Jumat, 07 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 14, Bakasura Terbuuh






Setelah berhari-hari melakukan perjalanan panjang, akhirnya Pandawa memutuskan untuk menetap di Ekacakra, berperilaku selayaknya brahmana, meminta-minta untuk menyambung kehidupan. Makanan dan segala pemberian dari orang-orang yang bermurah hati dibagi menjadi dua, satu bagian untuk Bhima, satu bagian yang lain dibagi lima untuk Kunthi, Yudhistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bhima putra Dewa Bayu atau Dewa Angin mempunyai nafsu makan yang sangat besar sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi, besar, gagah perkasa. Bhima disebut juga dengan nama Bhimasena atau Wrekodara, artinya “perut srigala”, tak akan pernah merasa kenyang, kecuali menelan lima bagian makanan. Kali ini dapur istana telah sangat jauh, makanan yang diperoleh dengan meminta-minta tak pernah cukup bagi Bhima, perlahan badan Wrekodara menjadi kurus. Kunthi tak banyak mengeluh, akan tetapi betapa teriris sebenarnya hati seorang ibu ketika menyaksikan nasib buruk anak-anaknya. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk menyambung hidup, melenyapkan jati diri, menyamar untuk menghindarkan diri dari kejaran Kurawa. Betapa penting keselamatan, sehingga keturunan bangsawan Bharata mesti hidup terlunta-lunta pada suatu tempat yang sangat jauh dari keindahan istana.
Bhima berkenalan pula dengan seorang pembuat kendi, sikap pembuat kendi itu amat bersahaja, Bhima tak berkeberatan membantu menggali serta mengangkut tanah liat. Sebagai imbalan Bhima mendapatkan pemberian berupa periuk besar, meski periuk itu menyebabkan ia mendapat ejekan dari orang-orang di sekitarnya. Bhima tak peduli, ia tak pernah merasa berkeberatan membantu orang lain, dengan atau tanpa imbalan. Meskipun selalu mengenakan pakaian brahmana, akan tetapi sikap hidup selaku kesatria tak pernah memudar, ia selalu merasa wajib membantu orang lain, terlebih dalam keadaan sulit.
Suatu hari ketika empat Pandawa yang lain pergi meminta-minta, Bhima tinggal di rumah bersama Kunthi. Tiba-tiba keduanya mendengar suara ratapan dari dinding kamar brahmana, ratapan itu sedemikian menyayat, sehingga Kunthi tak dapat untuk tidak menahan diri, mengetahui nasib buruk yang sesungguhnya yang tengah  terjadi. Ibu agung itu diam-diam menyelinap masuk ke kamar sebelah, di dalam bilik sederhana tampak seorang brahmana tengah berbicara kepada istrinya.
“Istriku tercinta, perempuan malang yang dungu, telah berulang kali aku meminta supaya kita meninggalkan tempat terkutuk ini. Akan tetapi, engkau selalu menolak dengan alasan telah terlahir dan besar di tempat ini. Di tempat ini pula kedua orang tuamu hidup kemudian dimakamkan. Sekarang apa yang terjadi, adakah engkau mengira aku akan mampu membiarkan dirimu pergi menyerahkan diri dilahap Bakasura, raksasa jahat yang selalu haus akan darah dan lapar akan daging manusia? Adakah engkau mengira aku akan mampu membiarkan anak-anak yang telah tumbuh dewasa mengalami nasib yang sama. Sebaliknya adakah engkau dan anak-anak akan mampu melepasku pergi sebagai korban pengganti sebagai makanan Bakasura? Jalan satu-satunya lebih baik kita menyerah, mati bersama-sama”, suara itu terdengar sedemikian sedih dan memilukan. Adalah kata-kata penghabisan bagi seorang suami yang mencintai anak istri dan tak akan pernah sanggup kehilangan dengan cara yang kejam. Jernih air mata tampak pula gugur berlinang-linang.
“Andai aku mati, engkau masih dapat mencari istri dan ibu bagi anak-anak yang kita cintai. Bila engkau yang menyerahkan diri, aku dan anak-anak pasti akan menyusul, karena tak ada yang menafkahi keluarga ini. Aku yang berkeras untuk menetap di tempat ini, aku mesti  bertanggung jawab, karena kekerasan itu”, sang istri berusaha untuk tetap tegar, akan tetapi kali ini ia menjadi terlalu rapuh, sepasang pipinya menjadi basah, karena air mata yang deras mengucur.
“Ayah dan ibu, tak usah bersedih. Aku tak takut bila harus diserahkan kepada raksasa jahat, Bakasura”, tiba-tiba terdengar suara lembut seorang bocah yang belum sepenuhnya tahu kejamnya kehidupan. Sekejab kemudian bocah kecil itu telah ada dalam pelukan ayah ibu, suasana sedih seakan sedalam lautan. Adakah orang tua yang mampu kehilangan seorang anak tanpa dosa, karena keserakahan seorang raksasa.
“Ayah, ibu, dan kakak tak usah bersedih, akan kubunuh raksasa itu dengan  kedua tanganku”, seorang bocah yang lain meraih sepotong kayu api kemudian mengacungkan tinggi-tinggi seolah ia mampu menghadapi raksasa yang selalu murka. Tingkah kanak-kanak itu tampak sedemikian lucu, sekejab keluarga yang tengah berduka itu tersenyum sebelumm akhirnya berpelukan, karena duka dan ketakutan.
Kunthi tak dapat lagi menahan diri, percakapan keluarga kecil itu terdengar seakan rintihan yang menikan tepat di ulu hati. Ia tahu kapan saat harus diam, iapun tahu kapan harus bicara, kapan pula harus bertindak. Setelah mengetuk pintu Kunthi segera bergabung ke dalam ruangan tanpa harus dipersilakan, “Maaf sekali, aku mencuri dengar pembicaraan kalian, akan tetapi raksasa jahat mana yang berani memisahkan ayah, ibu atau anak-anak tanpa dosa dari keluarganya?” suara Kunthi lembut, namun pasti, mengejutkan keluarga kecil yang harus mengerti arti duka dan takut.
“Dapatkan seorang ibu atau siapapun membantu kami?” suara brahmana itu demikian lemah, nyaris tanpa harapan, sekejab ia menatap kehadiran Kunthi, seorang ibu yang berperilaku selayaknya brahmana, akan tetapi tak dapat menyembunyikan keagungan pribadi. Ia tak perlu tahu siapa sesungguhnya ibu yang kini berdiri di hadapannya, akan tetapi ia dapat menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana kalau aku akan dapat membantumu?” Kunthi membalik pertanyaan itu, ia tahu arti rasa takut dan kehilangan harapan.
Sekejab suasana hening, baik Kunthi maupun keluarga brahmana itu dapat merasakan ketegangan serta cemas akan punahnya sebuah kehidupan keluarga. Kunthi harus menunggu beberapa saat sebelum akhirnya brahmana itu kembali berucap, “Sebuah malapetaka telah lama menimpa. Telah tiga belas tahun lamanya, di luar kota pada sebuah gua tinggal Bakaksura, raksasa buas, ketika merasa lapar, ia meninggalkan gua, memangsa manusia, anak-anak, ibu-ibu, dan orang dewasa. Sang raja telah melarikan diri ke Wetrakiya, tak mampu menghadapi kekejaman raksasa”, sampai di sini brahmana itu terdiam. Ia sungguh berada pada keadaan yang sulit untuk berpihak antara hidup dan mati. Ketika seorang raja selaku pemimpin dan pelindung bahkan tak mampu mempertahankan keselamatan diri, bagaimana dengan nasib rakyat jelata?
“Tak seorang pun kesatria di tempat ini mampu mengalahkan Bakasura?” Kunthi bertanya, selaku ibu agung ia masih berusaha bersikap tenang, meski diam-diam hatinya bergetar. Bagaimana sebuah kerajaan kehilangan kesatria dan prajurit untuk melindungi rakyat dari buas raksasa yang terbiasa memangsa daging  manusia. Bagaimana sebuah  keluarga harus kehilangan anggotanya dengan cara yang mengerikan?
“Tak seorangpun, maka penduduk Ekacakra mengajukan usul kepada raksasa, supaya ia tidak memangsa manusia dengan semena-mena. Seminggu sekali akan disediakan makanan dan minuman yang cukup di dalam sebuah kereta yang ditarik dua ekor kerbau dan seorang manusia. Makanan, kerbau, dan manusia bisa disantap, akan tetapi jangan membunuh dengan semena-mena. Raksasa menyetujui, kini giliran keluarga ini yang harus mempersembahkan korban, bapak, ibu atau anak”, suara itu semakin lama semakin lirih, hingga akhirnya sang brahmana terisak-isak, ia tak akan sanggup meninggalkan anak istri, demikian pula ia tak akan mampu ditinggalkan. Ia berada dalam keadaan sulit.
“Tak usah bersedih, beri aku sedikit waktu. Semoga kami bisa membantumu”, Kunthi mengangguk kemudian mengundurkan diri, ia tahu harus segera bertindak. Ia memiliki lima kesatria pilihan, ia memiliki Bhimasena yang tak akan mengalami kesulitan untuk menghadapi raksasa betapapum buas perangainya.
“Bhimasena dengarkan, tempat kita menetap rupanya tengah dalam persoalan besar. Kita telah menyelamatkan diri di rumah ini, menerima budi baik keluarga brahmana, sekarang mereka dirundung malang, tak mungkin kita hanya berdiam diri”, Kunthi membuka percakapan dengan Bhima, betapa besar harapan seorang ibu akan bakti dan kesaktian Pandawa kedua yang telah dibesarkan.
“Masalah apa ibu? Dan apa yang harus aku lakukan?” Bhima menatap wajah cemas ibunda, diam-diam ia juga mulai merasa cemas, tak mungkin Kunthi akan tampak cemas seperti ini bila ia tidak berada dalam keadaan yang teramat sulit.
“Tiga belas tahun lamanya tempat ini dikuasai Bakasura, raksasa buas pemangsa manusia, sang raja telah lama pergi  ke Wetrakiya untuk menyelamatkan diri. Tak ada cukup prajurit atau kesatria yang mampu mengalahkan raksasa. Kali ini, keluarga brahmana tempat kita menetap mendapatkan giliran untuk menyerahkan korban, bapak, ibu atau anak. Sanggupkah engkau mengalahkan raksasa dan membawa tempat ini menuju keadaan aman?” suara Kunthi tetap halus dan hati-hati, ia mengetahui kemampuan Bhima untuk bertarung dengan raksasa, dengan demikian ia tak akan lagi mendengar suara rintihan dari keluarga yang mendapat giliran menjadi korban.
“Benarkah ibu?” Bhima nyaris tak percaya, tetapi pernahkan Ibu Kunthi mengucap dusta?
“Benar, kerjakan segala yang harus engkau kerjakan selaku kesatria, doa ibu menyertai”, Kunthi menatap sepasang mata Bhima dalam-dalam sambil menganggukkan kepala dengan sepenuh keyakinan.
Beberapa saat suasanaa hening, terlalu hening sehingga Bhima dan Kunthi dapat mendengar suara hembusan napas  masing-masing. Keheningan itu akhirnya terpecah ketika Bhima memberikan jawaban dengan mantab, “Baik ibu, akan saya hadapi raksasa Bakaksura”.
Kunthi menghela napas panjang, menggenggam tangan Bhima kemudian melangkah perlahan ke dalam kamar brahmana untuk menyampaikan kabar gembira. “Maaf sekali, saya kembali datang bergabung untuk sebuah kabar. Anakku Bhima bersedia mengantarkan makanan bagi raksasa di dalam gua, tak seorangpun dari keluarga ini harus mengorbankan diri pergi ke luar kota”, Kunthi tersenyum memberikan rasa damai bagi keluarga budiman  yang sedang dirundung malang.
Kata-kata itu menyebabkan bapak, ibu, dan anak-anak di kamar sederhana ini terdiam, mereka tahu keselamatan telah berada di tangan. Seorang telah merelakan diri mengantar makanan bagi raksasa buas, hal itu berarti mereka akan tetap utuh sebagai keluarga. Tak ada yang harus ditinggalkan dan tak ada yang akan  meninggalkan. Akan tetapi, haruskah orang lain menjadi korban? “Terima kasih akan budi baik itu, akan tetapi bagaimana bila setelah  mengantar makanan, anak itu tidak akan pernah kembali. Berarti engkau juga akan kehilangan?” Brahmana itu bertanya, ia tahu bagaimana perasaan orang tua yang harus kehilangan anaknya.
“Setalah mengantar makanan, anakku akan pulang kembali. Yakinlah, tak ada yang harus diragukan”, Kunthi mencoba memberikan keyakinan, ia sungguh harus bertanggung jawab, menyelamatkan keluarga brahmana tempatnya menumpang tinggal.
Sementara Bhima segera bersiap untuk sebuah pertarungan sengit antara hidup dan mati, ia ingin tetap hidup, ia tak  berniat mati di tangan Bakasura pemangsa manusia. Ia akan mengerjalan tugas mulia selaku kesatria. Setelah berhari-hari meminta-minta selaku brahmana, kini ia akan kembali berlaku sebagai kesatria. Bhima mendapatkan kembali semangat. Satu hal yang menjadi pertanyaan Yudhistira ketika pulang  meminta-minta, ia tidak bisa  menahan diri untuk tidak bertanya kepada ibunda.
“Kemana Bhima hendak pergi, ia bersikap seolah prajurit pilih tanding yang tengah siap berperang?” Yudhistira --Dharmaputra atau sang putra Batara Dharma  bertanya pada Kunthi.
“Ada Bakaksura,  raksasa buas di luar kota yang selalu rakus melahap daging manusia, kali ini adalah  giliran keluarga brahmana tempat kita tinggal menyerahkan korban. Mereka ketakutan, aku meminta Bhima untuk menghadapi raksasa, ia cukup sakti bagi raksasa paling buas sekalipun”, jawab Kunthu dengan tenang.
“Benarkah keputusan ibu? Benarkah Bhima akan mampu mengalahkan Bakasura?” Yudhistira tak dapat menyembunyikan rasa cemas. “Mengapa harus merelakan nyawa Bhima bagi keluarga brahmana? Ibu ….?”
“Cukup lama kita bisa hidup aman di rumah ini, keluarga tempat kita tinggal sedang berada dalam masalah. Kita harus bertindak atau seluruh penduduk di tempat ini perlahan akan musnah, bukan hanya keluarga brahmana. Aku membesarkan Bhima, aku tahu kesaktian Pandawa Kedua, tak perlu merasa cemas. Yakinlah, Bhima akan pulang dengan selamat setelah mengalahkan Bakasura”, Kunthi menenangkan Yudhistirra, ia tak menyalahkan kecemasan Pandawa Pertama, tetapi ia juga tak akan mengubah pendiriannya. Saatnya Bhima bertindak, atau kesewenangan akan terus berlanjut tak  bisa dihentikan, bila kebenaran tidak bertindak.
Keesokan harinya penduduk setempat segera mengumpulkan bahan makanan, menempatkan dalam gerobak yang dihela dua ekor kerbau. Bhima tak perlu diperintah Kunthi untuk yang kedua kali, ia segera menghela gerobak menuju ke luar kota, gua tempat Bakasura menetap. Kunthi beserta empat Pandawa, keluarga brahmana serta penduduk Ekacakra menyertai dengan harap-harap cemas hingga ke batas kota. Wajah  yang paling tampak cemas adalah Yudhistira, yang mampu membenamkan rasa khawatir adalah Kunthi. Ia yakin akan kesaktian Bhima, persembahan makanan bagi Bakasura adalah untuk yang terakhir kalinya.
Sementara Bhima terus menghela dua ekor kerbau ke luar kota, ia tak hilang arah, sehingga akhirnya sampai di mulut gua tempat Bakasura tinggal. Tak ada tanda kehidupan atau suara di tempat yang muram ini, tulang belulang manusia berserakan, sisa makanan membusuk dan suara menakutkan dari burung pemakan bangkai menimbulkan rasa seram. Adakah Bhima ketakutan?
Kesatria itu terdiam sesaat, ia tak berani memasuki gua tempat Bakasura tinggal. Apabila di luar mulut gua keadaan bisa mengerikan seperti ini, bagaimana dengan suasana di dalamnya? Bhima tak mau memulai perkelahian, perjalanan yang cukup jauh menyebabkan ia merasa haus dan lapar. Bhima mencari tempat dengan udara lebih segar, jauh dari busuk sisa makanan dana tumpukan tulang belulang. Rasa lapar menyebabkan Pandawa Kedua lahap mengunyah aneka makanan, meneguk minuman segar, sehingga seluruh rasa lelah, lapar, dan haus hilang sudah.
Di dalam gua, Bakasura yang lapar segera mengendus aroma lezat makanan, ia tahu, korban berikut telah bersiap hadir di luar gua. Langkah raksasa itu teramat berat, menggetarkan bumi, ia telah membayangkan, betapa lezat hidangan yang selalu disajikan secara cuma-cuma. Akan tetapi, darah Bakasura tiba-tiba tersirap. Ia tidak lagi menghadapi seorang korban yang ketakutan, ia menatap seorang kesatria perkasa yang melahap hidangan dengan nikmat, terlupa pada kewajiban untuk memberi  makan raksasa. Kemarahan Bakasura meledak, ia meraung, mengamuk, melempar segala benda yang ada di sekitarnya, tetapi Bhima tetap menikmati hidangan dan minuman seolah tak terjadi apa-apa. Bhima tahu, kemarahan akan menyebabkan seorang petarung kehilangan kewaspadaan, ia akan lebih mudah dikalahkan. Terlebih dalam keadaan lapar.
Tubuh Bakasura tinggi besar, berkulit teramat gelap, rambut panjang tak terawat, kumis dan jenggot seakan semak belukar, mulutnya selebar gua ketika meraung, menampakkan taring, menimbulkan bau busuk, menjijikkan. “Mengapa engkau melahap seluruh hidangan!?” suara itu terdengar seakan halilintar, dalam kemarahan Bakasura meninju Bhima berulang kali, akan tetapi kesatria itu terlalu sakti dirobohkan dengan hanya ditinju berulang-ulang. Bhima masih tetap mengunyah makanan, meneguk minuman, sehingga ia benar-benar merasa kenyang. Jatah makanan yang dapat dihabiskan sama banyaknya dengan jatah yang biasa dilahap Bakasura.
Sepasang mata Bakasura kini menyala seakan bara api, dalam tiga belas tahun ia tak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Kali ini seorang kesatria tak dikenal tiba-tiba datang, menghabiskan seluruh hak yang harus diterima. Ia pasti akan dapat mencincang kemudian melahap seluruh daging bahkan lengkap dengan tulang belulang. Bakasura kembali meraung, mencabut pepohonan, mengangkat bongkahan batu, melempar ke arah Bhima. Kemarahan raksasa itu kian meledak-ledak ketika ternyata sang kesatria dengan mudah dapat menangkisnya. “Bedebah dari mana engkau sesungguhnya?” suara itu menggelegar, Bakasura mengira Bhima akan berlari ketakutan.
Akan tetapi, kesatria itu tersenyum, seluruh makanan telah habis tinggal remah-remah. Ia telah merasa kenyang sekaligus memiliki tenaga untuk bertarung melawan kejahatan. Tak lama kemudian pertarungan sengit antara Bakasura dan Bhima tak terelakkan, berulang kali Bhima mengelak ketika Bakasura meninju atau menendang. Ia tersenyum, memancing kemarahan Bakasura, maka serangan raksasa itu semakin membabi buta, semakin mudah dihindari. Setelah cukup bermain-main, akhirnya Bhima menyerang, ia melancarkan tendangan berantai, memukul kemudian melemparkan Bakasura tinggi-tinggi, menyeretnya. Demikian berulang kali, sehingga akhirnya Bakasura mengerang, tak mampu lagi bangkit, sekejab ia menatap debu beterbangan, darah mengucur dari mulutnya yang lapar daging manusia, ia terjebak ke dalam rasa sakit tak terperi dan tak akan tersembuhkan. Ketika tubuhnya terkapar tanpa daya di atas tulang belulang, Bakasura tahu hari terakhirnya telah tiba, ia tak akan dapat lagi memaksa penduduk Ekacakra menyerahkan diri sebagai korban. Kesewenangan-wenangan selama tiga belas tahun berakhir ini, dari sela-sela bulu matanya yang berdebu ia masih dapat menatap kesatria itu. Seorang yang dengan tenang melahap seluruh hidangan, kemudian menunjukkan kekuatan. Kiranya ia telah dikunjungi dewa pencabut nyawa.
Ketika tangan kekar Bhima kembali mencengkeram kemudian melontarkan tinggi-tinggi ke batas langit, Bakasura menjerit untuk yang terakhir kali. Ia merasa tubuhnya melayang, melayang demikian ringan seakan gumpalan lembut kapas diterbangkan angin musim. Kemudian segalanya menjadi hampa, tubuhnya berdebum ketika terjatuh menghantam tanah, tenggorokan Bakasura tersedak, sepasang matanya membesar, menahan rasa sakit penghabisan, semakin membesar, akhirya kepala raksasa itupun terkulai. Rohnya terlepas dari raga, hal itu berarti bahwa ketakutan penduduk Ekacakra berakhir sampai di sini, tak akan ada lagi seorang raksasa yang akan meminta korban, menceraikan satu anggota keluarga dari anggota keluarga lainnya.
Bhima menarik napas lega, ternyata tidak terlalu susah mengalahkan Bakasura, lebih sulit ketika ia harus menyelamatkan empat Pandawa dan Ibu Kunthi  melarikan diri melewati terowongan dan hutan lebat dari Warawanata. Bhima mengikat tubuh mati Bakasura dengan seutas tali pada gerobak, dengan penuh kemenangan ia kembali menghela gerobak, menuju Ekacakra. Di batas kota sementara penduduk tengah menanti, sorak sorai membahana ketika akhirnya tampak debu mengepul tinggi dari gerobak yang dihela Bima, jenazah Bakasura terseret di belakangnya.
Kecemasan penduduk Ekacakra tak terbukti, Bhima kembali dengan selamat, Bakasura telah mati, raksasa jahat itu tak akan mampu meminta korban kembali. Sore itu seluruh penduduk Ekacakra bersuka ria, di tanah lapang beramai-ramai mereka membakar tubuh mati Bakasura. Sementara Bhima segera kembali ke rumah brahmana, memberikan hormat pada Kunthi. “Bhima telah kembali ibu ....”
Kunthi memeluk Bhima dengan perasaan lega, demikian pula empat Pandawa yang lain, sementara keluarga brahmana tak kalah gembira. Mereka akan selamanya terhindar dari tuntutan mengerikan Bakasura, tak seorang pun bertanya-tanya siapa sesungghnya pemuda perkasa berpakaian brahmana yang mampu mengalahkan Bakasura. Satu hal yang sebenarnya sangat dicemaskan Kunthi, ia meminta Bhima mengalahkan Bakasura dengan satu akibat yang sangat berat. Bahwa kemenangan itu dapat membongkar penyamaran, siapa sesungguhnya yang telah menumpang tinggal pada rumah seorang brahmana?

                                                                                               ***



 Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...