Kamis, 06 Juni 2019

MAHABHARATA --The Great Epic of India, 8, Pandawa dan Kurawa







Sementara Kurawa terlahir dan tumbuh di lingkungan istana, Dewi Kunti dengan segala kemuliaan hati membesarkan kelima Pandawa di tengah hutan. Sebuah pondok sederhana di antara hijau dedaunan dengan suara gemercik air sungai, binatang hutan yang selalu diburu serta hasil bumi yang berguna sebagai bahan pangan di sekitar hutan itu. Dewi Kunti tak pernah membedakan antara Yudistira, Bhima, Arjuna serta Nakula dan Sadewa, kelima orang pangeran itu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama. Sepasang mata polos Nakula Sadewa menyebabkan Dewi Kunti melupakan kobaran api cemburu terhadap kehadiran Dewi Madrim di sisi Pandu. Perseteruan itu telah lama berlalu sementara Pandu dan Dewi Madrim telah terkubur bersama abu. Kelima Pandawa benar memerlukan seorang ibu.
 
Akan tetapi, betapa mulia hati seorang ibu, lingkungan hutan bukanlah rumah yang baik untuk 
membesarkan lima orang pangeran yang harus dipersiapkan menjadi pemimpin kerajaan. 
Resi dan pertapa yang tinggal di seputar hutan memahami  kesulitan itu. Mereka menemui Dewi Kunti,
 dengan segala rasa hormat meminta sekaligus menyertai Dewi Kunti bersama kelima Pandawa
 untuk kembali menetap di Astinapura. Ketika Dewi Kunti menyetujui permintaan itu,
 sejujurnya ia telah memulai lakon panjang, sebuah pertikaian yang hanya dapat diakhiri
 dengan sebuah perang besar.
 
“Kami menyerahkan Dewi Kunti beserta kelima Pandawa untuk kembali ke istana, Raja Pandu telah 
lama berpulang, Dewi Madrim menyertai dalam upacara satya. Kami sangat berharap Dewi Kunti 
akan lebih mudah membesarkan lima orang satria di bawah lindungan yang mulia raja”, 
demikian salah seorang resi berucap.
Kehadiran itu diterima dengan segala tangan terbuka,  upacara manunggal paratman 
 – upacara perkabungan bagi Raja Pandu serta Dewi Madrim digelar. Doa dipanjatkan, 
semoga Raja Pandu serta Dewi Madrim mendapatkan kedamaian di alam yang kekal abadi. 
Upacara itu memberi ketenangan bagi Dewi Kunti serta kelima Pandawa. 
Gandari mengulurkan tangan bagi Dewi Kunti seolah ia adalah kakak kandung yang terlahir dari
 ibu dan ayah yang sama.
 
Bhisma dan Mahatma Widura menerima Pandawa sebagai bagian sah dari keturunan dinasti Kuru 
yang harus memperoleh pendidikan sopan santun, tata negara serta kemampuan berperang.
 Istana ini terlalu besar untuk kediaman lima orang Pandawa bersama seorang ibu. 
Akan tetapi, seratus orang Kurawa terlebih Shangkuni, menatap kehadiran itu dengan sepasang 
mata berapi-api. Betapa tampan kelima satria muda itu, betapa Yudistira lebih  berhak akan tahta,
 karena ia adalah putra tertua. Sikap dan tindak tanduknya cukup menunjukkan sulung 
Pandawa sebagai orang yang lurus hati. Betapa kuat dan perkasa Bhima, betapa gagah dan 
mengesankan Arjuna. Sementara dua bocah kembar yang terlahir dari rahim Dewi Madrim, 
Nakula Sadewa menggenapi kehadiran Pandawa dalam satu kekuatan tak terkalahkan.
 
Shangkuni mulai merasa terusik, bagi Kurawa ia adalah paman, pengasuh, 
guru sekaligus penasehat. Bila Dursasana berhak akan tahta,
 ia akan menjadi sosok menentukan dalam kehidupan di istana. 
Akan tetapi, bila Yudistira yang bertahta sebagai raja, ia akan tersingkir, 
ia tak memiliki ruangan khusus di hati Pandawa. Sehari-hari berhadapan dengan Pandawa membuat 
Shangkuni merasa geram. Kelima pangeran itu berada dalam perlindungan Bhisma dan Mahatma 
Widura, ia tak layak mencederai kanak-kanak yang tengah bertumbuh remaja. 
Akan tetapi, ia adalah seorang paman yang “cerdik”, ia tahu tangan siapa yang harus dipinjam
 untuk mencederai Pandawa.
 
Bagawan Wyasa dengan mata tuanya yang bijak telah melihat perubahan keadaan yang kurang
 nyaman sejak kehadiraan Pandawa. Kurawa dan Shangkuni tak pernah menerima kehadiran ini
 dengan bersahabat. Bagawan Wyasa menarik napas panjang, adakah sumpah Bhisma untuk tidak 
menduduki tahta, untuk tidak  menikah dapat mengubah keadaan ini. 
Anak-anak Satyawati tak akan pernah bertarung dengan anak-anak Bhisma, karena 
Bhisma memang tidak memiliki anak, menolak perkawinan dengan Amba. Akan tetapi, bagaimana dengan dengan anak-anak Pandu serta Dretarastra? Keturunan dari ibu tunggal Satyawati? Bagawan Wyasa memberanikan diri untuk berucap.
 
“Yang mulia ibunda Satyawaty, bila saya boleh berucap. Masa lampau telah berlalu dengan 
segala suka dan duka. Sumpah Bhisma hanya memperpanjang jarak sebelum perebutan tahta 
terjadi, keturunan Bhisma tak akan berebut tahta, karena ia memang tak memiliki keturunan. 
Akan tetapi, bagaimana dengan keturunan Pandu serta Dretarastra? Tidakkah ibunda dapat 
melihat antara Pandawa dan Kurawa tidak pernah terjadi kesesuaian, terlebih dengan kehadiran
 Shangkuni di pihak Kurawa. Andai ibunda tiada sanggup melihat ke depan dengan keadaan yang
 lebih pahit, masih ada sisa waktu untuk bertapa, menyucikan diri. Percikan api  yang kecil sekalipun
 akhirnya dapat  berkobar menjadi maha besar, namun  akan turun hujan lebat untuk kembali 
memadamkan”, Bagawan Wyasa berkata dengan hati-hati, ia tengah berhadapan dengan ibu suri 
yang telah berusia lanjut dan tampak lelah dengan hiruk pikuk kehidupan dunia. Satyawati hanya 
akan semakin lelah menatap perubahan yang tidak sesuai dengan segala keinginannya.
 
Di pihak lain Satyawati terdiam, wajahnya masih jelita pada usia yang semakin tua, 
harum tubuhnya tak pernah berubah. Ayahanda telah bertaruh dengan Bhisma supaya anak 
keturunannya berhak akan tahta Astinapura. Benar, bayi yang pernah dilahirkan telah duduk 
di singgasana sebagai raja. Kini, apa yang terjadi antara Pandawa dan Kurawa, dua saudara 
sepupu yang tampak tidak bersahabat pada pertemuan pertama dan hari-hari selanjutnya. 
Tiba-tiba Satywati merasa dirinya semakin renta, permintaan ayahanda akhirnya tak mampu 
mengubah masa depan. Sepasang mata tua Satyawati telah pula melihat tanda-tanda perselisihan, 
ia tahu, ia tak akan pernah sanggup menyaksikan. Ucapan Bagawan Wyasa yang bijak menjadi bahan
 pertimbangan.
 
“Terima kasih nasehatmu resi, benar aku terlalu tua untuk menyaksikan semua itu. Kuminta doamu 
bagi hari-hari penyucianku”, Satyawati menanggapi ucapan Bagawan Wyasa  dengan bijak,
 ia pernah dapat merebut suatu hari, akan tetapi ia tak akan mampu menyusun seluruh masa depan. 
Perempuan tua itu memejamkan mata sebelum undur diri, ia perlu mempersiapkan perjalanan panjang
 bagi penyucian diri, bertapa di tengah hutan yang sunyi, meninggalkan seluruh urusan dunia.
 
Satyawati tidak pergi seorang diri, ia didampingi Ambika dan Ambalika, 
dua orang permaisuri yang merasa telah cukup mereguk kehidupan dunia. 
Keduanya tak mampu melepaskan Satyawati bertapa seorang diri, dengan suka rela 
Ambika dan Ambalika menyertai. Ketiga orang itu tak pernah lagi melihat perselisihan antara 
Pandawa dan Kurawa yang mulai berpijar sejak pertemuan pada hari pertama. Juga pada hari itu 
ketika di kebun istana Dursasana beserta adik-adiknya tampak tengah bermain-main dengan
 memanjat 
pohon raksasa.
 
Tiba-tiba Bhima muncul dari balik daun, kesatria muda itu selalu tampil dalam kepercayaan diri 
yang tinggi, badannya tinggi tegap, langkahnya pasti seakan mampu menembus perut bumi. 
Bhima memiliki kekuatan lebih dari Pandawa yang lain. Dursasana menatap Bhima dengan benci, 
andai Yudistira  menjadi raja, maka Bhima akan menjadi pengawal setia yang sedia mengorbankan
 nyawa bagi sulung Pandawa. Ia adalah sulung Kurawa, sekarang Dretarastra sekalipun buta masih 
bertahta sebagai raja, Dursasana merasa berhak akan singgasana. Tanpa kehadiran Pandawa, 
mahkota akan dengan mudah bertahta di atas kepala. Dengan demikian maka
 Yudistira sesungguhnya sosok penghalang utama. Dursasana tak dapat menyembunyikan
 perasaan benci terhadap Pandawa, terutama Bhima, ia merasa kebencian adalah suatu hal 
yang benar. Bukankah Paman Shangkuni tak pernah menyalahkan?
 
Dursasana melempar Bhima dengan sebutir buah, disusul Suyudana serta adik-adiknya yang lain. 
Hal kecil semacam ini membuat Bhima menjadi marah, sepasang matanya yang tajam segera
menatap
 wajah tak bersahabat Duryudana dan adik-adiknya. Dengan kekuatan tenaganya Bhima 
menggoyang-goyangkan pohon itu, sehingga Kurawa segera terjatuh dari pohon seakan 
buah-buahan yang ranum. Dalam jumlah  yang lebih banyak Kurawa bahkan tak mampu
 mengalahkan seorang Bhima.
 
Kurawa kesakitan bukan hanya karena terjatuh dari pohon, akan tetapi  malu, 
karena merasa kalah melawan satu orang Pandawa, Bhima. Dendam di hati Duryudana mulai 
menyala semakin lama semakim berkobar, karena dengan kepentingan pribadi Shangkuni selalu 
meniupnya. Shangkuni tak memahami hubungan baik antara paman dan keponakan. 
Ia memanfaatkan sifat kanak-kanak Kurawa untuk satu tempat penting di Astinapura tanpa 
memerhitungkan akibat yang paling buruk. Shangkuni tak mau mengakui, sesungguhnya
 Pandawa lebih cakap dalam segala hal sekaligus menempatkan diri pada kehidupan istana. 
Ia adalah paman Kurawa, bukan paman Pandawa. Ia adalah sebuah perlambang, bahwa setelah 
kebaikan pasti akan ada kejahatan.
 
Setiap kali bermain di lingkungan istana, pasti terjadi perselisihan,
 Kurawa main tangan, Bhima tak pernah tinggal diam, ia adalah pengawal bagi kelima Pandawa, 
selalu menang ketika bertarung dengan Kurawa. Satu hal yang membuat Duryudana semakin benci, 
kehadiran Bhima dan Pandawa di Astinapura seakan duri dalam daging yang manyakiti. 
Kurawa tak ingin kehadiran itu lebih lama di tempat ini. Mereka tengah mengatur siasat untuk  
mengalahkan Bhima. 
 
***
 
Bersambung .... 
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...