Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona kiranya telah
sampai di penghujung waktu dalam mengajarkan Pandawa dan Kurawa mengatur
strategi sekaligus menggunakan senjata perang. Tiba saatnya, pada suatu
hari baik dan ditentukan untuk menguji kemampuan para kesatria di arena
terbuka, disaksikan raja, kerabat istana, para panglima serta sekalian
rakyat Astinapura. Khalayak bersorak sorai kala kelima Pandawa hadir,
masyarakat luas telah mengetahui betapa tangkas Arjuna dalam memainkan
aneka senjata perang.
Sorak sorai bagi Pandawa seakan menikam jantung Duryudana, ia
menatap dengan perasaan gamang, diam-diam hatinya gentar. Betapa tenang
dan penuh keyakinan Yudhistira, betapa perkasa, tak tertandingi Bhima,
dan Arjuna, Pandawa ketiga itu, ia adalah seraut wajah tampam disangga
postur tubuh yang tegap penuh kharisma. Putri raja dari istana mana yang
tidak berminat menjadi istrinya? Adapun Nakulo Sadewa, kesatria kembar
itu, seakan dua wajah tanpa dosa yang menggenapi kekuatan tiga saudara
tirinya. Tak ada yang salah pada diri Pandawa, akan tetapi Duryudana
terjebak pada suatu pertanyaan, dapatkan satu dari seratus orang Kurawa
mengalahkan Arjuna? Kurawa pertama itu dengan pahit meragukan kemampuan
dirinya.
Bhima nyata-nyata selamat dari usaha pembunuhan di Sungai
Gangga, ia kembali dalam keadaan selamat setelah mendapatkan tirta
purwadi dengan kesaktian yang semakin tak tertandingi. Arjuna dengan
tepat dapat memanah seekor burung yang bertengger di atas dahan ketika
hijau daun melindungi dari incaran pemanah. Duryudana menghelan napas
panjang, ia tak mampu menidurkan gelisah, lebih dari itu ia tak bisa
menghalau perasaan benci ketika berhadapan dengan Pandawa, bahkan ketika
kelima satria itu tak pernah sekalipun berniat memusuhinya.
Penonton masih riuh bersorak sorai melambaikan tangan pada
Arjuna, wajah-wajah itu demikian penuh harap akan kemenangan Pandawa.
Suatu sikap yang tidak perlu diragukan, sesungguhnya Pandawa lebih
dicintai rakyat Astinapura. Duryudana merasa bara api mulai berpijar
jauh di relung hati, ia tahu, ia tak akan pernah mampu dan tak berniat
untuk memadamkan. Pandawa dan Kurawa adalah saudara sepupu, akan tetapi
betapa amat berbeda keadaan itu. Rakyat tak dapat dibungkam untuk lebih
mencintai Pandawa, satu hal yang sungguh menyakiti Duryudana. Bukan
suatu hal yang mudah, bertahta pada suatu tempat mulai di istana tanpa
rasa cinta dari rakyat yang mesti dipimpin.
Satu demi satu pangeran dipanggil untuk saling berlaga
menunjukkan kemapuan setelah berguru pada Kripa dan Drona, tetapi siapa
yang dapat mengalahkan Arjuna. Pandawa ketiga itu bukan hanya tampan
mempesona, ia sedemikian cerdas, tangkas, gagah tak tertandingi. Hingga
matahari mencapai titik tertinggi kemudian condong di langit sebelah
barat tak satu kesatriapun dapat mengalahkan Arjuna. Sorak sorai
penonton membahana, mereka tak dapat menyembunyikan rasa bangga, karena
kemenangan Arjuna.
Darah Duryudana mendidih, ia tak bisa menerima kekalahan ini.
Dalam jumlah yang lebih besar, ternyata Kurawa bukan apa-apa di depan
Arjuna. Kurawa pertama itu mengepalkan tangannya, andai ada satu cara
mengalahkan Arjuna, maka sorak sorai penonton itu akan menjadi miliknya,
juga seluruh rasa cinta rakyat Astinapura?
Senja semakin padam, di atas langit semburat warna merah seakan
leleran darah. Arena pertandingan nyaris sunyi tanpa lawan bagi Arjuna.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah pintu masuk
disusul ledakan menggelegar seakan halilintar, sebagai pertanda tengah
datang seorang penantang bagi Arjuna. Seluruh perhatian tertuju ke pintu
gerbang, kemudin tersibak, memberi jalan bagi seorang kesatria muda.
Wajah satria itu demikian tampan dengan tubuh tegap dan sepasang telinga
berkilau, karena anting-anting yang teramat indah. Dengan berani satria
itu maju ke tengah-tengah arena tanpa menyadari tata cara yang berlaku.
“Arjuna, Pandawa ketiga, hari ini aku Karna menantangmu. Siapa
sesungguhnya yang lebih sakti, Arjuna atau Karna?” kata-kata Karna
demikian mantap, iapun telah berlatih ilmu perang, ia berniat menguji
kemampuan diri. Siapa yang layak ditantang kecuali Arjuna.
Di tengah-tengah arena, disaksikan seluruh penonton yang hadir
dua satria itu berhadapan sebagai lawan. Arjuna tak pernah tahu siapa
sesungguhnya Karna, demikian pula sebaliknya. Andai keduanya tahu
sesungguhnya Karna adalah sulung Pandawa, adakah suasa arena akan
menjadi seperti ini. Mahaguru Drona merasa terjebak dalam keadaan sulit,
ia tidak tahu bagaimana mesti bersikap dengan bijak, diam-diam ia pergi
meninggalkan arena, pikirannya terasa gamang.
Sementara kehadiran Karna seakan sekutu bagi Kurawa, bila
ksatria itu dapat mengalahkan Arjuna, maka ia akan dapat meminta supaya
Karna bergabung dengan Kurawa. Dengan langkah tegap Duryudana turun ke
arena, menyalami Karna, wajahnya berbinar ketika berucap, “Selamat
datang kesatria muda, kami Kurawa, keturunan bangsa Kuru senantiasa
menyertai kehadiran tuan”, Duryudana menjabat tangan Karna kemudian
memeluknya erat-erat.
“Aku Karna mengucap beribu terima kasih atas kemurahan hati
Pangeran Duryudana. Ada dua hal yang saya minta, pertama cinta kasih
pangeran, kedua bertarung melawan Partha, Arjuna”, Karna terbakar
keinginan untuk menguji kemampuan, ia tidak peduli andai harus berpihak
pada Kurawa.
“Andai engkau menangkan pertandingan ini, seluruh kekayaanku
adalah milikmu Karna”, sekali lagi Duryudana memeluk Karna, ia sungguh
berharap bahwa pihak Kurawa dapat mengalahkn Arjuna, meski diwakili oleh
Karna.
Di lain pihak Arjuna berdiri dengan lutut gemetar, kedatangan
Karna yang disambut hangat Duryudana nyata-nyata mengecilkan
kehadirannya, ia harus bertarung dengan seorang tak dikenal yang tidak
diketahui pula asal-usulnya, tidak pula diundang. “Hai Karna, adakah
engkau hadir di arena ini, karena surat undangan atau engkau telah
bersiap bagi kematian?” tatapan Arjuna setajam mata pisau ketika
memandang Karna tanpa berkedip. Ia tak pernah mengharap kehadiran Karna,
ia tak akan pernah tahu siapa sesungguhnya kesatria itu. Andai Kunthi
dengan jujur pernah menyatakan.
“Aku Karna tak memerlukan surat undangan, bukankah Pangeran
Duryudana menerima kedatangan ini”, tatapan mata Karna tak kalah tajam,
ia berdiri dengan sepenuh keyakinan untuk melawan Arjuna mendapatkan
kemenangan. Kedunya kini berdiri berhadapan sebagai lawan, siap
bertanding.
Senja telah tenggelam, menuju rembang petang dan segera
berganti menjadi malam. Akan tetapi, suasana tiba-tiba berubah menjadi
terang benderang. Bhatara Indra -- Dewa Guruh dan Dewa Petir, Batara
Maskara -- Dewa Sinar Abadi, Batara Surya -- Dewa Matahari secara
tiba-tiba, pada waktu yang sama hadir di arena itu menampakkan diri
wujud sebagai cahaya terang benderang. Seuah keajaiban yang mengejutkan
dan membuat siapapun terpana.
Sementara di tempatnya duduk Dewi Kunthi merasa aliran darahnya
membeku, tak sedetikpun ia dapat melupakan wajah Karna, akan tetapi
bagaimana ia harus menyatakan kepada lima kesatria, sesungguhnya Karna
dalah sulung Pandawa, putra Batara Indra. Kini, kedua satria itu
berhadapan sebagai musuh, karena tidak mengenal jati diri dengan pasti
antara yang satu dengan yang lain. Ia mulai memetik buah dari
kesalahannya. Kunthi ingin menghentikan pertarungan ini, tapi kata-kata
apa yang harus diucap? Ia bahkan tak mampu untuk sekedar berdiri, ibu
agung tu merasa semakin lama pandangan matanya semakin samar, kabut
putih seakan bergulung-gulung menelan dua satria di tengah arena, Arjuna
dan Karna. Ia tak mampu lagi mengenali dua orang yang siap bertarung
dan mungkin saling membunuh, kepalanya terasa pening, dadanya sesak
seakan sebongkah batu menghantam tepat pada detak jantungnya. Dengan
satu keluhan Dewi Kunthi terguling, ia kehilangan seluruh kesadaran, ia
menolak penampakkan yang terjadi di tengah-tengah arena.
Dengan sigap Mahatma Widura menolong tubuh lemah itu hingga
kesadaran Dewi Kunthi pulih. Ibu agung itu kembali mendapatkan
kesadaran, tetapi ia hanya terpaku, kehilangan keyakinan untuk melakukan
sesuatu. Dewi Kunthi tak berniat membuka rahasia, siapa sesungguhnya
Karna? Andai pertarungan itu akan menewaskan satu dari keduanya, Kunthi
telah menentukan plihan.
Pada detik terakhir ketika Arjuna dan Karna siap bertanding,
Mahaguru Kripa yang menguasai tata cara serta aturan pertandingan segera
turun ke arena, ia harus bertindak. “Selamat datang di arena
pertandingan bangsa Kuru, Karna kesatria muda. Kami tak menampik
kedatanganmu, tetapi harus engkau ketahui, kesatria yang engkau tantang
adalah Partha, Arjuna keturunan Pritha dan Pandu. Menurut aturan putra
raja yang bergaris keturunan mulia tidak diperkenankan untuk bertanding
melawan seorang penantang yang tidak dikenal”, Mahaguru Kripa
mengucapkan kata-kata dengan bijak, sesungguhnya demikianlah aturan
pertandingan, ia harus tetap meluruskan.
Kata-kata Mahaguru Kripa benar sedemikian bijak, bersahaja, dan
benar adanya. Akan tetapi, di telinga Karna kata-kata itu seakan tajam
mata pedang yang menebas seluruh keberaniannya. Karna tak tak pernah
tahu dari mana sesungguhnya dirinya berasal, ia memang tak dibesarkan
sebagai pangeran di lingkungan istana, ia telah melanggar tata cara
dengan menantang Arjuna di arena khusus yang sesungguhnya disedikan
bagai kuturunan bangsa Kuru. Dimanakah sesungguhnya garis keturunannya?
Karna tak pernah tahu. Wajah tampan itupun menunduk, Karna masih tahu
arti rasa malu.
Duryudana tak kehilangan akal, ketika melihat perkembangan
keadaan yang tidak menguntungkan, ia sungguh berharap Karna dapat
mengalahkan Arjuna sekaligus menjadi sekutu. Dengan demikian ia akan
memiliki cukup kekuatan untuk menyatakan rasa tidak senang terhadap
Pandawa. Akan tetapi, aturan pertandingan menghalangi kemenangan Karna.
Duryudana bangkit, berdiri tegak, bersuara lantang. “Andai perang
tanding ini tidak bisa diteruskan, karena Karna bukan keturunan raja,
maka hari ini kunobatkan Karna sebagai Raja Angga”, Duryudana tak ragu
dengan keputusannya, ia benar memerlukan sekutu yang tangguh dengan
kesaktian setara Arjuna. Ia tidak sedang melakukan kesalahan memberikan
mahkota sehingga Karna resmi sebagai Raja Angga. Dengan demikian
layaklah ia bertanding melawan Arjuna, karena keduanya memiliki derajat
yang sama.
Upacara penobatan Karna dilakukan dengan cepat, Karna seakan
tengah bermimpi. Demikian mudah ia dinobatkan sebagai raja, karena
keberanian menantang Arjuna serta kemurahan hati Duryudana. Penobatan
ini telah menyelamatkan dirinya dari rasa malu, ia sungguh berhutang
budi kepada Duryudana. Karna tidak menyadari, bahwa hutang budi menuntut
harga terlalu mahal ketika tiba saat untuk membayar.
Kini ia dan Arjuna kembali berdiri berhadapan sebagai lawan
yang siap membunuh. Akan tetapi, perang tanding ini kembali
ditangguhkan, karena tiba-tiba muncul Adhirata, ayah angkat Karna.
Sambil mengacungkan tongkat laki-laki tua itu memasuki arena, tubuhnya
gemetar, karena cemas dan ketakutan. Ia tak menyangka Karna akan berdiri
di arena ini, arena yang hanya diijinkan bagi keturunan Bangsa Kuru,
bukan sais kereta.
“Ayah ....”, Karna memberikan hormat, ia harus tahu betapa
laki-laki tua ini mengasihinya setulus hati, ia memberikan terlalu
banyak, sehingga ia bisa tumbuh sebagai seorang satria. Rasa marah Karna
bagai tersiram air dingin ketika tangan Adhirata memeluknya sepenuh
kasih. Karna tak pernah meragukan kasih sayang itu. Ia tak pernah
menyesal dibesarkan oleh seorang sais kereta yang menjadi demikian cemas
dan ketakutan karena ia bersiap melawan Arjuna di arena pertandingan
Bangsa Kuru. Karna dapat menangkap rasa terkejut Adhirata ketika melihat
gemerlap mahkota bertahta di kepala. Kini, ia adalah Raja Angga.
Kehadiran Adhirata mengejutkan semua orang, termasuk Bhima,
Pandawa kedua ini nyaris tak bisa menahan tawa, tanpa sadar ia berucap,
“Oh Karna, ternyata engkau anak seorang sais kereta. Betapapun mulia
kasih sayang orang tuamu, adakah engkau pantas menantang Arjuna? Adakah
engkau layak mati di tangan Pandawa? Anak seorang sais kereta bahkan
tidak berhak menjadi Raja Angga, paculah kereta ayahmu, paculah kembali
ke tempat asalmu”, kata-kata Bhima demikian tajam dan menyakitkan. Andai
Kunthi pernah berlaku jujur, menyatakan siapa sesungguhnya Karna, Bhima
pasti tak akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Sesungguhnya Karna
lebih dari sekedar pantas hadir di arena ini, sesungguhnya ia berhak
mengenakan mahkota seorang raja.
Seluruh tubuh Karna menggigil, karena kata-kata Bhima, ia harus
menyadari apa sesungguhnya sakit hati, dendam, dan rasa malu. Benar, ia
telah melanggar tata cara pertandingan dengan menantang Arjuna. Akan
tetapi, bukankah Bhima selayaknya memiliki perbendaharaan kata yang
lebih bijak. Karna tahu, kepada siapa sesungguhnya ia mesti berpihak.
Ia menjadi sedemikian marah hingga tak mampu lagi berkata-kata, kecuali
menatap Bhima dengan sepasang mata mengobarkan lidah api.
Sementara Duryudana tak bisa menerima kata-kata Bhima yang
pasti menyakitkan hati bagi seorang Karna, dengan lantang Kurawa pertama
itu berucap, “Bhima, lebih baik engkau pertimbangkan kembali ucapanmu.
Haruskah seroang kesatria dinilai dari asal usulnya? Atau dari sikap
serta kata-katanya. Andai benar engkau seorang kesatria keturunan Bangsa
Kuru, kiranya tidak layak mengucapkan kata-kata seperti itu. Karna
adalah seorang kesatria sejati, bila engkau menyatakan ia tak pantas
menjadi Raja Angga, maka aku menganggapnya sangat pantas untuk
memerintah seluruh dunia”, Duryudana tak berucap lebih panjang, dalam
amarah ia menyambar Karna, mendudukan di atas kereta, memacu secepat
kilat, meninggalkan arena pertandingan.
Matahari secara tiba-tiba lenyap dari angkasa, langit kembali
gelap seperti malam-malam sebelumnya. Masa perlahan meninggalkan arena
dengan membawa serta kesan dan pendapat tentang pertandingan hari ini
dengan kehadiran Karna secara tiba-tiba. “Sungguh pun anak seorang sais
kereta, Karna sungguh perkasa, tiada jauh berbeda dengan Pandawa dan
Kurawa ….” demikian salah seorang penonton berucap.
“Akan tetapi, tak seorang kesatriapun dapat menandingi Arjuna,
ia gagah, tampan, dan lihai memainkan aneka senjata perang ….” Penonton
yang lain berpendapat.
“Arjuna adalah Pandawa ketiga, mereka memang jauh berbeda dengan Kurawa. Yudhistira yang bijak memang layak menjadi raja”.
“Benar, Yudhistira adalah calon raja Astinapura, bukan Duryudana ….”
Semula suara-suara itu demikian riuh, akan tetapi lambat laun
mereda, hingga suasana yang tersisa di arena pertandingan akhirnya hanya
sunyi semata. Pandawa dan Kurawa bersama seluruh keluarga raja telah
kembali ke istana, demikian pula seluruh ponggawa. Hari ini seluruh
Astinapura, baik rakyat maupun keluarga raja mencatat kehadiran seorang
satria secara tiba-tiba, Karna.
Pada suatu tempat Batara Indra tahu, pertarungan antara sang
putra, Arjuna dan putra Batara Surya, Karna suatu saat tak akan dapat
dihindari. Di tengah arena pertandingan keduanya telah tampak saling
membenci, hari ini hanya pertarungan yang tertunda sebelum tiba saat
yang sesungguhnya. Batara Indra harus melindungi Arjuna, ia tak ingin
putra kesayangannya akan mendapatkan celaka di tangan Karna, yang
dikenal sebagai anak angkat sais kereta. Batara Indra tahu bagaimana ia
harus melunturkan kesaktian Karna.
Suatu hari Batara Indra menyamar sebagai seorang brahmana, ia
mengetahui perihal sikap dermawan Karna. Kesatria muda itu tak akan
keberatan bila dengan segala kerendahan hati, ia meminta anting-anting
dan senjata yang telah dibawa sejak terlahir. “Aku seorang brahmana,
sudikah kiranya tuan bermurah hati memberikan anting-anting serta
senjata kepada hamba?” Batara Indra menyamar kemudian memainkan perannya
dengan baik dan meyakinkan. Tatapan sepasang matanya demikian polos dan
memelas.
Karna berdiri terpana, memandang kehadiran seorang brahmana
dengan rasa kasih, ia tahu betapa tidak mudah memutuskan diri hidup
selaku brahmana. Karna pernah dikunjungi Batara Surya dalam mimpi dengan
suatu pesan – suatu ketika Batara Indra akan mencuri anting-anting dan senjatanya. Mestinya
Karna waspada dengan pesan itu, akan tetapi ia menjadi lalai kala
berhadapan dengan seorang brahmana. Sekejab ia terlupa pada pesan Batara
Surya dalam mimpi, tanpa curiga ia memberikan benda yang sangat
berharga dalam hidupnya, ialah sepasang anting-anting yang indah
berkilau dan senjata perang. Andai Karna tahu sesungguhnya brahmana itu
adalah Batara Indra yang menyamar demi membela Arjuna, seorang lawan
yang paling berpeluang mengalahkan di medan pertempuran.
Ketika menerima sepasang anting-anting dan senjata Karna,
sejenak Batara Indra tertegun, jauh di dalam hati ia merasa malu, telah
melumpuhkan Karna bagi Arjuna dengan cara menyamar. Akan tetapi, adakah
ia memiliki pilihan lain bagi Arjuna, satria pilihan Astinapura? Untuk
membayar rasa malu Batara Indra menawarkan senjata sakti kepada Karna,
“Adakah engkau, seorang kesatria muda berkenan pula menerima senjata
Brahmastra dari seorang bhrahmana?” Batara Indra bertanya.
“Dengan segala senang hati, supaya saya dapat kalahkan semua
musuh”, Karna menerima tawaran itu dengan senyum pada wajahnya yang
tampan.
“Baiklah, kuberikan senjata dengan mantra sakti, dengan catatan
senjata ini hanya satu kali dapat digunakan, siapapun musuh itu, ia
pasti akan kalah. Setelah satu kali digunakan, senjata ini tidak bisa
digunakan lagi, kembalikan kepadaku”, sekali lagi Batara Indra yang
tengah menyamar selaku brahmana menatap wajah tampan Karna, tapi ia
segera membuang pandang, ia tak berniat bercakap dengan Karna dalam
tenggang waktu yang lama, ia harus segera kembali ke kayangan.
Di lain pihak Karna tak pernah curiga dengan pertemuan serta
pertukaran senjata ini, ia tak pernah mengira hari kematian baginya
telah terhitung sejak ia memberikan antin-anting dan senjata kepada
seorang brahmana yang ditemui untuk yang pertama dan terakhir kali. Ia
lalai, ceroboh, dan mudah tertipu, terlupa pada pesan Batara Surya dalam
mimpi. Dengan berbekal Brahmastra pemberian Batara Indra, Karna
kemudian menyamar sebagai seorang brahmana pergi menemui Parasurama. Ia
berharap bisa mempelajari mantra untuk menggunakan senjata Brahmastra,
Karna belajar dengan tekun, ia sungguh menunjukkan niat dan minatnya
dalam belajar menggunakan senjata sakti.
Pada suatu hari usai berlatih, Parasurama merasa sedemikian
lelah, ia berbaring meletakkan kepalanya di pangkuan Karna kemudian
tertidur lelap. Sedemikian lelap tidur Sang Guru, sehingga Karna
berusaha sekuat tenaga tidak mengaduh, ketika seekor serangga ganas
menyelinap ke dalam pakaian kemudian menggigit pahanya hingga berdarah.
Ia tidak ingin Parasurama terbangun, karena ia mengaduh kesakaitan. Ia
cukup kuat menahan sakit.
Akan tetapi, Parasurama tak dapat menahan diri untuk tidak
bertanya ketika terbangun. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat
darah yang mengalir pada paha Karna serta guratan wajah tampan itu.
Wajah yang mampu menahan rasa sakit, karena tak ingin tidur lelap
seorang guru terjaga, wajah itu bukanlah wajah seorang brahmana. Wajah
tampan Karna adalah sikap gagaah seorang kesatria. Parasurama menghela
napas panjang, menekan rasa sesal dan amarah, ia telah dikelabuhi
seorang kesatria yang menyamar selaku brahmana. Ia tak bisa terus
berdiam diri, membiarkan seorang murid menyembunyikan jati diri.
“Siapa sesungguhnya engkau muridku terkasih? Seorang yang mampu
menahan rasa sakit, karena tidak mau membangunkan tidur lelap seorang
guru? Benarkah engkau seorang brahmana?” sesaat Parasurama menatap wajah
tampan itu kemudian membuang pandang, betapa sesungghunya ia mengasihi
Karna, karena ketekutannya. Akan tetapi, guratan wajah itu, guratan
wajah seorang kesatria yang bersiteguh menahan rasa sakit. Sekali lagi
Parasurama menarik napas panjang, ada yang terasa nyeri di relung hati.
Mengapa Karna tega mengaku sebagai brahmana demi mempelajari mantra
sebuah senjata?
“Siapa sesungguhnya engkau?” suara Parasurama dingin dan berat, ia berusaha dengan susah payah menahan amarah.
Karna menundukkan wajahnya dalam-dalam, tak semudah itu
ternyata menyamar, mengakui jati diri orang lain sebagai sosok pribadi.
Parasurama terlalu cermat untuk dikelabuhi, haruskah ia mengelak? Adakah
seorang guru dapat terus menerus dikelabuhi? Dapatkah ia mengalahkan
Arjuna tanpa berguru kepada Parasurama? Karna harus bersiap menerima
akibat terburuk dari kebohongan itu. “Beribu ampun maha guru, saya telah
melakukan kesalahan. Andai saya datang dengan jati diri yang
sebenarnya, adakah guru berkenan menerima kehadiran ini. Suatu saat saya
akan berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh yang hanya dapat
dikalahkan dengan senjata Brahmastra. Tak ada cara lain, kecuali
mengganti jati diri selaku brahmana, sehingga saya dapat menggunakan
senjata Brahmastra”, suara Karna terbata-bata, tak ada lagi gunanya
berdusta. Sebagai kesatria ia harus selalau siap dengan akibat yang
harus dipikul, yang paling buruk sekalipun.
Sejenak Parasurama terdiam, tindakan Karna tak sepenuhnya
salah. Akan tetapi, bagaimana ia dapat memaafkan? Seorang murid pantang
berdusta di depan seorang guru? “Tindakanmu tidak sepenuhnya salah, akan
tetapi juga tidak benar. Bagi seorang guru bahkan terlalu berani, dosa
besar bahwa seorang murid telah berdusta di depan seorang guru. Maaf
sekali, aku tak bisa mengijinkan lagi engkau belajar di tempat ini.
Dengan sangat menyesal kupersilakan engkau pergi dan jangan pernah
kembali lagi” Parasurama membuang pandang, hatinya terasa nyeri. Ia
harus kehilangan seorang murid yang dikasihi, mengapa Karna mesti
berdusta? Ia harus berketetapan untuk tidak bersua kembali dengan
kesatria yang menyamar ini.
Beberapa tabuh suasana hening, Karna bahkan tak berani
memandang wajah sang guru. Benar, ia telah secara fatal telah melakukan
kesalahan. Kini apa yang dapat dilakukan, seorang yang sangat dihormati
itu bahkan tak berkenan menatap wajahnya kembali, ia seorang kesatria.
Akan tetapi, di depan seorang guru yang didustai, ia tak lebih dari
seonggok sampah. Karna tahu, penyamarannya usai sudah, ia tak yakin
apakah ia akan menang manakala tiba saat harus berhadapan dengan seorang
lawan yang paling tangguh. Atau, demikian memang takdir kehidupan?
Kesatria yang dibesarkan seorang sais kereta?
“Sekali lagi saya, Karna memohon ampun guru, demikian alasan
saya menyamar. Cukup sekali ini saya membuat kesalahan. Baik, saya mohon
pamit dan seperti kemauan guru, saya tak akan pernah datang lagi ke
tempat ini”, Karna membungkukkan badannya dalam-dalam, wajahnya memucat.
Ia tahu arti rasa malu dan bersalah, ketika sadar bahwa kehadirannya
tak lagi dikehendaki, maka ia harus pergi. Sebenarnya kesatria itu masih
akan berucap, akan tetapi ketika ia melihat bahwa Parasurama mengambil
sikap tak menghendaki lagi kebenarannya, ia tahu diri. Sekali lagi Karna
memberikan hormat, kemudian mengundurkan diri, berkemas pergi.
Dengan langkah kaki mengambang Karna meninggalkan kediaman
Parasurama, penyesalan selalu datang terlambat. Tak seorangpun mampu
memutar ulang jarum waktu, tidak juga kesatria perkasa berwajah rupawan
yang sesungguhnya adalah sulung Pandawa, putra Batara Surya yang
terlahir dari ibu agung, Dewi Kunthi. Tak ada lagi yang dapat dilakukan
Kaarna kecuali melupakan, ia akan menjemput hari esok seperti apa adanya
hingga pertempuran besar pasti terjadi, mungkin ia akan hidup. Akan
tetapi, tanpa bekal mantra bagi senjata Brahmastra, ia akan mati.
Karna kembali lagi ke Kerajaan Angga, ia menerima uluran tangan
dari Duryudana. Keduanya menjadi sekutu yang saling melengkapi,
Duryudana memerlukan kesatria perkasa yang akan menopang kekuatannya.
Adapun Karna, yang pernah dipermalukan Pandawa di arena pertandingan
merasa sangat berhutang budi, karena Duryudanalah yang turun tangan
menyelamatkan derajatnya. Kini ia seorang raja, anak angkat sais kereta
yang telah bermahkota kemudian memiliki ikatan persahabatan dengan
Kurawa. Karna tak pernah berpaling dari Kurawa, ia memberikan segala
yang dimiliki meski sesungguhnya Kurawa berada di pihak yang salah.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar