Minggu, 02 Juni 2019

ASRAMA PUTRI --Tentang Relasi Gender-- ENAM

 




 
Dita tersentak oleh dering ponsel  yang tergeletak di atas meja,  ia tengah menghitung kalender, ada yang salah dalam siklus bulanannya. Ia tak kedatangan tamu pada bulan lalu, juga bulan ini. Akan tetapi kondisi fisiknya tetap stabil, ia tak merasa lemah atau pusing dari bermacam gangguan seperti yang biasa terjadi masa kehamilan muda.  Sehari-hari ia tetap beraktivitas seperti biasa.
Ponsel masih berdering. Dita  meraih benda mungil itu dan ke dalam layar, tertera tulisan Soraya memanggil. Sejenak wanita itu tersenyum, ia telah hampir tujuh tahun meninggalkan asrama putri, tetapi sahabat-sahabatnya tak pernah absen menghubungi dalam setiap kesempatan. Sering kali ia menerima panggilan dari nomor tak dikenal, ketika menekan tombol penjawab dan mulai berbicara, ia segera mendengar suara dari teman-teman yang telah lama berpisah setelah ia meninggalkan kehidupan asrama, resmi memegang status sebagai nyonya Firman seusai pernikahan di depan jenazah. Bimbingan skripsi ia kerjakan secara jarak jauh dengan beberapa kali pertemuan setelah menempuh jarak beratus kilo meter. Ia lulus dengan predikat cum laude, mendapat tawaran pekerjaan pada sebuah bank dengan reputasi yang meyakinkan, menikmati tugas rutin dan penghasilan.
            Akan tetapi keinginan untuk bekerja menjadi surut setelah ia melahirkan seorang bayi cantik bernama Andesita. Dita tak pernah dapat mempercayakan pengasuhan bayi kepada siapapun kecuali kepada kedua tangan dan kasih sayang seorang ibu. Sementara Firman mulai mapan merintis kesuksesan sebagai konsultan di perusahaan konstruksi, ia mempunyai penghasilan yang lebih dari sekedar cukup untuk mendanai rumah tangga. Maka, mereka bersepakat supaya Dita meninggalkan pekerjaan dan meluangkan waktu sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga.
            Mereka tinggal di sebuah perumahan dengan lingkungan aman dan nyaman, Dita mengelola penghasilan Firman sedemikian rupa, sehingga ia dapat memenuhi konsumsi sehari-hari tanpa kesulitan apa-apa, ia dapat menata setiap ruangan dengan perabotan yang memberi kesan elegan, ia dapat pula mengisi buku tabungan, sehingga semakin hari isi tabungan itu semakin menggelembung. Sementara kesempatan berwisata telah menjadi pula rutinitas sebagai penyegaran setelah keseharian yang melelahkan. Dita yakin hidupnya tak sia-sia.
            Seringkali Dita mendapatkan kejutan dengan telepon, sms, surat undangan atau kedatangan teman-teman asrama. Ia hampir tak pernah meninggalkan rumah kecuali untuk alasan penting, kejutan dari teman-teman asrama tentu sangat menghibur. Ternyata namanya tak menghilang dari ingatan sekalian warga, ia tetap menjadi bagian dari masa depan asrama dengan sebuah kenangan pahit yang pernah menyakitinya.
            Ponsel masih berdering!
Dita  menekan tombol penjawab dan mulai berbicara, “Halo sayang, apa kabarmu?”
“Kabar baik nyonya, mengapa tak datang arisan asrama minggu yang lalu?” suara Soraya terdengar lembut mendayu.
“Aku sibuk dengan anakku, dia demam tinggi, aku tak mampu meninggalkannya pergi”.
“O ya, ada seorang alumni ikut bergabung, dia adik kamarmu”.
“Adik kamarku? Siapa dia?”
“Relina”.
“Relina?!” Dita tersentak seakan disengat kalajengking, nama itu mengingatkan dia pada sebuah kelancangan, rasa ingin tahu yang berakibat menyakitkan, sebuah tamparan dari adik kamar bagi seorang senior. Tak pernah ada seorangpun pernah memperlakukan dirinya seperti Relina pernah melakukannya. Memang ia yang pertama kali melakukan kesalahan, tetapi perlakuan Relina kala itu tak akan pernah ia maafkan. Kuliah Kerja Nyata dan perkawinannya dengan Firman menyebabkan ia terbebas dari pertemuannya dengan Relina, karena ia segera pergi meninggalkan asrama, akan tetapi bekas tamparan itu seakan tak pernah beranjak pergi dari ingatannya. Telah tujuh tahun berlalu, tetapi ia masih dapat merasakan pedas tamparan itu. Ia tak pernah menceritakan kejadian itu kepada siapapun, juga kepada Firman, ia menyimpan di dalam hatinya sendiri.
“Hei Dita, kau masih di situ?”
“Iya masih Aya”.
“Ada undangan pengantin dari alumni, coba terka siapa?” Soraya berteka-teki.
“Siapa kira-kira?”
“Puspita, ia menikah minggu depan, kuharap engkau bersedia hadir, kita akan mengadakan reuni, kau pasti menyesal kalau tidak datang”.
“Dimana Pupita menikah?”
“Di rumahnya, Surakarta, undangan akan kuantar ke rumah. Okey?”
“Baik Aya terima kasih”.
Sambungan terputus. Dita termangu-mangu, ia memejamkan mata beberapa saat, ia seakan tengah menyusuri kembali relung-relung asrama, dinding krem ditumbuhi lumut, pijar bolam lampu yang redup seakan senja yang selalu tenggelam, segala macam bentuk kegiatan yang menautkan satu warga dengan warga yang lain. Aneka keisengan dan suasana hangat dari sekalian sahabat, yang terakhir adalah kejadian itu, saat dengan kemarahan meluap-luap dan tanpa sepatah kata Relina mendaratkan tamparan keras di pipinya. Dita kembali tersentak oleh dering telepon, kali ini tertera pada monitor Murni memanggil.
“Halo Dita, ibu rumah tangga teladan, apa kabar?” suara Murni demikian dekat, Dita seakan tengah berada di dalam kamar 20 blok E di lantai dua bangunan asrama. Ia dapat menatap kembali warna kuning sempurna dari bunga hujan emas yang terjuntai lembut bermandi cahaya senja. Ia dapat kembali menikmati aneka warna bunga yang mekar di antara hamparan hijau daun, bungur, celung, kamboja, dan sepasang pohon damar yang mencuat menantang langit pada kiri kanan alaman asrama. Ia dapat....
“Dita, Soraya baru menelepon, ada undangan perkawinan alumni, kuharap engkau bersedia datang”, suara Murni menyentakkan Dita dari lamunan.
“O ya, Soraya juga baru menelepon, menyampaikan hal yang sama”
“Bagaimana engkau bersedia datang? Kita bisa reuni, berapa tahun kita tidak bertemu hanya berhalo via telepon”.
“Baik, akan  kupertimbangkan”.
“Benar Dit, kuharap kita bisa bertemu. Okey, sampai di sini dulu. Daaa….”
“Daaa….” Dita mematikan telepon, ia akan melakukan perjalanan yang menyenangkan andai memenuhi permintaan Soraya dan Murni hadir pada pesta perkawinan Puspita sekaligus mengadakan reuni. Dita tersenyum, apalah salahnya sedikit bergembira setelah “jenuh” mengurusi rumah tangga?
Undangan perkawinan Puspita sampai di tangan dua hari kemudian, Soraya hanya singgah sebentar usai tuas rutin di kantor. Dita memandangi sampul beraroma seakan setangkai mawar di pagi hari, berwarna merah jambu, berhias pita dan renda-renda yang lembut. Puspita menyelenggarakan sakramen dan resepsi pada tanggal 14 Februari, bertepatan dengan Hari Valentin, hari kasih sayang. Ada sebuah catatan kecil di dalamnya:
Dita,
Kuharap engkau tak melupakan dan bersedia datang pada hari perkawinanku, jarak antara rumah tinggamul dan tempat bagi sakramen perkawinan tak terlampau jauh. Beberapa undangan telah kukirim pada teman-teman asrama yang masih dapat kuhubungi. Kita bisa sekaligus menyelenggarakan reuni. Aku mendapatkan alamatmu dari Soraya, ia pasti telah meneleponmu.
Salam sayang
Puspita
Dita menatap undangan itu berlama-lama, ia teringat pada raut wajah Puspita yang ramai oleh canda tawa, pada nada bicaranya yang kenes seakan burung prenjak, pada postur tubuhnya yang tinggi semampi dan kulitnya yang halus mulus tanpa cela. Puspita memiliki sepasang betis yang jenjang bak bulir padi berisi, ia selalu menatap tak berkedip kala gadis itu mengenakan rok span, menampakkan betis indah layaknya pemilik model sepatu. Wanita menimang-nimang undangan perkawinan sebelum akhirnya memutuskan untuk datang. Firman pasti akan mengijinkan ia pergi tanpa perlu didampingi.
                                              ***
Acara perkawinan Puspita digelar dalam beberapa rangkaian, pertama adalah adang –menanak nasi— di pagi hari, orang tua dari pihak keluarga perempuan akan menuangkan beras yang telah dicuci ke dalam panci sebagai tanda kesiapan dalam menjamu para tamu undangan. Sore hari acara dilanjutkan dengan siraman, sebuah tempat permandian telah dihias dengan janur kuning dan bunga-bunga hidup yang cantik, telah disiapkan pula sebuah ember besar berhias janur kuning, diisi dengan air jernih dan bunga tiga warna. Puspita mengenakan kain kemben, ia diring menuju ke tempat permandian yang terletak di samping rumah, duduk pada sebuah bangku. Waja calon pengantin itu tampak lebih cantik dari hari-hari biasa, kebahagiaan hati melumurinya. Rambut gadis itu disanggul, setelah duduk di atas bangku, maka satu demi satu kerabat bergiliran menimba air bunga dengan gayung, mengguyur dari atas kepala hingga air membasahi seluruh tubuh. Fotografer terus bekerja mengabadikan peristiwa itu, Puspita menjalani upacara siraman dengan takzim, ia sadar telah memilih jalan hidup dengan sebuah resiko, menanggung susah senang bersama-sama dengan pengantin laki-laki yang akan menjadi pendamping seumur hidupnya. Ada satu hal yang menyentak di hati gadis itu, bahwa kedua orang tua tak lagi dapat hadir untuk ikut serta memandikan, mereka telah pergi untuk selama-lamanya. Puspita berusaha menyembunyikan isak tangis, ia membiarkan air mata bergulir bersama air siraman, tapi ia sadar, ia tak boleh menangis berkelanjutan.
Setelah seluruh kerabat memandikan dengan air bunga, Puspita tampak segar, ia berganti mengenakan kimono dengan ditutupi oleh sekelompok ibu-ibu yang membentangkan kain batik sebagai dinding pembatas. Kedua saudara tertua kemudian menggendongnya di punggung, membawanya ke kamar pengantin untuk dirias. Adat gendongan itu dapat berarti pula kesanggupan orang tua dalam “mengentaskan” mengangkat anak menuju kehidupan perkawinan, kehidupan seorang yang telah dewasa. Seorang dukun pengantin telah menunggu.
Sementara Petrus, pengantin laki-laki asal Indonesia timur tiba giliran untuk dipermandikan. Petrus mengenakan kain batik yang telah dililit pada pinggangnya, laki-laki itu memiliki postur tinggi besar, dengan kulit gelap, wajah simpatik, dan ulah sikap yang membuat Puspita jatuh cinta, sehingga ia berkepastian untuk membina hidup selamanya. Petrus tentu merasa asing dengan segala rupa adat pengantin Jawa yang njlimet dan rumit, tetapi ia telah menjatuhkan pula pilihan. Tak ada keraguan sedikitpun untuk mengikuti seluruh rangkaian upacara atas dasar kesepakatan dengan Puspita. Anggota kerabat mulai menyiramkan gayung demi gayung air, sehingga petrus menjadi basah kuyup. Setelah itu ia diiring menuju ke rumah yang berbeda, menjelang malam midodaren, ia tidak diperkenankan mengunjungi kamar dan pengantin perempuan.
Di dalam kamar pengantin Puspita mulai dirias oleh seorang dukun pengantin yang terlebih dahulu telah berpuasa untuk memaksimalkan keahliannya dengan suatu harapan penampilan sang pengantin akan mangklingi, membuat pengling tetamu yang datang untuk mangayu bagio. Seorang pengantin harus lebih cantik dan isitimewa bila dibanding dengan penampilan pada hari-hari biasa.
Rias wajah serta sanggul pengantin telah selesai, Puspita harus menanggalkan kimono untuk berganti dengan pakaian malam midodaren, yaitu kain batik sidomukti dengan kebaya brokat berwarna putih. Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar pada pintu, “Halo nona pengantin, tamu istimewa datang”, suara itu tak asing bagi Puspita, dalam tiga tahun terakhir, setelah meninggalkan asrama putri, ia tak pernah bercakap-cakap langsung  dengan pemilik suara itu, tetapi tak sedetikpuk pernah melupakannya.
“Relina, masuk non”, daun pintu terkuak sedetik kemudian wajah Relina menampak di depan Puspita, mereka berpelukan. Puspita menahan diri untuk tidak menangis, ia seakan tersedot kembali pada kehidupan yang pernah terpatri pada relung asrama, khususnya ketika ia demikian berduka, kehilangan orang-orang yang dicintainya, ketika ia nyaris frustasi karena tertatih-tatih dalam bimbingan skripsi. Kini, semua kesulitan itu telah terlampaui. Ia telah berhak atas sebuah masa depan yang bernama kebahagiaan. Akan tetapi, saksi hidup bagi masa lalu yang sulit saat ini ada bersamanya.
“Mbak Pita tampil mangklingi, mari kubantu berganti pakaian”, Relina mencium pipi Pupita dengan sangat- hati-hati, ia tak mau tata rias pengantin itu menjadi rusak oleh sentuhannya. Gadis itu tampak lebih matang, ia mengenakan stelan blazer dan kulot warna kelabu bergaris-garis ala bangsawan Scotland dengan blouse dari sutera warna putih tulang. Perhiasan dari emas tampak berkilat-kilat pada telinga, leher, lengan, dan jarinya.
Bersama sang dukun pengantin Relina membantu Puspita melilitkan kain batik dan mengenakan kebaya brokat putih. Kini, Puspita telah siap tampil sebagai seorang bidadari pada malam menjelang ia akan dikukuhkan sebagai pasangan suami istri. “Re, tinggal di mana?”
“Saya tinggal di hotel, hampir tidak datang, karena tidak mendapat ijin dari manager, tetapi ia kubujuk dengan oleh-oleh batik Surakarta. Usai resepsi di pendopo, saya langsung cabut, yang penting saya ada di saat bersejarah ini”, Relina menghirup udara mewangi dari ratus yang berasap pada sebuah anglo, kamar pengantin ini secara keseluruhan berwarna putih. Sebuah spring bed king zise telah ditutup dengan sprei dan bed cover seputih kapas, tirai-tirai dan kain satin berhias bunga yang menutup dinding kamar memiliki warna serupa. Di atas meja rias tampak rangkaian bunga segar, lily yang tengah mekar dan sama putihnya dengan gundukan salju. Relina serasa berada di alam lain, jauh dari keseharian sebagai seorang konsultan yang melelahkan. Re bahkan tidak sempat berkhayal, bahwa suatu saat ia akan memiliki kamar pengantik secantik ini. Ia tak sempat berkhayal untuk itu. Ia dikerumuni begitu banyak kawan laki-laki dengan aneka profesi, tetapi ia belum berkeputusan untuk memastikan akan berteman hidup dengan siapa. Setelah menyeleaikan pendidikan S2 atas biaya seiswa dari perusahaan, Re mengonkonsentrasikan diri pada serangkaian tugas, ia menikmati pekerjaannya.
“Kau makin cantik Re, tetapi dengan siapa engkau datang?” pandangan Puspita tampak mencari-cari, ia pernah menunggu-nunggu undangan pengantin dari Relina, tetapi undangan itu tak pernah diterima hingga datang hari pengantinnya. “Engkau kalah cepat membagi undangan”.
Relina terkekeh, “Senior menikah lebih dulu, adik  menyusul”, jawaban Relina terdengar santai. Ia tak terbeban dengan pertanyaan itu, ia tak sedang melakukan kesalahan, karena “terlambat” membagi undangan perkawinan.  Tak ada yang salah dalam kehidupan yang harus dijalani, ia telah berhasil menyelesaikan studi, mendapatkan pekerjaan yang layak, terbebas dari kehidupan keluarga yang rumit. Ia tak tergantung lagi kepada kebaikan seorang ibu tiri dan tersiksa memiliki seorang adik yang tak pernah dikehendaki. Ia telah terlepas dari semua itu, ia menikmati arti sebuah “kemerdekaan”. Bila ada kelebihan uang ia akan mengirim secukupnya kepada sang ibu, ia mengirim pula hadiah-hadiah kecil yang membuat ibunda merasa senang, meski ia hanya seorang anak tiri. Sementara Maya, ia telah hidup dengan suami dan anak-anaknya, Re tidak pernah bertemu kecuali pada hari raya ketika ia memutuskan untuk pulang ke rumah.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada daun pintu, “Halo pengantin, sudah cantik apa belum?”, sedetik kemudian tampak raut wajah Inung. Gadis itu mengenakan rok dari kain batik sutera berwarna merah hati dengan motif kupu-kupu yang tengah beterbangan. Ketika melihat Relina berada pula di kamar pengantin, Inung langsung menjerit, memburu keduanya. Ia seakan tengah berada di atas balkon, melepas tahun lama dan menyambut tahun baru di bawah langit penuh bintang. Sepertinya baru kemarin mereka berpisah, ia tak pernah lupa memberikan ucapan selamat hari Natal kepada Puspita dan selamat Idul Fitri kepada Relina setiap tahun. Seperti mimpi, bahwa hari ini, malam menjelang hari Valentin mereka bisa berkumpul di kamar pengantin.
“Inung datang sendiri?” Puspita bertanya.
“Saya  datang dengan masku, ia menunggu di luar, bulan depan giliran semua harus berkumpul di kamar pengantiku, tunggu saja undangannya. O iya ini koda perkawinan, saya harap mbak Puspita senang”, Inung mengulurkan sebuah bingksan berbentuk kubis dalam balutan kertas berwarna       merah jambu dengan motif sepasang pengantin. Puspita menerima kado itu dengan senang hati.
“Dan ini kado dariku”, Relina juga mengulurkan sebuah bingkisan berbentuk tabung dalam balutan kertas merah darah bermotif sepasang burung merpati yang lepas terbang.   
“Terima kasih, terima kasih”, jawab Puspita.
Akhirnya Puspita selesai dirias dan siap diiring menuju ke pelaminan yang terletak di teras rumah. Sebuah terap telah dipasang, di bawahnya deretan kursi telah diatur rapi bagi kehadiran tamu-tamu. Meja perjamuan telah ditata dengan seindah-indahnya dengan kerdip cahaya lilin yang temaram seakan mata sepasang perawan yang tengah dirundung kerinduan. Pihak keluarga menempatkan Puspita duduk dengan diapit dua orang gadis kecil berpakaian adat yang sekaligus bertugas menggerakkan kipas. Tamu-tamu mulai berdatangan, duduk rapi pada kursi-kursi yang telah disediakan. Suara gending mengalun bening membawa setiap pendengar menuju alam khayalan. Sang pengantin duduk seakan bidadari disaksikan sekalian tamu, sementara pengantin laki-laki duduk di kejauhan mengenakan stelan batik, berulangkali mencuri pandang ke arah pengantin perempuan.
Tiba-tiba Inung terpekik, “Hei, itu mbak Soraya, mbak Dita, dan mbak Murni!” mata Inung tampak berbinar, ia benar mengharap sebuah reuni kecil pada malam pengantin ini. Gadis itu segera menggamit tangan Relina menjelang tiga orang tamu yang baru datang. Dalam sekejab alumni asrama putri itu segera riuh rendah saling bertegur sapa dan berpelukan.
Dita tertegun ketika ia melihat Relina berdiri dengan anggun di samping Inung, ia merasa enggan untuk beramah tamah dengan Relina, tetapi gadis itu terlebih dulu mengulurkan tangan kemudian mencium kedua pipinya. Sikapnya tidak bersahabat tidak pula bermusuhan, Dita menangkap kesan dingin dan keangkuhan yang sempurna, tetapi ia tahu bahwa sikap itu hanyalah sebuah dinding pengaman yang berfungsi untuk menyembunyikan kerapuhan diri. Relina tak banyak bercakap-cakap dengan Dita, ia seakan sengaja menjaga jarak, tak menawarkan keakraban dan tak hendak pula berselisih. Tampaknya, Re telah melupakan segala yang telah lalu.
Setelah kehadiran Murni, Soraya, dan Dita, maka bermunculan wajah Nelly, Erdi, dan Sunarti. Nelly dan Sunarti datang bersama suami dan anak-anak, sementara Erdi datang bersama dengan calon suami. Sementara Murni, Dita, dan Soraya telah bersepakat untuk datang sendiri. Mereka duduk berkelompok pada sebuah deretan kursi, di kejauhan Puspita tampak tersenyum dengan kehadiran itu. kebahagiaannya lengkap sudah, sahabat-sahabat di asrama meluangkan waktu bagi pernikahannya.
Sekitar pukul 20.00 WIB keseluruhan acara selesai, tibalah acara foto bersama, tamu istimewa Puspita segera berderet di samping kiri kanan pengantin untuk mengabadikan kenangan. Mereka menyalami sambil mencium dan memeluk pengantin perempuan setulus hati. Malam ini benar menjadi malam istimewa bagi Puspita.
Keesokan harinya, bertepatan dengan hari Valentine, 14 Februari Puspita menjalani tradisi melulur badan sebelum ia kembali dirias mengenakan pakaian kebesaran layaknya seorang ratu. Relina, Dita, Inung, Soraya, Sunarti, Murni, Nelly, dan Erdi bergantian menjenguknya di kamar pengantin untuk ikut serta menggosoknya dengan lulur. Kamar itu menjadi benar-benar wangi dan mendesakkan sesiapapun untuk berilusi.
Setelah acara lulur badan selesai, Puspita tampak benar segar selepas mandi, ia kembali dirias oleh sepasang tangan yang ahli. Penampilannya telah benar-benar tampak seakan seorang ratu yang bersiap duduk di atas dampar –singgasana—seluruh kerabat telah bersiap bagi perhelatan ini. Acara panggih –pertemuan-- pengantin laki-laki dan peremuan di teras rumah dengan  diawali saling melempar sirih berlangsung dengan takzim. Relina dan seluruh alumni asrama yang hadir ikut pula menyaksikan. Setelah itu mereka bergabung dalam iring-iringan mobil menuju Kathedral bagi sakramen pemberkatan. Sakramen berlangsung dengan khidmad seperti yang telah direncanakan. Ketika pastor bertanya, “Puspita, apakah engkau bersedia hidup bersama dengan Petrus dalam susah dan senang?”
Puspita dengan segenap keyakinan menjawab, “Saya bersedia”, maka jadilah keduanya sepasang suami istri yang telah resmi diberkati.
Acara sakramen dilanjutkan dengan resepsi di pendopo, sebuah tempat yang sengaja  disediakan bagi bermacam perhelatan. Kehadiran pengantin telah dinantikan oleh sekalian tamu undangan yang duduk manis sambil bercakap-cakap dengan handai tolan diiringi suara gending yang lembut mendayu. Para penerima tamu dalam pakaian kebaya merah bata dan sanggul rambut yang indah menyambut seluruh kehadiran tamu dan pengantin beserta rombongan. Relina, Inung, Dita, Soraya, dan alumni asrama putri yang hadir menggoreskan tanda tangan di buku tamu kemudian meleburkan diri ke dalam ramai suasana.  Meja perjamuan kembali ditata dengan hidangan aneka rupa. Sebuah pesta pernikahah yang meriah.
Sementara alumni asrama putri yang menjadi bagian dari sekalian undangan, “menyelenggarakan acara tersendiri”, mereka duduk berdekatan sambil tak henti-hentinya bertukar cerita. Akan tetapi, Relina selalu menjaga jarak dengan Dita, ia belum sepenuhnya melupakan kejadian bertahun yang lalu, kala ia masih seorang warga baru. Ia tengah melakukan kebiasaan rutin setiap hari, menulis catatan harian, ketika bel berbunyi seorang teman kuliah datang memanggil, iapun tergesa menuju ke ruang tamu. Sekitar satu jam ia bercakap-cakap dan terlupa untuk menyimpan catatan harian di dalam laci yang terkunci.
Ketika kunjungan di ruang tamu selesai, ia bergegas kembali ke kamar, alangkah terkejutnya ketika ia melihat Dita tengah asyik membaca catatan harian yang berisi seluruh rahasia yang paling pribadi. Dengan dasar apa gadis itu berani mengaduk-ngaduk wilayah pribadinya? Relina sadar ketika mengangkat tangan tinggi-tinggi dan menampar wajah Dita keras-keras. Ia berhak memberi pelajaran kepada seorang pencuri meski ia masih seorang warga baru. “Re, kau melamun apa?” suara Inung mengejutkan Relina.
“Tidak, aku teringat pada semua kejadian di asrama, suka dan duka, seperti mimpi hari ini kita bisa berkumpul kembali. Ngomong-ngomong kapan kita reuni di asrama?”
“Sebuah usulan yang bagus, nanti kita tindak lanjuti, eh nanti datang ya pada hari pernikahanku”.
“Kita akan reuni lagi”.
“Iya, tetapi kapan kita bisa reuni pada hari pernikahanmu”
“Sebuah usulan yang bagus juga, nanti kita tindak lanjuti, aku akan menikah apabila mendapatkan seorang yang benar-benar dapat menerima kekurangan dan kelebihanku tanpa syarat”, jawab Relina tenang, amat tenang. Ia melihat begitu banyak wanita yang kehilangan kebahagiaan justru setelah ia melangsungkan perkawinan pada hari “bahagia”. Jadi, untuk apa ia harus tergesa-gesa?
Ketika seluruh prosesi perkawinan akhirnya selesai, seluruh tamu dan alumni asrama memberikan ucapan selamat yang disambut dengan senyum bahagia. “Besok kami langsung kembali, tidak akan bertahan lebih lama lagi, nanti mengganggu acara malam pengantin”, Relina berbisik, sehingga Puspita tersipu-sipu.
Alumni yang lain kurang lebihnya membisikkan kata-kata serupa, semua berpamit untuk kembali kepada urusan masing-masing. Mereka saling bersalaman dan berpelukan sebelum akhirnya berpisah menuju penginapan masing-masing dan berkemas pergi pada keesokan hari. Ternyata Relina tinggal pada hotel yang sama dengan Dita, Murni, dan Soraya. Mereka saling berbasa basi di lobi, menjadi lelah dan mengantuk karena rangkaian acara perkawinan dan sekalian berpamit apabila esok pagi-pagi tak dapat bertemu kembali.

                                                                                ***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...