Selasa, 28 Mei 2019

K A P A K --Kisah Seorang Anak Asmat-- ENAM


                                                                                    




Jirimo tepekur di dalam bevak-nya dengan masygul, ia dapat melihat dengan jelas, kilau atap seng di bevak Mundus yang kini telah berubah menjadi pondok. Sementara bunyi menderu disel itu seakan berubah menjadi lengkingan panjang yang menusuk gendang telinga. Jirimo tak bisa menyangkal, bahwa ia tak mampu memadamkan kobaran api cemburu dalam dirinya. Bagaimana kehidupan Mundus dapat berubah dengan cepat hanya karena gaharu? Ia memang orang pertama di kampung ini dan betapa enak kehidupan itu, terlebih setelah bermacam barang memenuhi pondoknya. Sulit bagi Jirimo untuk menerima kenyataan ini.
Memang, bukan hal yang sulit bagi Jirimo untuk bersaing dengan Mundus, sehingga akhirnya ia bisa memiliki segala sesuatu yang dimiliki kepala perang itu, pondok beratap seng, parabola, televisi, tape recorder, disel, johnson, dan pakaian yang bagus-bagus untuk anak serta ketiga istrinya. Jirimo cukup tabah menebang pohon, mengikis kayu untuk memperoleh emas hitam yang diburu para pencari dan ditukar dengan berjuta-juta rupiah. Tapi kebencian dan iri hati ternyata tak berhenti sampai di sini.
Dari suara bisik-bisik orang di seputar hutan ini, Jirimo segera mengerti, bahwa Mundus “bermain” dengan “mbak-mbak” yang dibawa oleh para pencari. Jirimo kemudian melirik ketiga istrinya, Sula, istri tertua, Berna istri kedua, dan Lisbeth istrinya yang termuda. Laki-laki itu menarik napas panjang. Kehadiran “mbak-mbak” dan ulah Mundus dengan perempuan sundal itu membuat Jirimo mengerti, bahwa setelah ketiga istrinya, masih ada permpuan lain yang bisa diperlakukan secara lain pula. Rasa ingin tahu dan iri hati adalah satu dorongan kuat bagi Jirimo untuk turut “bermain” dengan perempuan penghibur yang berkepentingan ikut mencari gaharu di hutan. Jirimo tak pernah mengerti, bahwa setelah berhubungan dengan perempun itu, Mundus akhirnya menderita luka-luka pada alat kemaluannya. Ia sudah berusaha mengobati dengan ramu-ramuan yang biasa digunakan oleh orang-orang di hutan ini untuk penyembuhan, tapi luka itu bahkan kian menganga. Mundus merasa askit dan nyeri ketika membuang air seni dan akhirnya kepala perang itu menjadi ketakutan, karena ia mengalami kencing nanah.
Mundus ingin berobat kepada bidan desa yang bertugas di Puskesmas Pembantu Buetkuar, tapi ia sungguh merasa malu hati. Mundus tak tahu harus berbicara kepada siapa, sehingga akhirnya ia memilih diam. Diam bagi Mundus adalah embusan angin yang mengobarkan bara api dendam dalam diri Jirimo. Sementara rasa iri telah menjadi dorongan kuat untuk tidak merelakan segala sesuatu yang telah menjadi harta Mundus, termasuk hubungan kepala perang itu dengan “mbak-mbak”. 
Dengan perlahan tapi pasti, Jirimo menjadi nyalang, ia ingin menyerang Mundus untuk menyatakan segala macam bentuk kebencian. Tapi ia menyadari, bahwa keberanian untuk melakukan hal semacam itu tak pernah ada, kecuali bila dengan sengaja ia mau melakukannya. Dan kedatangan para pencari kayu dengan karton-karton penuh wiski membuat Jirimo mengerti, bagaimana harus menyulut keberanian itu.
Sekilas Jirimo dapat melihat seorang “mbak-mbak” keluar dari Mundus punya bevak, kemudian menyelinap ke dalam hutan. Tak lama kemudian tampak pula Mundus keluar dari bevak, mengikuti langkah “mbak-mbak” itu. Jirimo berniat mengikuti mereka berdua, tapi ia segera mengurungkan niat ketika ia melihat bayang-bayang Mika berkelebat dengan kayu bakar tergenggam di tangan, bergerak menuju arah ke mana Mundus pergi. Jirimo menyeringai, hati laki-laki itu seketika bersorak. Ia cukup mengerti apa yang akan terjadi dengan mereka bertiga setelah kayu bakar berbicara. Setelah itu, ia tinggal memperkeruh suasana.
Jirimo duduk santai di muka pintu sambil menenggak sebotol wiski, ia terus menenggaknya berulang kali sampai pandangannya mulai mengabur, rasa takut itu menghilang dan ia cukup berani untuk mencaci-maki Mundus. Jirimo tak perlu menunggu lebih lama, karena tak berapa lama kemudian tampak berkelebatan bayangan Mundus kembali ke bevak. Jirimo telah mabuk kini, kesadarannya telah sebagian pergi, sehingga ia dapat berbuat menurut kehendak hati. Dengan langkah melayang Jirimo segera mencegat Mundus di muka bevak.
“Hei, Mundus, berhenti kamu!” Jirimo berteriak. Suara itu seakan teguran yang menyentakkan Mundus dari lamunan. Seketika, kepala perang itu pun menghentikan langkah.
“Hei, ada hal apa dengan kamu?” Mundus bertanya dengan nada heran.
“Kamu orang tidak pantas menjadi kepala perang, terlalu banyak makan perempuan!” Jirimo menantang dengan sikap mengejek.
“Makan perempuan?” Mundus membelalakkan mata seakan ia tengah melihat benda asing di depannya. Kemudian, meledaklah tawa kepala perang itu, demikian keras, sehingga gaungnya seakan terpantul ke seluruh penjuru hutan.
“Kamu orang punya tertawa macam suanggi, tidakkah engkau malu dengan masyarakat di kampung ini?” Jirimo menggertak.
“Malu, malu apa?!” Mundus meludah. “Kitorang tidak menipu, tidak membunuh. Engkaulah yang harus malu, engkau sudah banyak membunuh orang dengan suanggi!” Mundus balik mengejek.
“Membunuh? Ha… ha… ha!” Jirimo tergelak kemudian menerjang Mundus, sehingga kepala perang itu terjerembap ke tanah dengan mulut menyeringai, kesakitan.
“Setan kamu, Jirimo!” Dengan sebuah loncatan Mundus berdiri dan segera bergerak menghajar Jirimo. Kalau saja Jirimo tidak dalam keadaan mabuk, ia akan cukup waspada terhadap serangan Mundus. Akan tetapi, keadaan mabuk telah membuat pandangan Jirimo mengabur. Keberaniannya terbukti memang, tapi separuh dari keuatannya telah menghilang. Jirimo memekik, karena rasa sakit yang luar biasa ketika Mundus menendang perutnya kemudian menghujani dengan pukulan berantai. Jirimo tak berdaya, tak berdaya. Tapi di atas segala rasa sakit dan ketakberdayaan itu, ia masih dapat menyerang Mundus dengan sebuah pukulan telak, tepat pada bagian tubuhnya yang rahasia.
Suara mengaum dari mulut Mundus bergaung bagai raungan masa purba. Kepala perang itu kini bersimpuh dengan wajah sepucat kapas, air matanya nyaris mengucur. Ia meratap-ratap, menyebut roh nenek moyang dengan segala kekuatan yang ada pada mereka untuk mengatasi pedih perih. Tapi jawaban yang ia terima adalah tusukan jarum berkarat yang membawa kesadarannya melayang jauh. Mundus pasrah saja ketika tangan-tangan legam menggotongnya ke dalam bevak. Sementara Jirimo yang berlumuran darah, tersaruk-saruk kembali ke bevak. Untuk yang kesekian kali ia harus mengakui keampuhan Mundus sebagai kepala perang. Meski laki-laki itu telah terkapar, tapi bekas-bekas pukulan di tubuhnya membuatnya harus berpikir kembali untuk terus menyerang.
Mundus masih mengerang, ia tak menolak apa pun pertolongan yang diberikan oleh orang-orang yang tinggal di dalam bevak. Ia juga tak melawan ketika Arben membuka celana pendek sebagai satu-satunya pakaian yang melekat pada tubuhnya. Mata Mundus terpejam, ia tak melihat guratan keterkejutan dan keheranan pada raut muka Arben ketika laki-laki itu mendapati keadaan kemaluannya.
“Sifilis…” Arben berbisik perlahan. Ia paham betul gejala penyakit itu, sebab-sebab, dan pengobatannya, karena beberapa kali pernah terjangkit. Tapi, bagaimana kejadinnya, sehingga Mundus bisa terjangkit penyakit kotor ini? Arben menjadi lemas. Ia memandang raut muka Mundus yang pias dengan gamang. Perlahan-lahan Arben mulai teringat, kejadian yang menimpa Ero, sehingga wanita itu tak berani lagi datang ke hutan ini dan memilih kembali ke Timika untuk bekerja sebagai wanita penghibur pada sebuah bar terkenal.
Arben juga teringat, betapa “mbak-mbak” yang dibawa ke hutan ini acap kali menghilang beberapa saat untuk alasan yang tidak jelas dan kembali ke bevak dengan satu kantong gaharu. Arben mengangguk-anggukkan kepala, ia mengerti sudah. Laki-laki itu mengertakkan rahangnya dengan geram. Ia menebar pandang ke seluruh isi bevak untuk mencari-cari Mia, tapi orang yang dicarinya tak ada. Ketika pintu terbuka dengan suara berderit Arben berharap, bahwa Mia akan datang. tapi harapannya segera sirna, karena sosok yang muncul dari balik pintu itu adalah Mika.
Suara melolong segera bergaung dari mulut Mika ketika melihat keadaan Mundus. Wanita itu duduk bersimpuh dengan air mata deras mengucur. Yowero muncul tak lama kemudian dengan noken penuh gaharu, ia segera mengempaskan kayu itu ke lantai dengan suara berdebum kemudian bersimpuh memeluk Mundus erat-erat dengan tubuh menggigil.
“Bapa…” cemas Yowero memanggil Mundus, ia mengira bapaknya sudah sekarat dan tengah menjelang ajal.
Suasana di dalam bevak itu menjadi ribut. Ratapan Mika dan Yowero kemudian sanak keluarga yang berdatangan semakin memekakkan telinga, tapi Arben tak terlarut dalam suasana itu. ia terpekur di mulut ruangan dalam diam dan galau yang nyaris tak dapat dikendalikan. Ia menunggu Mia kembali dengan dugaan barangkali wanita itu ada pergi ke sungai untuk mencuci, tapi hingga menjelang gelap wanita itu tak juga tiba. Arben mulai cemas, ia teringat nasib yang menimpa Ero. Tidak mustahil Mia mengalami nasib yang sama.
Sementara itu kegelapan mulai merayap ke dalam bevak. Mundus telah terlelap, suara melolong itu telah mereda berganti dengan sedu sedan. Yowero tengah sibuk menyalakan lampu gas sebagai satu-satunya penerangan di dalam raugann ini. Arben tersentak ketika sadar lampu gas telah menyala benderang sementara di luar malam telah melarut, hitam bagai jelaga.
“Mia…” Arben berdiri perlahan kemudian bergerak mencapai daun pintu. Ketika daun pintu itu terbanting, maka suasana yang ia dapatkan di sekitar hanyalah kegelapan. Arben berniat mengambil senter, kemudian pergi mencari Mia yang tak juga tampak batang hidungnya, tapi laki-laki itu segera mengurungkan niat, ketika ia menyadari perbuatan apa yang kira-kira telah dilakukan Mia sehingga Mundus dapat terjangkit penyakit kotor.
Cukup lama Arben terduduk di muka pintu sementara nyamuk-nyamuk ramai berdengung seakan sedang berpesta pora. Sampai tiba-tiba ia melihat bayangan Mia tersaruk-saruk berjalan dengan muka bengkak dan percikan darah pada pakaiannya. Wanita itu mengulurkan tangan, memohon pada Arben supaya laki-laki itu menggapainya. Tapi Mia menjadi terkesima, ketika dalam keremangan ia dapat melihat Arben menatapnya penuh kebencian. Bulu kuduk wanita itu meremang, ia seakan merasakan dingin mata pisau yang ditempelkan tepat pada urat lehernya.
“Sejak sedari dulu engkau memang pelacur. Sekarang, setelah aku membayarmu di sini, engkau tetap saja pelacur. Jangan dikira aku tidak tahu perbuatan apa yang telah engkau lakukan dengan Mundus. Besok, kau harus angkat kaki dari sini atau aku akan membunuhmu. Ingat, di sini tidak akan ada orang yang menjadi saksi, mayatmu akan sia-sia membusuk di dalam lumpur.” Arben memandang Mia dengan jijik. Sekali ia meludahi muka perempuan itu, kemudian masuk ke dalam bevak dan menutup daun pintu dengan suara berdebum. Di luar Mia berdiri ternganga, ia merasa begitu sulit memercayai kata-kata Arben, tapi bagaimana ia harus menyangkalnya?
***
Sejak perkelahian dengan Jirimo, Mundus menjadi sakit-sakitan. Luka pada kemaluan itu semakin menjengkelkan. Sementara malaria adalah penyakit lain yang tidak mudah pula disembuhkan, terlebih karena gizi yang buruk. perubahan ini tak pernah lepas dari pengamatan Jirimo. Laki-laki itu terkekeh melihat penderitaan yang dialami Mundus, ia seolah telah menghitung sisa hidup kepala perang itu. Jirimo tak berani secara langsung menyerang Mundus memang, tapi niat untuk mencelakai laki-laki itu tak juga sirna. Sampai suatu ketika Jirimo merasa begitu tertarik dengan seorang “mbak-mbak” yang dibwa oleh pencari gaharu.
Wanita itu sungguh berbeda dengan “mbak-mbak” yang lain. Ia mengenakan pakaian dengan pantas dan rapi dan berperilaku halus. Jirimo memandang ketiga istrinya yang sehari-hari harus bersimbah peluh untuk memenuhi kebutuhan makan, kemudian membandingkannya dengan “mbak-mbak” itu. Ia pun menarik napas panjang, “mbak-mbak” itu sungguh berbeda. Jirimo terus mengamati wanita itu, ia sungguh beruntung, bahwa di bevak-nya pernah tinggal seorang wanita yang amat menarik. Tentu, ia selalu menyempatkan diri untuk mengintip wanita itu manakala dia mandi dan berganti pakaian. Jirimo terpana, ia tergugah oleh pemandangan yang luar biasa. Seperti halnya Mundus, Jirimo pun ingin berbuat lebih dari itu.
Satu kali ketika suasana bevak menjadi sunyi, hanya tinggal Jirimo dan Berti, nama wanita itu, maka ia pun menjadi berani. Mula-mula Jirimo mengerjapkan mata, kemudian meraba tangan Berti sambil menyeringai. Ia berharap, Berti akan menjadi senang, keduanya kemudian akan menyelinap diam-diam ke tengah hutan. Akan tetapi, di luar dugaan Berti menepis tangan Jirimo, membuang pandang, kemudian pergi ke luar bevak, meninggalkan Jirimo dalam keterpanaan.
“Tidak seperti yang saya kira…” Jirimo bergumam dengan kecewa, ia sungguh-sungguh tak dapat menahan diri terhadap segala kemolekan Berti, tapi wanita itu nyata-nyata menolaknya. Apa boleh buat? Jirimo menarik napas panjang kemudian mengertakkan rahangnya dengan geram. “Awas kamu!” Jirimo mengancam dalam hati. Laki-laki itu pun terduduk dengan lemas, ia sungguh-sungguh berhasrat terhadap Berti, tapi bagaimana ia mesti memenuhi hasrat itu? Jirimo terus berpikir, sementara perhatiannya tak pernah terlepas dari ulah sikap Berti. Demikian halnya yang terjadi pada siang itu.
Ketika secara diam-diam ia tengah memperhatikan Berti, maka ia melihat wanita itu ada bermain mata dengan Mundus. Jirimo mempertajam pengamatannya, seolah ia tak percaya dengan kejadian di depannya. Tak berapa lama kemudian ketika Jirimo melihat Berti menyelinap ke dalam hutan sementara Mundus segera mengekor di belakangnya, maka ia segera mempersiapkan gendewa dan anak panah. Jirimo jafal betul setiap jengkal tanah yang ada di hutan ini, sehingga ia tidak sulit untuk mengikuti jejak langkah Mundus dan Berti. Manakala ia berada pada sebuah dahan pohon yang tinggi, maka ia dapat menyaksikan ulah sikap kedua orang itu dengan darah mendidih. Berti nyata-nyata menolaknya, tapi menurut dengan segala Mundus punya mau. “Bedebah!” Jirimo memaki dalam hati.
Tak sadar Jirimo segera merentang anak panah, ia terlalu ahli dalam membidik, sehingga sulit bagi sasaran yang tidak bergerak untuk menghindar. Ketika anak panah itu melesat bagai didorong kekuatan mahadahsyat, maka perasaan Jirimo mantap sudah. Ia ingin mengakhiri hidup kedua orang itu, tanpa seorang pun saksi. Anak panah pertama menancap tepat di punggung Mundus. Laki-laki itu pun terpekik. Anak panah itu nyaris menembus jantung, racun bekerja dan luka itu menimbulkan sakit yang sungguh dalam.
Mundus memerlukan beberapa detik sebelum kembali pada kesadaran untuk memahami musibah apa yang terjadi pada dirinya. Ketika ia merasa ada sebatang anak panah menancap di punggungnya, maka ia memberanikan diri uantuk mencabut anak panah itu, melawan rasa sakit yang alang-kepalang. Mundus berteriak sekuat tenaga, darah segar menyembur, laki-laki itu pun terkapar. Sementara Berti menjadi demikian ketakutan. Ia berniat menghindar ketika melihat sebatang anak panah meluncur ke dadanya, tapi terlambat. Gerakan refleks telah menghindarkan jantungnya dari sasaran anak panah, tapi bahunya tak dapat diselamatkan. Anak panah itu tembus di bahu sebelah kiri, tembus ke belakang. Rasa sakit menyebabkan Berti nyaris kehilangan seluruh kesadarannya. Wanita itu menggelepar-gelepar dengan tubuh setengah telanjang. Dan tiba-tiba kesunyian di seputar hutan terpecah oleh suara tertawa yang menyeramkan. Suara itu bergaung, mendirikan bulu roma.
Sesaat, Mundus dan Berti tersentak. Berti merasa bulu kuduknya meremang, ia seperti mendengar suara iblis yang tengah menuntut pembalasan. Sementara bagi Mundus, suara itu telah berubah menjadi lentikan api yang membakar amarah. Ia mengenal suara tertawa itu. Suara khas dari kedengkian Jirimo.
“Jirimo…” dengan sisa tenaga Mundus mencoba mencari bayang-bayang Jirimo, tapi yang tampak di seputar hutan itu hanyalah hijau dedaunan. Mundus akhirnya mendengar isak tangis Berti. Wanita malang itu kini tengah menggelepar, karena luka bidikan anak panah pada bahu sebelah kiri. Ketika ia merasa ada sebuah tenaga mencabut anak panah itu, Berti terpekik. Ia tak mampu lagi menguasai rasa sakit, terkulai tak sadarkan diri. Ketika tersadar, maka Berti mendapati dirinya telah terbaring di dalam bevak. Ia tak melihat siapa-siapa, kecuali Mika yang memandangnya dnegan mata semerah bara. Guratan wajah wanita itu sedemikian mengerikan, sehingga ia merasa tubuhnya menggigil ketakutan.
“Perempuan, jangan kamu orang mengira, bahwa kitorang tidak tahu saiapa koe dan apa yang engkau lakukan dengan sa pu laki. Engkau perempuan sundal. Terlalu banyak engkau membuat kekotoran kamu orang tahu akibatnya? Sa pu laki sekarang terkancing, hampir-hampir mati. Kitorang taramau lagi melihat kamu orang punya muka di hutan ini. Kalau kamu masih saja melawan, akan tahu akibatnya.” Mika menatap Berti dengan kebencian yang amat dalam, kemudian pergi menjauh, meninggalkan Berti dalam kesunyian, seolah wanita itu telah berubah menjadi benda kutukan.
Berti menggapaikan tangannya, ia berniat mengucapkan sepatah kata pada Mika, tapi terlambat. Wanita yang diliputi amarah itu telah menghilang di balik daun pintu dengan entakan yang sangat keras. Berti pun terkulai, ia merasa tubuhnya seringan kapas dan melayang di antara mega-mega. Sementara Mika segera melompat dari bevak setelah membanting pintu keras-keras dengan sepenuh kebencian. Kesabaran yang salama ini ulur hingga memanjang telah sampai pada batasnya, sudah tiba saatnya untuk menentukan sikap. Langkah wanita itu bergerak lebih panjang daripada biasanya, ia ingin segera menjauh dari tempat ini setelah segala kekotoran dan sakit hati.
Sementara itu, di tepi sungai, pada sebuah perahu Yowero dan Mundus telah menunggu dengan seluruh barang yang telah dikemas rapi. Bevak telah kosong, tak ada lagi yang tersisa kecuali para pencari gaharu yang menjadi bingung setelah tuan rumah kembali ke kampung dalam keadaan terluka parah. Mika meloncat ke dalam perahu, kemudian memangku kepala Mundus dengan segala rasa iba. Yowero menghidupkan johnson, tak lama kemudian mesin itu pun mengaum, membelah sepi tak banyak kata-kata terucap selama perjalanan ke kampung, Mundus terbenam dalam rasa sakit yang menggila, karena racun anak panah yang aktif bekerja. Ketika perahu itu telah sampai di kampung, maka Mundus telah kehilangan separuh dari kesadarannya. Mika bermaksud membawa Mundus ke Puskesmas Pembantu, tapi bidan desa yang bertugas di tempat itu sedang cuti melahirkan.
Seisi kampung menghambur ke luar untuk memberikan pertolongan bagi Mundus. Laki-laki malang itu tak banyak berulah ketika tangan-tangan kekar memikulnya beramai-ramai kemudian merebahkannya di atas tapin, di dalam rumah yang telah diliputi debu. Mundus merasa tenggorokannya seakan terbakar, sementara luka di punggungnya telah menimbulkan rasa nyeri tiada terperi. Ketika ia meminta air dengan rintihan yang amat lemah, Mika segera memberikan segelas air Vit yang tersisa. Beberapa detik Mundus merasa demikian segar. Tapi, tak berapa lama kemudian Mundus segera mengerang. Daya tahan sebagai kepala perang membuatnya cukup mampu menunda waktu sebelum akhir yang menegangkan.
Yowero telah bersimbah air mata, ia pernah merasa ketakutan semacam ini beberapa tahun yang lalu, ketika Donatus meregang kemudian terkulai, karena anak panah Jirimo. Kini, ketakutan itu terulang kembali. Ia tengah meninggalkan masa kanak-kanak dan menjelang masa remaja kini, tapi rasa takut yang pernah mencengkeramnya tak pernah berubah.
“Siapa melakukan semua ini, Bapa?” suara Yowero terbata-bata, ia sungguh-sungguh tak tega melihat penderitaan bapaknya.
Di lain pihak, Mundus masih terus mengerang, samar-samar ia dapat mendengar kata-kata Yowero. Ia ingin berteriak keras, bahwa Jirimo adalah biang keladi dari segala musibah ini, tapi lidahnya terasa kelu. Ketika dengan amat lemah Mundus meminta Yowero untuk meletakkan telinga ke mulutnya, maka anak itu segera menurut. Suara Mundus nyaris tak terdengar, tapi cukuplah bagi Yowero untuk memahami semua ini.
“Jirimo…” demikian Mundus berbisik. Seketika mata Yowero terbelalak, ia tak mengira, bahwa Jirimo akan melakukan kekejaman terhadap bapaknya setelah Donatus menjadi korban karenanya. Yowero merasa darahnya mendidih. Ingin rasanya ia segera menyeruak ke tengah hutan kemudian menerjang Jirimo, sehingga laki-laki itu segera binasa. Tapi, bagaimana ia dapat melakukan, badan Jirimo sedemikian besar dan kekar, ia akan segera terjerembap ke dalam lumpur bila sekali saja laki-laki itu menyepaknya. Ia punya badan terlalu kecil, ia bukanlah lawan yang sebanding bagi Jirimo. Yowero menarik napas panjang, hatinya menjadi buntu. Ia memandang muka Mundus dengan sepenuh harap, bahwa keadaan bapaknya akan membaik. Tapi harapan itu sia-sia, wajah Mundus kian memucat, matanya terpejam. Demam yang tinggi menyebabkan Mundus seakan terpanggang api.
Mika menjadi pucat melihat keadaan suaminya, ia duduk bersimpuh id dekat Mundus dengan air mata bercucuran, bengkak sudah hati wanita itu. Tuan tanah agaknya telah menghukum Mundus atas segala perbuatannya, sehingga suaminya itu menderita kini. Mika mencoba memijit-mijit kaki Mundus untuk mengurangi rasa sakitnya, tapi Mundus tak merasakan apa-apa. Luka di punggungnya itu seolah menyala bagai api, panas membara.
Ketika dengan perlahan Mundus membuka mata, samar-samar ia dapat melihat Mika. Sungguh kasihan wanita itu. Apa kesalahannya, sehingga ia harus berurai air mata. Diam-diam Mundus menyesal, ia telah banyak menyengsarakan wanita itu. Memang. Ia tak lagi tinggal satu rumah dengan Upra, karena istri mudanya itu menjadi sakit-sakitan kemudian kembali kepada orangtuanya. Tapi apa yang telah ia lakukan bersama “mbak-mbak”, dengan gaharu yang ia miliki. Mundus menghela napas dalam-dalam. Seandainya ia tak pernah bermain gila dengan Berti, apakah ia akan mengalami nasib seperti itu? Rasa sakit itu mendesak Mundus pada sebuah penyesalan yang amat dalam.
“Oh, tetek manis…” Mundus mengeluh.
“Sudahlah, Mundus, engkau mengerti kini. Kitorang su tahu kalau gaharu sebenarnya tidak boleh dijual pada dorang-dorang, tapi kitorang melakukannya, sehigga engkau mendapat malapetaka. Jangan engkau mengira, bahwa saya tidak mengerti semua perbuatan yang engkau lakukan dengan sundal-sundal itu. Saya tahu, Mundus, tapi engkau tidak bisa ditegur. Dorang-dorang itu membawa roh jahat di dalam tubuhnya, roh jahat itu kini bersarang di tubuhmu. Tuan tanah telah menghukummu, Mundus, telah menghukummu.” Mika bersuara pelan, tapi bagi Mundus kata-kata itu telah berubah menjadi sebatang anak panah yang bersarang di gendang telinga. Mundus mengeluh kemudian segalanya menjadi gelap. Dalam kegelapan itulah dengan perlahan tapi pasti kesadaran Mundus muncul, betapa ia telah berbuat semena-mena terhadap perempuan ini dan betapa sudah amat terlambat kesadaran ini. Mundus cukup mengerti, bahwa hari-hari yang tersisa tak panjang lagi. cukupkah waktu baginya untuk menebus kesalahan terhadap Mika? Mundus menarik napas dalam-dalam. Luka di punggungnya membuatnya terus mengerang, air mata Mika semakin deras bercucuran.
Sekali ini Mundus cukup membuktikan kekuatannya sebagai kepala perang. Ia dapat mengulur waktu beberapa hari sebelum akhirnya maut datang dengan perlahan tapi pasti tanpa banyak cingcong. Pada saat-saat terakhir itu Mika dan Yowero selalu bersama Mundus, sementara anak-anak Mundus yang lain, Yemnen, Yalean, Tuka, dan Wenen berdatangan. Suasana di dalam rumah panggung itu pun menjadi ramai. Tapi Mundus, sebagai titik pusat dari keramaian itu telah terberangus dalam sunyi. Mundus tak mengenali lagi satu per satu dari semua yang ada. Kesadarannya semakin menjauh, menembus dinding pemisah antara kehidupan di dunia kini dan sebuah alam yang lain sama sekali. Beberapa detik setelah tercekik dalam rasa sakit yang menegangkan, badan halus itu pun terlepas dari tubuh Mundus, sehingga napas kepala perang itu pun terputus. Kematian telah mengakhiri segala rasa sakit dan penderitaan Mundus, kemudian membawanya dalam damai.
Suara tangis meraung segera terpecah bagai getaran gempa yang menggoyahkan rumah panggung itu. Suara itu bagai sebuah isyarat yang menyedot seisi kampung bergerak menuju ke rumah duka. Suasana menjadi hiruk-pikuk, seakan badai yang mengempas. Tak lama kemudian orang yang berduka itu segera menghambur ke luar untuk bermandi lumpur. Di antara orang-orang yang melolong itu tampak pula Yowero. Ia meraung sekeras-kerasnya untuk menumpahkan segala kepedihan hati, karena kematian Mundus. Yowero terdiam setelah air matanya kering, ia tak menangis lagi kini, tapi di dalam dirinya timbul kebencian yang kian menggumpal. Ia dalah satu-satunya orang yang mengetahui pembunuh bapaknya. Kalau saja ia mengatakan, maka seisi kampung akan bergerak memburu Jirimo. Tapi ia sudah berkeputusan untuk tidak mengatakan. Ia akan mengatakan dengan caranya sendiri. Yowero pun membisu hingga jenazah Mundus dimakamkan. 

                                                                                              ***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...