Jarak dan perbedaan
saling mencengkeram dengan jemari waktu,
berkuasa mengubah segala sesuatu tanpa kenal ampun. Hukum alam berlaku sebagai
penterjemah untuk membahasakan ketetapan ketika hari harus berganti, minggu
berjalan, bulan beredar, dan tahunpun berganti. Kerinduan seperti halnya tajam
mata kelewang yang dapat menjadi senjata pelindung diri sekaligus melukai. Ah!
Orin pemuda itu, mahasiswa itu melampaui hari-hari yang asing dan sendu. Ia tak
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri
di tempat belajar yang baru, demikian pula dengan tempat tinggal yang
baru, asrama mahasiswa Maluku yang hanya berpenghuni mahasiswa dari Maluku. Surat-surat dari Betani terus
mengalir dari bulan ke bulan, dan lembar-lembar kertas itu adalah satu-satunya
hiburan. Demikian pula ketika tahun berganti dan Orin hampir dapat menguasai
seluruh seluk beluk kota ini. Surat dari Betani seakan daya yang berperan
menggerakkan seluruh otot tubuh, sehingga ia dapat menempuh semester demi
semester dengan sebuah dorongan kuat. Bahwa suatu saat ia akan meraih gelar
sarjana kemudian memapas perempuan impiannya. Adakah yang lebih indah dari pada menjadi bagian syah dari kehidupan
wanita yang dicintai?
Hari itu kilatan petir tampak sebagai langit retak, angin
mendesis, mendung seakan selimut hitam yang gelap membentang, sesaat para
bidadari maya tersedu mengucurkan hujan. Butiran air bening ramai tertumpah
bagai ribuan kristal yang terjungkal bergerak mengikuti gravitasi, tercurah dan
luruh ke bumi, menghantam di tanah basah. Jalanan tergenang, pepohonan meraung
ditikam angin yang menderu, bunga-bunga terkulai, dedaunan gugur tergolek di
atas tanah, ranting-ranting berserakan, merintih berkepanjangan.
Orin berjalan tergesa menjemput tukang pos yang datang
dengan suara khas dari deru knal pot yang menyentak seluruh penghuni asrama. Abdi
negara itu mengenakan jas hujan supaya dapat meneruskan pesan dari satu tempat
ke tempat lain, termasuk pesan dari Betani di Manado yang ditujukan via jasa
pos kepada Orin di Makasar. Pemuda itu tahu hari ini surat Betani tiba, ia akan
membaca, menghapal seluruh isinya kemudian menyimpannya pada sebuah tempat yang
paling pribadi dan membelainya dengan minyak wangi. Mata pemuda itu seketika
berbinar ketika menerima sampul berwarna biru laut dengan nama lengkap
tercantum, Orin sangat mengenal goresan tangan Betani. Surat itu berstempel
Manado, kota tempat Betani belajar, sampai suatu saat ia akan dapat
menggapainya kembali.
Sesaat kemudian terdengar suarai ramai bersuit dari
penghuni asrama yang telah mengenal perangai Orin, pemuda itu sungguh-sungguh
telah jatuh cinta denga tangan yang tak henti melayangkan goresan pena.
Beberapa gadis memang nyata-nyata mendekati Orin, mereka tampak akrab, tetapi
Orin yakin, bahwa keakraban itu tak mampu menggugurkan rindu akan keberadaan
Betani. Wajah gadis itu telah mengendap di dasar hati. Seisi asrama telah
mengenal tentang seorang gadis bernama Betani.
Hujan masih turun sebagai bola-bola kristal yang terkulai
kemudian memecah tanpa bentuk dengan jeritan yang sendu menghujam di atas genting. Angin
melolong menyelinap di antara kisi-kisi jendela, menghembuskan udara beku.
Sesaat Orin tertegun, ia menangkap gelagat aneh pada sampul surat yang
dipegang, isi sampul itu pasti tebal seperti kertas yang dicetak sebagai ucapan
pada hari-hari besar atau hari istimewa. Akan tetapi, tak ada hari besar atau
istimewa yang berdekatan dengan hari ini, Valentine telah berlalu tanpa sepatah
kata dari Betani, hari yang basah kuyup oleh curahan hujan dari langit.
Ketika akhirnya ia dapat membuka isinya, Orin terhenyak,
Betani tak menuliskan apapun kecuali sederet puisi:
perjalanan
ini terlepas dari stasion waktu yang hening dan ragu
bahkan seseorang tak dapat tahu di
mana akhirnya
hari demi hari gugur seakan tanda
tanya
kalaulah harapan pernah ada
maka yang tersisa kini hanyalah
jejak kaki yang tertinggal semakin
jauh
semakin jauh....
Manado, Maret 1990
Orin membolak balik kertas itu berulang kali, ia
diterkam keheranan yang amat sangat, ia setengah geli setengah dungu. Ia
mahasiswa ekonomi tahun ke empat yang tengah bersiap menyusun skripsi untuk
meraih geral SE, kini tiba-tiba ditawari kutipan karya sastra yang tak pernah
sekalipun menarik mintanya. Kecuali kuliah --terbanam dalam setumpuk buku--kegemarannya
adalah bermain dan tentu saja mengikuti setiap pertandingan sepak bola. Apa maksud puisi ini?
Akan tetapi, Orin tidak dungu-dungu terlalu, ia
menangkap nada kesedihan dan ketiadaan akan harapan dalam baris yang amat
sederhana, yang nyaris tak pernah dipelajarinya. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Orin mulai terganjal dengan risau yang menyesakkan. Sejak malam
perpisahan itu ia tak pernah bersua dengan Betani kecuali di dalam mimpi,
surat-surat yang digores huruf indah dan memberinya dorongan untuk segera
menyelesaikan kuliah kemudian memunguti kembali kepingan mimpi menjadi hari
yang nyata, tetapi puisi itu?
Orin dan Betani selalu berselisih jalan, ketika
Orin kembali ke kampung pada libur Idhul Fitri, Betani tak mendapat kesempatan
pulang, karena biaya yang cukup mahal dan perjalanan yang sulit. Demikian
sebaliknya, ketika Betani kembali ke Halmahera untuk merayakan Natal bersama
ayah bunda, maka Orin memilih libur di Makasar. Keduanya saling berkirim kabar
via kartu Natal dan kartu Lebaran dengan ditaburi seribu janji dan harapan.
Sekarang, masihkah ia pantas berharap?
Orin termangu. Di luar hujan menghantam atap
genting lebih lebat dari curah yang terjatuh pada awal mula, langit berulang
kali retak oleh letupan kilat yang mengejutkan dan menyilaukan. Mendung
membungkam langit dalam selubung hitam yang bergerak bagai makhluk bernyawa.
Angin masih mendesis, masih tetap mendesis, menghembuskan suasana beku. Sekejab
Orin memejamkan mata, ia merasakan hawa dingin menusuk pori-pori, tembus hingga
ke tulang sumsum, tak sadar pemuda itu ketika seluruh badan tiba-tiba
menggigil. Hujan seakan tak lagi menghunjam di atas genting, tetapi telah
membasahi sekujur tubuhnya, menembus lapisan kulit, tergenang di dasar hati.
***
Dari batas garis pantai, permukaan laut kadang
kala tampak lebih tinggi dari kulit bumi, air yang membiru bergerak digulung
ombak silih berganti tanpa awal dan akhir. Gelembung yang selalu beralih rupa
membentur butiran pasir, memantulkan suara alam membawa pula kepak sayap
camar-camar di kejauhan. Hari itu udara cerah, sinar surya yang kuning keemasan
menghantar senja temaram yang tampak enggan memapas kegelapan. Langit tembaga
menyatu dalam garis laut sebagai benturan batas pandang. Angin memanjakan seisi
alam dalam hembusan lembut menyentuh dedaunan dan kelopak bunga yang indah
bermekaran.
Dari balik jendela di kamar loteng Betani terpana
menyaksikan panorama di depannya, mestinya ia ikut pula melarut dalam cahya
senja yang kemilau, tetapi biru laut yang membentang seakan hendak melahap pula
seisi daratan tak membuatnya merasa nyaman. Telah hampir dua bulan yang lalu ia
melayangkan sepucuk surat, ia tidak tahu dengan bahasa apa mesti bicara, maka
Betani hanya dapat menggoreskan sebaris puisi. Terlalu banyak hal yang harus
terjadi, ia tidak pernah menggali rencana dengan kedua tangannya, tetapi
seperti halnya sebuah skenario maha besar, manusia cuma makhluk kecil yang
dititahkan sebagai pelaku, dan ia tak punya pilihan lain kecuali menjalani.
Menjalani!
Betani masih menunggu balasan surat dari Orin
meski hanya berisi sebaris kata-kata, tetapi ia menunggu kedatangan tukang pos
seperti ia memunguti hari-hari yang tanggal, kesal dalam penantian. Surat Orin
tak juga muncul, Betani tahu ia akan menghadapi hari-hari yang sulit, ia
mengira setelah menjadi seorang mahasiswa, kehidupannya akan menjadi lebih
menyenangkan, tetapi siapa sangka. Seorang mahasiswa dinyatakan sebagai manusia
dewasa yang tanggap mensikapi segala hal dan persoalan, ia harus rasionil,
realistis, dan mampu mengendalikan diri.
Pengendalian diri, hal itu yang sejati dalam
proses pencarian manusia, sehingga ia harus melalui proses belajar sebagai
mahasiswa. Masalah akan bertimbun saling mengait menjadi seakan jaring
laba-laba, seorang manusia dewasa ditantang untuk mencari solusi dan keluar
sebagai pemenang atau ia gagal dalam pencapaian. Ia, Betani tak ingin gagal, ia
telah menjalani separuh dari proses belajar pada jurusan ilmu politik, sama
seperti Orin ia tengah mempersiapkan penulisan skripsi untuk menyelesaikan
proses pembelajaran. Betani tak mengalami masalah untuk hal yang satu ini, ia
mahasiswa yang cerdas, kuliahnya akan berakhir dengan karya ilmiah yang
gemilang, bahkan dosen-dosen yang killerpun
menyayanginya. Gadis itu bukan hanya cerdas, kulitnya yang hitam manis bahkan
tak kalah menarik bila dibandungkan dengan ngana
Manado yang berpenampilan putih bersih seakan kumpulan putri Cina. Ah! Betani,
ia tampak seakan mutiara hitam, demikian julukan yang diberikan kawan-kawan di
kampus.
Betani menyewa kamar loteng pada sebuah keluarga
Maluku yang telah menetap lama di kota ini, tepatnya di wilayah Bahu, di dekat
pantai. Sikapnya yang baik membuat ia diperlakukan pula dengan baik oleh sang
induk semang. Betani tak sekedar menumpang tinggal, ia bahkan telah menjadi
bagian dari kehidupan di rumah keluarga ini. Ia memiliki kamar yang
menyenangkan di lantai atas, dari jendela kamar, setiap hari ia dapat menatap
air laut yang membiru dan saat-saat menakjubkan ketika sinar surya semakin
memucat dan segera musnah diterkam kegelapan.
Senja ini Betani melakukan kebiasaan seperti
semula, duduk menatap laut manakala pikirannya mengambang. Betapa ingin ia
mendaur ulang waktu, kembali pada malam perpisahan, bergoncengan dengan Orin di
kegelapan kemudian ia melewati saat penuh sensasional ketika dengan tergesa
Orin mencium sepasang pipinya. Kalaulah ia bisa mempertautkan kembali jarak
yang terentang, tetapi manusia selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit dan ia
harus tetap menentukan sikap dengan kepala dingin. Untuk itu ia berusaha keras
menuntut ilmu.
Betani teringat pada suasana Natal tahun lalu, ia
sangat bahagia kembali bersama keluarga merayakan hari yang dipenuhi kunjungan
tamu-tamu, tetapi kebahagiaan itu mendadak terasa ganjil ketika seorang tamu
datang pula berkunjung dan kedua orang tuanya menyambut secara istimewa. Ia
seorang konsultan muda yang masih
tergolong kerabat jauh Nayla, Betani dapat merasakan betapa santun, dewasa, dan
penuh perhatian laki-laki itu. Ia tak memiliki kekurangan apa-apa, kecuali
bahwa Betani tak menghendaki kehadirannya, tetapi Betani seorang bocah yang
santun. Ia tak banyak membantah ketika Nayla memintanya bergabung untuk makan
malam dan berbincang-bincang dengan akrab di meja makan. Laki-laki itu,
Lambertus amat pintar membawa diri dan tentu saja mengambil hati. Dalam
kunjungan yang berulang kali tak pernah ada pernyataan apapun, tetapi Betani
bukan kanak-kanak. Lambert bahkan hampir setiap malam datang berkunjung dengan
hadiah kecil yang menyenangkan hati Nayla, semakin hari ibunda bahkan mulai beranggapan Lambert telah resmi sebagai anak
menantu.
Ada kalanya mereka ditinggal hanya berdua, Betani
salah tingkah, tetapi Lambert amat mengerti dalam mesikapi gadis belia. Ia
bahkan telah jatuh hati terhadap Betani pada pandangan pertama, Lambert telah
memenangkan hati orang tuanya, apa susahnya ia dapat merebut pula hati anaknya.
Ia mengetahui tentang berbagai cara, ia akan membuat Betani menyerah tanpa
paksaan, yang jadi masalah hanya waktu, dan ia akan dapat mengaturnya. Lambert
ikut pula mengantar Betani ke bandara ketika gadis itu hendak kembali ke Manado
untuk melanjutkan kuliah, setelah itu kartu-kartu ucapan, surat, dan
hadiah-hadiah kecil dalam bentuk paket terus mengalir. Kiriman bulanan Betani
juga bertambah secara tiba-tiba, gadis itu tak bertanya dari mana sumber
penambahan itu, adakah mahasiswa yang tidak memerlukan kelebihan uang saku
secara berlebihan? Gadis itu dapat membeli beragam buku bacaan, pakaian gaya,
dan sepatu yang sedang trendy.
Suatu kali Lambert datang berkunjung ke Manado,
laki-laki muda itu tak pernah melepaskan diri dari Betani kecuali saat gadis
itu pergi tidur dan kuliah. Perilakunya lebih dari sekedar menunjukkan, bahwa
Betani adalah gadis impiannya. Tanpa sepatah katapun Betani tahu, ia telah
terjebak ke dalam pusaran arus dan akan semakin sulit melepaskan diri dari
cengkeraman. Segala yang harus dimiliki seorang laki-laki telah melekat tanpa
jeda pada diri Lambert, laki-laki itu tinggi jangkung dengan kulit yang kelam,
garis wajah maskulin, berpendidikan, karir yang cemerlang, mencintai, dan satu
iman. Apa lagi?
Betani tak dapat berkelit, ketika Lambert
membawanya ke toko buku dan ia bebas memilih segala bacaan yang ia sukai.
Demikian pula ketika Lambert memilh gaun malam segelap tinta untuk undangan
perjamuan dari rekanan bisnis, Betani menikmati kebersamaan dengan Lambert.
Kemudian mereka berjalan-jalan ke Danau Tondano, menyusup di celah-celah angin
dingin yang membekukan pori-pori, menghirup udara segar, dan memanjakan mata
dengan aneka warna bunga yang bermekaran. Berdua mereka singgah di makam
sejarah Pangeran Diponegoro dan Ratnaningsih
yang terletak pada posisi jalan dari Manado ke Tomohon. Mereka pergi ibadah
pada hari Minggu bersama-sama dan entah apa lagi, segalanya berlalu dengan
cepat.
Apakah Betani tak ingat lagi pada Orin?
Kabar dari Orin datang dalam bentuk selembar kartu
Valentine, bersampul merah jambu dengan motif jantung hati yang secara tegas
membahasakan kasih sayang. Betani tersentak! Mengapa ia terlupa pada hari yang
penting ini? Kartu itu seakan mengejek Betani akan kelalaiannya, apa yang telah
ia lakukan ketika Orin setia menunggu? Ia bahkan telah bersenang-senang dengan
seorang yang akan membelokkan arah jalan hidup Orin ke suatu tempat yang tidak
jelas dimana akhirnya. Betani
menimang-nimang kartu itu berulang kali, ia mengerti mengapa hati manusia dapat
tiba-tiba mendua, jarak dan perbedaan dapat merubah segalanya, ia hanya bagian
kecil dari perubahan itu. Betani memerlukan waktu berhari-hari untuk menyusun
kata-kata sebagai jawaban atas kartu bermotif jantung hati yang dikirimkan
Orin. Ia tahu kalimatnya akan membuat Orin menjadi bingung, sama dengan
keadaannya.
Betani menunggu balasan, tetapi harapannya hanya
tersisa seakan segumpal lembut kapas putih yang mengapung diterbangkan angin
kemudian hanyut tanpa arah. Kabar yang ia tunggu justru datang dari kampung
setelah skripsinya dinyatakan oleh dosen pembimbing layak untuk diuji. Dahi
gadis itu berketur oleh selembar telegram dengan berita singkat:
“Nona,
segera pulang. Mama dirawat di rumah sakit”
Papa
Saat itu juga Betani seakan ingin terbang
mengarungi lautan dan bukit-bukit untuk segera memburu Nayla dan menghambur ke
pangkuannya. Gadis itu segera berkemas, ia memesan sit pesawat pada kesempatan
pertama, dengan kecemasan yang sangat ia mengapung di udara, menembus lapisan
langit dengan air mata setengah tergenang. Sepanjang perjalanan Betani memejamkan
mata, ketika roda pesawat mencicit di landasan pacu, mata gadis itu terbuka.
Sesaat, setelah ia menginjakkan kaki di kedatangan, Lambert telah menjemputnya.
Betani hanya dapat menurut, gadis itu tak banyak berulah, setelah meletakkan
kopor kecil di dalam kamar, ia segera bergegas ke rumah sakit, digonceng sepeda
motor oleh Lambert.
Nayla tergolek lemah di atas pembaringan. Wajah
wanita itu tiba-tiba tampak sanga tua, tua dan letih, tabung infus meneteskan
glukosa seakan embun yang menghidupi seonggok tanaman kering. Seluruh tubuh
wanita itu mengecil, jauh berbeda dengan saat terakhir ketika ia melepas anak
gadisnya pergi menuntut ilmu. Wajah itu sesaat berbinar ketika bertautan dengan
jernih sepasang mata Betani, “Mama....” gadis itu terisak, hatinya teriris
melihat keadaan ibunda, sungguh ia akan melakukan apa saja demi kesembuhan
Nayla, termasuk apa bila ia harus mengorbankan nyawa.
“Nona, senang sekali engkau segera datang. Engkau
tampak cantik anakku”, suara Nayla lemah, namun cukup memberi penghiburan bagi
Betani, wanita itu masih memiliki sisa kekuatan, ia merasakan kecupan lembut
pada pipinya yang kering. Lelah hati membesarkan anak kini terbayar dengan
kehadiran sosok seorang gadis yang telah dewasa, gadis itu masih akan
mengarungi kehidupan untuk jangka waktu yang amat panjang. Untuk itu, ia tidak
bisa seorang diri, ia harus memiliki seorang pendamping, seorang yang akan
menjadi pelindung sekaligus memberikan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari, satu hal yang
sudah baku, bahkan keharusan.
“Mama sakit apa?” Betani masih terisak, air
matanya tergenang dan meluncur seakan embun yang menetes dari ujung daun, ia
tak lagi menemukan sosok Nayla yang dulu, wanita setengah tua dengan segala
pesona yang masih tersisa. Dimana kecantikan itu?
“Mama hanya lelah, perlu istirahat”, setelah itu
sepasang mata Nayla kembali terpejam, terpejam, ia perlu meninggalkan kehidupan
yang telah mencederainya dengan penyakit berbahaya, kanker ganas yang telah
menggerogoti payudaranya. Setelah payudara itu diangkat, maka penyakit it
menyebar ke tempat yang lain. Nayla tahu, ia telah memegang kartu mati, yang
perlu ia tunggu hanyalah waktu, ia akan meninggalkan kehidupan ini dengan
tenang apabila anak gadisnya telah menemukan seorang pelindung. Siapapun
perempuan itu, sehebat apapun dan setinggi apapun kedudukannya di dalam
birokrasi, tanpa perlindungan seorang suami yang mencintai, ia tak akan
menemukan keseimbangan dalam hidup. Nasib seorang perempuan akhirnya berada di
dalam genggaman laki-laki yang menikahi, sebab itu ia tidak boleh keliru
memilih. Nayla telah menjatuhkan pilihan, sehingga kalaulah Tuhan memanggil, ia
akan pergi dengan tenang, Betani medapatkan seorang pelindung yang tepat, yang
dapat menyelamatkan seluruh hidupnya, ia tak boleh terlambat bicara.
Frederik, si anak sulung telah bertugas di Sangir
Talaud dan mendapatkan seorang calon istri layak kiranya menjadi ibu rumah
tangga yang baik. Ia telah dikabari, kemungkinan tengah sibuk mencari hubungan.
Tifani telah lebih dahulu datang, gadis itu bergantian menjaga ibunda dengan
Rolando, sang suami. Tifani belum tiba waktunya untuk berkeluarga, Betani
hampir menyelesaikan kuliah, sementara penyakit yang telah mencapai stadium
lanjut menjadi semacam lampu kuning supaya ia menyampaikan pesan sebelum maut
menjemput. Nayla tahu, ia akan mengalami saat-saat yang sulit manakala harus
menyampaikan pesan kepada Betani, tetapi harus. Wanita itu memejamkan mata, ia
membiarkan rasa sakit dan lunglai menggerogoti sekujur tubuhnya, berlindung di
balik selubung mimpi adalah salah satu cara untuk mengurangi segala rasa sakit,
meski ia akan terjaga dengan tenaga yang tak lagi bersisa. Nayla sadar, betapa
amat berharga detik-detik terakhir di dalam hidup, ia harus mengambil manfaat
atasnya.
Betani terpaku, ia seakan terseret ke dalam
pusaran mimpi yang sangat buruk, ia tahu, bahwa ibunda tak akan menjalani hidup
dalam waktu yang lebih lama, kondisi fisiknya sudah sangat lemah. Gadis itu
sempat mendengar tentang beberapa cara pengobatan alternatif dalam menyembuhkan penyakit
berbahaya, mengapa tidak dicoba? Ia harus berupaya untuk memperpanjang usia
wanita yang sangat dicintainya. Gadis itu menjatuhkan diri di atas kursi,
memandang badan lemah di depannya dengan tatapan hampa, Betani tak sadar lagi
akan situasi di sampingnya, ia tahu arti kehilangan dan perpisahan abadi.
Betani memejamkan sepasang mata, tak lama lagi ia akan segera menghadapi meja
ujian dan pasti akan lulus dengan predikat gemilang, ia akan menyampaikan kabar
terbaik bagi ibunda, mendapatkan pekerjaan dan menghujani Nayla dengan
hadiah-hadiah kecil yang menyenangkan. Apakah keinginannya akan tercapai?
Betani tahu, apa arti dewasa, ia harus bersinggungan dengan kesulitan demi
kesulitan dan ia harus berkepala dingin, ia harus mendapatkan jalan keluar.
Ketika akhirnya Nayla terjaga dalam keadaan lebih
baik --mungkin dukungan moril, karena kehadiran Betani-- mereka hanya berdua,
maka wanita itu mulai bersuara, “Beta, anak mama yang manis, mama senang engkau
sudah dewasa, tak terasa kuliahmu hampir selesai. Seandainya mama tak
sakit-sakitan, engkau masih punya cukup waktu untuk bergembira di masa muda,
tapi engkau bisa melihat sendiri keadaan mama. Tak seorangpun tahu berapa usia
yang akan diberikan, tetapi dengan keadaan seperti ini, siapapun tak bisa
menduga apa lagi berharap usia yang sangat panjang. Sebelum mama meninggal,
mama hanya ingin melihatmu tenang, karena telah mendapatkan seorang pelindung yang
akan mendampingi hingga seumur hidupmu. Sungguhpun engkau memiliki pendidikan
tinggi dan semoga pekerjaan serta kehidupan yang baik, akan tetapi nasib
seorang istri tetap berada di dalam tangan suaminya. Jangan salah memilih teman
hidup, atau engkau akan menyesal selama-lamanya....” sampai di sini kata-kata
Nayla terhenti, napasnya tersengal-sengal, wanita itu tengah berjuang
mempertahankan hidup. Betani merasakan telapak tangan Nayla sedingin es batu
ketika ia menggenggamnya, gadis itu memijit-mijit tangan Nayla membantunya
meneguk air sehingga kondisi Nayla kembali membaik.
“Engkau mengerti nona?”
“Betani mengerti ma”.
Saat itu terdengar ketukan di pintu, tak berapa
lama kemudian daun pintu terkuak, Lambert tampak dalam balutan celana jeans dan
T Shirt biru laut, aroma maskulin segera merebak di dalam seisi ruangan.
Lambert menenteng keranjang berisi buah-buahan segar, “Selamat sore,” suara itu
menyapa lembut, Nayla dan Betani segera menoleh ke sumber suara, sedetik
kemudian Lambert telah duduk di samping Betani.
Nayla menghela napas lega, tangannya yang lemah
menggapai tangan Betani dan Lambert sekaligus, kata-katanya singkat, di telinga
Betani kalimat itu terdengar laksana petir menyambar, “Menikahlah ketika mama
masih bisa menyaksikan”, setelah kata-kata itu sepasang mata Nayla terpejam, ia
telah berjuang menyampaikan hal yang sangat penting, pesan terakhir bagi anak
yang dicintainya, napas wanita itu menjadi tenang, iapun tertidur.
Sementara Betani terpaku di kursi tempatnya duduk,
ia seakan telah melompat dari hari kemarin kemudian terjatuh ke suatu masa yang
serba asing dan tak bisa dimengerti. Lantai yang dipijak seakan segera menyala
menjadi tungku yang mengobarkan panas bara api dan membakar sekujur tubuhnya.
Degup jantungnya berpacu dengan waktu, teramat cepat, sehingga ia kehilangan
kendali untuk menguasai diri. Bahwa Lambert jatuh cinta dengan segala rasio dan
sikapnya yang dewasa, ia sudah menyadarinya, bahwa ia tidak bisa mengelak,
Betanipun tahu. Akan tetapi, bahwa ia harus menikah dengan Lambert dalam jarak
waktu yang amat dekat, karena kesehatan ibunda yang terus memburuk, hal ini
adalah penawaran yang mengerikan.
Kalau ia mengatakan “tidak”, kemudian ibunda pergi
untuk selama-lamanya, maka ia akan dihantui penyesalan seumur hidup, karena ia
tahu Nayla tidak akan pergi dengan tenang. Ia akan selalu mengenang ibunda
dalam rasa bersalah, dan ia tahu akibatnya. Kalau ia mengatakan “ya”, berarti
ia melawan hati nurani, ia harus melalui ritus paling menentukan dalam hidup
dan akan mengubah seluruh nasibnya. Adakah ia mencintai Lambert? Laki-laki
yang nyata-nyata siap menjadi pendamping
hidupnya, dan apa sesungguhnya hakekat perkawinan? Apakah ia harus mengakhiri
masa lajang hanya demi mengikuti permintaan terakhir ibunda pada hari-harinya
yang tersisa? Betani memejamkan mata, ia seakan melihat ribuan meteor
bersliweran, lengkung pelangi berhamburan tanpa bentuk menari-nari, dan
perubahan dari siang menuju gelap dalam saat yang mencemaskan. Dan tiba-tiba
seraut wajah membayang, seraut yang telah ia kenal dalam setiap tarikan
napasnya, yang secara diam-diam mendorongnya dalam semangat dan memberi harapan
pada suatu hari perkawinan yang bertabur bunga.
Wajah milik Orin!
Apa yang akan terjadi pada Orin apabila pada suatu
siang yang terik, sepulang bimbingan skripsi yang melelahkan, maka di meja
belajarnya terkapar sepucuk surat undangan perkawinan. Sebuah kabar yang pasti
akan menghancurkan seluruh khayalannya! Orin pasti akan mengutuknya, tetapi ia
memang tak punya pilihan kecuali berdiri sebagai manusia yang harus dikutuk,
kecuali ia harus menyampaikan undangan itu seorang diri beserta seluruh
permohona maaf dan tentu saja isak tangis.
Betani merasa kepalanya berdenyut-denyut, berapa
lama ia mengenal Orin, sosok itu bahkan telah menyatu di dalam seluruh hari
yang tanggal dan berganti. Bertahun setelah perpisahan, sikap Orin tak pernah
berubah, ia masih tetap seperti remaja SMA yang berapi-api dengan impian
tentang hari esok bersama gadis belia yang dicintainya. Impian itu pasti akan
kandas dan berkeping-keping dan ia harus bertanggung jawab terhadap semua itu
--satu hal yang menyakiti hatinya-- Betani merasa sebuah tangan menggenggam
telapaknya dengan erat, suhu badannya menurun dengan sangat cepat, tubuh gadis
itu menggigil.
***
Setelah sederet puisi yang menjadi balasan dari
kartu valentine yang dikirim untuk Betani, kini Orin menerima telegram dengan
kalimat yang teramat singkat:
“Orin, beta
ada di kampung, ada hal yang amat penting dan harus beta sampaikan. Kalau tak
ada halangan, datanglah. Beta tunggu.
With love
Betani
Untuk yang kedua kali kabar dari
Betani membuat Orin termangu-mangu, apakah ia harus datang? Sudah berapa lama
ia tak bersua dengan gadis itu kecuali kabar dalam bentuk surat? Orin merasa
seisi ruangan berputar, kepalanya pening. Ia tahu Betani tidak sedang bercanda
dan satu-satunya hal yang dapat memastikan kebenaran isi telegram itu adalah
dengan memenuhi permintaannya.
Dan hari itu, Orin mengerti mengapa
Betani memintanya datang. Orin baru selesai melepas lelah setelah menempun
perjalanan jauh, ia merasa demikian segar setelah mandi dengan air dingin yang
menyejukkan. Ia memilih pakaian yang layak dikenakan untuk menemui Betani, ia
didesak untuk segera tahu apa yang tengah berlaku pada diri gadis itu. Akan
tetapi, sebelum ia selesai berkemas, Betani telah berdiri di depan pintu. Gadis
itu mengenakan rok model klok berwarna kelabu dengan blouse hitam leher sabrina
bermitif kupu-kupu di bagian dada. Ori terpana! Alangkah cantik dan matang
gadis itu setelah nyaris lima tahun perpisahan, ia lebih cantik dari kehadiran
pada malam hari di setiap mimpinya. Pendidikan di perguruan tinggi membuat
gadis itu tumbuh sebagai wanita terpelajar dengan penampilan bersahaja dan tata
rias wajah yang meyakinkan. Sesaat Orin seakan melambung menuju alam mimpi.
“Betani!” reflek Orin memburu dan
mendekap Betani ke dalam pelukannya, kerinduannya meluap seakan air bah yang
tak tertahan bendungan, tertumpah pada sosok Betani yang lembut, namun penuh
tanda tanya. Di pihak lain, Betani hanya terdiam, ia tahu akan berhadapan
dengan saat-saat yang sulit, amat sulit, ini adalah kali pertama dan terakhir
Orin memeluknya. Gadis itu merasa dadanya berguncang, air matanya tergenang,
wajahnya memucat bagai kertas, selebihnya buku-buku jari yang membeku.
Orin tahu diri, ia tak dapat memeluk
anak gadis orang berlama-lama, penglihatan orang lain akan menyebabkan
perilakunya menjadi buah mulut dengan Betani sebagai sasaran empuk di dalamnya.
Ia segera menggandeng Betani menuju ruang tamu, ia berharap akan senyum manis
Betani dengan kabar gembira, tetapi hati pemuda itu seakan terpenggal ketika ia
segera menangkap, betapa mendung hitam membayang pada wajah sendu gadis itu.
Sepasang matanya yang jernih semakin jernih, karena berkaca-kaca oleh air mata.
“Beta, ada apa? Kabar apa yang membuatmu mengundangku datang untuk bertemu?”
mereka duduk saling menyudut, suasana rumah lengang. Ketika orang tua Orin
datang untuk berpamit dengan tergesa-gesa, Betani segera memberikan salam,
peluk rindu dan sayang dari Malya, ibunda Orin. Kemudian keduanya kembali terdiam,
Orin menunggu dengan gelisah, ia telah menangkap pertanda yang kurang baik. Ia
harus bersiap bagi kemungkinan terburuk, lidah pemuda itu mendadak terasa
getir. Ia tahu Betani tengah bersungguh-sungguh.
Betani masih terdiam, ia memandang
Orin dengan berbagai perasaan berkecamuk, tenggorokannya seakan tercekik, bagaimana ia harus menyampaikan undangan
ini? Surat bersampul indah ini tak
ubahnya seperti kain pembungkus orang mati. Di luar tiba-tiba sinar surya yang
kuning jernih berubah menjadi gelisah, kesiur angin menghantam daun-daun kering
hingga terjungkal ke tanah basah. Betani terjerembab ke dalam sunyi yang dalam,
ia tidak bisa membedakan mana yang lebih menyakitkan antara rasa pedih harus
melepas harapan indah dengan Orin, karena sehelai surat undangan atau remuk
redam, menyadari kehancuran hati Orin. Gadis itu seakan terjepit di antara dua
dinding tebal yang tinggi dan suram, napasnya terasa sesak, ia harus berjuang
susah payah melawan isak tangis yang akhirnya jebol secara perlahan-lahan. Air
mata gadis itu mulai gugur laksana embun yang menetes dari pucuk hijau daun,
semakin lama semakin membanjir dan berlinang-linang. “Orin, beta awali
kedatangan ini dengan beribu permohonan maaf, pasti bukan keadaan seperti ini
yang kita harap setelah sekian lama perpisahan, tetapi nasib menghendaki lain.
Takdir yang mungkin tak bisa diubah, karena kita memang tak punya pilihan”,
sampai di sini suara Betani terputus, gadis itu memandang Orin dengan hampa,
betapa ingin ia memeluk Orin dan merebahkan kepala di dada yang bidang itu untuk selama-lamanya,
tetapi hati kecilnya menghalangi.
Gadis itu mendapatkan kembali
sejumput kekuatan ketika merasakan tangan kuat Orin menggenggamnya dengan erat,
Betani membiarkan pula Orin menyeka air matanya, mengulurkan segelas air dingin
yang diteguk separuh gelas untuk membasahi tenggorokannya yang serasa terbakar.
“Apa yang hendak engkau sampaikan Beta?” Orin menatap wajah gadis itu pada
jarak yang amat dekat, rasa rindu berkecamuk, berbaur dengan ketakutan yang
seakan menyumbat seluruh peredaran darah. Orin mengerti ia tengah ditantang
untuk bersikap sangat rasional sepanjang hidupnya dan itu tidak mudah.
Seluruh aliran darah Orin seakan
terhenti ketika dengan tangan menggigil Betani mengulurkan sepucuk surat
undangan, air mata gadis itu kembali menganak sungai, tetapi Betani menangis
dengan sangat santun, ia tahu bagaimana harus melepas emosi tanpa membuat panik
suasana. “Mama sakit parah ia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk
berpamit, permintaannya yang terakhir adalah ingin melihat beta mempunyai
pendamping supaya bisa pergi dengan tenang. Seandainya beta punya hak mengambil
keputusan, tetapi penyakit mama membuat beta tidak bisa memilih. Beribu
permohonan maaf beta Orin”, Betani menyusut air mata, ia menggengam lengan Orin
dengan lembut, ia mencoba memberikan kekuatan pada pemuda itu ketika sebuah
pukulan tengah menghantamnya.
Sementara Orin merasa pandangan
matanya menjadi nanar, ia dapat membaca seluruh teks yang tersurat di dalam
sampul dengan sehelai undangan yang elegan, mulut pemuda itu terkatup rapat.
Kini, ia dapat menterjemahkan puisi singkat yang dikirim Betani, gadis itu
tampaknya dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit dan hanya dapat menerima
“takdir” dengan segala pedih perih dan akal sehatnya. Orin tahu apa arti
perkawinan, penyatuan dua jenis anak manusia dalam pranata resmi yang disyahkan
hukum dan disaksikan masyarakat dalam sebuah perjamuan, sehingga sepasang
mempelai itu akan dinobatkan menjadi raja dan ratu dalam semalam. Saat berbahagia
bagi sepasang anak manusia untuk memulai kehidupan bersama, beranak pinak
meneruskan generasi dalam sebuah keseimbangan antara perpaduan yin dan yang. Saat dua unsur alam yang saling berlawanan bahkan saling
mengisi dan berbagi untuk jangka waktu yang tak ada batasnya sampai maut
memisahkan. Orin merasa aliran napasnya terhenti, udara tak lagi berputar,
membeku pada seputar tempatnya berada. Perlahan-lahan ia merasa seakan ada
sebilah pisau tajam menggarit di punggungnya semakin dalam hingga menembus ke
ulu hati.
Orin memejamkan mata, impiannya
hancur berkeping-keping, berserakan tanpa bentuk mengejeknya dengan harapan
yang kandas. Ia tak akan pernah meraih Betani menjadi pengantinnya, gadis itu
akan segera menjadi ratu dalam semalam bagi seorang “raja” yang berhasil
melamar pada orang tuanya, mereka akan hidup berbagia selama-lamanya, ia
hanyalah seekor pungguk yang merindukan bulan. Bocah kecil yang bermimpi
tentang seorang puteri yang cantik
jelita dan terlupakan. Beta salah apa?
“Engkau hendak menikah?” terbata-bata suara Orin.
“Beta tak berkehendak, tetapi
bagaimana dengan sisa hidup mama? Apa yang beta miliki di dunia ini kecuali
orang tua yang mengasihi beta sejak kecil hingga dewasa”, Betani telah dapat
menguasai emosi, ia telah cukup mencucurkan air mata, ia harus kembali pada
tujuan hahekat proses belajar, yaitu pengendalian diri.
Orin memandang Betani dengan asing,
tiba-tiba ia tak mengenal lagi gadis itu, kertas undangan itu telah berubah
menjadi pisau silet yang mencabik-cabik harapan-harapannya, kini ia terjerembab
ke dalam ruangan kosong yang menyakitkan. Pemuda itu menyandarkan punggungnya
dengan gamang, sesisi dunia seakan tengah mentertawainya, ia tidak tahu harus
tetap mengasihi Betani, karena keterbatasan gadis itu dalam memilih demi
ketaatan kepada orang tua, atau membenci, karena secara tidak langsung telah
menolaknya, atau menganggapnya tak pernah ada, karena gadis itu akan menghilang
selama-lamanya dari kehidupannya. Air mata nyaris gugur, tetapi Orin tetap si
bintang lapangan, hatinya mengeras, pantang bagi seorang laki-laki menangis,
meski ia harus kehilangan seorang Betani.
Kesunyian tiba-tiba meregang, kering
dan menggelisahkan, keduanya sama-sama terdiam, kehilangan kata-kata. Sementara
waktu bergulir lebih cepat dari biasa, sinar surya yang jatuh condong
kekuning-kuningan berubah menjadi sendu dan tanpa makna, bahkan kesiur anginpun
terasa asing. Betani tahu, ia tak bisa berlama-lama dalam situasi seperti ini,
ia telah menyampaikan pesan utama dengan susah payah, Orin telah tahu apa yang
terjadi pada dirinya. Ia harus berpamit, “Baiklah Orin, beribu permohonan maaf
beta untuk undangan ini, beta harap engkau datang pada hari perkawinan nanti.
Kita tetap bersahabat”, Betani telah dapat menguasai diri, ia akan mendapat teguran
bila pulang ke rumah setelah gelap tiba.
Orin memandangi Betani dengan lidah
getir, ia merasa seakan sebagian jiwanya melayang kemudian terbanting ke
dasar-dasar jurang. Berapa lama ia bermimpi tentang Betani? Mimpi itu tak akan
berubah menjadi apapun kecuali surat undangan yang mentertawai. Orin merasa
dadanya berguncang, ia menggenggang sepasang telapan Betani yang dingin tanpa
aliran darah, menatap sepasang mata Betani dekat-dekat dan mendapatkan telaga bening yang teramat dalam tanpa dasar.
Wajah gadis itu demikian pasrah tanpa perlawanan, Orin menyingkirkan jarak,
menepis kenyataan yang akan segera memisahkan mereka menuju jalan hidup yang
berbeda dan tak akan pernah sampai pada titik temu. Untuk yang pertama kali ia
mencium seorang gadis, menyatukan rasa rindu, cinta, dendam, dan kalah. Betani
memejamkan mata, ia membiarkan Orin berlaku sesuai dengan nalurinya, janur
kuning belum melengkung di pintu gebang rumahnya, Orin masih bisa memperlakukan
dirinya selayaknya seorang kekasih. Betani merasa terjebak ke dalam ruangan
hampa, hanya dalam hitungan detik, mereka kembali kepada suatu kesadaran,
tentang perpisahan yang sudah harus terjadi.
Senja berlalu dalam murung ketika
akhirnya Betani berpamit, untuk yang kedua kali Orin merasa kalah, ia kehilangan
daya untuk menahan tangan gadis itu, mengemis cinta, dan memohon kesediaannya
hidup bersama. Pemuda itu kehilangan kata-kata, kakinya limbung, lidahnya kelu,
pandang matanya nanar, ia hanya berdiri gagu ketika akhirnya Betani benar-benar
berlalu dengan isak tertahan. Orin hanya dapat menatap jejak kaki Betani yang
membekas di atas tanah....
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar