Sabtu, 01 Juni 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- LIMABELAS

  
 



 
Pangeran Wang So tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu dengan Choi Ji Mong, ada sesuatu yang mengganjal setelah tragis kematian Raja Hyejong. Berulang-ulang ia dapat menyelamatkan Raja Goryeo yang kedua, kini dengan pahit dan penyesalan ia harus kehilangan. Pangeran Wang Yo tidak sedang bermain-main, ia benar telah melumuri tangannya dengan darah, ia bisa bertindak apa saja demi singgasana. Pangeran Wang So kini merasa dirinya tengah duduk di atas lingir pedang. Bagaimana nasibnya kemudian? Haruskah ia bertentangan dengan Yang Mulia Raja? Haruskah ia bersetia? Bagaimana pula nasib pangeran yang lain?  Dalam keadaan gamang, ia selalu memerlukan sepenggal waktu bersama Si Ahli Bintang.
“Bintang kembar Pangeran ke-10 sudah naik ke atas Istana,  lebih baik dapatkan Sang Pangeran”, Choi Ji Mong membuka pembicaraan. Setelah kematian Raja Taejo Wang Geon, kedamaian di istana retak sudah. Ia telah tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi apa yang bias ia lakukan, ia hanya dapat menatap dengan hati redam.
“Aku telah mencarinya, tetapi Eun seakan ditelan bumi. Ia bahkan tak ada di Damiwon”, Pangeran Wang So merasa lelah, tetapi ia tahu, belum tiba saat beristirahat. Ia perlu jeda beberapa tabuh, sebelum bertanya,  “Apakah aku harus percaya setiap ucapan itu?  Apa engkau sudah tahu Moo Hyungnim akan meninggal dengan mengenaskan? Apa engkau sudah tahu Pangeran ke-3 akan menjadi raja?” sepasang mata Pangeran Wang So menatap tajam Choi Ji Mong, Si Ahli Bintang bukan seperti manusia biasa, ia seakan telah melihat segalanya. Atau ia telah lebih dahulu hidup pada masa itu.
“Andai engkau adalah Choi Ji Mong, akan tahu bagaimana rasanya. Seorang yang telah mengetahui semuanya, tetapi tidak mungkin terlibat? Demikianlah nasib seorang ahli bintang. Perubahan takdir Pangeran ke-3 juga membuatku terkejut. Dia hanya lahir dengan bintang pengkhianat, ada unsur lain yang tidak kuketahui. Ada yang salah. Ada yang  berubah sehingga Pangeran ke-3 menjadi raja? Aku bahkan harus bertanya-tanya”,  pandangan Choi Ji Mong menerawang jauh, ia bahkan tidak mampu membayangkan harus mengabdi pada seorang raja –yang semula adalah Pangeran Wang Yo, betapa kejam pangeran itu.
                                                                            ***
Sementara pada sebuah ruangan Pangeran Wang Wook tengah duduk terdiam, terngiang kembali kata-kata Hae Soo,   “Hati-hati terhadap Pangeran Wang So,  jangan pernah berlawanan dengan segala keinginannya …”   kata-kata ia seperti baru hari kemarin diucapkan. Dengan susah payah  Pangeran Wang Wook berusaha menterjemahkan. Apa yang akan terjadi dengan So, mengapa ia tak boleh melawan? Soo seakan telah tahu semuanya, dan dayang itu mengkhawatirkan dirinya.
Putri Yeon Hwa datang tak lama kemudian,  ia menangkap suasana tidak nyaman pada wajah galau Wook. Apa yang telah berlaku? Apakah ia harus tetap diam, wajah jelita itu tampak pula risau. Sekilas Pangeran Wang Wook melirik sosok Putri Yeon Hwa, salahkah ia berbagi cerita?
“Ada yang membuatmu galau?” Putri Yeon Hwa bertanya, masih tersisa sepercik harapan, bahwa suatu saat, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama Wang Wook akan menjadi raja, maka ia masih berwenang pula akan segala hal kebijakan di seputar tahta.
Sesaat suasana hening, bahkan angin paling lembut sekalipun seakan enggan berkesiur.
“Hati-hati terhadap Pangeran Wang So,  jangan pernah berlawanan dengan segala keinginannya. Demikian Hae Soo pernah berkata, dan aku tak pernah dapat tidak mempercayainya.  Andai keinginan itu berarti merampas segala keinginanku. Mengapa aku harus percaya kata-kata itu?  Apa sebenarnya yang harus kulakukan?” Pangeran Wang Wook menjawab pertanyaan Putri Yeon Hwa, tanpa menyadari, betapa benci adinda terhadap dayang itu. Bagi Sang Putri, Hae Soo hanyalah seorang gadis yang hilang ingatan. Ia seperti duri di dalam daging. Soo mestinya pergi jauh-jauh dari dinding istana.
“Hae Soo …. Aku pasti akan menemuinya ….” Putri Yeon Hwa menggeram, sangat perlahan hingga Pangeran Wang Wook yang tengah menerawang jauh tak mampu mendengar.
                                                                                ***
Pangeran Wang Jung datang ke Damiwon,  berniat mencari Hae Soo, ia bertanya kepada dayang yang lewat. “Dimana Soo?”
“Maaf, saya tidak melihatnya”, sebuah jawaban singkat.
“Dimana Soo?” Sang Pangeran kembali bertanya kepada dayang berikutnya yang tengah membawa gelas dengan nampan.
Aneh,  kali ini dayang itu tidak menjawab sama sekali, bahkan  membalikkan badan. Siapakah sesungguhnya dayang itu? Mengapa berani melawan pertanyaan seorang pangeran?
“Apakah seorang dayang bisa meninggalkan sopan santun di istana?” Pangeran Wang Jung bertanya.
“Mohon maaf Yang Mulia”, dayang itu hanya menoleh sekilas,  meminta maaf dengan suara teramat pelan, nyaris berbisik. Ketika hendak kembali berbalik, cangkir yang ada di atas nampan terjatuh, dengan sigap tangan mungil dayang itu menangkapnya.
Sepasang mata jeli Pangeran Wang Jung tak melewatkan beberapa detik adegan ini, tak seorangpun dayang mampu bertindak cekatan menahan cangkir yang nyaris berkeping-keping terjatuh ke atas lantai, kecuali ia prajurit perempuan, Park Seon  Duk. Putri Jenderal Park yang tengah menyamar selaku dayang. Di depan Pangeran Wang Jung Sang Putri tak mampu lagi bersembunyi. Ia dan Pangeran Wang Eun tengah mencari tempat yang aman sebelum meninggalkan Songak, untuk sementara bersembunyi di Damiwon.
“Aku harus meninggalkan Songak pada kesempatan pertama”, Pangeran Wang Eun membuka pembicaraan.
“Tetapi jalan mana yang cukup aman? Semua jalan keluar dijaga pasukan dengan ketat”, wajah sendu Park Seon Duk tak dapat menyembunyikan bimbang.
 “Aku malu memiliki saudara tua seperti Mo, ia memang kejam”, Pangeran Wang Jung tahu, mengapa Wang Eun dan Park Seon Duk memilih pergi dari Songak, suasana tak lagi nyaman.
“Andai kita memiliki burung raksasa yang dapat terbang seperti yang pernah diceritakan Choi Ji Mong, atau lorong di dalam tanah”, Pangeran Wang Eun berandai-andai, udara Songak menyebabkan gerah.
Hae Soo memisahkan diri dari pembicaraan ini, ketika kepala dayang itu melangkah keluar Park Seon Duk mengikutinya, “Apakah aku bisa bertemu ayah dengan dukungan Choi Ji Mong, aku harus berpamitan sebelum pergi?” Putri Jenderal itu bertanya.
“Choi Ji Mong selalu bersama Pangeran So, engkau yakin akan hal itu?” Hae Soo balik bertanya, ia tidak yakin akan keselamatan Park Seon Duk.
“Mengapa engkau tidak percaya Pangeran ke-4? Bukankah kalian berdua sangat dekat?” Park  Seon Duk tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Aku punya alasan demi keselamatan kalian berdua”,  jawab Hae Soo singkat.
“Terima kasih”,  suara Park Seon Duk nyaris berbisik, ia menatap kepala dayang Damiwon dengan aneh, mengapa Hae Soo harus tidak  mempercayai Wang So? “Aku tahu perihal kabar burung Pangeran ke-4. Dia tidak akan menangkap orang tanpa alasan, kecuali dia dikhianati. Mestinya kita percaya orang yang kita sukai?” Park Seon Duk bertanya.
Pertanyaan itu menyebabkan Hae Soo  terdiam, ia teringat pesan Yang Mulia Raja,  Jangan terlalu terpaku pada masa depan sampai engkau merelakan semua yang engkau miliki sekarang. “Benar juga,  ah,  aku terlalu bodoh. Selama ini ia tak pernah berbuat salah kepadaku. Aku akan menemui si ahli bintang”,  dalam sekejab Hae Soo berubah pikiran kemudian bergegas menemui Choi Ji Mong di perpustakaan. Akan tetapi, Choi Ji Mong tidak tampak di tempatnya bekerja, kepala dayang itu menunggu sambil menulis pada sehelai kertas di meja.
Sementara Park Seon Duk dan Pangeran Wang Jung pergi ke gua untuk memindahkan batu-batu yang menutupi pintu. Putri Jenderal itu mencurahkan seluruh tenaga hingga seluruh keringat berleleran, rambutnya yang legam melekat pada batang lehernya yang jenjang. Pangeran Wang Jung tampak iba, ia meminjamkan jepit rambut dengan tulus kepada Park Seon Duk. Suatu kebaikan yang menyebabkan Putri Sang Jenderal merasa heran, mengapa Pangeran Wang Jung membawa jepit rambut wanita? “Mengapa engkau memiliki pula hiasan rambut seorang wanita?” Park Seon Deok  tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Kembalikan setelah memakainya”, Pangeran Wang Jung merasa tidak perlu memberikan jawaban yang sebenarnya. Ia berhak memiliki rahasia dengan dirinya sendiri.
“Tampaknya hiasan rambut ini sudah cukup lama, adakah engkau sengaja menyimpan, karena seseorang yang engkau cintai?” Park Seon Duk masih juga bertanya, sekilas ia dapat melihat wajah manis itu tersenyum. “Saya kira engkau hanya tahu soal bertarung,  tak akan pernah memikirkan wanita”, seakan baru tersadar, Park Seon Duk menangkap wajah Pangeran Wang Jung yang  menyembunyikan rahasia. Wanita manakah yang dicintai?
“Seseorang yang mengorbankan hidupnya untukku, yang mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkanku”, tanpa sadar Pangeran Wang berucap, terbayang kembali ketika ia diselamatkan seorang gadis belia dari pengeroyokan perompak yang  menginginkan kematiannya.  Terbayang kembali seorang gadis yang bernyanyi merdu pada pesta ulang tahun Pangeran Wang Eun, pandangan pangeran itu menerawang jauh sebelum kembali berucap, “Saat melihatnya bernyanyi, aku sadar. Suatu hari, aku ingin ia beryanyi hanya untukku. Aku mulai berharap keinginan itu akan terjadi. Apakah aku mencintainya?” Pangeran Wang Jung  tak menyebutkan sebuah nama, ia menyimpan sangat dalam di relung hati..
“Perasaanmu benar, engkau mencintainya”, Park Seon Deok menjawab, bukankah ia pernah merasakan hal serupa? Ingatan Putra Jenderal itu melayang jauh menuju suatu masa yang tertinggal jauh di belakang. Kala ia menatap dengan sedih kakanda yang berlari gembira   bersama teman-temannya.
“Waktu kakak perempuanku terpilih menjadi istri raja, semua anak perempuan keluarga penguasa berkumpul bermain bersama. Akan tetapi, aku jauh lebih nyaman memakai baju baja. Menurut anak-anak lain, aku orang yang berbeda”,  Park Seon Deok membuka kenangan lama.
“Aku lebih suka berada di medan perang dari pada melihat kakanda bermain dengan anak perempuan yang lain. Tak lama kemudian muncul seorang anak laki-laki yang memberikan bunga dan berkata, jangan menangis.  Aku tak segera menerima, secara terus menerus kutatap anak laki-laki itu, hingga bertanya. Bukankah engkau suka bunga ini?  Aku tersadar, mengapa muncul pertanyaan,  karena anak itu melihat motif bunga pada bajuku. Maka, kusembunyikan  tanganku ke belakang”, sesaat Park Seon Duk terdiam sebelum kembali meneruskan.
“Masih kuingat, anak itu menatap aneh sambal bertanya. Biasanya semua anak perempuan cantik suka bunga. Bukankah engkau juga suka bunga ini? Aku tersenyum, anak laki-laki itu adalah Pangeran Wang Eun kecil”,  wajah Park Seon Duk  berseri, ia menyimpan nama Wang Eun sejak kanak-kanak hingga hari perkawinan tiba dan selama-lamanya.
“Jika engkau benar mencintai seseorang, menyimpan namanya di relung hati, tidak perlu merasa ragu, jangan khawatir, yakinlah dengan dirimu. Tetaplah bersamanya sampai hari yang ditunggu tiba”, Park Seon Duk memberi nasehat, ia pernah mengalami hal yang sama hingga ia menunggu hari perkawinan itu tiba.
“Hwai ting….!”  Pangeran Wang  Jung berucap memberi semangat dirinya sendiri.
                                                                         ***
Sementara Putri Yeon Hwa memastikan dirinya datang ke istana, memberi salam kepada Wang Yo sebagai Raja baru, ia mengenakan pula cincin pemberian Sang Raja. Untuk cincin indah yang melingkar pada jari manis Putri Yeon Hwa, Yang Mulia Raja tertawa. Putri jelita itu bahkan menyediakan diri dating sebelum dipanggil. “Kebetulan sekali engkau datang, aku telah merencanakan pernikahananmu”, kata-kata Yang Mulia Raja menyebabkan Putri Yeon Hwa  tersenyum penuh harap.
“Aku akan mengirimmu ke Khitan. Mendiang raja pernah menjanjikan putri sulung menikah dengan Raja Khitan, namun Putri Kyung Hwa bahkan menikah dengan So. Oleh karena itu, aku  setuju mengirim anggota kerajaan. Selamat atas pernikahanmu, Yeon Hwa”, kata-kata Yang Mulia Raja benar-benar tak terduga, Putri Yeon Hwa mengira ia akan diminta untuk menjadi seorang ratu. Kiranya ia hendak dicampakkan, senyum di bibir indah itu segera sirna berganti dengan kemarahan dan kekecewaan.
“Mengapa semua orang yang duduk di takhta selalu mengancamku dengan pernikahan? Ayah dan anak ternyata semua sama saja. Apakah kalian percaya,  bahwa pernikahan adalah satu-satunya cara memperkuat sekutu dengan mengorbankan putri raja? Sulit kukatakan, tetapi aku sungguh kecewa padamu”, lidah Putri Yeon Hwa terasa getir.
“Atau engkau masih juga serakah ingin menjadi ratu? Kakakmu mengkhianatiku, engkaupun ikut pula berpihak kepadanya. Adakah engkau mengira suatu hal yang mudah menerima seluruh keluargamu sebagai ipar?” kali ini Yang Mulia Raja tak mampu lagi menutupi kekesalan terhadap Yeon Hwa, meski ia pernah mengharapkannya. Batas antara cinta dan benci ternyata nisbi adanya.
Masih adakah yang harus tetap dibicarakan?
Langkah Putri Yeon Hwa gontai ketika meninggalkan ruangan, pahit menyadari, bahwa ia tak lagi memiliki harapan, segalanya telah lama hancur berserakan. Ada yang lesap di  hati, untuk sementara ia tak tahu harus kemana mencari. Cincin indah pemberian Wang Yo dalam sekejab berubah menjadi selubung api yang membara, menyakiti. Kemarahan dan rasa kecewa bergulung menjadi satu, suatu hal yang tak pantas diterima seorang  jelita putri raja –dicampakkan! Ternyata tanpa dukungan seorang raja, seorang putri pun dengan mudah dapat terbuang tanpa perasaan. Kepada siapa sebenarnya ia harus berpihak? Dinding istana melindungi sekaligus mencengkeram dan melukai. Dengan geram Putri Yeon Hwa melepas cincin pemberian Wang Yo kemudian membuang ke ujung terjauh. Ia harus melupakan hubungan dan segala harapan dari Yang Mulia Raja.
Sekilas terngiang kembali teringat kata-kata Wang So , “Aku tak mampu kehilangan Soo, tanpa dayang itu aku tak akan memiliki masa depan”,  kata-kata itu bagai bilah pisau yang berkelebat menyakiti. Ia adalah putri Raja Taejo Wang Geon yang berhasil mempersatukan Goryeo menjadi sebuah kerajaan besar dan  bermartabat. Akan tetapi, apa arti semua ini? Ia bahkan tak berarti apa-apa di depan seorang gadis aneh yang pernah hilang ingatan, Hae Soo. Tanpa sadar air mata Putri Yeon Hwa  menitik, bening bagai tetesan embun. Ia telah dicampakkan oleh dua orang pangeran sekaligus, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Ia harus menelan dengan pahit arti bukan apa-apa.
                                                                     ***
Sementara di dalam kamar Pangeran Wang Eun merasa waktu seakan enggan berputar, ia harus menelan pahit kebosnan, karena langkah kaki terjebak, tak leluasa melangkah di seputar dinding istana. Ruangan di dalam kamar mejadi terlalu sempit, tak berbeda dengan terali besi yang mengungkung kebebasan. Saat Yang Mulia Raja Taejo bertahta, ia adalah  seorang pangeran yang bebas melangkah untuk pergi, kini ia terkurung, menampakan diri berarti memburu maut yang megintai di balik sarung pedang Wang Mo yang kini duduk pada tahta dan berkuasa. Kekesalan Pangeran Wang Eun tidak terlepas dari pengamatan Park Seon Duk yang mencintai pangeran sepenuh hati. “Kita bisa pergi ke pemandian Damiwon, Soo tidak akan  mengizinkan dayang muda mendatangi tempat itu pada malam hari”, Park Seon Duk mencari jalan keluar.
Pangeran Wang Eun terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Baiklah ….”
Di pemandian Damiwon suasana hening, tak ada kesibukan kecuali dua orang yang tak pernah tahu, kemana harus menuju pada hari itu. Semestinya keduanya bisa leluasa menikmati kebersamaan pada sebuah tempat yang sungguh hening, akan tetapi baik Pangeraan Wang Eun maupun Park Seon Duk terlihat canggung seakan sepasang kekasih yang pertama kali dipertemukan. Sang Pangeran tampak ragu melepaskan pakaian, ketika Wang Eun berniat membuka pakaian Park Seon Duk, Putri Jenderal itu terus menghindar. Di pemandian itu keduanya tak benar-benar mandi menyegarkan diri. Pangeran Wang Eun melipat handuk menjadi aneka bentuk serupa angsa, kelinci, burung serta kapal. Pertandingan antara kapal Pangeran Wang Eun dan Park Seon Duk dimulai, Putri Jenderal itu lebih ahli mendatangkan angin dengan mengipas, sehingga kapal lebih cepat melaju. Sebelum mencapai garis akhir Seon Duk sengaja mengalah, ia ingin menghibur Pangeran Wang Eun dengan kemenangan. Bahagia melihat senyum Sang Pangeran di bibirnya. Maka kapal buatan Pangeran Wang Eun menang dalam pertandingan menyeberangi kolam pemandian.
Sebagai hukuman yang kalah tangannya harus dipukul, Pangeran Wang Eun telah bersiap menjatuhkan hukuman, akan tetapi gerakan tangannya terhenti. Ia dapat melihat memar bekas pukulan pada tangan sang istri, ia tahu ia tak harus terus memukul seorang wanita yang benar-benar mencintai. “Tanganku sakit, karena sering memukulmu”, Pangeran Wang Eun memiliki sebuah alasan, ia tak perlu menjatuhkan hukuman untuk kekalahan sebuah permainan.
Park Seon Duk kemudian memberikan ketapel milik Pangeran Wang Eun yang sempat dibawa saat keduanya diam-diam pergi meninggalkan istana ketika Wang Yo bertahta. Seon Duk tahu, Pangeran Eun sangat senang dengan mainan ini. Sebuah pemberian yang menyenangkan,  Eun memegang erat ketapel itu. “Sebenarnya aku ingin membuka toko mainan terbesar di Songak. Demikianlah impianku”, sedih nada Pangeran Eun berucap, ia ragu, adakah keinginan itu  akan tercapai?
“Kita bisa pergi ke Tamra, Yang Mulia bisa membuka toko mainan. Aku akan jadi guru bela diri ”, Seon Duk memberikan jawaban, ia benar-benar ingin melakukan segalanya bagi Sang Pangeran.
Pangeran Eun kemudian memberikan kantong wewangian untuk Seon Duk sebagai balasan, terngiang kembali kata-kata Putri Yeon Hwa, Seon Duk tak punya kantung ini, kubelikan  satu untuknya”.  Semula Seon Deok mengira kantong wewangian itu akan diberikan Pangeran Eun kepada Hae Soo,  hari ini kantung itu bahka diberikan kepadanya. Soen Duk dapat menangkap ketulusan itu. Tiba-tiba ia kehilangan kata-kata.
“Engkau tidak menyukainya?” Pangeran Eun bertanya, karena sikap diam Seon Deok. “Aneh, biasanya semua perempuan cantik menyukainya”, Pangeran Wang Eun kembali berucap. Sebuah ucapan yang selalu diingat, saat keduanya masih kanak-kanak. 
Tanpa sadar Seon Deok menoleh, ia seakan kembali berpulang ke masa silam, saat pertama kali menyimpan nama Pangeran Wang Eun di relung hati. Ia tak pernah salah memutuskan hidup bersama dengan pangeran ini. Di pihak lain tatapan Seon Duk nyaris membuat Pangeran Eun terlonjak, ia terlanjur mengatakan Park Seon Duk seorang wanita cantik. ”Maksudku, bukan engkau seorang wanita cantik,  akhir-akhir ini engkau terlihat tak terlalu jelek”, Sang Pangeran perlu meluruskan kata-katanya.
Park Seon Duk memberikan kecupan lembut pada bibir Pangeran Wang Eun, “Aku tahu maksud kata-kata itu. Setangkai bunga  yang tidak indah pun tetap berupa setangkai bunga bukan?” ucap Seon Deok tanpa ragu.
“Aku ingin punya dua anak laki-laki dan dua anak perempuan, tidak ada keberatan”,  Pangeran Wang Eun menyatakan keinginannya.
“Apakah berciuman akan membuatku mengandung seorang anak?” Seon Duk bertanya, ia menjadi bingung dengan keinginan Sang Pangeran sambil terus menyentuh bibirnya yang indah. Ia akan mengenang beberapa detik yang mengesankan.
“Alangkah lebih baik, bila sejak semula kita hidup seperti ini”, Pangeran Wang Eun berguman, ia telah menempatkan Park Seon Duk pada keadaan bimbang, demikian pula ketika berubah sikap. Putri Jenderal itu tetap sulit mengerti. Tangan Pangeraan Wang Eun kemudian meraih lengan Seon Duk, keduanya bergandengan tangan kembali menuju ke kamar,  sambil, meninggalkan segala bentuk hewan dan kapal di kolam pemandian tanpa rasa cemas akan bahaya yang mengancam.
Keesokan pagi ketika tiba di  kolam pemandian, Hae Soo menemukan aneka bentuk kapal dan hewan dari handuk berserakan. ‘Pangeran Wang Eun pernah berada berada di tempat ini ….’ Kepala dayang itu berguman. Bibir lembut dayang itu tersenyum, iapun tidak mengendus bahaya dari benda sepele yang dapat mengubah takdir seseorang. 
Tak lama kemudian Chae Ryung datang bersama dayang yang lain untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan kolam pemandian. Ia  menemukan pula aneka bentuk kapal dan hewan dari handuk bertebaran. “Apakah ada hantu di kolam pemandian ini?” Chae Ryung  bertanya kepada Hae Soo.
Hae Soo tersenyum, “Aku yang membuat semua ini”, kepala dayang itu tak perlu menjawab dengan jujur, bahwa Pangeran Wang Eun pernah berada  di tempat ini. Bukankah hiasan itu menyebabkan Damiwon tampak lebih semarak.
Pada saat yang sama, tanpa terduga Putri Yeon Hwa datang. Sepasang matanya yang jeli segera menatap bentuk kelinci dari handuk yang tergenggam di tangan Hae Soo. Pandangan Sang Putri  terpancing untuk mencermati aneka bentuk lain dari bahan yang sama. Ada suatu pengertian terlintas dalam pikirannya, dan ia menyakini. Tanpa terasa kepala Putri Yeon Hwa mengangguk.
Hae Soo tahu langkah yang harus dikerjakan ketika Putri Yeon Hwa tiba, ialah menyajikan minuman. Untuk minuman itu Sang Putri bahkan tidak perlu berterima kasih, ia harus menegaskan suara hati. “Tinggalkan So pada kesempatan pertama”, suara itu dingin dan tiba-tiba.
Hae Soo seakan terjebak ke dalam kabut, beku dan gelap. Ia belum lagi mampu menjawab ketika Putri Yeon Hwa kembali berucap. “Aku tahu apa yang telah engkau ucapkan di telinga Kakak Wook. Aku tahu engkau belum memberitahu Kakak So, dan sekarang dia tersihir olehmu. Aku tidak rela mendengar atau melihat lagi perilaku yang tidak sepantasnya, jadi tinggalkanlah So terlebih dulu. Atau engkau harus berhadapan dengan persoalan. Tujuanmu untuk menikah adalah meninggalkan istana, aku akan melakukannya untukmu. Aku bisa menikahkanmu dengan keluarga penguasa yang kedudukannya sama dengan pangeran”,  suara Putri Yeon Hwa dingin dan tegas, di telinga Hae Soo terdengar seakan gendering perang ditabuh.
“Pernikahan mungkin tujuan bagimu, Yang Mulia, tetapi tidak bagiku. Apakah aku benar memiliki alasan untuk meninggalkan Pangeran So? Kecuali Yang Mulia benar meninggalkanku? Ukuran kebahagiaan masing-masing orang pasti berbeda, kecuali aku membuatnya menderita. Atau aku benar-benar memiliki alasan”,  Hae Soo merasa perlu bersikap tegas, ia tidak harus merasa takut kepada seorang putri raja. Ia berwenang menentukan takdir hidupnya sendiri.
Sesaat suasana gamang, bahkan anginpun seakan enggan berhembus. Udara gerah. Sepasang mata indah Putri Yeon Hwa berubah menjadi semerah bara. Ia tak pernah menduga dalam takdir hidupnya sebagai putri jelita Raja Taejo ia akan berhadapan dengan seorang dayang yang keras kepala dan tidak mematuhi kehendak seorang wanita jelita.
“Sekarang aku mengerti, mengapa harus membencimu. Bagimu pernikahan dan perasaan hanya permainan konyol kanak-kanak. Bukan urusan hidup dan mati. Kuingatkan, jangan terlalu percaya diri, atau engkau harus  mengubah pendirian. Tidak seorangpun berhak berucap seperti itu di istana. Suatu saat engkau akan menyesalinya. Hari ini aku berjanji akan membuatmu menyesal”, Putri Yeon Hwa menatap Hae Soo dengan pandangan berapi-api. Andai pijar pada sepasang bola matanya dapat membakar kepala dayang Damiwon saat ini. Ia selalu dibakar kebencian saat berhadapan dengan Hae Soo. Apa  hebatnya gadis hilang ingatan ini, sehingga Pangeran Wang So tidak mampu kehilangan? Adapun sang gadis berkeras pula untuk tidak memiliki alasan meninggalkan. Langkah kaki Putri Yeon Hwa demikian berat saat menjejak lantai Damiwon, udara serasa gerah.
                                                                             ***
Pada sudut lain di istana Pangeran Wang Wook tengah menyampaikan suatu hal penting kepada Yang Mulia Raja, “Panglima Park adalah kekuatan militer,  Ji Mong adalah kekuatan agama. Keduanya mendukung So, pantaslah keduanya disingkirkan. Demikian pula dengan So”, ucapan Pangeran Wang Wook  menghembus seakan taufan di telinga Yang Mulia Raja. Akan tetapi Wang Yo tak dapat mengobarkan hembusan itu menjadi kematian dengan tergesa, Pangeran Wang So adalah saudara satu ibu. Sementara dia telah membuat Wang Gyu menjadi pengkhianat. Yang Mulia Raja hanya terdiam, ternyata ia harus mampu melaksanakan tindakan yang mengerikan.
“Atau Yang Mulia harus memisahkan Park Soo Kyung dan Choi Ji Mong”, Pangeran Wang Wook memberikan saran berikut. Dalam waktu yang sama tiba-tiba Putri Yeon Hwa menerobos masuk ke dalam ruangan.
“Aku ingin mempermudah semuanya untuk kalian berdua”, suara Putri Yeon Hwa menghentikan percakapan kedua pangeran. “Sebagai imbalan jika rencanaku berhasil, batalkanlah pernikahanku dengan keluarga Khitan”, Putri Yeon Hwa memberikan penawaran, suatu hal yang tidak mudah ditolak, bahkan oleh seorang raja.  Yang Mulia tampak berpikir.
Setelah penawaran itu Pangeran Wang So menemui Putri Yeon Hwa, bertanya, “Dimana Eun? Bukankah engkau tahu ia berada?”  
“Engkau masih tidak tahu? Dayang Hae Soo selama ini menyembunyikan Eun dan istrinya di Damiwon”,  jawab Putri Yeon Hwa tanpa ragu, ia memang  tak pernah melihat Pangeran Wang Eun di Damiwon. Akan tetapi, siapa yang suka membuat aneka bentuk hewan serta kapal dari handuk?
“Darimana engkau tahu? Apakah engkau melihatnya sendiri?” sepasang mata Pangeran Wang  So menatap Putri Yeon Hwa penuh selidik, seakan ingin menjenguk isi hatinya yang terdalam.
“Eun selalu suka membuat segala bentuk hewan serta kapal dari handuk sejak masih kecil. anjing, burung, kelinci. Dia juga suka melipat kertas dan membuatnya jadi perahu. Damiwon penuh mainan kecil yang dibuat oleh Eun. Aku yakin itu”, suara Putri Yeon Hwa pasti. Suara itu segera mendorong langkah Pangeran Wang So bergegas pergi.
Di Damiwon Pangeran Wang Eun dan Park Seon Duk tengah bersiap pergi, “Ikutilah jalan keluar gua. Di luar gua, Pangeran Jung sudah menunggu, akan mengawal sampai ke kapal. Bawalah daging untuk persediaan di jalan”, Hae Soo melepas pasangan suami istri itu pergi, ia berusaha kuat menutupi hatinya yang redam.
“Oh ya, bagaimana dengan ayahku?” Park Seon Duk tak dapat menutupi perasaan cemas.
“Aku sudah menulis surat, jenderal pasti akan menemuimu di jalan”, Hae Soo sudah mempersiapkan semuanya, akan tetapi terlambat. Tiba-tiba terdengar hiruk pikuk suara prajurit bertarung.
Tak lama kemudian Pangeran Wang Jung muncul dengan napas memburu, “Tinggalkan Damiwon, pasukan kerajaan ada di setiap sudut. Aku akan menghadang penjaga!” suara itu lebih menyerupai tangisan meski tanpa air mata bercucuran.
Park Seon Duk, Pangeran Wang Eun, dan Hae Soo tahu arti jeritan itu, kehidupan kini berada di ujung tanduk. Ketiganya segera berlari menuju ke arah yang sebaliknya, tetapi dari arah pintu berbeda terdengar suara menggelegar, “Tangkap Pangeran Eun!!”
“Selamatkan Pangeran Eun, tunjukkan arah  keluar”, permintaan Park Seon Duk kepada Hae Soo serupa tangisan dari air mata penghabisan. “Biarkan kutangani prajurit kerajaan! Mereka tidak akan membunuhku, karena segan terhadap ayah”,  Park Seon Duk masih memiliki sisa keyakinan atau ia sekedar membangun harapan palsu. Tanpa menunggu jawaban Putri Jenderal itu berlalu dengan langkah tergesa.
“Pangeran, ayo pergi”, Hae Soo mengira Pangeran Wang Eun akan mengikuti permintaannya. Perkiraan itu keliru, Pangeran Wang Eun tampak bimbang, wajahnya memucat seakan diamuk maha dasyat badai tanpa berkesudahan. Mungkinkah ia melepaskan seorang istri menantang maut seorang diri? Demi keselamatannya?  
“Yang Mulia!” suara Hae Soo berubah kalap.
“Kemana harus pergi? Apakah aku harus meninggalkan istri seorang diri? Impiannya adalah hidup bersamaku? Hanya aku yang dimiliki”, tak ragu Pangeran Wang Eun melepaskan tangan Hae Soo, ia lebih tahu kemana harus melangkah lalu pergi.



Bersambung  Scarlet Heart --Ryeo, 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...