Selasa, 28 Mei 2019

K A P A K --Kisah Seorang Anak Asmat-- DUA







YOWERO, bayi kecil itu, seperti halnya bayi-bayi yang lain, tumbuh di dalam hutan belukar, di antara duri-duri sagu, lumpur, satwa liar, kesunyian, dan tetes air hujan. Ia menjadi dewasa bukan hanya dalam kasih sayang si ibu, tapi juga dengan kekerasan yang menjadi  pilihan sebagai satu-satunya strategi pertahanan. Gizi yang tak pernah mencukupi bagi pertumbuhan menyebabkan postur tubuh Yowero lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Waktu membawa perjalanan hidup anak Asmat ini, melampaui hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, hingga akhirnya ia tumbuh menjadi kanak-kanak dengan tubuh kecil dan tulang-belulang menonjol. Suatu ciri khas yang tidak bisa dipisahkan dari anggota puaknya adalah rambutnya yang ikal, kulitnya yang gelap, dan sepasang matanya yang dalam. Yowero adalah anak Asmat sejati yang harus ikut serta tertusuk-tusuk duri manakala ikut serta Mundus dan Mika pergi meramah sagu di hutan untuk kelangsungan hidup hari ini --hari ini--
Malam itu, gelap telah turun dalam kehitaman yang pasti. Kampung Buetkuar yang hanya berupa sekelompok rumah panggung berdinding gaba-gaba, beratap ilalang, tenggelam dalam bisu yang panjang. Tak satu pun dari rumah-rumah itu yang memiliki jendela atau ventilasi. Orang Asmat percaya, bahwa jendela atau ventilasi yang terdapat di dalam rumah akan menjadi tempat lalu lalang bagi hantu dan roh jahat dan akan menimbulkan penyakit serta bencana bagi penghuninya.
Malam terus berlanjut, dingin dan sepi. Suara satwa liar adalah irama abadi yang sesekali terdengar memecah sunyi. Di dalam rumah panggung yang tegak berdiri, Mundus baru saja meletakkan piring sagu dengan ukiran wajah nenek moyang pada kedua sisinya. Benda keramat yang selalu mengingatkan sang empu pada roh leluhur, kini semakin sulit ditemui. Seni ukir telah membawa nama Asmat terkenal hingga ke manca negara, para pendatang mengalir bagai air sungai kemudian menukar ukir-ukiran itu dengan alat pembayaran yang lebih berharga. Uang! Mundus adalah perkecualian, ia tak hendak menjual piringnya yang keramat itu kepada orang yang paling berminat sekali pun. Ia masih berusaha menjalin ikatan dengan roh nenek moyang yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber kekuatan.
“Bapa, ayolah bercerita, kitorang mau tidur ini.” Yovero merengek-rengek pada Mundus, ia mempunyai satu kesenangan khusus, mendengarkan Mundus bercerita sebelum terbenam dalam mimpi yang panjang. Cerita-cerita itu telah memancingnya berpikir untuk menjelajahi dunianya yang terpencil, kecil, dan sunyi.
“Kamu anak mau cerita apa lagi?” Mundus bertanya dengan suara yang berat dan serak.
“Fumiripits, Bapa,” Yowero menjawab cepat.
“Iya, Bapa, Fumiripits,” Tuka menimpali.
“Fumiripits sudah Bapa kasih cerita ulang-ulang. Kenapa kamu anak masih suka mendengar juga?” Mundus mengerutkan keningnya, ia tak habis mengerti mengapa anak-anak senang mendengar cerita yang sama berulang kali.
“Saya senang, Bapa. Itu kitorang punya nenek moyang.  Ayolah!” Yowero mendesak dengan amat berminat.
Mundus menatap wajah anak bungsunya berlama-lama. Sepasang mata yang bening dan tulang-belulang yang menonjol itu telah mendatangkan rasa iba sedemikian rupa, sehingga ia tak dapat menolak permintaannya. Sepasang tangan kekar miik Mundus itu pun segera meraih Yowero dan meletakkan di pangkuannya. Sementara saudara Yowero yang lain segera mendekat. Mundus telah hafal betul kebiasaan Yowero, sehingga untuk yang kesekian kali akhirnya ia kembali bercerita tentang Fumiripits.
“Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang tua di tengah hutan dalam rumahnya yang besar. Ia sendiri saja dan merasa kesepian, sehingga akhirnya memutuskan untuk mengukir patung-patung. Patung-patung itu ada yang laki-laki dan ada pula yang perempuan, berjajar rapi di rumah Fumiripits. Akan tetapi, orang tua itu tetap merasa kesepian. Ia pun memotong kayu melubangi bagian tengah dari kayu itu, sehingga menjadi alat musik dengan kulit biawak sebagai penutup pada salah satu lubangnya. Ketika tifa itu dipukul, maka terdengarlah suara nyaring bertalu-talu, sehingga patung-patung itu pun terbangun, menari, meliuk-liuk, dan jadilah manusia pertama sebagai cikal bakal suku bangsa Asmat.”
“Jadi, kitorang punya nenek ini, patung, Bapa?” Yowero menatap Mundus penuh harap. Ia benar-benar merasa yakin dan kagum dengan cerita bapaknya.
“Betul sekali,” Mundus menjawab dengan mantap. “Ukiran ini adalah buktinya.”
“Ini?” Yowero menunjuk piring sagu yang ada di dekatnya. Mundus menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. Dengan keahliannya bercerita Mundus kemudian menuturkan. “Bagi kita, orang Asmat, seni ukir ini merupakan perwujudan dari dunia kita yang terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama adalah dunia hidup atau Asmat ow capinmi, bagian kedua adalah tempat persinggahan orang-orang yang sudah meninggal, yaitu dampu ow capinmi. Roh-roh orang yang singgah di dampu ow Yapinmi adalah penyebab penyakit, penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup harus menebus roh-roh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta memberi nama mereka agar mereka dapat masuk ke dalam safar, sorga, sebagai akhir tujuan dari perjalanan roh-roh tersebut. Safar juga merupakan tempat roh-roh bayi datang.” Mundus mengisap rokoknya dalam-dalam, kemudian melanjutkan cerita.
“Anak-anak pada mulanya lahir melalui jiwi jof, yaitu pintu tempat mereka masuk ke dunia ini. Setelah tumbuh dewasa kemudian meninggal, maka mereka akan melalui jamir jof, yaitu pintu orang-orang masuk dan keluar menuju ke safar, dan pintu yang terakhir adalah safar jof, jalan menuju ke dunia terakhir.” Sampai di sini Mundus berhenti. Sejenak ia mematikan puntung rokok setelah isapan yang terakhir. Sementara di luar suasana kian hening, malam jelaga tanpa bulan, mendung tebal telah menghanguskan semesta raya. Embun yang pertama telah gugur dalam udara beku dan suara satwa hutan yang bergaung kemudian adalah suasana yang amat pasti di kampung ini.
Sekejap Mundus menyapu pandang pada wajah anaknya. Ketika ia mendapati Yowero belum juga tertidur, maka laki-laki itu kembali meneruskan ceritanya. “Anak-anak yang lahir melalui jiwi jof merupakan penjelmaan dari orang yang meninggal. Mereka adalah pribadi baru yang bernama yuyus. Yuyus berarti nama. Nama, bagi seorang Asmat adalah roh dari pribadinya. Dengan memberi nama pada seorang yang meninggal dalam ukiran, maka roh dari pribadi tersebut masuk ke dalam ukiran itu, dan ukiran itu merupakan pribadi itu sendiri.”
Yowero mulai terkantuk-kantuk, namun Mundus belum menghentikan ceirtanya. “Itu sebabnya orang Asmat menjadi ahli dalam mengukir dan mengabadikan ukiran itu dalam setiap peralatan hidup, tombak, piring, dayung…” Suara Mundus kian lemah. Rasa mengantuk menyebabkan sepasang mata laki-laki itu seperti digayuti lempeng besi, sehingga ia tak bisa bertahan lagi. Di sudut ruangan, Mika beserta keempat orang anaknya telah meringkuk dalam tidur puas. Nyamuk-nyamuk mendengung, ganas suaranya, tapi tak seorang pun peduli. Tidur pulas menjadi kelambu  yang menghalau suara-suara itu dari mekanisme gendang telinga.
Mundus pun segera merebahkan diri, ia mengorek-ngorek api tungku untuk mendapatkan udara panas. Sekejap kemudian laki-laki itu menghela napas dengan embusan yang berat. Tak lama kemudian ia pun mendengkur dengan irama teratur. Seisi rumah itu pun pulas sudah.
Keesokan harinya Yowero terjaga dengan suara bentakan, sumpah serapah, bunyi tamparan, dan isak tangis dari mulut Mika. Yemnen, Yalean, Tuka, dan Wenen ikut terjaga karenanya. Hiruk-pikuk itu bukan untuk yang pertama kali terjadi, tapi sudah berulang kali, bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan di rumah ini.
“Kalau perempuan itu tinggal di sini, aku akan pergi,” demikian suara Mika di sela-sela isak tangisnya.
“Kau mau pergi ke mana?” Mundus membentak dengan suaranya yang berat.
“Ke mana saja,” suara Mika terbata-bata.
“Kau pu orangtua su mati,” Mundus kembali membentak.
“Aku bisa tinggal di hutan dengan anak-anak.”
“Tak seorang pun bisa membawa anak-anak pergi tanpa melangkahi sa pu mayat. Mengerti kamu orang?!” suara menggelegar itu kemudian disusul dengan hentakan kaki dan daun pintu terbanting. Bayangan Mundus berkelebat menjauh dari rumah panggung, meninggalkan seisi rumah yang terpaku dalam gamang.
Yemnen sebagai anak tertua sudah cukup mengerti arti semua ini. Bukan suatu hal baru di kampung ini, bahwa seorang laki-laki dapat memiliki lebih dari satu istri, khususnya bila ia memiliki kedudukan penting dalam adat. Mundus adalah kepala perang, ia berhak memiliki dua, bahkan empat istri sekaligus. Yemnen memandangi mamaknya dengan mata tergenang. Ketika gadis itu bersimpuh di depan Mika, maka air matanya tak terbendung lagi.
“Diamlah, Mamak. Begini sudah kitorang pu adat,” Yemnen mencoba menghibur mamaknya. Kata-kata itu bukan membuat Mika terdiam, bahkan pecah sudah tangisnya. Seisi kampung mendengar gaung suara itu. Di antara mereka ada yang keluar dari rumah untuk melihat apa yang terjadi. Ada yang mendekat ke arah suara raungan. Ada juga yang diam tak peduli.
Tak berapa lama ketika Mundus datang dengan seorang wanita mengekor di belakangnya, maka seisi kampung itu mengerti sudah. Raungan itu adalah jerit tangis Mika yang tak berdaya menolak kedatangan maitua kedua. Raungan itu bukan hal yang aneh di kampung ini. Wanita yang mengekor di belakang Mundus juga bukan hal yang aneh. Semua itu wajar-wajar.
Raungan Mika telah berubah menjadi rintihan ketika Mundus dan Upra memasuki rumah secara beriringan. Mika tertunduk tak bergeming, ia tak hendak memandang wajah Upra. Senyum sinis di bibir tebal wanita itu telah membuat hatinya bengkak. Ia memang telah tua kini, perutnya telah menggelambir, pinggangnya tak lagi bersisa. Tak ada lagi yang menarik dalam diri wanita itu. Usia dan kekerasan hidup telah merampas segala-galanya. Dan Upra, nyata-nyata telah merampas Mundus darinya.
Upra adalah gadis belia, ia tak terpaut jauh dengan Yemnen, hanya beberapa tahun lebih tua. Dia tentu masih menarik seperti dirinya di kala muda, ketika ia belum melahirkan dan berjuang melawan maut berulang kali karenanya. Hati Mika seketika terbakar api cemburu. Ia ingin mencakar-cakar muka Upra, tapi sekali lagi Mika telah kehilangan daya. Ia sungguh amat takut kepada Mundus. Suaminya itu terlalu ringan tangan. Mika cukup mengerti, betapa pedas tamparan-tamparan itu. Kelak, pada pesta setan, Mika akan berkesempatan untuk membalas sakit hati, seperti halnya istri-istri yang lain. Wanita itu mengakhiri rintihan yang menyayat dengan mengeraskan hati, bahwa keadilan bagi istri-istri yang lemah pasti akan tiba. Mika menyimpan bara dendam itu rapat-rapat dalam hatinya sampai tiba saat yang tepat untuk mengobarkannya.
Yemnen, Yalean, Tuka, Wenen, dan Yovero telah menghambur keluar dari rumah. Mereka sudah sering melihat, bahwa dalam satu rumah kerap kali ada dua, bahkan lima istri bagi satu suami. Hari ini agaknya mereka punya bapak telah membawa pulang seorang mamak baru. Hati anak-anak itu menjadi kacau. Wanita itu telah menjadi sosok asing dalam diri mereka, sehingga mereka menjadi gelisah manakala harus berlama-lama berdiam di rumah.
Yemnen segera pergi ke tepi sungai, seperti yang biasa ia kerjakan pada hari-hari lalu. Ia telah menjadi gadis remaja dengan bentuk pinggang yang semakin ramping, pinggul indah mengembang, dan dada yang ranum. Pakaian sederhana yang sekadar menempel pada tubuhnya tak bisa menyembunyikan semua itu. Gadis itu duduk di dalam sebuah perhu sambil memainkan jemarinya pada permukaan air sungai yang beriak kecil-kecil. Hatinya yang gundah mendadak berbunga-bunga ketika dari balik semak-semak muncul seorang pemuda. Seperti halnya pemuda lain di kampung ini, pemuda itu berciri khas rambut ikal, kulit hitam, dan sorot mata yang dalam. Ia hanya mengneakan celana pendek yang telah usang. Selebihnya adalah sosok badan tegap yang berkilat-kilat, karena keringat.
“Aku tak mau lagi tinggal di rumah,” demikian Yemnen membuka pembicaraan ketika si pemuda telah duduk di hadapannya.
“Di kau pu rumah, ada apakah?”
“Aku merasa, tak lagi senang, Simon.”
“Kamu orang bisa tinggal di sa pu rumah,” Simon memberikan tawaran.
“Tapi kau harus membayar harta kepada Bapa. Harta yang banyak, karena dorang kepala perang.”
Sa pu keluarga pasti akan membayarnya. Mereka senang akan engkau.”
Yemnen tak lagi berbicara. Ia sungguh-sungguh merasa tidak senang dengan kehadiran Upra di rumah. Wanita itu tampak sebagai setan yang telah melindas hati Mika hingga luluh lantak. Yemnen cukup memahami kedudukannya sebagai anak seorang kepala perang. Selama Mundus hidup, maka ia tak akan dimadu. Tak akan ada wanita-wanita lain yang berani merampas sebagian dari hidupnya di rumahnya sendiri. Untuk sementara ia dapat merasa tenang. Tapi, bagaimana nasib wanita yang menjadi mamaknya? Mata gadis itu menatap alur sungai dengan redup. Ia tak menyadari, bahwa Simon telah membawa perahu itu melaju, menjauhi perkampungan. Di sekitar mereka kini adalah rimba belantara yang menghijau, tiada berkesudahan.
Ketika perahu itu berguncang memukul tepian, Yemnen segera tersadar dari lamunan. Mereka telah sampai di tempat tujuan, hutan menyemak, jauh dari perkampungan. Di tempat inilah berhari-hari mereka telah melewatkan saat yang menyenangkan sebagai muda-mudi dalam gelora. Sekejap Yemnen segera melupakan segala kepedihan hati. Di dunia kini, hanya ada dia dan Simon. Mereka dapat berbuat sekehendak hati tanpa ada satu pihak pun yang menghalangi.
Setelah berkejaran di antara semak dan pepohonan, akhirnya Yemnen menyerah. Gadis itu merebahkan dirinya di atas rerumputan dengan keringat mengembun pada seluruh lubang pori-pori. Simon cukup mengerti apa yang harus dilakukan, ia mulai meniup angin sepoi menjadi kencang, menjadi badai, hingga gemuruh itu reda sudah ketika titik gerimis perlahan jatuh. Dengan tergesa Yemnen dan Simon bergandengan tangan kemudian berlari menghambur ke perahu. Hujan deras mengucur ketika perahu itu melaju menuju ke perkampungan. Yemnen tak merasakan lagi dingin. Ia sedang mengandai-andai tentang kehidupannya yang baru. Ia tak berniat lagi kembali ke rumah, ketika perahu itu telah ditambatkan pada sebuah tiang. Langkah kaki Yemnen tidak bergerak menuju ke rumahnya, tapi ke rumah Simon.
Ketika Yemnen berdiam diri di rumah itu hingga malam tiba kemudian membakarkan sagu bagi Simon, maka orangtua Simon segera memahami arti semua itu. “Kamu orang mau tinggal di sinikah, Yemnen?” demikian Manu, ayah Simon bertanya.
“Begitulah, Bapa, kitorang mau ikut Simon,” Yemnen menjawab.
“Bagaimana dengan kau pu bapa?” Manu kembali bertanya.
“Bapa atur sudah,” jawab Yemnen sambil menyorongkan sagu bungkus bagi Simon.
Sementara itu di rumahnya, Mundus menjadi gusar ketika menyadari, sampai larut Yemnen belum juga kembali ke rumah. Di mana gerangan anak itu? demikian Yunus bertanya-tanya dalam hati. “Hei, Mika, kamu orang tahu di mana Yemnen-kah?” Mundus akhirnya menyudahi kegelisahan dengan pertanyaan.
“Dari pagi tadi dia pergi dan tak juga kembali,” Mika menjawab pendek.
“Kau tidak mencarikah?”
Dorang su dewasa, su tahu mesti berbuat apa,” Mika tak bergerak dari tempatnya berdiam diri, ia sungguh-sungguh memendam sakit hati terhadap Mundus. “Tunggu saatnya nanti!” demikian Mika mengancam dalam hati.
“Mestinya kamu orang di mana itu anak!” Mundus menjadi geram mendengar kata-kata Mika.
“Yemnen pergi dengan Simon dorang,” Yalean menyela.
Mundus mengerti sudah, anak itu pasti sudah “lari”, baku bawa dengan Simon ke hutan. Semua remaja di kampung ini melakukan hal semacam itu untuk memulai kehidupan suami-istri. “Tapi sebagai kepala perang, Mundus merasa harga dirinya tertampar. Darah laki-laki itu mendidih. Dengan kasar Mundus menyambar anak panah kemudian melesat ke luar rumah dengan napas mendengus bagai lembu.
Beberapa saat setelah Mundus berlalu, suasana di rumah itu menjadi hening. Yalean, Tuka, Wenen, dan Yowero mengunyah sagu dengan tak bernafsu. Naluri anak-anak itu menangkap ada sesuatu yang ganjil di dalam rumah tinggal ini. Sementara Mika segera menjadi nyalang, ia menatap Upra dengan bara dendam menyala-nyala. Setelah sebuah pekikan yang mengiris, ia pun menerkam Upra. Keduanya kemudian berguling-guling di lantai papan, saling memukul, mencakar, dan mencaci-maki, disaksikan empat anak yang menjerit ketakutan tanpa daya untuk melerai.
“Tak jauh dari pergulatan sengit itu, Mundus telah menendang pintu rumah Manu dengan kasar. “Mana Yemnen?!” kepala perang itu bertanya dengan suara menggelegar.
Seisi rumah terdiam. Beberapa di antara mereka menjadi gemetar. Semua menduga, bahwa Yemnen akan menangis ketakutan. Tapi dugaan itu ternyata keliru.
“Saya ada di sini, Bapa,” suara itu demikian tenang, seakan sebuah jawaban bagi ketegangan yang meregang beberapa saat. Semua mata memandang ke arah Yemnen. Mundus bahkan terlupa kepada kemarahannya. Ia hampir-hampir gagal mengenali Yemnen. Anaknya yang terlahir sebagai orok tiba-tiba telah menjadi seorang wanita dewasa, yang telah cukup mampu hidup memisahkan diri dari bapaknya.
“Mengapa engkau tidak pulang?” suara Mundus bergetar.
“Saya mau tinggal di sini dengan Simon,” suara Yennen masih tenang.
“Engkau anakku, ayolah pulang,” Mundus membujuk.
“Tidak, Bapa, saya sudah duduk membakar sagu bagi Simon. Bapa tentu sudah mengerti, saya tidak bisa lagi pulang ke rumah.”
“Simon belum membayar harta!” Mundus mendesak.
“Besok, Bapa Manu akan datang ke rumah untuk mengantar sagu,” Yemnen terus mengelak.
“Betul, Bapa tua Mundus, besok kitorang akan datang mengantar sagu. Kau pu anak agaknya sudah mau tinggal di sini,” Manu menengahi.
Mundus masih tegak berdiri dengan busur dan anak panah tergenggam di tangan. Sepasang kakinya terpentang lebar, tapi diam-diam lututnya gemetar. Kepala perang itu tak pernah menyangka, bahwa suatu saat ia akan ditentang anak perempuannya dengan cara seperti ini. Laki-laki itu ingin melontarkan kata-kata dari mulutnya, tapi tenggorokannya tercekik. Hati kecilnya dengan amat lirih berbisik, bahwa ia tak bisa lagi menawar waktu untuk terus mengasuh anak perempuannya. Hukum alam kembali berbicara, tak seorang pun mampu melawannya. Tidak juga Mundus, si kepala perang. Kemarahan yang telah berkobar dari rumah pun perlahan-lahan menjadi padam. Mundus membalikkan badan, tanpa sepatah kata. Sekejap kemudian bayangan laki-laki itu telah menghilang bagai kucing hitam ditelan kegelapan.
Suara gaduh dari dalam rumah menjadi satu isyarat bagi Mundus untuk mempercepat langkah. Hiruk-pikuk itu bagai minyak yang tertumpah dengan amat deras, sementara api kemarahan belum seluruhnya padam. Dengan sebuah loncatan Mundus mencapai bibir pintu dan segera menerobos ke dalam rumah dengan darah menggelegak. Ia sudah cukup mengerti apa yang terjadi.
“Mika! ” Mundus menyepak Mika dengan sebuah tendangan hingga wanita itu terpaksa melepas cengkeraman di leher Upra, kemudian terjerembap di sudut ruangan dengan tulang rusuk seakan remuk. Ketika melihat muka Upra berdarah dipenuhi bekas cakaran, air mata bercucuran, dan pakaiannya tak ada lagi menyisakan bentuk, Mundus tak dapat lagi menguasai diri. Kilatan mata itu sudah cukup membuat anak-anaknya menggigil ketakutan. Dan Mika, ia sudah mengerti apa yang hendak dilakukan suaminya.
Mundus segera menginjak Mika dengan kakinya yang kekar kemudian menghujaninya dengan pukulan berulang kali. Hening malam pun segera terobek oleh suara melolong berkepanjangan disusul jerit ketakutan anak-anak. Mereka, Yalean, Tuka, Wenen, dan Yowero masih terlalu bocah untuk menyaksikan penganiayaan ini. Ibu yang telah melahirkan mereka itu kini terkapar dengan muka lebam dan mulut mengucurkan darah. Serentak, mereka merubung Mika dengan bersimbah air mata. Mundus telah menumpahkan seluruh kemarahannya.
“Dengar, Mika, tak seorang pun di rumah ini dapat memukul Upra. Tak seorang pun. Bila kamu orang melawan, maka aku tak segan-segan akan membunuhmu!” demikian Mundus mengancam.
Di atas segala rasa sakit, Mika masih dapat mendengar ancaman itu. Diam-diam bulu kuduknya meremang. Ia mengerti, bahwa Mundus selalu bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Ia tak punya keberanian lagi untuk menyakiti Upra memang. Tapi ia akan tetap berkesempatan untuk membalas sakit hati terhadap Mundus. Lolongan wanita itu perlahan-lahan berubah menjadi rintihan yang semakin lama semakin lirih dan akhirnya melarut dalam hening malam.


Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...