Minggu, 02 Juni 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- ENAMBELAS

 




 

Park Soon Duk berusaha keras melawan para prajurit seorang diri, ia tahu hidup matinya tengah dipertaruhkan. Adakah ia masih akan dapat menatap esok bersama sang pangeran selama-lamanya. Ia adalah seorang prajurit perempuan yang terbiasa menebaskan pedang, andai kali ini adalah pertempuran yang seimbang. Akan tetapi, prajurit kerajaan terlalu banyak. Pangeran Wang Eun sadar akan akibat yang harus dipikul ketika memutuskan untuk menyertai Soon Duk, bukan bersembunyi. Ada yang bergetar di relung hati, ia harus  menebaskan pedang tanpa kemampuan tempur sama sekali, ia tidak sedang bertempur melawan pasukan musuh dari kerajaan tetangga, tetapi dengan prajurit Goryeo di bawah perintah Raja Wang Yo. Mengapa seorang saudara tua tega membantai adinda, karena ia tidak memberikan dukungan? Pangeran Wang Eun tahu, ia tak akan pernah memenangkan pertarungan ini, meski Park Soon Duk adalah seorang parjurit wanita, putri seorang jenderal pula. Dari lantai atas Yang Mulia Raja Wang Yo menatap perkelahian itu dengan tatapan dingin. Ia  harus menyingkirkan pengkhianat sebelum tahta terancam.
Saat seorang prajurit berhasil melukai Park Soon Duk, Pangeran Wang Eun nyaris menjerit, leleran merah darah itu benar menakutkan. Apa yang akan terjadi dengan seorang istri ketika terlibat dalam perkelahian antara hidup dan mati? Sesal terlambat datang, sejak perkawinan ia nyaris tak pernah berlaku sebagai suami yang bijak, betatapun Park Soon Duk mencintai dan memberikan seluruh hidup. Ia telah berlaku semena-mena sejak hari perkawinan, akan tetapi tidak untuk saat ini. Ia berusaha melindungi Soon Duk dari luka berikutnya.
“Pergilah…. Selamatkan diri!” suara Park Soon Duk kalap, ia menyesal mengapa Pangeran Wang Eun terlibat perkelahian, bukan menyelamatkan diri selagi tersisa sepenggal waktu.
“Tak mungkin kutinggalkan seorang istri !” Pangeran Wang Eun membantah, bulu kuduknya meremang. Sesaat sang pangeran menatap Yang Mulia Raja, ia masih bisa memohon satu permintaan. “Biarkan mereka pergi. Kami tak akan pernah menginjakkan kaki di Goryeo….” Adalah permintaan Pangeran Wang Eun terakhir. Raja Wang Yo tak hendak memerikan pengampunan, dengan tegas Yang Mulia memberikan isyarat kepada seorang prajurit untuk mengakhiri perlawanan itu.
Maka sang prajurit diam-diam bergerak menebaskan pedang ke arah Pangeran Wang Eun, tangan Park Soon Duk bergerak mendorong Pangeran Wang Eun menjauh. Maka mata pedang itu akhirnya menebas tubuh semampai Park Soon Duk,  prajurit wanita itu tersungkur berlumuran darah. Pangeran Wang Eun menjerit, ia tak pernah mengharap hari ini terjadi, tetapi Park Soon Duk telah terkapar atas perintah raja. Wajah sang pangeran memucat bagai helai kafan, ia tak pernah bermimpi akan perkawinan ini, namum bisakah ia kehilangan dengan cara yang menyakitkan?
Pangeran Wang Eun terpengarah, masih ada sisa tenaga meraih tubuh lunglai putri sang jenderal. “Engkau akan baik-baik saja….” Suara itu terpatah-patah bercampur isak tangis, Wang Eun tahu keadaan Park Soon Duk sudah sedemikian buruk, darah itu tak akan pernah berhenti membanjir. Saat bertatapan hati sang pangeran remuk redam, ia dapat merasakan pandangan seorang istri yang mencintai setulus hati hingga tiba hari  penghabisan. Sesaat Park Soon Duk tersenyum seakan tak menyesali hari terakhir tiba, karena ia berada dalam pelukan sang pangeran. Tak lama kemudian prajurit wanita itu terkulai, menghembuskan napasterakhir. Perkawinan menjadi kebersamaan teramat singkat, bahkan sebelum hati keduanya benar menyatu.  Pangeran Wang Eun tak dapat menahan sedu sedan, air matanya membanjir bercucuran.
Dari ketinggian Yang Mulia Raja menyaksikan kematian itu dengan wajah membeku, tak perlu ada yang ditangisi. Ia merentang gendewa, membidikkan anak panah pada, maka lengan Pangeran Wang Eun terluka, darah menetes. Anak panah kedua kembali siap membidik, pada saat yang sama Pangeran Wang So datang menyelamatkan Pangeran Wang Eun, melawan para prajurit. Yang Mulia Raja tidak peduli akan kehadiran Pangeran ke-4, ia tetap membidikkan anak kepada Pangeran Wang Eun.
Pangeran Wang Jung dan Hae Soo tiba tak lama kemudian, Pangeran Wang Jung berusaha membantu Pangeran Wang Eun, tetapi para prajurit berhasil menahannya. Ketika seorang prajurit hendak menyerang Pangeran Wang Eun, Pangeran Wang So kembali memberikan perlindungan. Yang Mulia Raja tak membuang waktu, anak panah kedua melesat melebihi kecepatan waktu tepat mengenai tubuh Pangeran Wang Eun. Sang pangeran roboh dalam pelukan Pangeran Wang So. Dari jarak terukur Pangeran Wang Jung dan Hae Soo terpaku di tempatnya berdiri dengan leher tercekik. Masih ada sisa tenaga bagi Pangeran Wang Eun untuk permintaan terakhir, “Bukankah Hyungnim pernah berjanji pada hari ulang tahunku untuk memberi hadiah, apapun yang kuminta?” suara itu terbata-bata bercampur rintihan.
“Apa permintaan itu?” Pangeran Wang So seakan melihat maut semakin dekat, ia telah berulang kali melihat manusia meregang nyama, tetapi kini dalam pelukannya adalah Wang Eun, adinda tercinta. Dadanya seakan sesak ditindis sebongkah batu.
“Tak bisa kubiarkan Soon Duk pergi seorang diri, aku harus menyertai. Tahu apa maksudku?” suara itu semakin lemah. Sementara Yang Mulia Raja tengah bersiap dengan anak panah ketiga.
Udara seakan dibekap halimun ketika Pangeran Wang So harus memenuhi permintaan Pangeran Wang Eun dengan kalap. Mungkinkah ia dapat memaafkan diri sendiri, karena memenuhi permintaan itu? Air mata Pangeran ke-4 berlinang-linang ketika bangkit merentang bilah pedang. Hae Soo berbisik, “Jangan ….” tetapi bisikan itu lalu bersama angin yang beraroma anyir darah.
Segalanya seakan bukan nyata ketika Pangeran Wang So benar memenuhi permintaan itu menebaskan pedang ke tubuh Pangeran Wang Eun, sehingga sang pangeran dapat pergi menyertai Park Soon Duk selama-lamanya. Pangeran ke-10 masih berusaha mengulurkan tangan bagi Park Soon Duk, kemudian maut membawanya berpulang menuju keabadian.  Senyum Yang Mulia Raja mengembang, ia telah berhasil menumpas pengkhianat.
Sekuat tenaga Pangeran Wang Jung melepaskan diri dari cengkeraman para prajurit memeluk jenazah Pangeran ke-10 yang masih hangat. Sementara Pangeran Wang So bagai dihantam godam, ia menjerit kemudian tertawa, ia tahu akan sulit memaafkan dirinya sendiri. Betapa ia mengasihi Wang Eun sepenuh hati, betapa ia harus memenuhi permintaan adinda dengan mengakhiri hidupnya. Usai meluapkan penyesalan, Pangeran Wang So berpaling menatap Yang Mulia Raja. Pada sepasang matanya berpijar api dendam, Pangeran Wang So menunggu suatu hari untuk membayar kekalahan ini. Tak lama kemudian Pangeran Wang So pergi, ia harus mencari suatu tempat untuk menenangkan diri. 
Sementara Hae Soo terduduk di atas tanah, seluruh tulang belulang seakan terlepas, ia menatap tubuh Pangeran Wang Eun yang roboh bersimbah darah dengan  gemetar. Air matanya menitik, sekalilagi ia harus menyaksikan kematian tragis di lingkungan dinding istana. Terbayang kembali perkenalan kocak dengan Pangeran Wang Eun, sikapnya yang kekanak-kanakan, cintanya yang tak mungkin terbalas. Wang Eun seorang sahabat yang mengesankan, kini ia terbaring di depan mata untuk selama-lamanya atas perintah Yang Mulia Raja. Ada luka dalam tersayat yang tak mungkin tersembuhkan, Hae Soo bertanya-tanya kepada diri sendiri –sampai kapan ia akan dapat bertahan dalam kehidupan seperti ini, ketika para pangeran berebut tahta dan seolah dapat bertindak apa saja, termasuk membantai pangeran yang lainnya. 
Adapun Pangeran Wang So berjalan dengan gontai, seluruh lantai serta dinding istana seakan dilumuri darah Pangeran Wang Eun, sepasang matanya sembab, jantungnya berpacu lebih cepat. Ketika berpapasan dengan Jenderal Park wajah Pangeran ke-4 semakin muram, tak  ada cukup kata-kata duka cita untuk berucap. Sesaat ia  berdiri terpaku dengan lidah kelu, bilah pedangnya bersimbah darah. Di pihak lain Jenderal Park segera dilanda kepanikan, sikap serta mulut bisu Pangeran Wang So telah mengucapkan perihal terburuk. Tanpa mengaatakan apapun, Jenderal Park berlari memburu tubuh Park Soon Duk yang terkapar. Kali ini bahkan seorang jenderal tak dapat membendung air mata, ia telah berulang kali terancam maut, membunuh lawan. Akan tetapi, yang kini tewas dengan tragsi adalah putri tercinta.
“Impian untuk menjadi pengantin seorang pangeran harus engkau tebus dengan kematian”,  Jenderal Park memeluk jasad Park Soon Duk yang masih hangat, wajah itu demikian manis seakan seorang bocah. Ia harus kehilangan bocah manis itu dengan cara yang menyakitkan. Hari ini akan  menjadi hari berkabung untuk selama-lamanya.   
"Soon Dukku seorang yang keras kepala, tetapi setia dan tak pernah berubah. Adakah Pangeran Wang Eun mencintainya?” suara itu terpatah-patah.   
"Pangeran Wang Eun sangat mencintainya. Keduanya saling mencintai hingga pada akhir hidupnya”, tanpa ragu Hae Soo menjawab, air matanya bening membasahi pipi.
"Kuharap engkau pergi dengan tenang ….” Jenderal Park masih memeluk jasad Park Soon Duk, tak mudah kehilangan dengan cara seperti ini.
"Akan kubunuh Wang So!" Pangeran Wang Jung dibakar dendam, hatinya tercabik melihat sepasang suami istri tewas dengan semena-mena. Mengapa harus? Ia bangkit menghunus pedang siap berhadapan dengan Pangeran Wang So.
“Pangeran Wang Eun sendiri yang meminta Pangeran Wang So untuk mengakhiri hidupnya, pangeran ingin menyertai Soon Duk selama-lamanya. Pangeran So tidak bersalah”, Hae Soo menghentikan langkah Pangeran Wang. Kata-kata Hae Soo menyebabkan langkah Pangeran Wang Jung terhenti.
“Euuunnn…..!!” Pangeran Wang Jung menjerit putus asa, langit seakan runtuh mengubur seluruh hidupnya.
Jeritan itu tak terdengar di telinga Pangeran Wang So yang telah melangkah pergi, hatinya seakan terbakar amarah yang tidak tahu kemana harus dilampiaskan. Ia terlibat terlalu jauh dalam kekacauan ini, ia tak akan dapat melupakan wajah terakhir Pangeran Wang Eun saat maut menjemput. Ia mengasihi Pangeran ke-10, tetapi harus memenuhi permintaan terakhirnya. Saat itu Choi Ji Mong datang dengan wajah galau, ia telah menjadi tua di dalam dinding istana dengan segala pertikaian tanpa henti. Bulu kuduk ahli bintang itu meremang, ketika Pangeran Wang So dengan wajah merah padam mendesis, “Ternyata aku harus menjadi anjing pembunuh, yang menggigit majikan dan mengambil alih rumahnya. Aku serigala gila", tanpa menunggu jawab sang pangeran pergi berlalu.
Pangeran Wang So terus melangkah, ia ingin menjauh dari kekacauan, ia ingin melupakan, andai hari ini tak pernah ada. Ada satu tekad mengeras di relung hati. "Aku, Wang So, akan menjadi Raja Goryeo. Aku harus menghentikan semua kekacauan ini…"
                                                                               ***
Sementara Yang Mulia Raja tanpa rasa bersalah menyampaikan perihal kematian Pangeran Wang Eun dan Park Soon Duk kepada Pangeran Wang Wook. “Keduanya telah tiada….” tak ada wajah duka atau sesal. Kematian itu sudah harus terjadi. Sementara Pangeran Wang Wook tampak diam tanpa perasaan, ia terlalu pandai menyembunyikan suasan hati  yang bergolak seakan badai lautan. Bagaimana seorang raja dapat menyampaikan perihal kematian seorang pangeran tanpa sesal?  
“Pemberontakan Wang Gyu berhasil dipalsukan, rencana semula berhasil”, Yang Mulia Raja tersenyum samar, ia telah berhasil memalsukan sebuah kejadian dan menempatkan Pangeran Wang Eun sebagai korban.
“Selamat ….” Pangeran Wang Wook memberikan ucapan tanpa menunjukkan perasaan
“Tak ada satu pihakpun yang akan kembali mengguncang tahtaku selaku raja. Aku akan memindahkan ibukota dari Songak ke Seokyeong pada kesempatan pertama”, senyum Yang Mulia Raja masih tampak samar. Dengan memindahkan ibu kota ke Seokyeong, sang paman, Wang Sik Ryeom akan senang.
                                                                                  ***
Malam datang lebih  hitam dari ribuan malam sebelumnya, angin lebih dingin berhembus menggigit pori-pori. Di menara bintang Pangeran Wang So duduk terpaku, ia dihantam kehilangan yang sangat dalam. Kapan ia bisa menatap wajah muda Pangeran Wang Eun yang tengah mencoba berbahagia bersama putri seorang jenderal? Tak lama kemudian Pangeran Baek Ah dating dengan wajah duka, “Eun dan Soon Duk dinyatakan sebagai pengkhianat, tak ada pemakanan kerajaan, keduanya bahkan tak diijinkan dimakamkan di tanah keluarga. Tak seorangpun diperbolehkan mengenakan pakaian berkabung. Jenazah telah dibuang ke hutan supaya dimangsa burung gagak. Kami sudah menguburkan secara diam-diam, anak panah tidak bisa dikeluarkan dari tubuh Eun hyungnim,  Jung mematahkannya", suara Pangeran Baek Ah seakan rintihan. Ia tak menduga suatu ketika seorang raja bisa sedemikian tega terhadap saudara muda.
"Eun masih ingat hari ulang tahun setelah aku melupakan. Ia masih meminta hadiah, menyertai Soon Duk pergi selama-lamanya. Hadiah yang mengerikan yang hanya bias diberikan Pangeran ke-4 yang pernah menjadi serigala”, Pangeran Wang So kini menyadari, betapa ia sangat mengasihi Wang Eun. Betapa kehilangan dengan cara seperti ini, menyakiti hati hingga ke relung terdalam. Ia akan menghentikan Wang Yi, Yang Mulia Raja untuk tidak bertindak  lebih semena-mena.
“Eun pasti akan berterima kasih atas hadiah ulang tahun itu”, Pangeran Baek Ah mengerti kegalauan hati Pangeran Wang So. Pangeran ke-4 bukan hanya berkabung, tetapi juga berada dalam keadaan yang salah.
Tiba=tiba Choi Ji Mong datang dengan sehelai surat di tangan, “Sudah terlambat, Surat dari Hae Soo, ia tinggalkan saat tak menemukan siapapun di menara waktu”.
Pangeran Wang So menerima pucuk surat itu dengan tanda tanya. Apakah isinya? Sepasang matanya membelalak ketika terbaca sederet huruf: 
                     Eun bersembunyi di Damiwon.
Andai surat itu terbaca sebelum Yang Mulia Raja merentangkan tiga batang anak panah bagi Wang Eun. Pangeran Wang So tahu kemana hendak menuju, tergesa ia melangkah ke  tepi danau.  Hae Soo setengah berlari menyambut kedatangan itu, akan tetapi Pangeran Wang So menatapnya dengan tajam, suaranya sinis, “Engkau pasti  menganggapku seekor serigala,  karena telah membunuh Eun?” tak mudah bagi Pangeran ke-4 melupakan wajah pucat Wang Eun menjemput maut.
“Aku tahu kenapa pangeran harus memenuhi permintaan itu”, Hae Soo tertegun, ia tak menyangka Pangeran Wang So akan berucap dengam amarah tertahan.
"Kenapa kau menyembunyikan keadaan sebenarnya, kalau Eun berada di Damiwon? Engkau tidak bisa mempercayai seekor serigala? Kau takut aku akan membantai Eun tanpa sebab?" suara Pangeran Wang So terucap dengan lidah  getir.
“Aku sangat mengkhawatirkan Pangeran Wang Eun,  takut terjadi hal buruk padanya. Ia juga takut terjadi sesuatu yang buruk pada Pangeran Wang So. Pangeran Eun mengira keadaan akan berubah jika keduanya berhasil melarikan diri. Kini segalanya terlambat sudah, antara sesame pangeran terpaksa harus saling menyakiti satu sama lain. Maka, aku menulis surat itu, karena masih percaya Pangeran ke-4. Segalanya memerlukan waktu, tapi aku benar percaya apapun yang terjadi", lidah Hae Soo sama getirnya dengan lidah Pangeran Wang So, ia tahu sang pangeran telah berubah, karena tragedy ini.
"Tetapi, terhitung mulai hari ini segalanya tak sama lagi. Andai engkau menyampaikan pesan pada kesempatan pertama, Eun pasti masih masih hidup", berat bagi Pangeran Wang So menyalahkan diri sendiri, ia perlu menghibur diri dengan menyalahkan orang lain. Hae Soo tidak sepenuhnya memberikan rasa percaya, Wang Eun meninggal dengan tragis di tangannya sesuai permintaan sebagai hadiah ulang tahun. Demi menyelamatkan Hae Soo ia harus menjadi serigala bagi Yang Mulia Raja, perasaannya tidak pernah berubah. Akan tetapi, sekarang Pangeran Wang So benar-benar merasa hampa dan kehilangan, sesak dada harus mengutuki diri sendiri.
Sesaat suasana di tepi danau itu hampa, sama hampa dengan perasaan dua orang yang saling meragukan kemudian kehilangan
"Segalannya telah berubah. Kita sudahi saja sekarang", wajah Pangeran Wang So berubah ubah antara pucat dan merah padam, suasana hatinya kacau bagai berkecamuk perang tanpa kesudahan.
“Pangeran bohong”, Hae Soo nyaris terlonjak di tempatnya berdiri, ia telah menulis catatan rahasia yang menyatakan Pangeran Wang Eun di Damiwon supaya Pangeran Wang So bisa menentukan langkah penyelamatan. Surat itu terlambat sampai, tak terbaca, yang terjadi bahkan sebaliknya, Pangeran Wang Eun berpulang dengan cara yang mengerikan.  
“Kita sudah berjanji untuk tidak saling berbohong", Pangeran ke-4 berucap tanpa menatap wajah Hae Soo. Kematian Pangeran Wang Eun bukan hanya menyebabkan ia kehilangan, ia telah kehilangan segala-galanya. Dengan wajah mendung Pangeran Wang So pergi berlalu meninggalkan Hae Soo yang berdiri terpaku seakan patung batu. Segalanya berubah dengan cepat seakan pantai indah dihantam badai, tanpa sadar air mata kepala dayang itu kembali menetes, entah air mata yang ke berapa kali?
Adapun Pangeran Wang So melangkah kembali ke menara bintang tanpa pernah  menoleh lagi, seolah ia telah melupakan masa lalu untuk selama-lamanya. Suasana di menara bintang lebih sunyi, dingin, dan hampa. Kali ini sang pangeran tak dapat menahan duka hati, sepasang matanya menjadi redup, berkaca-kaca. Tak lama kemudian  gerimis pun menitik.
                                                                        ***
Hari berikutnya Yang Mulia Raja memberikan pujian tanpa mengetahui isi hati Pangeran Wang So yang sebenarnya. “Terima kasih untuk membantu menghukum Eun, si pengkhianat. Ada hadiah yang harus kuberikan adalah tanah pertanian untukmu. Kemudian pergilah ke Seokyeong bakal ibu kota baru Goryeo, awasi pembangunan istana di sana”, samar senyum Yang Mulia Raja tanpa menyadari betapa kosong dan hampa wajah Pangeran Wang So. Hanya di relung hati ia berucap, ‘tak akan kubiarkan kesewenangan ini lebih lama, aku pasti akan membayarnya’.
Pertemuan singkat selesai sudah.
Berikutnya Pangeran Wang Jung datang bertanya, “Adakah Yang Mulia Raja tidak merasa takut setelah darah tertumpah menggenangi lantai istana?” masih terbayang tubuh Pangeran Wang Eun serta Park Soon Duk terkapar berlumuran darah, hatinya gagu.
“Seorang tak akan menjadi raja bila tidak memiliki keberanian menumpahkan darah, engkaupun harus berhati-hati untuk hal itu”, kata-kata itu terucap dengan mudah sekaligus sebagai peringatan.
“Saya ingin melihat keadaan ke wilayah perbatasan”, Pangeran Wang Jung mengajukan permintaan, ia ingin sejenak meninggalkan suasana istana yang mengerikan.
“Pergilah, restuku untukmu, tetapi jangan berjalan hingga jauh di garis depan,  ibu pasti khawatir”, Yang Mulia Raja menyetujui keinginan Pangeran Wang Jung.
“Aku ingin melangkah hingga pada batas terjauh, selama ini cukuplah menjadi seorang pengecut”, sesaat Pangeran Wang Jung menatap wajah Yang Mulia Raja. "Aku akan melihat sendiri berapa lama sebenarnya mampu bertahan hidup? Aku harus membayar kejahatanmu", tatapan Pangeran Wang  Jung semakin tajam. Ia tak menghendaki sebuah pertemuan yang beralama-lama, cukup sudah waktu berpamit.
Sebelum pergi Pangeran Wang Jung meletakkan dua buah patahan anak panah yang sengaja diambil dari tubuh mati Pangeran Wang Eun. Tiba-tiba sepasang mata Yang Mulia Raja terbelalak lebar, ia akan selalu teringat anak panah yang membunuh Pangeran ke-10 , samar seakan ia mendengar rintihan Wang Eun dari alam kubur. Bulu kuduknya meremang ketika suara rintihan itu semakin lama semakin keras. Wang Eun meminta keadilan, Yang Mulia Raja tahu, ia harus melakukan sesuatu,”Siapkan sesaji bagi mereka yang sudah berpulang di Gaeguksa, sekarang”, perintah Yang Mulai kepada kasim istana, ia mulai merasa arti takut setelah melihat patahan anak panah.
Pertemuan hari itu usai sudah, semua orang meninggalkan ruang tahta. Jenderal Park berucap dengan sinis, “Semoga Wang So panjang umur, karena mendapatkan semua hadiah dari Raja  setelah membunuh anak dan menantuku”, wajah tua sang jenderal menatap Pangeran Wang So dengan penuh dendam, ia tak pernah mengerti duduk persoalan yang sebenarnya.
“Mengapa ada seorang pangeran membunuh saudara kandungnya?” seorang pejabat yang lain berbisik.
“Benarkah masih tersisa perasaan seorang manusia?” suara yang lain kembali terdengar. Sepoi angin membawanya ke telinga Pangeran ke-4.
 Sang pangeran menghela napas panjang, ia menjadi kambing hitam bagi kematian Pangeran Wang Eun. Masih pantaskah ia menetap di dalam dinding istana? Sanggupkah ia menerima seluruh tudingan ketika ia bahkan dihimpit berat penyesalan, karena kematian itu?   
Sementara ingatan Jenderal Park kembali pada masa lampau, saat Pangeran Wang So, Choi Ji Mong,  dan Pangeran Baek Ah datang menemuinya. “Saya telah mendengar perihal rencana Pangeran ke-4 untuk menjadi raja”.
“Setiap orang berhak memiliki keinginan”, jawab Pangeran Wang So.
“Choi Ji Mong selalu berkata, ia melihat Pangeran Wang So memiliki bintang raja. Mendiang Raja Taejo juga mengatakan hal yang sama, makanya Raja Taejo menitipkan Pangeran kepada saya untuk diajari bela diri”, Jendral Park berucap tenang meski hatinya berkecamuk galau perasaan.
"Bintang Raja? Aku tidak mempercayai hal-hal seperti itu. Akan tetaapi tetap saja aku harus menjadi seorang raja. Jika aku dipaksa membunuh karena alasan itu, maka aku harus menduduki kursi itu untuk menghentikan semua ini".
“Mendiang Raja Taejo pernah pula berkata, bahwa demi negara dan keluarga kerajaan, seorang raja harus rela menyingkirkan semua orang. Siapa yang akan Pangeran So singkirkan demi menjadi raja?”
                                                                        ***
Hari berikutnya Pangeran Baek Ah datang menemui Hae Soo, “So sudah berangkat ke Seokyeong dan tidak akan kembali untuk beberapa lama”, Baek Ah tahu, Hae Soo pasti merasa  kehilangan. Ia tak banyak berucap ketika melihat Hae Soo berlari menuju ke pinggir danau untuk menemukan sosok Pangeran ke-4, tetapi sosok yang dicari benar telah lesap menuju jarak yang amat jauh.
"Aku akan menunggumu", kepala dayang itu berbicara kepada angin dengan harapan yang sangat tipis Pangeran Wang So tahu, ia akan selalu menunggu.
Musim demi musimpun berganti, setelah gugur kuncup bunga kembali mekar, tunas hijau kembali bersemu. Pangeran Wang So belum juga kembali, Hae Soo masih tetap menunggu sambal mengerjakan tugas sehari-hari di Damiwon. Di sela-sela kesibukan bekerja Hae Soo masih sering duduk termenung di tepi danau  hingga satu kali Chae Ryung tiba-tiba datang tergesa, “Ada tamu untukmu”, senyum samar menghias wajah dayang itu.
Tanpa menunggu kata-kata selanjutnya Hae Soo tergesa melangkah kembali ke istana, harapan melambung tinggi untuk bertemu Pangeran Wang So. Akan tetapi, dalam sekejab harapan itu berserakan, ia tidak mendapatkan sosok pangeran yang ditunggu hingga dua kali musim berganti.  Tamu itu bukan Pangeran ke-4, tetapi Pangeran Wang Jung. Mengapa Pangeran ke-14 mesti mencarinya? Hae Soo menekan rasa kecewa. Dimanakah Pangeran Wang So?
Akan tetapi, Hae Soo cepat tanggap, ia segera menyajikan teh panas serta menemui Pangeran Wang Jung dengan santun. “Aku baru berziarah ke makam Eun dan Soon Duk…. Aku kira engkau sudah menikah dan meninggalkan istana”, Pangeran Wang Jung menatap wajah lembut Hae Soo, wajah yang tak pernah berubah sejak pertama ia mengingat ketika kepala dayang itu membelanya dari niat jahat para perompak. Kepala dayang itu pasti tak tahu isi hatinya, ia memang tidak perlu tahu.
“Aku akan bekerja  dan menabung semua pendapatan yang kuterima. Jika pension nanti aku akan pergi berlibur ke tempat yang jauh”, Hae Soo mencoba tersenyum, tak sedikitpun muncul tanda tanya, mengapa Pangeran Wang Jung harus menyempatkan diri datang berkunjung?
Saat melangkah keluar, keduanya bertemu Pangeran Baek Ah dan Woo Hee. “Woo Hee, dayang di Gyobang”, Hae Soo memperkenalkan dara manis itu kepada Pangeran ke-14.
"Ah, si mantan gisaeng itu?" sekilas Pangeran Wang Jung melirik Woo Hee nyaris tanpa rasa hormat. “Mengapa Baek Ah karena selalu berteman dengan semua orang, dengan pembunuh dan sekarang dengan gisaeng”.
“Sebelum berkata alangkah lebih baik bila seorang pangeran mesti mempertimbangkannya”, wajah rupawan Pangeran Baek Ah berkerut, ia merasa tidak bias mendengar kata-kata itu dengan nyaman.
“Alangkah baik juga harus mempertimbangkan untuk bersahabat dengan So, ia bisa membunuh siapa saja, termasuk engkau saudara yang disayanginya”, sekilas Pangeran Wang Jung melirik wajah Pangeran Baek Ah. “O ya, dan berhentilah mengirim mata-mata yang menyamar jadi penghibur ke pangkalan militer”, kali ini suara Pangeran Wang Jung lebih tegas.
“Aku tak pernah mengirim seorang mata-mata, pekerjaan melelahkan yang tidak ada hasilnya”, Pangeran Baek Ah menyangkal.  Sekejab sang pangeran tertegun,  ketika Pangeran Wang Jung pergi pergi berlalu, Baek Ah tidak bisa  menahan diri untuk tidak bertanya kepada Woo Hee, "Bagaimana Jung bisa tahu? Dia cepat juga menerka".
"Meskipun seorang panglima,  Jung tampak lucu",  Woo Hee menyampaikan pendapat tentang sosok Pangeran ke-14.
Sementara Hae Soo membelalakkan sepasang matanya yang indah mendengarkan kata-kata Pangeran Baek Ah, “Jadi, benar pangeran mengirim mata-mata ke pangkalan militer?” Hae Soo bertanya.
“Aku hanya ingin mengetahui keadaan Jung”, Pangeran Baek Ah selalu punya alasan.
Hae Soo masih membelalakkan mata, tetapi diam-diam ia melirik ke beberapa sudut dengan satu pertanyaan. Dimana Pangeran Wang So? Tanpa sadar Hae Soo bertanya dengan suara berbisik, “Dimana Pangeran Wang So?”
“Pada suatu tempat di istana. Engkau tidak tahu bila So sudah kembali?”  Pangeran Baek Ah balik bertanya.
                                                                         ***
Pada suatu tempat di istana pula Yang Mulia Raja tampak tak mampu menguasai diri, wajahnya memucat bagai helai kafan, lingkaran hitam membayang pada kedua mata, sementara tangannya sibuk membunyikan lonceng, menabuh gong,  mulutnya berkomat-kamit mengucap mantra. Di meja altar tampak beberapa patung Buddha dan jimat. Yang Mulia Raja tengah melakukan ritual mengusir setan.
Ratu Yoo datang tak lama kemudian, Yang Mulia Raja semakin keras membunyikan kentongan, telinganya tak  mendengar suara apa-apa ketika ibunda  berucap, “Jung sudah kembali”. Yang Mulia Raja berhenti membunyikan kentongan saat Ratu Yoo memegang tangannya.
“Engkau semakin sakit-sakitan, lebih baik mengangkat Jung sebagai putra mahkota sekaligus penerus”, sang ratu benar merasa cemas melihat keadaan Yang Mulia Raja, kesehatannya terus memburuk, kewarasannya bahkan harus dipertanyakan.
“Sebenarnya ibu menganggapku apa? Hewan yang bisa dikorbankan demi mendapatkan tahta. Aku tidak akan segera mati, dalam tahun-tahun terakhir ibu selalu mengomel seolah pemakaman Raja Goryeo sedang dipersiapkan!” amarah Yang Mulia Raja meletup, ia berada dalam keadaan sengsara, mestinya seorang ibu suri membantunya melewati kesengsaraan itu. Bukan sebaliknya, memintanya melepaskan tahta. "Atau Jung juga ingin menjadi raja?" Yang Mulia Raja kini curiga. Sepasang mata Raja Wang Yo menatap Ratu Yoo dengan kalap, seakan ia hendak menelan seluruh sosok sang ratu. Di pihak lain bulu kuduk Ratu Yoo meremang, tatapan mata Yang Mulia Raja menimbulkan ketakutan hebat.
“Pangeran Wang So datang ….” tiba-tiba pengawal mengumumkan kedatangan Pangeran Wang  So. Saat sang pangeran hadir di ruangan Yang Mulia Raja tertawa keras-keras hingga seluruh dinding bergetar, “Bila ibu menjadi takut dengan keshatanku lebih baik aku memastikan So sebagai putra mahkota”, Yang Mulia Raja terus tergelak, tawa mengerikan yang sama sekali tidak mencerminkan kegembirann, tetapi sebaliknya, ia begitu ketakutan.
Ratu Yoo terpana, ia bisa menangkap pertanda, anak yang pernah dilahirkan kini kehilangan kewarasan, karena suatu hal. Ratu Yoo merasa  langit-langit istana nyaris runtuh, napasnya sesak, ia tak mampu lebih lama berdiri di tempat ini. Dengan lutut setengah gemetar sang ratu pergi.  
Di halaman istana Pangeran Wang Wook dan Wang Jung dalam perjalanan menemui Yang Mulia Raja, keduanya berpapasan dengan Hae Soo. Pangeran Wang Wook menatap wajah lembut cukup lama –pernahkah barang sekejab ia melupakan wajah itu? Hae Soo mengangguk layaknya seorang dayang menghormati pangeran Goryeo, seolah ia tak pernah memiliki pengalaman indah bersama sang pangeran.
Saat ketiganya masuk ke kamar Yang Mulia Raja, Raja Wang Yo tengah melampiaskan amarah kepada Pangeran Wang So, “Pembangunan di Seokyeong amat lamban, apa sebenarnya yang bisa engkau kerjakan?!” suara Yang Mulia Raja geram. Sementara Hae Soo tertegun ketika menatap sosok Pangeran Wang So di kamar raja. Akan tetapi ia tak memiliki cukup waktu untuk terus tertegun, ia segera melakukan pekerjaan utama, menyajikan teh untuk Raja Wang Yo.
“Pembangunan istana di Seokyeong lambat, karena kekurangan tenaga manusia dan persediaan bahan baku. Pekerjaan tak dapat diteruskan tanpa bahan baku”, Pangeran Wang So memberikan sebuah alasan.
Yang Mulia Raja tak dapat menerima alasan itu, ia melempar cangkir ke arah Pangeran Wang So kemudian mencengkeram tangan Hae Soo erat-erat, “Pekerja harus dipaksa menyelesaikan istana tepat waktu, harusnya engkau mengerti akan hal itu!” cengkeraman tangan Yang Mulia Raja semakin kuat. Hae Soo kesakitan, jeritan  kecilnya tertahan.
Pangeran Wang Jung berniat membantu Hae Soo, tetapi Pangeran Wang Wook memegangi tangan Pangeran Wang  Jung, “Tidak perlu terlibat….”
Sesaat Pangeran Wang So terdiam, gagu sebelum akhirnya berlutut, mengakui kesalahannya. Sementara Pangeran Wang Wook segera mengatasi keadaan dengan membujuk Yang Mulia Raja, “Kita  akan membahas masalah ini pada hari berikut”, maka Yang Mulia Raja akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya pada Hae Soo.
Malam hari, Chae Ryung mendapati Hae Soo tengah menulis puisi yang pernah diberikan Pangeran Wang So. Dalam hati Chae Ryung bergumam, mengapa Hae Soo sering sekali menulis kalimat itu?  Seakan ia bisa mengenali kesamaan bentuk huruf-huruf yang tersurat. Malam kian menukik, tetapi Hae Soo kesulitan memejamkan mata,  ada yang mengganjal di hati. Benarkah Pangeran Wang So melupakan setelah janji itu? Chae Ryung menangkap kegelisahan itu, ia mengambil satu saran, “Apakah sebaiknya kita mencari udara segar di luar?”
Hae Soo pun jalan-jalan membiarkan dirinya direnggut angin malam, ketika mendapati Pangeran Wang So berdiri di tepi danau, Chae Ryung segera mengundurkan diri. Akan tetapi, Pangeran  ke-4 segera menjauh. Ia tak menghendaki pertemuan ini, Hae Soo cepat berucap. “Dua tahun sudah, benarkah Pangeran ke-4 melupakan semuanya?” 
“Benar, aku memang harus melupakan. Aku bukan sengaja datang ke tempat ini”, suara Pangeran Wang So sama dinginnya dengan angin malam.
“Pangeran benar sudah melupakan, tetapi aku tidak”,  Hae Soo memeluk Pangeran Wang So dari belakang, ia telah dihantam rindu seakan ribuan tahun.  “Tetaplah di sini sebentar saja, pangeran  pergi tanpa berpamit".
Perlahan tangan Pangeran Wang So terangkat, niatnya memegang tangan Hae Soo, tetapi perlahan tangan itu terhenti, kemudian terkepal. “Apakah pangeran masih membenciku?” air mata Hae Soo berlinang.
Wajah Pangeran Wang So mengeras, tanpa suara ia melepaskan pelukan Hae Soo kemudian berlalu. Tak sedikitpun sang pangeran melirik wajah Hae Soo. Perasaan itu seakan telah mati.
                                                                         ***
Diam-diam Woo Hee menghadap Yang Mulia Raja, ia harus menyampaikan sesuatu, “So sedang merencanakan sesuatu dengan beberapa klan di Songak, sengaja memperlambat pembangunan ibu kota baru dan melakukan hal-hal tidak terpuji untuk mencegah pembangunan istana baru. Pengawasan pembangunan tidak bisa dilaksanakan, karena Wang Sik Ryeom sedang sakit”.
“So melakukan semua ini untuk mendapatkan tahta!!” suara Yang Mulia Raja menggelegar, menggetarkan lapisan dinding. Ia merasa dikhianati.
“Mengapa Yang Mulia melanggar kesepakatan kita?” suara Woo Hee diliputi sesal, wajah cantiknya tampak muram, ia telah bersepakat dengan seorang yang tak mampu memegang janji. “Yang Mulia memberi perintah agar warga yang tidak membayar pajak harus melakukan kerja paksa. Rakyat Hubaekje yang miskin dipaksa melakukan kerja pembangunan, mereka menderita”, air mata Woo Hee nyaris meleleh. "Apa gunanya saya tetap menjadi mata-mata bagi Yang Mulia?"
Woo Hee mengira Yang Mulia akan menyadari kesalahannya dan memberikan keringanan bagi rakyat Hunaekje yang menderita. Gadis itu nyaris terlonjak, ketika melihat Yang Mulia Raja  tergelak. Seorang raja bahkan tidak tahu membayar jasa baik orang yang bersepakat. “Apa engkau  mau berhenti sebagai mata-mata?” suara itu sinis.
“Benar, tidak ada gunanya diteruskan jika tak ada untungnya”, lidah Woo Hee terasa pahit, ia telah menjadi kaki tangan dari seorang yang salah.
“Tuan Putri Woo Hee hentikan persengkokolan ini, dan akan kusampaikan kepada Baek Ah, bahwa Woo Hee selama ini adalah anjingnya Raja”, sepasang mata Yang Mulia menatap dalam-dalam, ia tahu hal yang paling tersembunyi pada diri Woo Hee. Maka, suasana menjadi  hening.
                                                                      ***
Suasana di tepi danau selalu memberikan rasa nyaman, karena permukaan air yang jernih memantul serta kelopak mekar bunga dan hijau daun yang rimbun. Pangeran Wang So tampak termenung,  kenangan indah bersama Hae Soo ternyata tak mudah dilupakan, ia tak mampu membunuhnya. Sesaat wajah tampan itu mengumum senyum, sesaat. Terngiang kembali suara kepala dayang itu,  “Apakah pangeran masih membenciku? Benarkah ia mampu membencinya? Sang pangeran bertanya kepada diri sendiri tanpa menemukan jawab.
Pangeran Wang So menghela napas panjang kemudian membalikkan badan. Ia terpaku, ternyata Hae Soo berdiri tepat di belakangnya. Mereka saling menatap tepat tanpa  kata. Pada waktu  yang sama Yang Mulia Raja bersama Pangeran Wang Won tiba di paviliun di dekat danau. Baik Pangeran So maupun Hae Soo tak menyadari kehadiran Yang Mulia Raja bersama pengawal.
“Benarkah Yang Mulia Raja masih mempercayai So, walaupun sudah menyatakan bersetia sebagai sekutu? Benarkah Yang Mulia Raja benar-benar percaya kalau kedua orang itu sudah tidak memiliki  perasaan antara yang satu dengan yang lain?” Pangeran Wang Won bertanya.
“Aku sudah memastikan, So dan Hae Soo tidak pernah saling berkirim surat selama mereka berpisah”, jawab Yang Mulia Raja.
“Bisakah Yang Mulia memastikan kepercayaan itu?” Pangeran Wang Won tidak kehilangan akal.
Yang Mulia Raja menyadari kebenaran kata-kata Pangeran Wang Won, ia segera meraih sebatang anak panah, merentang gendewa, membidiknya pada tubuh Hae Soo dengan satu akibat fatal. Kepala dayang itu akan mati. Pangeran Wang So segera mencium tanda bahaya, sigap ia menarik Hae Soo, menghindarkan dari sasaran anak panah. Hae Soo masih menddapatkan kehidupan, akan tetapi tapi anak panah itu berhasil melukai lengan Pangeran Wang So hingga sang pangeran roboh terguling. Darah menetes.
Hae Soo terpengarah, ia tak  pernah menyangka Yang Mulia Raja ternyata mengharapkan kematiannya di ujung sebatang anak panah yang sengaja direntangkan. Wajah kepala dayang itu memucat ketika melihat lengan Pangeran Wang So berdarah, ia mencoba  meraih lengan itu, tetapi Pangeran Wang So menampiknya. Ketika Yang Mulia Raja dan Pangeran Wang Won datang menghampiri keduanya, tergesa Pangeran Wang So bangkit.
“Aku sedang latihan, parahkah luka itu?” Yang Mulia Raja berpura-pura cemas.
“Sepertinya hubungan kalian berdua masih baik-baik saja”, Pangeran Wang Won berucap, ia selalu bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Wang So harus jatuh cinta dengan seorang dayang?
“Tidak, lama kami tidak berkabar. Akan tetapi, bukan suatu hal terpuji bagi seorang raja  membunuh seorang dayang istana hanya untuk latihan”, Pangeran Wang So tak pernah menyangka  seorang raja bahkan berani membidikkan anak panah kepada seorang dayang tanpa alasan apa-apa, tanpa mencemaskan akibatnya.  
Raja Wang Yo tak menanggapi kata-kata Pangeran Wang So. Pangeran ke-4 dengan sigap menyelamatkan Hae Soo dari kematian, dengan merelakan lengannya berdarah. Bukankah hubungan keduanya masih baik-baik saja? Tak berapa lama kemudian Yang Mulia pergi berlalu  tanpa lebih lama perbincangan. Adapun Pangeran Wang So melakukan hal yang sama, pergi berlalu meninggalkan Hae Soo seorang diri –-juga tanpa perbincangan apa-apa.
Hae Soo mengambil anak panah yang tertancap pada batang pohon, kemudian  memanggil Woo Hee, berbisik, “Ada yang harus kusampaikan kepada Pangeran Baek Ah”, Woo Hee tahu arti bisikan itu.
Keesokan harinya Pangeran Baek Ah berkabar, “So akan berangkat kembali ke Seokyeong, tetapi luka pada lengannya membesar, ia harus berobat dan istirahat. Aku sudah menyuruh semua orang pergi, engkau bisa menjenguknya”.
Hae Soo mengangguk, tahu apa yang harus dilakukan. Ketika melangkah perlahan menuju relung kamar, tampak Pangeran Wang So terbaring dengan luka menganga pada bagian lengan. Keringat dingin membanjir, ia tampak kesakitan. Hae Soo menempelkan ramuan obat pada luka menganga itu, sesaat kemudian Pangeran Wang So  membuka mata, pandangannya buram. Ia bahkan tidak sepenuhnya menyadari, apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ribuan bintang seakan bersliweran kemudian runtuh saling menabrak menimbulkan kepanikan, satu tabuh kemudian tubuh lunglai itu terkulai pingsan.
Darah Hae Soo tersirap, Pangeran Wang So bukan hanya terluka pada bagian lengan, akan tetapi terdapat pula bekas luka pada bagian tubuh yang lain. Kepala dayang itu menghela napas panjang, kehidupan seorang pangeran ternyata tak seindah seperti bayangan kebanyakan orang. Bekas luka serta luka menganga pada lengan itu adalah buktinya. Kepala dayang itu menyelesaikan upaya pengobatan, sehingga luka pada lengan sang pangeran tidak berakibat fatal. Maka sang pangeran tertidur dengan lelap, melupakan segala rasa sakit.
Ketika terbangun Pangeran Wang So merasa rasa sakit pada luka di bagian lengan mulai berkurang. Sulit melukiskan beragam perasaan ketika mendapati Hae Soo tertidur dalam keadaan lelah di pojok ruangan. Perlahan Pangeran ke-4 bangkit mendekat ke Hae Soo. Sanggupkah ia membenci dayang itu? Tangan Pangeran Wang So terulur  hendak membelai wajah Hae Soo, pada saat yang sama Hae Soo terbangun.
Dengan canggung Pangeran Wang So menarik kembali tangannya, “Mengapa ada di sini?”
“Ada sesuatu yang harus kutanyakan pada pangeran, aku meminta bantuan Baek Ah untuk pertemuan ini”.
“Tanyakan, kemudian pergi setelah ini”.
“Benarkah pangeran melupakanku? Bila pangeran tidak menyukaiku lagi, bukankah hal itu kebohongan?"
“Pergilah”.
"Kita sedang tidak berada di istana, raja tidak sedang mengawasi. Aku mempertaruhkan hidup menyelinap dari istana demi pertanyaan ini. Selama dua tahun aku menunggu setiap hari. Aku ingin kembali ke saat itu, selalu berharap dan berharap lagi.  Harus kusampaikan, bahwa aku mempercayaimu….” Hae Soo masih ingin menanyakan beberapa hal, sebelum kembali bertanya, bahkan Pangeran ke-4 yang balik bertanya.
“Apakah engkau masih mencintaiku?” pertanyaan Pangeran Wang So tanpa terduga. Sesaat sang pangeran terdiam ragu, sebelum akhirnya berbalik, mencium Hae Soo. Air mata Hae Soo menitik bagai rinai gerimis, sesaat keduanya bertatapan tanpa kata. Lembut tangan Pangeran ke-4 mengusap air mata Hae Soo, ia telah menipu diri bila berucap tak mencintai dayang ini. Pertanyaan Hae Soo terjawab sudah, hati keduanya kembali menyatu pada sebuah ciuman serta dekap erat.
Wajah Hae Soo tampak damai bagai permukaan air telaga ketika berbaring di sisi Pangeran Wang So dengan sepasang mata terpejam. Sesaat setelah terbangun Hae Soo tahu penantiannya tak sia-sia, ia tak salah menunggu dan tetap menunggu. Maka keduanya melewatkan malam dengan bermain bayangan. Keesokan paginya, So kesulitan memakai sumpit, Hae Soo harus menyuapinya. Waktu seakan berdetik dengan damai, perpisahan yang panjang ini berakhir.
Selanjutnya malampun jatuh, keduanya duduk saling bersandar sambil menatap langit yang gemerlap oleh bintang-bintang. “Tahukah rasi bintang Pegasus? Lihat….” jari telunjuk Hae Soo menuding pada suatu tempat di langit tinggi.
Keduanya masih  ingin hanyut dalam kebersamaan pada malam penuh bintang setelah perpisahan dan jarak yang jauh. Akan tetapi, tiba-tiba Ji Mong tergesa datang, wajahnya cemas, “Kesehatan raja  semakin memburuk. Semula utusan dari Jurchen datang untuk melakukan ritual.  Maka, ia memilih hari penuh petir dengan maksud untuk menaku-nakuti raja. Ternyata si utusan tersambar  petir beneran,  meninggal tepat di hadapan raja.  Menurut tabib istana, raja sangat terkejut hingga terguling  pingsan.
Sesungguhnya Yang Mulia tak pernah menduduki singgasana dengan damai, setiap malam ia terbangun, melihat hantu Pangeran Wang Eun bergentayangan di relung kamar, meratap bagi permohonan terakhir. Ketakutan Yang Mulia Raja Wang Yo semakin menjadi ketika hantu Raja Taejo dan Raja Hyejong hadir pula dengan tatapan penuh teguran atas perbuatannya selama ini. Kali ini Yang Mulia tak mampu menghadapi kematian secara tiba-tiba dari seorang utusan yang tersambar petir. Tubuh rapuh itupun terguling.
Pangeran Wang Wook menemukan Raja Wang Yo terbujur di lantai. Lututnya menggigil, “Panggil tabib istana!” suara itu seakan jeritan bagi pengawal raja. “Siapkan kuda!” Pangeran ke-8 harus menemui Wang Sik Ryeom di Seokyeong.
Sementara suara Ji Mong seakan  bisikan yang telah lama dipersiapkan ketika berucap di telinga Pangeran Wang So, “Saatnya sudah tiba, Wook dan Jung sedang pergi, sementara Jenderal Park dan keluarga Kang di Shinju sedang bersiap untuk mengendalikan seluruh tentara kerajaan dan keluarga penguasa. Saatnya membuat keputusan”, Choi Ji Mong telah melihat jauh ke depan, ia seakan telah membaca takdir, siapa Raja Goryeo selanjutnya.
“Apakah pangeran benar-benar ingin menjadi raja?” Hae Soo bertanya.
“Benar….” tatapan Pangeran Wang So menerawang jauh, ia telah cukup belajar menjadi pendukung raja dengan akibat yang tidak mudah. Salahkah seorang pangeran bermimpi menjadi raja?
“Untuk alasan itu pangeran meninggalkanku?”
“Aku pergi, karena raja memanfaatkanmu untuk mendapatkanku, dan raja akan terus memanfaatkanku untuk  mengganggumu”.
“Bagaimana jika aku meminta pangeran menyerah menjadi raja?” Hae Soo bertanya.
“Aku akan terus meyakinkanmu sampai engkau berkata, bahwa apa yang kulakukan ini tidak salah”.
“Pangeran pernah sampaikan tidak perlu menjadi raja, yang penting kita bisa selalu bersama. Mengapa ucapan serupa tak terdengar lagi?”
"Kita sudah janji untuk tidak saling berbohong. Aku memulai semua ini untuk mengakhiri pertumpahan darah di di lingkungan istana.  Saat membangun istana baru di Seokyong, aku sadar bahwa dunia bisa berubah jika raja berubah. Aku tidak akan dikendalikan oleh siapapun, bisa meghentikan segala hal yang tidak masuk akal,  menjadi raja... adalah hal yang paling kuinginkan”.


Bersambung ke Scarlet Heart, Ryeo Episode 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...