Sementara
Kurawa terlahir dan tumbuh di lingkungan istana, Dewi Kunti dengan
segala kemuliaan hati membesarkan kelima Pandawa di tengah hutan. Sebuah
pondok sederhana di antara hijau dedaunan dengan suara gemercik air
sungai, binatang hutan yang selalu diburu serta hasil bumi yang berguna
sebagai bahan pangan di sekitar hutan itu. Dewi Kunti tak pernah
membedakan antara Yudistira, Bhima, Arjuna serta Nakula dan Sadewa,
kelima orang pangeran itu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang
sama. Sepasang mata polos Nakula Sadewa menyebabkan Dewi Kunti melupakan
kobaran api cemburu terhadap kehadiran Dewi Madrim di sisi Pandu.
Perseteruan itu telah lama berlalu sementara Pandu dan Dewi Madrim telah
terkubur bersama abu. Kelima Pandawa benar memerlukan seorang ibu.
Akan tetapi, betapa mulia hati seorang ibu, lingkungan hutan bukanlah rumah yang baik untuk
membesarkan lima orang pangeran yang harus dipersiapkan menjadi pemimpin kerajaan.
Resi dan pertapa yang tinggal di seputar hutan memahami kesulitan itu. Mereka menemui Dewi Kunti,
dengan segala rasa hormat meminta sekaligus menyertai Dewi Kunti bersama kelima Pandawa
untuk kembali menetap di Astinapura. Ketika Dewi Kunti menyetujui permintaan itu,
sejujurnya ia telah memulai lakon panjang, sebuah pertikaian yang hanya dapat diakhiri
dengan sebuah perang besar.
“Kami menyerahkan Dewi Kunti beserta kelima Pandawa untuk kembali ke istana, Raja Pandu telah
lama berpulang, Dewi Madrim menyertai dalam upacara satya. Kami sangat berharap Dewi Kunti
akan lebih mudah membesarkan lima orang satria di bawah lindungan yang mulia raja”,
demikian salah seorang resi berucap.
Kehadiran itu diterima dengan segala tangan terbuka, upacara manunggal paratman
– upacara perkabungan bagi Raja Pandu serta Dewi Madrim digelar. Doa dipanjatkan,
semoga Raja Pandu serta Dewi Madrim mendapatkan kedamaian di alam yang kekal abadi.
Upacara itu memberi ketenangan bagi Dewi Kunti serta kelima Pandawa.
Gandari mengulurkan tangan bagi Dewi Kunti seolah ia adalah kakak kandung yang terlahir dari
ibu dan ayah yang sama.
Bhisma dan Mahatma Widura menerima Pandawa sebagai bagian sah dari keturunan dinasti Kuru
yang harus memperoleh pendidikan sopan santun, tata negara serta kemampuan berperang.
Istana ini terlalu besar untuk kediaman lima orang Pandawa bersama seorang ibu.
Akan tetapi, seratus orang Kurawa terlebih Shangkuni, menatap kehadiran itu dengan sepasang
mata berapi-api. Betapa tampan kelima satria muda itu, betapa Yudistira lebih berhak akan tahta,
karena ia adalah putra tertua. Sikap dan tindak tanduknya cukup menunjukkan sulung
Pandawa sebagai orang yang lurus hati. Betapa kuat dan perkasa Bhima, betapa gagah dan
mengesankan Arjuna. Sementara dua bocah kembar yang terlahir dari rahim Dewi Madrim,
Nakula Sadewa menggenapi kehadiran Pandawa dalam satu kekuatan tak terkalahkan.
Shangkuni mulai merasa terusik, bagi Kurawa ia adalah paman, pengasuh,
guru sekaligus penasehat. Bila Dursasana berhak akan tahta,
ia akan menjadi sosok menentukan dalam kehidupan di istana.
Akan tetapi, bila Yudistira yang bertahta sebagai raja, ia akan tersingkir,
ia tak memiliki ruangan khusus di hati Pandawa. Sehari-hari berhadapan dengan Pandawa membuat
Shangkuni merasa geram. Kelima pangeran itu berada dalam perlindungan Bhisma dan Mahatma
Widura, ia tak layak mencederai kanak-kanak yang tengah bertumbuh remaja.
Akan tetapi, ia adalah seorang paman yang “cerdik”, ia tahu tangan siapa yang harus dipinjam
untuk mencederai Pandawa.
Bagawan Wyasa dengan mata tuanya yang bijak telah melihat perubahan keadaan yang kurang
nyaman sejak kehadiraan Pandawa. Kurawa dan Shangkuni tak pernah menerima kehadiran ini
dengan bersahabat. Bagawan Wyasa menarik napas panjang, adakah sumpah Bhisma untuk tidak
menduduki tahta, untuk tidak menikah dapat mengubah keadaan ini.
Anak-anak Satyawati tak akan pernah bertarung dengan anak-anak Bhisma, karena
Bhisma memang tidak memiliki anak, menolak perkawinan dengan Amba. Akan tetapi, bagaimana dengan dengan anak-anak Pandu serta Dretarastra? Keturunan dari ibu tunggal Satyawati? Bagawan Wyasa memberanikan diri untuk berucap.
“Yang mulia ibunda Satyawaty, bila saya boleh berucap. Masa lampau telah berlalu dengan
segala suka dan duka. Sumpah Bhisma hanya memperpanjang jarak sebelum perebutan tahta
terjadi, keturunan Bhisma tak akan berebut tahta, karena ia memang tak memiliki keturunan.
Akan tetapi, bagaimana dengan keturunan Pandu serta Dretarastra? Tidakkah ibunda dapat
melihat antara Pandawa dan Kurawa tidak pernah terjadi kesesuaian, terlebih dengan kehadiran
Shangkuni di pihak Kurawa. Andai ibunda tiada sanggup melihat ke depan dengan keadaan yang
lebih pahit, masih ada sisa waktu untuk bertapa, menyucikan diri. Percikan api yang kecil sekalipun
akhirnya dapat berkobar menjadi maha besar, namun akan turun hujan lebat untuk kembali
memadamkan”, Bagawan Wyasa berkata dengan hati-hati, ia tengah berhadapan dengan ibu suri
yang telah berusia lanjut dan tampak lelah dengan hiruk pikuk kehidupan dunia. Satyawati hanya
akan semakin lelah menatap perubahan yang tidak sesuai dengan segala keinginannya.
Di pihak lain Satyawati terdiam, wajahnya masih jelita pada usia yang semakin tua,
harum tubuhnya tak pernah berubah. Ayahanda telah bertaruh dengan Bhisma supaya anak
keturunannya berhak akan tahta Astinapura. Benar, bayi yang pernah dilahirkan telah duduk
di singgasana sebagai raja. Kini, apa yang terjadi antara Pandawa dan Kurawa, dua saudara
sepupu yang tampak tidak bersahabat pada pertemuan pertama dan hari-hari selanjutnya.
Tiba-tiba Satywati merasa dirinya semakin renta, permintaan ayahanda akhirnya tak mampu
mengubah masa depan. Sepasang mata tua Satyawati telah pula melihat tanda-tanda perselisihan,
ia tahu, ia tak akan pernah sanggup menyaksikan. Ucapan Bagawan Wyasa yang bijak menjadi bahan
pertimbangan.
“Terima kasih nasehatmu resi, benar aku terlalu tua untuk menyaksikan semua itu. Kuminta doamu
bagi hari-hari penyucianku”, Satyawati menanggapi ucapan Bagawan Wyasa dengan bijak,
ia pernah dapat merebut suatu hari, akan tetapi ia tak akan mampu menyusun seluruh masa depan.
Perempuan tua itu memejamkan mata sebelum undur diri, ia perlu mempersiapkan perjalanan panjang
bagi penyucian diri, bertapa di tengah hutan yang sunyi, meninggalkan seluruh urusan dunia.
Satyawati tidak pergi seorang diri, ia didampingi Ambika dan Ambalika,
dua orang permaisuri yang merasa telah cukup mereguk kehidupan dunia.
Keduanya tak mampu melepaskan Satyawati bertapa seorang diri, dengan suka rela
Ambika dan Ambalika menyertai. Ketiga orang itu tak pernah lagi melihat perselisihan antara
Pandawa dan Kurawa yang mulai berpijar sejak pertemuan pada hari pertama. Juga pada hari itu
ketika di kebun istana Dursasana beserta adik-adiknya tampak tengah bermain-main dengan
memanjat
pohon raksasa.
Tiba-tiba Bhima muncul dari balik daun, kesatria muda itu selalu tampil dalam kepercayaan diri
yang tinggi, badannya tinggi tegap, langkahnya pasti seakan mampu menembus perut bumi.
Bhima memiliki kekuatan lebih dari Pandawa yang lain. Dursasana menatap Bhima dengan benci,
andai Yudistira menjadi raja, maka Bhima akan menjadi pengawal setia yang sedia mengorbankan
nyawa bagi sulung Pandawa. Ia adalah sulung Kurawa, sekarang Dretarastra sekalipun buta masih
bertahta sebagai raja, Dursasana merasa berhak akan singgasana. Tanpa kehadiran Pandawa,
mahkota akan dengan mudah bertahta di atas kepala. Dengan demikian maka
Yudistira sesungguhnya sosok penghalang utama. Dursasana tak dapat menyembunyikan
perasaan benci terhadap Pandawa, terutama Bhima, ia merasa kebencian adalah suatu hal
yang benar. Bukankah Paman Shangkuni tak pernah menyalahkan?
Dursasana melempar Bhima dengan sebutir buah, disusul Suyudana serta adik-adiknya yang lain.
Hal kecil semacam ini membuat Bhima menjadi marah, sepasang matanya yang tajam segera
menatap
wajah tak bersahabat Duryudana dan adik-adiknya. Dengan kekuatan tenaganya Bhima
menggoyang-goyangkan pohon itu, sehingga Kurawa segera terjatuh dari pohon seakan
buah-buahan yang ranum. Dalam jumlah yang lebih banyak Kurawa bahkan tak mampu
mengalahkan seorang Bhima.
Kurawa kesakitan bukan hanya karena terjatuh dari pohon, akan tetapi malu,
karena merasa kalah melawan satu orang Pandawa, Bhima. Dendam di hati Duryudana mulai
menyala semakin lama semakim berkobar, karena dengan kepentingan pribadi Shangkuni selalu
meniupnya. Shangkuni tak memahami hubungan baik antara paman dan keponakan.
Ia memanfaatkan sifat kanak-kanak Kurawa untuk satu tempat penting di Astinapura tanpa
memerhitungkan akibat yang paling buruk. Shangkuni tak mau mengakui, sesungguhnya
Pandawa lebih cakap dalam segala hal sekaligus menempatkan diri pada kehidupan istana.
Ia adalah paman Kurawa, bukan paman Pandawa. Ia adalah sebuah perlambang, bahwa setelah
kebaikan pasti akan ada kejahatan.
Setiap kali bermain di lingkungan istana, pasti terjadi perselisihan,
Kurawa main tangan, Bhima tak pernah tinggal diam, ia adalah pengawal bagi kelima Pandawa,
selalu menang ketika bertarung dengan Kurawa. Satu hal yang membuat Duryudana semakin benci,
kehadiran Bhima dan Pandawa di Astinapura seakan duri dalam daging yang manyakiti.
Kurawa tak ingin kehadiran itu lebih lama di tempat ini. Mereka tengah mengatur siasat untuk
mengalahkan Bhima.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar