujur badan akan menghilang.
            “Baiklah”, Re mengikuti saran Puspita, tanpa kerokan ia akan merasa linu berhari-hari, lemah, dan akibatnya seluruh aktivitas terhenti. Re mengulurkan minyak kapak dengan sekeping uang logam seratus rupiah, dan selembar tisu. Ia membuka pakaian hingga tampaklah punggungnya yang halus, kuning, dan lembut. Re berbaring menelungkup, Puspita mengoleskan minyak kemudian mulai menggores dengan keping uang logam. Tangan gadis itu demikian ahli dalam melakukan hal yang satu ini, Puspita melakukan gerakan berulang kali dengan tekana kuat dan teratur.
            “Merah Re, benar kau masuk angin”, Puspita terus bertindak, sehingga seluruh punggung Relina tergores warna merah secara simetris seperti bentuk duri ikan. Perlahan-lahan Relina merasa ngilu di badannya menghilang, pengaruh minyak kapak memberikan efek hangat. Iapun merasa nyaman. Acara kerok mengerok itupun berakhir, Relina mencicipi kue yang dibawakan Puspita, ia dapat merasakan kelezatannya. Puspita menyeduhkan pula segelas teh manis. “Lebih baik kau istirahat, tidur sebentar dan bangun dalam keadaan lebih baik. Aku pulang dulu, ada yang harus kukerjakan”.
            “Baik terima kasih”, Relina kembali berbaring, ia merasa cukup kenyang dengan segelas teh panas dan sekotak kue pemberian Puspita. Gadis itu menjadi sakit bukan hanya karena “wayangan”, ia memikirkan sesuatu yang lebih penting, bimbingan skripsi yang menegangkan dan menyiksa seluruh urat saraf, iapun tersungkur. Ia perlu satu dua hari istirahat untuk memulihkan stamina dan aktif deperti sediakala.
                                                       ***
Relina menuang santan ke dalam panci, membubuhinya dengan agar-agar, ia measukkan pula gula merah dan gula pasir. Api kompor menyala dalam warna biru, cairan itupun mendidih, Re mengaduk telur menuangkan sedikit demi sedikit ke dalam cairan yang telah mendidih. Iapun menuangnya ke dalam cetakan yang telah dilapisi dengan biscuit regal. Re harus menunggu beberapa menit, sebelum agar-agar itu mengeras, ia meletakkan agar-agar itu di meja yang terletak di koridor sebagai tanda, bahwa siapapun warga yang lewat boleh memotong dan mencicipinya. Re memisahkan beberapa potongan agar-agar ke dalam piring, ia bermaksud membagi hasil masakannya untuk Inung.
            Di dalam kamar Inung tengah duduk melamun, ia hanya tinggal berdua dengan seorang warga baru, satu tempat tidur kosong menunggu warga baru datang mengisinya. Sementara adik kamarnya tengah kuliah sore, iapun tenggelam dalam kesendirian yang menyakitkan. Sunyi yang menyentak dan mengulitinya, seandainya ia berwenang mengubah takdir atau memutar jarum waktu ke belakang dan memperbaiki segala sesuatu yang keliru kemudian meluruskan?
            “Inung, sedang apa dirimu?” Relina muncul dari balik pintu dengan piring berisi agar-agar. Ia mendapati Inung tengah duduk menghadap meja belajar dengan sebuah buku agenda terbuka. “Aku ada buat agar-agar, kuharap engkau menyukainya”, Re meletakkan piring di atas meja belajar, tetapi Inung tampak tak berselera. Re tahu, mengapa wajah Inung menjadi demikian murung. “Belum lama, ibu mbak Pita meninggal, aku baru mengucap bela sungkawa. Sekarang aku juga harus berbela sungkawa untuk kematian adik perempuanmu, kematian bisa datang kapan saja, dengan banyak cara. Tuhan berkuasa untuk semua hal yang Ia kehendaki”.
            Inung melirik foto yang terletak di atas meja berbingkai indah, tampak gambar close up dari seorang gadis remaja  bergaun putih dengan seraut wajah yang lembut dan mata teduh, wajah yang demikian jernih. Wajah itu dinaungi rambut ikal yang disisir rapi dengan jepit warna emas berkilauan. “Adikku begitu cantik, ia bukan hanya cantik, tetapi memiliki hati yang lembut, dan sepasang tangan yang telaten dalam mengurus seisi rumah, hanya tinggal beberapa bulan ia berniat menyusul ke Yogya setelah studi di SMA selesai, tetapi maut datang lebih cepat dari rencananya”, Inung mulai bersuara, perlahan dan seakan merintih, matanya berkaca-kaca.
            “Apa penyakitnya?”
            “Adikku, Laras, ia sering mengeluh sakit pada ulu hati, mungkin maag yang sudah sangat kronis. Aku tak tahu persis apa yang telah terjadi, terakhir ia mengirim surat, ia menjadi ketakutan dengan rencana perkawinan dari orang tuaku. Laras terlalu muda untuk memahami apa itu perkawinan, ia baru tujuh belas tahun, dijodohkan dengan seorang pengusaha dua kali dari usianya. Ketakutan membuat penyakitnya bertambah parah, aku tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Tubuhnya telah kaku ketika aku melihat untuk yang terakhir kali”, air mata Inung  menitik, setengah terisak ia kembali bersuara, pandangan gadis itu hampa, seolah ia tengah berbicara kepada dirinya sendiri ketika di sekitarnya tak ada siapa-siapa. “Kami lima bersaudara, aku anak keempat, Laras adik bungsu, ia satu-satunya yang kucintai dari seluruh yang dapat kumiliki. Ibuku memperlakukan kelima anak dengan cara yang sanga berbeda. Anak laki-laki bebas dari segala kewajiban mengurus rumah dan dapur, mereka diperlakukan seakan raja meskipun tak akan pernah memiliki mahkota. Anak perempuan cuma debu, jongos yang harus melayani kebutuhan sang raja, aku kesakitan dengan semua perlakuan itu, Laras mengalami hal yang sama. Anak laki-laki bebas pergi hingga malam menjadi larut, ia juga bisa mengejek anak perempuan dengan kain jongos yang harus digenggan setiap hari. Kami merasa sangat nista, Laras sering sakit-sakitan, karena dibebani kerja sehari-hari yang sangat berat. Rumah kami sangat besar dengan tujuh buah kamar. Tugas anak perempuan, aku dan Laras adalah membersihkan setiap hari sepanjang tahun. Kami tak bisa meninggalkan rumah ketika azdan magrib telah terdengar, pemali kata ibuku. Banyak teman laki-laki Laras datang berkunjung, ia memang sangat santun dan menarik, adikku pintar menulis puisi, ia sering diminta untuk menulis di majalah dinding untuk itu teman-temannya datang berkunjung. Ibu selalu curiga dengan kedatangan teman-teman Laras, satu kali Laras pernah sakit maag, muntah-muntah, ibu menuduhnya tengah hamil, karena bergaul dengan teman laki-laki. Laras terlalu lugu untuk disentuh laki-laki yang manapun, ia tak pernah berpikir untuk hal yang terkutuk itu....” Inung menyusut air matanya. “Laras sangat terpukul dengan perlakuan ibu, ia terlalu bocah untuk membela diri, orang tua benar sepenuhnya, anak-anak cuma boneka yang berhutang budi dan harus membayar dengan menurut, menurut setiap perkataan dan perlakuan, benar atau salah. Saya atau Laras tak pernah memohon untuk dilahirkan, ibu memutuskan sebuah malam pengantin dengan ayah, maka kami ada....”
            Relina termangu, ia seakan tersedot ke dalam alur cerita Inung dengan tokoh Laras di dalamnya, ia dapat merasakan pedih perih. Apakah benar, seorang ibu kandung dapat berlaku seperti itu? Tetapi tak mungkin kiranya Inung berbohon. Jadi, Laras adalah kisah nyata. Relina meraih tisu, mengulurkannya pada Inung, gadis itupun menyusut air matanya.
            “Aku mengalami perasaan yang sama dengan Laras, tetapi aku lebih keras kepala. Aku kerjakan semua tugas-tugas jongos kemudian aku mengunci diri di kamar, belajar. Laras berusaha mengikuti langkahku, tetapi hatinya terlalu peka. Ketika masih tingal serumah Laras masih mempunyai teman untuk berkeluh kesah dan berbagi tugas sebagai jongos, setelah aku kuliah, ia membanting tulang seharian sebagai jongos tanpa teman untuk berkeluh kesah. Tekanan, bentakan, caci maki dari ibu hampir diterima setiap hari. Saudara laki-lakiku tak ada yang berhasil, mereka hanya petentang-petenteng memikul kelamin menuntut modal dan modal untuk berusaha, namun tak pernah berhasil. Laras hanya tinggal menunggu beberapa bulan untuk menyusulku ke Yogya dan keluar dari kemelut ini, tetapi Tuhan berkehendak lain”.
            “Ia dijodohkan dengan seorang pengusaha?” Re bertanya.
            “Ya, seorang yang kaya raya, aku tahu betapa ibu sangat berambisi tentang kekayaan, juga saudara laki-lakiku yang lain. Laras dikorbankan, kalaulah aku boleh mendapatkan mukjizat, aku ingin adikku dibangkitkan kembali, supaya aku dapat menyelamatkan seperti aku sedang berusaha menyelamatkan diriku sendiri”, isak tangis Inung mulai mereda, ia telah menumpahkan segala beban hati, selama ini ia menyimpan persoalan ini, tetapi untuk apa ia menyembunyikan rahasia, apabila setan itu terus menghantuinya.
            “Ini adalah akibat terburuk dari budaya patriakhi, budaya yang menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek,  budaya yang tak akan berubah kecuali para pelaku sadar, memahami, dan berusaha mengubahnya. Waktu terus berputar, masa berganti. Camkan, suatu saat kita akan menjadi orang tua, akan melahirkan keturunan laki-laki dan perempuan. Perlakukan mereka dengan kewajiban dan hak yang sama, manusia menjadi berbeda bukan karena jenis kelamin, tetapi karena budi pekerti dan perilakunya”.
            “Memang benar begitu, pada banyak negara kaum perempuan mengalami nasib yang serupa, gender selalu menjadi masalah global, tetapi aku tak mengira, bahwa Laras adikku akan menjadi korban, karenanya. Ibuku tak pernah bercerita penyakit apa yang telah telah diderita Laras, tetapi adikku telah tiada”, Inung telah dapat menguasai diri, ia perlu menuang segelas air putih, menegukknya untuk membasahi tenggorokannya yang kering. “Maaf Re, aku membagi beban hidup denganmu”.
            “Bebagi dalam susah dan senang sudah merupakan keharusan, jangan merasa bersalah. Aku juga mempunyai seorang adik perempuan, Maya, aku ingin menyayanginya seperti engkau menyayangi Laras, tetapi aku selalu gagal. Entahlah, aku tak dapat berbuat sebaik dirimu”.
            “Saudara dapat menjadi sahabat dapat pula menjadi musuh, situasi dan pandangan hidup sangat mendukung, untuk segala hal yang buruk kita dapat mengubah dari diri kita sendiri”.
            “Terima kasih untuk kedatangan dan nasehatmu. Ah, tiba-tiba aku merasa lapar, engkau membuat agar-agar?” Inung mulai tertarik dengan agar-agar yang ditawarkan Relina. Ia sudah merasa cukup berkeluh kesah, sudah cukup menumpahkan air mata. Kalaulah air matanya berubah menjadi darah, sang adinda tak akan dapat dibangkitkan kembali, ia telah terbaring dalam keabadian.
            “Iya, ini untukmu, makanlah untuk tambah tenaga. Boleh sedih, tetapi jangan berlarut-larut, engkau masih dapat menyelamatkan Laras-Laras yang lain”, mereka masih terus bercakap-cakap hingga hari menjadi gelap, jam malam tidak lagi ditandai dengan suara dentuman gong delapan kali. Beberapa orang tamu sempat mengejek, suara itu sama persis dengan bunyi rantang jatuh untuk mengusir mereka pergi. Setelah gong itu hilang dicuri, koordinator seksi asrama mengganti dengan suara instrumen musik di ruang tamu sebagai tanda jam berkunjung sudah selesai.
            “Perlu kutemani engkau tidur malam ini, dari pada sendiri?” Re menawarkan diri, ia tahu betapa sepi rasa hati seorang yang ditinggal pergi untuk selamanya.
            “Aku tak merepotkanmu Re?”
            “Tidak, aku mengunci kamar dulu, sebentar datang lagi”, Re kembali ke kamar, beberapa menit kemudian ia kembali lagi ke kamar Inung dengan membawa serta perlengkapan tidur.

                                                       *** 

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...