Dita tersentak oleh dering ponsel yang
tergeletak di atas meja, ia tengah menghitung kalender, ada yang salah
dalam siklus bulanannya. Ia tak kedatangan tamu pada bulan lalu, juga
bulan ini. Akan tetapi kondisi fisiknya tetap stabil, ia tak merasa
lemah atau pusing dari bermacam gangguan seperti yang biasa terjadi masa
kehamilan muda. Sehari-hari ia tetap beraktivitas seperti biasa.
Ponsel masih berdering. Dita meraih benda mungil itu
dan ke dalam layar, tertera tulisan Soraya memanggil. Sejenak wanita
itu tersenyum, ia telah hampir tujuh tahun meninggalkan asrama putri,
tetapi sahabat-sahabatnya tak pernah absen menghubungi dalam setiap
kesempatan. Sering kali ia menerima panggilan dari nomor tak dikenal,
ketika menekan tombol penjawab dan mulai berbicara, ia segera mendengar
suara dari teman-teman yang telah lama berpisah setelah ia meninggalkan
kehidupan asrama, resmi memegang status sebagai nyonya Firman seusai
pernikahan di depan jenazah. Bimbingan skripsi ia kerjakan secara jarak
jauh dengan beberapa kali pertemuan setelah menempuh jarak beratus kilo
meter. Ia lulus dengan predikat cum laude, mendapat tawaran pekerjaan
pada sebuah bank dengan reputasi yang meyakinkan, menikmati tugas rutin
dan penghasilan.
Akan tetapi keinginan untuk bekerja
menjadi surut setelah ia melahirkan seorang bayi cantik bernama
Andesita. Dita tak pernah dapat mempercayakan pengasuhan bayi kepada
siapapun kecuali kepada kedua tangan dan kasih sayang seorang ibu.
Sementara Firman mulai mapan merintis kesuksesan sebagai konsultan di
perusahaan konstruksi, ia mempunyai penghasilan yang lebih dari sekedar
cukup untuk mendanai rumah tangga. Maka, mereka bersepakat supaya Dita
meninggalkan pekerjaan dan meluangkan waktu sepenuhnya sebagai ibu rumah
tangga.
Mereka tinggal di sebuah perumahan dengan
lingkungan aman dan nyaman, Dita mengelola penghasilan Firman
sedemikian rupa, sehingga ia dapat memenuhi konsumsi sehari-hari tanpa
kesulitan apa-apa, ia dapat menata setiap ruangan dengan perabotan yang
memberi kesan elegan, ia dapat pula mengisi buku tabungan, sehingga
semakin hari isi tabungan itu semakin menggelembung. Sementara
kesempatan berwisata telah menjadi pula rutinitas sebagai penyegaran
setelah keseharian yang melelahkan. Dita yakin hidupnya tak sia-sia.
Seringkali Dita mendapatkan kejutan
dengan telepon, sms, surat undangan atau kedatangan teman-teman asrama.
Ia hampir tak pernah meninggalkan rumah kecuali untuk alasan penting,
kejutan dari teman-teman asrama tentu sangat menghibur. Ternyata namanya
tak menghilang dari ingatan sekalian warga, ia tetap menjadi bagian
dari masa depan asrama dengan sebuah kenangan pahit yang pernah
menyakitinya.
Ponsel masih berdering!
Dita menekan tombol penjawab dan mulai berbicara, “Halo sayang, apa kabarmu?”
“Kabar baik nyonya, mengapa tak datang arisan asrama minggu yang lalu?” suara Soraya terdengar lembut mendayu.
“Aku sibuk dengan anakku, dia demam tinggi, aku tak mampu meninggalkannya pergi”.
“O ya, ada seorang alumni ikut bergabung, dia adik kamarmu”.
“Adik kamarku? Siapa dia?”
“Relina”.
“Relina?!” Dita tersentak seakan disengat
kalajengking, nama itu mengingatkan dia pada sebuah kelancangan, rasa
ingin tahu yang berakibat menyakitkan, sebuah tamparan dari adik kamar
bagi seorang senior. Tak pernah ada seorangpun pernah memperlakukan
dirinya seperti Relina pernah melakukannya. Memang ia yang pertama kali
melakukan kesalahan, tetapi perlakuan Relina kala itu tak akan pernah ia
maafkan. Kuliah Kerja Nyata dan perkawinannya dengan Firman menyebabkan
ia terbebas dari pertemuannya dengan Relina, karena ia segera pergi
meninggalkan asrama, akan tetapi bekas tamparan itu seakan tak pernah
beranjak pergi dari ingatannya. Telah tujuh tahun berlalu, tetapi ia
masih dapat merasakan pedas tamparan itu. Ia tak pernah menceritakan
kejadian itu kepada siapapun, juga kepada Firman, ia menyimpan di dalam
hatinya sendiri.
“Hei Dita, kau masih di situ?”
“Iya masih Aya”.
“Ada undangan pengantin dari alumni, coba terka siapa?” Soraya berteka-teki.
“Siapa kira-kira?”
“Puspita, ia menikah minggu depan, kuharap engkau
bersedia hadir, kita akan mengadakan reuni, kau pasti menyesal kalau
tidak datang”.
“Dimana Pupita menikah?”
“Di rumahnya, Surakarta, undangan akan kuantar ke rumah. Okey?”
“Baik Aya terima kasih”.
Sambungan terputus. Dita termangu-mangu, ia
memejamkan mata beberapa saat, ia seakan tengah menyusuri kembali
relung-relung asrama, dinding krem ditumbuhi lumut, pijar bolam lampu
yang redup seakan senja yang selalu tenggelam, segala macam bentuk
kegiatan yang menautkan satu warga dengan warga yang lain. Aneka
keisengan dan suasana hangat dari sekalian sahabat, yang terakhir adalah
kejadian itu, saat dengan kemarahan meluap-luap dan tanpa sepatah kata
Relina mendaratkan tamparan keras di pipinya. Dita kembali tersentak
oleh dering telepon, kali ini tertera pada monitor Murni memanggil.
“Halo Dita, ibu rumah tangga teladan, apa kabar?”
suara Murni demikian dekat, Dita seakan tengah berada di dalam kamar 20
blok E di lantai dua bangunan asrama. Ia dapat menatap kembali warna
kuning sempurna dari bunga hujan emas yang terjuntai lembut bermandi
cahaya senja. Ia dapat kembali menikmati aneka warna bunga yang mekar di
antara hamparan hijau daun, bungur, celung, kamboja, dan sepasang pohon
damar yang mencuat menantang langit pada kiri kanan alaman asrama. Ia
dapat....
“Dita, Soraya baru menelepon, ada undangan perkawinan
alumni, kuharap engkau bersedia datang”, suara Murni menyentakkan Dita
dari lamunan.
“O ya, Soraya juga baru menelepon, menyampaikan hal yang sama”
“Bagaimana engkau bersedia datang? Kita bisa reuni, berapa tahun kita tidak bertemu hanya berhalo via telepon”.
“Baik, akan kupertimbangkan”.
“Benar Dit, kuharap kita bisa bertemu. Okey, sampai di sini dulu. Daaa….”
“Daaa….” Dita mematikan telepon, ia akan melakukan perjalanan
yang menyenangkan andai memenuhi permintaan Soraya dan Murni hadir pada
pesta perkawinan Puspita sekaligus mengadakan reuni. Dita tersenyum, apalah salahnya sedikit bergembira setelah “jenuh” mengurusi rumah tangga?
Undangan perkawinan Puspita sampai di tangan dua hari kemudian, Soraya hanya singgah sebentar usai tuas rutin di kantor.
Dita memandangi sampul beraroma seakan setangkai mawar di pagi hari,
berwarna merah jambu, berhias pita dan renda-renda yang lembut. Puspita menyelenggarakan sakramen dan resepsi pada tanggal 14 Februari, bertepatan dengan Hari Valentin, hari kasih sayang. Ada sebuah catatan kecil di dalamnya:
Dita,
Kuharap engkau tak melupakan dan bersedia datang pada hari
perkawinanku, jarak antara rumah tinggamul dan tempat bagi sakramen
perkawinan tak terlampau jauh. Beberapa undangan telah kukirim pada
teman-teman asrama yang masih dapat kuhubungi. Kita bisa sekaligus
menyelenggarakan reuni. Aku mendapatkan alamatmu dari Soraya, ia pasti
telah meneleponmu.
Salam sayang
Puspita
Dita menatap undangan itu berlama-lama, ia teringat pada raut
wajah Puspita yang ramai oleh canda tawa, pada nada bicaranya yang kenes
seakan burung prenjak, pada postur tubuhnya yang tinggi semampi dan
kulitnya yang halus mulus tanpa cela. Puspita memiliki sepasang betis
yang jenjang bak bulir padi berisi, ia selalu menatap tak berkedip kala
gadis itu mengenakan rok span, menampakkan betis indah layaknya pemilik
model sepatu. Wanita menimang-nimang undangan perkawinan sebelum akhirnya memutuskan untuk datang. Firman pasti akan mengijinkan ia pergi tanpa perlu didampingi.
***
Acara perkawinan Puspita digelar dalam beberapa rangkaian, pertama adalah adang –menanak
nasi— di pagi hari, orang tua dari pihak keluarga perempuan akan
menuangkan beras yang telah dicuci ke dalam panci sebagai tanda kesiapan
dalam menjamu para tamu undangan. Sore hari acara dilanjutkan dengan
siraman, sebuah tempat permandian telah dihias dengan janur kuning dan
bunga-bunga hidup yang cantik, telah disiapkan pula sebuah ember besar
berhias janur kuning, diisi dengan air jernih dan bunga tiga warna.
Puspita mengenakan kain kemben, ia diring menuju ke tempat permandian
yang terletak di samping rumah, duduk pada sebuah bangku. Waja calon
pengantin itu tampak lebih cantik dari hari-hari biasa, kebahagiaan hati
melumurinya. Rambut gadis itu disanggul, setelah duduk di atas bangku,
maka satu demi satu kerabat bergiliran menimba air bunga dengan gayung,
mengguyur dari atas kepala hingga air membasahi seluruh tubuh.
Fotografer terus bekerja mengabadikan peristiwa itu, Puspita menjalani
upacara siraman dengan takzim, ia sadar telah memilih jalan hidup dengan
sebuah resiko, menanggung susah senang bersama-sama dengan pengantin
laki-laki yang akan menjadi pendamping seumur hidupnya. Ada satu hal
yang menyentak di hati gadis itu, bahwa kedua orang tua tak lagi dapat
hadir untuk ikut serta memandikan, mereka telah pergi untuk
selama-lamanya. Puspita berusaha menyembunyikan isak tangis, ia
membiarkan air mata bergulir bersama air siraman, tapi ia sadar, ia tak
boleh menangis berkelanjutan.
Setelah seluruh kerabat memandikan dengan air bunga,
Puspita tampak segar, ia berganti mengenakan kimono dengan ditutupi oleh
sekelompok ibu-ibu yang membentangkan kain batik sebagai dinding
pembatas. Kedua saudara tertua kemudian menggendongnya di punggung,
membawanya ke kamar pengantin untuk dirias. Adat gendongan itu dapat
berarti pula kesanggupan orang tua dalam “mengentaskan” mengangkat anak
menuju kehidupan perkawinan, kehidupan seorang yang telah dewasa.
Seorang dukun pengantin telah menunggu.
Sementara Petrus, pengantin laki-laki asal Indonesia
timur tiba giliran untuk dipermandikan. Petrus mengenakan kain batik
yang telah dililit pada pinggangnya, laki-laki itu memiliki postur
tinggi besar, dengan kulit gelap, wajah simpatik, dan ulah sikap yang
membuat Puspita jatuh cinta, sehingga ia berkepastian untuk membina
hidup selamanya. Petrus tentu merasa asing dengan segala rupa adat
pengantin Jawa yang njlimet dan rumit, tetapi ia telah menjatuhkan pula
pilihan. Tak ada keraguan sedikitpun untuk mengikuti seluruh rangkaian
upacara atas dasar kesepakatan dengan Puspita. Anggota kerabat mulai
menyiramkan gayung demi gayung air, sehingga petrus menjadi basah kuyup.
Setelah itu ia diiring menuju ke rumah yang berbeda, menjelang malam midodaren, ia tidak diperkenankan mengunjungi kamar dan pengantin perempuan.
Di dalam kamar pengantin Puspita mulai dirias oleh
seorang dukun pengantin yang terlebih dahulu telah berpuasa untuk
memaksimalkan keahliannya dengan suatu harapan penampilan sang pengantin
akan mangklingi, membuat pengling tetamu yang datang untuk mangayu bagio. Seorang pengantin harus lebih cantik dan isitimewa bila dibanding dengan penampilan pada hari-hari biasa.
Rias wajah serta sanggul pengantin telah selesai, Puspita harus menanggalkan kimono untuk berganti dengan pakaian malam midodaren,
yaitu kain batik sidomukti dengan kebaya brokat berwarna putih. Sebuah
ketukan tiba-tiba terdengar pada pintu, “Halo nona pengantin, tamu
istimewa datang”, suara itu tak asing bagi Puspita, dalam tiga tahun
terakhir, setelah meninggalkan asrama putri, ia tak pernah
bercakap-cakap langsung dengan pemilik suara itu, tetapi tak sedetikpuk
pernah melupakannya.
“Relina, masuk non”, daun pintu terkuak sedetik
kemudian wajah Relina menampak di depan Puspita, mereka berpelukan.
Puspita menahan diri untuk tidak menangis, ia seakan tersedot kembali
pada kehidupan yang pernah terpatri pada relung asrama, khususnya ketika
ia demikian berduka, kehilangan orang-orang yang dicintainya, ketika ia
nyaris frustasi karena tertatih-tatih dalam bimbingan skripsi. Kini,
semua kesulitan itu telah terlampaui. Ia telah berhak atas sebuah masa
depan yang bernama kebahagiaan. Akan tetapi, saksi hidup bagi masa lalu
yang sulit saat ini ada bersamanya.
“Mbak Pita tampil mangklingi, mari kubantu berganti
pakaian”, Relina mencium pipi Pupita dengan sangat- hati-hati, ia tak
mau tata rias pengantin itu menjadi rusak oleh sentuhannya. Gadis itu
tampak lebih matang, ia mengenakan stelan blazer dan kulot warna kelabu
bergaris-garis ala bangsawan Scotland dengan blouse dari sutera warna
putih tulang. Perhiasan dari emas tampak berkilat-kilat pada telinga,
leher, lengan, dan jarinya.
Bersama sang dukun pengantin Relina membantu Puspita
melilitkan kain batik dan mengenakan kebaya brokat putih. Kini, Puspita
telah siap tampil sebagai seorang bidadari pada malam menjelang ia akan
dikukuhkan sebagai pasangan suami istri. “Re, tinggal di mana?”
“Saya tinggal di hotel, hampir tidak datang, karena
tidak mendapat ijin dari manager, tetapi ia kubujuk dengan oleh-oleh
batik Surakarta. Usai resepsi di pendopo, saya langsung cabut, yang
penting saya ada di saat bersejarah ini”, Relina menghirup udara mewangi
dari ratus yang berasap pada sebuah anglo, kamar pengantin ini secara
keseluruhan berwarna putih. Sebuah spring bed king zise telah ditutup
dengan sprei dan bed cover seputih kapas, tirai-tirai dan kain satin
berhias bunga yang menutup dinding kamar memiliki warna serupa. Di atas
meja rias tampak rangkaian bunga segar, lily yang tengah mekar dan sama
putihnya dengan gundukan salju. Relina serasa berada di alam lain, jauh
dari keseharian sebagai seorang konsultan yang melelahkan. Re bahkan
tidak sempat berkhayal, bahwa suatu saat ia akan memiliki kamar
pengantik secantik ini. Ia tak sempat berkhayal untuk itu. Ia dikerumuni
begitu banyak kawan laki-laki dengan aneka profesi, tetapi ia belum
berkeputusan untuk memastikan akan berteman hidup dengan siapa. Setelah
menyeleaikan pendidikan S2 atas biaya seiswa dari perusahaan, Re
mengonkonsentrasikan diri pada serangkaian tugas, ia menikmati
pekerjaannya.
“Kau makin cantik Re, tetapi dengan siapa engkau
datang?” pandangan Puspita tampak mencari-cari, ia pernah
menunggu-nunggu undangan pengantin dari Relina, tetapi undangan itu tak
pernah diterima hingga datang hari pengantinnya. “Engkau kalah cepat
membagi undangan”.
Relina terkekeh, “Senior menikah lebih dulu, adik
menyusul”, jawaban Relina terdengar santai. Ia tak terbeban dengan
pertanyaan itu, ia tak sedang melakukan kesalahan, karena “terlambat”
membagi undangan perkawinan. Tak ada yang salah dalam kehidupan yang
harus dijalani, ia telah berhasil menyelesaikan studi, mendapatkan
pekerjaan yang layak, terbebas dari kehidupan keluarga yang rumit. Ia
tak tergantung lagi kepada kebaikan seorang ibu tiri dan tersiksa
memiliki seorang adik yang tak pernah dikehendaki. Ia telah terlepas
dari semua itu, ia menikmati arti sebuah “kemerdekaan”. Bila ada
kelebihan uang ia akan mengirim secukupnya kepada sang ibu, ia mengirim
pula hadiah-hadiah kecil yang membuat ibunda merasa senang, meski ia
hanya seorang anak tiri. Sementara Maya, ia telah hidup dengan suami dan
anak-anaknya, Re tidak pernah bertemu kecuali pada hari raya ketika ia
memutuskan untuk pulang ke rumah.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada daun pintu,
“Halo pengantin, sudah cantik apa belum?”, sedetik kemudian tampak raut
wajah Inung. Gadis itu mengenakan rok dari kain batik sutera berwarna
merah hati dengan motif kupu-kupu yang tengah beterbangan. Ketika
melihat Relina berada pula di kamar pengantin, Inung langsung menjerit,
memburu keduanya. Ia seakan tengah berada di atas balkon, melepas tahun
lama dan menyambut tahun baru di bawah langit penuh bintang. Sepertinya
baru kemarin mereka berpisah, ia tak pernah lupa memberikan ucapan
selamat hari Natal kepada Puspita dan selamat Idul Fitri kepada Relina
setiap tahun. Seperti mimpi, bahwa hari ini, malam menjelang hari
Valentin mereka bisa berkumpul di kamar pengantin.
“Inung datang sendiri?” Puspita bertanya.
“Saya datang dengan masku, ia menunggu di luar,
bulan depan giliran semua harus berkumpul di kamar pengantiku, tunggu
saja undangannya. O iya ini koda perkawinan, saya harap mbak Puspita
senang”, Inung mengulurkan sebuah bingksan berbentuk kubis dalam balutan
kertas berwarna merah jambu dengan motif sepasang pengantin.
Puspita menerima kado itu dengan senang hati.
“Dan ini kado dariku”, Relina juga mengulurkan sebuah
bingkisan berbentuk tabung dalam balutan kertas merah darah bermotif
sepasang burung merpati yang lepas terbang.
“Terima kasih, terima kasih”, jawab Puspita.
Akhirnya Puspita selesai dirias dan siap diiring
menuju ke pelaminan yang terletak di teras rumah. Sebuah terap telah
dipasang, di bawahnya deretan kursi telah diatur rapi bagi kehadiran
tamu-tamu. Meja perjamuan telah ditata dengan seindah-indahnya dengan
kerdip cahaya lilin yang temaram seakan mata sepasang perawan yang
tengah dirundung kerinduan. Pihak keluarga menempatkan Puspita duduk
dengan diapit dua orang gadis kecil berpakaian adat yang sekaligus
bertugas menggerakkan kipas. Tamu-tamu mulai berdatangan, duduk rapi
pada kursi-kursi yang telah disediakan. Suara gending mengalun bening
membawa setiap pendengar menuju alam khayalan. Sang pengantin duduk
seakan bidadari disaksikan sekalian tamu, sementara pengantin laki-laki
duduk di kejauhan mengenakan stelan batik, berulangkali mencuri pandang
ke arah pengantin perempuan.
Tiba-tiba Inung terpekik, “Hei, itu mbak Soraya, mbak
Dita, dan mbak Murni!” mata Inung tampak berbinar, ia benar mengharap
sebuah reuni kecil pada malam pengantin ini. Gadis itu segera menggamit
tangan Relina menjelang tiga orang tamu yang baru datang. Dalam sekejab
alumni asrama putri itu segera riuh rendah saling bertegur sapa dan
berpelukan.
Dita tertegun ketika ia melihat Relina berdiri dengan
anggun di samping Inung, ia merasa enggan untuk beramah tamah dengan
Relina, tetapi gadis itu terlebih dulu mengulurkan tangan kemudian
mencium kedua pipinya. Sikapnya tidak bersahabat tidak pula bermusuhan,
Dita menangkap kesan dingin dan keangkuhan yang sempurna, tetapi ia tahu
bahwa sikap itu hanyalah sebuah dinding pengaman yang berfungsi untuk
menyembunyikan kerapuhan diri. Relina tak banyak bercakap-cakap dengan
Dita, ia seakan sengaja menjaga jarak, tak menawarkan keakraban dan tak
hendak pula berselisih. Tampaknya, Re telah melupakan segala yang telah
lalu.
Setelah kehadiran Murni, Soraya, dan Dita, maka
bermunculan wajah Nelly, Erdi, dan Sunarti. Nelly dan Sunarti datang
bersama suami dan anak-anak, sementara Erdi datang bersama dengan calon
suami. Sementara Murni, Dita, dan Soraya telah bersepakat untuk datang
sendiri. Mereka duduk berkelompok pada sebuah deretan kursi, di kejauhan
Puspita tampak tersenyum dengan kehadiran itu. kebahagiaannya lengkap
sudah, sahabat-sahabat di asrama meluangkan waktu bagi pernikahannya.
Sekitar pukul 20.00 WIB keseluruhan acara selesai,
tibalah acara foto bersama, tamu istimewa Puspita segera berderet di
samping kiri kanan pengantin untuk mengabadikan kenangan. Mereka
menyalami sambil mencium dan memeluk pengantin perempuan setulus hati.
Malam ini benar menjadi malam istimewa bagi Puspita.
Keesokan harinya, bertepatan dengan hari Valentine,
14 Februari Puspita menjalani tradisi melulur badan sebelum ia kembali
dirias mengenakan pakaian kebesaran layaknya seorang ratu. Relina, Dita,
Inung, Soraya, Sunarti, Murni, Nelly, dan Erdi bergantian menjenguknya
di kamar pengantin untuk ikut serta menggosoknya dengan lulur. Kamar itu
menjadi benar-benar wangi dan mendesakkan sesiapapun untuk berilusi.
Setelah acara lulur badan selesai, Puspita tampak
benar segar selepas mandi, ia kembali dirias oleh sepasang tangan yang
ahli. Penampilannya telah benar-benar tampak seakan seorang ratu yang
bersiap duduk di atas dampar –singgasana—seluruh kerabat telah bersiap bagi perhelatan ini. Acara panggih
–pertemuan-- pengantin laki-laki dan peremuan di teras rumah dengan
diawali saling melempar sirih berlangsung dengan takzim. Relina dan
seluruh alumni asrama yang hadir ikut pula menyaksikan. Setelah itu
mereka bergabung dalam iring-iringan mobil menuju Kathedral bagi
sakramen pemberkatan. Sakramen berlangsung dengan khidmad seperti yang
telah direncanakan. Ketika pastor bertanya, “Puspita, apakah engkau
bersedia hidup bersama dengan Petrus dalam susah dan senang?”
Puspita dengan segenap keyakinan menjawab, “Saya
bersedia”, maka jadilah keduanya sepasang suami istri yang telah resmi
diberkati.
Acara sakramen dilanjutkan dengan resepsi di pendopo,
sebuah tempat yang sengaja disediakan bagi bermacam perhelatan.
Kehadiran pengantin telah dinantikan oleh sekalian tamu undangan yang
duduk manis sambil bercakap-cakap dengan handai tolan diiringi suara
gending yang lembut mendayu. Para penerima tamu dalam pakaian kebaya
merah bata dan sanggul rambut yang indah menyambut seluruh kehadiran
tamu dan pengantin beserta rombongan. Relina, Inung, Dita, Soraya, dan
alumni asrama putri yang hadir menggoreskan tanda tangan di buku tamu
kemudian meleburkan diri ke dalam ramai suasana. Meja perjamuan kembali
ditata dengan hidangan aneka rupa. Sebuah pesta pernikahah yang meriah.
Sementara alumni asrama putri yang menjadi bagian
dari sekalian undangan, “menyelenggarakan acara tersendiri”, mereka
duduk berdekatan sambil tak henti-hentinya bertukar cerita. Akan tetapi,
Relina selalu menjaga jarak dengan Dita, ia belum sepenuhnya melupakan
kejadian bertahun yang lalu, kala ia masih seorang warga baru. Ia tengah
melakukan kebiasaan rutin setiap hari, menulis catatan harian, ketika
bel berbunyi seorang teman kuliah datang memanggil, iapun tergesa menuju
ke ruang tamu. Sekitar satu jam ia bercakap-cakap dan terlupa untuk
menyimpan catatan harian di dalam laci yang terkunci.
Ketika kunjungan di ruang tamu selesai, ia bergegas
kembali ke kamar, alangkah terkejutnya ketika ia melihat Dita tengah
asyik membaca catatan harian yang berisi seluruh rahasia yang paling
pribadi. Dengan dasar apa gadis itu berani mengaduk-ngaduk wilayah
pribadinya? Relina sadar ketika mengangkat tangan tinggi-tinggi dan
menampar wajah Dita keras-keras. Ia berhak memberi pelajaran kepada
seorang pencuri meski ia masih seorang warga baru. “Re, kau melamun
apa?” suara Inung mengejutkan Relina.
“Tidak, aku teringat pada semua kejadian di asrama,
suka dan duka, seperti mimpi hari ini kita bisa berkumpul kembali.
Ngomong-ngomong kapan kita reuni di asrama?”
“Sebuah usulan yang bagus, nanti kita tindak lanjuti, eh nanti datang ya pada hari pernikahanku”.
“Kita akan reuni lagi”.
“Iya, tetapi kapan kita bisa reuni pada hari pernikahanmu”
“Sebuah usulan yang bagus juga, nanti kita tindak
lanjuti, aku akan menikah apabila mendapatkan seorang yang benar-benar
dapat menerima kekurangan dan kelebihanku tanpa syarat”, jawab Relina
tenang, amat tenang. Ia melihat begitu banyak wanita yang kehilangan
kebahagiaan justru setelah ia melangsungkan perkawinan pada hari
“bahagia”. Jadi, untuk apa ia harus tergesa-gesa?
Ketika seluruh prosesi perkawinan akhirnya selesai,
seluruh tamu dan alumni asrama memberikan ucapan selamat yang disambut
dengan senyum bahagia. “Besok kami langsung kembali, tidak akan bertahan
lebih lama lagi, nanti mengganggu acara malam pengantin”, Relina
berbisik, sehingga Puspita tersipu-sipu.
Alumni yang lain kurang lebihnya membisikkan
kata-kata serupa, semua berpamit untuk kembali kepada urusan
masing-masing. Mereka saling bersalaman dan berpelukan sebelum akhirnya
berpisah menuju penginapan masing-masing dan berkemas pergi pada
keesokan hari. Ternyata Relina tinggal pada hotel yang sama dengan Dita,
Murni, dan Soraya. Mereka saling berbasa basi di lobi, menjadi lelah
dan mengantuk karena rangkaian acara perkawinan dan sekalian berpamit
apabila esok pagi-pagi tak dapat bertemu kembali.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar