Jirimo tepekur di dalam bevak-nya dengan masygul, ia dapat melihat dengan jelas, kilau atap seng di bevak Mundus yang kini telah berubah menjadi pondok. Sementara bunyi menderu disel itu seakan berubah menjadi lengkingan panjang yang menusuk gendang telinga. Jirimo tak bisa menyangkal, bahwa ia tak mampu memadamkan kobaran api cemburu dalam dirinya. Bagaimana kehidupan Mundus dapat berubah dengan cepat hanya karena gaharu? Ia memang orang pertama di kampung ini dan betapa enak kehidupan itu, terlebih setelah bermacam barang memenuhi pondoknya. Sulit bagi Jirimo untuk menerima kenyataan ini.
Memang, bukan hal yang sulit bagi Jirimo untuk bersaing dengan
Mundus, sehingga akhirnya ia bisa memiliki segala sesuatu yang dimiliki
kepala perang itu, pondok beratap seng, parabola, televisi, tape recorder,
disel, johnson, dan pakaian yang bagus-bagus untuk anak serta ketiga
istrinya. Jirimo cukup tabah menebang pohon, mengikis kayu untuk
memperoleh emas hitam yang diburu para pencari dan ditukar dengan
berjuta-juta rupiah. Tapi kebencian dan iri hati ternyata tak berhenti
sampai di sini.
Dari suara bisik-bisik orang di seputar hutan ini, Jirimo segera
mengerti, bahwa Mundus “bermain” dengan “mbak-mbak” yang dibawa oleh
para pencari. Jirimo kemudian melirik ketiga istrinya, Sula, istri
tertua, Berna istri kedua, dan Lisbeth istrinya yang termuda. Laki-laki
itu menarik napas panjang. Kehadiran “mbak-mbak” dan ulah Mundus dengan
perempuan sundal itu membuat Jirimo mengerti, bahwa setelah ketiga
istrinya, masih ada permpuan lain yang bisa diperlakukan secara lain
pula. Rasa ingin tahu dan iri hati adalah satu dorongan kuat bagi Jirimo
untuk turut “bermain” dengan perempuan penghibur yang berkepentingan
ikut mencari gaharu di hutan. Jirimo tak pernah mengerti, bahwa setelah
berhubungan dengan perempun itu, Mundus akhirnya menderita luka-luka
pada alat kemaluannya. Ia sudah berusaha mengobati dengan ramu-ramuan
yang biasa digunakan oleh orang-orang di hutan ini untuk penyembuhan,
tapi luka itu bahkan kian menganga. Mundus merasa askit dan nyeri ketika
membuang air seni dan akhirnya kepala perang itu menjadi ketakutan,
karena ia mengalami kencing nanah.
Mundus ingin berobat kepada bidan desa yang bertugas di Puskesmas
Pembantu Buetkuar, tapi ia sungguh merasa malu hati. Mundus tak tahu
harus berbicara kepada siapa, sehingga akhirnya ia memilih diam. Diam
bagi Mundus adalah embusan angin yang mengobarkan bara api dendam dalam
diri Jirimo. Sementara rasa iri telah menjadi dorongan kuat untuk tidak
merelakan segala sesuatu yang telah menjadi harta Mundus, termasuk
hubungan kepala perang itu dengan “mbak-mbak”.
Dengan perlahan tapi pasti, Jirimo menjadi nyalang, ia ingin
menyerang Mundus untuk menyatakan segala macam bentuk kebencian. Tapi ia
menyadari, bahwa keberanian untuk melakukan hal semacam itu tak pernah
ada, kecuali bila dengan sengaja ia mau melakukannya. Dan kedatangan
para pencari kayu dengan karton-karton penuh wiski membuat Jirimo
mengerti, bagaimana harus menyulut keberanian itu.
Sekilas Jirimo dapat melihat seorang “mbak-mbak” keluar dari Mundus punya bevak, kemudian menyelinap ke dalam hutan. Tak lama kemudian tampak pula Mundus keluar dari bevak,
mengikuti langkah “mbak-mbak” itu. Jirimo berniat mengikuti mereka
berdua, tapi ia segera mengurungkan niat ketika ia melihat bayang-bayang
Mika berkelebat dengan kayu bakar tergenggam di tangan, bergerak menuju
arah ke mana Mundus pergi. Jirimo menyeringai, hati laki-laki itu
seketika bersorak. Ia cukup mengerti apa yang akan terjadi dengan mereka
bertiga setelah kayu bakar berbicara. Setelah itu, ia tinggal
memperkeruh suasana.
Jirimo duduk santai di muka pintu sambil menenggak sebotol wiski, ia
terus menenggaknya berulang kali sampai pandangannya mulai mengabur,
rasa takut itu menghilang dan ia cukup berani untuk mencaci-maki Mundus.
Jirimo tak perlu menunggu lebih lama, karena tak berapa lama kemudian
tampak berkelebatan bayangan Mundus kembali ke bevak. Jirimo telah mabuk
kini, kesadarannya telah sebagian pergi, sehingga ia dapat berbuat
menurut kehendak hati. Dengan langkah melayang Jirimo segera mencegat
Mundus di muka bevak.
“Hei, Mundus, berhenti kamu!” Jirimo berteriak. Suara itu seakan
teguran yang menyentakkan Mundus dari lamunan. Seketika, kepala perang
itu pun menghentikan langkah.
“Hei, ada hal apa dengan kamu?” Mundus bertanya dengan nada heran.
“Kamu orang tidak pantas menjadi kepala perang, terlalu banyak makan perempuan!” Jirimo menantang dengan sikap mengejek.
“Makan perempuan?” Mundus membelalakkan mata seakan ia tengah melihat
benda asing di depannya. Kemudian, meledaklah tawa kepala perang itu,
demikian keras, sehingga gaungnya seakan terpantul ke seluruh penjuru
hutan.
“Kamu orang punya tertawa macam suanggi, tidakkah engkau malu dengan masyarakat di kampung ini?” Jirimo menggertak.
“Malu, malu apa?!” Mundus meludah. “Kitorang tidak menipu, tidak membunuh. Engkaulah yang harus malu, engkau sudah banyak membunuh orang dengan suanggi!” Mundus balik mengejek.
“Membunuh? Ha… ha… ha!” Jirimo tergelak kemudian menerjang Mundus,
sehingga kepala perang itu terjerembap ke tanah dengan mulut
menyeringai, kesakitan.
“Setan kamu, Jirimo!” Dengan sebuah loncatan Mundus berdiri dan
segera bergerak menghajar Jirimo. Kalau saja Jirimo tidak dalam keadaan
mabuk, ia akan cukup waspada terhadap serangan Mundus. Akan tetapi,
keadaan mabuk telah membuat pandangan Jirimo mengabur. Keberaniannya
terbukti memang, tapi separuh dari keuatannya telah menghilang. Jirimo
memekik, karena rasa sakit yang luar biasa ketika Mundus menendang
perutnya kemudian menghujani dengan pukulan berantai. Jirimo tak
berdaya, tak berdaya. Tapi di atas segala rasa sakit dan ketakberdayaan
itu, ia masih dapat menyerang Mundus dengan sebuah pukulan telak, tepat
pada bagian tubuhnya yang rahasia.
Suara mengaum dari mulut Mundus bergaung bagai raungan masa purba.
Kepala perang itu kini bersimpuh dengan wajah sepucat kapas, air matanya
nyaris mengucur. Ia meratap-ratap, menyebut roh nenek moyang dengan
segala kekuatan yang ada pada mereka untuk mengatasi pedih perih. Tapi
jawaban yang ia terima adalah tusukan jarum berkarat yang membawa
kesadarannya melayang jauh. Mundus pasrah saja ketika tangan-tangan
legam menggotongnya ke dalam bevak. Sementara Jirimo yang berlumuran
darah, tersaruk-saruk kembali ke bevak. Untuk yang kesekian
kali ia harus mengakui keampuhan Mundus sebagai kepala perang. Meski
laki-laki itu telah terkapar, tapi bekas-bekas pukulan di tubuhnya
membuatnya harus berpikir kembali untuk terus menyerang.
Mundus masih mengerang, ia tak menolak apa pun pertolongan yang
diberikan oleh orang-orang yang tinggal di dalam bevak. Ia juga tak
melawan ketika Arben membuka celana pendek sebagai satu-satunya pakaian
yang melekat pada tubuhnya. Mata Mundus terpejam, ia tak melihat guratan
keterkejutan dan keheranan pada raut muka Arben ketika laki-laki itu
mendapati keadaan kemaluannya.
“Sifilis…” Arben berbisik perlahan. Ia paham betul gejala penyakit
itu, sebab-sebab, dan pengobatannya, karena beberapa kali pernah
terjangkit. Tapi, bagaimana kejadinnya, sehingga Mundus bisa terjangkit
penyakit kotor ini? Arben menjadi lemas. Ia memandang raut muka Mundus
yang pias dengan gamang. Perlahan-lahan Arben mulai teringat, kejadian
yang menimpa Ero, sehingga wanita itu tak berani lagi datang ke hutan
ini dan memilih kembali ke Timika untuk bekerja sebagai wanita penghibur
pada sebuah bar terkenal.
Arben juga teringat, betapa “mbak-mbak” yang dibawa ke hutan ini acap
kali menghilang beberapa saat untuk alasan yang tidak jelas dan kembali
ke bevak dengan satu kantong gaharu. Arben mengangguk-anggukkan kepala,
ia mengerti sudah. Laki-laki itu mengertakkan rahangnya dengan geram.
Ia menebar pandang ke seluruh isi bevak untuk mencari-cari Mia, tapi
orang yang dicarinya tak ada. Ketika pintu terbuka dengan suara berderit
Arben berharap, bahwa Mia akan datang. tapi harapannya segera sirna,
karena sosok yang muncul dari balik pintu itu adalah Mika.
Suara melolong segera bergaung dari mulut Mika ketika melihat keadaan
Mundus. Wanita itu duduk bersimpuh dengan air mata deras mengucur.
Yowero muncul tak lama kemudian dengan noken penuh gaharu, ia
segera mengempaskan kayu itu ke lantai dengan suara berdebum kemudian
bersimpuh memeluk Mundus erat-erat dengan tubuh menggigil.
“Bapa…” cemas Yowero memanggil Mundus, ia mengira bapaknya sudah sekarat dan tengah menjelang ajal.
Suasana di dalam bevak itu menjadi ribut. Ratapan Mika dan Yowero
kemudian sanak keluarga yang berdatangan semakin memekakkan telinga,
tapi Arben tak terlarut dalam suasana itu. ia terpekur di mulut ruangan
dalam diam dan galau yang nyaris tak dapat dikendalikan. Ia menunggu Mia
kembali dengan dugaan barangkali wanita itu ada pergi ke sungai untuk
mencuci, tapi hingga menjelang gelap wanita itu tak juga tiba. Arben
mulai cemas, ia teringat nasib yang menimpa Ero. Tidak mustahil Mia
mengalami nasib yang sama.
Sementara itu kegelapan mulai merayap ke dalam bevak. Mundus telah
terlelap, suara melolong itu telah mereda berganti dengan sedu sedan.
Yowero tengah sibuk menyalakan lampu gas sebagai satu-satunya penerangan
di dalam raugann ini. Arben tersentak ketika sadar lampu gas telah
menyala benderang sementara di luar malam telah melarut, hitam bagai
jelaga.
“Mia…” Arben berdiri perlahan kemudian bergerak mencapai daun pintu.
Ketika daun pintu itu terbanting, maka suasana yang ia dapatkan di
sekitar hanyalah kegelapan. Arben berniat mengambil senter, kemudian
pergi mencari Mia yang tak juga tampak batang hidungnya, tapi laki-laki
itu segera mengurungkan niat, ketika ia menyadari perbuatan apa yang
kira-kira telah dilakukan Mia sehingga Mundus dapat terjangkit penyakit
kotor.
Cukup lama Arben terduduk di muka pintu sementara nyamuk-nyamuk ramai
berdengung seakan sedang berpesta pora. Sampai tiba-tiba ia melihat
bayangan Mia tersaruk-saruk berjalan dengan muka bengkak dan percikan
darah pada pakaiannya. Wanita itu mengulurkan tangan, memohon pada Arben
supaya laki-laki itu menggapainya. Tapi Mia menjadi terkesima, ketika
dalam keremangan ia dapat melihat Arben menatapnya penuh kebencian. Bulu
kuduk wanita itu meremang, ia seakan merasakan dingin mata pisau yang
ditempelkan tepat pada urat lehernya.
“Sejak sedari dulu engkau memang pelacur. Sekarang, setelah aku
membayarmu di sini, engkau tetap saja pelacur. Jangan dikira aku tidak
tahu perbuatan apa yang telah engkau lakukan dengan Mundus. Besok, kau
harus angkat kaki dari sini atau aku akan membunuhmu. Ingat, di sini
tidak akan ada orang yang menjadi saksi, mayatmu akan sia-sia membusuk
di dalam lumpur.” Arben memandang Mia dengan jijik. Sekali ia meludahi
muka perempuan itu, kemudian masuk ke dalam bevak dan menutup daun pintu
dengan suara berdebum. Di luar Mia berdiri ternganga, ia merasa begitu
sulit memercayai kata-kata Arben, tapi bagaimana ia harus menyangkalnya?
***
Sejak perkelahian dengan Jirimo, Mundus menjadi sakit-sakitan. Luka
pada kemaluan itu semakin menjengkelkan. Sementara malaria adalah
penyakit lain yang tidak mudah pula disembuhkan, terlebih karena gizi
yang buruk. perubahan ini tak pernah lepas dari pengamatan Jirimo.
Laki-laki itu terkekeh melihat penderitaan yang dialami Mundus, ia
seolah telah menghitung sisa hidup kepala perang itu. Jirimo tak berani
secara langsung menyerang Mundus memang, tapi niat untuk mencelakai
laki-laki itu tak juga sirna. Sampai suatu ketika Jirimo merasa begitu
tertarik dengan seorang “mbak-mbak” yang dibwa oleh pencari gaharu.
Wanita itu sungguh berbeda dengan “mbak-mbak” yang lain. Ia
mengenakan pakaian dengan pantas dan rapi dan berperilaku halus. Jirimo
memandang ketiga istrinya yang sehari-hari harus bersimbah peluh untuk
memenuhi kebutuhan makan, kemudian membandingkannya dengan “mbak-mbak”
itu. Ia pun menarik napas panjang, “mbak-mbak” itu sungguh berbeda.
Jirimo terus mengamati wanita itu, ia sungguh beruntung, bahwa di
bevak-nya pernah tinggal seorang wanita yang amat menarik. Tentu, ia
selalu menyempatkan diri untuk mengintip wanita itu manakala dia mandi
dan berganti pakaian. Jirimo terpana, ia tergugah oleh pemandangan yang
luar biasa. Seperti halnya Mundus, Jirimo pun ingin berbuat lebih dari
itu.
Satu kali ketika suasana bevak menjadi sunyi, hanya tinggal Jirimo
dan Berti, nama wanita itu, maka ia pun menjadi berani. Mula-mula Jirimo
mengerjapkan mata, kemudian meraba tangan Berti sambil menyeringai. Ia
berharap, Berti akan menjadi senang, keduanya kemudian akan menyelinap
diam-diam ke tengah hutan. Akan tetapi, di luar dugaan Berti menepis
tangan Jirimo, membuang pandang, kemudian pergi ke luar bevak,
meninggalkan Jirimo dalam keterpanaan.
“Tidak seperti yang saya kira…” Jirimo bergumam dengan kecewa, ia
sungguh-sungguh tak dapat menahan diri terhadap segala kemolekan Berti,
tapi wanita itu nyata-nyata menolaknya. Apa boleh buat? Jirimo menarik
napas panjang kemudian mengertakkan rahangnya dengan geram. “Awas kamu!”
Jirimo mengancam dalam hati. Laki-laki itu pun terduduk dengan lemas,
ia sungguh-sungguh berhasrat terhadap Berti, tapi bagaimana ia mesti
memenuhi hasrat itu? Jirimo terus berpikir, sementara perhatiannya tak
pernah terlepas dari ulah sikap Berti. Demikian halnya yang terjadi pada
siang itu.
Ketika secara diam-diam ia tengah memperhatikan Berti, maka ia
melihat wanita itu ada bermain mata dengan Mundus. Jirimo mempertajam
pengamatannya, seolah ia tak percaya dengan kejadian di depannya. Tak
berapa lama kemudian ketika Jirimo melihat Berti menyelinap ke dalam
hutan sementara Mundus segera mengekor di belakangnya, maka ia segera
mempersiapkan gendewa dan anak panah. Jirimo jafal betul setiap jengkal
tanah yang ada di hutan ini, sehingga ia tidak sulit untuk mengikuti
jejak langkah Mundus dan Berti. Manakala ia berada pada sebuah dahan
pohon yang tinggi, maka ia dapat menyaksikan ulah sikap kedua orang itu
dengan darah mendidih. Berti nyata-nyata menolaknya, tapi menurut dengan
segala Mundus punya mau. “Bedebah!” Jirimo memaki dalam hati.
Tak sadar Jirimo segera merentang anak panah, ia terlalu ahli dalam
membidik, sehingga sulit bagi sasaran yang tidak bergerak untuk
menghindar. Ketika anak panah itu melesat bagai didorong kekuatan
mahadahsyat, maka perasaan Jirimo mantap sudah. Ia ingin mengakhiri
hidup kedua orang itu, tanpa seorang pun saksi. Anak panah pertama
menancap tepat di punggung Mundus. Laki-laki itu pun terpekik. Anak
panah itu nyaris menembus jantung, racun bekerja dan luka itu
menimbulkan sakit yang sungguh dalam.
Mundus memerlukan beberapa detik sebelum kembali pada kesadaran untuk
memahami musibah apa yang terjadi pada dirinya. Ketika ia merasa ada
sebatang anak panah menancap di punggungnya, maka ia memberanikan diri
uantuk mencabut anak panah itu, melawan rasa sakit yang alang-kepalang.
Mundus berteriak sekuat tenaga, darah segar menyembur, laki-laki itu pun
terkapar. Sementara Berti menjadi demikian ketakutan. Ia berniat
menghindar ketika melihat sebatang anak panah meluncur ke dadanya, tapi
terlambat. Gerakan refleks telah menghindarkan jantungnya dari sasaran
anak panah, tapi bahunya tak dapat diselamatkan. Anak panah itu tembus
di bahu sebelah kiri, tembus ke belakang. Rasa sakit menyebabkan Berti
nyaris kehilangan seluruh kesadarannya. Wanita itu menggelepar-gelepar
dengan tubuh setengah telanjang. Dan tiba-tiba kesunyian di seputar
hutan terpecah oleh suara tertawa yang menyeramkan. Suara itu bergaung,
mendirikan bulu roma.
Sesaat, Mundus dan Berti tersentak. Berti merasa bulu kuduknya
meremang, ia seperti mendengar suara iblis yang tengah menuntut
pembalasan. Sementara bagi Mundus, suara itu telah berubah menjadi
lentikan api yang membakar amarah. Ia mengenal suara tertawa itu. Suara
khas dari kedengkian Jirimo.
“Jirimo…” dengan sisa tenaga Mundus mencoba mencari bayang-bayang
Jirimo, tapi yang tampak di seputar hutan itu hanyalah hijau dedaunan.
Mundus akhirnya mendengar isak tangis Berti. Wanita malang itu kini
tengah menggelepar, karena luka bidikan anak panah pada bahu sebelah
kiri. Ketika ia merasa ada sebuah tenaga mencabut anak panah itu, Berti
terpekik. Ia tak mampu lagi menguasai rasa sakit, terkulai tak sadarkan
diri. Ketika tersadar, maka Berti mendapati dirinya telah terbaring di
dalam bevak. Ia tak melihat siapa-siapa, kecuali Mika yang memandangnya
dnegan mata semerah bara. Guratan wajah wanita itu sedemikian
mengerikan, sehingga ia merasa tubuhnya menggigil ketakutan.
“Perempuan, jangan kamu orang mengira, bahwa kitorang tidak tahu saiapa koe dan apa yang engkau lakukan dengan sa pu laki. Engkau perempuan sundal. Terlalu banyak engkau membuat kekotoran kamu orang tahu akibatnya? Sa pu laki sekarang terkancing, hampir-hampir mati. Kitorang taramau
lagi melihat kamu orang punya muka di hutan ini. Kalau kamu masih saja
melawan, akan tahu akibatnya.” Mika menatap Berti dengan kebencian yang
amat dalam, kemudian pergi menjauh, meninggalkan Berti dalam kesunyian,
seolah wanita itu telah berubah menjadi benda kutukan.
Berti menggapaikan tangannya, ia berniat mengucapkan sepatah kata
pada Mika, tapi terlambat. Wanita yang diliputi amarah itu telah
menghilang di balik daun pintu dengan entakan yang sangat keras. Berti
pun terkulai, ia merasa tubuhnya seringan kapas dan melayang di antara
mega-mega. Sementara Mika segera melompat dari bevak setelah membanting
pintu keras-keras dengan sepenuh kebencian. Kesabaran yang salama ini
ulur hingga memanjang telah sampai pada batasnya, sudah tiba saatnya
untuk menentukan sikap. Langkah wanita itu bergerak lebih panjang
daripada biasanya, ia ingin segera menjauh dari tempat ini setelah
segala kekotoran dan sakit hati.
Sementara itu, di tepi sungai, pada sebuah perahu Yowero dan Mundus
telah menunggu dengan seluruh barang yang telah dikemas rapi. Bevak
telah kosong, tak ada lagi yang tersisa kecuali para pencari gaharu yang
menjadi bingung setelah tuan rumah kembali ke kampung dalam keadaan
terluka parah. Mika meloncat ke dalam perahu, kemudian memangku kepala
Mundus dengan segala rasa iba. Yowero menghidupkan johnson, tak lama
kemudian mesin itu pun mengaum, membelah sepi tak banyak kata-kata
terucap selama perjalanan ke kampung, Mundus terbenam dalam rasa sakit
yang menggila, karena racun anak panah yang aktif bekerja. Ketika perahu
itu telah sampai di kampung, maka Mundus telah kehilangan separuh dari
kesadarannya. Mika bermaksud membawa Mundus ke Puskesmas Pembantu, tapi
bidan desa yang bertugas di tempat itu sedang cuti melahirkan.
Seisi kampung menghambur ke luar untuk memberikan pertolongan bagi
Mundus. Laki-laki malang itu tak banyak berulah ketika tangan-tangan
kekar memikulnya beramai-ramai kemudian merebahkannya di atas tapin,
di dalam rumah yang telah diliputi debu. Mundus merasa tenggorokannya
seakan terbakar, sementara luka di punggungnya telah menimbulkan rasa
nyeri tiada terperi. Ketika ia meminta air dengan rintihan yang amat
lemah, Mika segera memberikan segelas air Vit yang tersisa. Beberapa
detik Mundus merasa demikian segar. Tapi, tak berapa lama kemudian
Mundus segera mengerang. Daya tahan sebagai kepala perang membuatnya
cukup mampu menunda waktu sebelum akhir yang menegangkan.
Yowero telah bersimbah air mata, ia pernah merasa ketakutan semacam
ini beberapa tahun yang lalu, ketika Donatus meregang kemudian terkulai,
karena anak panah Jirimo. Kini, ketakutan itu terulang kembali. Ia
tengah meninggalkan masa kanak-kanak dan menjelang masa remaja kini,
tapi rasa takut yang pernah mencengkeramnya tak pernah berubah.
“Siapa melakukan semua ini, Bapa?” suara Yowero terbata-bata, ia sungguh-sungguh tak tega melihat penderitaan bapaknya.
Di lain pihak, Mundus masih terus mengerang, samar-samar ia dapat
mendengar kata-kata Yowero. Ia ingin berteriak keras, bahwa Jirimo
adalah biang keladi dari segala musibah ini, tapi lidahnya terasa kelu.
Ketika dengan amat lemah Mundus meminta Yowero untuk meletakkan telinga
ke mulutnya, maka anak itu segera menurut. Suara Mundus nyaris tak
terdengar, tapi cukuplah bagi Yowero untuk memahami semua ini.
“Jirimo…” demikian Mundus berbisik. Seketika mata Yowero terbelalak,
ia tak mengira, bahwa Jirimo akan melakukan kekejaman terhadap bapaknya
setelah Donatus menjadi korban karenanya. Yowero merasa darahnya
mendidih. Ingin rasanya ia segera menyeruak ke tengah hutan kemudian
menerjang Jirimo, sehingga laki-laki itu segera binasa. Tapi, bagaimana
ia dapat melakukan, badan Jirimo sedemikian besar dan kekar, ia akan
segera terjerembap ke dalam lumpur bila sekali saja laki-laki itu
menyepaknya. Ia punya badan terlalu kecil, ia bukanlah lawan yang
sebanding bagi Jirimo. Yowero menarik napas panjang, hatinya menjadi
buntu. Ia memandang muka Mundus dengan sepenuh harap, bahwa keadaan
bapaknya akan membaik. Tapi harapan itu sia-sia, wajah Mundus kian
memucat, matanya terpejam. Demam yang tinggi menyebabkan Mundus seakan
terpanggang api.
Mika menjadi pucat melihat keadaan suaminya, ia duduk bersimpuh id
dekat Mundus dengan air mata bercucuran, bengkak sudah hati wanita itu.
Tuan tanah agaknya telah menghukum Mundus atas segala perbuatannya,
sehingga suaminya itu menderita kini. Mika mencoba memijit-mijit kaki
Mundus untuk mengurangi rasa sakitnya, tapi Mundus tak merasakan
apa-apa. Luka di punggungnya itu seolah menyala bagai api, panas
membara.
Ketika dengan perlahan Mundus membuka mata, samar-samar ia dapat
melihat Mika. Sungguh kasihan wanita itu. Apa kesalahannya, sehingga ia
harus berurai air mata. Diam-diam Mundus menyesal, ia telah banyak
menyengsarakan wanita itu. Memang. Ia tak lagi tinggal satu rumah dengan
Upra, karena istri mudanya itu menjadi sakit-sakitan kemudian kembali
kepada orangtuanya. Tapi apa yang telah ia lakukan bersama “mbak-mbak”,
dengan gaharu yang ia miliki. Mundus menghela napas dalam-dalam.
Seandainya ia tak pernah bermain gila dengan Berti, apakah ia akan
mengalami nasib seperti itu? Rasa sakit itu mendesak Mundus pada sebuah
penyesalan yang amat dalam.
“Oh, tetek manis…” Mundus mengeluh.
“Sudahlah, Mundus, engkau mengerti kini. Kitorang su tahu kalau gaharu sebenarnya tidak boleh dijual pada dorang-dorang, tapi kitorang
melakukannya, sehigga engkau mendapat malapetaka. Jangan engkau
mengira, bahwa saya tidak mengerti semua perbuatan yang engkau lakukan
dengan sundal-sundal itu. Saya tahu, Mundus, tapi engkau tidak bisa
ditegur. Dorang-dorang itu membawa roh jahat di dalam tubuhnya,
roh jahat itu kini bersarang di tubuhmu. Tuan tanah telah menghukummu,
Mundus, telah menghukummu.” Mika bersuara pelan, tapi bagi Mundus
kata-kata itu telah berubah menjadi sebatang anak panah yang bersarang
di gendang telinga. Mundus mengeluh kemudian segalanya menjadi gelap.
Dalam kegelapan itulah dengan perlahan tapi pasti kesadaran Mundus
muncul, betapa ia telah berbuat semena-mena terhadap perempuan ini dan
betapa sudah amat terlambat kesadaran ini. Mundus cukup mengerti, bahwa
hari-hari yang tersisa tak panjang lagi. cukupkah waktu baginya untuk
menebus kesalahan terhadap Mika? Mundus menarik napas dalam-dalam. Luka
di punggungnya membuatnya terus mengerang, air mata Mika semakin deras
bercucuran.
Sekali ini Mundus cukup membuktikan kekuatannya sebagai kepala
perang. Ia dapat mengulur waktu beberapa hari sebelum akhirnya maut
datang dengan perlahan tapi pasti tanpa banyak cingcong. Pada saat-saat
terakhir itu Mika dan Yowero selalu bersama Mundus, sementara anak-anak
Mundus yang lain, Yemnen, Yalean, Tuka, dan Wenen berdatangan. Suasana
di dalam rumah panggung itu pun menjadi ramai. Tapi Mundus, sebagai
titik pusat dari keramaian itu telah terberangus dalam sunyi. Mundus tak
mengenali lagi satu per satu dari semua yang ada. Kesadarannya semakin
menjauh, menembus dinding pemisah antara kehidupan di dunia kini dan
sebuah alam yang lain sama sekali. Beberapa detik setelah tercekik dalam
rasa sakit yang menegangkan, badan halus itu pun terlepas dari tubuh
Mundus, sehingga napas kepala perang itu pun terputus. Kematian telah
mengakhiri segala rasa sakit dan penderitaan Mundus, kemudian membawanya
dalam damai.
Suara tangis meraung segera terpecah bagai getaran gempa yang
menggoyahkan rumah panggung itu. Suara itu bagai sebuah isyarat yang
menyedot seisi kampung bergerak menuju ke rumah duka. Suasana menjadi
hiruk-pikuk, seakan badai yang mengempas. Tak lama kemudian orang yang
berduka itu segera menghambur ke luar untuk bermandi lumpur. Di antara
orang-orang yang melolong itu tampak pula Yowero. Ia meraung
sekeras-kerasnya untuk menumpahkan segala kepedihan hati, karena
kematian Mundus. Yowero terdiam setelah air matanya kering, ia tak
menangis lagi kini, tapi di dalam dirinya timbul kebencian yang kian
menggumpal. Ia dalah satu-satunya orang yang mengetahui pembunuh
bapaknya. Kalau saja ia mengatakan, maka seisi kampung akan bergerak
memburu Jirimo. Tapi ia sudah berkeputusan untuk tidak mengatakan. Ia
akan mengatakan dengan caranya sendiri. Yowero pun membisu hingga
jenazah Mundus dimakamkan.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar