Rabu, 29 Mei 2019

ISTANA PASIR --Kisah Seorang Penderita HIV/AIDS, KEENAM







Malam telah jatuh ketika suasana
di lantai dansa riuh rendah oleh
pasangan-pasangan yang terhanyut
dalam irama. Gelegar musik menghentak
seakan guntur yang siap menjebol
dinding-dnding, asap rokok mengambang
bagai kabut musim dingin memenuhi seisi
ruangan bersatu dengan aroma alkohol. Tak
ada wajah duka di ruangan itu, yang tampak
adalah roman muka penuh kegembiraan, tak
terbebani oleh masalah hidup sehari-hari.
Show room hampir sebagian kosong,
gadis-gadis telah dipesan oleh tamu
untuk pelayanan khusus, mereka tengah
bercengkerama di tempat minum, berdansa,
dan berakrab-akrab. Sebagian yang lain
menunggu, harap-harap cemas, ada yang
bergaya dengan sebatang rokok, menonton
televisi dengan busana paling merangsang
yang bisa dikenakan. Tamu-tamu akan
mengintip lewat jendela kaca berukuran
mini sebelum meminta kepada sang mami,
akhirnya segala sesuatu bisa terjadi. Mereka
dapat bersikap seakan sepasang kekasih
didera rindu seribu tahun tanpa peduli
kepada tamu-tamu yang lain, terlebih ketika
suasana semakin kacau karena mabuk.
Sebagian tamu akan melakukan BL –booking
luar—membayar sejumlah uang kepada
kasir kemudian membawa gadis pilihannya
melewatkan malam di kamar-kamar hotel
hingga pagi hari.Adapun sang gadis akan
diantar pulang ke tempat semula dengan
sejumlah uang di dalam genggaman. Untuk
lembaran kertas yang disebut dengan uang
itulah sang gadis bersiap melakukan apa
saja, termasuk merelakan diri di kamar-
kamar hotel, sungguhpun tamu-tamu yang
membayarnya nyata-nyata telah beristri.
Dengan transaksi semacam itulah hentakan
musik di dalam bar tersebut dapat terus
berdegup, menghidupi sesisi penghuninya.
Anita menjelang malamnya yang pertama, ia
merasa aneh ketika Novi dan mami mematut-
matutunya di depan cermin. Ia mengenakan
gaun ketat berwarna merah saga dengan
bahu setengah terbuka, sepatunya tinggi
berjungkit, tata riasnya menyala dengan
gincu semerah darah dan asesoris yang
gemerlapan. Ia tampak erotis memang, tetapi
mengapa harus? Mengapa ia tak berhias
secara bersahaja seperti saat ia bekerja di
rumah makan milik Titan? Anita ingin
bertanya, tetapi sikap tegas sang mami dan
kelincahan gerak Novi telah membungkam
mulutnya. Akhirnya Anita menurut.
“Baik, kau telah cantik, mari kuantar
tamu istimewamu telah menunggu”, mami
menyemprotkan wewangian ke beberapa
bagian tubuh Anita kemudian membimbing
gadis itu ke ruang tamu VIP. Dada Anita
berdebar, apa yang akan terjadi malam ini?
Malam berlalu dengan wajar, setidaknya
bagi Anita ia melayani seorang tamu
pengusaha kaya di kota ini, ia hanya
menemani dan menuangkan minuman
serta bercakap-cakap hingga larut malam.
Tamu itu tampaknya terpesona dengan
kepolosannya, ia ingin mengajak Anita
berdansa, tetapi dengan tersipu-sipu gadis
itu menjawab, “Ini malam pertama saya, saya
belum bisa berdansa, nanti saya belajar, kita
bisa turun ke lantai dansa”. Tamu itu tak
berbuat apa-apa kecuali mencium pipi Anita
dengan lembut saat berpamit pulang sambil
menyelipkan beberapa lembar uang kertas.
Jumlah uang itu membuat Anita takjub,
ia baru mendapatkan jumlah yang sama
setelah dua minggu bekerja di rumah makan
dengan tatapan Talitha yang menyakitkan.
Kini, jumlah itu dapat digenggan hanya
dengan duduk beberapa jam, betapa
mudah mendapatkan uang. Malam-malam
seterusnya berlalu dengan menyenangkan,
Novi dan mami telah mengajarinya berdansa
dengan bermacam-macam gaya, ia tidak
lagi hanya duduk-duduk menemani tamu
istimewa, tetapi telah dapat dipeluk hingga
berjam-jam di lantai dansa.
Malam ini Anita tampil dengan tata
rias yang sama erotis dengan penampilan
pada malam-malam sebelumnya. Ia telah
mulai pandai berhias Novi dan mami hanya
mengawasi dan membetulkan kesalahan-
kesalahan kecil. Anita mengenakan rok span
hitam pekat sepuluh senti di atas lutut dengan
blous backless warna pink, punggungnya
yang putih bersih terbuka menggenapi daya
tariknya. Mami kedatangan tamu istimewa
seorang berkedudukan menentukan dari ibu
kota provinsi, ia tak mau mengecewakan
pelanggan, ia berikan gadis terbaiknya.
Tamu itu terpana ketika bertatapan
dengan Anita, mereka hanya berdua di
bawah cahaya redup. Semula mereka
bertegur sapa, seterusnya Anita menuang
minuman, iapun mulai mencoba, mencoba
hingga tiba-tiba sepasang matanya terasa
mengantuk, kepalanya berat. Seperti inikah
rasanya orang mabuk? Anita telah kehilangan
separuh dari kesadarannya ketika sang
tamu menggandeng tangannya, membayar
sejumlah uang kepada kasir untuk booking
luar. Anita tak menyadari apa yang tengah
terjadi atau ia memang pura-pura tak
menyadari. Ia seorang wanita dewasa yang
setiap malam harus menemani bermacam
tamu, berganti-ganti di bawah keremangan
cahaya. Salahkah kalau ia mulau dikuasai
sebuah keinginan yang sulit dikendalikan
di dalam diri manusia, ia mulai merasa
nyaman berada di dalam pelukan laki-laki,
secara sadar Anita menikmatinya. Terlebih
pemberian tip itu, betapa ia dapat bermanja-
manja dapat harus bekerja keras?
Mata Anita setengah terpejam ketika
ia rebah di dalam kamar hotel, ia setengah
hanyut dan membiarkan segala sesuatu
terjadi seperti air yang mengalir. Ia pernah
mengalami pengalaman buruk ketika
sang bapak tiri tiba-tiba berubah menjadi
seekor ular dan dengan ganas mematuknya.
Kini, pengalaman buruk itu menjauh, tak
ada seekor ularpun yang mematuknya.
Anita terhanyut, ia membiarkan malam
merangkak pada warna yang paling hitam,
ia tak mengelak ketika ia memulai sebuah
kehidupan yang mengubah seluruh nasibnya.
Apa sebutan dirinya ia tak perlu tahu, setiap
hari ia mendengar cerita seperti ini dari
rekan-rekan sejawat, kini ia telah menjadi
bagian dari cerita itu.
Keesokan hari ketika ia menerima
sejumlah uang, mata gadis itu terbelalak
lebar, ia menerima jumlah yang tak pernah
digenggang sepanjang hidupnya. Tamu itu
tak berkata apa-apa kecuali sebuah bisikan,
“Nanti saya akan datang lagi ke tempat
ini”, Anita masih terbelalak. Ia seakan
tengah bermimpi menggenggam sejumlah
besar uang hanya dengan melewatkan satu
malam.
Malam seterusnya Anita mengulang
kejadian yang sama dengan wajah-wajah
tamu yang berbeda, ia sadar melakukannya.
Mami membawanya ke sebuah klinik,
memasang spiral pada bagian tubuhnya
yang paling rahasiaaa, sehingga apapun
yang ia lakukan dengan tamu-tamu ia tak
akan mengandung. Adapun pundi-pundinya
semakin padat terisi, apa yang tidak bisa
dibeli dengan uang? ia bisa berbelanja aneka
model pakaian, sepatu, asesoris, kosmetik,
makanan, emas, dan berbagai macam
hiburan. Di dalam kamarnya kini telah
ada televisi dan video serta sederet CD, ia
terbiasa pula pergi ke salon untuk bermacam
perawatan dalam rangka mempercantik
diri. Bukankah kecantikan adalah modalnya
yang utama? Beberapa kali Anita dibawa
pergi keluar kota dengan menumpang
pesawat udara, gadis itu semakin menikmati
peranannya. Apa yang ia inginkan dan
tak bisa dicapainya? Ia adalah primadona
di bar tempatnya bekerja, tamu-tamu
saling berebut, terkadang mereka sampai
baku hajar untuk sekedar mendapatkan
kesempatan bersenang-senang dengan
Anita. Sikap mamipun amat hangat, Anita
tak pernah tahu mami mengeruk sejumlah
besar keuntungan dari kehadirannya. Anita
tak perlu tahu, gadis itu tengah menikmati
masa mudanya.
Sementara sang waktu terus berjalan,
waktu yang tertanggal mengubah segalanya,
Anita terhanyut. Kecantikannya tak pernah
pudar, ia bahkan semakin pandai merias
diri, mamipun senang, sebagian dari
rekan-rekan mengikuti tata rias dan model
pakaiannya, tetapi betapapun mereka tak
pernah dapat secantik Anita. Gadis itu
melewati malam demi malam, minggu
demi minggu, bilan demi bulan, tahun demi
tahun. Ia hanya bergaul dengan teman-teman
senasibnya, sering ulu hatinya nyeri ketika
di tempat-tempat umum ibu-ibu mencibir
penampilanyya kemudiana berbisik-bisik,
bahwa ia hanyalah seorang wanita tuna
susila. Ia pernah mencoba menjadi wanita
baik-baik akan tetapi kesempatan itu telah
tertutup, pilihan hidupnya ditentukan
oleh perkenalannya dengan mami. Anita
mengerti, bahwa ia adalah bagian yang
terpinggirkan dari kehidupan masyarakat.
Ah, kejamnya hidup!
                   ***
Pagi ini seperti hari-hari lalu Anita baru
kembali diantar seorang tamu tentu saja
sengan sejumlah uang di tangan, gadis itu
bermaksud segera membanting diri di atas
tempat tidur, ia sungguh-sungguh merasa
letih setelah “bekerja keras” semalaman.
Akan tetapi sampai di depan kamar Novi
langkahnya terhenti, ia mendengar suara
rintihan, Anita menajamkan telinga, “Novi....”
dengan perlahan Anita membuka daun pintu,
pintu terkuak. Kamar Novi berantakan, mami
pasti akan marah besar melihat suasana
kamar seperti ini. Pada belakang daun pintu
dan sudut dinding terdapat grafiti bertuliskan
kata-kata kepedihan, Novi tak ada, gadis itu
tampaknya tenga berada di kamar mandi.
Gendang telinga Anita kembali mendengar
suara rintihan, “Novi....” Anita membuka
pintu kamar mandi, beberapa saat kemudian
matanya terbelalak, Novi tengah bersimpuh
memegangi perut, darah segar mengalir
membasahi lantai. Anita menjerit, jeritannya
mengundang penghuni lain berdatangan,
Novi segera dilarikan ke rumah sakit.
Apa yang berlaku?
Novi terlambat minum pil, haid telah
lambat tiga bulan, ia pergi menjumpai
orang “pintar” meminta ramu-ramuan,
meminumnya supaya kehamilan tidak
terjadi, maka pagi itu pendarahan hebat
terjadi, janin tak bisa diselamatkan. Pada
monitor USG tak tampak ada tanda gerakan
janin, sebuah tindakan penyelamatan harus
dilakukan tentu saja dengan perjuangan
berat sang ibu untuk melawan rasa sakit.
Sementara tim medis yang menolong saling
berbisik dan mengerdipkan mata, ketika
mengetahui identitas Novi, bahwa ia adalah
seorang wanita penghibur yang bekerja pada
bar ternama. Bayi itu digugurkan, karena tak
jelas siapa bapaknya, adapun kehamilan dan
kelahiran nyata-nyata akan mengganggu
aktivitas ang ibu.
Tindakan medis untuk mengeluarkan
janin telah dilakukan, Novi telah berada
di ruang nifas, mendapatkan pertolongan
yang semestinya, seharusnya kondisi
membaik. Akan tetapi yang terjadi pada
diri gadis itu adalah sebaliknya, kondisi
Novi terus memburuk, ia terbatuk-batuk,
mengalami diare berkepanjangan, berat
badannya menyusut, wajahnya memuca,
kecantikannya nyaris tak bersisa. Secara
bergantian mami, Anita, dan rekan-rekan
yang lain bergantian menjaga Novi, mereka
berharap bagi kesembuhan, akan tetapi
harapan itu agaknya semakin menipis.
Perawat akhirnya mengambil sampel darah
Novi membawanya ke laboratorium bagi
pemeriksaan.
Sore itu Anita mendampingi mami
bertemu dengan dokter, mereka perlu
mengetahui penyakit apa yang sebenarnya
diderita oleh Novi. Wajah mami pucat pasi
ketika dengan amat bijak dokter perempuan
itu berkata, “Maaf ibu, kami telah memeriksa
darah nona Novi, hal ini amat berat, tetapi
saya harus sampaikan. Anak ibu terkena
HIV/AIDS, harapan untuk hidup sangat
tipis, kondisinya terus memburuk, kita hanya
bisa menunggu waktu”.
Apa itu HIV/AIDS? Anita bertanya
dalam hati.
Jawaban itu diperoleh Anita nanti,
setelah jenazah Novi dikuburkan kemudian
pemerintah daerah dibantu LSM secara
gencar melakukan sosialisasi bahaya
sekaligus pencegahan terhadap HIV/AIDS.
Sebagai kelompok yang selalu berganti-
ganti pasangan, maka para PSK merupakan
kelompok resiko tinggi tertular penyakit
termasksud. HIV/AIDS tak ada obatnya
kecuali pencegahan, bagi Anita segalanya
telah terlambat, ia telah terlanjur berganti-
ganti pasangan hampir setiap malam. Berapa
jumlah laki-laki yang pernah membawanya
ke kamar hotel?
Mengapa pula ia harus menghitungnya?
Anita menyandarkan kepalanya ke
dinding kamar, ia sendiri di dalam ruangan
ini. Pada hari-hari biasa ia akan menikmati
kemewahan kamarnya, akan tetapi ia dihantui
bayang-bayang kematian Novi. Akankah
ia menyusul? Ia teringat pada pertemuan
pertama dengan Novi di kamar ini, betapa
ramah dan hangat gadis itu. Sosok Novi kini
tinggal kenangan, tanpa sadar sepasang mata
Anita menjadi basah, ia kehilangan gairah
kerja hari ini, tetapi Anita tahu apa yang akan
terjadi pada dirinya andai ia tak melayani
para tamu, mami akan marah, mencaci maki
bahkan menggamparnya. Kejadian serupa
ia biasa menimpa gadis-gadis penghibur
yang membangkang, kemudian ia akan
kehilangan pekerjaan. Tanpa pekerjaan
siapapun pasti akan kelaparan, kehilangan
tempat tinggal, dan tak punya pakaian. Hal
itu tidak boleh terjadi! Sebab itu ia harus
tetap bekerja sekalipun risikonya adalah
tertular HIV/AIDS kemudian mati!
”Anita, kau sedang apa?” sebuah
bayangan berkelabat muncul, tak berapa
lama kemudian Arum telah duduk di
hadapannya. ”Kau menangis?” Arum
tampak heran.
”Tidak, aku Cuma teringat Novi, ia
harus pergi pada usia muda. Apakah kita
akan menyusul?” Anita menyusut air
mata, ia malu karena Arum mengetahui
keadaannya.
” Semua yang pernah hidup pasti akan
mati, cepat atau lambat dengan banyak cara,
apa yang mesti kita takutkan. AIDS adalah
kemungkinan buruk yang harus kita hadai.
Kau takut?”
”Mungkin, tetapi yang lebih menakutkan
bagiku adalah rasa lapar dan tak punya
pekerjaan. Mengapa engkau ada di tempat
ini Arum?” Anita balik bertanya.
”Cerita yang amat panjang,” sejenak Arum
terdiam, pandangan matanya menerawang
jauh seakan ingin menembus dinding
penghalang yang mengungkung kamar ini.
”Umurku masih belasan tahun ketika ibu
memaksaku menikah dengan seorang duda
tua. Aku tujuh bersaudara, keberadaan
anak-anak hanya menyusahkan orang tua,
mereka hanya pegawai kecil, aku tak tahu
mengapa ibu teramat membenci, setiap hari
yang kuterima adalah caci maki sumpah
serapah, dan hantaman yang menyakitkan.
Pernikahanku dengan duda kaya diharap
akan merubah keadaan keluarga, tetapi
yang terjadi sebaliknya. Suamiku sangat
kikir, setiap kali ibu meminta bantuan, maka
yang terjadi kemudian adalah pertengkaran.
Ia selalu menuduhku menguras harta
kekayaannya sementara ibu mencaciku
tak tahu membalas budi, aku bingung.
Harta yang telah kugenggam bukanlah
milikku, tetapi milik suamiku, aku harus
mengemis. Aku tak punya lagi apa yang
disebut dengan martabat, pertengkaran itu
membuatku tersiksa, terakhir ia memukulku,
ia memukulku dan terus memukulku. Aku
tak mampu, aku pergi tak tentu arah, akhirnya
sampai ke tempat ini”, Arum mengakhiri
ceritanya, tanpa terasa sepasang matanya
basah, ia tak mengerti terhadap lakon yang
harus dijalani, betapa rumitnya hidup dan
betapa ia tak punya banyak pilihan. Kini,
Novi nyata-nyata telah menjadi korban
dari jalan hidup yang dipilih, yang lain
akan menyusul, hanya tinggal menunggu
waktu.
Semua pekerja seks telah mendapatkan
penyuluhan agar selalu menggunakan
kondom ketika berhadapan dengan
pelanggan. Akan tetapi, tawaran itu selalu
ditolak, kondom menghalangi sentuhan
alami, pelanggan keberatan. Bila pekerja seks
memaksakan penggunaan kondom, maka ia
akan kehilangan pelanggan dengan akibat
buruk tak akan menerima penghasilan. Arum
memejamkan mata, tak pernah sekalipun
dalam hidup ia mempunyai cita-cita menjadi
wanita penghibur. Ia harus selalu tampil
cantik menggairahkan, gemerlap dalam
hiasan asesoris yang mahal, tersenyum dan
tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, betapa
dingin dan gelap sebenarnya relung hati.
Betapa ia harus pintar bersandiwara demi
sesuap nasi!
”Nasib kita tak jauh berbeda demikian
juga dengan teman-teman yang lain, nanti
kita akan berkumpul kembali pada dunia
lain dan semuanya mati karena HIV/AIDS”,
Anita tersenyum getir.
”Kau tak punya rencana untuk keluar
dari tempat ni, membangun kehidupan baru
dengan tabungan yang kau miliki? Uangmu
pasti banyak sekali”
Pertanyaan Arum mengejutkan Anita,
sejenak gadis itu terpana. Tak pernah
terlintas dalam benaknya untuk keluar dari
kubangan lumpur yang telah menjebaknya.
Ia tak punya apa-apa yang bisa digunakan
untuk menyambung hidup, kecuali dengan
menjajakan diri. ”Entahlah, aku belum
memikirkan”, Anita melirik jam dinding,
jarum jam menunjukkan angka enam lewat,
ia harus berkemas untuk melayani tamu
malam ini, ia memerlukan hampir dua jam
sebelum tampil menggairahkan di ruang
tamu.
                               ***
Titan terperangkap dalam suasana rumah
yang sunyi, Talitha membawa Cindera pergi
berlibur ke ibu kota negara. Anaknya ingin
melihat Monas, Duvan, dan segala jenis
tempat hiburan lainnya. Maklum, mereka
termasuk penduduk yang tinggal jauh
dari Jakarta. Titan tak bisa ikut serta, ia tak
bisa sepenuhnya meninggalkan tanggung
jawab terhadap kinerja rumah makan, ada
beberapa acara penting yang akan digelar
para pejabat daerah, ia harus memberikan
pelayanan prima. Entah mengapa Titan tak
terlalu merasa kehilangan dengan bepergian
Talitha, ia amat tersiksa dengan sikap isteri
yang selalu menekan, menekan, menimbun
rasa curiga, dan menyakitinya. Akan tetapi,
suasana rumah yang suwung menyebabkan
gundah, apa yang harus ia lakukan? Titan
terduduk sebelum akhirnya tersenyum
simpul, lama ia tak bersenang-senang ke tempat
minum. Ia memang tak pernah meluangkan
waktu pergi ke bar yang berada di kota ini,
akan tetapi bila pergi ke luar kota, maka ia
bisa melakukan apa saja termasuk melupakan
keberadaan Talitha. Titan mengambil kunci
mobil, ia tahu kemana harus menuju. Ia
tak gegabah mengambill tempat untuk
melindungi identitas, ia memilih ruangan
VIP.
Remang suasana membuat Titan rileks,
ia duduk menyandarkan punggung dengan
santai, mami telah bersiap memberikan
pekerja terbaiknya. Titan telah siap
bersenang-senang. Jantung laki-laki itu
setengah berdegup ketika ia mendengar
langkah kaki dan banyangan berkelebat
diliputi aroma tajam merangsang. Mata laki-
laki itu sekejab menjadi liar, hany sekejab,
karena Titan segera terperangah, ia seakan
disambar kilatan petir, dinding di seputar
ruangan itu seakan runtuh. ”Anita?!!” Titan
memandang gadis di depannya tak percaya,
inikah wanita yang dijanjikan mami sebagai
pekerja terbaiknya.
Anita mengenakan gaun hitam ketat
di atas lutut tanpa lengan, perhiasannya
gemerlap, sepatunya tinggi, gincunya
semerah darah. Penampilan gadis itu,
Ya Tuhan, Titan tergagap. Seakan telah
seribu tahun ia merindukan gadis ini sejak
kepergiannya, sekarang ketika Anita bersiap
di depan matanya mendadak Titan merasa
asing. Di mana Anita yang dulu bekerja
sebagai karyawan rumah makan dengan
penampilan santun bak pramugari kapal
udara? Titan merasa tenggorokannya
menjadi kering, Anita telah berubah, sangat
berubah!.
”Apa kabar tuan?” Anita mengulurkan
tangan, ia merasakan telapak tangan Titan
menggigil dan dingin, Anita bukan lagi
bocah kecil, ia telah kenyang dengan asam
garam kehidupan. ”Pasti tak menyangka
kita akan bertemu di tempat ini, saya masih
Anita, tetapi bukan Anita yang dulu, waktu
mengubah segalanya”, kata-kata Anita
tenang, tetapi cukup membuat dada Titan
berguncang. Diam-diam ia mencari jejak
Anita setelah kepergiannya, akan tetapi
gadis itu seakan menghilang ditelan bumi.
Ia menderita kehilangan yang amat sangat,
tetapi ia harus menyembunyikan perasaan
itu di hadapan Talitha. Mereka tak pernah
membicarakan Anita, tetapi tak pernah
sedikitpun nama gadis itu menghilang dari
hati Titan. Kini gadis itu telah berada di
hadapannya ada sebuah tempat pribadi yang
tidak bisa diusik siapapun, karena Titan telah
membayarnya. Akan tetapi, mengapa harus
pada situasi seperti ini ia bertemu dengan
Anita? Titan berjuang keras melawan sesak
di dada, ia tak berharap penyakit ashmanya
kambuh.
Akhirnya Titan menarik napas berulang-
ulang, ia perlu waktu setengah jam
menenangkan diri sebelum akhirnya Anita
menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
Waktu melesat seperti anak panah terlepas
dari gendewa, tak terhambat, baik Titan
maupun Anita tak peduli. Mereka mengikuti
seluruh kata hati, mereka melakukan segala
sesuatu yang memang ingin mereka lakukan,
mereka bukan anak-anak. Keduanya
terperangkap ke dalam gelap malam,
perangkap itu terus berlanjut dari hari ke
hari, dari bulan ke bulan hingga akhirnya
Titan sampai pada sebuah penawaran.
”Aku akan menyewakan rumah untukmu,
membeli seluruh isianya, dan memberimu
uang belanja setiap bulan. Tinggalkan
pekerjaanmu”, mereka duduk di tepi pantai,
di bawah cahaya purnama, ombak berdebur
sebagai bahasa alam. Anita terlena, ia pernah
jatuh ke dalam pelukan satu lelaki ke lelaki
yang lain, tetapi ia tak pernah jatuh cinta.
Apakah ia mampu menolak tawaran Titan?
Beberapa orang rekannya telah menjadi istri
piara, berpamit kepada mami meninggalkan
kehidupan malam. Ada pula yang menjadi
istri syah, membina kehidupan keluarga.
Titan jelas tidak akan menikahinya, karena
telah ada Talitha, tetapi apa salahnya menjadi
istri piara? Ia tak akan jatuh ke tangan
satu lelaki dan lelaki seterusnya untuk
memenuhi kebutuhan hidup, karena Titan
akan membiayai segalanya. Bukankah ia
mendapatkan tawaran yang lebih baik?
Anita menjawab tawaran itu dengan
sebuah ciuman lembut di pipi, Titan mengerti
ia tak akan pernah lagi tersiksa rindu
oleh bayang-bayang Anita, ia akan dapat
mengunjungi dan berbuat apa saja. Di atas
sinar purnama seakan kian gemilang, angin
berkesiur dingin, Anita merapatkan diri
ke dalam pelukan Titan. Mimpi buruknya
akan segara berakhir. Ia pernah diperlakukan
dengan semena-mena oleh Talitha, kini ia
telah menikam perempuan itu dari belakang,
dari tempat yang paling tersembunyi. Wanita
itu pasti akan kesakitan, membayangkan
ekspresi rasa sakit Talitha, Anita tersenyum
puas. Tiba saatnya melakukan pembalasan!
Titan mendapatkan sebuah rumah mungil
di belakang sebuah kantor pemerintah, ia
meminta Anita dengan hormat dari sang
mami dengan sejumlah uang tebusan. Gadis
itu berpamit dengan senyum cerah, ia akan
mendapatkan sebuah kehidupan baru yang
menantang. Rekan-rekannya melepas pergi
dengan sebuah tanda tanya di hati, kapan
giliranku? Akhirnya Anita memeluk mami
dengan isak tangis, ia tidak tahu harus
membenci atau berterima kasih dengan
wanita ini?
Anita mengikuti ke mana Titan
membawanya pergi, hatinya bersorak ketika
ia tiba pada sebuah rumah mungil dengan
halaman rumput hijau, teras, ruang tamu,
ruang keluarga, tiga buah kamar lengkap
dengan kamar mandi, ruang makan, dapur,
halaman belakang, dan garasi. Sorak sorai
di hatinya belum juga mereda, karena Titan
memberikan sejumlah besar uang untuk
melengkapi seluruh perabot rumah tangga
yang ia perlukan. Anita memerlukan waktu
satu bulan berbelanja dan membebani seluruh
isi rumah, sehingga akhirnya layaklah tempat
tinggal itu menjadi ”istananya” yang kecil.
Dan masih ada lagi, Titan membelikan pula
mobil kemudian melatihnya mengemudi.
Maka lengkap sudah kebahagiaan Anita!
Malam itu Anita telah selesai berhias, ia
telah menanggalkan seluruh pakaian yang
biasa dikenakan melayani tamu-tamu pada
gelap malam. Kini ia berbusana layaknya
seorang istri, Titan akan datang berkunjung,
ia tahu apa yang harus dilakukan untuk
menyambut kedatangan Titan. Anita
mengenakan pakaian tidur yang paling
merangsang, ia telah merias pula wajahnya
dengan make up minimalis, sebuah goresan
yang melupakan masa lalunya sebagai
perempuan penghibur. Ketika terdengan
ketikan di pintu, Anita telah siap dengan
seulas senyum. Senyum paling tulus, karena
ia memberika kepada seseorang atas nama
cinta. Sekejab kemudian ia telah terjatuh
ke dalam pelukan Titan. Seterusnya malam
merangkak, mengemasi seluruh sisa cahaya
hingga sampai pada gelap yang sempurna,
embun gugur. Titan tidak berpamit, Talitha
tengah berada pada perjalanan ke luar kota
bersama Cindera. Sekarang adalah saat-saat
yang paling sensasional dari seluruh hari
yang sibuk dan melelahkan.
Adakah yang lebih menyenangkan?
Ketika Talitha tak ada, maka Anita
mendapatkan seluruh waktu Titan, ia merasa
tengah melambung ke langit tertinggi tak
dapat dijangkau siapapun. Anita akan
bangun pagi dengan bergairah, karena Titan
terbangun di atas tempat tidurnya. Wanita
itu akan menyiapkan sarapan, membenahi
sesisi rumah, duduk berdua dengan akrab
di meja makan untuk sarapan kemudian
melepas Titan pergi bekerja dengan segenap
rasa kasih. Satu hal yang tak pernah diperoleh
Titan dari Talitha. Anita akan pergi ke pasar
atau super market untuk berbelanja kemudian
menyiapkan hidangan makan malam terlezat
yang bisa dilakukan. Titan akan kembali tiba
setelah ia selesai berhias, adapun meja makan
telah siap pula. Anita tak pernah merasa
bahagia saat ia hanya berdua bersama Titan,
ia telah mendapatkan segalanya, harta,
kekayaan, dan cinta. Akan tetapi waktu tatap
berwenang mengendalikan segalanya.
Ketika Talitha berada di kota ini, maka
Titan harus pandai mencuri waktu, ia tak
pernah bermalam di rumah Anita hingga
semakin hari –tanpa terasa- peraduan itu
berubah menjadi semakin dingin. Titan juga
melarang Anita menghubunginya via telepon
seluler, mereka harus berhati-hati. Sehari-hari
pekerjaan Anita adalah menunggu telepon
atau kehadiran Titan. Ketika Titan berada di
luar kota, maka secara lengkap hari-harinya
berubah menjadi sepi yang terjal. Semula
Anita tak peduli, akan tetapi semakin hari
ia merasa rasa sunyi merangseknya bagai
musuh yang paling menakutkan. Anita
menghibur diri dengan pergi berbelanja ke
pasar atau ke super market, namun ia tetap
seorang diri. Ia semakin merasa sendiri
ketika melihat pasangan suami istri bersama
anak-anak yang dilahirkan pergi berbelanja
bersama dalam suasana suka cita. Ah, ia Cuma
istri di tempat persembunyian yang tidak bisa
pergi bersama di tempat umum, terlebih pada
undangan pesta.
Anita mulai merasa asing dengan dirinya
sendiri, kebersamaannya dengan Titan tidak
mendapatkan pengakuan dari masyarakat
tempat ia hidup, sehingga ia harus terus
menerus bersembunyi. Sampai kapan ia
dapat membungkus rahasia ii? Ada kalanya
Anita mengundang rekan-rekan yang bekerja
di bar datang bertandang ke rumahnya,
mereka memasak, memutar film porno,
berkaraoke, dan tentu saja menenggak
minuman keras hingga mabuk, tertawa
terkekeh-kekeh dan akhirnya tersungkur di
setiap sudut rumah.
Malam hari Anita benar-benar sendiri
tanpa kehadiran Titan, rekan-rekannya
semua ”bertugas” melayani tamu-tamu. Anita
duduk membunuh waktu ditemani pesawat
televisi hingga mengantuk dan tertidur.
Ada kalanya berminggu-minggu Titan tak
menghubungi, terlebih datang berkunjung.
Anita mulai mengerti, betapa rindu bisa
menguliti ulu hati dan mengubah rasa cinta
menjadi benci. Wanita itu mulai bertanya-
tanya, adakah ia telah mengambil sikap
hidup yang keliru? Betapapun ia dihujani
kekayaan dan cinta, akan tetapi seorang
istri piara tak mendapatkan seluruh waktu
dan status yang resmi. Alangkah bahagianya
Talitha, seburuk apapun perkawinan itu, ia
tetap berhak penuh akan status perkawinannya.
Talitha tak perlu bersembunyi dari publik akan
hubungannya dengan Titan, mereka syah sebagai
suami istri.
Tiba-tiba Anita merasa sungguh celaka?
Ia teringat pada malam-malam yang
gemuruh dan gegap gempita ketika ia tengah
menjadi primadona pada bar tempatnya
bekerja, Anita tak perlu tahu apa itu sepi.
Malam-malamnya selalu bergairah, ia tak
perlu membatasi diri pada hubungannya
dengan seorang laki-laki, karena ia memang
menjadi milik banyak laki-laki –berkantung
tebal- Anita mulai kehilangan kontrol diri.
Ketika Titan tak mengunjungi, maka secara
sembunyi ia membuka pintu bagi tamu-tamu
yang lain. Dan perlahan-lahan wanita itu
mulai mendapatkan kembali rasa senang.
Ia kembali membuka misteri demi misteri
ketika malam berlanjut dan cahaya alam
padam tiada bersisa. Anita tak pernah sadar,
bahwa ia telah menempuh bahaya, semakin
jauh, semakin jauh......
                                     ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...