Jumat, 07 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 12, Karna Anak Sais Kereta

 

  
  

Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona kiranya telah sampai di penghujung waktu dalam mengajarkan Pandawa dan Kurawa mengatur strategi sekaligus menggunakan senjata perang. Tiba saatnya, pada suatu hari baik dan ditentukan untuk menguji kemampuan para kesatria di arena terbuka, disaksikan raja, kerabat istana, para panglima serta sekalian rakyat Astinapura. Khalayak bersorak sorai kala kelima Pandawa hadir,  masyarakat luas telah mengetahui betapa tangkas Arjuna dalam memainkan aneka senjata perang.
Sorak sorai bagi Pandawa seakan menikam jantung Duryudana, ia menatap dengan perasaan gamang, diam-diam hatinya gentar. Betapa tenang dan penuh keyakinan  Yudhistira, betapa perkasa, tak tertandingi Bhima, dan Arjuna, Pandawa ketiga itu, ia adalah seraut wajah tampam disangga postur tubuh yang tegap penuh kharisma. Putri raja dari istana mana yang tidak berminat menjadi istrinya? Adapun Nakulo Sadewa, kesatria kembar itu, seakan dua wajah tanpa dosa yang menggenapi kekuatan tiga saudara tirinya. Tak ada yang salah pada diri Pandawa, akan tetapi Duryudana terjebak pada suatu pertanyaan, dapatkan satu dari seratus orang Kurawa mengalahkan Arjuna? Kurawa pertama itu dengan pahit meragukan kemampuan dirinya.
Bhima nyata-nyata selamat dari usaha pembunuhan di Sungai Gangga, ia kembali dalam keadaan selamat setelah mendapatkan tirta purwadi dengan kesaktian yang semakin tak tertandingi. Arjuna dengan tepat dapat memanah seekor burung yang bertengger di atas dahan ketika hijau daun melindungi dari incaran pemanah. Duryudana menghelan napas panjang, ia tak mampu menidurkan  gelisah, lebih dari itu ia tak bisa menghalau perasaan benci ketika berhadapan dengan Pandawa, bahkan ketika kelima satria itu tak pernah sekalipun berniat memusuhinya.
Penonton masih riuh bersorak sorai melambaikan tangan pada Arjuna, wajah-wajah itu demikian penuh harap akan kemenangan Pandawa. Suatu sikap yang tidak perlu diragukan, sesungguhnya Pandawa lebih dicintai rakyat Astinapura. Duryudana merasa bara api mulai berpijar jauh di relung hati, ia tahu, ia tak akan pernah mampu dan tak berniat untuk memadamkan. Pandawa dan Kurawa adalah saudara sepupu, akan tetapi betapa amat berbeda keadaan itu. Rakyat tak dapat dibungkam untuk lebih mencintai Pandawa, satu hal yang sungguh menyakiti Duryudana. Bukan suatu hal yang mudah, bertahta pada suatu tempat mulai di istana tanpa rasa cinta dari rakyat yang mesti dipimpin.
Satu demi satu pangeran dipanggil untuk saling berlaga menunjukkan kemapuan setelah  berguru pada Kripa dan Drona, tetapi siapa yang dapat mengalahkan Arjuna. Pandawa ketiga itu bukan hanya tampan mempesona, ia sedemikian cerdas, tangkas, gagah tak tertandingi. Hingga matahari mencapai titik tertinggi kemudian condong di langit sebelah barat tak satu kesatriapun dapat mengalahkan Arjuna. Sorak sorai penonton membahana, mereka tak dapat menyembunyikan rasa bangga, karena kemenangan Arjuna.
Darah Duryudana mendidih, ia tak bisa menerima kekalahan ini. Dalam jumlah yang lebih besar, ternyata Kurawa bukan apa-apa di depan Arjuna. Kurawa pertama itu mengepalkan tangannya, andai ada satu cara mengalahkan Arjuna, maka sorak sorai penonton itu akan menjadi miliknya, juga seluruh rasa cinta rakyat Astinapura?
Senja semakin padam, di atas langit semburat warna merah seakan leleran darah. Arena pertandingan nyaris sunyi tanpa lawan bagi Arjuna. Akan tetapi, tiba-tiba  terdengar suara gemuruh dari arah pintu masuk disusul ledakan menggelegar seakan halilintar, sebagai pertanda tengah datang seorang penantang bagi Arjuna. Seluruh perhatian tertuju ke pintu gerbang, kemudin tersibak, memberi jalan bagi seorang kesatria muda. Wajah satria itu demikian tampan dengan tubuh tegap dan sepasang telinga berkilau, karena anting-anting yang teramat indah. Dengan berani satria itu maju ke tengah-tengah arena tanpa menyadari tata cara yang berlaku.
“Arjuna, Pandawa ketiga, hari ini aku Karna menantangmu. Siapa sesungguhnya yang lebih sakti, Arjuna atau Karna?” kata-kata Karna demikian mantap, iapun telah berlatih ilmu perang, ia berniat menguji kemampuan diri. Siapa yang layak ditantang kecuali Arjuna.
Di tengah-tengah arena, disaksikan seluruh penonton yang hadir dua satria itu berhadapan sebagai lawan. Arjuna tak pernah tahu siapa sesungguhnya Karna, demikian pula sebaliknya. Andai keduanya tahu sesungguhnya Karna adalah sulung Pandawa, adakah suasa arena akan menjadi seperti ini. Mahaguru Drona merasa terjebak dalam keadaan sulit, ia tidak tahu bagaimana mesti bersikap dengan bijak, diam-diam ia pergi meninggalkan arena, pikirannya terasa gamang.
Sementara kehadiran Karna seakan sekutu bagi Kurawa, bila ksatria itu dapat mengalahkan  Arjuna, maka ia akan dapat meminta supaya Karna bergabung dengan Kurawa. Dengan langkah tegap Duryudana turun ke arena, menyalami Karna, wajahnya berbinar ketika berucap, “Selamat datang kesatria muda, kami Kurawa, keturunan bangsa Kuru senantiasa menyertai kehadiran tuan”, Duryudana menjabat tangan Karna kemudian memeluknya erat-erat.
“Aku Karna mengucap beribu terima kasih atas kemurahan hati Pangeran Duryudana. Ada dua hal yang saya minta, pertama cinta kasih pangeran, kedua bertarung melawan Partha, Arjuna”, Karna terbakar keinginan untuk menguji kemampuan, ia tidak peduli andai harus berpihak pada Kurawa.
“Andai engkau menangkan pertandingan ini, seluruh kekayaanku adalah milikmu Karna”, sekali lagi Duryudana memeluk Karna, ia sungguh berharap bahwa pihak Kurawa dapat mengalahkn Arjuna, meski diwakili oleh Karna.
Di lain pihak Arjuna berdiri dengan lutut gemetar, kedatangan Karna yang disambut hangat Duryudana nyata-nyata mengecilkan kehadirannya, ia harus bertarung dengan seorang tak dikenal yang tidak diketahui pula asal-usulnya, tidak pula diundang. “Hai Karna, adakah engkau hadir di arena ini, karena surat undangan atau engkau telah bersiap bagi kematian?” tatapan Arjuna setajam mata pisau ketika memandang Karna tanpa berkedip. Ia tak pernah mengharap kehadiran Karna, ia tak akan pernah tahu siapa sesungguhnya kesatria itu. Andai Kunthi dengan jujur pernah  menyatakan.
“Aku Karna tak memerlukan surat undangan, bukankah Pangeran Duryudana menerima kedatangan ini”, tatapan mata Karna tak kalah tajam, ia berdiri dengan sepenuh keyakinan untuk melawan Arjuna mendapatkan kemenangan. Kedunya kini berdiri berhadapan sebagai lawan, siap bertanding.
Senja telah tenggelam, menuju rembang petang dan segera berganti menjadi malam. Akan tetapi, suasana tiba-tiba berubah menjadi terang benderang. Bhatara Indra -- Dewa Guruh dan Dewa Petir, Batara Maskara -- Dewa Sinar Abadi, Batara Surya -- Dewa Matahari secara tiba-tiba, pada waktu yang sama hadir di arena itu menampakkan diri wujud sebagai cahaya terang benderang. Seuah keajaiban yang mengejutkan dan membuat siapapun terpana.
Sementara di tempatnya duduk Dewi Kunthi merasa aliran darahnya membeku, tak sedetikpun ia dapat melupakan wajah Karna, akan tetapi bagaimana ia harus menyatakan kepada lima kesatria, sesungguhnya Karna dalah sulung Pandawa, putra Batara Indra. Kini, kedua satria itu berhadapan sebagai musuh, karena tidak mengenal jati diri dengan pasti antara yang satu dengan yang lain. Ia mulai memetik buah dari kesalahannya. Kunthi ingin menghentikan pertarungan ini, tapi kata-kata apa yang harus diucap? Ia bahkan tak mampu untuk sekedar berdiri, ibu agung tu merasa semakin lama pandangan matanya semakin samar, kabut putih seakan bergulung-gulung menelan dua satria di tengah arena, Arjuna dan Karna. Ia tak mampu lagi mengenali dua orang  yang siap bertarung dan mungkin saling membunuh, kepalanya terasa pening, dadanya sesak seakan sebongkah batu menghantam tepat pada detak jantungnya. Dengan satu keluhan Dewi Kunthi terguling, ia kehilangan seluruh kesadaran, ia menolak penampakkan yang  terjadi di tengah-tengah arena.
Dengan sigap Mahatma Widura menolong tubuh lemah itu hingga kesadaran Dewi Kunthi pulih. Ibu agung itu kembali mendapatkan kesadaran, tetapi ia hanya terpaku, kehilangan keyakinan untuk melakukan sesuatu. Dewi Kunthi tak berniat membuka rahasia, siapa sesungguhnya Karna? Andai pertarungan itu akan menewaskan satu dari keduanya, Kunthi telah menentukan plihan.
Pada detik terakhir ketika Arjuna dan Karna siap bertanding, Mahaguru Kripa yang menguasai tata cara serta aturan pertandingan segera turun ke arena, ia harus bertindak. “Selamat datang di arena pertandingan bangsa Kuru, Karna kesatria muda. Kami tak menampik kedatanganmu, tetapi harus engkau ketahui, kesatria yang engkau tantang adalah Partha, Arjuna keturunan Pritha dan Pandu. Menurut aturan putra raja yang bergaris keturunan mulia tidak diperkenankan untuk bertanding melawan seorang penantang yang tidak dikenal”, Mahaguru Kripa mengucapkan kata-kata dengan bijak, sesungguhnya demikianlah aturan pertandingan, ia harus tetap meluruskan.
Kata-kata Mahaguru Kripa benar sedemikian bijak, bersahaja, dan benar adanya. Akan tetapi, di telinga Karna kata-kata itu seakan tajam mata pedang yang menebas seluruh keberaniannya. Karna tak tak pernah tahu dari mana sesungguhnya dirinya berasal, ia memang tak dibesarkan sebagai pangeran di lingkungan istana, ia telah melanggar tata cara dengan menantang Arjuna di arena khusus yang sesungguhnya disedikan bagai kuturunan bangsa Kuru. Dimanakah sesungguhnya garis keturunannya? Karna tak pernah tahu. Wajah tampan itupun menunduk, Karna masih tahu arti rasa malu.
Duryudana  tak kehilangan akal, ketika melihat perkembangan keadaan yang tidak menguntungkan, ia sungguh berharap Karna dapat mengalahkan Arjuna sekaligus menjadi sekutu. Dengan demikian ia akan memiliki cukup kekuatan untuk menyatakan rasa tidak senang terhadap Pandawa. Akan tetapi, aturan pertandingan menghalangi kemenangan Karna. Duryudana bangkit, berdiri tegak, bersuara lantang. “Andai perang tanding ini tidak bisa diteruskan, karena Karna bukan keturunan raja, maka hari ini kunobatkan Karna sebagai Raja Angga”, Duryudana tak ragu dengan keputusannya, ia benar memerlukan sekutu yang tangguh dengan kesaktian setara Arjuna. Ia tidak sedang melakukan kesalahan memberikan mahkota sehingga Karna resmi sebagai Raja Angga. Dengan demikian layaklah ia bertanding melawan Arjuna, karena keduanya memiliki derajat yang sama.
Upacara penobatan Karna dilakukan dengan cepat, Karna seakan tengah bermimpi. Demikian mudah ia dinobatkan sebagai raja, karena keberanian menantang Arjuna serta kemurahan hati Duryudana. Penobatan ini telah menyelamatkan dirinya dari rasa malu, ia sungguh berhutang budi kepada Duryudana. Karna tidak menyadari, bahwa hutang budi menuntut harga terlalu mahal ketika tiba saat untuk membayar.
Kini ia dan Arjuna kembali berdiri berhadapan sebagai lawan yang siap membunuh. Akan tetapi, perang tanding ini kembali ditangguhkan, karena tiba-tiba muncul Adhirata, ayah angkat Karna. Sambil mengacungkan tongkat laki-laki tua itu memasuki arena, tubuhnya gemetar, karena cemas dan ketakutan. Ia tak menyangka Karna akan berdiri di arena ini, arena yang hanya diijinkan bagi keturunan Bangsa Kuru, bukan sais kereta.
“Ayah ....”, Karna memberikan hormat, ia harus tahu betapa laki-laki tua ini mengasihinya setulus hati, ia memberikan terlalu banyak, sehingga ia bisa tumbuh sebagai seorang satria. Rasa marah Karna bagai tersiram air dingin ketika tangan Adhirata memeluknya sepenuh kasih. Karna tak pernah meragukan kasih sayang itu. Ia tak pernah  menyesal dibesarkan oleh seorang sais kereta yang menjadi demikian cemas dan ketakutan karena ia bersiap melawan Arjuna di arena pertandingan Bangsa Kuru. Karna dapat menangkap rasa terkejut Adhirata ketika melihat gemerlap mahkota bertahta di kepala. Kini, ia adalah Raja Angga.
Kehadiran Adhirata mengejutkan semua orang, termasuk Bhima, Pandawa kedua ini nyaris tak bisa menahan tawa, tanpa sadar ia berucap, “Oh Karna, ternyata engkau anak seorang sais kereta. Betapapun mulia kasih sayang orang tuamu, adakah engkau pantas menantang Arjuna? Adakah engkau layak mati di tangan Pandawa? Anak seorang sais kereta bahkan tidak berhak menjadi Raja Angga, paculah kereta ayahmu, paculah kembali ke tempat asalmu”, kata-kata Bhima demikian tajam dan menyakitkan. Andai Kunthi pernah berlaku jujur, menyatakan siapa sesungguhnya Karna, Bhima pasti tak akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Sesungguhnya Karna lebih dari sekedar pantas hadir di arena ini, sesungguhnya ia berhak mengenakan mahkota seorang raja.   
Seluruh tubuh Karna menggigil, karena kata-kata Bhima, ia harus menyadari apa sesungguhnya sakit hati, dendam, dan rasa malu. Benar, ia telah melanggar tata cara pertandingan dengan menantang Arjuna. Akan tetapi, bukankah Bhima selayaknya memiliki perbendaharaan kata yang lebih bijak. Karna tahu, kepada siapa sesungguhnya ia mesti berpihak.  Ia menjadi sedemikian marah hingga tak mampu lagi berkata-kata, kecuali menatap Bhima dengan sepasang mata mengobarkan lidah api.
Sementara Duryudana tak bisa menerima kata-kata Bhima yang pasti menyakitkan hati bagi seorang Karna, dengan lantang Kurawa pertama itu berucap, “Bhima, lebih baik engkau pertimbangkan kembali ucapanmu. Haruskah seroang kesatria dinilai dari asal usulnya? Atau dari sikap serta kata-katanya. Andai benar engkau seorang kesatria keturunan Bangsa Kuru, kiranya tidak layak mengucapkan kata-kata seperti itu. Karna adalah seorang kesatria sejati, bila engkau menyatakan ia tak pantas menjadi Raja Angga, maka aku menganggapnya sangat pantas untuk memerintah seluruh dunia”, Duryudana tak berucap lebih panjang, dalam amarah ia menyambar Karna, mendudukan di atas kereta, memacu secepat kilat, meninggalkan arena pertandingan.
Matahari secara tiba-tiba lenyap dari angkasa, langit kembali gelap seperti malam-malam sebelumnya. Masa perlahan meninggalkan arena dengan membawa serta kesan dan pendapat tentang pertandingan hari ini dengan kehadiran Karna secara tiba-tiba. “Sungguh pun anak seorang sais kereta, Karna sungguh perkasa, tiada jauh berbeda dengan Pandawa dan Kurawa ….” demikian salah seorang penonton berucap.
“Akan tetapi, tak seorang kesatriapun dapat menandingi Arjuna, ia gagah, tampan, dan lihai memainkan aneka senjata perang ….” Penonton yang lain berpendapat.
“Arjuna adalah Pandawa ketiga, mereka memang jauh berbeda dengan Kurawa. Yudhistira yang bijak memang layak menjadi raja”.
“Benar, Yudhistira adalah calon raja Astinapura, bukan Duryudana ….”
Semula suara-suara itu demikian riuh, akan tetapi lambat laun mereda, hingga suasana yang tersisa di arena pertandingan akhirnya hanya sunyi semata. Pandawa dan Kurawa bersama seluruh keluarga raja telah kembali ke istana, demikian pula seluruh ponggawa. Hari ini seluruh Astinapura, baik rakyat maupun keluarga raja mencatat kehadiran seorang satria secara tiba-tiba, Karna.
Pada suatu tempat Batara Indra tahu, pertarungan antara sang putra, Arjuna dan putra Batara Surya, Karna suatu saat tak akan dapat dihindari. Di tengah arena pertandingan keduanya telah tampak saling membenci, hari ini hanya pertarungan yang tertunda sebelum tiba saat yang sesungguhnya. Batara Indra harus melindungi Arjuna, ia tak ingin putra kesayangannya akan  mendapatkan celaka di tangan Karna, yang dikenal sebagai anak angkat sais kereta. Batara Indra tahu  bagaimana ia harus melunturkan kesaktian Karna.
Suatu hari Batara Indra menyamar sebagai seorang brahmana, ia mengetahui perihal sikap dermawan Karna. Kesatria muda itu tak akan keberatan bila dengan segala kerendahan hati, ia meminta anting-anting dan senjata yang telah dibawa sejak terlahir. “Aku seorang brahmana, sudikah kiranya tuan  bermurah hati memberikan anting-anting serta senjata kepada hamba?” Batara Indra menyamar kemudian memainkan perannya dengan baik dan meyakinkan. Tatapan sepasang matanya demikian polos dan memelas.
Karna berdiri terpana, memandang kehadiran seorang brahmana dengan rasa kasih, ia tahu betapa tidak mudah memutuskan diri hidup selaku brahmana. Karna pernah dikunjungi Batara Surya dalam mimpi dengan suatu pesan – suatu ketika Batara Indra akan mencuri anting-anting dan senjatanya. Mestinya Karna waspada dengan pesan itu, akan tetapi ia menjadi lalai kala berhadapan dengan seorang brahmana. Sekejab ia terlupa pada pesan Batara Surya dalam mimpi, tanpa curiga ia memberikan benda yang sangat berharga dalam hidupnya, ialah sepasang anting-anting yang indah berkilau dan senjata perang. Andai Karna tahu sesungguhnya brahmana itu adalah Batara Indra yang menyamar demi membela Arjuna, seorang lawan yang paling berpeluang mengalahkan di medan pertempuran.
Ketika menerima sepasang anting-anting dan senjata Karna, sejenak Batara Indra tertegun, jauh di dalam hati ia merasa malu, telah melumpuhkan Karna bagi Arjuna dengan cara menyamar. Akan tetapi, adakah ia memiliki pilihan lain bagi Arjuna, satria pilihan Astinapura? Untuk membayar rasa malu Batara Indra menawarkan senjata sakti kepada Karna, “Adakah engkau, seorang kesatria muda berkenan pula menerima senjata Brahmastra dari seorang bhrahmana?” Batara Indra bertanya.
“Dengan segala senang hati, supaya saya dapat kalahkan semua musuh”, Karna menerima tawaran itu dengan senyum pada wajahnya yang tampan.
“Baiklah, kuberikan senjata dengan mantra sakti, dengan catatan senjata ini hanya satu kali dapat digunakan, siapapun musuh itu, ia pasti akan kalah. Setelah satu kali digunakan, senjata ini tidak bisa digunakan lagi, kembalikan  kepadaku”, sekali lagi Batara Indra yang  tengah menyamar selaku brahmana menatap wajah tampan Karna, tapi ia segera membuang pandang, ia tak berniat bercakap dengan Karna dalam tenggang waktu yang lama, ia  harus segera kembali ke kayangan.
Di lain pihak Karna  tak pernah curiga dengan pertemuan serta pertukaran senjata ini, ia tak pernah mengira hari kematian baginya telah terhitung sejak ia  memberikan antin-anting dan senjata kepada seorang brahmana yang ditemui untuk yang pertama dan terakhir kali. Ia lalai, ceroboh, dan mudah tertipu, terlupa pada pesan Batara Surya dalam mimpi. Dengan berbekal Brahmastra pemberian Batara Indra, Karna kemudian menyamar sebagai seorang brahmana pergi menemui Parasurama. Ia berharap bisa mempelajari mantra untuk menggunakan senjata Brahmastra, Karna belajar dengan tekun, ia sungguh menunjukkan niat dan minatnya dalam belajar menggunakan senjata sakti.
Pada suatu hari usai berlatih, Parasurama merasa sedemikian lelah, ia berbaring meletakkan kepalanya di pangkuan Karna kemudian tertidur lelap. Sedemikian lelap tidur Sang Guru, sehingga Karna berusaha sekuat tenaga tidak mengaduh, ketika seekor serangga ganas menyelinap ke dalam pakaian kemudian menggigit pahanya hingga berdarah. Ia tidak ingin Parasurama terbangun, karena ia mengaduh kesakaitan. Ia cukup kuat menahan sakit.
Akan tetapi, Parasurama tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya ketika terbangun. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat darah yang mengalir pada paha Karna serta guratan wajah tampan itu. Wajah yang mampu menahan rasa sakit, karena tak ingin tidur lelap seorang guru terjaga, wajah itu bukanlah wajah seorang brahmana. Wajah tampan Karna adalah  sikap gagaah seorang kesatria.  Parasurama menghela napas panjang, menekan rasa sesal dan amarah, ia telah dikelabuhi seorang kesatria yang menyamar selaku brahmana. Ia tak bisa terus berdiam diri, membiarkan seorang murid menyembunyikan jati diri.
“Siapa sesungguhnya engkau muridku terkasih? Seorang yang mampu menahan rasa sakit, karena tidak mau membangunkan tidur lelap seorang guru? Benarkah engkau seorang brahmana?” sesaat Parasurama menatap wajah tampan itu kemudian membuang pandang, betapa sesungghunya ia mengasihi Karna, karena ketekutannya. Akan tetapi, guratan wajah itu, guratan wajah seorang kesatria yang bersiteguh menahan rasa sakit. Sekali lagi Parasurama menarik napas panjang, ada yang terasa nyeri di relung hati. Mengapa Karna tega mengaku sebagai brahmana demi mempelajari mantra sebuah senjata?
“Siapa sesungguhnya engkau?” suara Parasurama dingin dan berat, ia berusaha dengan susah payah menahan amarah.
Karna menundukkan wajahnya dalam-dalam, tak semudah itu ternyata menyamar, mengakui jati diri orang lain sebagai sosok pribadi. Parasurama terlalu cermat untuk dikelabuhi, haruskah ia mengelak? Adakah seorang guru dapat terus menerus dikelabuhi? Dapatkah ia mengalahkan Arjuna tanpa berguru kepada Parasurama? Karna harus  bersiap menerima akibat terburuk dari kebohongan itu. “Beribu ampun maha guru, saya telah melakukan kesalahan. Andai saya datang dengan jati diri yang sebenarnya, adakah guru berkenan menerima kehadiran ini. Suatu saat saya akan berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh yang hanya dapat dikalahkan dengan senjata Brahmastra. Tak ada cara lain, kecuali  mengganti jati diri selaku brahmana, sehingga saya dapat menggunakan senjata Brahmastra”, suara Karna terbata-bata, tak ada lagi gunanya berdusta. Sebagai kesatria ia  harus selalau siap dengan akibat yang harus dipikul, yang paling buruk sekalipun.
Sejenak Parasurama terdiam, tindakan Karna tak sepenuhnya salah. Akan tetapi, bagaimana ia dapat memaafkan? Seorang murid pantang berdusta di depan seorang guru? “Tindakanmu tidak sepenuhnya salah, akan tetapi juga tidak benar. Bagi seorang guru bahkan terlalu berani, dosa besar bahwa seorang murid telah berdusta di depan seorang guru. Maaf sekali, aku tak bisa mengijinkan lagi engkau belajar di tempat ini. Dengan sangat menyesal kupersilakan engkau pergi  dan jangan pernah kembali lagi” Parasurama membuang pandang, hatinya terasa nyeri. Ia  harus kehilangan seorang murid yang dikasihi, mengapa Karna mesti berdusta? Ia harus berketetapan untuk tidak bersua kembali dengan kesatria yang menyamar ini.
Beberapa tabuh suasana hening, Karna bahkan tak berani memandang wajah sang guru. Benar, ia telah secara fatal telah melakukan kesalahan. Kini apa  yang dapat dilakukan, seorang yang sangat dihormati itu bahkan tak berkenan menatap wajahnya kembali, ia seorang kesatria. Akan tetapi, di depan seorang guru yang didustai, ia tak lebih dari seonggok sampah. Karna tahu, penyamarannya usai sudah, ia tak yakin apakah ia akan menang manakala tiba saat harus berhadapan dengan seorang lawan yang paling tangguh. Atau, demikian memang takdir kehidupan?  Kesatria yang dibesarkan seorang sais kereta?
“Sekali lagi saya, Karna memohon ampun guru, demikian alasan saya menyamar. Cukup sekali ini saya membuat kesalahan. Baik, saya mohon pamit dan seperti kemauan guru, saya tak akan pernah datang lagi ke tempat ini”, Karna membungkukkan badannya dalam-dalam, wajahnya memucat. Ia tahu arti rasa malu dan bersalah, ketika sadar bahwa kehadirannya tak lagi dikehendaki, maka ia harus pergi. Sebenarnya kesatria itu masih akan berucap, akan tetapi ketika ia melihat bahwa Parasurama mengambil sikap tak menghendaki lagi kebenarannya, ia tahu diri. Sekali lagi Karna memberikan hormat, kemudian mengundurkan diri, berkemas pergi.
Dengan langkah kaki mengambang Karna meninggalkan kediaman Parasurama, penyesalan selalu datang terlambat. Tak seorangpun mampu memutar ulang jarum waktu, tidak juga  kesatria perkasa berwajah rupawan yang sesungguhnya adalah sulung Pandawa, putra Batara Surya yang terlahir dari ibu agung, Dewi Kunthi. Tak ada lagi yang dapat dilakukan Kaarna kecuali melupakan, ia akan menjemput hari esok seperti apa adanya hingga pertempuran besar pasti terjadi, mungkin ia akan hidup. Akan tetapi, tanpa bekal mantra bagi senjata Brahmastra, ia akan mati.
Karna kembali lagi ke Kerajaan Angga, ia menerima uluran tangan dari Duryudana. Keduanya menjadi sekutu yang saling melengkapi, Duryudana memerlukan kesatria perkasa yang akan menopang kekuatannya. Adapun Karna, yang pernah dipermalukan Pandawa di arena pertandingan merasa sangat berhutang budi, karena Duryudanalah yang turun tangan menyelamatkan derajatnya. Kini ia seorang raja, anak angkat sais kereta yang telah bermahkota kemudian memiliki ikatan persahabatan dengan Kurawa. Karna tak pernah berpaling dari Kurawa, ia memberikan segala yang dimiliki meski sesungguhnya Kurawa berada di pihak yang salah.


                                                                                    ***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...