Bagi seorang mahasiswi, tinggal di asrama putri selama masa
kuliah adalah sebuah pilihan dengan segala konsekuensi yang harus
dipikul kemudian. Demikian yang terjadi pada diri Relina ketika ia
memutuskan tinggal di asrama putri di bawah naungan universitas. Hal itu
berarti ia harus beradaptasi dengan delapan puluh wajah dan karakter
yang setiap tahun selalu berganti rupa, peraturan asrama yang ketat,
kebiasaan yang aneh –terlebih bagi seorang warga baru. Relina berpegang
pada prinsip, bahwa sebagai mahasiswa di universitas tempatnya belajar,
ia memiliki hak untuk menetap di asrama hingga masa kuliah selesai.
Interaksi social dengan beragam konflik yang membawa warga asrama pada
permusuhan adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-sehari.
Akan tetapi, persabahabatan terjalin pula dengan indah, sehingga pada
akhirnya Relina mampu mengambil sikap dalam menghadapi kehidupan yang
selalu dirundung berbagai persoalan.
Ketika akhirnya ia harus berpamit dan berhadapan dengan
persoalan rumit yang berurusan dengan sidang pengadilan. Adakah alumni
asrama putri tetap tinggal diam? Adakah orang yang pernah menjadi
“musuh” tak mengambil tindakan untuk menyatakan, bahwa ia tidak
bersalah.
***
Bangunan asrama itu telah berumur hampir setengah
abad. Goresan tanda tangan sang Proklamator dan Perdana Menteri di atas
permukaan batu pualam yang telah digrafir, lengkap dengan tanggal yang
tertera, menyebabkan sesiapapun tahu, berapa tepatnya umur bangunan
itu? Penjual gudeg dan gado-gado yang menyambung hidup secara permanen
di seputar asrama, selalu berkata, bahwa asrama putri itu sebenarnya
dibangun di atas tanah pekuburan. Hantu-hantu yang sering menampakkan
diri serta pohon kamboja yang indah berbunga, itulah buktinya.
Keseluruhan bangunan berbentuk seakan
leter U dengan satu sisi lebih pendek. Terdapat 32 kamar dengan ukuran 8
x 5 meter, 16 kamar di lantai satu dan 16 kamar di lantai dua,
tiap-tiap kamar dihuni tiga orang warga. Penghuni asrama secara
fluktuasi adalah 80 mahasiswi dari universitas yang sama fakultas dan
jurusan yang berbeda. Di dalam gedung itu terdapat pula ruang tamu,
aula, perpustakaan, musholla, ruang administrasi, ruang setrika, tempat
parkir, dapur, ruang makan, sumur, balkon, dan tiga lusin kamar mandi.
Koridor dan tangga menghubungkan setiap penghuni dari kamar ke kamar. Di
sepanjang koridor pot-pot bunga tertata secara beraturan berisi aneka
jenis tanaman hias.
Sore itu, cahaya senja yang kuning
keemasan jatuh condong, menyinari seluruh komplek asrama dalam sinar
yang sempurna. Sepasang pohon damar yang menjulang, pohon bungur,
celong, kamboja, sawo kecil, dan hujan emas yang tengah bermekaran
tampak seakan lukisan semesta yang menyebabkan setiap warga terpesona.
Relina menapakkan kaki, memasuki
halaman asrama dengan ragu, ia adalah seorang warga baru atau calon
warga, ia harus beradaptasi secara khusus supaya diterima menjadi bagian
dari kehidupan di tempat ini. Ia merasa sungguh sulit, tetapi asrama
ini memiliki sisi-sisi kehidupan yang unik dan ia menyukainya. Relina
mendapatkan sebuah pengalaman baru, tegang, namun mengasyikan. Asrama
ini akan menjadi tempat tinggal selama pendidikan hingga ia mampu
menyelesaikannya.
Mahasiswa psikologi tahun kedua itu
terus melangkah, melewati gerbang kecil, menuju anak tangga untuk
kembali ke kamar di lantai dua, di bagian yang paling ujung. Ia baru
pulang kuliah, sepeda motor mengalami kerusakan, ia meninggalkan di
bengkel yang terletak di ujung jalan kemudian berjalan kaki, menempuh
jarak sekitar 100 meter sebelum tiba kembali di kediamannya yang baru.
Warga asrama tengah tenggelam dalam
kesibukan masing-masing, ada yang dikunjungi teman-teman kuliah, ada
yang membenahi kamar, merawat tanaman, duduk bergerombol di koridor
–ngrumpi—membaca atau bercengkerama bermandi cahaya senja di balkon yang
menghadap langsung ke jalan raya. Relina melewati papan bertuliskan
huruf dari cat semerah darah bertuliskan “TAMU LAKI-LAKI DILARANG MASUK”
yang berdiri tegak di dekat intercome, menghadang koridor blok D,
kemudian menaiki anak tangga. Ia berpapasan dengan beberapa senior yang
tergesa menuruni anak tangga, karena telah ditunggu di ruang tamu.
Relina mengangguk sambil tersenyum, tetapi senior itu tak memberikan
reaksi apa-apa. Ia seolah hanya sebongkah batu yang tak pantas diajak
bertegur sapa. Ia memang hanya seorang calon warga yang ditekan
sedemikian rupa supaya dapat merendahkan diri dan diterima lingkungan di
sekitarnya.
Relina merasa gelisah merayapi urat
nadi, tetapi ia berusaha menekan perasaan itu. Ia memegang kartu
mahasiswa secara resmi dari universitas. Ia berhak pula menetap di
asrama ini sebagai anak negara yang harus dipelihara, seperti halnya
warga asrama lainnya. Relina melewati aula berukuran 20 x 20, beberapa
warga berpakaian daster dan celana pendek serta T shirt tampak duduk
bergerombol menatap layar televisi berwarna dengan ukuran 24 inci.
Perhatian mereka terpecah ketika tampak bayangan Relina berkelebat,
mengenakan celana jeans yang masih baru dengan hem sebiru laut, sepatu
kulit serta tas bagu. Relina kembali mengangguk dan tersenyum, lidah
gadis itu segera terasa pahit, senior yang tengah menonton televisi itu
serentak membuang muka, melirik dengan sinis, dan berbisik-bisik.
“Pakaiannya selalu modis”.
“Ia anak sombong”.
“Terlalu cuek”.
“Keras kepala”
“Bicara ceplas ceplos”.
“Maklum....”
Bisik-bisik itu meskipun lirih sempat
tertangkap di telinga Relina, agaknya ia selalu dianggap sebagai
makhluk aneh dari planet lain. Keseluruhan perilaku dan penampilan
selalu dianggap sebagai sorotan dan gunjingan. Apapun yang dikerjakan
selalu salah. Akan tetapi, Relina harus tidak peduli dengan semua
kata-kata itu. Ia tidak pernah mengganggu sesiapapun dan sepanjang warga
asrama tidak menyerangnya secara brutal, ia akan beranggapan tak ada
masalah apa-apa. Ia berkonsentrasi pada tujuan utama, yaitu “ngangsu kawruh”
menuntut ilmu. Kehidupan di tempat ini adalah suatu lingkungan spesifik
yang menuntutnya untuk beradaptasi. Warga senior demikian mencintai
kehidupan di tempat ini. Mereka tampak akrab satu sama lain,
berhubungan layaknya saudara satu ibu dan menikmati hari demi hari yang
diselingi bermacam kegiatan. Relina yakin, setelah melewati waktu demi
waktu iapun akan menjadi bagian mutalk dalam kehidupan asrama dan
menjalin keakraban antara sesama warga.
Di koridor, warga blok E tampak
tengah duduk bergerombol, menikmati satu keranjang besar rambutan,
oleh-oleh Vida dari Bandung. Cahaya senja masih keemasan, adalah candi ayu
yang menimpa hijau dedaunan, sehingga tampak sebagai panorama yang
menakjubkan. Desau angin berhembus menggugurkan ranting dan dedaunan.
Sekejab Relina terpana, Sang Maha Pencipta tengah memanjakan manusia
melalui sebuah panorama atas nama cahaya.
“Relina, ayo makan rambutan”, Soraya,
komisaris blok menyapa gadis itu, sambil memasang mimik, bahwa rambutan
yang dikunyah manis dan enak betul. Relina tak punya alasan untuk
menolak, ketika Vida serta seluruh warga Blok E menawarkan hal yang
sama, iapun segera bergabung, menikmati rambutan yang manis dan segar
itu.
“Hei, Blok E pesta sendiri, itu rambutan pasti enak
sekali, siapa punya?” sesosok bayangan muncul dari ujung koridor. Ia
adalah Sunarti, ketua asrama yang akan segera mengakhiri masa tugas.
Sunarti tinggl di blok B, di lantai satu, ia mengenakan celana pendek
batas lutut dengan T shirt warna putih, rambutnys ikal terurai.
“Setiap makanan yang ada di meja pasti milik
Universitas, semua warga yang lewat mempunyai hak yang sama. Ayo,
sebelum habis”, Soraya kembali menjawab.
Suasanapun bertambah ramai, Relina merasakan kembali
kehangatan, setelah warga dari blok lain mengacuhkan bahkan setengah
menekannya. Asrama ini terdiri atas delapan blok, masing-masing blok
terdiri atas empat kamar. Blok berarti keluarga, lapisan pertama yang
dapat mengajarkan cara bersosialisasi pada kehidupan yang “aneh” ini.
Adapun komisaris blok bertanggung jawab membimbing warga baru supaya
yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri. Ia tak boleh bersikap apatis
terhadap calon warga.
“Tahukah tidak? Mbak Sisi di blok A masih sering
dikunjungi hantu, tepatnya tiap malam Jumat. Hantu itu tampaknya seorang
gadis berpakaian rapi, duduk membelakangi mbak Sisi di tempat tidur”,
Sunarti membuka pembicaraan, dan tiba-tiba suasana tiba-tiba berubah
menjadi tegang, Relina bahkan merasa bulu kuduknya meremang.
“Terus apa yang terjadi?” Murni, kakak kamar Relina yang hampir diwisuda bertanya.
“Hantu itu mengeluh, ia dan seluruh anggota keluarga mati
terbunuh, ia tidak tenang di alam sana. Ia mencari kerabat yang pernah
tinggal di kamar mbak Sisi, menuntut supaya pelakunya ditangkap.
“Ih, ngeri!”
“Mengapa mbak Sisi tidak berdoa?”
“Ia sedang menghapal ayat kursi”.
“Waktu masih warga baru, aku pernah berkenalan dengan seorang
senior di mushola, tetapi hingga berbulan-bulan tinggal di tempat ini,
aku tak pernah lagi melihatnya. Akhirnya, ketika suatu ketika aku
bercermin, yang kulihat bukan lagi wajahku, tetapi wajah senior itu.
Rupanya ia juga termasuk makhluk halus”, Murni menimpali.
“O ya, mbak-mbak tukang masak punya pengalaman yang lebih seru.
Dini hari, ketika tengah menanak nasi, mereka melihat ada warga
berambut panjang, berbaju putih, berdiri membelakangi di anak tangga.
Ketika mbak-mbak itu menegur, si gadis berbalik menampakkan wajah.
Tahukah apap yang terjadi?” Soraya komisaris blok mengakhiri cerita
dengan bertanya.
“Apa yang terjadi?” serentak, semua yang tengah mengunyah rambutan bertanya
“Gadis itu wajahnya rata, tanpa mata,hidung, mulut dan alis mata”.
“Hiiii…..!!!”gadis-gadis itu kompak menjerit, ketakutan,
lebih-lebih Relina, sewaktu masih kanak-kanak ia pernah menyaksikan
film horror mencekam berjudul Cincin Berdarah dan Dikejar Dosa. Kisah
perempuan yang tewas terbunuh sementara rohnya menjadi hantu,
bergentayangan menuntut balas bagi pembunuhnya. Tayangan itu selalu
membangkitkan rasa takut, terutama ketika ia sendiri di dalam gelap.
Cerita warga tentang hantu di tempat tinggalnya yang baru telah
membangkitkan kembali ketakutan itu.
Ternyata pada bangunan tua ini telah tingga pula hantu!
Sementara dengan perlahan, namun pasti cahaya emas
semakin memudar, muram, dan segera berubah menjadi kegelapan. Sebagai
pengganti, bintang-bintang bertaburan, purnama raya bertahta seakan batu
permata raksasa berwarna merah saga. Sekalian warga muslimin segera
mendirikan sholat, ada yang mengerjakan di mushola, ada pula yang
mengerjakan di dalam kamar.
“Kau warga baru, lebih baik sembahyang di mushola supaya dapat
berkenalan dengan warga lain. Nanti buku putih akan dibagi, setiap warga
baru harus masuk dari kamar ke kamar untuk meminta tanda tangan senior.
Kau harus dapat menghapal nama, kamar, jurusan, angkatan serta
statusnya di asrama. Kalau tanda tangan itu hanya sedikit diperoleh, kau
tidak akan diterima di sini. Banyak warga baru yang dating kemudian
pergi, karena gagal beradaptasi”, Murni memberi saran pada Relina, suaranya dingin tak bersahabat.
Relina sebenarnya ingin mendirikan sembahyang di kamar, ia
ingin benar-benar sendiri, manakala tengah berkimunikasi dengan Sang
Pencipta, tetapi sikap Murni pasti akan semakin tidak bersahabat bila ia
tak menuruti saran yang diberikan. Lebih baik ia menurut dari pada
pecah perang dingin di dalam kamar. “Baik mbak”.
Gadis itu segera mengambil air, menyambar mukena kemudian
melangkah menuju ke mushola yang terlentak di ujung blok H di lantai
dua. Para jemaat tengah bersiap-siap mendirikan rokaat pertama, tergesa
Relina menyesuaikan diri, iapun segera khusuk dalam pemujaan. Allah
Maha Besar adanya.
Selesai sembahyang mereka bersalam-salaman, melakukan dzikir,
dan berdoa. Acara sembahyang berjamaat ditutup dengan perkenalan,
ternyata ada 17 warga baru seangkatan Relina yang diterima bersama-sama.
Mereka antara lain, Inung, Ica, Amali, Via, Ratna, Ika, Mira, dan Siti,
yang lain sedang berhalangan atau beragama Nasrani. Warga baru itu
segera duduk bergerombol, berkeluh kesah.
“Mbak-mbak iu sombong sekali, mereka bersikap dan berkata-kata seolah kita tidak punya perasaan”, Mira mengeluh.
“Di tempat ini tidak ada demokrasi, semakin tua senior, semakin
jahat. Mereka terlalu lama di fakultas, kesulitan mendapatkan ijasah
sarjana, sikapnya makin aneh”, Ika menimpali.
“Tapi ada juga mbak-mbak yang baik, kakak kamarku, mbak Sisi baik sekali”, Inung menyanggah.
“Kakakmu pasti mbak yang selalu dikunjungi hantu, menunut
pembalasan bagi kematian seluruh anggota keluarga”. Relina nimbrung.
“Kamarmu berhantu”.
“Kita orang beriman, kurang lebihnya kita wajib mendirikan
sembahyang berlindung kepada Tuhan”, jawab Inung dengan suara tenang dan
mantab.
Mereka berbicara dengan asyik dan berniat terus ngrumpi, tetapi
seorang warga senior melintas, memberikan teguran dengan sinis, “Ayo
kudeta! Kudeta! Mushola bukan tempat untuk nggosip!”
“Ayo kita kembali”, Amali yang semula diam akhirnya bersuara.
Merekapun bubar. Relina melipat
mukena, merapikan rambut yang acak-acakkan kemudian bergegas pergi
meninggalkan mushola, tuduhan “kudeta” dari sang senior sungguh
membuatnya merasa kacau. Warga baru itu melewati koridor blok G yang
persis menghadap ke arah timur. Sejenak ia terpana, ia dapat melihat
langit membentang bertabur bintang, sementara purnama bertahta bak Dewi
malam dengan lingkaran halo yang membias seakan cincin Sang Maha Raya.
Kekacauan hati, karena teguran “kudeta” sang senior sekejab lenyap, yang
muncul kini adalah rasa takjub, ia mendapatkan anugrah sepasang mata
untuk menyaksikan segala keagungan.
Relina terus melangkah, ia seakan tengah
dimanja, bermandi cahaya bulan. Pada anak tangga pertama yang turun
menuju ke dapur dan ruang makan, tampak seorang warga senior tengah
berdiri menatap bulan. Ia mengenakan blouse putih dari kain katun yang
sangat halus dengan rok jeans model span berwarna biru tua bersulam
kupu-kupu pada salah satu sisinya. Tubuhnya tinggi semampi selayaknya
seorang model, betisnya seakan bulir padi berisi dan sekuning buah
langsat. Citra roman muka khas gadis Jawa, menjadi menarik, karena
senyum ceria yang selalu mengembang.
“Selamat malam mbak, maaf menumpang lewat”,
Relina berkata dengan nada sehalus yang dapat diucapkan, ia setengah
membungkuk waktu lewat di dekat warga senior itu.
“O mari, mari silakan, adik pasti warga baru
Blok E, adiknya Mbak Murni”, suara itu terdengar grapyak, layaknya
seekor burung prenjak, sungguh berbeda dengan suara dari warga lain yang
lebih sering terdengar sinis, bahkan menyakitkan.
“Benar, maaf kenalkan saya Relina, Fakultas Psikologi tahun kedua”, Relina mengulurkan tangan.
“Saya Puspita”, mereka saling berjabat tangan dan saling menilai. “Nanti main ke kamar ya….”
“Baik mbak”.
“Hei, Puspita. Sebentar jam tenang kita saat
teduh di ruang tamu”, sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat muncul,
merangkul pundak Puspita kemudian keduanya berangkulan berjalan menjauh
dengan sangat akrab seolah sahabat lama.
Saat teduh adalah waktu untuk berkumpul dan
berdoa bersama bagi warga beragama Nasrani. Jumlah warga Nasrani adalah
sepertujuh dari keseluruhan warga dengan mayoritas muslim, dan satu dua
orang warga beragama Hindu. Saat teduh dilakukan seminggu sekali di
ruang tamu setelah jam tenang dan setiap warga asrama tidak lagi
diijinkan menerima tamu. Pada saat teduh, setiap warga Nasrani akan
berkumpul, bertukar pikiran, dan berdoa kepada Sang Pencipta.
Relina melirik bayangan Puspita bersama seorang
sahabat berkelebat menjauh kemudian berjalan menuruni anak tangga,
berniat menuju ke ruang makan. Akan tetapi, sampai di depan pintu
langkahnya segera terhenti. Inan, senior tertua yang terkenal galak dan
judes tampak tengah serius membaca Koran “Kedaulatan Rakyat” dengan
sikap angker dan mengancam. Atas nama cinta asrama Inan dan senior yang
lain kerap kali menyerang warga dengn kata-kata
yang tajam layaknya sembilu. Selera makan Relina mendadak hilang, ia
segera memutar langkah balik ke kanan, berjalan melewati gudang pompa
air, dan lapangan Volley hingga akhirnya ia mendapatkan anak tangga
dengan lebar satu meter, memanjat, dan kembali lagi ke kamarnya.
Di dalam kamar Murni dan Dita dengah
bercakap-cakap menghadap meja. “Anak baru itu bicara seenakknya,
sikapnya apatis, ia tak peduli dengan peraturan di tempat ini”, Dita
bersuara.
“Ia hidup berkecukupan, punya motor, mesin
ketik, tape recorder, pakaian, dan sepatu yang bagus. Uang sakunya di
atas rata-rata yang dimiliki seluruh warga. Ia juga punya camera dan
pernik-pernik aneh di mejanya”, Murni menimpali.
“Ia beranggapan asrama ini punya nenek moyang
dan dapat bersikap semau gue, menganggap dirinya terlalu penting”, Dita
mengeluh.
“Aku akan segera meninggalkan tempat ini,
studiku selesai. Relina akan tetap menjadi adikmu, aku tak punya urusan
apa-apa”.
“Tampaknya aku akan menghadapi kesulitan, dia sok, berbeda dengan warga kebanyakan….”
Percakapan itu mendadak terhenti,
karena tiba-tiba Relina muncul dari arah anak tangga dengan membawa
mukena dan sajadah terlipat di tangannya. Murni seger berdiri, “Aku mau
ke jalan Solo, ada yang harus dibeli”.
“Aku mau ke kamar Elin”, Ditapun
berdiri, keduanya berjalan bersama-sama meninggalkan Relina yang baru
tiba. Elin adalah warga baru dengan satu keistimewaan, bahwa ia anak
seorang gubernur termuda dari wilayah Indonesia timur. Keberadaan Elin
di asrama menimbulkan keheranan bagi seluruh warga, mengapa seorang
gubernur menyarankan puteri kesayangannya tinggal di asrama? Bukankah
Elin dapat tinggal pada sebuah kediaman yang eksklusif? Sementara
warga bahkan berpendapat, bahwa asrama merupakan suatu fasilitas bagi
anak-anak “terlantar” yang wajib dipelihara negara. Akan tetapi, sang
Gubernur rupanya bermaksud memberikan pendidikan mental yang baik bagi
puteri tercinta.
Sepeninggal Murni dan Dita koridor
Blok E menjadi sunyi, Relina terdiam. Ia memasuki relung kamar yang
sunyi dan dingin, meletakkan mukena dan sajadah pada sandaran ranjang
besi kemudian merogoh ke dalam tas kuliah. Ia sempat membeli burger dan
hot dog di Mirota Kampus, lebih baik ia mengganjel perut dengan fast
food dari pada duduk di ruang makan, mengunyah nasi, sayur, dan
sepenggal lauk yang telah dingin tanpa selera.
Gadis itu terduduk pada kursi di
koridor menatap ke jalan sambil mengunyah makanan dengan buku di tangan
kemudian menekuni lembar demi lembar. Sementara malam telah benar-benar
jatuh, dedaunan terdiam, demikian pula dengan sebatang jalan aspal yang
mengular kemudian terpecah sebagai perempatan. Hening berlanjut setelah
seharian yang diliputi kesibukan, adapun bangunan asrama tetap berdiri
kukuh, dindingnya yang tua kekuning-kuningan telah ditumbuhi lumut pada
beberapa bagian. Kusen, daun pintu, dan jendela sekelam rumput laut,
tampak angker, karena cahaya lampu di koridor yang meredup.
Di aula, di depan pesawat televisi
sebagian warga berkumpul mengikuti acara yang tengah ditayangkan. Ruang
tamu riuh rendah oleh kunjungan dari rekan-rekan warga. Di dapur
beberapa orang warga sibuk memasak super mie sebagai menu pengganti
sehari-hari. Ada warga yang tekun membaca buku di meja belajar di dalam
kamar, ada pula yang asyik ngrumpi di setiap sudut asrama yang biasa
digunakan untuk bertegur sapa.
Relina tetap sendiri, ia tenggelam
dalam hening suasana yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Tiba-tiba
terdengar suara bergema mengejutkan, “Relina, kau jadi warga baru di
sini?”
Gadis itu menoleh kepada sumber
suara, ia segera menangkap sesosok bayangan mendekat. Ingatan gadis itu
segera berbalik ke masa lalu, waktu itu ia pendatang baru di bangku
kelas IV Sekolah Dasar. Relina mengenal seraut wajah dengan badan montok
segar sebagai kakak di kelas VI. Tiga tahun kemudian ketika ia
meneruskan sekolah di bangku SLTP sosok itu kembali muncul sebagai siswi
kelas III pada almamater yang sama dengan boboy menyusut, sehingga ia
tampak seakan puteri ayu.
Tiga tahun berikutnya, Relina kembali
mengenali raut wajah itu ketika duduk sebagai pelajar baru di kelas
satu SMA. Sesosok yang tenang dan ikhlas menjalani hidup apa adanya.
Kini, ketika ia terburut-birit menyesuaikan diri sebagai warga baru,
sosok itu muncul kembali tanpa disangka-sangka. Sejauh ini Relina hanya
mengenal sebagai kakak kelas tanpa pernah terliba sebagai kawan
sepermainan. Akan tetapi, di tanah rantau, ketika mereka bersama-sama
menuntut ilmu, keberadaan asrama kembali mempertemukan.
“O, mbak Ita, mbak tinggal di sini?”
“Iya, sudah dua tahun, kenapa tidak main ke rumah?”
“Saya baru tahu kalau mbak Ita tinggal di sini”.
“Saya di blok G, kamar 26.
Kawan-kawan SMA banyak pula yang di Yogya, kadang-kadang kami bertemu.
Bagaimana? Sudah kerasan di tempat baru?” Ita bertanya.
“Kehidupan di sini sungguh unik,
suasananya bagus, tetapi sikap mbak-mbak sering aneh. Mereka melihat
saya seakan-akan makhluk asing dari planet lain”.
“Itu Cuma tes mental. Kehidupan ini
sangat keras, kita menjadi bagian mutlak di dalamnya dan mestinya dapat
diterima lingkungan sekitar. Warga baru Cuma perlu merendahkan diri dan
itu tak ada salahnya. Kelak, setelah lulus sarjana kita akan bergabung
ke dalam suatu komunitas sebagai pendatang baru, nanti kita akan tahu,
betapa kejam masyarakat kecuali kita telah mempunyai kiat untuk menjadi
bagian di dalamnya”.
“Mbak Ita juga mengalami hal semacam ini?”
“Semua mengalami, warga baru
ibaratnya masih berada pada posisi ambigu atau liminalitas. Engkau baru
meninggalkan lingkungan tempat tinggalmu yang lama dan belum sepenuhnya
diterima di lingkungan asrama. Tetapi bisa kau lihat sendiri, semakin
lama warga menetap di tempat ini, mereka semakin kerasan. Kita memiliki
banyak kawan, ini yang namanya masyarakat kecil, ada seribu satu macam
sikap, banyak yang bisa kita pelajari”.
Relina terdiam, ia menyadari
kebenaran kata-kata itu, ia menjadi berbesar hati. Mereka terus
berbincang-bincang sampai tiba-tiba tedengar suara gong dipukul delapan
kali, saatnya jam tenang. Hal itu berarti, saat-saat untuk bertamu,
berkunjung, dan bercakap-cakap sudah habis. Setiap warga harus kembali
kepada kesadaran untuk belajar, warga yang mengetik tugas atau paper
harus mengerjakan di ruang makan, supaya suara berisik dari mesin ketik
tidak mengganggu teman sekamar.
“Okey, sudah jam tenang, saya ke kamar dulu, nanti main ya....”, Ita berpamit.
“Baik mbak, terima kasih untuk kedatangannya”.
Itapun berlalu dengan suara jejak
bergema, semakin lirih dan akhirnya menghilang di balik pintu aula.
Warga yang tinggal di lantai satu pasti dapat mendengar dengan jelas
suara itu. Ketika suasana bertambah hening, ricik air yang tertuang ke
dalam gelas dari lantai atas, ada kalanya terdengar pula. Ada kalanya
terdengar suara jejak kaki pada koridor di lantai atas tanpa dapat
diketahui asal usulnya. Tiba-tiba suara itu muncul kemudian menghilang.
Warga asrama berkesimpulan, jejak itu adalah suara hantu.
Relina kembali membaca buku, ia
membuka lembar demi lembar dengan tekun tanpa menyadari, malam semakin
larut. Heningpun sempurna, rumput dan dedaunan seakan telah tertidur
pula, jalanan semakin sunyi, sesekali terpecah oleh suara sepeda atau
penjual sate yang lewat kemudian gerimispun jatuh. Udara menjadi dingin,
suasana asrama semakin diam. Pintu dan jendela di ruang tamu telah
tertutup, seluruh pengunjung telah berpamit, warga Nasrani tengah khusuk
dalam saat teduh. Warga asrama yang lain sibuk dengan urusan
masing-masing.
Relina merasa matanya mengantuk, ia
berniat berbaring di tempat tidur, akan tetapi ketika memasuki relung
kamar, ia merasa bulu kuduknya meremang. Kamar ini dingin, sunyi, dan
menakutkan. Perlahan-lahan Relina undur, meninggalkan kamar kembali ke
tempat semula. Samar-samar ia masih mendengar suara langkah kaki, bunyi
pintu dikatupkan kemudian dengung suara kendaraan bermotor di kejauhan.
Ia tak benar-benar sendiri. Mata Relina benar-benar telah mengantuk
seakan dikayuti balok kayu ketika terdengar langkah kaki Murni telah
kembali dari Jalan Solo. Gadis itupun bersiap kembali ke kamar, ia harus
beristirahat dalam tidur.
***
Siang itu terjadi keributan di ruang makan, garam
halus licin tandas tanpa sisa, bendahara bulanan lalai untuk hal yang
satu ini. Seorang warga yang kuliah di jurusan pertanian berbuat
teledor dengan meletakkan pupuk urea di dalam almari makan. Mbak-mbak
tukang masak mengira benda berwarna putih itu adalah garam kemudian
menaburkannya ke dalam satu panci besar sayuran.
Relina merasa benar kelaparan
sepulang kuliah. Setelah memarkir motor di bawah pohon kamboja, ia
segera bergegas menuju ke ruang makan, warga baru itu merasa gembira,
tak ada warga senior yang memasang wajah angker di ruangan ini. Ia
adalah warga pertama yang berhak mencicipi sayur dan sekalian menu makan
siang. Gadis itupun meraih perlengkapan makan, menyendok nasi dan sayur
serta seekor ikan goreng di dalam almari. Iapun duduk manis dan mulai
menyantap makanan, beberapa detik kemudian Relina merasakan sesuatu yang
asing pada lidah merangsek secara perlahan-lahan ke dalam perut,
kepalanya pening dan berputar-putar. Ia perlu berlari ke tempat sampah
untuk menumpahkan seluruh isi perut, piring di atas meja terlempar,
pecah berantakan dengan seluruh isi berhamburan.
“Relina, kau kenapa?”
“Re, kenapa?”
Beberapa orang warga dtang mendekat,
memijit-mijit punggung gadis itu. Mereka tampak cemas, adapun Relina ia
merasa demikian lemas setelah memuntahkan seluruh isi perut. Ia dipapah
menuju kamar terdekat, dibaringkan dan digosok dengan minyak angin.
“Sayur itu rasanya aneh, seperti
dicampur obat”, Relina berbisik, tiba-tiba ia merasa demikian mengantuk.
Puspita datang dengan secangkir susu hangat, menyorongkan pada Relina.
“Kau harus minum susu, mungkin keracunan”, Relina meneguk susu itu
dengan paksa. Benar, ia merasa lebih baik meskipun keringat dingin terus
mengucur.
Sunarti, ketua asrama datang
tergopoh-gopoh dengan dahi berkerut, ia telah mendengar pula keributan
di ruang makan. “Ada apa ini?” ia bertanya.
“Relina makan nasi dengan sayur, rasanya seperti obat, muntah-muntah terus lemas”, jawab Puspita.
Dengan langkah bergegas Sunarti
meninggalkan kamar, menuju ke ruang makan, langsung memeriksa panci
sayuran, ia mengendus kuah sayur, mencicipi kemudian berlari keluar,
meludah ke atas tanah. Gadis itu perlu menuang air minum, berkumur-kumur
kemudian pergi ke kamar tukang masak yang terletak di dekat gudang
makanan.
“Mbak Tati, bagaimana tadi Mbak Tati
dan mbak-mbak yang lain memasak sayur? Warga baru keracunan. Bagaimana
kalau ia tidak dapat ditolong kemudian keluarganya menuntut? Sunarti
memandang tukang masak itu dengan tatapan tajam, ia harus memberi
teguran bagi keteledoran itu.
“Saya masak seperti biasanya”, jawab Mbak Tati ketakutan.
“Tapi Relina keracunan!”
“Tadi garam memang habis, bendahara
sudah mengunci gudang makanan. Saya lihat ada garam di almari makan,
saya tabur garam itu ke dalam sayur”, Ginah, tukang masak yang lain
menjawab.
“Garam yang mana? Coba tunjukkan!”
“Mari saya tunjukkan”, Ginah berjalan
menuju ke ruang makan, membuka salah satu dari delapan deretan almari
kayu kemudian menunjukkan bubuk putih kepada Sunarti. “Ini garamnya”.
Seketika mata Sunarti terbelalak,
nyaris keluar dari kelopak. “Ya tyhan! Ini pupuk urea! Kau gegabah
sekali Ginah! Buang semua sayur, jangan sampai semua warga keracunan!”
Sementara itu ruang makan telah ramai
oleh warga yang erdatangan untuk makan siang. Akan tetapi, mereka
terbengong-bengong ketika melihat tukang masak mengangkat sepanci besar
sayur lodeh ke halaman belakang di dekat lapangan volley kemudian
menumpahkan seluruh isinya. Warga asramapun bertanya-tanya.
“Kenapa sayur dibuang?”
“Kita makan apa?”
“Hei, apa yang terjadi?”
Wajah-wajah itu tak dapat
menyembunyikan rasa heran, melihat ulah tukang masak hari ini. Keheranan
itu terjawab ketika Sunarti memberi penjelasan.
“Mohon maaf untuk seluruh warga, hari ini tidak ada sayur. Tukang masak
melakukan kekeliriuan, mengira pupuk urea adalah garam halus dan
menaburkan ke dalam sayur. Seorang warga keracunan, supaya warga yang
lain tidak mengalami nasib yang sama, terpaksa sayur dibuang. Sekali
lagi mohon maaf”.
Penjelasan dari ketua asrama disambut dengan reaksi kekecewaan dari seluruh warga. “Yah, naas kita hari ini!”
“Udah lapar nich!”
“Emangnya kita tanaman mau dipupuk?!”
“Idiot!”
Warga asrama berlalu sambil
bersungut-sungut, mereka harus mencari jalan untuk mendapatkan menu
makan siang, sungguh kurang sedang makan siang tanpa sayur. Adapun
Ginah, si tukang masak yang teledor, terbungkam seribu bahasa, menyadari
kesalahannya. Suasana di ruang makan menjadi tidak nyaman. Sementara
warga memilih pergi makan di luar, membeli gado-gado, gudeg atau
empek-empek sebagai menu pengganti.
Di atas pembaringan Relina tampak
pulas beberapa lama, ketika terjaga, Murni, dita, dan Soraya telah
berada di sampingnya. Relina masih merasa pening, mual, dan lemas,
tetapi ia harus kembali ke kamar, tak enak berlama-lama mengungsi di
kamar warga. “Kau sudah baik Re?” Murni bertanya, wajah adik kamarnya
itu tampak pucat dan letih, rasa sakit telah meruntuhkan keangkuhannya.
“Masih pening dan mual, tapi lebih
baik kembali ke kamar”, dengan susah payah Relina bangkit. Ia melawan
segala rasa enggan, ia mengangguk kepada sang empunya kamar, kemudian
melangkah gontai menuju ke blok E untuk kembali ke kamar. Ia menapaki
tangga dengan terengah dan menjadi lunglai ketika berbaring kembali di
atas tempat tidurnya dengan kasur yang tipis. Warga blok E berdatangan,
ada yang menggosok Relina dengan minyak angin, ada yang membuat teh
panas, ada pula yang memijit-mijit kakinya. Relina kembali merasa amat
mengantuk, setelah meneguk teh gadis itu kembali berbaring, ia menatap
wajah-wajah yang tampak cemas. Semula wajah itu tampak demikian
memusuhi, kini berubah menjadi sahabat. Relina mengerti, ia mulai
menjadi bagian kehidupan di tempat ini.
Keesokan hari, suasana di ruang makan
kembali seperti semula, akan tetapi bendahara bulanan membuat menu
telur orak arik. Sebagian warga mengomel, sebagian menatap dengan wajah
dingin, sebagian yang lain mengambil jalan dengan membeli gudeg atau
membuat telur ceplok. Relina membeli lima butir telur ayam,
menggorengnya di dapur, tiga butir yang lain ia letakkan pada sebuah
piring di alamari makan. Sebagai akibatnya, warga yang lain menatapnya
dengan tidak senang, mereka membuang muka, melirik sambil
berbisik-bisik.
Siang hari sepulang kuliah Dita
menegurnya dengan sikap dingin, “Relina, kau warga baru, makan apa yang
tersedia di meja makan, tidak perlu menggoreng telur sendiri. Asrama ini
kecil, dinding-dinding juga bisa bicara, kalau kau berbuat salah,
kakakmu yang ditegur. Mbak-mbak ramai bicara, kau menggoreng telur untuk
sarapan di dapur”, setelah berkata-kata Dita berlalu dan tidak memberi
kesempatan kepada Relina untuk menjawab.
Relina terdiam, cara Dita menegur
amatlah tidak manusiawi, ia menempatkan dirinya sebagai pengawas dan
berhak menegur siapapun dengan aturan serta tata caranya sendiri. Relina
tiba-tiba merasa dirinya menjadi mahluk kecil, tetapi ia tidak mau
dipermalukan dengan cara seperti ini. Ia tetap berlaku seperti biasa,
seolah Dita tak pernah berkata apa-apa.
Malam hari ketika membuka alamari
untuk mengambil telur yang tersisa Relina tertegun, tiga butir telur itu
kini tak ada. Ia berniat membuat nasi goreng bersama Murni, Dita tidak
akan menegurnya, karena ia memasak dengan warga senior yang siap
diwisuda. “Maaf mbak, telurnya hilang”, Relina mengeluh.
“Pasti ada yang usil”, Murni bergegas
meminta secarik kertas dan meminjam pena pada warga di kamar terdekat
kemudian mulai menulis.
Maaf, kembalikan telurku.
Kertas itu diletakkan pada bekas
tempat telur kemudian Murni mengajak Relina keluar untuk membeli lauk di
kaki lima. Sayur yang dimasak pada pagi hari telah menjadi dingin tak
mengundang selera. Sepulang dari kaki lima Murni dan Relina mengunyah
makanan dengan lahap, gudeg dengan segala uba rampenya itu benar-benar
lezat dan mengenyangkan. Kali ini Dita tak dapat menegur Relina, karena
warga baru itu makan di blok bukan di ruang makan. Relina terlibat
“acara” dengan Murni. “Ayo makan Dit”, Murni berbasa-basi.
“Aku ada kedatangan kawan, selamat
makan”, Dita pergi berlalu tanpa menoleh, meninggalkan Murni dan Relina.
Tak berapa lama kemudian warga blok E yang lain berdatangan, bergabung
di meja makan dan suasana menjadi ramai.
“Kemarin saya lihat Mirna pulang
kemalaman dengan si doi. Eh, gerbang sudah terkunci. Mirna perlu
menelepon sebelum bersitegang dengan penjaga malam kemudian kembali ke
kamar”, Soraya membuka pembicaraan.
“Mereka terlalu asyik pacaran sampai lupa waktu pulang”, seorang warga yang lain menimpali.
“Masih ingat cerita tempo dulu? Saat
Lily Munir yang kini aktif di majalah wanita masih tinggal sebagai
warga?” Murni membuka cerita.
“Saya ingat!” Soraya tanggap dengan
cepat, “Cerita seorang warga yang pulang larut kemudian mendapat ciuman
selamat malam dari sang pacar dan mendadak kaget, karena ada seorang
warga dari lantai atas yang sengaja menyiram dengan air, sehingga
pasangan yang tengah asyik masyuk itu menjadi basah kuyup dan tentu saja
kapok!” kata-kata Soraya ditanggapi dengan ledakan tertawa dari seluruh
warga. Kisah itu memang menjadi cerita dari mulut ke mulut hingga
asrama ini berumur hampir setengah abad dan terus diturunkan dari satu
warga ke warga yang lainnya, menjadi cerita lucu. Mereka terus
bercakap-cakap hingga suara gong kembali terdengar, bergema delapan
kali. Gaung itu merupakan suatu pertanda, saat untuk bercengkerama sudah
habis, setiap warga harus kembali kepada rutinitas semula. Belajar!
Relina bergegas pergi ke ruang tamu,
ia bersama 17 warga baru yang lain harus melewati suatu proses
sosialisasi baku bagi setiap warga. Yaitu, menerima buku putih untuk
mendapat tanda tangan dari seluruh warga. Beberapa warga baru telah
duduk bergerombol, di depan ruang tamu. Papan kayu bertulis, ‘TAMU LAKI-LAKI DILARANG MASUK’ masih tegak berdiri tak bergeming. Relina menuruni anak tangga dengan hati-hati.
“Relina, kamu sudah sembuh?” Inung
menyambut kedatangan Relina sambil menggenggam tangannya. “Saya dengar
kamu keracunan, mbak-mbak tukang masak punya menu istimewa, pupuk urea
sebagai penyedap makanan, ha ha ha....” merekapun tertawa
terkekeh-kekeh.
Relina yang semula diam akhirnya ikut
tertawa, betapa konyolnya kejadian itu, “Untung aku hanya makan dua
sendok, hak hidup masih didapat”.
“Kamu sudah sembuh Relina?” Elin, warga baru dari ujung paling timur Indonesia datang bergabung.
“Sudah, terima kasih atas perhatiaannya”.
Suasana menjadi ramai ketika ke-17
warga baru bergabung. Mereka bertegur sapa dan tertawa berderai, melepas
ketegangan, setelah tekanan yang demikian berat sebagai warga baru.
Akan tetapi suara tawa itu segera terhenti ketika tiba-tiba tampak
bayangan Sunarti, ketua asrama bersama pengurus inti yang lain
berkelebat datang. Wajah-wajah pengurus itu tak ada yang ramah, semua
menampakkan garis segelap mendung. Seketika, tak satupun warga baru yang
berani bersuara, semua terdiam seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Selepas jam tenang, dengan sebagian
lampu telah padam, ruang tamu beraurora relung bangunan purba, sunyi,
dan dingin. Beberapa perangkat kursi ukir tertata rapi pada tempatnya
dan terdiam. Lantai ubin telah tua, pudar, dan memutih, adapun
kusen-kusen dari kayu jati tampak angker. Di sudut ruangan berdiri
lemari kaca dengan kerangka kayu jati berukir. Di dalamnya aneka piala
penghagaan tersusun secara beraturan, mengagumkan tamu-tamu yang datang,
seolah warga asrama adalah jawara pada setiap pertandingan. Tamu-tamu
itu tak banyak mengira, bahwa piala yang memenuhi lemari berukir adalah
hadil dari sederet lomba permainan, seperti tarik tambang, lari karung,
bola kasti, dan sebagainya.
Pada salah satu sisi dinding
menghadap langsung ke pintu masuk foto presiden dan wakil presiden
seakan tengah memandang seisi ruangan dalam keabadian. Adapun lukisan
R.A. Kartini terdiam, tatapan matanya seakan mencatat setiap perubahan,
ia tak melakukan hal yang sia-sia bagi kaum wanita dalam rangka
kesetaraan gender. Calon-calon sarjana wanita yang sementara tengah
menempati asrama dan berjuang bagi selembar ijasah sekaligus pembangunan
karakter itulah buktinya.
“Baik, terima kasih atas
kehadirannya, pengurus asrama sengaja mengumpulkan adik-adik hari ini
untuk satu hal baku bagi setiap calon warga, dan seterusnya saya
persilakan kepada ketua asrama untuk menyampaikan sepatah dua patah
kata”, Amalia sekretaris asrama membuka pembicaraan. Ia menatap wajah
setiap calon warga dengan sikap dingin. Empat tahun yang lalu, di tempat
yang sama ia pernah berada pada situasi serupa, kecil dan tertekan. Ia
Cuma seorang calon warga yang dapat diperlakukan dengan “semena-mena”.
Kini, roda kehidupan telah berputar, ia bukan lagi calon warga, akan
tetapi yang dipertuan agung, pengurus asrama, ia dapat berbuat “apa
saja”.
Sunarti, ketua asrama memiliki wajah
yang sama kerasnya dengan tembok, senyumnya tak pernah terbaca. Ia harus
tampil berwibawa, ia memiliki citra khas penghuni asrama yang melekat
pada imaji masyarakat luar, tua, galak, dan keras kepala. Tujuh belas
calon warga baru mendadak kehilangan nyali. Mereka memilih diam, karena
memang sikap seperti inilah yang ditekankan oleh senior. Menurut lebih
baik dari pada dimusuhi secara kolektif.
“Baik, terima kasih ata kehadiran
adik-adik semua. Peraturan asrama mengharuskan setiap warga menerima
buku putih. Dengan buku ini calon warga akan berkenalan dengan seluruh
warga senior dan meminta tanda tangan. Tulis baik-baik nama, blok,
kamar, dan ingat jurusan, angkatan, serta daerah asal. Adik-adik
memiliki waktu tiga bulan. Apabila dalam waktu tiga bulan buku ini tidak
bisa dipenuhi tanda tangan, berarti yang bersangkutan gagal sebagai
calon warga. Ada pertanyaan?”
Hening.
Ketegangan terus merayap, Relina
berpandangan dengan Inung, saling mengerdipkan mata dan memutuskan tidak
bertanya. Calon warga yang lain melakukan hal yang sama. Amalia segera
membagikan buku tipis bersampul putih. Calon warga menerima buku itu
dengan gamang, seolah merestui tiket menuju ke tiang gantung. Beberapa
menit setelah buku putih dibagikan, pertemuan itupun bubar.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar