Jiwika, seorang pemuda di kampung ini telah terbunuh dalam suatu perkelahian, karena memperebutkan seorang gadis. Darahnya yang mengalir serta tangis wanita yang melahirkannya telah menyulut api kemarahan seisi kampung. Dan tangis itu tak berhenti juga hingga berhari-hari, rintihan dan ratapan itu akhirnya berubah menjadi angin beliung yang mengobarkan bara api, sehingga seisi kampung terjaga.
“Jiwika, saya punya anak, mengapa engkau tinggalkan mamak pergi dengan darah di badan? Mengap engkau mati terbunuh? Aku melahirkan kemudian membesarkanmu, tapi kehidupan ini tidak adil, siapa yang akan membayar darah bagi kematianmu? Siapa Jiwika?”
Ratapan
perempuan itu terus menggema ke seluruh penjuru kampung, suasana berkabung
seperti tidak akan pernah berakhir. Tak ada yang dapat mengakhiri suasana
berkabung kecuali terjadi bayar darah bagi kematian Jiwika. Maka tua-tua adat
pun berkumpul untuk mencari suatu jalan supaya tangisan itu berhenti.
Berhari-hari setelah tua-tua adat berkumpul, keputusan bagi bayar darah
terhadap kematian Jiwika disepakati. Perang suku dimaklumkan bagi masyarakat di
kampung ini. Bila perang tidak dikobarkan, maka tangis perempuan itu tidak akan
pernah berhenti dan keadaan akan terus memburuk.
Untuk mengawali peperangan, maka adat bakar batu diselenggarakan. Hasil kebun
terbaik disiapkan, babi-babi gemuk dipanah, dipotong kemudian dimasak bersama
dalam lubang dengan batu panas yang memutih. Sementara seluruh peralatan perang
telah dikeluarkan dari honai adat, genderng, panah, tombak, dan kapak
batu. Kepala perang telah mengenakan pakaian adat, siap dengan tombak dan
perisai di tangan.
Setelah hasil kebun dan babi itu masak, maka prajurit yang siap berperang itu pun menyiapkan tenaga dengan makan sekenyang-kenyangnya. Dan akhirnya saat keberangkatan itu pun siap sudah. Genderang perang telah ditabuh dengan bertalu-talu, gaung dari genderang itu menimbulkan daya magis, suatu kekuatan tak tampak mata yang mampu mengobarkan semangat setiap prajurit untuk berperang di medan tempur, untuk hidup atau mati. Kaum wanita melepaskan kepergiaan suami dan anak laki-lakinya dengan roman muka sulit dilukiskan. Sehari-hari kaum laki-laki tak melakukan pekerjaan berarti, kecuali berburu atau memanah burung, sementara kaum wanita rutin berkebun. Kini, kaum laki-laki dihadapkan pada tugas maha berat yang tak dapat terelakkan demi martabat puaknya, yaitu perang. Dengan resiko mereka akan kembali atau tidak akan pernah lagi kembali.
Kugara ada di antara sepasukan yang siap berperang itu, ia telah siap dengan pakaian adat dan peralatan perang dan telah pula makan dengan sekenyang-kenyangnya. Ia tak bisa mengelak diri tuntutan adat, yaitu berperang. Kugara berpamit pada Lapina dan Liwa dengan perasaan tak terkatakan, ia seakan tengah menjemput maut. Telah berulang kali ia terlibat dengan perang antar suku, tetapi ia tak pernah berangkat berperang dengan perasaan seperti ini. Lapina melepas Kugara dengan bayi kecil dalam gendongannya, ia tak berkata-kata. Ketika seorang istri melepas suami pergi berperang, maka ia harus menempatkan diri ke dalam sebuah kesadaran, bahwa esok hari mungkin ia akan terbangun sebagai seorang janda. Kali ini dengan seorang makhluk kecil tak berdosa yang menjadi tanggung jawabnya. Lapina masih terpaku hingga prajurit yang siap tempur itu bergerak menuju padang terbuka diiringi suara genderang yang membahana dan pekikan panjang.
Matahari mulai tinggi ketika “pasukan” itu tiba di tanah datar. Musuh telah bersiap pula menunggu, lengkap dengan peralatan perang dan bunyi genderang. Setelah kedua belah pihak siap, panglima perang memberi aba-aba, maka jeritan keras kembali terdengar, kedua pihak saling beradu, dengan sebuah dorongan, menjatuhkan lawan.
Padang
luas yang sunyi pada hari-hari biasa, kini menjadi hiruk pikuk oleh lautan
manusia yang bertikai, saling menyerang dengan peralatan perang. Perlahan-lahan
darah mulai mengalir, prajurit yang tak mampu lagi bertempur, lari bersembunyi
menyelamatkan diri, sehingga jumlah yang berperang semakin lama menjadi semakin
berkurang. Ketika senja turun, matahari semakin condong dengan cahaya yang
muram terhalau mendung dan akhirnya padam sama sekali. Maka perang harus
dihentikan, gelap malam merupakan pertanda alam bagi kedua pihak, bahwa perang
harus berakhir tanpa harus memperhitungkan siapa yang menang dan siapa yang
kalah.
Kugara kembali ke silimo bersama seluruh pasukan, termasuk prajurit yang
terluka, laki-laki itu masih berhak akan hidupnya. Sampai keesokan pagi ketika
perang harus diteruskan pada hari kedua. Lapina dan Liwa melepas Kugara pergi
dengan mulut terkunci, ada sesuatu yang aneh pada kepergian Kugara kali ini.
Wajah laki-laki itu tampak sedemikian pucat, sementara sepasang matanya telah
kehilangan cahaya. Lapina tertegun dengan penampilan Kugara, suara hatinya
membersihkan sesuatu yang menakutkan, diam-diam lututnya gemetar, tapi ia tak
berpikir panjang. Babi-babi harus diberi makan dan tembakau bagi Kugara harus
disiapkan.
Lapina menyerahkan bayi kecil kepada Liwa untuk kemudian ia melindas rasa gamang dengan kesibukan bekerja. Lapina seakan tak menyadari, betapa waktu berjalan cepat. Ia telah membakar ubi manis lebih banyak dari biasanya bagi kedatangan Kugara. Ia juga telah mengisi kantung-kantung air, sehingga Kugara dapat segera menghilangkan dahaga, karena peperangan itu. Tapi tiba-tiba Lapina didera rasa gelisah, ia tidak dapat melakukan apa-apa sampai dari kejauhan terdengar suara hiruk pikuk prajurit kembali dari pertempuran. Hari telah gelap. Lapina berharap Kugara akan menyeruak masuk ke dalam honai untuk mendapatkan ubi manis dan kantung air. Lapina berharap untuk ....
Harapan Lapina ternyata kandas. Kugara tak akan pernah menyeruak masuk ke dalam honai untuk mendapatkan makanan yang telah disiapkan. Laki-laki itu tak akan pernah meminta apa-apa lagi, juga hak dan perkawinannya. Kugara datang dalam keadaan digotong beramai-ramai dengan luka menganga bekas ujung tombang, tepat di dadanya. Darah masih mengucur, masih hangat, mata Kugara terpejam, wajahnya pucat pasi, kaki dan tangannya tak dapat lagi digerakkan. Daya hidup yang menggerakkan badan kasarnya telah tercabut. Laki-laki itu telah gugur di medan perang sebagai prajurit yang menuntut bayar darah bagi kematian Jiwika.
“Kugara......!” Lapina berdiri kaku, seolah tak percaya pada penglihatannya, atau ia sedang menyangkal pemandangan yang tampak di depan matanya, tetapi sia-sia. “Apa yang terjadi denganmu?” Lapina segera memburu Kugara, memeluk jasad yang berlumuran darah. Air matanya menetes, jeritnya melolong panjang. Ia tak dapat menyangkal penglihatannya. Kugara terbujur dengan luka di dada, ia tak bergerak, ia telah mati.
Lapina menyapu darah yang menodai tubuh Kugara, membasuh ke wajah kemudian turun ke dadanya. Lapina merasakan sakit, seolah ujung tombak itu telah menembus pula belahan dadanya. Ia masih sangat muda, dengan seorang bayi kecil di dalam gendongannya, dan kematian Kugara telah membuatnya menjadi seorang janda, seorang janda.
Sementara Liwa jatuh terduduk, pandangan matanya menjadi kabur dan samar-samar, ia seakan sedang mengulang mimpi buruk. Mimpi yang memaksa datang pada saat terjaga, mimpi yang sangat menakutkan. “Bapa .... “, terbata Liwa memanggil Kugara, ia masih berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Tapi raungan Lapina membuat Liwa sadar, ia tidak sedang bermimpi, tetapi menghadapi kenyataan. Kugara kembali dari perang suku dengan tubuh terbujur bermandi darah. Ia tak bergerak lagi, seperti yang pernah terjadi pada diri Aburah, mamaknya yang belum lama tiada. Sekarang Kugara mati menyusul Aburah, Liwa pun meraung, meraung tiada henti. Ia menangisi Kugara, menangisi Aburah, dan menangisi dirinya sendiri. Ia tak memiliki siapa-siapa lagi kecuali Lapina dan bayi kecil itu.
Tangisan
Lapina dan Liwa telah menyulut tangisan yang lain, sehingga suasana di dalam silimo
itu menjadi pekak oleh suara tangisan. Malam semakin gelap, kabut tebal
mengungkung seisi lembah seakan misteri bagi datangnya maut pada hari itu.
Lapina dan Liwa terus meraung hingga suara menjadi kering, rasa duka dan penat
memapahnya menuju tidur yang tidak nyenyak dan gelisah hingga keesokan paginya.
Jenazah Kugara telah kaku, ia gugur sebagai pahlawan. Laki-laki itu terbunuh
setelah ia berhasil menebas leher pembunuh Jiwika dengan kapak batu. Ia telah
membayar darah bagi kematian Jiwika dengan darahnya sendiri. Ia adalah seorang
prajurit pada hari terakhirnya. Upacara pembakaran kembali disiapkan. Sepanjang
upacara itu Lapina dan Liwa tak pernah berhenti meraung, meratap, dan merintih.
Mereka sungguh menyesal, Kugara bukan meninggal secara wajar, karena usia tua
seperti setangkai daun kering yang jatuh pada musim gugur. Ia tewas secara
menyengsarakan dalam perang suku, Lapina tak memerlukan sebutan janda seorang
pahlawan, ia ingin Kugara kembali, tapi keinginan itu telah sirna.
Ketika jenazah Kugara mulai dilahap api, hati Lapina dan Liwa sama hancurnya
dengan keadaan jenazah Kugara. Kematian dan pembakaran itu membuat Lapina
mengerti, betapa pun ia tak pernah bermimpi menjadi istri Kugara, tetapi
laki-laki itu pernah hadir dalam hidupnya, bahkan memberinya seorang
anak, bayi mungil yang amat dikasihinya. Kugara telah memperkenalkan kepadanya
perihal kehidupan keluarga, keseharian yang membingungkan, yang harus terus
dijalaninya, sehingga ia tak tahu lagi, apa sebenarnya yang disebut dengan
kebingungan. Tetapi ia telah belajar tentang kehidupan. Lapina mengerti, betapa
Kugara telah membawa dirinya pada kenyataan hidup yang mau tidak mau harus
dihadapi. Dan kini, laki-laki itu telah dilahap api pada akhir hidupnya, Lapina
terisak-isak. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sangat tua, layu, dan lesi.
Wanita itu telah dihempas badai kehidupan maha dasyat yang tak pernah mampu
dipelajari asal usulnya, kecuali bahwa dirinya adalah seorang pelaku.
“Kugara .... Kugara ....!” Lapina menjerit-jerit, bau daging hangus tercium dengan amat keras, asap tebal mengepul, menyatu dengan langit. Belum lama silimo ini menjadi ramai oleh kematian Aburah, kini jenazah Kugara kembali hangus dalam api yang menyala-nyala.
Liwa bergulung-gulung di atas lumpur, ia telah kehilangan Aburah. Kematian itu seakan baru terjadi hari kemarin, kini Kugara menyusul pergi. Liwa merasa sebatang kara, ia tak memiliki siapa-siapa lagi di dalam hidupnya, kecuali Lapina dan bayinya yang masih kecil. Liwa memandang asap tebal itu dengan putus asa. Ia seakan ingin ikut terbang membumbung tinggi ke langit, meninggalkan hari-hari duka yang merampas masa kanak-kanaknya. Tapi ia tak punya sayap, bocah itu harus melampaui detik-detik waktu yang menyakitkan, hatinya tersayat-sayat.
Kemudian segalanya berlalu dengan cepat, waktu terus berguir sebagai hukum alam semesta yang berdetak dengan pasti dan berwenang merubah segalanya. Pada hari berikutnya setelah kematian itu, maka Liwa harus kembali menjadi pelaku adat. Adat yang menakutkan dan menggenapi kesakitannya. Lapina mengetahui akan hal itu, ia memeluk Liwa dengan segala rasa kasih, air matanya mengucur.
“Saya takut mama!” Liwa memeluk Lapina erat-erat dalam rasa takut yang amat sangat. Badan Liwa menjadi kurus dan kecil, ia tak mempunyai tempat berlindung kecuali Lapina.
“Tak usah engkau takut, semua anak kecil yang ditinggal mati orang tuanya, karena berperang harus memahami hal seperti ini. Kau lihat ruas jariku yang hilang, aku pun pernah mengalaminya. Bila tidak, roh Kugara tidak akan tenang. Bukankah engkau menyayanginya?”
“Aku selalu menyayanginya, tapi aku tak mau kehilangan ruas jariku”, Liwa memeluk Lapina semakin erat, ia seakan tengah kehilangan separuh dari kesadarannya. Badannya menggigil. Di lain pihak, Lapina menjadi lunglai, ia teringat pada suatu masa, ketika harus merasakan hal yang sama seperti Liwa. Lapina mengusap-usap kepala Liwa dan menyapu air matanya. Pandangan wanita itu menerawang jauh, menghitung hari lalu yang dirundung kemalangan selalu. Hari ini ia masih harus berhadapan dengan kemalangan. Kemalangan apa lagi yang akan terjadi pada hari depan?
Lapina terpaku ketika seorang tua-tua adat yang berwenang memotong ruas jari Liwa datang dengan kapak batu tergenggang di tangan. Kematian akibat peperangan telah terjadi , anak kecil dari orang yang mati harus dipotong satu ruas jarinya sebagai pernyataan duka cita. Dan saat ini, anak itu adalah Liwa. Lapina harus menyerahkan Liwa pada tua-tua adat, tapi ia diliputi keraguan, air matanya tak pernah berhenti mengucur, sepasang matanya telah bengkak. Ia tak dapat membedakan mana lebih sakit, antara duka kehilangan Kugara dalam keadaan terbunuh atau mesti menyaksikan Liwa kehilangan bapak, kemudian harus kehilangan pula ruas jarinya. Kepala Lapina menjadi pening, semakin lama semakin hebat, hingga ia tak sadar bahwa Liwa tak lagi ada di dalam pelukannya. Lapina menyandarkan diri ke dinding honai, matanya terpejam, seakan ia ingin membuang jauh-jauh kenyataan hidup yang harus dilampauinya. Di atas, matahari semakin terik, langit biru cerah, udara gerah, tapi Lapina merasa uap dingin menngungkung seisi silimo. Badan wanita itu pun menggigil.
Lapina mengatupkan mata semakin rapat, ketika ia mendengar jerit tangis dan lolongan Liwa. Jeritan dan lolongan itu terdengar dan meraung berulang-ulang, membawa Lapina kembal kepada masa lampau, ketika ia harus merasakan sakit yang sama. Wanita itu menutup sepasang telinga, hatinya tak berhenti mengutuki setan bernama adat yang telah memenggal ruas jarinya dan kini ruas jari Liwa.
Tidak jauh dari Lapina, Liwa tengah berperang melawan sakit tak terperi. Sebuah kapak batu diayun berulang kali oleh tangan yang perkasa tanpa kenal ampun. Ia tak pernah mengerti tentang adat, ia tak dapat melawan, ia cuma seorang bocah yang terjebak ke dalam tatanan nilai yang mengerikan. Bocah itu semakin tak dapat menguasai kesadarannya. Darah telah mengucur, membasahi tanah. Rasa pedih yang dalam mendorong Liwa menjerit, menjerit. Dan tiba-tiba, Liwa merasa matahari tergelincir ke langit sebelah barat lebih cepat dari hari-hari biasa. Suasana terang segera berubah menjadi gelap. Malam pun datang, bintang-bintang bertaburan, selebihnya kehitaman. Liwa tak dapat melihat apa-apa dan tak dapat merasakan apa-apa. Ia tersungkur dengan tangan berlumuran darah, ruas jarinya telah terpenggal.
***
Setelah saat-saat yang menyengsarakan itu, Liwa mendapati dirinya dalam keadaan
terbaring. Ia tak tahu dengan pasti berapa lama ia terbaring, ia tak perlu
menghitung hari, rasa sakit pada ujung jarinya telah merampas separuh dari
kesadarannya. Bocah itu terbenam dalam rasa kecewa, menyesal, dan tak berdaya.
Penderitaan datang bertubi-tubi, ia masih terlalu kanak-kanak untuk menerima
semua ini, tapi dapatkah ia mengelak?
Tangannya
yang kecil, kini terbalut erat-erat dalam selubung besar hingga ke batas siku.
Darah tak lagi mengucur, tapi rasa perih tak juga berkurang. Liwa menyerahkan
hidup pada Lapina, wanita muda yang telah menjadi orang tua dan selalu
merawatnya. Lapina bersyukur, bahwa para tetangga telah membawa hasil kebun
dalam jumlah yang besar, karena kematian itu, sehingga ia tak perlu lagi pergi
ke kebun hingga luka pada ujung jari Liwa membaik.
Suatu hari ketika Liwa tengah terbaring di dalam honai, ia mendengar suara
orang bercakap-cakap. “Sampai kapan engkau akan menjanda Lapina?” terdengar
suara seorang laki-laki membuka pembicaraan.
“Mengapa
engkau bertanya akan hal itu?” Lapina segera menjawab.
“Tak baik terlalu lama menjanda, lagi pula engkau masih sangat muda”.
“Hari ini, aku bahkan masih dalam kedukaan, apa maksudmu?” Lapina balik
bertanya.
“Aku pasti akan melamarmu dengan babi-babi dan engkau pasti akan menjadi
istriku”.
“Jangan bermimpi, aku masih dapat bertahan hidup dengan hasil kebun. Aku
tak menginginkan babi-babi itu”, suara Lapina terdengar tegas.
“Aih perempuan muda. Engkau tinggi hati sekali”, tiba-tiba terdengar suara
berisik, diam sesaat, kemudian terdengar kembali suara Lapina berbicara. Kali
ini dengan tegas.
“Kalau engkau berani menggangguku, aku akan mengadu kepada tua-tua adat dan mereka akan menuntut denda babi kepadamu. Atau aku akan menangis berhari-hari, sehingga suara tangisanku dapat memancing seisi silimo ini untuk membunuhmu!” terdengar suara benda keras terbanting, tak lama kemudian Lapina segera menerobos masuk ke dalam honai, membaringkan tubuh di samping Liwa. Sementara bayi kecilnya masih tertidur.
Lapina
tak lagi berkata-kata, ia menatap langit-langit honai dengan muram.
Terlalu banyak hal yang terjadi atas dirinya, tanpa ia dapat berkehendak atau
menolak. Tapi perkawinannya dengan Kugara telah membuatnya mengerti, babi-babi
yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat dirinya diperlakukan sebagai
budak. Tidak mudah melupakan hari-hari yang menakutkan itu. Adakah manusia yang
dengan sadar berniat mengulangnya dalam suasana kedukaan? Lapina memejamkan
mata rapat-rapat seolah tak hendak membukanya kembali. Ia ingin menghindar ,
dari hal-hal yang tidak dikehendaki, tanpa sadar mata wanita itu menjadi
semakin berat , dan ia pun tertidur.
Waktu pun terus berlalu, hari berjalan menjadi minggu, minggu berganti menjadi
bulan, dan bulan berubah menjadi tahun. Lapina membawa Liwa melewati
rutinitas yang sama hingga gadis itu tumbuh menjadi remaja, dan wanita
itu tetap memilih untuk menjanda. Sementara di luar silimo perubahan
terus bergulir. Upaya missionaris untuk membudayakan masyarakat Suku Dani terus
berjalan sejak 1954 yang telah lalu, ketika untuk yang pertama kali missionaris
menjejakkan kaki di Lembah Baliem dengan mengendarai pesawat ampibi dalam
rangka menyebarkan Injil. Perubahan dengan amat perlahan terjadi dengan
didirikannyaa sebuah gereja dan masyarakat Suku Dani dengan terpatah-patah
mengikuti suatu keyakinan tentang adanya Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa,
pencipta langit dan bumi. Secara sistematis penyebaran agama diterapkan, dalam
kurun waktu tak terbatas.
Catatan
sejarah menuliskan, bahwa pada tanggal 1 Oktober 1962 Pemerintah Belanda
menyerahkan Irian Jaya pada pemerintah sementara PBB dan selanjutnya diserahkan
kepada Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Perubahan yang terjadi
setelah hari bersejarah itu amatlah perlahan. Sementara missionaris membangun
gereja dan sekolah, maka pemerintah Indonesia membentuk kelembagaan di tingkat
daerah. Bendera merah putih berkibar.
Masyarakat Suku Dani praktis menyaksikan perubahan itu sebagai penonton. Mereka
dihadapkan pada pesawat terbang, deretan orang-orang berseragam yang menamakan
dirinya aparat pemerintah, dan segala peraturan. Liwa masih terlalu bocah untuk
memahami perubahan itu. Di tengah arus perubahan yang semakin pesat Liwa
hanyalah seorang anak yang tak dapat mengerti, untuk apa semua perubahan ini
harus terjadi? Hal yang diingat Liwa adalah orang-orang berseragam yang
menamakan dirinya aparat negara telah melarang adat pemotongan ruas jari
pada saat kedukaan, demikian pula adat berperang. Larangan itu menyebabkan
suara melolong dri bocah kecil yang dipotong ruas jarinya, tak terdengar lagi.
Sementara perlengkapan perang diamankan dari honai adat dan disimpan di
dalam sebuah museum. Baik pemerintah maupun missionaris berdampingan
memberdayakan masyarakat Dani menuju peradaban. Sebuah kondisi yang memerlukan
waktu ratusan atau bahkan milenium bagai sebuah pencapaian.
Liwa
terus bertumbuh menjadi gadis remaja dengan pinggang yang kian ramping, dada
membukit, dan wajahnya yang lugu. Lapina tetap menjanda, ia memilih hidup
bersama Liwa sambil membesarkan bayi laki-lakinya yang kini telah menjadi
seorang anak. Ia menggantungkan hidupnya kepada hasil kebun, air kali, dan
udara lembah yang segar. Lapina sangat terhibur dengan celoteh dan gerak laku
anak laki-lakinya yang mengingatkan dirinya akan Kugara. Sementara Liwa telah
menjadi teman bekerja di kebun setiap hari, sepanjang tahun. Ia memang tak
pernah melhirkan anak itu, tapi ia telah memapahnya dalam keadaan limbung,
karen kematian demi kematian. Kini, ia adalah ibunya.
Pada hari Minggu Lapina membawa Liwa ibadah ke gereja. Ia harus mencermati
khotbah demi khotbah dengan pemahaman yang sederhana. Sekolah pun kemudian
dibangun, tapi sudah amat terlambat bagi Liwa, ia sudah terlalu dewasa untuk
duduk di bangku sekolah dasar. Liwa pun tumbuh sesuai bakat alam, hingga
tibalah saat untuk meninggalkan keremajaan dan memulai babak baru, yaitu
memasuki kehidupan perkawinan.
***
Nun jauh di sana, di tempat sebuah peradaban berkembang seorang gadis kecil
menerima sebuah judul cerita anak-anak: Genderang Perang dari Wamena. Gadis
kecil itu amat gemar membaca, ia telah berimajinasi dalam sederet komik H.C.
Andersen, cerita dongeng, dan bertumpuk majalah anak-anak. Ia medapatkan suatu
kehidupan lain dalam setiap halaman yang disimaknya. Buku-buku yang dibacanya
membuat hari-harinya menjadi penuh gairah dan pertanyaan.
Genderang Perang dari Wamena diberikan oleh saudara tertua, gadis kecil itu
segera terbenam di kamarnya yang hangat, membuka lembar demi lembar yang penuh
sensasi dan misteri. Adalah seorang anaak laki-laki missionaris yang bersahabat
dengan seorang anak Suku Dani di sebuah kota bernama Wamena yang terletak di
Lembah Baliem di tengah-tengah irian Jaya. Wamena selalu diliputi kabut, udara
dingin, dan beku. Pada masa lampau suku-suku yang menghuni lembah itu gemar
berperang dengan menggunakan senjata tradisionil yang memiliki kekuatan gaib.
Akan tetapi, kehadiran missionaris dan pemerintahan yang resmi menyebabkan adat
berperang harus dihentikan, sementara segala bentuk perlengkapan perang
akhirnya disembunyikan di tempat-tertentu.
Lama setelah adat perang dihentikan dan perlengkapan perang disembunyikan demi
alasan keamanan. Dua orang anak missionaris dan Suku Dani bermain pada sebuah
gudang dan menemukan genderang perang yang sengaja disembunyikan. Ketika
genderang perang itu ditabuh, maka muncullah kabut putih yang semakin lama
semakin tebal. Di dalam kabut tebal itu muncul dua sosok manusia yang saling
berkomunikasi, berselisih, dan berbaikan kembali. Setiap hari kedua bocah itu
bermain di gudang, memukul genderang perang sambil menyaksikan kabut tebal
dengan kejadian-kejadian di dalam kabut itu. Anehnya setiap kejadian yang
muncul dalam kabut tebal akhirnya menimpa kedua anak itu, anak missionaris dan
anak Suku Dani. Gambaran di kabut itu seolah ramalan bagi hari yang akan
datang. Ajaib!
Tapi
kedua bocah itu akhirnya menjadi ketakutan. Mereka bahkan tidak ingin
mengetahui kejadian yang akan menimpa dirinya esok hari. Akhirnya genderang
perang itupun dikembalikan pada tempatnya, tak pernah disentuh lagi. Gadis
kecil itu menutup cerita dengan rasa ingin tahu dan sebuah pertanyaan di
benaknya. Dimanakah kota berkabut yang bernama Wamena?
“Gayatri, sudah sore, ayo jangan lupa tugasmu?” sebuah suara membuyarkan
lamunan gadis kecil itu, sebelum akhirnya ia bergegas meninggalkan kamar untuk
tugas rutin sehari-hari, menyapu lantai dan merapikan seisi rumah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar