Selasa, 28 Mei 2019

S A L I --Kisah Seorang Wanita Suku Dani-- DUA





BAB II
 

Jiwika, seorang pemuda di kampung ini telah terbunuh dalam suatu perkelahian, karena memperebutkan seorang gadis. Darahnya yang mengalir serta tangis wanita yang melahirkannya telah menyulut api kemarahan seisi kampung. Dan tangis itu tak berhenti juga hingga berhari-hari, rintihan dan ratapan itu akhirnya berubah menjadi angin beliung yang mengobarkan bara api, sehingga seisi kampung terjaga.

“Jiwika, saya punya anak, mengapa engkau tinggalkan mamak pergi dengan darah di badan? Mengap engkau mati terbunuh? Aku melahirkan kemudian membesarkanmu, tapi kehidupan ini tidak adil, siapa yang akan membayar darah bagi kematianmu? Siapa Jiwika?”

Ratapan perempuan itu terus menggema ke seluruh penjuru kampung, suasana berkabung seperti tidak akan pernah berakhir.  Tak ada yang dapat mengakhiri suasana berkabung kecuali terjadi bayar darah bagi kematian Jiwika. Maka tua-tua adat pun berkumpul untuk mencari suatu jalan supaya tangisan itu berhenti. Berhari-hari setelah tua-tua adat berkumpul, keputusan bagi bayar darah terhadap kematian Jiwika disepakati. Perang suku dimaklumkan bagi masyarakat di kampung ini. Bila perang tidak dikobarkan, maka tangis perempuan itu tidak akan pernah berhenti dan keadaan akan terus memburuk.
Untuk mengawali peperangan, maka adat bakar batu diselenggarakan. Hasil kebun terbaik disiapkan, babi-babi gemuk dipanah, dipotong kemudian dimasak bersama dalam lubang dengan batu panas yang memutih. Sementara seluruh peralatan perang telah dikeluarkan dari honai adat, genderng, panah, tombak, dan kapak batu. Kepala perang telah mengenakan pakaian adat, siap dengan tombak dan perisai di tangan.

Setelah hasil kebun dan babi itu masak, maka prajurit yang siap berperang itu pun menyiapkan tenaga dengan makan sekenyang-kenyangnya. Dan akhirnya saat keberangkatan itu pun siap sudah. Genderang perang telah ditabuh dengan bertalu-talu, gaung dari genderang itu menimbulkan daya magis, suatu kekuatan tak tampak mata yang mampu mengobarkan semangat setiap prajurit untuk berperang di medan tempur, untuk hidup atau mati. Kaum wanita melepaskan kepergiaan suami dan anak laki-lakinya dengan roman muka sulit dilukiskan. Sehari-hari kaum laki-laki tak melakukan pekerjaan berarti, kecuali berburu atau memanah burung, sementara kaum wanita rutin berkebun. Kini, kaum laki-laki dihadapkan pada tugas maha berat yang tak dapat terelakkan demi martabat puaknya, yaitu perang. Dengan resiko mereka akan kembali atau tidak akan pernah lagi kembali.

Kugara ada di antara sepasukan yang siap berperang itu, ia telah siap dengan pakaian adat dan peralatan perang dan telah pula makan dengan sekenyang-kenyangnya. Ia tak bisa mengelak diri tuntutan adat, yaitu berperang. Kugara berpamit pada Lapina dan Liwa dengan perasaan tak terkatakan, ia seakan tengah menjemput maut. Telah berulang kali ia terlibat dengan perang antar suku, tetapi ia tak pernah berangkat berperang dengan perasaan seperti ini. Lapina melepas Kugara dengan bayi kecil dalam gendongannya, ia tak berkata-kata. Ketika seorang istri melepas suami pergi berperang, maka ia harus menempatkan diri ke dalam sebuah kesadaran, bahwa esok hari mungkin ia akan terbangun sebagai seorang janda. Kali ini dengan seorang makhluk kecil tak berdosa yang menjadi tanggung jawabnya. Lapina masih terpaku hingga prajurit yang siap tempur itu bergerak menuju padang terbuka diiringi suara genderang yang membahana dan pekikan panjang.

Matahari mulai tinggi ketika “pasukan” itu tiba di tanah datar. Musuh telah bersiap pula menunggu, lengkap dengan peralatan perang dan bunyi genderang. Setelah kedua belah pihak siap, panglima perang memberi aba-aba, maka jeritan keras kembali terdengar, kedua pihak saling beradu, dengan sebuah dorongan, menjatuhkan lawan.

Padang luas yang sunyi pada hari-hari biasa, kini menjadi hiruk pikuk oleh lautan manusia yang bertikai, saling menyerang dengan peralatan perang. Perlahan-lahan darah mulai mengalir, prajurit yang tak mampu lagi bertempur, lari bersembunyi menyelamatkan diri, sehingga jumlah yang berperang semakin lama menjadi semakin berkurang. Ketika senja turun, matahari semakin condong dengan cahaya yang muram terhalau mendung dan akhirnya padam sama sekali. Maka perang harus dihentikan, gelap malam merupakan pertanda alam bagi kedua pihak, bahwa perang harus berakhir tanpa harus memperhitungkan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Kugara kembali ke silimo bersama seluruh pasukan, termasuk prajurit yang terluka, laki-laki itu masih berhak akan hidupnya. Sampai keesokan pagi ketika perang harus diteruskan pada hari kedua. Lapina dan Liwa melepas Kugara pergi dengan mulut terkunci, ada sesuatu yang aneh pada kepergian Kugara kali ini. Wajah laki-laki itu tampak sedemikian pucat, sementara sepasang matanya telah kehilangan cahaya. Lapina tertegun dengan penampilan Kugara, suara hatinya membersihkan sesuatu yang menakutkan, diam-diam lututnya gemetar, tapi ia tak berpikir panjang. Babi-babi harus diberi makan dan tembakau bagi Kugara harus disiapkan.

Lapina menyerahkan bayi kecil kepada Liwa untuk kemudian ia melindas rasa gamang dengan kesibukan bekerja. Lapina seakan tak menyadari, betapa waktu berjalan cepat. Ia telah membakar ubi manis lebih banyak dari biasanya bagi kedatangan Kugara. Ia juga telah mengisi kantung-kantung air, sehingga Kugara dapat segera menghilangkan dahaga, karena peperangan itu. Tapi tiba-tiba Lapina didera rasa gelisah, ia tidak dapat melakukan apa-apa sampai dari kejauhan terdengar suara hiruk pikuk prajurit kembali dari pertempuran. Hari telah gelap. Lapina berharap Kugara akan menyeruak masuk ke dalam honai untuk mendapatkan ubi manis dan kantung air. Lapina berharap untuk ....

Harapan Lapina ternyata kandas. Kugara tak akan pernah menyeruak masuk ke dalam honai untuk mendapatkan makanan yang telah disiapkan. Laki-laki itu tak akan pernah meminta apa-apa lagi, juga hak dan perkawinannya. Kugara datang dalam keadaan digotong beramai-ramai dengan luka menganga bekas ujung tombang, tepat di dadanya. Darah masih mengucur, masih hangat, mata Kugara terpejam, wajahnya pucat pasi, kaki dan tangannya tak dapat lagi digerakkan. Daya hidup yang menggerakkan badan kasarnya telah tercabut. Laki-laki itu telah gugur di medan perang sebagai prajurit yang menuntut bayar darah bagi kematian Jiwika.

“Kugara......!” Lapina berdiri kaku, seolah tak percaya pada penglihatannya, atau ia sedang menyangkal pemandangan yang tampak di depan matanya, tetapi sia-sia. “Apa yang terjadi denganmu?” Lapina segera memburu Kugara, memeluk jasad yang berlumuran darah. Air matanya menetes, jeritnya melolong panjang. Ia tak dapat menyangkal penglihatannya. Kugara terbujur dengan luka di dada, ia tak bergerak, ia telah mati.

Lapina menyapu darah yang menodai tubuh Kugara, membasuh ke wajah kemudian turun ke dadanya. Lapina merasakan sakit, seolah ujung tombak itu telah menembus pula belahan dadanya. Ia masih sangat muda, dengan seorang bayi kecil di dalam gendongannya, dan kematian Kugara telah membuatnya menjadi seorang janda, seorang janda.

Sementara Liwa jatuh terduduk, pandangan matanya menjadi kabur dan samar-samar, ia seakan sedang mengulang mimpi buruk. Mimpi yang memaksa datang pada saat terjaga, mimpi yang sangat menakutkan. “Bapa .... “, terbata Liwa memanggil Kugara, ia masih berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Tapi raungan Lapina membuat Liwa sadar, ia tidak sedang bermimpi, tetapi menghadapi kenyataan. Kugara kembali dari perang suku dengan tubuh terbujur bermandi darah. Ia tak bergerak lagi, seperti yang pernah terjadi pada diri Aburah, mamaknya yang belum lama tiada. Sekarang Kugara mati menyusul Aburah, Liwa pun meraung, meraung tiada henti. Ia menangisi Kugara, menangisi Aburah, dan menangisi dirinya sendiri. Ia tak memiliki siapa-siapa lagi kecuali Lapina dan bayi kecil itu.

Tangisan Lapina dan Liwa telah menyulut tangisan yang lain, sehingga suasana di dalam silimo itu menjadi pekak oleh suara tangisan. Malam semakin gelap, kabut tebal mengungkung seisi lembah seakan misteri bagi datangnya maut pada hari itu. Lapina dan Liwa terus meraung hingga suara menjadi kering, rasa duka dan penat memapahnya menuju tidur yang tidak nyenyak dan gelisah hingga keesokan paginya. Jenazah Kugara telah kaku, ia gugur sebagai pahlawan. Laki-laki itu terbunuh setelah ia berhasil menebas leher pembunuh Jiwika dengan kapak batu. Ia telah membayar darah bagi kematian Jiwika dengan darahnya sendiri. Ia adalah seorang prajurit pada hari terakhirnya. Upacara pembakaran kembali disiapkan. Sepanjang upacara itu Lapina dan Liwa tak pernah berhenti meraung, meratap, dan merintih. Mereka sungguh menyesal, Kugara bukan meninggal secara wajar, karena usia tua seperti setangkai daun kering yang jatuh pada musim gugur. Ia tewas secara menyengsarakan dalam perang suku, Lapina tak memerlukan sebutan janda seorang pahlawan, ia ingin Kugara kembali, tapi keinginan itu telah sirna.
Ketika jenazah Kugara mulai dilahap api, hati Lapina dan Liwa sama hancurnya dengan keadaan jenazah Kugara. Kematian dan pembakaran itu membuat Lapina mengerti, betapa  pun ia tak pernah bermimpi menjadi istri Kugara, tetapi laki-laki itu pernah  hadir dalam hidupnya, bahkan memberinya seorang anak, bayi mungil yang amat dikasihinya. Kugara telah memperkenalkan kepadanya perihal kehidupan keluarga, keseharian yang membingungkan, yang harus terus dijalaninya, sehingga ia tak tahu lagi, apa sebenarnya yang disebut dengan kebingungan. Tetapi ia telah belajar tentang kehidupan. Lapina mengerti, betapa Kugara telah membawa dirinya pada kenyataan hidup yang mau tidak mau harus dihadapi. Dan kini, laki-laki itu telah dilahap api pada akhir hidupnya, Lapina terisak-isak. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sangat tua, layu, dan lesi. Wanita itu telah dihempas badai kehidupan maha dasyat yang tak pernah mampu dipelajari asal usulnya, kecuali bahwa dirinya adalah seorang pelaku.

“Kugara .... Kugara ....!” Lapina menjerit-jerit, bau daging hangus tercium dengan amat keras, asap tebal mengepul, menyatu dengan langit. Belum lama silimo ini menjadi ramai oleh kematian Aburah, kini jenazah Kugara kembali  hangus dalam api yang menyala-nyala.

Liwa bergulung-gulung di atas lumpur, ia telah kehilangan Aburah. Kematian itu seakan baru terjadi hari kemarin, kini Kugara menyusul pergi. Liwa merasa sebatang kara, ia tak memiliki siapa-siapa lagi di dalam hidupnya, kecuali Lapina dan bayinya yang masih kecil. Liwa memandang asap tebal itu dengan putus asa. Ia seakan ingin ikut terbang membumbung tinggi ke langit, meninggalkan hari-hari duka yang merampas masa kanak-kanaknya. Tapi ia tak punya sayap, bocah itu harus melampaui detik-detik waktu yang menyakitkan, hatinya tersayat-sayat.

Kemudian segalanya berlalu dengan cepat, waktu terus berguir sebagai hukum alam semesta yang berdetak dengan pasti dan berwenang merubah segalanya. Pada hari berikutnya setelah kematian itu, maka Liwa harus kembali menjadi pelaku adat. Adat yang menakutkan dan menggenapi kesakitannya. Lapina mengetahui akan hal itu, ia memeluk Liwa dengan segala   rasa kasih, air matanya mengucur.

“Saya takut mama!” Liwa memeluk Lapina erat-erat dalam rasa takut yang amat sangat. Badan Liwa menjadi kurus dan kecil, ia tak  mempunyai tempat berlindung kecuali Lapina.

“Tak usah engkau takut, semua anak kecil yang ditinggal mati orang tuanya, karena berperang harus memahami hal seperti ini. Kau lihat ruas jariku yang hilang, aku pun pernah mengalaminya. Bila tidak, roh Kugara tidak akan tenang. Bukankah engkau menyayanginya?”

“Aku selalu menyayanginya, tapi aku tak mau kehilangan ruas jariku”, Liwa memeluk Lapina semakin erat, ia seakan tengah kehilangan separuh dari kesadarannya. Badannya menggigil. Di lain pihak, Lapina menjadi lunglai, ia teringat pada suatu masa, ketika harus merasakan hal yang sama seperti Liwa. Lapina mengusap-usap kepala Liwa dan menyapu air matanya. Pandangan wanita itu menerawang jauh, menghitung hari lalu yang dirundung kemalangan selalu. Hari ini ia masih harus berhadapan dengan kemalangan. Kemalangan apa lagi yang akan terjadi pada hari depan?

Lapina terpaku ketika seorang tua-tua adat yang berwenang memotong ruas jari Liwa datang dengan kapak batu tergenggang di tangan. Kematian akibat peperangan telah terjadi , anak kecil dari orang yang mati harus dipotong satu ruas jarinya sebagai pernyataan duka cita. Dan saat ini, anak itu adalah Liwa. Lapina harus menyerahkan Liwa pada tua-tua adat, tapi ia diliputi keraguan, air matanya tak pernah berhenti mengucur, sepasang matanya telah bengkak. Ia tak dapat membedakan mana lebih sakit, antara duka kehilangan Kugara dalam keadaan terbunuh atau mesti  menyaksikan Liwa kehilangan bapak, kemudian harus kehilangan pula ruas jarinya. Kepala Lapina menjadi pening, semakin lama semakin hebat, hingga ia tak sadar bahwa Liwa tak lagi ada di dalam pelukannya. Lapina menyandarkan diri ke dinding honai, matanya terpejam, seakan ia ingin membuang jauh-jauh kenyataan hidup yang harus dilampauinya. Di atas, matahari semakin terik, langit biru cerah, udara gerah, tapi Lapina merasa uap dingin menngungkung seisi silimo. Badan wanita itu pun menggigil.

Lapina mengatupkan mata semakin rapat, ketika ia mendengar jerit tangis dan lolongan Liwa. Jeritan dan lolongan itu terdengar dan meraung berulang-ulang, membawa Lapina kembal kepada masa lampau, ketika ia harus merasakan sakit yang sama. Wanita itu menutup sepasang telinga, hatinya tak berhenti mengutuki setan bernama adat yang telah memenggal ruas jarinya dan kini ruas jari Liwa.

Tidak jauh dari Lapina, Liwa tengah berperang melawan sakit tak terperi. Sebuah kapak batu diayun berulang kali oleh tangan yang perkasa tanpa kenal ampun. Ia tak pernah mengerti tentang adat, ia tak dapat melawan, ia cuma seorang bocah yang terjebak ke dalam tatanan nilai yang mengerikan. Bocah itu semakin tak dapat menguasai kesadarannya. Darah telah mengucur, membasahi tanah. Rasa pedih yang dalam mendorong Liwa menjerit, menjerit. Dan tiba-tiba, Liwa merasa matahari tergelincir ke langit sebelah barat lebih cepat dari hari-hari biasa. Suasana terang segera berubah menjadi gelap. Malam pun datang, bintang-bintang bertaburan, selebihnya kehitaman. Liwa tak dapat melihat apa-apa dan tak dapat merasakan apa-apa. Ia tersungkur dengan tangan berlumuran darah, ruas jarinya telah terpenggal.

                                                                  ***
Setelah saat-saat yang menyengsarakan itu, Liwa mendapati dirinya dalam keadaan terbaring. Ia tak tahu dengan pasti berapa lama ia terbaring, ia tak perlu menghitung hari, rasa sakit pada ujung jarinya telah merampas separuh dari kesadarannya. Bocah itu terbenam dalam rasa kecewa, menyesal, dan tak berdaya. Penderitaan datang bertubi-tubi, ia masih terlalu kanak-kanak untuk menerima semua ini, tapi dapatkah ia mengelak?

Tangannya yang kecil, kini terbalut erat-erat dalam selubung besar hingga ke batas siku. Darah tak lagi mengucur, tapi rasa perih tak juga berkurang. Liwa menyerahkan hidup pada Lapina, wanita muda yang telah menjadi orang tua dan selalu merawatnya. Lapina bersyukur, bahwa para tetangga telah membawa hasil kebun dalam jumlah yang besar, karena kematian itu, sehingga ia tak perlu lagi pergi ke kebun hingga luka pada ujung jari Liwa membaik.
Suatu hari ketika Liwa tengah terbaring di dalam honai, ia mendengar suara orang bercakap-cakap. “Sampai kapan engkau akan menjanda Lapina?” terdengar suara seorang laki-laki membuka pembicaraan.

“Mengapa engkau bertanya akan hal itu?” Lapina segera menjawab.
“Tak baik terlalu lama menjanda, lagi pula engkau masih sangat muda”.
“Hari ini, aku bahkan masih dalam kedukaan, apa maksudmu?” Lapina balik bertanya.
“Aku pasti akan melamarmu dengan babi-babi dan engkau pasti akan menjadi istriku”.
“Jangan bermimpi, aku masih dapat bertahan hidup dengan hasil kebun. Aku tak  menginginkan babi-babi itu”, suara Lapina terdengar tegas.
“Aih perempuan muda. Engkau tinggi hati sekali”, tiba-tiba terdengar suara berisik, diam sesaat, kemudian terdengar kembali suara Lapina berbicara. Kali ini dengan tegas.

“Kalau engkau berani menggangguku, aku akan mengadu kepada tua-tua adat dan mereka akan menuntut denda babi kepadamu. Atau aku akan menangis berhari-hari, sehingga suara tangisanku dapat memancing seisi silimo ini untuk membunuhmu!” terdengar suara benda keras terbanting, tak lama kemudian Lapina segera menerobos masuk ke dalam honai, membaringkan tubuh di samping Liwa. Sementara bayi kecilnya masih tertidur.

Lapina tak lagi berkata-kata, ia menatap langit-langit honai dengan muram. Terlalu banyak hal yang terjadi atas dirinya, tanpa ia dapat berkehendak atau menolak. Tapi perkawinannya dengan Kugara telah membuatnya mengerti, babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat dirinya diperlakukan sebagai budak. Tidak mudah melupakan hari-hari yang menakutkan itu. Adakah manusia yang dengan sadar berniat mengulangnya dalam suasana kedukaan? Lapina memejamkan mata rapat-rapat seolah tak hendak membukanya kembali. Ia ingin menghindar , dari hal-hal yang tidak dikehendaki, tanpa sadar mata wanita itu menjadi semakin berat , dan ia pun tertidur.
Waktu pun terus berlalu, hari berjalan menjadi minggu, minggu berganti menjadi bulan, dan bulan berubah menjadi tahun. Lapina membawa Liwa melewati rutinitas  yang sama hingga gadis itu tumbuh menjadi remaja, dan wanita itu tetap memilih untuk menjanda. Sementara di luar silimo perubahan terus bergulir. Upaya missionaris untuk membudayakan masyarakat Suku Dani terus berjalan sejak 1954 yang telah lalu, ketika untuk yang pertama kali missionaris menjejakkan kaki di Lembah Baliem dengan mengendarai pesawat ampibi dalam rangka menyebarkan Injil. Perubahan dengan amat perlahan terjadi dengan didirikannyaa sebuah gereja dan masyarakat Suku Dani dengan terpatah-patah mengikuti suatu keyakinan tentang adanya Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi. Secara sistematis penyebaran agama diterapkan, dalam kurun waktu tak terbatas.

Catatan sejarah menuliskan, bahwa pada tanggal 1 Oktober 1962 Pemerintah Belanda menyerahkan Irian Jaya pada pemerintah sementara PBB dan selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Perubahan yang terjadi setelah hari bersejarah itu amatlah perlahan. Sementara missionaris membangun gereja dan sekolah, maka pemerintah Indonesia membentuk kelembagaan di tingkat daerah. Bendera merah putih berkibar.
Masyarakat Suku Dani praktis menyaksikan perubahan itu sebagai penonton. Mereka dihadapkan pada pesawat terbang, deretan orang-orang berseragam yang menamakan dirinya aparat pemerintah, dan segala peraturan. Liwa masih terlalu bocah untuk memahami perubahan itu. Di tengah arus perubahan yang semakin pesat Liwa hanyalah seorang anak yang tak dapat mengerti, untuk apa semua perubahan ini harus terjadi? Hal yang diingat Liwa adalah orang-orang berseragam yang menamakan dirinya aparat negara telah melarang  adat pemotongan ruas jari pada saat kedukaan, demikian pula adat berperang. Larangan itu menyebabkan suara melolong dri bocah kecil yang dipotong ruas jarinya, tak terdengar lagi. Sementara perlengkapan perang diamankan dari honai adat dan disimpan di dalam sebuah museum. Baik pemerintah maupun missionaris berdampingan memberdayakan masyarakat Dani menuju peradaban. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu ratusan atau bahkan milenium bagai sebuah pencapaian.

Liwa terus bertumbuh menjadi gadis remaja dengan pinggang yang kian ramping, dada membukit, dan wajahnya yang lugu. Lapina tetap menjanda, ia memilih hidup bersama Liwa sambil membesarkan bayi laki-lakinya yang kini telah menjadi seorang anak. Ia menggantungkan hidupnya kepada hasil kebun, air kali, dan udara lembah yang segar. Lapina sangat terhibur dengan celoteh dan gerak laku anak laki-lakinya yang mengingatkan dirinya akan Kugara. Sementara Liwa telah menjadi teman bekerja di kebun setiap hari, sepanjang tahun. Ia memang tak pernah melhirkan anak itu, tapi ia telah memapahnya dalam keadaan limbung, karen kematian demi kematian. Kini, ia adalah ibunya.
Pada hari Minggu Lapina membawa Liwa ibadah ke gereja. Ia harus mencermati khotbah demi khotbah dengan pemahaman yang sederhana. Sekolah pun kemudian dibangun, tapi sudah amat terlambat bagi Liwa, ia sudah terlalu dewasa untuk duduk di bangku sekolah dasar. Liwa pun tumbuh sesuai bakat alam, hingga tibalah saat untuk meninggalkan keremajaan dan memulai babak baru, yaitu memasuki kehidupan perkawinan.

                                                              ***
Nun jauh di sana, di tempat sebuah peradaban berkembang seorang gadis kecil menerima sebuah judul cerita anak-anak: Genderang Perang dari Wamena. Gadis kecil itu amat gemar membaca, ia telah berimajinasi dalam sederet komik H.C. Andersen, cerita dongeng, dan bertumpuk majalah anak-anak. Ia medapatkan suatu kehidupan lain dalam setiap halaman yang disimaknya. Buku-buku yang dibacanya membuat hari-harinya menjadi penuh gairah dan pertanyaan.
Genderang Perang dari Wamena diberikan oleh saudara tertua, gadis kecil itu segera terbenam di kamarnya yang hangat, membuka lembar demi lembar yang penuh sensasi dan misteri. Adalah seorang anaak laki-laki missionaris yang bersahabat dengan seorang anak Suku Dani di sebuah kota bernama Wamena yang terletak di Lembah Baliem di tengah-tengah irian Jaya. Wamena selalu diliputi kabut, udara dingin, dan beku. Pada masa lampau suku-suku yang menghuni lembah itu gemar berperang dengan menggunakan senjata tradisionil yang memiliki kekuatan gaib. Akan tetapi, kehadiran missionaris dan pemerintahan yang resmi menyebabkan adat berperang harus dihentikan, sementara segala bentuk perlengkapan perang akhirnya disembunyikan di tempat-tertentu.
Lama setelah adat perang dihentikan dan perlengkapan perang disembunyikan demi alasan keamanan. Dua orang anak missionaris dan Suku Dani bermain pada sebuah gudang dan menemukan genderang perang yang sengaja disembunyikan. Ketika genderang perang itu ditabuh, maka muncullah kabut putih yang semakin lama semakin tebal. Di dalam kabut tebal itu muncul dua sosok manusia yang saling berkomunikasi, berselisih, dan berbaikan kembali. Setiap hari kedua bocah itu bermain di gudang, memukul genderang perang sambil menyaksikan kabut tebal dengan kejadian-kejadian di dalam kabut itu. Anehnya setiap kejadian yang  muncul dalam kabut tebal akhirnya menimpa kedua anak itu, anak missionaris dan anak Suku Dani. Gambaran di kabut itu seolah ramalan bagi hari yang akan datang. Ajaib!

Tapi kedua bocah itu akhirnya menjadi ketakutan. Mereka bahkan tidak ingin mengetahui kejadian yang akan menimpa dirinya esok hari. Akhirnya genderang perang itupun dikembalikan pada tempatnya, tak pernah disentuh lagi. Gadis kecil itu menutup cerita dengan rasa ingin tahu dan sebuah pertanyaan di benaknya. Dimanakah kota berkabut yang bernama Wamena?
“Gayatri, sudah sore, ayo jangan lupa tugasmu?” sebuah suara membuyarkan lamunan gadis kecil itu, sebelum akhirnya ia bergegas meninggalkan kamar untuk tugas rutin sehari-hari, menyapu lantai dan merapikan seisi rumah.

 

                                                           ***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...