Minggu, 02 Juni 2019

ASRAMA PUTRI --Tentang Relasi Gender-- SATU

 




  

Bagi seorang mahasiswi, tinggal di asrama putri selama masa kuliah adalah sebuah pilihan dengan segala konsekuensi yang harus dipikul kemudian. Demikian yang terjadi pada diri Relina ketika ia memutuskan tinggal di asrama putri di bawah naungan universitas. Hal itu berarti ia harus beradaptasi dengan delapan puluh wajah dan karakter yang setiap tahun selalu  berganti rupa, peraturan asrama yang ketat, kebiasaan yang aneh –terlebih bagi seorang warga baru. Relina berpegang pada prinsip, bahwa sebagai mahasiswa di universitas tempatnya belajar, ia memiliki hak untuk menetap di asrama hingga masa kuliah selesai. Interaksi social dengan beragam konflik yang membawa warga asrama pada permusuhan adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-sehari. Akan tetapi, persabahabatan terjalin pula dengan indah, sehingga pada akhirnya Relina mampu mengambil sikap dalam menghadapi kehidupan yang selalu dirundung berbagai persoalan.
Ketika akhirnya ia harus berpamit dan berhadapan dengan persoalan rumit  yang berurusan dengan sidang pengadilan. Adakah alumni asrama putri tetap tinggal diam? Adakah orang yang pernah menjadi “musuh” tak mengambil tindakan untuk menyatakan, bahwa ia tidak bersalah.

                                                                *** 


Bangunan asrama itu telah berumur hampir setengah abad. Goresan tanda tangan sang Proklamator dan Perdana Menteri di atas permukaan batu pualam yang telah digrafir, lengkap dengan tanggal yang tertera, menyebabkan sesiapapun tahu, berapa tepatnya umur bangunan  itu? Penjual gudeg dan gado-gado  yang menyambung hidup secara permanen di seputar asrama, selalu berkata, bahwa asrama putri itu sebenarnya dibangun di atas tanah pekuburan. Hantu-hantu yang sering menampakkan diri serta pohon kamboja yang indah berbunga, itulah buktinya. 
                Keseluruhan bangunan berbentuk seakan leter U dengan satu sisi lebih pendek. Terdapat 32 kamar dengan ukuran 8 x 5 meter, 16 kamar di lantai satu dan 16 kamar di lantai dua, tiap-tiap kamar dihuni tiga orang warga. Penghuni asrama secara fluktuasi adalah 80 mahasiswi dari universitas yang sama fakultas dan jurusan yang berbeda. Di dalam gedung itu terdapat pula ruang tamu, aula, perpustakaan, musholla, ruang administrasi, ruang setrika, tempat parkir, dapur, ruang makan, sumur, balkon, dan tiga lusin kamar mandi. Koridor dan tangga menghubungkan setiap penghuni dari kamar ke kamar. Di sepanjang koridor pot-pot bunga tertata secara beraturan berisi aneka jenis tanaman hias.
                Sore itu, cahaya senja yang kuning keemasan jatuh condong, menyinari seluruh komplek asrama dalam sinar yang sempurna. Sepasang pohon damar yang menjulang, pohon bungur, celong, kamboja, sawo kecil, dan hujan emas yang tengah bermekaran tampak seakan lukisan semesta yang menyebabkan setiap warga terpesona.
                Relina menapakkan kaki, memasuki halaman asrama dengan ragu, ia adalah seorang warga baru atau calon warga, ia harus beradaptasi secara khusus supaya diterima menjadi bagian dari kehidupan di tempat ini. Ia merasa sungguh sulit, tetapi asrama ini memiliki sisi-sisi kehidupan yang unik dan ia menyukainya. Relina mendapatkan sebuah pengalaman baru, tegang, namun mengasyikan. Asrama ini akan menjadi tempat tinggal selama pendidikan hingga ia mampu menyelesaikannya.
                Mahasiswa psikologi tahun kedua itu terus melangkah, melewati gerbang kecil, menuju anak tangga untuk kembali ke kamar di lantai dua, di bagian yang paling ujung. Ia baru pulang kuliah, sepeda motor mengalami kerusakan, ia meninggalkan di bengkel yang terletak di ujung jalan kemudian berjalan kaki, menempuh jarak sekitar 100 meter sebelum tiba kembali di kediamannya yang baru.
                Warga asrama tengah tenggelam dalam kesibukan masing-masing, ada yang dikunjungi teman-teman kuliah, ada yang membenahi kamar, merawat tanaman, duduk bergerombol di koridor –ngrumpi—membaca atau bercengkerama bermandi cahaya senja di balkon yang menghadap langsung ke jalan raya. Relina melewati papan bertuliskan huruf dari cat semerah darah bertuliskan “TAMU LAKI-LAKI DILARANG MASUK” yang berdiri tegak di dekat intercome, menghadang koridor blok D, kemudian menaiki anak tangga. Ia berpapasan dengan beberapa senior yang tergesa menuruni anak tangga, karena telah ditunggu di ruang tamu. Relina mengangguk sambil tersenyum, tetapi senior itu tak memberikan reaksi apa-apa. Ia seolah hanya sebongkah batu yang tak pantas diajak bertegur sapa. Ia memang hanya seorang calon warga yang ditekan sedemikian rupa supaya dapat merendahkan diri dan diterima lingkungan di sekitarnya.
                Relina merasa gelisah merayapi urat nadi, tetapi ia berusaha menekan perasaan itu. Ia memegang kartu mahasiswa secara resmi dari universitas. Ia berhak pula menetap di asrama ini sebagai anak negara yang harus dipelihara, seperti halnya warga asrama lainnya. Relina melewati aula berukuran 20 x 20, beberapa warga berpakaian daster dan celana pendek serta T shirt tampak duduk bergerombol menatap layar televisi berwarna dengan ukuran 24 inci. Perhatian mereka terpecah ketika tampak bayangan Relina berkelebat, mengenakan celana jeans yang masih baru dengan hem sebiru laut, sepatu kulit serta tas bagu. Relina kembali mengangguk dan tersenyum, lidah gadis itu segera terasa pahit, senior yang tengah menonton televisi itu serentak membuang muka, melirik dengan sinis, dan berbisik-bisik.
                “Pakaiannya selalu modis”.
                “Ia anak sombong”.
                “Terlalu cuek”.
                “Keras kepala”
                “Bicara ceplas ceplos”.
                “Maklum....”
                Bisik-bisik itu meskipun lirih sempat tertangkap di telinga Relina, agaknya ia selalu dianggap sebagai makhluk aneh dari planet lain. Keseluruhan perilaku dan penampilan selalu dianggap sebagai sorotan dan gunjingan. Apapun yang dikerjakan selalu salah. Akan tetapi, Relina harus tidak peduli dengan semua kata-kata itu. Ia tidak pernah mengganggu sesiapapun dan sepanjang warga asrama tidak menyerangnya secara brutal, ia akan beranggapan tak ada masalah apa-apa. Ia berkonsentrasi pada tujuan utama, yaitu “ngangsu kawruh” menuntut ilmu. Kehidupan di tempat ini adalah suatu lingkungan spesifik yang menuntutnya untuk beradaptasi. Warga senior demikian mencintai kehidupan di tempat ini. Mereka tampak akrab satu sama lain,  berhubungan layaknya saudara satu ibu dan menikmati hari demi hari yang diselingi bermacam kegiatan. Relina yakin, setelah melewati waktu demi waktu iapun akan menjadi bagian mutalk dalam kehidupan asrama dan menjalin keakraban antara sesama warga.
                Di koridor, warga blok E tampak tengah duduk bergerombol, menikmati satu keranjang besar rambutan, oleh-oleh Vida dari Bandung. Cahaya senja masih keemasan, adalah candi ayu yang menimpa hijau dedaunan, sehingga tampak sebagai panorama yang menakjubkan. Desau angin berhembus menggugurkan ranting dan dedaunan. Sekejab Relina terpana, Sang Maha Pencipta tengah memanjakan manusia melalui sebuah panorama atas nama cahaya.
                “Relina, ayo makan rambutan”, Soraya, komisaris blok menyapa gadis itu, sambil memasang mimik, bahwa rambutan yang dikunyah manis dan enak betul. Relina tak punya alasan untuk menolak, ketika Vida serta seluruh warga Blok E menawarkan hal yang sama, iapun segera bergabung, menikmati rambutan yang manis dan segar itu.
“Hei, Blok E pesta sendiri, itu rambutan pasti enak sekali, siapa punya?” sesosok bayangan muncul dari ujung koridor. Ia adalah Sunarti, ketua asrama yang akan segera mengakhiri masa tugas. Sunarti tinggl di blok B, di lantai satu, ia mengenakan celana pendek batas lutut dengan T shirt warna putih, rambutnys ikal terurai.
“Setiap makanan yang ada di meja pasti milik Universitas, semua warga yang lewat mempunyai hak yang sama. Ayo, sebelum habis”, Soraya kembali menjawab.
Suasanapun bertambah ramai, Relina merasakan kembali kehangatan, setelah warga dari blok lain mengacuhkan bahkan setengah menekannya. Asrama ini terdiri atas delapan blok, masing-masing blok terdiri atas empat kamar. Blok berarti keluarga, lapisan pertama yang dapat mengajarkan cara bersosialisasi pada kehidupan yang “aneh” ini. Adapun komisaris blok bertanggung jawab membimbing warga baru supaya yang bersangkutan dapat menyesuaikan diri. Ia tak boleh bersikap apatis terhadap calon warga.
“Tahukah tidak? Mbak Sisi di blok A masih sering dikunjungi hantu, tepatnya tiap malam Jumat. Hantu itu tampaknya seorang gadis berpakaian rapi, duduk membelakangi mbak Sisi di tempat tidur”, Sunarti membuka pembicaraan, dan tiba-tiba suasana tiba-tiba berubah  menjadi tegang, Relina bahkan merasa bulu kuduknya meremang.
“Terus apa yang terjadi?” Murni, kakak kamar Relina yang hampir diwisuda bertanya.
“Hantu itu mengeluh, ia dan seluruh anggota keluarga mati terbunuh, ia tidak tenang di alam sana. Ia mencari kerabat yang pernah tinggal di kamar mbak Sisi, menuntut supaya pelakunya ditangkap.
“Ih, ngeri!”
“Mengapa mbak Sisi tidak berdoa?”
“Ia sedang menghapal ayat kursi”.
“Waktu masih warga baru, aku pernah berkenalan dengan seorang senior di mushola, tetapi hingga berbulan-bulan tinggal di tempat ini, aku tak pernah lagi melihatnya. Akhirnya, ketika suatu ketika aku bercermin, yang kulihat bukan lagi wajahku, tetapi wajah senior itu. Rupanya ia juga termasuk makhluk halus”, Murni menimpali.
“O ya, mbak-mbak tukang masak punya pengalaman yang lebih seru. Dini hari, ketika tengah menanak nasi, mereka melihat ada warga berambut panjang, berbaju putih, berdiri membelakangi di anak tangga. Ketika mbak-mbak itu menegur, si gadis berbalik menampakkan wajah. Tahukah apap yang terjadi?” Soraya komisaris blok mengakhiri cerita dengan bertanya.
“Apa yang terjadi?” serentak, semua yang tengah mengunyah rambutan bertanya
“Gadis itu wajahnya rata, tanpa mata,hidung, mulut dan alis mata”.
“Hiiii…..!!!”gadis-gadis itu kompak menjerit, ketakutan, lebih-lebih Relina,  sewaktu masih kanak-kanak ia pernah menyaksikan film horror mencekam berjudul Cincin Berdarah dan Dikejar Dosa. Kisah perempuan yang tewas terbunuh sementara rohnya menjadi hantu,  bergentayangan menuntut balas bagi pembunuhnya. Tayangan itu selalu membangkitkan rasa takut, terutama ketika ia sendiri di dalam gelap. Cerita warga tentang hantu di tempat tinggalnya yang baru telah membangkitkan kembali ketakutan itu.
Ternyata pada bangunan tua ini telah tingga pula hantu!
Sementara dengan perlahan, namun pasti cahaya emas semakin memudar, muram, dan segera berubah menjadi kegelapan. Sebagai pengganti, bintang-bintang bertaburan, purnama raya bertahta seakan batu permata raksasa berwarna merah saga. Sekalian warga muslimin segera mendirikan sholat, ada yang mengerjakan di mushola, ada pula yang mengerjakan di dalam kamar.
“Kau warga baru, lebih baik sembahyang di mushola supaya dapat berkenalan dengan warga lain. Nanti buku putih akan dibagi, setiap warga baru harus masuk dari kamar ke kamar untuk meminta tanda tangan senior. Kau harus dapat menghapal nama, kamar, jurusan, angkatan serta statusnya di asrama. Kalau tanda tangan itu hanya sedikit diperoleh, kau tidak akan diterima di sini. Banyak warga baru yang dating kemudian pergi, karena gagal beradaptasi”, Murni memberi saran pada Relina, suaranya dingin tak bersahabat.
Relina sebenarnya ingin mendirikan sembahyang di kamar, ia ingin benar-benar sendiri, manakala tengah berkimunikasi dengan Sang Pencipta, tetapi sikap Murni pasti akan semakin tidak bersahabat bila ia tak menuruti saran yang diberikan. Lebih baik ia menurut dari pada pecah perang dingin di dalam kamar. “Baik mbak”.
Gadis itu segera mengambil air, menyambar mukena kemudian melangkah menuju ke mushola yang terlentak di ujung blok H di lantai dua. Para jemaat tengah bersiap-siap mendirikan rokaat pertama, tergesa Relina menyesuaikan diri, iapun segera khusuk dalam pemujaan.  Allah Maha Besar adanya.
Selesai sembahyang mereka bersalam-salaman, melakukan dzikir, dan berdoa. Acara sembahyang berjamaat ditutup dengan perkenalan, ternyata ada 17 warga baru seangkatan Relina yang diterima bersama-sama. Mereka antara lain, Inung, Ica, Amali, Via, Ratna, Ika, Mira, dan Siti, yang lain sedang berhalangan atau beragama Nasrani. Warga baru itu segera duduk bergerombol, berkeluh kesah.
“Mbak-mbak iu sombong sekali, mereka bersikap dan berkata-kata seolah kita tidak punya perasaan”, Mira mengeluh.
“Di tempat ini tidak ada demokrasi, semakin tua senior, semakin jahat. Mereka terlalu lama di fakultas, kesulitan mendapatkan ijasah sarjana, sikapnya makin aneh”, Ika menimpali.
“Tapi ada juga mbak-mbak yang baik, kakak kamarku, mbak Sisi baik sekali”, Inung menyanggah.
“Kakakmu pasti mbak yang selalu dikunjungi hantu, menunut pembalasan bagi kematian seluruh anggota keluarga”. Relina nimbrung. “Kamarmu berhantu”.
“Kita orang beriman, kurang lebihnya kita wajib mendirikan sembahyang berlindung kepada Tuhan”, jawab Inung dengan suara tenang dan mantab.
Mereka berbicara dengan asyik dan berniat terus ngrumpi, tetapi seorang warga senior melintas, memberikan teguran dengan sinis, “Ayo kudeta! Kudeta! Mushola bukan tempat untuk nggosip!” 
                “Ayo kita kembali”, Amali yang semula diam akhirnya bersuara.
                                Merekapun bubar. Relina melipat mukena, merapikan rambut yang acak-acakkan kemudian bergegas pergi meninggalkan mushola, tuduhan “kudeta” dari  sang senior sungguh membuatnya merasa kacau. Warga baru itu melewati koridor blok G yang persis menghadap ke arah timur. Sejenak ia terpana, ia dapat melihat langit membentang bertabur bintang, sementara purnama bertahta bak Dewi malam dengan lingkaran halo yang membias seakan cincin Sang Maha Raya. Kekacauan hati, karena teguran “kudeta” sang senior sekejab lenyap, yang muncul kini adalah rasa takjub, ia mendapatkan anugrah sepasang mata untuk menyaksikan segala keagungan.
                Relina terus melangkah, ia seakan tengah dimanja, bermandi cahaya bulan. Pada anak tangga pertama yang turun menuju ke dapur dan ruang makan, tampak seorang warga senior tengah berdiri menatap bulan. Ia mengenakan blouse putih dari kain katun yang sangat halus dengan rok jeans model span berwarna biru tua bersulam kupu-kupu pada salah satu sisinya. Tubuhnya tinggi semampi selayaknya seorang model, betisnya seakan bulir padi berisi dan sekuning buah langsat. Citra roman muka khas gadis Jawa, menjadi menarik, karena senyum ceria yang selalu mengembang.
                “Selamat malam mbak, maaf menumpang lewat”, Relina berkata dengan nada sehalus yang dapat diucapkan, ia setengah membungkuk waktu lewat di dekat warga senior itu.
                “O mari, mari silakan, adik pasti warga baru Blok E, adiknya Mbak Murni”, suara itu terdengar grapyak, layaknya seekor burung prenjak, sungguh berbeda dengan suara dari warga lain yang lebih sering terdengar sinis, bahkan menyakitkan.
                “Benar, maaf kenalkan saya Relina, Fakultas Psikologi tahun kedua”, Relina mengulurkan tangan.
                “Saya Puspita”, mereka saling berjabat tangan dan saling menilai. “Nanti main ke kamar ya….”
                “Baik mbak”.
                “Hei, Puspita. Sebentar jam tenang kita saat teduh di ruang tamu”, sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat muncul, merangkul pundak Puspita kemudian keduanya berangkulan berjalan menjauh dengan sangat akrab seolah sahabat lama.
                Saat teduh adalah waktu untuk berkumpul dan berdoa bersama bagi warga beragama Nasrani. Jumlah warga Nasrani adalah sepertujuh dari keseluruhan warga dengan mayoritas muslim, dan satu dua orang warga beragama Hindu. Saat teduh dilakukan seminggu sekali di ruang tamu setelah jam tenang dan setiap warga asrama tidak lagi diijinkan menerima tamu. Pada saat teduh, setiap warga Nasrani akan berkumpul, bertukar pikiran, dan berdoa kepada Sang Pencipta.
                Relina melirik bayangan Puspita bersama seorang sahabat berkelebat menjauh kemudian berjalan  menuruni anak tangga, berniat menuju ke ruang makan. Akan tetapi, sampai di depan pintu langkahnya segera terhenti. Inan, senior tertua yang terkenal galak dan judes tampak tengah serius membaca Koran “Kedaulatan Rakyat” dengan sikap angker dan mengancam. Atas nama cinta asrama Inan dan senior yang lain kerap kali menyerang warga dengn kata-kata yang tajam layaknya sembilu. Selera makan Relina mendadak hilang, ia segera memutar langkah balik ke kanan, berjalan melewati gudang pompa air, dan lapangan Volley hingga akhirnya ia mendapatkan anak tangga dengan lebar satu meter, memanjat, dan kembali lagi ke kamarnya.
                Di dalam kamar Murni dan Dita dengah bercakap-cakap menghadap meja. “Anak baru itu bicara seenakknya, sikapnya apatis, ia tak peduli dengan peraturan di tempat ini”, Dita bersuara.
                “Ia hidup berkecukupan, punya motor, mesin ketik, tape recorder, pakaian, dan sepatu yang bagus. Uang sakunya di atas rata-rata yang dimiliki seluruh warga. Ia juga punya camera dan pernik-pernik aneh di mejanya”, Murni menimpali.
                “Ia beranggapan asrama ini punya nenek moyang dan dapat bersikap semau gue, menganggap dirinya terlalu penting”, Dita mengeluh.
                “Aku akan segera meninggalkan tempat ini, studiku selesai. Relina akan tetap menjadi adikmu, aku tak punya urusan apa-apa”.
                “Tampaknya aku akan menghadapi kesulitan, dia sok, berbeda dengan warga kebanyakan….”
                Percakapan itu mendadak terhenti, karena tiba-tiba Relina muncul dari arah anak tangga dengan membawa mukena dan sajadah terlipat di tangannya. Murni seger berdiri, “Aku mau ke jalan Solo, ada yang harus dibeli”.
                “Aku mau ke kamar Elin”, Ditapun berdiri, keduanya berjalan bersama-sama meninggalkan Relina yang baru tiba. Elin adalah warga baru dengan satu keistimewaan, bahwa ia anak seorang gubernur termuda dari wilayah Indonesia timur. Keberadaan Elin di asrama menimbulkan keheranan bagi seluruh warga, mengapa seorang gubernur menyarankan puteri kesayangannya tinggal di asrama? Bukankah Elin dapat tinggal pada sebuah kediaman yang eksklusif? Sementara warga bahkan berpendapat, bahwa asrama merupakan suatu fasilitas bagi anak-anak “terlantar” yang wajib dipelihara negara. Akan tetapi, sang Gubernur rupanya bermaksud memberikan pendidikan mental yang baik bagi puteri tercinta.
                Sepeninggal Murni dan Dita koridor Blok E menjadi sunyi, Relina terdiam. Ia memasuki relung kamar yang sunyi dan dingin, meletakkan mukena dan sajadah pada sandaran ranjang besi kemudian merogoh ke dalam tas kuliah. Ia sempat membeli burger dan hot dog di Mirota Kampus, lebih baik ia mengganjel perut dengan fast food dari pada duduk di ruang makan, mengunyah nasi, sayur, dan sepenggal lauk yang telah dingin tanpa selera.
                Gadis itu terduduk pada kursi di koridor menatap ke jalan sambil mengunyah makanan dengan buku di tangan kemudian menekuni lembar demi lembar. Sementara malam telah benar-benar jatuh, dedaunan terdiam, demikian pula dengan sebatang jalan aspal yang mengular kemudian terpecah sebagai perempatan. Hening berlanjut setelah seharian yang diliputi kesibukan, adapun bangunan asrama tetap berdiri kukuh, dindingnya yang tua kekuning-kuningan telah ditumbuhi lumut pada beberapa bagian. Kusen, daun pintu, dan jendela sekelam rumput laut, tampak angker, karena cahaya lampu di koridor yang meredup.
                Di aula, di depan pesawat televisi sebagian warga berkumpul mengikuti acara yang tengah ditayangkan. Ruang tamu riuh rendah oleh kunjungan dari rekan-rekan warga. Di dapur beberapa orang warga sibuk memasak super mie sebagai menu pengganti sehari-hari. Ada warga yang tekun membaca buku di meja belajar di dalam kamar, ada pula yang asyik ngrumpi di setiap sudut asrama yang biasa digunakan untuk bertegur sapa.
                Relina tetap sendiri, ia tenggelam dalam hening suasana yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara bergema mengejutkan, “Relina, kau jadi warga baru di sini?”
                Gadis itu menoleh kepada sumber suara, ia segera menangkap sesosok bayangan mendekat. Ingatan gadis itu segera berbalik ke masa lalu, waktu itu ia pendatang baru di bangku kelas IV Sekolah Dasar. Relina mengenal seraut wajah dengan badan montok segar sebagai kakak di kelas VI. Tiga tahun kemudian ketika ia meneruskan sekolah di bangku SLTP sosok itu kembali muncul sebagai siswi kelas III pada almamater yang sama dengan boboy menyusut, sehingga ia tampak seakan puteri ayu.
                Tiga tahun berikutnya, Relina kembali mengenali raut wajah itu ketika duduk sebagai pelajar baru di kelas satu SMA. Sesosok yang tenang dan ikhlas menjalani hidup apa adanya. Kini, ketika ia terburut-birit menyesuaikan diri sebagai warga baru, sosok itu muncul kembali tanpa disangka-sangka. Sejauh ini Relina hanya mengenal sebagai kakak kelas tanpa pernah terliba sebagai kawan sepermainan. Akan tetapi, di tanah rantau, ketika mereka bersama-sama menuntut ilmu, keberadaan asrama kembali mempertemukan.
                “O, mbak Ita, mbak tinggal di sini?”
                “Iya, sudah dua tahun, kenapa tidak main ke rumah?”
                “Saya baru tahu kalau mbak Ita tinggal di sini”.
                “Saya di blok G, kamar 26. Kawan-kawan SMA banyak pula yang di Yogya, kadang-kadang kami bertemu. Bagaimana? Sudah kerasan di tempat baru?” Ita bertanya.
                “Kehidupan di sini sungguh unik, suasananya bagus, tetapi sikap mbak-mbak sering aneh. Mereka melihat saya seakan-akan makhluk asing dari planet lain”.
                “Itu Cuma tes mental. Kehidupan ini sangat keras, kita menjadi bagian mutlak di dalamnya dan mestinya dapat diterima lingkungan sekitar. Warga baru Cuma perlu merendahkan diri dan itu tak ada salahnya. Kelak, setelah lulus sarjana kita akan bergabung ke dalam suatu komunitas sebagai pendatang baru, nanti kita akan tahu, betapa kejam masyarakat kecuali kita telah mempunyai kiat untuk menjadi bagian di dalamnya”.
                “Mbak Ita juga mengalami hal semacam ini?”
                “Semua mengalami, warga baru ibaratnya masih berada pada posisi ambigu atau liminalitas. Engkau baru meninggalkan lingkungan tempat tinggalmu yang lama dan belum sepenuhnya diterima di lingkungan asrama. Tetapi bisa kau lihat sendiri, semakin lama warga menetap di tempat ini, mereka semakin kerasan. Kita memiliki banyak kawan, ini yang namanya masyarakat kecil, ada seribu satu macam sikap, banyak yang bisa kita pelajari”.
                Relina terdiam, ia menyadari kebenaran kata-kata itu, ia menjadi berbesar hati. Mereka terus berbincang-bincang sampai tiba-tiba tedengar suara gong dipukul delapan kali, saatnya jam tenang. Hal itu berarti, saat-saat untuk bertamu, berkunjung, dan bercakap-cakap sudah habis. Setiap warga harus kembali kepada kesadaran untuk belajar, warga yang mengetik tugas atau paper harus mengerjakan di ruang makan, supaya suara berisik dari mesin ketik tidak mengganggu teman sekamar.
                “Okey, sudah jam tenang, saya ke kamar dulu, nanti main ya....”, Ita berpamit.
                “Baik mbak, terima kasih untuk kedatangannya”.
                Itapun berlalu dengan suara jejak bergema, semakin lirih dan akhirnya menghilang di balik pintu aula. Warga yang tinggal di lantai satu pasti dapat mendengar dengan jelas suara itu. Ketika suasana bertambah hening, ricik air yang tertuang ke dalam gelas dari lantai atas, ada kalanya terdengar pula. Ada kalanya terdengar suara jejak kaki pada koridor di lantai atas tanpa dapat diketahui asal usulnya. Tiba-tiba suara itu muncul kemudian menghilang. Warga asrama berkesimpulan, jejak itu adalah suara hantu.
                Relina kembali membaca buku, ia membuka lembar demi lembar dengan tekun tanpa menyadari, malam semakin larut. Heningpun sempurna, rumput dan dedaunan seakan telah tertidur pula, jalanan semakin sunyi, sesekali terpecah oleh suara sepeda atau penjual sate yang lewat kemudian gerimispun jatuh. Udara menjadi dingin, suasana asrama semakin diam. Pintu dan jendela di ruang tamu telah tertutup, seluruh pengunjung telah berpamit, warga Nasrani tengah khusuk dalam saat teduh. Warga asrama yang lain sibuk dengan urusan masing-masing.
                Relina merasa matanya mengantuk, ia berniat berbaring di tempat tidur, akan tetapi ketika memasuki relung kamar, ia merasa bulu kuduknya meremang. Kamar ini dingin, sunyi, dan menakutkan. Perlahan-lahan Relina undur, meninggalkan kamar kembali ke tempat semula. Samar-samar ia masih mendengar suara langkah kaki, bunyi  pintu dikatupkan kemudian dengung suara kendaraan bermotor di kejauhan. Ia tak benar-benar sendiri. Mata Relina benar-benar telah mengantuk seakan dikayuti balok kayu ketika terdengar langkah kaki Murni telah kembali dari Jalan Solo. Gadis itupun bersiap kembali ke kamar, ia harus beristirahat dalam tidur.
                                                             ***
 Siang itu terjadi keributan di ruang makan, garam halus licin tandas tanpa sisa, bendahara bulanan lalai untuk hal yang    satu ini. Seorang warga yang kuliah di jurusan pertanian berbuat teledor dengan meletakkan pupuk urea di dalam almari makan. Mbak-mbak tukang masak mengira benda berwarna putih itu adalah garam kemudian menaburkannya ke dalam satu panci besar sayuran.
                Relina merasa benar kelaparan sepulang kuliah. Setelah memarkir motor di bawah pohon kamboja, ia segera bergegas menuju ke ruang makan, warga baru itu merasa gembira, tak ada warga senior yang memasang wajah angker di ruangan ini. Ia adalah warga pertama yang berhak mencicipi sayur dan sekalian menu makan siang. Gadis itupun meraih perlengkapan makan, menyendok nasi dan sayur serta seekor ikan goreng di dalam almari. Iapun duduk manis dan mulai menyantap makanan, beberapa detik kemudian Relina merasakan sesuatu yang asing pada lidah merangsek secara perlahan-lahan ke dalam perut, kepalanya pening dan berputar-putar. Ia perlu berlari ke tempat sampah untuk menumpahkan seluruh isi perut, piring di atas meja terlempar, pecah berantakan dengan seluruh isi berhamburan.
                “Relina, kau kenapa?”
                “Re, kenapa?”
                Beberapa orang warga dtang mendekat, memijit-mijit punggung gadis itu. Mereka tampak cemas, adapun Relina ia merasa demikian lemas setelah memuntahkan seluruh isi perut. Ia dipapah menuju kamar terdekat, dibaringkan dan digosok dengan minyak angin.
                “Sayur itu rasanya aneh, seperti dicampur obat”, Relina berbisik, tiba-tiba ia merasa demikian mengantuk. Puspita datang dengan secangkir susu hangat, menyorongkan pada Relina. “Kau harus minum susu, mungkin keracunan”, Relina meneguk susu itu dengan paksa. Benar, ia merasa lebih baik meskipun keringat dingin terus mengucur.
                Sunarti, ketua asrama datang tergopoh-gopoh dengan dahi berkerut, ia telah mendengar pula keributan di ruang makan. “Ada apa ini?” ia bertanya.
                “Relina makan nasi dengan sayur, rasanya seperti obat, muntah-muntah terus lemas”, jawab Puspita.
                Dengan langkah bergegas Sunarti meninggalkan kamar, menuju ke ruang makan, langsung memeriksa panci sayuran, ia mengendus kuah sayur, mencicipi kemudian berlari keluar, meludah ke atas tanah. Gadis itu perlu menuang air minum, berkumur-kumur kemudian pergi ke kamar tukang masak yang terletak di dekat gudang makanan.
                “Mbak Tati, bagaimana tadi Mbak Tati dan mbak-mbak yang lain memasak sayur? Warga baru keracunan. Bagaimana kalau ia tidak dapat ditolong kemudian keluarganya menuntut? Sunarti memandang tukang masak itu dengan tatapan tajam, ia harus memberi teguran bagi keteledoran itu.
                “Saya masak seperti biasanya”, jawab Mbak Tati ketakutan.
                “Tapi Relina keracunan!”
                “Tadi garam memang habis, bendahara sudah mengunci gudang makanan. Saya lihat ada garam di almari makan, saya tabur garam itu ke dalam sayur”, Ginah, tukang masak yang lain menjawab.
                “Garam yang mana? Coba tunjukkan!”
                “Mari saya tunjukkan”, Ginah berjalan menuju ke ruang makan, membuka salah satu dari delapan deretan almari kayu kemudian menunjukkan bubuk putih kepada Sunarti. “Ini garamnya”.
                Seketika mata Sunarti terbelalak, nyaris keluar dari kelopak. “Ya tyhan! Ini pupuk urea! Kau gegabah sekali Ginah! Buang semua sayur, jangan sampai semua warga keracunan!”
                Sementara itu ruang makan telah ramai oleh warga yang erdatangan untuk makan siang. Akan tetapi, mereka terbengong-bengong ketika melihat tukang masak mengangkat sepanci besar sayur lodeh ke halaman belakang di dekat lapangan volley kemudian menumpahkan seluruh isinya. Warga asramapun bertanya-tanya.
                “Kenapa sayur dibuang?”
                “Kita makan apa?”
                “Hei, apa yang terjadi?”
                Wajah-wajah itu tak dapat menyembunyikan rasa heran, melihat ulah tukang masak hari ini. Keheranan itu terjawab ketika Sunarti memberi penjelasan. “Mohon maaf untuk seluruh warga, hari ini tidak ada sayur. Tukang masak melakukan kekeliriuan, mengira pupuk urea adalah garam halus dan menaburkan ke dalam sayur. Seorang warga keracunan, supaya warga yang lain tidak mengalami nasib yang sama, terpaksa sayur dibuang. Sekali lagi mohon maaf”.
                Penjelasan dari ketua asrama disambut dengan reaksi kekecewaan dari seluruh warga. “Yah, naas kita hari ini!”
                “Udah lapar nich!”
                “Emangnya  kita tanaman mau dipupuk?!”
                “Idiot!”
                Warga asrama berlalu sambil bersungut-sungut, mereka harus mencari jalan untuk  mendapatkan menu makan siang, sungguh kurang sedang makan siang tanpa sayur. Adapun Ginah, si tukang masak yang teledor, terbungkam seribu bahasa, menyadari kesalahannya. Suasana di ruang makan menjadi tidak nyaman. Sementara warga memilih pergi makan di luar, membeli gado-gado, gudeg atau empek-empek sebagai menu pengganti.
                Di atas pembaringan Relina tampak pulas beberapa lama, ketika terjaga, Murni, dita, dan Soraya telah berada di sampingnya. Relina masih merasa pening, mual, dan lemas, tetapi ia harus kembali ke kamar, tak enak berlama-lama mengungsi di kamar warga. “Kau sudah baik Re?” Murni bertanya, wajah adik kamarnya itu tampak pucat dan letih, rasa sakit telah meruntuhkan keangkuhannya.
                “Masih pening dan mual, tapi lebih baik kembali ke kamar”, dengan susah payah Relina bangkit. Ia melawan segala rasa enggan, ia mengangguk kepada sang empunya kamar, kemudian melangkah gontai menuju ke blok E untuk kembali ke kamar. Ia menapaki tangga dengan terengah dan menjadi lunglai ketika berbaring kembali di atas tempat tidurnya dengan kasur yang tipis. Warga blok E berdatangan, ada yang menggosok Relina dengan minyak angin, ada yang membuat teh panas, ada pula yang memijit-mijit kakinya. Relina kembali merasa amat mengantuk, setelah meneguk teh gadis itu kembali berbaring, ia menatap wajah-wajah yang tampak cemas. Semula wajah itu tampak demikian memusuhi, kini berubah menjadi sahabat. Relina mengerti, ia mulai menjadi bagian kehidupan di tempat ini.
                Keesokan hari, suasana di ruang makan kembali seperti semula, akan tetapi bendahara bulanan membuat menu telur orak arik. Sebagian warga mengomel, sebagian menatap dengan wajah dingin, sebagian yang lain mengambil jalan dengan membeli gudeg atau membuat telur ceplok. Relina membeli lima butir telur ayam, menggorengnya di dapur, tiga butir yang lain ia letakkan pada sebuah piring di alamari makan. Sebagai akibatnya, warga yang lain menatapnya dengan tidak senang, mereka membuang muka, melirik sambil berbisik-bisik.
                Siang hari sepulang kuliah Dita menegurnya dengan sikap dingin, “Relina, kau warga baru, makan apa yang tersedia di meja makan, tidak perlu menggoreng telur sendiri. Asrama ini kecil, dinding-dinding juga bisa bicara, kalau kau berbuat salah, kakakmu yang ditegur. Mbak-mbak ramai bicara, kau menggoreng telur untuk sarapan di dapur”, setelah berkata-kata Dita berlalu dan tidak memberi kesempatan kepada Relina untuk menjawab.
                Relina terdiam, cara Dita menegur amatlah tidak manusiawi, ia menempatkan dirinya sebagai pengawas dan berhak menegur siapapun dengan aturan serta tata caranya sendiri. Relina tiba-tiba merasa dirinya menjadi mahluk kecil, tetapi ia tidak mau dipermalukan dengan cara seperti ini. Ia tetap berlaku seperti biasa, seolah Dita tak pernah berkata apa-apa.
                Malam hari ketika membuka alamari untuk mengambil telur yang tersisa Relina tertegun, tiga butir telur itu kini tak ada. Ia berniat membuat nasi goreng bersama Murni, Dita tidak akan menegurnya, karena ia memasak dengan warga senior yang siap diwisuda. “Maaf mbak, telurnya hilang”, Relina mengeluh.
                “Pasti ada yang usil”, Murni bergegas meminta secarik kertas dan meminjam pena pada warga di kamar terdekat kemudian mulai menulis.
                Maaf, kembalikan telurku.
                Kertas itu diletakkan pada bekas tempat telur kemudian Murni mengajak Relina keluar untuk membeli lauk di kaki lima. Sayur yang dimasak pada pagi hari telah menjadi dingin tak mengundang selera. Sepulang dari kaki lima Murni dan Relina mengunyah makanan dengan lahap, gudeg dengan segala uba rampenya itu benar-benar lezat dan mengenyangkan. Kali ini Dita tak dapat menegur Relina, karena warga baru itu makan di blok bukan di ruang makan. Relina terlibat “acara” dengan Murni. “Ayo makan Dit”, Murni berbasa-basi.
                “Aku ada kedatangan kawan, selamat makan”, Dita pergi berlalu tanpa menoleh, meninggalkan Murni dan Relina. Tak berapa lama kemudian warga blok E yang lain berdatangan, bergabung di meja makan dan suasana menjadi ramai.
                “Kemarin saya lihat Mirna pulang kemalaman dengan si doi. Eh, gerbang sudah terkunci. Mirna perlu menelepon sebelum bersitegang dengan penjaga malam kemudian kembali ke kamar”, Soraya membuka pembicaraan.
                “Mereka terlalu asyik pacaran sampai lupa waktu pulang”, seorang warga yang lain menimpali.
                “Masih ingat cerita tempo dulu? Saat Lily Munir yang kini aktif di majalah wanita masih tinggal sebagai warga?” Murni membuka cerita.
                “Saya ingat!” Soraya tanggap dengan cepat, “Cerita seorang warga yang pulang larut kemudian mendapat ciuman selamat malam dari sang pacar dan mendadak kaget, karena ada seorang warga dari lantai atas yang sengaja menyiram dengan air, sehingga pasangan yang tengah asyik masyuk itu menjadi basah kuyup dan tentu saja kapok!” kata-kata Soraya ditanggapi dengan ledakan tertawa dari seluruh warga. Kisah itu memang menjadi cerita dari mulut ke mulut hingga asrama ini berumur hampir setengah abad dan terus diturunkan dari satu warga ke warga yang lainnya, menjadi cerita lucu. Mereka terus bercakap-cakap hingga suara gong kembali terdengar, bergema delapan kali. Gaung itu merupakan suatu pertanda, saat untuk bercengkerama sudah habis, setiap warga harus kembali kepada rutinitas semula. Belajar!
                Relina bergegas pergi ke ruang tamu, ia bersama 17 warga baru yang lain harus melewati suatu proses sosialisasi baku bagi setiap warga. Yaitu, menerima buku putih untuk mendapat tanda tangan dari seluruh warga. Beberapa warga baru telah duduk bergerombol, di depan ruang tamu. Papan kayu bertulis, ‘TAMU LAKI-LAKI DILARANG MASUK’ masih tegak berdiri tak bergeming. Relina menuruni anak tangga dengan hati-hati.
                “Relina, kamu sudah sembuh?” Inung menyambut kedatangan Relina sambil menggenggam tangannya. “Saya dengar kamu keracunan, mbak-mbak tukang masak punya menu istimewa, pupuk urea sebagai penyedap makanan, ha ha ha....” merekapun tertawa terkekeh-kekeh.
                Relina yang semula diam akhirnya ikut tertawa, betapa konyolnya kejadian itu, “Untung aku hanya makan dua sendok, hak hidup masih didapat”.
                “Kamu sudah sembuh Relina?” Elin, warga baru dari ujung paling timur Indonesia datang bergabung.
                “Sudah, terima kasih atas perhatiaannya”.
                Suasana menjadi ramai ketika ke-17 warga baru bergabung. Mereka bertegur sapa dan tertawa berderai, melepas ketegangan, setelah tekanan yang demikian berat sebagai warga baru. Akan tetapi suara tawa itu segera  terhenti ketika tiba-tiba tampak bayangan Sunarti, ketua asrama bersama pengurus inti yang lain berkelebat datang. Wajah-wajah pengurus itu tak ada yang ramah, semua menampakkan garis segelap mendung. Seketika, tak satupun warga baru yang berani bersuara, semua terdiam seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
                Selepas jam tenang, dengan sebagian lampu telah padam, ruang tamu beraurora relung bangunan purba, sunyi, dan dingin. Beberapa perangkat kursi ukir tertata rapi pada tempatnya dan terdiam. Lantai ubin telah tua, pudar, dan memutih, adapun kusen-kusen dari kayu jati tampak angker. Di sudut ruangan berdiri lemari kaca dengan kerangka kayu jati berukir. Di dalamnya aneka piala penghagaan tersusun secara beraturan, mengagumkan tamu-tamu yang datang, seolah warga asrama adalah jawara pada setiap pertandingan. Tamu-tamu itu tak banyak mengira, bahwa piala yang memenuhi lemari berukir adalah hadil dari sederet lomba permainan, seperti tarik tambang, lari karung, bola kasti, dan sebagainya.
                Pada salah satu sisi dinding menghadap langsung ke pintu masuk foto presiden dan wakil presiden seakan tengah memandang seisi ruangan dalam keabadian. Adapun lukisan R.A. Kartini terdiam, tatapan matanya seakan mencatat setiap perubahan, ia tak melakukan hal yang sia-sia bagi kaum wanita dalam rangka kesetaraan gender. Calon-calon sarjana wanita yang sementara tengah menempati asrama dan berjuang bagi selembar ijasah sekaligus pembangunan karakter itulah buktinya.
                “Baik, terima kasih atas kehadirannya, pengurus asrama sengaja mengumpulkan adik-adik hari ini untuk satu hal baku bagi setiap calon warga, dan seterusnya saya persilakan kepada ketua asrama untuk menyampaikan sepatah dua patah kata”, Amalia sekretaris asrama membuka pembicaraan. Ia menatap wajah setiap calon warga dengan sikap dingin. Empat tahun yang lalu, di tempat yang sama ia pernah berada pada situasi serupa, kecil dan tertekan. Ia Cuma seorang calon warga yang dapat diperlakukan dengan “semena-mena”. Kini, roda kehidupan telah berputar, ia bukan lagi calon warga, akan tetapi yang dipertuan agung, pengurus asrama, ia dapat berbuat “apa saja”.
                Sunarti, ketua asrama memiliki wajah yang sama kerasnya dengan tembok, senyumnya tak pernah terbaca. Ia harus tampil berwibawa, ia memiliki citra khas penghuni asrama yang melekat pada imaji masyarakat luar, tua, galak, dan keras kepala. Tujuh belas calon warga baru mendadak kehilangan nyali. Mereka memilih diam, karena memang sikap seperti inilah yang ditekankan oleh senior. Menurut lebih baik dari pada dimusuhi secara kolektif.
                “Baik, terima kasih ata kehadiran adik-adik semua. Peraturan asrama mengharuskan setiap warga menerima buku putih. Dengan buku ini calon warga akan berkenalan dengan seluruh warga senior dan meminta tanda tangan. Tulis baik-baik nama, blok, kamar, dan ingat jurusan, angkatan, serta daerah asal. Adik-adik memiliki waktu tiga bulan. Apabila dalam waktu tiga bulan buku ini tidak bisa dipenuhi tanda tangan, berarti yang bersangkutan gagal sebagai calon warga. Ada pertanyaan?”
                Hening.
                Ketegangan terus merayap, Relina berpandangan dengan Inung, saling mengerdipkan mata dan memutuskan tidak bertanya. Calon warga yang lain melakukan hal yang sama. Amalia segera membagikan buku tipis bersampul putih. Calon warga menerima buku itu dengan gamang, seolah merestui tiket menuju ke tiang gantung. Beberapa menit setelah buku putih dibagikan, pertemuan itupun bubar.


                                                                      ***

Bersambung ....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...