Park Soon Duk berusaha keras melawan para
prajurit seorang diri, ia tahu hidup matinya tengah dipertaruhkan.
Adakah ia masih akan dapat menatap esok bersama sang pangeran
selama-lamanya. Ia adalah seorang prajurit perempuan yang terbiasa
menebaskan pedang, andai kali ini adalah pertempuran yang seimbang. Akan
tetapi, prajurit kerajaan terlalu banyak. Pangeran Wang Eun sadar akan
akibat yang harus dipikul ketika memutuskan untuk menyertai Soon Duk,
bukan bersembunyi. Ada yang bergetar di relung hati, ia harus
menebaskan pedang tanpa kemampuan tempur sama sekali, ia tidak sedang
bertempur melawan pasukan musuh dari kerajaan tetangga, tetapi dengan
prajurit Goryeo di bawah perintah Raja Wang Yo. Mengapa seorang saudara
tua tega membantai adinda, karena ia tidak memberikan dukungan? Pangeran
Wang Eun tahu, ia tak akan pernah memenangkan pertarungan ini, meski
Park Soon Duk adalah seorang parjurit wanita, putri seorang jenderal
pula. Dari lantai atas Yang Mulia Raja Wang Yo menatap perkelahian itu
dengan tatapan dingin. Ia harus menyingkirkan pengkhianat sebelum tahta
terancam.
Saat seorang prajurit berhasil melukai Park Soon Duk, Pangeran
Wang Eun nyaris menjerit, leleran merah darah itu benar menakutkan. Apa
yang akan terjadi dengan seorang istri ketika terlibat dalam perkelahian
antara hidup dan mati? Sesal terlambat datang, sejak perkawinan ia
nyaris tak pernah berlaku sebagai suami yang bijak, betatapun Park Soon
Duk mencintai dan memberikan seluruh hidup. Ia telah berlaku semena-mena
sejak hari perkawinan, akan tetapi tidak untuk saat ini. Ia berusaha
melindungi Soon Duk dari luka berikutnya.
“Pergilah…. Selamatkan diri!” suara Park Soon Duk kalap, ia
menyesal mengapa Pangeran Wang Eun terlibat perkelahian, bukan
menyelamatkan diri selagi tersisa sepenggal waktu.
“Tak mungkin kutinggalkan seorang istri !” Pangeran Wang Eun
membantah, bulu kuduknya meremang. Sesaat sang pangeran menatap Yang
Mulia Raja, ia masih bisa memohon satu permintaan. “Biarkan mereka
pergi. Kami tak akan pernah menginjakkan kaki di Goryeo….” Adalah
permintaan Pangeran Wang Eun terakhir. Raja Wang Yo tak hendak memerikan
pengampunan, dengan tegas Yang Mulia memberikan isyarat kepada seorang
prajurit untuk mengakhiri perlawanan itu.
Maka sang prajurit diam-diam bergerak menebaskan pedang ke arah
Pangeran Wang Eun, tangan Park Soon Duk bergerak mendorong Pangeran
Wang Eun menjauh. Maka mata pedang itu akhirnya menebas tubuh semampai
Park Soon Duk, prajurit wanita itu tersungkur berlumuran darah.
Pangeran Wang Eun menjerit, ia tak pernah mengharap hari ini terjadi,
tetapi Park Soon Duk telah terkapar atas perintah raja. Wajah sang
pangeran memucat bagai helai kafan, ia tak pernah bermimpi akan
perkawinan ini, namum bisakah ia kehilangan dengan cara yang
menyakitkan?
Pangeran Wang Eun terpengarah, masih ada sisa tenaga meraih
tubuh lunglai putri sang jenderal. “Engkau akan baik-baik saja….” Suara
itu terpatah-patah bercampur isak tangis, Wang Eun tahu keadaan Park
Soon Duk sudah sedemikian buruk, darah itu tak akan pernah berhenti
membanjir. Saat bertatapan hati sang pangeran remuk redam, ia dapat
merasakan pandangan seorang istri yang mencintai setulus hati hingga
tiba hari penghabisan. Sesaat Park Soon Duk tersenyum seakan tak
menyesali hari terakhir tiba, karena ia berada dalam pelukan sang
pangeran. Tak lama kemudian prajurit wanita itu terkulai, menghembuskan
napasterakhir. Perkawinan menjadi kebersamaan teramat singkat, bahkan
sebelum hati keduanya benar menyatu. Pangeran Wang Eun tak dapat
menahan sedu sedan, air matanya membanjir bercucuran.
Dari ketinggian Yang Mulia Raja menyaksikan kematian itu dengan
wajah membeku, tak perlu ada yang ditangisi. Ia merentang gendewa,
membidikkan anak panah pada, maka lengan Pangeran Wang Eun terluka,
darah menetes. Anak panah kedua kembali siap membidik, pada saat yang
sama Pangeran Wang So datang menyelamatkan Pangeran Wang Eun, melawan
para prajurit. Yang Mulia Raja tidak peduli akan kehadiran Pangeran
ke-4, ia tetap membidikkan anak kepada Pangeran Wang Eun.
Pangeran Wang Jung dan Hae Soo tiba tak lama kemudian, Pangeran
Wang Jung berusaha membantu Pangeran Wang Eun, tetapi para prajurit
berhasil menahannya. Ketika seorang prajurit hendak menyerang Pangeran
Wang Eun, Pangeran Wang So kembali memberikan perlindungan. Yang Mulia
Raja tak membuang waktu, anak panah kedua melesat melebihi kecepatan
waktu tepat mengenai tubuh Pangeran Wang Eun. Sang pangeran roboh dalam
pelukan Pangeran Wang So. Dari jarak terukur Pangeran Wang Jung dan Hae
Soo terpaku di tempatnya berdiri dengan leher tercekik. Masih ada sisa
tenaga bagi Pangeran Wang Eun untuk permintaan terakhir, “Bukankah Hyungnim pernah berjanji pada hari ulang tahunku untuk memberi hadiah, apapun yang kuminta?” suara itu terbata-bata bercampur rintihan.
“Apa permintaan itu?” Pangeran Wang So seakan melihat maut
semakin dekat, ia telah berulang kali melihat manusia meregang nyama,
tetapi kini dalam pelukannya adalah Wang Eun, adinda tercinta. Dadanya
seakan sesak ditindis sebongkah batu.
“Tak bisa kubiarkan Soon Duk pergi seorang diri, aku harus
menyertai. Tahu apa maksudku?” suara itu semakin lemah. Sementara Yang
Mulia Raja tengah bersiap dengan anak panah ketiga.
Udara seakan dibekap halimun ketika Pangeran Wang So harus
memenuhi permintaan Pangeran Wang Eun dengan kalap. Mungkinkah ia dapat
memaafkan diri sendiri, karena memenuhi permintaan itu? Air mata
Pangeran ke-4 berlinang-linang ketika bangkit merentang bilah pedang.
Hae Soo berbisik, “Jangan ….” tetapi bisikan itu lalu bersama angin yang
beraroma anyir darah.
Segalanya seakan bukan nyata ketika Pangeran Wang So benar
memenuhi permintaan itu menebaskan pedang ke tubuh Pangeran Wang Eun,
sehingga sang pangeran dapat pergi menyertai Park Soon Duk
selama-lamanya. Pangeran ke-10 masih berusaha mengulurkan tangan bagi
Park Soon Duk, kemudian maut membawanya berpulang menuju keabadian.
Senyum Yang Mulia Raja mengembang, ia telah berhasil menumpas
pengkhianat.
Sekuat tenaga Pangeran Wang Jung melepaskan diri dari
cengkeraman para prajurit memeluk jenazah Pangeran ke-10 yang masih
hangat. Sementara Pangeran Wang So bagai dihantam godam, ia menjerit
kemudian tertawa, ia tahu akan sulit memaafkan dirinya sendiri. Betapa
ia mengasihi Wang Eun sepenuh hati, betapa ia harus memenuhi permintaan
adinda dengan mengakhiri hidupnya. Usai meluapkan penyesalan, Pangeran
Wang So berpaling menatap Yang Mulia Raja. Pada sepasang matanya
berpijar api dendam, Pangeran Wang So menunggu suatu hari untuk membayar
kekalahan ini. Tak lama kemudian Pangeran Wang So pergi, ia harus
mencari suatu tempat untuk menenangkan diri.
Sementara Hae Soo terduduk di atas tanah, seluruh tulang
belulang seakan terlepas, ia menatap tubuh Pangeran Wang Eun yang roboh
bersimbah darah dengan gemetar. Air matanya menitik, sekalilagi ia
harus menyaksikan kematian tragis di lingkungan dinding istana.
Terbayang kembali perkenalan kocak dengan Pangeran Wang Eun, sikapnya
yang kekanak-kanakan, cintanya yang tak mungkin terbalas. Wang Eun
seorang sahabat yang mengesankan, kini ia terbaring di depan mata untuk
selama-lamanya atas perintah Yang Mulia Raja. Ada luka dalam tersayat
yang tak mungkin tersembuhkan, Hae Soo bertanya-tanya kepada diri
sendiri –sampai kapan ia akan dapat bertahan dalam kehidupan seperti
ini, ketika para pangeran berebut tahta dan seolah dapat bertindak apa
saja, termasuk membantai pangeran yang lainnya.
Adapun Pangeran Wang So berjalan dengan gontai, seluruh lantai
serta dinding istana seakan dilumuri darah Pangeran Wang Eun, sepasang
matanya sembab, jantungnya berpacu lebih cepat. Ketika berpapasan dengan
Jenderal Park wajah Pangeran ke-4 semakin muram, tak ada cukup
kata-kata duka cita untuk berucap. Sesaat ia berdiri terpaku dengan
lidah kelu, bilah pedangnya bersimbah darah. Di pihak lain Jenderal Park
segera dilanda kepanikan, sikap serta mulut bisu Pangeran Wang So telah
mengucapkan perihal terburuk. Tanpa mengaatakan apapun, Jenderal Park
berlari memburu tubuh Park Soon Duk yang terkapar. Kali ini bahkan
seorang jenderal tak dapat membendung air mata, ia telah berulang kali
terancam maut, membunuh lawan. Akan tetapi, yang kini tewas dengan
tragsi adalah putri tercinta.
“Impian untuk menjadi pengantin seorang pangeran harus engkau
tebus dengan kematian”, Jenderal Park memeluk jasad Park Soon Duk yang
masih hangat, wajah itu demikian manis seakan seorang bocah. Ia harus
kehilangan bocah manis itu dengan cara yang menyakitkan. Hari ini akan
menjadi hari berkabung untuk selama-lamanya.
"Soon Dukku seorang yang keras kepala, tetapi setia dan tak
pernah berubah. Adakah Pangeran Wang Eun mencintainya?” suara itu
terpatah-patah.
"Pangeran Wang Eun sangat mencintainya. Keduanya saling
mencintai hingga pada akhir hidupnya”, tanpa ragu Hae Soo menjawab, air
matanya bening membasahi pipi.
"Kuharap engkau pergi dengan tenang ….” Jenderal Park masih
memeluk jasad Park Soon Duk, tak mudah kehilangan dengan cara seperti
ini.
"Akan kubunuh Wang So!" Pangeran Wang Jung dibakar dendam,
hatinya tercabik melihat sepasang suami istri tewas dengan semena-mena.
Mengapa harus? Ia bangkit menghunus pedang siap berhadapan dengan
Pangeran Wang So.
“Pangeran Wang Eun sendiri yang meminta Pangeran Wang So untuk
mengakhiri hidupnya, pangeran ingin menyertai Soon Duk selama-lamanya.
Pangeran So tidak bersalah”, Hae Soo menghentikan langkah Pangeran Wang.
Kata-kata Hae Soo menyebabkan langkah Pangeran Wang Jung terhenti.
“Euuunnn…..!!” Pangeran Wang Jung menjerit putus asa, langit seakan runtuh mengubur seluruh hidupnya.
Jeritan itu tak terdengar di telinga Pangeran Wang So yang
telah melangkah pergi, hatinya seakan terbakar amarah yang tidak tahu
kemana harus dilampiaskan. Ia terlibat terlalu jauh dalam kekacauan ini,
ia tak akan dapat melupakan wajah terakhir Pangeran Wang Eun saat maut
menjemput. Ia mengasihi Pangeran ke-10, tetapi harus memenuhi permintaan
terakhirnya. Saat itu Choi Ji Mong datang dengan wajah galau, ia telah
menjadi tua di dalam dinding istana dengan segala pertikaian tanpa
henti. Bulu kuduk ahli bintang itu meremang, ketika Pangeran Wang So
dengan wajah merah padam mendesis, “Ternyata aku harus menjadi anjing
pembunuh, yang menggigit majikan dan mengambil alih rumahnya. Aku
serigala gila", tanpa menunggu jawab sang pangeran pergi berlalu.
Pangeran Wang So terus melangkah, ia ingin menjauh dari
kekacauan, ia ingin melupakan, andai hari ini tak pernah ada. Ada satu
tekad mengeras di relung hati. "Aku, Wang So, akan menjadi Raja Goryeo.
Aku harus menghentikan semua kekacauan ini…"
***
Sementara Yang Mulia Raja tanpa rasa bersalah menyampaikan
perihal kematian Pangeran Wang Eun dan Park Soon Duk kepada Pangeran
Wang Wook. “Keduanya telah tiada….” tak ada wajah duka atau sesal.
Kematian itu sudah harus terjadi. Sementara Pangeran Wang Wook tampak
diam tanpa perasaan, ia terlalu pandai menyembunyikan suasan hati yang
bergolak seakan badai lautan. Bagaimana seorang raja dapat menyampaikan
perihal kematian seorang pangeran tanpa sesal?
“Pemberontakan Wang Gyu berhasil dipalsukan, rencana semula
berhasil”, Yang Mulia Raja tersenyum samar, ia telah berhasil memalsukan
sebuah kejadian dan menempatkan Pangeran Wang Eun sebagai korban.
“Selamat ….” Pangeran Wang Wook memberikan ucapan tanpa menunjukkan perasaan
“Tak ada satu pihakpun yang akan kembali mengguncang tahtaku
selaku raja. Aku akan memindahkan ibukota dari Songak ke Seokyeong pada
kesempatan pertama”, senyum Yang Mulia Raja masih tampak samar. Dengan
memindahkan ibu kota ke Seokyeong, sang paman, Wang Sik Ryeom akan
senang.
***
Malam datang lebih hitam dari ribuan malam sebelumnya, angin
lebih dingin berhembus menggigit pori-pori. Di menara bintang Pangeran
Wang So duduk terpaku, ia dihantam kehilangan yang sangat dalam. Kapan
ia bisa menatap wajah muda Pangeran Wang Eun yang tengah mencoba
berbahagia bersama putri seorang jenderal? Tak lama kemudian Pangeran
Baek Ah dating dengan wajah duka, “Eun dan Soon Duk dinyatakan sebagai
pengkhianat, tak ada pemakanan kerajaan, keduanya bahkan tak diijinkan
dimakamkan di tanah keluarga. Tak seorangpun diperbolehkan mengenakan
pakaian berkabung. Jenazah telah dibuang ke hutan supaya dimangsa burung
gagak. Kami sudah menguburkan secara diam-diam, anak panah tidak bisa
dikeluarkan dari tubuh Eun hyungnim, Jung mematahkannya",
suara Pangeran Baek Ah seakan rintihan. Ia tak menduga suatu ketika
seorang raja bisa sedemikian tega terhadap saudara muda.
"Eun masih ingat hari ulang tahun setelah aku melupakan. Ia
masih meminta hadiah, menyertai Soon Duk pergi selama-lamanya. Hadiah
yang mengerikan yang hanya bias diberikan Pangeran ke-4 yang pernah
menjadi serigala”, Pangeran Wang So kini menyadari, betapa ia sangat
mengasihi Wang Eun. Betapa kehilangan dengan cara seperti ini, menyakiti
hati hingga ke relung terdalam. Ia akan menghentikan Wang Yi, Yang
Mulia Raja untuk tidak bertindak lebih semena-mena.
“Eun pasti akan berterima kasih atas hadiah ulang tahun itu”,
Pangeran Baek Ah mengerti kegalauan hati Pangeran Wang So. Pangeran ke-4
bukan hanya berkabung, tetapi juga berada dalam keadaan yang salah.
Tiba=tiba Choi Ji Mong datang dengan sehelai surat di tangan,
“Sudah terlambat, Surat dari Hae Soo, ia tinggalkan saat tak menemukan
siapapun di menara waktu”.
Pangeran Wang So menerima pucuk surat itu dengan tanda tanya.
Apakah isinya? Sepasang matanya membelalak ketika terbaca sederet
huruf:
Eun bersembunyi di Damiwon.
Andai surat itu terbaca sebelum Yang Mulia Raja merentangkan
tiga batang anak panah bagi Wang Eun. Pangeran Wang So tahu kemana
hendak menuju, tergesa ia melangkah ke tepi danau. Hae Soo setengah
berlari menyambut kedatangan itu, akan tetapi Pangeran Wang So
menatapnya dengan tajam, suaranya sinis, “Engkau pasti menganggapku
seekor serigala, karena telah membunuh Eun?” tak mudah bagi Pangeran
ke-4 melupakan wajah pucat Wang Eun menjemput maut.
“Aku tahu kenapa pangeran harus memenuhi permintaan itu”, Hae
Soo tertegun, ia tak menyangka Pangeran Wang So akan berucap dengam
amarah tertahan.
"Kenapa kau menyembunyikan keadaan sebenarnya, kalau Eun berada
di Damiwon? Engkau tidak bisa mempercayai seekor serigala? Kau takut
aku akan membantai Eun tanpa sebab?" suara Pangeran Wang So terucap
dengan lidah getir.
“Aku sangat mengkhawatirkan Pangeran Wang Eun, takut terjadi
hal buruk padanya. Ia juga takut terjadi sesuatu yang buruk pada
Pangeran Wang So. Pangeran Eun mengira keadaan akan berubah jika
keduanya berhasil melarikan diri. Kini segalanya terlambat sudah, antara
sesame pangeran terpaksa harus saling menyakiti satu sama lain. Maka,
aku menulis surat itu, karena masih percaya Pangeran ke-4. Segalanya
memerlukan waktu, tapi aku benar percaya apapun yang terjadi", lidah Hae
Soo sama getirnya dengan lidah Pangeran Wang So, ia tahu sang pangeran
telah berubah, karena tragedy ini.
"Tetapi, terhitung mulai hari ini segalanya tak sama lagi.
Andai engkau menyampaikan pesan pada kesempatan pertama, Eun pasti masih
masih hidup", berat bagi Pangeran Wang So menyalahkan diri sendiri, ia
perlu menghibur diri dengan menyalahkan orang lain. Hae Soo tidak
sepenuhnya memberikan rasa percaya, Wang Eun meninggal dengan tragis di
tangannya sesuai permintaan sebagai hadiah ulang tahun. Demi
menyelamatkan Hae Soo ia harus menjadi serigala bagi Yang Mulia Raja,
perasaannya tidak pernah berubah. Akan tetapi, sekarang Pangeran Wang So
benar-benar merasa hampa dan kehilangan, sesak dada harus mengutuki
diri sendiri.
Sesaat suasana di tepi danau itu hampa, sama hampa dengan perasaan dua orang yang saling meragukan kemudian kehilangan
"Segalannya telah berubah. Kita sudahi saja sekarang", wajah
Pangeran Wang So berubah ubah antara pucat dan merah padam, suasana
hatinya kacau bagai berkecamuk perang tanpa kesudahan.
“Pangeran bohong”, Hae Soo nyaris terlonjak di tempatnya
berdiri, ia telah menulis catatan rahasia yang menyatakan Pangeran Wang
Eun di Damiwon supaya Pangeran Wang So bisa menentukan langkah
penyelamatan. Surat itu terlambat sampai, tak terbaca, yang terjadi
bahkan sebaliknya, Pangeran Wang Eun berpulang dengan cara yang
mengerikan.
“Kita sudah berjanji untuk tidak saling berbohong", Pangeran
ke-4 berucap tanpa menatap wajah Hae Soo. Kematian Pangeran Wang Eun
bukan hanya menyebabkan ia kehilangan, ia telah kehilangan
segala-galanya. Dengan wajah mendung Pangeran Wang So pergi berlalu
meninggalkan Hae Soo yang berdiri terpaku seakan patung batu. Segalanya
berubah dengan cepat seakan pantai indah dihantam badai, tanpa sadar air
mata kepala dayang itu kembali menetes, entah air mata yang ke berapa
kali?
Adapun Pangeran Wang So melangkah kembali ke menara bintang
tanpa pernah menoleh lagi, seolah ia telah melupakan masa lalu untuk
selama-lamanya. Suasana di menara bintang lebih sunyi, dingin, dan
hampa. Kali ini sang pangeran tak dapat menahan duka hati, sepasang
matanya menjadi redup, berkaca-kaca. Tak lama kemudian gerimis pun
menitik.
***
Hari berikutnya Yang Mulia Raja memberikan pujian tanpa
mengetahui isi hati Pangeran Wang So yang sebenarnya. “Terima kasih
untuk membantu menghukum Eun, si pengkhianat. Ada hadiah yang harus
kuberikan adalah tanah pertanian untukmu. Kemudian pergilah ke Seokyeong
bakal ibu kota baru Goryeo, awasi pembangunan istana di sana”, samar
senyum Yang Mulia Raja tanpa menyadari betapa kosong dan hampa wajah
Pangeran Wang So. Hanya di relung hati ia berucap, ‘tak akan kubiarkan kesewenangan ini lebih lama, aku pasti akan membayarnya’.
Pertemuan singkat selesai sudah.
Berikutnya Pangeran Wang Jung datang bertanya, “Adakah Yang
Mulia Raja tidak merasa takut setelah darah tertumpah menggenangi lantai
istana?” masih terbayang tubuh Pangeran Wang Eun serta Park Soon Duk
terkapar berlumuran darah, hatinya gagu.
“Seorang tak akan menjadi raja bila tidak memiliki keberanian
menumpahkan darah, engkaupun harus berhati-hati untuk hal itu”,
kata-kata itu terucap dengan mudah sekaligus sebagai peringatan.
“Saya ingin melihat keadaan ke wilayah perbatasan”, Pangeran
Wang Jung mengajukan permintaan, ia ingin sejenak meninggalkan suasana
istana yang mengerikan.
“Pergilah, restuku untukmu, tetapi jangan berjalan hingga jauh
di garis depan, ibu pasti khawatir”, Yang Mulia Raja menyetujui
keinginan Pangeran Wang Jung.
“Aku ingin melangkah hingga pada batas terjauh, selama ini
cukuplah menjadi seorang pengecut”, sesaat Pangeran Wang Jung menatap
wajah Yang Mulia Raja. "Aku akan melihat sendiri berapa lama sebenarnya
mampu bertahan hidup? Aku harus membayar kejahatanmu", tatapan Pangeran
Wang Jung semakin tajam. Ia tak menghendaki sebuah pertemuan yang
beralama-lama, cukup sudah waktu berpamit.
Sebelum pergi Pangeran Wang Jung meletakkan dua buah patahan
anak panah yang sengaja diambil dari tubuh mati Pangeran Wang Eun.
Tiba-tiba sepasang mata Yang Mulia Raja terbelalak lebar, ia akan selalu
teringat anak panah yang membunuh Pangeran ke-10 , samar seakan ia
mendengar rintihan Wang Eun dari alam kubur. Bulu kuduknya meremang
ketika suara rintihan itu semakin lama semakin keras. Wang Eun meminta
keadilan, Yang Mulia Raja tahu, ia harus melakukan sesuatu,”Siapkan
sesaji bagi mereka yang sudah berpulang di Gaeguksa, sekarang”, perintah
Yang Mulai kepada kasim istana, ia mulai merasa arti takut setelah
melihat patahan anak panah.
Pertemuan hari itu usai sudah, semua orang meninggalkan ruang
tahta. Jenderal Park berucap dengan sinis, “Semoga Wang So panjang umur,
karena mendapatkan semua hadiah dari Raja setelah membunuh anak dan
menantuku”, wajah tua sang jenderal menatap Pangeran Wang So dengan
penuh dendam, ia tak pernah mengerti duduk persoalan yang sebenarnya.
“Mengapa ada seorang pangeran membunuh saudara kandungnya?” seorang pejabat yang lain berbisik.
“Benarkah masih tersisa perasaan seorang manusia?” suara yang
lain kembali terdengar. Sepoi angin membawanya ke telinga Pangeran ke-4.
Sang pangeran menghela napas panjang, ia menjadi kambing hitam
bagi kematian Pangeran Wang Eun. Masih pantaskah ia menetap di dalam
dinding istana? Sanggupkah ia menerima seluruh tudingan ketika ia bahkan
dihimpit berat penyesalan, karena kematian itu?
Sementara ingatan Jenderal Park kembali pada masa lampau, saat Pangeran Wang So, Choi Ji Mong, dan Pangeran Baek Ah datang menemuinya. “Saya telah mendengar perihal rencana Pangeran ke-4 untuk menjadi raja”.
“Setiap orang berhak memiliki keinginan”, jawab Pangeran Wang So.
“Choi Ji Mong selalu berkata, ia melihat Pangeran Wang So
memiliki bintang raja. Mendiang Raja Taejo juga mengatakan hal yang
sama, makanya Raja Taejo menitipkan Pangeran kepada saya untuk diajari
bela diri”, Jendral Park berucap tenang meski hatinya berkecamuk galau
perasaan.
"Bintang Raja? Aku tidak mempercayai hal-hal seperti itu.
Akan tetaapi tetap saja aku harus menjadi seorang raja. Jika aku dipaksa
membunuh karena alasan itu, maka aku harus menduduki kursi itu untuk
menghentikan semua ini".
“Mendiang Raja Taejo pernah pula berkata, bahwa demi negara
dan keluarga kerajaan, seorang raja harus rela menyingkirkan semua
orang. Siapa yang akan Pangeran So singkirkan demi menjadi raja?”
***
Hari berikutnya Pangeran Baek Ah datang menemui Hae Soo, “So
sudah berangkat ke Seokyeong dan tidak akan kembali untuk beberapa
lama”, Baek Ah tahu, Hae Soo pasti merasa kehilangan. Ia
tak banyak berucap ketika melihat Hae Soo berlari menuju ke pinggir
danau untuk menemukan sosok Pangeran ke-4, tetapi sosok yang dicari
benar telah lesap menuju jarak yang amat jauh.
"Aku akan menunggumu", kepala dayang itu berbicara kepada angin
dengan harapan yang sangat tipis Pangeran Wang So tahu, ia akan selalu
menunggu.
Musim demi musimpun berganti, setelah gugur kuncup bunga
kembali mekar, tunas hijau kembali bersemu. Pangeran Wang So belum juga
kembali, Hae Soo masih tetap menunggu sambal mengerjakan tugas
sehari-hari di Damiwon. Di sela-sela kesibukan bekerja Hae Soo masih
sering duduk termenung di tepi danau hingga satu kali Chae Ryung tiba-tiba datang tergesa, “Ada tamu untukmu”, senyum samar menghias wajah dayang itu.
Tanpa menunggu kata-kata selanjutnya Hae Soo tergesa melangkah
kembali ke istana, harapan melambung tinggi untuk bertemu Pangeran Wang
So. Akan tetapi, dalam sekejab harapan itu berserakan, ia tidak
mendapatkan sosok pangeran yang ditunggu hingga dua kali musim berganti. Tamu
itu bukan Pangeran ke-4, tetapi Pangeran Wang Jung. Mengapa Pangeran
ke-14 mesti mencarinya? Hae Soo menekan rasa kecewa. Dimanakah Pangeran
Wang So?
Akan tetapi, Hae Soo cepat tanggap, ia segera menyajikan teh
panas serta menemui Pangeran Wang Jung dengan santun. “Aku baru
berziarah ke makam Eun dan Soon Duk…. Aku kira engkau sudah menikah dan
meninggalkan istana”, Pangeran Wang Jung menatap wajah lembut Hae Soo,
wajah yang tak pernah berubah sejak pertama ia mengingat ketika kepala
dayang itu membelanya dari niat jahat para perompak. Kepala dayang itu
pasti tak tahu isi hatinya, ia memang tidak perlu tahu.
“Aku akan bekerja dan menabung semua pendapatan
yang kuterima. Jika pension nanti aku akan pergi berlibur ke tempat yang
jauh”, Hae Soo mencoba tersenyum, tak sedikitpun muncul tanda tanya,
mengapa Pangeran Wang Jung harus menyempatkan diri datang berkunjung?
Saat melangkah keluar, keduanya bertemu Pangeran Baek Ah dan
Woo Hee. “Woo Hee, dayang di Gyobang”, Hae Soo memperkenalkan dara manis
itu kepada Pangeran ke-14.
"Ah, si mantan gisaeng itu?" sekilas Pangeran Wang
Jung melirik Woo Hee nyaris tanpa rasa hormat. “Mengapa Baek Ah karena
selalu berteman dengan semua orang, dengan pembunuh dan sekarang dengan gisaeng”.
“Sebelum berkata alangkah lebih baik bila seorang pangeran
mesti mempertimbangkannya”, wajah rupawan Pangeran Baek Ah berkerut, ia
merasa tidak bias mendengar kata-kata itu dengan nyaman.
“Alangkah baik juga harus mempertimbangkan untuk bersahabat
dengan So, ia bisa membunuh siapa saja, termasuk engkau saudara yang
disayanginya”, sekilas Pangeran Wang Jung melirik wajah Pangeran Baek
Ah. “O ya, dan berhentilah mengirim mata-mata yang menyamar jadi
penghibur ke pangkalan militer”, kali ini suara Pangeran Wang Jung lebih
tegas.
“Aku tak pernah mengirim seorang mata-mata, pekerjaan melelahkan yang tidak ada hasilnya”, Pangeran Baek Ah menyangkal. Sekejab sang pangeran tertegun, ketika Pangeran Wang Jung pergi pergi berlalu, Baek Ah tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya kepada Woo Hee, "Bagaimana Jung bisa tahu? Dia cepat juga menerka".
"Meskipun seorang panglima, Jung tampak lucu", Woo Hee menyampaikan pendapat tentang sosok Pangeran ke-14.
Sementara Hae Soo membelalakkan sepasang matanya yang indah
mendengarkan kata-kata Pangeran Baek Ah, “Jadi, benar pangeran mengirim
mata-mata ke pangkalan militer?” Hae Soo bertanya.
“Aku hanya ingin mengetahui keadaan Jung”, Pangeran Baek Ah selalu punya alasan.
Hae Soo masih membelalakkan mata, tetapi diam-diam ia melirik
ke beberapa sudut dengan satu pertanyaan. Dimana Pangeran Wang So? Tanpa
sadar Hae Soo bertanya dengan suara berbisik, “Dimana Pangeran Wang
So?”
“Pada suatu tempat di istana. Engkau tidak tahu bila So sudah kembali?” Pangeran Baek Ah balik bertanya.
***
Pada suatu tempat di istana pula Yang Mulia Raja tampak tak
mampu menguasai diri, wajahnya memucat bagai helai kafan, lingkaran
hitam membayang pada kedua mata, sementara tangannya sibuk membunyikan
lonceng, menabuh gong, mulutnya berkomat-kamit mengucap
mantra. Di meja altar tampak beberapa patung Buddha dan jimat. Yang
Mulia Raja tengah melakukan ritual mengusir setan.
Ratu Yoo datang tak lama kemudian, Yang Mulia Raja semakin keras membunyikan kentongan, telinganya tak mendengar suara apa-apa ketika ibunda berucap, “Jung sudah kembali”. Yang Mulia Raja berhenti membunyikan kentongan saat Ratu Yoo memegang tangannya.
“Engkau semakin sakit-sakitan, lebih baik mengangkat Jung
sebagai putra mahkota sekaligus penerus”, sang ratu benar merasa cemas
melihat keadaan Yang Mulia Raja, kesehatannya terus memburuk,
kewarasannya bahkan harus dipertanyakan.
“Sebenarnya ibu menganggapku apa? Hewan yang bisa dikorbankan
demi mendapatkan tahta. Aku tidak akan segera mati, dalam tahun-tahun
terakhir ibu selalu mengomel seolah pemakaman Raja Goryeo sedang
dipersiapkan!” amarah Yang Mulia Raja meletup, ia berada dalam keadaan
sengsara, mestinya seorang ibu suri membantunya melewati kesengsaraan
itu. Bukan sebaliknya, memintanya melepaskan tahta. "Atau Jung juga
ingin menjadi raja?" Yang Mulia Raja kini curiga. Sepasang mata Raja
Wang Yo menatap Ratu Yoo dengan kalap, seakan ia hendak menelan seluruh
sosok sang ratu. Di pihak lain bulu kuduk Ratu Yoo meremang, tatapan
mata Yang Mulia Raja menimbulkan ketakutan hebat.
“Pangeran Wang So datang ….” tiba-tiba pengawal mengumumkan kedatangan Pangeran Wang So.
Saat sang pangeran hadir di ruangan Yang Mulia Raja tertawa keras-keras
hingga seluruh dinding bergetar, “Bila ibu menjadi takut dengan
keshatanku lebih baik aku memastikan So sebagai putra mahkota”, Yang
Mulia Raja terus tergelak, tawa mengerikan yang sama sekali tidak
mencerminkan kegembirann, tetapi sebaliknya, ia begitu ketakutan.
Ratu Yoo terpana, ia bisa menangkap pertanda, anak yang pernah
dilahirkan kini kehilangan kewarasan, karena suatu hal. Ratu Yoo merasa langit-langit
istana nyaris runtuh, napasnya sesak, ia tak mampu lebih lama berdiri
di tempat ini. Dengan lutut setengah gemetar sang ratu pergi.
Di halaman istana Pangeran Wang Wook dan Wang Jung dalam
perjalanan menemui Yang Mulia Raja, keduanya berpapasan dengan Hae Soo.
Pangeran Wang Wook menatap wajah lembut cukup lama –pernahkah barang
sekejab ia melupakan wajah itu? Hae Soo mengangguk layaknya seorang
dayang menghormati pangeran Goryeo, seolah ia tak pernah memiliki
pengalaman indah bersama sang pangeran.
Saat ketiganya masuk ke kamar Yang Mulia Raja, Raja Wang Yo
tengah melampiaskan amarah kepada Pangeran Wang So, “Pembangunan di
Seokyeong amat lamban, apa sebenarnya yang bisa engkau kerjakan?!” suara
Yang Mulia Raja geram. Sementara Hae Soo tertegun ketika menatap sosok
Pangeran Wang So di kamar raja. Akan tetapi ia tak memiliki cukup waktu
untuk terus tertegun, ia segera melakukan pekerjaan utama, menyajikan
teh untuk Raja Wang Yo.
“Pembangunan istana di Seokyeong lambat, karena kekurangan
tenaga manusia dan persediaan bahan baku. Pekerjaan tak dapat diteruskan
tanpa bahan baku”, Pangeran Wang So memberikan sebuah alasan.
Yang Mulia Raja tak dapat menerima alasan itu, ia melempar
cangkir ke arah Pangeran Wang So kemudian mencengkeram tangan Hae Soo
erat-erat, “Pekerja harus dipaksa menyelesaikan istana tepat waktu,
harusnya engkau mengerti akan hal itu!” cengkeraman tangan Yang Mulia
Raja semakin kuat. Hae Soo kesakitan, jeritan kecilnya tertahan.
Pangeran Wang Jung berniat membantu Hae Soo, tetapi Pangeran Wang Wook memegangi tangan Pangeran Wang Jung, “Tidak perlu terlibat….”
Sesaat Pangeran Wang So terdiam, gagu sebelum akhirnya
berlutut, mengakui kesalahannya. Sementara Pangeran Wang Wook segera
mengatasi keadaan dengan membujuk Yang Mulia Raja, “Kita akan membahas masalah ini pada hari berikut”, maka Yang Mulia Raja akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya pada Hae Soo.
Malam hari, Chae Ryung mendapati Hae Soo tengah menulis puisi
yang pernah diberikan Pangeran Wang So. Dalam hati Chae Ryung bergumam,
mengapa Hae Soo sering sekali menulis kalimat itu? Seakan
ia bisa mengenali kesamaan bentuk huruf-huruf yang tersurat. Malam kian
menukik, tetapi Hae Soo kesulitan memejamkan mata, ada
yang mengganjal di hati. Benarkah Pangeran Wang So melupakan setelah
janji itu? Chae Ryung menangkap kegelisahan itu, ia mengambil satu
saran, “Apakah sebaiknya kita mencari udara segar di luar?”
Hae Soo pun jalan-jalan membiarkan dirinya direnggut angin
malam, ketika mendapati Pangeran Wang So berdiri di tepi danau, Chae
Ryung segera mengundurkan diri. Akan tetapi, Pangeran ke-4
segera menjauh. Ia tak menghendaki pertemuan ini, Hae Soo cepat
berucap. “Dua tahun sudah, benarkah Pangeran ke-4 melupakan semuanya?”
“Benar, aku memang harus melupakan. Aku bukan sengaja datang ke
tempat ini”, suara Pangeran Wang So sama dinginnya dengan angin malam.
“Pangeran benar sudah melupakan, tetapi aku tidak”, Hae Soo memeluk Pangeran Wang So dari belakang, ia telah dihantam rindu seakan ribuan tahun. “Tetaplah di sini sebentar saja, pangeran pergi tanpa berpamit".
Perlahan tangan Pangeran Wang So terangkat, niatnya memegang
tangan Hae Soo, tetapi perlahan tangan itu terhenti, kemudian terkepal.
“Apakah pangeran masih membenciku?” air mata Hae Soo berlinang.
Wajah Pangeran Wang So mengeras, tanpa suara ia melepaskan
pelukan Hae Soo kemudian berlalu. Tak sedikitpun sang pangeran melirik
wajah Hae Soo. Perasaan itu seakan telah mati.
***
Diam-diam Woo Hee menghadap Yang Mulia Raja, ia harus
menyampaikan sesuatu, “So sedang merencanakan sesuatu dengan beberapa
klan di Songak, sengaja memperlambat pembangunan ibu kota baru dan
melakukan hal-hal tidak terpuji untuk mencegah pembangunan istana baru.
Pengawasan pembangunan tidak bisa dilaksanakan, karena Wang Sik Ryeom
sedang sakit”.
“So melakukan semua ini untuk mendapatkan tahta!!” suara Yang
Mulia Raja menggelegar, menggetarkan lapisan dinding. Ia merasa
dikhianati.
“Mengapa Yang Mulia melanggar kesepakatan kita?” suara Woo Hee
diliputi sesal, wajah cantiknya tampak muram, ia telah bersepakat dengan
seorang yang tak mampu memegang janji. “Yang Mulia memberi perintah
agar warga yang tidak membayar pajak harus melakukan kerja paksa. Rakyat
Hubaekje yang miskin dipaksa melakukan kerja pembangunan, mereka
menderita”, air mata Woo Hee nyaris meleleh. "Apa gunanya saya tetap
menjadi mata-mata bagi Yang Mulia?"
Woo Hee mengira Yang Mulia akan menyadari kesalahannya dan
memberikan keringanan bagi rakyat Hunaekje yang menderita. Gadis itu
nyaris terlonjak, ketika melihat Yang Mulia Raja tergelak. Seorang raja bahkan tidak tahu membayar jasa baik orang yang bersepakat. “Apa engkau mau berhenti sebagai mata-mata?” suara itu sinis.
“Benar, tidak ada gunanya diteruskan jika tak ada untungnya”,
lidah Woo Hee terasa pahit, ia telah menjadi kaki tangan dari seorang
yang salah.
“Tuan Putri Woo Hee hentikan persengkokolan ini, dan akan
kusampaikan kepada Baek Ah, bahwa Woo Hee selama ini adalah anjingnya
Raja”, sepasang mata Yang Mulia menatap dalam-dalam, ia tahu hal yang
paling tersembunyi pada diri Woo Hee. Maka, suasana menjadi hening.
***
Suasana di tepi danau selalu memberikan rasa nyaman, karena
permukaan air yang jernih memantul serta kelopak mekar bunga dan hijau
daun yang rimbun. Pangeran Wang So tampak termenung, kenangan
indah bersama Hae Soo ternyata tak mudah dilupakan, ia tak mampu
membunuhnya. Sesaat wajah tampan itu mengumum senyum, sesaat. Terngiang
kembali suara kepala dayang itu, “Apakah pangeran masih membenciku? Benarkah ia mampu membencinya? Sang pangeran bertanya kepada diri sendiri tanpa menemukan jawab.
Pangeran Wang So menghela napas panjang kemudian membalikkan
badan. Ia terpaku, ternyata Hae Soo berdiri tepat di belakangnya. Mereka
saling menatap tepat tanpa kata. Pada waktu yang
sama Yang Mulia Raja bersama Pangeran Wang Won tiba di paviliun di
dekat danau. Baik Pangeran So maupun Hae Soo tak menyadari kehadiran
Yang Mulia Raja bersama pengawal.
“Benarkah Yang Mulia Raja masih mempercayai So, walaupun sudah
menyatakan bersetia sebagai sekutu? Benarkah Yang Mulia Raja benar-benar
percaya kalau kedua orang itu sudah tidak memiliki perasaan antara yang satu dengan yang lain?” Pangeran Wang Won bertanya.
“Aku sudah memastikan, So dan Hae Soo tidak pernah saling berkirim surat selama mereka berpisah”, jawab Yang Mulia Raja.
“Bisakah Yang Mulia memastikan kepercayaan itu?” Pangeran Wang Won tidak kehilangan akal.
Yang Mulia Raja menyadari kebenaran kata-kata Pangeran Wang
Won, ia segera meraih sebatang anak panah, merentang gendewa,
membidiknya pada tubuh Hae Soo dengan satu akibat fatal. Kepala dayang
itu akan mati. Pangeran Wang So segera mencium tanda bahaya, sigap ia
menarik Hae Soo, menghindarkan dari sasaran anak panah. Hae Soo masih
menddapatkan kehidupan, akan tetapi tapi anak panah itu berhasil melukai
lengan Pangeran Wang So hingga sang pangeran roboh terguling. Darah
menetes.
Hae Soo terpengarah, ia tak pernah menyangka Yang
Mulia Raja ternyata mengharapkan kematiannya di ujung sebatang anak
panah yang sengaja direntangkan. Wajah kepala dayang itu memucat ketika
melihat lengan Pangeran Wang So berdarah, ia mencoba meraih
lengan itu, tetapi Pangeran Wang So menampiknya. Ketika Yang Mulia Raja
dan Pangeran Wang Won datang menghampiri keduanya, tergesa Pangeran
Wang So bangkit.
“Aku sedang latihan, parahkah luka itu?” Yang Mulia Raja berpura-pura cemas.
“Sepertinya hubungan kalian berdua masih baik-baik saja”,
Pangeran Wang Won berucap, ia selalu bertanya-tanya dalam hati. Mengapa
Wang So harus jatuh cinta dengan seorang dayang?
“Tidak, lama kami tidak berkabar. Akan tetapi, bukan suatu hal terpuji bagi seorang raja membunuh seorang dayang istana hanya untuk latihan”, Pangeran Wang So tak pernah menyangka seorang raja bahkan berani membidikkan anak panah kepada seorang dayang tanpa alasan apa-apa, tanpa mencemaskan akibatnya.
Raja Wang Yo tak menanggapi kata-kata Pangeran Wang So.
Pangeran ke-4 dengan sigap menyelamatkan Hae Soo dari kematian, dengan
merelakan lengannya berdarah. Bukankah hubungan keduanya masih baik-baik
saja? Tak berapa lama kemudian Yang Mulia pergi berlalu tanpa
lebih lama perbincangan. Adapun Pangeran Wang So melakukan hal yang
sama, pergi berlalu meninggalkan Hae Soo seorang diri –-juga tanpa
perbincangan apa-apa.
Hae Soo mengambil anak panah yang tertancap pada batang pohon, kemudian memanggil Woo Hee, berbisik, “Ada yang harus kusampaikan kepada Pangeran Baek Ah”, Woo Hee tahu arti bisikan itu.
Keesokan harinya Pangeran Baek Ah berkabar, “So akan berangkat
kembali ke Seokyeong, tetapi luka pada lengannya membesar, ia harus
berobat dan istirahat. Aku sudah menyuruh semua orang pergi, engkau bisa
menjenguknya”.
Hae Soo mengangguk, tahu apa yang harus dilakukan. Ketika
melangkah perlahan menuju relung kamar, tampak Pangeran Wang So
terbaring dengan luka menganga pada bagian lengan. Keringat dingin
membanjir, ia tampak kesakitan. Hae Soo menempelkan ramuan obat pada
luka menganga itu, sesaat kemudian Pangeran Wang So membuka
mata, pandangannya buram. Ia bahkan tidak sepenuhnya menyadari, apa
yang tengah terjadi pada dirinya. Ribuan bintang seakan bersliweran
kemudian runtuh saling menabrak menimbulkan kepanikan, satu tabuh
kemudian tubuh lunglai itu terkulai pingsan.
Darah Hae Soo tersirap, Pangeran Wang So bukan hanya terluka
pada bagian lengan, akan tetapi terdapat pula bekas luka pada bagian
tubuh yang lain. Kepala dayang itu menghela napas panjang, kehidupan
seorang pangeran ternyata tak seindah seperti bayangan kebanyakan orang.
Bekas luka serta luka menganga pada lengan itu adalah buktinya. Kepala
dayang itu menyelesaikan upaya pengobatan, sehingga luka pada lengan
sang pangeran tidak berakibat fatal. Maka sang pangeran tertidur dengan
lelap, melupakan segala rasa sakit.
Ketika terbangun Pangeran Wang So merasa rasa sakit pada luka
di bagian lengan mulai berkurang. Sulit melukiskan beragam perasaan
ketika mendapati Hae Soo tertidur dalam keadaan lelah di pojok ruangan.
Perlahan Pangeran ke-4 bangkit mendekat ke Hae Soo. Sanggupkah ia
membenci dayang itu? Tangan Pangeran Wang So terulur hendak membelai wajah Hae Soo, pada saat yang sama Hae Soo terbangun.
Dengan canggung Pangeran Wang So menarik kembali tangannya, “Mengapa ada di sini?”
“Ada sesuatu yang harus kutanyakan pada pangeran, aku meminta bantuan Baek Ah untuk pertemuan ini”.
“Tanyakan, kemudian pergi setelah ini”.
“Benarkah pangeran melupakanku? Bila pangeran tidak menyukaiku lagi, bukankah hal itu kebohongan?"
“Pergilah”.
"Kita sedang tidak berada di istana, raja tidak sedang
mengawasi. Aku mempertaruhkan hidup menyelinap dari istana demi
pertanyaan ini. Selama dua tahun aku menunggu setiap hari. Aku ingin
kembali ke saat itu, selalu berharap dan berharap lagi. Harus
kusampaikan, bahwa aku mempercayaimu….” Hae Soo masih ingin menanyakan
beberapa hal, sebelum kembali bertanya, bahkan Pangeran ke-4 yang balik
bertanya.
“Apakah engkau masih mencintaiku?” pertanyaan Pangeran Wang So
tanpa terduga. Sesaat sang pangeran terdiam ragu, sebelum akhirnya
berbalik, mencium Hae Soo. Air mata Hae Soo menitik bagai rinai gerimis,
sesaat keduanya bertatapan tanpa kata. Lembut tangan Pangeran ke-4
mengusap air mata Hae Soo, ia telah menipu diri bila berucap tak
mencintai dayang ini. Pertanyaan Hae Soo terjawab sudah, hati keduanya
kembali menyatu pada sebuah ciuman serta dekap erat.
Wajah Hae Soo tampak damai bagai permukaan air telaga ketika
berbaring di sisi Pangeran Wang So dengan sepasang mata terpejam. Sesaat
setelah terbangun Hae Soo tahu penantiannya tak sia-sia, ia tak salah
menunggu dan tetap menunggu. Maka keduanya melewatkan malam dengan
bermain bayangan. Keesokan paginya, So kesulitan memakai sumpit, Hae Soo
harus menyuapinya. Waktu seakan berdetik dengan damai, perpisahan yang
panjang ini berakhir.
Selanjutnya malampun jatuh, keduanya duduk saling bersandar
sambil menatap langit yang gemerlap oleh bintang-bintang. “Tahukah rasi
bintang Pegasus? Lihat….” jari telunjuk Hae Soo menuding pada suatu
tempat di langit tinggi.
Keduanya masih ingin hanyut dalam kebersamaan
pada malam penuh bintang setelah perpisahan dan jarak yang jauh. Akan
tetapi, tiba-tiba Ji Mong tergesa datang, wajahnya cemas, “Kesehatan
raja semakin memburuk. Semula utusan dari Jurchen datang untuk melakukan ritual. Maka, ia memilih hari penuh petir dengan maksud untuk menaku-nakuti raja. Ternyata si utusan tersambar petir beneran, meninggal tepat di hadapan raja. Menurut tabib istana, raja sangat terkejut hingga terguling pingsan.
Sesungguhnya Yang Mulia tak pernah menduduki singgasana dengan
damai, setiap malam ia terbangun, melihat hantu Pangeran Wang Eun
bergentayangan di relung kamar, meratap bagi permohonan terakhir.
Ketakutan Yang Mulia Raja Wang Yo semakin menjadi ketika hantu Raja
Taejo dan Raja Hyejong hadir pula dengan tatapan penuh teguran atas
perbuatannya selama ini. Kali ini Yang Mulia tak mampu menghadapi
kematian secara tiba-tiba dari seorang utusan yang tersambar petir.
Tubuh rapuh itupun terguling.
Pangeran Wang Wook menemukan Raja Wang Yo terbujur di lantai.
Lututnya menggigil, “Panggil tabib istana!” suara itu seakan jeritan
bagi pengawal raja. “Siapkan kuda!” Pangeran ke-8 harus menemui Wang Sik
Ryeom di Seokyeong.
Sementara suara Ji Mong seakan bisikan yang telah
lama dipersiapkan ketika berucap di telinga Pangeran Wang So, “Saatnya
sudah tiba, Wook dan Jung sedang pergi, sementara Jenderal Park dan
keluarga Kang di Shinju sedang bersiap untuk mengendalikan seluruh
tentara kerajaan dan keluarga penguasa. Saatnya membuat keputusan”, Choi
Ji Mong telah melihat jauh ke depan, ia seakan telah membaca takdir,
siapa Raja Goryeo selanjutnya.
“Apakah pangeran benar-benar ingin menjadi raja?” Hae Soo bertanya.
“Benar….” tatapan Pangeran Wang So menerawang jauh, ia telah
cukup belajar menjadi pendukung raja dengan akibat yang tidak mudah.
Salahkah seorang pangeran bermimpi menjadi raja?
“Untuk alasan itu pangeran meninggalkanku?”
“Aku pergi, karena raja memanfaatkanmu untuk mendapatkanku, dan raja akan terus memanfaatkanku untuk mengganggumu”.
“Bagaimana jika aku meminta pangeran menyerah menjadi raja?” Hae Soo bertanya.
“Aku akan terus meyakinkanmu sampai engkau berkata, bahwa apa yang kulakukan ini tidak salah”.
“Pangeran pernah sampaikan tidak perlu menjadi raja, yang
penting kita bisa selalu bersama. Mengapa ucapan serupa tak terdengar
lagi?”
"Kita sudah janji untuk tidak saling berbohong. Aku memulai
semua ini untuk mengakhiri pertumpahan darah di di lingkungan istana. Saat
membangun istana baru di Seokyong, aku sadar bahwa dunia bisa berubah
jika raja berubah. Aku tidak akan dikendalikan oleh siapapun, bisa
meghentikan segala hal yang tidak masuk akal, menjadi raja... adalah hal yang paling kuinginkan”.
Bersambung ke Scarlet Heart, Ryeo Episode 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar