Setelah
berhari-hari melakukan perjalanan panjang, akhirnya Pandawa memutuskan
untuk menetap di Ekacakra, berperilaku selayaknya brahmana,
meminta-minta untuk menyambung kehidupan. Makanan dan segala pemberian
dari orang-orang yang bermurah hati dibagi menjadi dua, satu bagian
untuk Bhima, satu bagian yang lain dibagi lima untuk Kunthi, Yudhistira,
Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bhima putra Dewa Bayu atau Dewa Angin
mempunyai nafsu makan yang sangat besar sesuai dengan bentuk tubuhnya
yang tinggi, besar, gagah perkasa. Bhima disebut juga dengan nama
Bhimasena atau Wrekodara, artinya “perut srigala”, tak akan pernah
merasa kenyang, kecuali menelan lima bagian makanan. Kali ini dapur
istana telah sangat jauh, makanan yang diperoleh dengan meminta-minta
tak pernah cukup bagi Bhima, perlahan badan Wrekodara menjadi kurus.
Kunthi tak banyak mengeluh, akan tetapi betapa teriris sebenarnya hati
seorang ibu ketika menyaksikan nasib buruk anak-anaknya. Tak banyak yang
bisa dilakukan untuk menyambung hidup, melenyapkan jati diri, menyamar
untuk menghindarkan diri dari kejaran Kurawa. Betapa penting
keselamatan, sehingga keturunan bangsawan Bharata mesti hidup
terlunta-lunta pada suatu tempat yang sangat jauh dari keindahan istana.
Bhima
berkenalan pula dengan seorang pembuat kendi, sikap pembuat kendi itu
amat bersahaja, Bhima tak berkeberatan membantu menggali serta
mengangkut tanah liat. Sebagai imbalan Bhima mendapatkan pemberian
berupa periuk besar, meski periuk itu menyebabkan ia mendapat ejekan
dari orang-orang di sekitarnya. Bhima tak peduli, ia tak pernah merasa
berkeberatan membantu orang lain, dengan atau tanpa imbalan. Meskipun
selalu mengenakan pakaian brahmana, akan tetapi sikap hidup selaku
kesatria tak pernah memudar, ia selalu merasa wajib membantu orang lain,
terlebih dalam keadaan sulit.
Suatu
hari ketika empat Pandawa yang lain pergi meminta-minta, Bhima tinggal
di rumah bersama Kunthi. Tiba-tiba keduanya mendengar suara ratapan dari
dinding kamar brahmana, ratapan itu sedemikian menyayat, sehingga
Kunthi tak dapat untuk tidak menahan diri, mengetahui nasib buruk yang
sesungguhnya yang tengah terjadi. Ibu agung itu diam-diam menyelinap
masuk ke kamar sebelah, di dalam bilik sederhana tampak seorang brahmana
tengah berbicara kepada istrinya.
“Istriku
tercinta, perempuan malang yang dungu, telah berulang kali aku meminta
supaya kita meninggalkan tempat terkutuk ini. Akan tetapi, engkau selalu
menolak dengan alasan telah terlahir dan besar di tempat ini. Di tempat
ini pula kedua orang tuamu hidup kemudian dimakamkan. Sekarang apa yang
terjadi, adakah engkau mengira aku akan mampu membiarkan dirimu pergi
menyerahkan diri dilahap Bakasura, raksasa jahat yang selalu haus akan
darah dan lapar akan daging manusia? Adakah engkau mengira aku akan
mampu membiarkan anak-anak yang telah tumbuh dewasa mengalami nasib yang
sama. Sebaliknya adakah engkau dan anak-anak akan mampu melepasku pergi
sebagai korban pengganti sebagai makanan Bakasura? Jalan satu-satunya
lebih baik kita menyerah, mati bersama-sama”, suara itu terdengar
sedemikian sedih dan memilukan. Adalah kata-kata penghabisan bagi
seorang suami yang mencintai anak istri dan tak akan pernah sanggup
kehilangan dengan cara yang kejam. Jernih air mata tampak pula gugur
berlinang-linang.
“Andai
aku mati, engkau masih dapat mencari istri dan ibu bagi anak-anak yang
kita cintai. Bila engkau yang menyerahkan diri, aku dan anak-anak pasti
akan menyusul, karena tak ada yang menafkahi keluarga ini. Aku yang
berkeras untuk menetap di tempat ini, aku mesti bertanggung jawab,
karena kekerasan itu”, sang istri berusaha untuk tetap tegar, akan
tetapi kali ini ia menjadi terlalu rapuh, sepasang pipinya menjadi
basah, karena air mata yang deras mengucur.
“Ayah
dan ibu, tak usah bersedih. Aku tak takut bila harus diserahkan kepada
raksasa jahat, Bakasura”, tiba-tiba terdengar suara lembut seorang bocah
yang belum sepenuhnya tahu kejamnya kehidupan. Sekejab kemudian bocah
kecil itu telah ada dalam pelukan ayah ibu, suasana sedih seakan sedalam
lautan. Adakah orang tua yang mampu kehilangan seorang anak tanpa dosa,
karena keserakahan seorang raksasa.
“Ayah,
ibu, dan kakak tak usah bersedih, akan kubunuh raksasa itu dengan
kedua tanganku”, seorang bocah yang lain meraih sepotong kayu api
kemudian mengacungkan tinggi-tinggi seolah ia mampu menghadapi raksasa
yang selalu murka. Tingkah kanak-kanak itu tampak sedemikian lucu,
sekejab keluarga yang tengah berduka itu tersenyum sebelumm akhirnya
berpelukan, karena duka dan ketakutan.
Kunthi
tak dapat lagi menahan diri, percakapan keluarga kecil itu terdengar
seakan rintihan yang menikan tepat di ulu hati. Ia tahu kapan saat harus
diam, iapun tahu kapan harus bicara, kapan pula harus bertindak.
Setelah mengetuk pintu Kunthi segera bergabung ke dalam ruangan tanpa
harus dipersilakan, “Maaf sekali, aku mencuri dengar pembicaraan kalian,
akan tetapi raksasa jahat mana yang berani memisahkan ayah, ibu atau
anak-anak tanpa dosa dari keluarganya?” suara Kunthi lembut, namun
pasti, mengejutkan keluarga kecil yang harus mengerti arti duka dan
takut.
“Dapatkan
seorang ibu atau siapapun membantu kami?” suara brahmana itu demikian
lemah, nyaris tanpa harapan, sekejab ia menatap kehadiran Kunthi,
seorang ibu yang berperilaku selayaknya brahmana, akan tetapi tak dapat
menyembunyikan keagungan pribadi. Ia tak perlu tahu siapa sesungguhnya
ibu yang kini berdiri di hadapannya, akan tetapi ia dapat menjawab
pertanyaannya.
“Bagaimana kalau aku akan dapat membantumu?” Kunthi membalik pertanyaan itu, ia tahu arti rasa takut dan kehilangan harapan.
Sekejab
suasana hening, baik Kunthi maupun keluarga brahmana itu dapat
merasakan ketegangan serta cemas akan punahnya sebuah kehidupan
keluarga. Kunthi harus menunggu beberapa saat sebelum akhirnya brahmana
itu kembali berucap, “Sebuah malapetaka telah lama menimpa. Telah tiga
belas tahun lamanya, di luar kota pada sebuah gua tinggal Bakaksura,
raksasa buas, ketika merasa lapar, ia meninggalkan gua, memangsa
manusia, anak-anak, ibu-ibu, dan orang dewasa. Sang raja telah melarikan
diri ke Wetrakiya, tak mampu menghadapi kekejaman raksasa”, sampai di
sini brahmana itu terdiam. Ia sungguh berada pada keadaan yang sulit
untuk berpihak antara hidup dan mati. Ketika seorang raja selaku
pemimpin dan pelindung bahkan tak mampu mempertahankan keselamatan diri,
bagaimana dengan nasib rakyat jelata?
“Tak
seorang pun kesatria di tempat ini mampu mengalahkan Bakasura?” Kunthi
bertanya, selaku ibu agung ia masih berusaha bersikap tenang, meski
diam-diam hatinya bergetar. Bagaimana sebuah kerajaan kehilangan
kesatria dan prajurit untuk melindungi rakyat dari buas raksasa yang
terbiasa memangsa daging manusia. Bagaimana sebuah keluarga harus
kehilangan anggotanya dengan cara yang mengerikan?
“Tak
seorangpun, maka penduduk Ekacakra mengajukan usul kepada raksasa,
supaya ia tidak memangsa manusia dengan semena-mena. Seminggu sekali
akan disediakan makanan dan minuman yang cukup di dalam sebuah kereta
yang ditarik dua ekor kerbau dan seorang manusia. Makanan, kerbau, dan
manusia bisa disantap, akan tetapi jangan membunuh dengan semena-mena.
Raksasa menyetujui, kini giliran keluarga ini yang harus mempersembahkan
korban, bapak, ibu atau anak”, suara itu semakin lama semakin lirih,
hingga akhirnya sang brahmana terisak-isak, ia tak akan sanggup
meninggalkan anak istri, demikian pula ia tak akan mampu ditinggalkan.
Ia berada dalam keadaan sulit.
“Tak
usah bersedih, beri aku sedikit waktu. Semoga kami bisa membantumu”,
Kunthi mengangguk kemudian mengundurkan diri, ia tahu harus segera
bertindak. Ia memiliki lima kesatria pilihan, ia memiliki Bhimasena yang
tak akan mengalami kesulitan untuk menghadapi raksasa betapapum buas
perangainya.
“Bhimasena
dengarkan, tempat kita menetap rupanya tengah dalam persoalan besar.
Kita telah menyelamatkan diri di rumah ini, menerima budi baik keluarga
brahmana, sekarang mereka dirundung malang, tak mungkin kita hanya
berdiam diri”, Kunthi membuka percakapan dengan Bhima, betapa besar
harapan seorang ibu akan bakti dan kesaktian Pandawa kedua yang telah
dibesarkan.
“Masalah
apa ibu? Dan apa yang harus aku lakukan?” Bhima menatap wajah cemas
ibunda, diam-diam ia juga mulai merasa cemas, tak mungkin Kunthi akan
tampak cemas seperti ini bila ia tidak berada dalam keadaan yang teramat
sulit.
“Tiga
belas tahun lamanya tempat ini dikuasai Bakasura, raksasa buas pemangsa
manusia, sang raja telah lama pergi ke Wetrakiya untuk menyelamatkan
diri. Tak ada cukup prajurit atau kesatria yang mampu mengalahkan
raksasa. Kali ini, keluarga brahmana tempat kita menetap mendapatkan
giliran untuk menyerahkan korban, bapak, ibu atau anak. Sanggupkah
engkau mengalahkan raksasa dan membawa tempat ini menuju keadaan aman?”
suara Kunthi tetap halus dan hati-hati, ia mengetahui kemampuan Bhima
untuk bertarung dengan raksasa, dengan demikian ia tak akan lagi
mendengar suara rintihan dari keluarga yang mendapat giliran menjadi
korban.
“Benarkah ibu?” Bhima nyaris tak percaya, tetapi pernahkan Ibu Kunthi mengucap dusta?
“Benar, kerjakan segala yang harus engkau kerjakan selaku kesatria, doa ibu menyertai”, Kunthi menatap sepasang mata Bhima dalam-dalam sambil menganggukkan kepala dengan sepenuh keyakinan.
“Benar, kerjakan segala yang harus engkau kerjakan selaku kesatria, doa ibu menyertai”, Kunthi menatap sepasang mata Bhima dalam-dalam sambil menganggukkan kepala dengan sepenuh keyakinan.
Beberapa
saat suasanaa hening, terlalu hening sehingga Bhima dan Kunthi dapat
mendengar suara hembusan napas masing-masing. Keheningan itu akhirnya
terpecah ketika Bhima memberikan jawaban dengan mantab, “Baik ibu, akan
saya hadapi raksasa Bakaksura”.
Kunthi
menghela napas panjang, menggenggam tangan Bhima kemudian melangkah
perlahan ke dalam kamar brahmana untuk menyampaikan kabar gembira. “Maaf
sekali, saya kembali datang bergabung untuk sebuah kabar. Anakku Bhima
bersedia mengantarkan makanan bagi raksasa di dalam gua, tak seorangpun
dari keluarga ini harus mengorbankan diri pergi ke luar kota”, Kunthi
tersenyum memberikan rasa damai bagi keluarga budiman yang sedang
dirundung malang.
Kata-kata
itu menyebabkan bapak, ibu, dan anak-anak di kamar sederhana ini
terdiam, mereka tahu keselamatan telah berada di tangan. Seorang telah
merelakan diri mengantar makanan bagi raksasa buas, hal itu berarti
mereka akan tetap utuh sebagai keluarga. Tak ada yang harus ditinggalkan
dan tak ada yang akan meninggalkan. Akan tetapi, haruskah orang lain
menjadi korban? “Terima kasih akan budi baik itu, akan tetapi bagaimana
bila setelah mengantar makanan, anak itu tidak akan pernah kembali.
Berarti engkau juga akan kehilangan?” Brahmana itu bertanya, ia tahu
bagaimana perasaan orang tua yang harus kehilangan anaknya.
“Setalah
mengantar makanan, anakku akan pulang kembali. Yakinlah, tak ada yang
harus diragukan”, Kunthi mencoba memberikan keyakinan, ia sungguh harus
bertanggung jawab, menyelamatkan keluarga brahmana tempatnya menumpang
tinggal.
Sementara
Bhima segera bersiap untuk sebuah pertarungan sengit antara hidup dan
mati, ia ingin tetap hidup, ia tak berniat mati di tangan Bakasura
pemangsa manusia. Ia akan mengerjalan tugas mulia selaku kesatria.
Setelah berhari-hari meminta-minta selaku brahmana, kini ia akan kembali
berlaku sebagai kesatria. Bhima mendapatkan kembali semangat. Satu hal
yang menjadi pertanyaan Yudhistira ketika pulang meminta-minta, ia
tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya kepada ibunda.
“Kemana
Bhima hendak pergi, ia bersikap seolah prajurit pilih tanding yang
tengah siap berperang?” Yudhistira --Dharmaputra atau sang putra Batara
Dharma bertanya pada Kunthi.
“Ada
Bakaksura, raksasa buas di luar kota yang selalu rakus melahap daging
manusia, kali ini adalah giliran keluarga brahmana tempat kita tinggal
menyerahkan korban. Mereka ketakutan, aku meminta Bhima untuk menghadapi
raksasa, ia cukup sakti bagi raksasa paling buas sekalipun”, jawab
Kunthu dengan tenang.
“Benarkah
keputusan ibu? Benarkah Bhima akan mampu mengalahkan Bakasura?”
Yudhistira tak dapat menyembunyikan rasa cemas. “Mengapa harus merelakan
nyawa Bhima bagi keluarga brahmana? Ibu ….?”
“Cukup
lama kita bisa hidup aman di rumah ini, keluarga tempat kita tinggal
sedang berada dalam masalah. Kita harus bertindak atau seluruh penduduk
di tempat ini perlahan akan musnah, bukan hanya keluarga brahmana. Aku
membesarkan Bhima, aku tahu kesaktian Pandawa Kedua, tak perlu merasa
cemas. Yakinlah, Bhima akan pulang dengan selamat setelah mengalahkan
Bakasura”, Kunthi menenangkan Yudhistirra, ia tak menyalahkan kecemasan
Pandawa Pertama, tetapi ia juga tak akan mengubah pendiriannya. Saatnya
Bhima bertindak, atau kesewenangan akan terus berlanjut tak bisa
dihentikan, bila kebenaran tidak bertindak.
Keesokan
harinya penduduk setempat segera mengumpulkan bahan makanan,
menempatkan dalam gerobak yang dihela dua ekor kerbau. Bhima tak perlu
diperintah Kunthi untuk yang kedua kali, ia segera menghela gerobak
menuju ke luar kota, gua tempat Bakasura menetap. Kunthi beserta empat
Pandawa, keluarga brahmana serta penduduk Ekacakra menyertai dengan
harap-harap cemas hingga ke batas kota. Wajah yang paling tampak cemas
adalah Yudhistira, yang mampu membenamkan rasa khawatir adalah Kunthi.
Ia yakin akan kesaktian Bhima, persembahan makanan bagi Bakasura adalah
untuk yang terakhir kalinya.
Sementara
Bhima terus menghela dua ekor kerbau ke luar kota, ia tak hilang arah,
sehingga akhirnya sampai di mulut gua tempat Bakasura tinggal. Tak ada
tanda kehidupan atau suara di tempat yang muram ini, tulang belulang
manusia berserakan, sisa makanan membusuk dan suara menakutkan dari
burung pemakan bangkai menimbulkan rasa seram. Adakah Bhima ketakutan?
Kesatria
itu terdiam sesaat, ia tak berani memasuki gua tempat Bakasura tinggal.
Apabila di luar mulut gua keadaan bisa mengerikan seperti ini,
bagaimana dengan suasana di dalamnya? Bhima tak mau memulai perkelahian,
perjalanan yang cukup jauh menyebabkan ia merasa haus dan lapar. Bhima
mencari tempat dengan udara lebih segar, jauh dari busuk sisa makanan
dana tumpukan tulang belulang. Rasa lapar menyebabkan Pandawa Kedua
lahap mengunyah aneka makanan, meneguk minuman segar, sehingga seluruh
rasa lelah, lapar, dan haus hilang sudah.
Di
dalam gua, Bakasura yang lapar segera mengendus aroma lezat makanan, ia
tahu, korban berikut telah bersiap hadir di luar gua. Langkah raksasa
itu teramat berat, menggetarkan bumi, ia telah membayangkan, betapa
lezat hidangan yang selalu disajikan secara cuma-cuma. Akan tetapi,
darah Bakasura tiba-tiba tersirap. Ia tidak lagi menghadapi seorang
korban yang ketakutan, ia menatap seorang kesatria perkasa yang melahap
hidangan dengan nikmat, terlupa pada kewajiban untuk memberi makan
raksasa. Kemarahan Bakasura meledak, ia meraung, mengamuk, melempar
segala benda yang ada di sekitarnya, tetapi Bhima tetap menikmati
hidangan dan minuman seolah tak terjadi apa-apa. Bhima tahu, kemarahan
akan menyebabkan seorang petarung kehilangan kewaspadaan, ia akan lebih
mudah dikalahkan. Terlebih dalam keadaan lapar.
Tubuh
Bakasura tinggi besar, berkulit teramat gelap, rambut panjang tak
terawat, kumis dan jenggot seakan semak belukar, mulutnya selebar gua
ketika meraung, menampakkan taring, menimbulkan bau busuk, menjijikkan.
“Mengapa engkau melahap seluruh hidangan!?” suara itu terdengar seakan
halilintar, dalam kemarahan Bakasura meninju Bhima berulang kali, akan
tetapi kesatria itu terlalu sakti dirobohkan dengan hanya ditinju
berulang-ulang. Bhima masih tetap mengunyah makanan, meneguk minuman,
sehingga ia benar-benar merasa kenyang. Jatah makanan yang dapat
dihabiskan sama banyaknya dengan jatah yang biasa dilahap Bakasura.
Sepasang
mata Bakasura kini menyala seakan bara api, dalam tiga belas tahun ia
tak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Kali ini seorang kesatria tak
dikenal tiba-tiba datang, menghabiskan seluruh hak yang harus diterima.
Ia pasti akan dapat mencincang kemudian melahap seluruh daging bahkan
lengkap dengan tulang belulang. Bakasura kembali meraung, mencabut
pepohonan, mengangkat bongkahan batu, melempar ke arah Bhima. Kemarahan
raksasa itu kian meledak-ledak ketika ternyata sang kesatria dengan
mudah dapat menangkisnya. “Bedebah dari mana engkau sesungguhnya?” suara
itu menggelegar, Bakasura mengira Bhima akan berlari ketakutan.
Akan
tetapi, kesatria itu tersenyum, seluruh makanan telah habis tinggal
remah-remah. Ia telah merasa kenyang sekaligus memiliki tenaga untuk
bertarung melawan kejahatan. Tak lama kemudian pertarungan sengit antara
Bakasura dan Bhima tak terelakkan, berulang kali Bhima mengelak ketika
Bakasura meninju atau menendang. Ia tersenyum, memancing kemarahan
Bakasura, maka serangan raksasa itu semakin membabi buta, semakin mudah
dihindari. Setelah cukup bermain-main, akhirnya Bhima menyerang, ia
melancarkan tendangan berantai, memukul kemudian melemparkan Bakasura
tinggi-tinggi, menyeretnya. Demikian berulang kali, sehingga akhirnya
Bakasura mengerang, tak mampu lagi bangkit, sekejab ia menatap debu
beterbangan, darah mengucur dari mulutnya yang lapar daging manusia, ia
terjebak ke dalam rasa sakit tak terperi dan tak akan tersembuhkan.
Ketika tubuhnya terkapar tanpa daya di atas tulang belulang, Bakasura
tahu hari terakhirnya telah tiba, ia tak akan dapat lagi memaksa
penduduk Ekacakra menyerahkan diri sebagai korban. Kesewenangan-wenangan
selama tiga belas tahun berakhir ini, dari sela-sela bulu matanya yang
berdebu ia masih dapat menatap kesatria itu. Seorang yang dengan tenang
melahap seluruh hidangan, kemudian menunjukkan kekuatan. Kiranya ia
telah dikunjungi dewa pencabut nyawa.
Ketika
tangan kekar Bhima kembali mencengkeram kemudian melontarkan
tinggi-tinggi ke batas langit, Bakasura menjerit untuk yang terakhir
kali. Ia merasa tubuhnya melayang, melayang demikian ringan seakan
gumpalan lembut kapas diterbangkan angin musim. Kemudian segalanya
menjadi hampa, tubuhnya berdebum ketika terjatuh menghantam tanah,
tenggorokan Bakasura tersedak, sepasang matanya membesar, menahan rasa
sakit penghabisan, semakin membesar, akhirya kepala raksasa itupun
terkulai. Rohnya terlepas dari raga, hal itu berarti bahwa ketakutan
penduduk Ekacakra berakhir sampai di sini, tak akan ada lagi seorang
raksasa yang akan meminta korban, menceraikan satu anggota keluarga dari
anggota keluarga lainnya.
Bhima
menarik napas lega, ternyata tidak terlalu susah mengalahkan Bakasura,
lebih sulit ketika ia harus menyelamatkan empat Pandawa dan Ibu Kunthi
melarikan diri melewati terowongan dan hutan lebat dari Warawanata.
Bhima mengikat tubuh mati Bakasura dengan seutas tali pada gerobak,
dengan penuh kemenangan ia kembali menghela gerobak, menuju Ekacakra. Di
batas kota sementara penduduk tengah menanti, sorak sorai membahana
ketika akhirnya tampak debu mengepul tinggi dari gerobak yang dihela
Bima, jenazah Bakasura terseret di belakangnya.
Kecemasan
penduduk Ekacakra tak terbukti, Bhima kembali dengan selamat, Bakasura
telah mati, raksasa jahat itu tak akan mampu meminta korban kembali.
Sore itu seluruh penduduk Ekacakra bersuka ria, di tanah lapang
beramai-ramai mereka membakar tubuh mati Bakasura. Sementara Bhima
segera kembali ke rumah brahmana, memberikan hormat pada Kunthi. “Bhima
telah kembali ibu ....”
Kunthi
memeluk Bhima dengan perasaan lega, demikian pula empat Pandawa yang
lain, sementara keluarga brahmana tak kalah gembira. Mereka akan
selamanya terhindar dari tuntutan mengerikan Bakasura, tak seorang pun
bertanya-tanya siapa sesungghnya pemuda perkasa berpakaian brahmana yang
mampu mengalahkan Bakasura. Satu hal yang sebenarnya sangat dicemaskan
Kunthi, ia meminta Bhima mengalahkan Bakasura dengan satu akibat yang
sangat berat. Bahwa kemenangan itu dapat membongkar penyamaran, siapa
sesungguhnya yang telah menumpang tinggal pada rumah seorang brahmana?
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar