Pangeran Wang So tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu
dengan Choi Ji Mong, ada sesuatu yang mengganjal setelah tragis kematian
Raja Hyejong. Berulang-ulang ia dapat menyelamatkan Raja Goryeo yang
kedua, kini dengan pahit dan penyesalan ia harus kehilangan. Pangeran
Wang Yo tidak sedang bermain-main, ia benar telah melumuri tangannya
dengan darah, ia bisa bertindak apa saja demi singgasana. Pangeran Wang
So kini merasa dirinya tengah duduk di atas lingir pedang. Bagaimana
nasibnya kemudian? Haruskah ia bertentangan dengan Yang Mulia Raja?
Haruskah ia bersetia? Bagaimana pula nasib pangeran yang lain? Dalam
keadaan gamang, ia selalu memerlukan sepenggal waktu bersama Si Ahli
Bintang.
“Bintang kembar Pangeran ke-10 sudah naik ke atas Istana,
lebih baik dapatkan Sang Pangeran”, Choi Ji Mong membuka pembicaraan.
Setelah kematian Raja Taejo Wang Geon, kedamaian di istana retak sudah.
Ia telah tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi apa yang bias ia
lakukan, ia hanya dapat menatap dengan hati redam.
“Aku telah mencarinya, tetapi Eun seakan ditelan bumi. Ia
bahkan tak ada di Damiwon”, Pangeran Wang So merasa lelah, tetapi ia
tahu, belum tiba saat beristirahat. Ia perlu jeda beberapa tabuh,
sebelum bertanya, “Apakah aku harus percaya setiap ucapan itu? Apa
engkau sudah tahu Moo Hyungnim akan meninggal dengan
mengenaskan? Apa engkau sudah tahu Pangeran ke-3 akan menjadi raja?”
sepasang mata Pangeran Wang So menatap tajam Choi Ji Mong, Si Ahli
Bintang bukan seperti manusia biasa, ia seakan telah melihat segalanya.
Atau ia telah lebih dahulu hidup pada masa itu.
“Andai engkau adalah Choi Ji Mong, akan tahu bagaimana rasanya.
Seorang yang telah mengetahui semuanya, tetapi tidak mungkin terlibat?
Demikianlah nasib seorang ahli bintang. Perubahan takdir Pangeran ke-3
juga membuatku terkejut. Dia hanya lahir dengan bintang pengkhianat, ada
unsur lain yang tidak kuketahui. Ada yang salah. Ada yang berubah
sehingga Pangeran ke-3 menjadi raja? Aku bahkan harus bertanya-tanya”,
pandangan Choi Ji Mong menerawang jauh, ia bahkan tidak mampu
membayangkan harus mengabdi pada seorang raja –yang semula adalah
Pangeran Wang Yo, betapa kejam pangeran itu.
***
Sementara pada sebuah ruangan Pangeran Wang Wook tengah duduk terdiam, terngiang kembali kata-kata Hae Soo, “Hati-hati terhadap Pangeran Wang So, jangan pernah berlawanan dengan segala keinginannya …”
kata-kata ia seperti baru hari kemarin diucapkan. Dengan susah payah
Pangeran Wang Wook berusaha menterjemahkan. Apa yang akan terjadi dengan
So, mengapa ia tak boleh melawan? Soo seakan telah tahu semuanya, dan
dayang itu mengkhawatirkan dirinya.
Putri Yeon Hwa datang tak lama kemudian, ia menangkap suasana
tidak nyaman pada wajah galau Wook. Apa yang telah berlaku? Apakah ia
harus tetap diam, wajah jelita itu tampak pula risau. Sekilas Pangeran
Wang Wook melirik sosok Putri Yeon Hwa, salahkah ia berbagi cerita?
“Ada yang membuatmu galau?” Putri Yeon Hwa bertanya, masih
tersisa sepercik harapan, bahwa suatu saat, dalam jangka waktu yang
tidak terlalu lama Wang Wook akan menjadi raja, maka ia masih berwenang
pula akan segala hal kebijakan di seputar tahta.
Sesaat suasana hening, bahkan angin paling lembut sekalipun seakan enggan berkesiur.
“Hati-hati terhadap Pangeran Wang So, jangan pernah berlawanan
dengan segala keinginannya. Demikian Hae Soo pernah berkata, dan aku
tak pernah dapat tidak mempercayainya. Andai keinginan itu berarti
merampas segala keinginanku. Mengapa aku harus percaya kata-kata itu?
Apa sebenarnya yang harus kulakukan?” Pangeran Wang Wook menjawab
pertanyaan Putri Yeon Hwa, tanpa menyadari, betapa benci adinda terhadap
dayang itu. Bagi Sang Putri, Hae Soo hanyalah seorang gadis yang hilang
ingatan. Ia seperti duri di dalam daging. Soo mestinya pergi jauh-jauh
dari dinding istana.
“Hae Soo …. Aku pasti akan menemuinya ….” Putri Yeon Hwa
menggeram, sangat perlahan hingga Pangeran Wang Wook yang tengah
menerawang jauh tak mampu mendengar.
***
Pangeran Wang Jung datang ke Damiwon, berniat mencari Hae Soo, ia bertanya kepada dayang yang lewat. “Dimana Soo?”
“Maaf, saya tidak melihatnya”, sebuah jawaban singkat.
“Dimana Soo?” Sang Pangeran kembali bertanya kepada dayang berikutnya yang tengah membawa gelas dengan nampan.
Aneh, kali ini dayang itu tidak menjawab sama sekali, bahkan
membalikkan badan. Siapakah sesungguhnya dayang itu? Mengapa berani
melawan pertanyaan seorang pangeran?
“Apakah seorang dayang bisa meninggalkan sopan santun di istana?” Pangeran Wang Jung bertanya.
“Mohon maaf Yang Mulia”, dayang itu hanya menoleh sekilas,
meminta maaf dengan suara teramat pelan, nyaris berbisik. Ketika hendak
kembali berbalik, cangkir yang ada di atas nampan terjatuh, dengan sigap
tangan mungil dayang itu menangkapnya.
Sepasang mata jeli Pangeran Wang Jung tak melewatkan beberapa
detik adegan ini, tak seorangpun dayang mampu bertindak cekatan menahan
cangkir yang nyaris berkeping-keping terjatuh ke atas lantai, kecuali ia
prajurit perempuan, Park Seon Duk. Putri Jenderal Park yang tengah
menyamar selaku dayang. Di depan Pangeran Wang Jung Sang Putri tak mampu
lagi bersembunyi. Ia dan Pangeran Wang Eun tengah mencari tempat yang
aman sebelum meninggalkan Songak, untuk sementara bersembunyi di
Damiwon.
“Aku harus meninggalkan Songak pada kesempatan pertama”, Pangeran Wang Eun membuka pembicaraan.
“Tetapi jalan mana yang cukup aman? Semua jalan keluar dijaga
pasukan dengan ketat”, wajah sendu Park Seon Duk tak dapat
menyembunyikan bimbang.
“Aku malu memiliki saudara tua seperti Mo, ia memang kejam”,
Pangeran Wang Jung tahu, mengapa Wang Eun dan Park Seon Duk memilih
pergi dari Songak, suasana tak lagi nyaman.
“Andai kita memiliki burung raksasa yang dapat terbang seperti
yang pernah diceritakan Choi Ji Mong, atau lorong di dalam tanah”,
Pangeran Wang Eun berandai-andai, udara Songak menyebabkan gerah.
Hae Soo memisahkan diri dari pembicaraan ini, ketika kepala
dayang itu melangkah keluar Park Seon Duk mengikutinya, “Apakah aku bisa
bertemu ayah dengan dukungan Choi Ji Mong, aku harus berpamitan sebelum
pergi?” Putri Jenderal itu bertanya.
“Choi Ji Mong selalu bersama Pangeran So, engkau yakin akan hal
itu?” Hae Soo balik bertanya, ia tidak yakin akan keselamatan Park Seon
Duk.
“Mengapa engkau tidak percaya Pangeran ke-4? Bukankah kalian
berdua sangat dekat?” Park Seon Duk tidak bisa menahan diri untuk tidak
bertanya.
“Aku punya alasan demi keselamatan kalian berdua”, jawab Hae Soo singkat.
“Terima kasih”, suara Park Seon Duk nyaris berbisik, ia menatap kepala dayang Damiwon dengan aneh, mengapa Hae Soo harus tidak mempercayai Wang So? “Aku
tahu perihal kabar burung Pangeran ke-4. Dia tidak akan menangkap orang
tanpa alasan, kecuali dia dikhianati. Mestinya kita percaya orang yang
kita sukai?” Park Seon Duk bertanya.
Pertanyaan itu menyebabkan Hae Soo terdiam, ia teringat pesan Yang Mulia Raja, Jangan terlalu terpaku pada masa depan sampai engkau merelakan semua yang engkau miliki sekarang. “Benar
juga, ah, aku terlalu bodoh. Selama ini ia tak pernah berbuat salah
kepadaku. Aku akan menemui si ahli bintang”, dalam sekejab Hae Soo
berubah pikiran kemudian bergegas menemui Choi Ji Mong di perpustakaan.
Akan tetapi, Choi Ji Mong tidak tampak di tempatnya bekerja, kepala
dayang itu menunggu sambil menulis pada sehelai kertas di meja.
Sementara Park Seon Duk dan Pangeran Wang Jung pergi ke gua
untuk memindahkan batu-batu yang menutupi pintu. Putri Jenderal itu
mencurahkan seluruh tenaga hingga seluruh keringat berleleran, rambutnya
yang legam melekat pada batang lehernya yang jenjang. Pangeran Wang
Jung tampak iba, ia meminjamkan jepit rambut dengan tulus kepada Park
Seon Duk. Suatu kebaikan yang menyebabkan Putri Sang Jenderal merasa
heran, mengapa Pangeran Wang Jung membawa jepit rambut wanita? “Mengapa
engkau memiliki pula hiasan rambut seorang wanita?” Park Seon Deok
tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Kembalikan setelah memakainya”, Pangeran Wang Jung merasa
tidak perlu memberikan jawaban yang sebenarnya. Ia berhak memiliki
rahasia dengan dirinya sendiri.
“Tampaknya hiasan rambut ini sudah cukup lama, adakah engkau
sengaja menyimpan, karena seseorang yang engkau cintai?” Park Seon Duk
masih juga bertanya, sekilas ia dapat melihat wajah manis itu tersenyum.
“Saya kira engkau hanya tahu soal bertarung, tak akan pernah
memikirkan wanita”, seakan baru tersadar, Park Seon Duk menangkap wajah
Pangeran Wang Jung yang menyembunyikan rahasia. Wanita manakah yang
dicintai?
“
“Seseorang yang mengorbankan hidupnya untukku, yang
mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkanku”, tanpa sadar Pangeran
Wang berucap, terbayang kembali ketika ia diselamatkan seorang gadis
belia dari pengeroyokan perompak yang menginginkan kematiannya.
Terbayang kembali seorang gadis yang bernyanyi merdu pada pesta ulang
tahun Pangeran Wang Eun, pandangan pangeran itu menerawang jauh sebelum
kembali berucap, “Saat melihatnya bernyanyi, aku sadar. Suatu hari, aku
ingin ia beryanyi hanya untukku. Aku mulai berharap keinginan itu akan
terjadi. Apakah aku mencintainya?” Pangeran Wang Jung tak menyebutkan
sebuah nama, ia menyimpan sangat dalam di relung hati..
“Perasaanmu benar, engkau mencintainya”, Park Seon Deok
menjawab, bukankah ia pernah merasakan hal serupa? Ingatan Putra
Jenderal itu melayang jauh menuju suatu masa yang tertinggal jauh di
belakang. Kala ia menatap dengan sedih kakanda yang berlari gembira
bersama teman-temannya.
“Waktu kakak perempuanku terpilih menjadi istri raja, semua
anak perempuan keluarga penguasa berkumpul bermain bersama. Akan tetapi,
aku jauh lebih nyaman memakai baju baja. Menurut anak-anak lain, aku
orang yang berbeda”, Park Seon Deok membuka kenangan lama.
“Aku lebih suka berada di medan perang dari pada melihat
kakanda bermain dengan anak perempuan yang lain. Tak lama kemudian
muncul seorang anak laki-laki yang memberikan bunga dan berkata, jangan
menangis. Aku tak segera menerima, secara terus menerus kutatap anak
laki-laki itu, hingga bertanya. Bukankah engkau suka bunga ini? Aku
tersadar, mengapa muncul pertanyaan, karena anak itu melihat motif
bunga pada bajuku. Maka, kusembunyikan tanganku ke belakang”, sesaat
Park Seon Duk terdiam sebelum kembali meneruskan.
“Masih kuingat, anak itu menatap aneh sambal bertanya. Biasanya
semua anak perempuan cantik suka bunga. Bukankah engkau juga suka bunga
ini? Aku tersenyum, anak laki-laki itu adalah Pangeran Wang Eun kecil”,
wajah Park Seon Duk berseri, ia menyimpan nama Wang Eun sejak
kanak-kanak hingga hari perkawinan tiba dan selama-lamanya.
“Jika engkau benar mencintai seseorang, menyimpan namanya di
relung hati, tidak perlu merasa ragu, jangan khawatir, yakinlah dengan
dirimu. Tetaplah bersamanya sampai hari yang ditunggu tiba”, Park Seon
Duk memberi nasehat, ia pernah mengalami hal yang sama hingga ia
menunggu hari perkawinan itu tiba.
“Hwai ting….!” Pangeran Wang Jung berucap memberi semangat dirinya sendiri.
***
Sementara Putri Yeon Hwa memastikan dirinya datang ke istana,
memberi salam kepada Wang Yo sebagai Raja baru, ia mengenakan pula
cincin pemberian Sang Raja. Untuk cincin indah yang melingkar pada jari
manis Putri Yeon Hwa, Yang Mulia Raja tertawa. Putri jelita itu bahkan
menyediakan diri dating sebelum dipanggil. “Kebetulan sekali engkau
datang, aku telah merencanakan pernikahananmu”, kata-kata Yang Mulia
Raja menyebabkan Putri Yeon Hwa tersenyum penuh harap.
“Aku akan mengirimmu ke Khitan. Mendiang raja pernah
menjanjikan putri sulung menikah dengan Raja Khitan, namun Putri Kyung
Hwa bahkan menikah dengan So. Oleh karena itu, aku setuju mengirim
anggota kerajaan. Selamat atas pernikahanmu, Yeon Hwa”, kata-kata Yang
Mulia Raja benar-benar tak terduga, Putri Yeon Hwa mengira ia akan
diminta untuk menjadi seorang ratu. Kiranya ia hendak dicampakkan,
senyum di bibir indah itu segera sirna berganti dengan kemarahan dan
kekecewaan.
“Mengapa semua orang yang duduk di takhta selalu mengancamku
dengan pernikahan? Ayah dan anak ternyata semua sama saja. Apakah kalian
percaya, bahwa pernikahan adalah satu-satunya cara memperkuat sekutu
dengan mengorbankan putri raja? Sulit kukatakan, tetapi aku sungguh
kecewa padamu”, lidah Putri Yeon Hwa terasa getir.
“Atau engkau masih juga serakah ingin menjadi ratu? Kakakmu
mengkhianatiku, engkaupun ikut pula berpihak kepadanya. Adakah engkau
mengira suatu hal yang mudah menerima seluruh keluargamu sebagai ipar?”
kali ini Yang Mulia Raja tak mampu lagi menutupi kekesalan terhadap Yeon
Hwa, meski ia pernah mengharapkannya. Batas antara cinta dan benci
ternyata nisbi adanya.
Masih adakah yang harus tetap dibicarakan?
Langkah Putri Yeon Hwa gontai ketika meninggalkan ruangan,
pahit menyadari, bahwa ia tak lagi memiliki harapan, segalanya telah
lama hancur berserakan. Ada yang lesap di hati, untuk sementara ia tak
tahu harus kemana mencari. Cincin indah pemberian Wang Yo dalam sekejab
berubah menjadi selubung api yang membara, menyakiti. Kemarahan dan rasa
kecewa bergulung menjadi satu, suatu hal yang tak pantas diterima
seorang jelita putri raja –dicampakkan! Ternyata tanpa dukungan seorang
raja, seorang putri pun dengan mudah dapat terbuang tanpa perasaan.
Kepada siapa sebenarnya ia harus berpihak? Dinding istana melindungi
sekaligus mencengkeram dan melukai. Dengan geram Putri Yeon Hwa melepas
cincin pemberian Wang Yo kemudian membuang ke ujung terjauh. Ia harus
melupakan hubungan dan segala harapan dari Yang Mulia Raja.
Sekilas terngiang kembali teringat kata-kata Wang So , “Aku tak mampu kehilangan Soo, tanpa dayang itu aku tak akan memiliki masa depan”,
kata-kata itu bagai bilah pisau yang berkelebat menyakiti. Ia adalah
putri Raja Taejo Wang Geon yang berhasil mempersatukan Goryeo menjadi
sebuah kerajaan besar dan bermartabat. Akan tetapi, apa arti semua ini?
Ia bahkan tak berarti apa-apa di depan seorang gadis aneh yang pernah
hilang ingatan, Hae Soo. Tanpa sadar air mata Putri Yeon Hwa menitik,
bening bagai tetesan embun. Ia telah dicampakkan oleh dua orang pangeran
sekaligus, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Ia harus menelan
dengan pahit arti bukan apa-apa.
***
Sementara di dalam kamar Pangeran Wang Eun merasa waktu seakan
enggan berputar, ia harus menelan pahit kebosnan, karena langkah kaki
terjebak, tak leluasa melangkah di seputar dinding istana. Ruangan di
dalam kamar mejadi terlalu sempit, tak berbeda dengan terali besi yang
mengungkung kebebasan. Saat Yang Mulia Raja Taejo bertahta, ia adalah
seorang pangeran yang bebas melangkah untuk pergi, kini ia terkurung,
menampakan diri berarti memburu maut yang megintai di balik sarung
pedang Wang Mo yang kini duduk pada tahta dan berkuasa. Kekesalan
Pangeran Wang Eun tidak terlepas dari pengamatan Park Seon Duk yang
mencintai pangeran sepenuh hati. “Kita bisa pergi ke pemandian Damiwon,
Soo tidak akan mengizinkan dayang muda mendatangi tempat itu pada malam
hari”, Park Seon Duk mencari jalan keluar.
Pangeran Wang Eun terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Baiklah ….”
Di pemandian Damiwon suasana hening, tak ada kesibukan kecuali
dua orang yang tak pernah tahu, kemana harus menuju pada hari itu.
Semestinya keduanya bisa leluasa menikmati kebersamaan pada sebuah
tempat yang sungguh hening, akan tetapi baik Pangeraan Wang Eun maupun
Park Seon Duk terlihat canggung seakan sepasang kekasih yang pertama
kali dipertemukan. Sang Pangeran tampak ragu melepaskan pakaian, ketika
Wang Eun berniat membuka pakaian Park Seon Duk, Putri Jenderal itu terus
menghindar. Di pemandian itu keduanya tak benar-benar mandi menyegarkan
diri. Pangeran Wang Eun melipat handuk menjadi aneka bentuk serupa
angsa, kelinci, burung serta kapal. Pertandingan antara kapal Pangeran
Wang Eun dan Park Seon Duk dimulai, Putri Jenderal itu lebih ahli
mendatangkan angin dengan mengipas, sehingga kapal lebih cepat melaju.
Sebelum mencapai garis akhir Seon Duk sengaja mengalah, ia ingin
menghibur Pangeran Wang Eun dengan kemenangan. Bahagia melihat senyum
Sang Pangeran di bibirnya. Maka kapal buatan Pangeran Wang Eun menang
dalam pertandingan menyeberangi kolam pemandian.
Sebagai hukuman yang kalah tangannya harus dipukul, Pangeran
Wang Eun telah bersiap menjatuhkan hukuman, akan tetapi gerakan
tangannya terhenti. Ia dapat melihat memar bekas pukulan pada tangan
sang istri, ia tahu ia tak harus terus memukul seorang wanita yang
benar-benar mencintai. “Tanganku sakit, karena sering memukulmu”,
Pangeran Wang Eun memiliki sebuah alasan, ia tak perlu menjatuhkan
hukuman untuk kekalahan sebuah permainan.
Park Seon Duk kemudian memberikan ketapel milik Pangeran Wang
Eun yang sempat dibawa saat keduanya diam-diam pergi meninggalkan istana
ketika Wang Yo bertahta. Seon Duk tahu, Pangeran Eun sangat senang
dengan mainan ini. Sebuah pemberian yang menyenangkan, Eun memegang
erat ketapel itu. “Sebenarnya aku ingin membuka toko mainan terbesar di
Songak. Demikianlah impianku”, sedih nada Pangeran Eun berucap, ia ragu,
adakah keinginan itu akan tercapai?
“Kita bisa pergi ke Tamra, Yang Mulia bisa membuka toko mainan.
Aku akan jadi guru bela diri ”, Seon Duk memberikan jawaban, ia
benar-benar ingin melakukan segalanya bagi Sang Pangeran.
Pangeran Eun kemudian memberikan kantong wewangian untuk Seon Duk sebagai balasan, terngiang kembali kata-kata Putri Yeon Hwa, “ Seon Duk tak punya kantung ini, kubelikan satu untuknya”.
Semula Seon Deok mengira kantong wewangian itu akan diberikan Pangeran
Eun kepada Hae Soo, hari ini kantung itu bahka diberikan kepadanya.
Soen Duk dapat menangkap ketulusan itu. Tiba-tiba ia kehilangan
kata-kata.
“Engkau tidak menyukainya?” Pangeran Eun bertanya, karena sikap
diam Seon Deok. “Aneh, biasanya semua perempuan cantik menyukainya”,
Pangeran Wang Eun kembali berucap. Sebuah ucapan yang selalu diingat,
saat keduanya masih kanak-kanak.
Tanpa sadar Seon Deok menoleh, ia seakan kembali berpulang ke
masa silam, saat pertama kali menyimpan nama Pangeran Wang Eun di relung
hati. Ia tak pernah salah memutuskan hidup bersama dengan pangeran ini.
Di pihak lain tatapan Seon Duk nyaris membuat Pangeran Eun terlonjak,
ia terlanjur mengatakan Park Seon Duk seorang wanita cantik. ”Maksudku,
bukan engkau seorang wanita cantik, akhir-akhir ini engkau terlihat tak
terlalu jelek”, Sang Pangeran perlu meluruskan kata-katanya.
Park Seon Duk memberikan kecupan lembut pada bibir Pangeran
Wang Eun, “Aku tahu maksud kata-kata itu. Setangkai bunga yang tidak
indah pun tetap berupa setangkai bunga bukan?” ucap Seon Deok tanpa
ragu.
“Aku ingin punya dua anak laki-laki dan dua anak perempuan, tidak ada keberatan”, Pangeran Wang Eun menyatakan keinginannya.
“Apakah berciuman akan membuatku mengandung seorang anak?” Seon
Duk bertanya, ia menjadi bingung dengan keinginan Sang Pangeran sambil
terus menyentuh bibirnya yang indah. Ia akan mengenang beberapa detik
yang mengesankan.
“Alangkah lebih baik, bila sejak semula kita hidup seperti
ini”, Pangeran Wang Eun berguman, ia telah menempatkan Park Seon Duk
pada keadaan bimbang, demikian pula ketika berubah sikap. Putri Jenderal
itu tetap sulit mengerti. Tangan Pangeraan Wang Eun kemudian meraih
lengan Seon Duk, keduanya bergandengan tangan kembali menuju ke kamar,
sambil, meninggalkan segala bentuk hewan dan kapal di kolam pemandian
tanpa rasa cemas akan bahaya yang mengancam.
Keesokan pagi ketika tiba di kolam pemandian, Hae Soo menemukan aneka bentuk kapal dan hewan dari handuk berserakan. ‘Pangeran Wang Eun pernah berada berada di tempat ini ….’
Kepala dayang itu berguman. Bibir lembut dayang itu tersenyum, iapun
tidak mengendus bahaya dari benda sepele yang dapat mengubah takdir
seseorang.
Tak lama kemudian Chae Ryung datang bersama dayang yang lain
untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan kolam pemandian. Ia
menemukan pula aneka bentuk kapal dan hewan dari handuk bertebaran.
“Apakah ada hantu di kolam pemandian ini?” Chae Ryung bertanya kepada
Hae Soo.
Hae Soo tersenyum, “Aku yang membuat semua ini”, kepala dayang
itu tak perlu menjawab dengan jujur, bahwa Pangeran Wang Eun pernah
berada di tempat ini. Bukankah hiasan itu menyebabkan Damiwon tampak
lebih semarak.
Pada saat yang sama, tanpa terduga Putri Yeon Hwa datang.
Sepasang matanya yang jeli segera menatap bentuk kelinci dari handuk
yang tergenggam di tangan Hae Soo. Pandangan Sang Putri terpancing
untuk mencermati aneka bentuk lain dari bahan yang sama. Ada suatu
pengertian terlintas dalam pikirannya, dan ia menyakini. Tanpa terasa
kepala Putri Yeon Hwa mengangguk.
Hae Soo tahu langkah yang harus dikerjakan ketika Putri Yeon
Hwa tiba, ialah menyajikan minuman. Untuk minuman itu Sang Putri bahkan
tidak perlu berterima kasih, ia harus menegaskan suara hati. “Tinggalkan
So pada kesempatan pertama”, suara itu dingin dan tiba-tiba.
Hae Soo seakan terjebak ke dalam kabut, beku dan gelap. Ia
belum lagi mampu menjawab ketika Putri Yeon Hwa kembali berucap. “Aku
tahu apa yang telah engkau ucapkan di telinga Kakak Wook. Aku tahu
engkau belum memberitahu Kakak So, dan sekarang dia tersihir olehmu. Aku
tidak rela mendengar atau melihat lagi perilaku yang tidak sepantasnya,
jadi tinggalkanlah So terlebih dulu. Atau engkau harus berhadapan
dengan persoalan. Tujuanmu untuk menikah adalah meninggalkan istana, aku
akan melakukannya untukmu. Aku bisa menikahkanmu dengan keluarga
penguasa yang kedudukannya sama dengan pangeran”, suara Putri Yeon Hwa
dingin dan tegas, di telinga Hae Soo terdengar seakan gendering perang
ditabuh.
“Pernikahan mungkin tujuan bagimu, Yang Mulia, tetapi tidak
bagiku. Apakah aku benar memiliki alasan untuk meninggalkan Pangeran So?
Kecuali Yang Mulia benar meninggalkanku? Ukuran kebahagiaan
masing-masing orang pasti berbeda, kecuali aku membuatnya menderita.
Atau aku benar-benar memiliki alasan”, Hae Soo merasa perlu bersikap
tegas, ia tidak harus merasa takut kepada seorang putri raja. Ia
berwenang menentukan takdir hidupnya sendiri.
Sesaat suasana gamang, bahkan anginpun seakan enggan berhembus.
Udara gerah. Sepasang mata indah Putri Yeon Hwa berubah menjadi semerah
bara. Ia tak pernah menduga dalam takdir hidupnya sebagai putri jelita
Raja Taejo ia akan berhadapan dengan seorang dayang yang keras kepala
dan tidak mematuhi kehendak seorang wanita jelita.
“Sekarang aku mengerti, mengapa harus membencimu. Bagimu
pernikahan dan perasaan hanya permainan konyol kanak-kanak. Bukan urusan
hidup dan mati. Kuingatkan, jangan terlalu percaya diri, atau engkau
harus mengubah pendirian. Tidak seorangpun berhak berucap seperti itu
di istana. Suatu saat engkau akan menyesalinya. Hari ini aku berjanji
akan membuatmu menyesal”, Putri Yeon Hwa menatap Hae Soo dengan
pandangan berapi-api. Andai pijar pada sepasang bola matanya dapat
membakar kepala dayang Damiwon saat ini. Ia selalu dibakar kebencian
saat berhadapan dengan Hae Soo. Apa hebatnya gadis hilang ingatan ini,
sehingga Pangeran Wang So tidak mampu kehilangan? Adapun sang gadis
berkeras pula untuk tidak memiliki alasan meninggalkan. Langkah kaki
Putri Yeon Hwa demikian berat saat menjejak lantai Damiwon, udara serasa
gerah.
***
Pada sudut lain di istana Pangeran Wang Wook tengah
menyampaikan suatu hal penting kepada Yang Mulia Raja, “Panglima Park
adalah kekuatan militer, Ji Mong adalah kekuatan agama. Keduanya
mendukung So, pantaslah keduanya disingkirkan. Demikian pula dengan So”,
ucapan Pangeran Wang Wook menghembus seakan taufan di telinga Yang
Mulia Raja. Akan tetapi Wang Yo tak dapat mengobarkan hembusan itu
menjadi kematian dengan tergesa, Pangeran Wang So adalah saudara satu
ibu. Sementara dia telah membuat Wang Gyu menjadi pengkhianat. Yang
Mulia Raja hanya terdiam, ternyata ia harus mampu melaksanakan tindakan
yang mengerikan.
“Atau Yang Mulia harus memisahkan Park Soo Kyung dan Choi Ji
Mong”, Pangeran Wang Wook memberikan saran berikut. Dalam waktu yang
sama tiba-tiba Putri Yeon Hwa menerobos masuk ke dalam ruangan.
“Aku ingin mempermudah semuanya untuk kalian berdua”, suara
Putri Yeon Hwa menghentikan percakapan kedua pangeran. “Sebagai imbalan
jika rencanaku berhasil, batalkanlah pernikahanku dengan keluarga
Khitan”, Putri Yeon Hwa memberikan penawaran, suatu hal yang tidak mudah
ditolak, bahkan oleh seorang raja. Yang Mulia tampak berpikir.
Setelah penawaran itu Pangeran Wang So menemui Putri Yeon Hwa, bertanya, “Dimana Eun? Bukankah engkau tahu ia berada?”
“Engkau masih tidak tahu? Dayang Hae Soo selama ini
menyembunyikan Eun dan istrinya di Damiwon”, jawab Putri Yeon Hwa tanpa
ragu, ia memang tak pernah melihat Pangeran Wang Eun di Damiwon. Akan
tetapi, siapa yang suka membuat aneka bentuk hewan serta kapal dari
handuk?
“Darimana engkau tahu? Apakah engkau melihatnya sendiri?”
sepasang mata Pangeran Wang So menatap Putri Yeon Hwa penuh selidik,
seakan ingin menjenguk isi hatinya yang terdalam.
“Eun selalu suka membuat segala bentuk hewan serta kapal dari
handuk sejak masih kecil. anjing, burung, kelinci. Dia juga suka melipat
kertas dan membuatnya jadi perahu. Damiwon penuh mainan kecil yang
dibuat oleh Eun. Aku yakin itu”, suara Putri Yeon Hwa pasti. Suara itu
segera mendorong langkah Pangeran Wang So bergegas pergi.
Di Damiwon Pangeran Wang Eun dan Park Seon Duk tengah bersiap
pergi, “Ikutilah jalan keluar gua. Di luar gua, Pangeran Jung sudah
menunggu, akan mengawal sampai ke kapal. Bawalah daging untuk persediaan
di jalan”, Hae Soo melepas pasangan suami istri itu pergi, ia berusaha
kuat menutupi hatinya yang redam.
“Oh ya, bagaimana dengan ayahku?” Park Seon Duk tak dapat menutupi perasaan cemas.
“Aku sudah menulis surat, jenderal pasti akan menemuimu di
jalan”, Hae Soo sudah mempersiapkan semuanya, akan tetapi terlambat.
Tiba-tiba terdengar hiruk pikuk suara prajurit bertarung.
Tak lama kemudian Pangeran Wang Jung muncul dengan napas
memburu, “Tinggalkan Damiwon, pasukan kerajaan ada di setiap sudut. Aku
akan menghadang penjaga!” suara itu lebih menyerupai tangisan meski
tanpa air mata bercucuran.
Park Seon Duk, Pangeran Wang Eun, dan Hae Soo tahu arti jeritan
itu, kehidupan kini berada di ujung tanduk. Ketiganya segera berlari
menuju ke arah yang sebaliknya, tetapi dari arah pintu berbeda terdengar
suara menggelegar, “Tangkap Pangeran Eun!!”
“Selamatkan Pangeran Eun, tunjukkan arah keluar”, permintaan
Park Seon Duk kepada Hae Soo serupa tangisan dari air mata penghabisan.
“Biarkan kutangani prajurit kerajaan! Mereka tidak akan membunuhku,
karena segan terhadap ayah”, Park Seon Duk masih memiliki sisa
keyakinan atau ia sekedar membangun harapan palsu. Tanpa menunggu
jawaban Putri Jenderal itu berlalu dengan langkah tergesa.
“Pangeran, ayo pergi”, Hae Soo mengira Pangeran Wang Eun akan
mengikuti permintaannya. Perkiraan itu keliru, Pangeran Wang Eun tampak
bimbang, wajahnya memucat seakan diamuk maha dasyat badai tanpa
berkesudahan. Mungkinkah ia melepaskan seorang istri menantang maut
seorang diri? Demi keselamatannya?
“Yang Mulia!” suara Hae Soo berubah kalap.
“Kemana harus pergi? Apakah aku harus meninggalkan istri
seorang diri? Impiannya adalah hidup bersamaku? Hanya aku yang
dimiliki”, tak ragu Pangeran Wang Eun melepaskan tangan Hae Soo, ia
lebih tahu kemana harus melangkah lalu pergi.
Bersambung Scarlet Heart --Ryeo, 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar