Jumat, 31 Mei 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- SEMBILAN

  




 
Hujan deras tercurah dari langit seakan lagu suka cita ketika Pangeran Wang  So mencapai altar, kegembiraan dari keluarga Raja dan rakyat Goryeo meluap-luap. Pangeran ke-4 ternyata memiliki kekuatan dasyat memanggil hujan, Langit merestuinya. Akan tetapi, darah Ratu Yoo seakan mendidih, ia tak pernah bermimpi suatu saat Pangeran ke-4 akan sampai pada sebuah hari yang menakjubkan. Ketika hujan akhirnya tercurah setelah tanah di seluruh kerajaan kering kerontang, karena ia terpilih sebagai pemimpin ritual. Sementara wajah Hae Soo memucat, saat Pangeran ke-4 kembali menoleh, menatap dengan senyum  kemenangan. Tiba-tiba Hae Soo kembali mendapatkan penglihatan, ia  tidak sedang bertatapan dengan Pangeran Wang So, tetapi Yang Mulia Raja Gwangjong dalam pakaian kebesaran berwarna gelap. “Yang Mulia Raja Gwangjong …” lirih suara Hae Soo berucap, akan tetapi sudah cukup  bagi Ji Mong untuk mendengar dan  menoleh kepada sumber suara.
Ratu Yoo tak mampu lebih lama  berdiri di tempat, dengan geram ia pergi meninggalkan ritual setelah hujan yang ditunggu-tunggu tercurah. Ia tak hendak  menatap Pangeran Wang So bersujud mengucap syukur kepada Langit dengan tata rias  luntur, bekas luka itu kembali terlihat. Akan tetapi, wajah dengan bekas luka gores itu tak akan lagi menakutkan, Pangeran Wang So telah menyelamatkan seluruh Goryeo dari kekeringan.
“Sorang pahlawan telah lahir”, Pangeran Wang Won  berguman takjub, jauh di relung hati ia menyimpan tanda tanya, bagaimana Wang So bisa menutupi bekas luka?
“Mungkinkah Wang So menggunakan tata rias dari tangan ahli untuk menutupi bekas luka? Siapa ahli tata rias itu? Ia pasti seorang yang sangat hebat …” Pangeran Wang Jung tak kalah takjub dengan Pangeran Wang Won. Pangeran Wang Wook yang mendengar ucapan Pangeran Wang Jung segera menoleh ke tempat Hae Soo berdiri bermandi hujan. Pangeran Wang Wook tahu, ahli tata rias hebat itu adalah Hae Soo.
Sementara Hae Soo merasa seluruh tubuhnya gemetar, menggigil. Ia harus menyadari, bahwa Pangeran Goryeo yang kelak akan menjadi Raja Gwangjong, yang tega  membunuh saudaranya demi tahta adalah Pangeran Wang So. Hae Soo menatap Pangeran Wang Wook dengan cemas, apa yang akan terjadi dengan Pangeran ke-8? Apakah ia akan pula terbunuh? Hae Soo tak dapat membayangkan kemungkinan itu.
Hae Soo tak dapat ikut bersuka cita ketika rakyat Goryeo memuja dan mengarak Pangeran Wang So, meski bekas luka itu kembali terlihat. Setelah bersusah payah membantu menutupi bekas luka dengan tata rias, kini rasa takut menghantam. Apakah Pangeran Wang So akhirnya akan menjadi Raja Gwangjong, karena campur tangan sebagai ahli tata rias dalam rangka ritual turun hujan? Apakah ia andil dalam membuat kesalahan, maka suatu saat seorang pangeran dapat membunuh saudaranya yang lain?
Tiba-tiba Pangeran Wang Wook menarik tangan Hae Soo, menjauh dari kerumunan. Kali ini  Hae Soo tak merasakan kebersamaan, ia terlarut semakin jauh dalam kecemasan. Tak mudah menerima kenyataan, bahwa Raja Gwangjong yang kelak akan membunuh saudara-saudaranya adalah Pangeran ke-4. Seorang yang sangat dekat, bahkan nyaris tanpa jarak, meski ia hanya seorang dayang.
"Apakah aku telah ikut serta membantu seorang pangeran sebagai pemimpin ritual turun hujan, maka kelak ia akan bertahta selaku Raja Goryeo?” Hae Soo  menggumam lirih. Perasaan yang kembali mencekam ketika menatap wajah Pangeran Wang Wook adalah ketakutan, “Hati-hati terhadap Pangeran Wang So, jangan pernah berlawanan dengan segala keinginannya …” tanpa sadar Hae Soo berucap, yang selalu ada di hati adalah Wang Wook, ia tak mampu kehilangan pangeran ini.
Di pihak lain Pangeran Wang Wook merasa heran, di antara semua wajah suka cita setelah hujan turun. Hae Soo justru tampak sebaliknya, wajah gadis itu mendung dan ketakutan. Mengapa? Pangeran Wang Wook tak akan pernah mendapatkan jawaban, ia  belum lagi sampai ke masa depan. 
Sementara Choi Ji Mong  tengah berdebat sengit dengan Pangeran Wang Yo, “Adalah kehendak langit, maka hujan tiba-tiba turun ketika Pangeran Wang So memimpin ritual”, ahli bintang itu membela Pangeran ke-4.
“Seharusnya aku yang menurunkan hujan, bukan So”, Pangeran ke-3 menatap Choi Ji Mong dengan geram. Wang So mendapatkan kesempatan emas mendapatkan pengakuan dari seisi Goryeo, kehebatannya sebagai pemimpin ritual. Sosoknya telah  bersemayam di hati keluarga raja dan rakyat banyak. Apa yang akan terjadi dengan dirinya?
Ratu Yoo datang tak lama kemudian dengan wajah tak kalah geram, tangannya yang lembut terangkat tinggi-tinggi, dan “Plakk!!” sebuah tamparan mendarat di pipi Pangeran Wang Yo. “Engkau melewatkan kesempatan yang sangat menentukan, bodohnya! Mestinya jangan pernah melepaskan, jika ada seseorang yang hendak mengambil apa yang seharusnya menjadi milikmu. Tebas lehernya!” suara Ratu Yoo terdengar seakan petir menyambar. Wajah Pangeran Wang So memucat, ia amat takut dengan kemarahan ibunda, ia telah membuatnya kecewa.
“Maaf ibunda, ini sebuah kesalahan”, Pangeran Wang Yo membela diri, mengapa ia harus berhadapan dengan ibunda ratu dalam keadaan seperti  ini?
“Jika aku harus menjadi ibu raja, engkau harus mampu bertindak, meski itu kejam. Aku yakin Hae Soo yang membantu So menutupi bekas luka. Aku bersumpah akan kubakar Istana Damiwon”, wajah Ratu Yoo semerah bara api, mengapa seorang dayang yang pernah hilang ingatan dapat mengubah nasib seorang pangeran? Mengapa?
                                    ***
Setelah ritual turun hujan usai, Putra Mahkota telah kembali istana, Pangeran Wang So bersama Pangeran Wang Mo berdua menghadap Yang Mulia Raja, “Aku merasa senang dan bangga dengan kehebatanmu sebagai pemimpin ritual hujan. Rakyat Goryeo berterima kasih, kekeringan usai sudah”, wajah Raja Taejo tampak gembira, ia menatap Pangeran Wang So dengan rasa kasih. Kali ini Pangeran ke-4 tak lagi mengenakan topeng. Sosok yang berdiri di hadapannya bersama Putra Mahkota adalah seraut wajah tampan. Keajaiban telah terjadi.
“Sayapun senang, So telah menggantikan tugas sebagai pemimpin ritual. Hujan benar-benar turun”, Putra Mahkota tak kalah senang, Wang So menggantikan tugasnya, ia terlambat kembali, karena terhalang oleh sekumpulan pencuri.
“Setelah sekian lama akhirnya aku dapat melihat wajah tampanmu”, senyum Raja Taejo mengembang, ia takjub. Tanpa topeng dan bekas goresan luka Pangeran Wang So ternyata sebuah penampilan yang menawan.
“Terima kasih ayah”, Pangeran Wang So mengangguk, seumur hidup ia  menantikan saat seperti ini, ketika akhirnya ia dapat memanggil ayah kepada seorang raja. Ketika ia dapat diperlakukan seperti halnya pangeran yang lain, dengan segala rasa hormat.
"Tunjukkanlah wajahmu pada dunia, percayalah pada dirimu sendiri. Tetaplah di samping Putra Mahkota sebagai kekuatan yang besar untuk membangun Goryeo menjadi lebih baik,”adalah nasehat Yang Mulia Raja dengan setulusnya.
 "Saya menerima perintah Yang Mulia," Pangeran Wang So menjawab takjim, pintu Goryeo telah terbuka selebar-lebarnya, karena kemurahan Yang Mulia Raja. Ia tidak memiliki alasan untuk menyia-nyiakannya. Sementara Choi Ji Mong dan Putra Mahkota saling bertatapan dengan senyum mengembang, keduanya tahu kemampuan Pangeran Wang So bertarung serta kesetiannya akan menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan.
                                   ***
Dalam pada itu Pangeran Wang Wook membimbing Hae Soo pada suatu tempat yang teduh, ada yang mengusik relung hati, wajah manis Hae Soo tampak murung dan  ketakutan. Tangan gadis itu gemetar saat ia menggenggam tangannya, “Adakah engkau menutupi bekas luka Wang So?”Pangeran Wang Wook bertanya. Sebagai jawaban Hae Soo mengangguk lemah.
“Engkau takut mendapatkan hukuman, karena menyentuh wajah pangeran?” Pangeran Wang Wook kembali bertanya, tetapi Hae Soo tak mampu menjawab sekalipun hanya sepatah kata.
“Tindakanmu sangat tepat, menyelamatkan Pangeran ke-4. Ia telah dapat tampil tanpa mengenakan topeng, ia berhasil memimpin ritual turun hujan. Tak akan ada yang terjadi, meski Wang So menggantikan tugas Putra Mahkota dalam ritual”, Pangeran Wang Wook tak pernah mengerti ketakutan yang mencekam hati kecil Hae Soo. Kata-katanya tak dapat memulas wajah pucat itu  menjadi berseri,dayang itu masih membungkam seribu bahasa.  
“Setelah ritual turun hujan Yang Mulia Raja akan mengabulkan satu permintaan. Aku akan meminta Yang Mulia melepaskanmu”, wajah tampan Pangeran Wang Wook tersenyum, ia masih memiliki harapan, Hae Soo akan selalu berada di sampingnya. Akan tetapi, Hae Soo tengah riuh berbincang dengan kecemasan, ia tak menangkap  maksud baik dan harapan Pangeran ke-8.  
"Aku tidak bisa tinggal diam begitu saja. Aku harus mencari tahu," gadis itu menggumam lirih.Ia berpamit kepada Pangeran Wang Wook, ia harus menemui seseorang yang dapat menjawab pertanyaan --Choi Ji Mong.
“Apakah seorang ahli bintang tahu, siapa yang akan menjadi raja berikutnya?” sendu sepasang mata Hae Soo.
"Apabila tidak terjadi hambatan Putra Mahkota telah terpilih," jawaban itu teramat tenang.
"Lalu siapa setelah Putra Mahkota?"
"Gwangjong ... seperti yang engkau katakan. Engkau memanggil Pangeran Wang So sebagai Gwangjong," suara Choi Ji Mong tetap tenang, seakan ia telah dapat melihat masa depan. Ahli bintang itu menatap Hae Soo beberapa saat sebelum kemudian bercerita. “Waktu berumur sekitar empat lima tahun, aku tenggelam. Orang-orang bilang aku sudah mati. Akan tetapi, ternyata aku kembali  terbangun pada hari berikut,”kata-kata Choi Ji Mong menyebabkan Hae Soo tertegun, kisah itu tak jauh berbeda dengan kejadian yang pernah menimpa dirinya. Hae Soo masih tertegun ketika ahli bintang itu kembali meneruskan cerita, “Sejak saat itu aku menjadi berubah, ibu berkata kalau aku menjadi lebih dewasa dan bijak melebihi umur yang sebenarnya. Aku sering mendapat penglihatan, entah mimpi atau nyata.Aku pernah melihat seekor burung besar membawa orang-orang terbang di atas langit, aku pernah pula melihat tangga yang bisa bergerak naik kemudian turun. Aku bahkan melihat bangunan setinggi langit yang dihuni banyak orang”, kata-kata Choi Ji Mong menyebabkan Hae Soo terhenyak.
 "Apakah Choi Ji Mong berasal dari masa depan sepertiku? Mungkin ia tidak sepenunnya mengingat, karena waktu itu masih terlalu muda,"  Hae Soo berbicara dengan dirinya sendiri.
"Kudengar engkau juga bangkit kembali dari kematian. Apakah engkau  telah melihat masa depan? Sekarang boleh bertanya, apa yang benar-benar ingin engkau ketahui?" Choi Ji Mong menatap wajah sendu Hae Soo, ia tahu kegalauan hati gadis itu.
Ada terlalu banyak pertanyaan dalam diri Hae Soo, apakah Wang So benar-benar akan menjadi Raja Gwangjong? Apakah Yang Mulia Raja benar akan membunuh semua orang? Bagaimana nasib Pangeran Wang Wook? Seperti apa masa depan Pangeran ke-8? Pertanyaan itu telah sampai ke ujung lidah, tetapi Hae Soo segera menelan kembali. Kata-kata yang terucap adalah, "Apa yang harus aku lakukan?"
"Tidak ada, tidak ada yang perlu engkau lakukan. Biarkan segalanya terjadi seperti halnya air yang mengalir, jangan pernah melibatkan diri."
“Kukira aku masih bisa mengubahnya, aku masih memiliki harapan untuk  mengubah sesuatu yang buruk menjadi yang baik”.
“Engkau yang menutupi bekas luka pada wajah Pangeran So, maka ia tak perlu lagi mengenakan topeng, tampil dasyat sebagai pemimpin ritual turun hujan? Suatu hal yang tak pernah terduga hujan  benar-benar turun”.
“Apakah takdir Pangeran So berubah, karena ia tak peril lagi mengenakan topeng?”
“Dalam hal ini aku tidak bisa menjawab, tak seorangpun tahu apakah takdir akan berubah atau sudah ditetapkan sejak awal? Manusia tidak akan bisa melarikan diri dari kehendak Langit. Biarkan segalanya berjalan dengan semestinya, maka engkau pun akan selamat”.
Percakapan berakhir, Hae Soo tak sepenuhnya mengerti, tetapi ia tak memiliki pilihan lain. Ia menjalani takdir hidup yang aneh. Ia hanya mampu menatap dengan seluruh perasaan terseret, tanpa mampu melakukan apa-apa.
                            *** 
Hujan yang telah lama ditunggu terus menrinai dari langit Goryeo, mengakhiri musim kering yang panjang dan meresahkan. Pangeran Wang Wook terdiam menatap curahan hujan saat Putri Yeon Hwa datang, tanpa banyak kata segera membuka percakapan, “So sudah berhasil mendapatkan kepercayaan Yang Mulia Raja, karena keberhasilan mendatangkan hujan. Mestinya engkau yang seharusnya  menggantikan Putra Mahkota memimpin ritual”, wajah jelita Sang Putri diliputi penyesalan, ia sangat menyayangi Pangeran ke-8 dan  berharap suatu saat Wang Wook akan menjadi raja.
"Ritul itu adalah takdir bagi So, dalam hal ini ia diperlukan. Aku tidak perlu melibatkan diri," Pangeran Wang Wook masih tetap menatap air hujan yang tercurah dari langit. Udara terik telah berubah menjadi sejuk.
"Orang yang mendapatkan kepercayan Yang Mulia Raja biasanya memiliki khayalan  tinggi. Bertambah satu orang lagi yang harus kita waspadai di lingkungan istana," Putri Yeon Hwa masih bermimpi, tak seorang pun akan mampu menghambat langkah Wang Wook menuju singgasana.
"Hae Soo mengatakan hal yang sama, Wang So akan berubah," Pangeran ke-8 berpikir keras, mengapa dua orang wanita yang teramat dekat memiliki kesan serupa. Seolah Wang So tidak boleh menerima kepercayaan Yang Mulia Raja setelah apa yang dialami selama ini.
“Jadi, dayang itu mengingatkanmu pula? Engkau harus hati-hati terhadap Wang So?” Putri Yeon Hwa selalu tidak nyaman dengan sebutan nama Hae Soo,
“Hae Soo yang membantu So menutupu bekas luka luka pada wajahnya, maka ia bisa tampil sebagai pemimpin ritual. So telah membuat keajaiban”, Pangeran Wang Soo  menadahkan tangan, seakan telah seribu tahun ia merindukan cucuran hujan. Seharusnya Hae Soo merasa bangga, ia telah menentukan pula takdir dan nasib ke depan Pangeran Wang So. Akan tetapi, mengapa dayang itu bahkan ketakutan? Bukankah sebagai sesama pangeran ia akan masih memiliki tempat di istana?
Sementara Hae Soo berjalan dengan langkah limbung, sekilas raut wajahnya menampakkan seakan dayang yang tengah linglung. Pangeran Wang So, seorang yang sangat dekat ternyata adalah cikal bakal seorang raja yang kejam. Dapatkah ia terus berada di dekat pangeran itu? Tiba-tiba seseorang menariknya kedalam pelukan, Hae Soo  menjerit ketika sadar orang itu ternyata Pangeran Wang So. Tanpa sadar ia mendorong Pangeran ke-4. “Maaf, aku terkejut”, Hae Soo cepat meminta maaf. Ia tidak berani menanggung akibat apabila Pangeran Wang So tahu, ia benar-benar mendorongnya. Pangeran Wang So tersenyum, ia mempercayai permintaan maaf Hae Soo. Dapatkah ia marah kepada seorang gadis yang telah menyelamatkan pemimpin ritual turun hujan. Tangan mungil Hae Soo dan kebaikan hatinya telah mengubah takdir hidup selamanya.  
“Untuk pertama dalam hidup akhirnya aku bisa memanggil Yang Mulia Raja dengan sebutan ayah.  Untuk yang pertama kali pula dalam 15 tahun ayah memandangku  tanpa rasa kasihan. Yang Mulia memintaku untuk lebih percaya diri dan menjadi kekuatan bagi Putra Mahkota, semua  rasa sakit tiba-tiba menghilang. Semua orang terus berterima kasih, tak seorangpun berucap betapa  menakutkan Pangeran Wang So, tak ada  lagi  yang memanggilku binatang. Aneh, tetapi aku mulai menyukai diriku yang seperti ini. Engkau telah mengubah semuanya”, senyum Pangeran Wang So tulus, ia tak pernah merasa bahagia seperti ini ketika berada di samping Hae Soo. Dayang itu telah melakukan tindakan dasyat, mengantarnya sebagai pemimpin ritual turun hujan, sehingga hujan benar-benar turun.
Pangeran Wang So tidak menyadari, atau ia terlalu bahagia untuk sekedar menyadari, sehingga ia terlupa untuk mengetahui isi hati Hae Soo. Dayang itu sama sekali tidak menampakkan senyum bahagia. Di pihak lain Hae Soo menatap Pangeran Wang So dalam jarak dekat, ia mencoba tidak percaya, bahwa pangeran yang tengah tersenyum polos itu kelak akan berubah menjadi seorang  raja yang kejam. Hae Soo melupakan kata-kata Choi Ji Mong untuk tidak melibatkan diri, ia masih mengira bisa mengubah masa depan Gwangjong.
Dengan keyakinan itu, Hae Soo  berucap, "Kelak, andai dibakar amarah sekalipun, tetaplah ingat untuk selalu menjadi seorang yang bersikap adil. Jangan pernah menumpahkan darah. Terhitung sejak ritual turun hujan takkan ada orang yang membuatmu marah. Setiap orang akan memberikan penghormatan dan rasa cinta."
Akan tetapi, Pangeran Wang So masih merasa terlalu bahagia untuk mendengarkan pesan itu. Bahwa pertemuan dengan Hae Soo akhirnya akan mengantar pada suatu hari, sehingga ia berhasil dengan menakjubkan sebagai pemimpin ritual turun hujan. Tak pernah ada cukup ucapan terima kasih  yang mampu diberikan kepada dayang ini. Pangeran Wang So tahu, ia tak akan pernah dapat melepaskan Hae Soo, seluruh hidupnya terbawa terlalu jauh.
***
Hari berikut, Yang Mulia Raja bersama Choi Ji Mong dan Jenderal Park melihat para pangeran berkumpul di paviliun. “Siapa di antara para pangeran yang  bisa menikah dengan Soon Duk?”Raja Taejo membuka pembicaraan.
“Bagaimana kalau Pangeran Jung? Soon Duk dan Jung keduanya menyukai bela diri”, Choi Ji Mong memberikan usul dengan pertimbangan akal sehat.
“Rumah tangga akan  hancur berserakan bila suami istri terus menerus bertarung”, Jenderal Park menyanggah.
“Atau So?” Raja Taejo memberikan pilihan lain.
“Mohon maaf, tidak”. Sesaat Jenderal Park terdiam sebelum akhirnya berucap, “Lebih baik dengan Pangeran Eun”,  jawaban itu menyebabkan Yang Mulia Raja dan Choi Ji Mong terhenyak. Mengapa Eun? Tentu Raja dan Taejo dan ahli bintang tidak mengerti, betapa hati putri Sang Jendral telah terpaut kepada Pangeran Wang Eun.
Dengan langkah pasti Yang Mulia Raja mendatangi para pangeran. “Aku berterima kasih untuk semua kerja keras para pangeran, terlebih So yang telah berhasil mengatasi kekeringan negeri ini. So, apa permintaanmu? Apa saja yang engkau inginkan, mungkin tanah di Songak?” 
“Terima kasih Yang Mulia, tanah di Songak tidak. Andai Yang Mulia Raja mengijinkan Hae Soo sebagai dayang pribadi, saya akan sangat bersyukur”, Pangeran Wang So mengajukan permohonan secara tak terduga dan mengejutkan.
“Baik, kukabulkan permintaanmu”, tidak sulit bagi Yang Mulia Raja mengabulkan permintaan Pangeran Wang So. Apa susahnya memberikan seorang dayang pribadi bagi pemimpinrituil yang tela hberhasil mendatangkan hujan?
Sementara pangeran yang lain terdiam, mengapa Wang So mengajukan permohonan yang aneh? Seorang dayang? Hae Soo mengangguk, ia tak memiliki pilihan kecuali menyetujui. Adapun Pangeran Wang Wook tampak keberatan, tetapi bagaimana ia dapat menyanggah persetujuan seorang raja setelah pemimpin ritual turun hujan meminta? Pangeran ke-8 terdiam, melirik Hae Soo dengan pikiran gamang.
“Dan satu pengumuman, akan digelar pernikahan. Eun akan menikah dengan Soon Duk”, pengumuman ini mengejutkan Pangeran Wang Eun.
Kata-kata Yang Mulia Raja tenang, akan tetapi di telinga Pangeran Wang Eun terdengar seakan genderang perang ditabuh.Wanita yang dipikirkan selalu Hae Soo, tetapi kini dengan yakin ayahanda raja mengumumkan perkawinannya dengan Park Soon Duk. Adakah ia mencintai putri jenderal itu? Secara langsung  Pangeran Wang Eun berlutut, “Mohon maaf Yang Mulia, saya masih terlalu muda untuk menikah. Apakah saya mencintai Park Soon Duk? Kiranya Yang Mulia berkenan mempertimbangkan kembali rencana perkawinan itu”, Pangeran Wang Eun merasa kepalanya seakan berputar laksana gasing, ia bahkan tidak pernah mengharapkan Park Soon Duk hadir dalam hidupnya.
Sekejab wajah Raja Taejo berubah semerah bara, Hae Soo merasa bulu kuduknya meremang. Adakah dalam kemarahan seorang raja sanggup membunuh anaknya? Kekuasaan Raja Goryeo adalah mutlak, terlebih dalam menggelar upacara pernikahan seorang pangeran. Istri yang dipilih bagi seorang pangeran tak bisa ditentang, atau tiang gantung bakal disiapkan. Putra Mahkota merasa uap panas mulai  menyebar ke seisi ruangan, ia tahu harus melakukan sesuatu  untuk menyelamatkan Pangeran Wang Eun. Pangeran  itu memberi hormat kepada Yang Mulia Raja sambil berkata, “Pangeran Eun pasti sangat bahagia dengan perkawinan ini, sehingga kehilangan kata-kata tepat untuk mengucapakan terima kasih. Eun …ucapkan  terima kasih”.
Dengan wajah pucat dan seluruh tubuh terasa berat Pangeran Wang Eun akhirnya  bangkit, “Terima kasih Yang Mulia …”suara itu terdengar lunglai. Tiba-tiba  sekantong kelereng berjatuhan dari dalam lengan Pangeran Wang Eun, seolah menegaskan bahwa ia masih seorang bocah kecil dan belum siap menikah.
Setelah percakapan berlalu Pangeran Wang Eun merasa perlu bercakap dengan Pangeran Won, hatinya terasa gundah. “Wanita tampak berbeda pada malam pertama, setelah itu semua sama saja. Aku bahkan sulit membedakan mana  istri pertama dan mana istri kedua”, Pangeran Wang Won tau kegundahan hati pangeran muda ini.
Di hadapan kedua pangeran itu tenga digelar pertandingan gulat, mata Pangeran Wang Won terbelalak ketika melihat salah satu pegulat ternyata Park Soon Duk, calon pengantin Pangeran Wang Eun. Dengan sekuat tenaga Pangeran Wang Won berusaha menghalangi Pangeran Eun, ia tidak ingin melihat Pangeran ke-10 melihat calon pengantin dalam keadaan sedang bertanding gulat melawan Pangeran Jung. Akan tetapi, Pangeran Wang Eun memaksakan diri melihat. Ketika tampak Park Soon Duk tengah bergulat melawan Pangeran Jung, bahkan  berhasil mengalahkan pangeran itu. Kepala Pangeran Wang Eun kembali terasa menggasing, mampukah ia menjelang malam pertama dengan seorang pegulat dan hidup bersama selama-lamanya sebagai  pasangan suami istri?
                                 ***
Sementara Pangeran Wang Eun mengalami kegalauan teramat dalam. Maka Hae Soo akan menjalani kehidupan berbeda sebagai dayang pribadi Pangeran Wang So. Sebelum meninggalkan Istana Damiwon ia merasa perlu menemui Pangeran Wang Wook untuk memberi hadiah sebagai balasan atas gelang yang pernah diterima. “Bantal ini saya buat atas permintaan Nyonya Hae supaya Pangeran ke-8 dapat tidur nyenyak”.
Pangeran Wang Wook menerima hadiah itu dengan canggung, ia kecewa Hae Soo agaknya tidak memahami pesan Nyonya Hae yang telah tiada. Ia pun memiliki hadiah untuk Hae Soo, sebuah buku. Sebuah pemberian  yang menyebabkan Hae Soo  mendesah tak kalah kecewa, ia mengira Pangeran Wang Wook memaksanya untuk belajar. Perubahan raut wajah itu menyebabkan Pangeran Wang Wook tersenyum geli, ia perlu memperlihatkan isi buku yang sebenarnya. Setiap halaman adalah rangkaian gambar, jika dibalik dengan cepat akan terlihat seperti gambar bergerak. Ajaib, senyum manis kembali mengias wajaah menawab Hae Soo, dengan  gembira ia membalik-balik buku gambar itu.
Pangeran Wang Wook merasakan hal yang sebaliknya, ia harus mengakui dengan pahit harapannya kandas. “Sebentar lagi akan digelar pernikahan kerajaan, hal itu berarti seorang dayang tidak akan bisa dibebastugaskan”, suara sendu Pangeran Wang Wook menyebabkan senyum Hae Soo menghilang mendengarnya.
“Pasti aka nada kesempatan lain”, Hae Soo  masih  memiliki keyakinan, masih berharap.
“Aku tak lagi merasa yakin, kesempatan kedua akan datang. Seringkali kesempatan hanya datang satu kali setelah itu pergi selamanya …”
"Jika pangeran bersabar menunggu, aku juga akan menunggu", jauh di dalah hati Hae Soo merasa gamang, bagaimana jika kecemasan Pangeran ke-8 benar? Tak akan pernah hadir kesempatan kedua, ia akan kehilangan Pangeran Wang Wook selama-lamanya.Hae Soo tergesa mengalihkan pikiran, ia kembali mencermati buku gambar. Awalnya ia tidak menyadari, setelah memperhatikan lebih dalam, Hae Soo mengerti, rangkaian gambar itu adalah sebuah kisah saat keduanya berjalan di atas tumpukan salju. Ada yang meleleh di relung hati gadis itu, firasat buruk, bagaimana ia bisa membicarakan sebuah kekhawatiran yang belum terjadi kecuali ia harus menghadapi.
"Lain kali bila salju turun, kita harus kembali berjalan-jalan", Pangeran Wang Wook masih  mengharap satu kali lagi kesempatan --andai harapan itu benar ada.
"Aku akan selalu menunggu saat itu", aneh, tak seperti biasanya ketika bertemu Pangeran Wang Wook. Kali ini Hae Soo  merasa sedih –kesedihan yang dalam.
"Engkaulah satu-satunya yang kucinta", Pangeran Wang Wook memeluk Hae Soo erat-erat, seolah tak berniat melepaskan.
                                   ***
Hae Soo tak bisa lebih berlama-lama dengan Pangeran Wang Wook, meski keduanya amat suka. Ia  harus kembali kepada tugas selaku dayang, ia masih memiliki celah waktu bercakap-cakap dengan Sanggung Oh,”Bagaimana seandainya saya dapat mengubah kehidupan orang lain? Haruskah saya berbalik kepadanya?”Hae Soo membuka  pembicaraan, masih terbayang wajah Raja Gwangjong di ketinggian pada ritual turun hujan, ada yang mengganjal di ulu hati.
Beberapa saat suasana diam, hingga suara Sanggung Oh terdengar, “Sebelum menetap di istana, aku sempat menyerahkan hati kepada seorang pria. Kami selalu berdua  memetik bunga dan tanaman herbal. Kukira ia telah melupakan tinggi cita-cita dan memilih hidup bersama.Tak kusangka ketika akhirnya ia bahkan membangun sebuah tempat, dan aku tak pernah berani menyentuhnya. Tak perlu berubah demi orang lain, tak harus memiliki kepercayaan untuk bisa mengubah seseorang”, Sanggung Oh tak ragu dengan kata-kata itu, ia telah merasakan pahit karenanya.
Hae Soo menarik napas panjang, ia dapat melihat wajah sendu Sanggung Oh di balik sorot matanya yang dingin. Ia mencukupi percakapan singkat ini, ada tugas menanti, merias wajah Pangeran Wang So supaya bekas luka itu tak tampak  menakutkan.”Bukan suatu hal yang sulit untuk melakukan tata rias ini, pangeran bisa mengerjakan sendiri setiap hari”, menurut Hae Soo merias wajah sendiri akan lebih mudah dari pada mesti dibantu seorang dayang.
“Engkau keberatan untuk selalu merias wajahku?”Pangeran Wang So bertanya.
”Akan lebih nyaman bagi seorang pangeran untuk mengerjakan sendiri”, Hae Soo memberikan secarik kertas yang berisi resep  tata rias wajah.”Pangeran bisa mengatur warna, merah dengan menambahkan bedak”, Hae Soo memiliki alasan bagi setiap jawaban.
Sekilas Pangeran Wang So melirik dayang itu, ada perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh Hae Soo. Dayang ini tampak lebih lembut, jauh berbeda dengan sikap pada kali pertama bertemu, kala itu Hae Soo lebih mirip bocah laki-laki. Tak lama Sanggung Oh datang dengan langkahnya yang pasti, “Mohon maaf, Pangeran Wang So sudah ditunggu”, suara kepala dayang itu tak kalah mantap dengan langkahnya.ia memandang Pangeran Wang So sekilas kemudian berlalu pergi.
“Pangeran harus lebih berhati-hati mulai saat ini”, Hae Soo menyelesaikan tugasnya sebelum Pangeran Wang So meninggalkan seorang diri di ruangan ini.
                                     ***
Jauh dari tempat Hae Soo ditinggalkan Pangeran Wang So, Woo Hee seorang gadis cantik tengah lincah berlatih tarian pedang, namun ia segera menjerit lirih. Gerakan itu menyebabkan ia mengalami cedera. Gadis itu perlu menghentikan gerakan, istirah beberapa saat, sebelum akhirnya langkah kakinya bergerak mendekati merdu suara. Di bawah pohon yang rindang tampak Pangeran Baek Ah tengah meniup terompet bamboo bersama anak-anak. Sejenak Woo Hee terpana, ia mengenal sosok peniup terompet itu, sementara kehadiran seorang gadis cantik dengan pedang di tangan nyaris  menyebabkan Pangeran Baek Ah dan anak-anak nyaris terlonjak.
”Saya hanya berlatih tarian pedang, tak usah takut saya tidak akan melukai siapapun”, suara Woo Hee tak kalah merdu dengan kicau burung.
“Aku pernah melihatmu di Hubakjae”, Pangeran Baek Ah masih mengingat sosok menawan dan tangkas itu, seorang gadis Hubakjae. Ia merogoh kantung, membagikan gula-gula kepada anak-anak yang hadir bersamanya.Woo Hee merasa tidak perlu menanggapi kata-kata Pangeran Baek Ah, ia berlalu pergi.
“Hei… mengapa pergi? Engkau harus membayar lukisan yang pernah terobek. Bila  tak sanggup membayar, tunjukkan kemampuan tari pedang”, Pangeran BAek Ah mencari alasan untuk bisa berlama-lama dengan gadis itu.
“Membayar  harga lukisan? Tidak penting! Engkau bekerja keras untuk menyenangkan para bangsawan”, suara Woo Hee sinis.
“Engkau datang, karena merdu suara terompet yang aku mainkan. Sekarang aku memintamu untuk menari pedang”, ada perasaan nyaman saat Pangeran Baek Ah menatap wajah cantik ini. Ia akan merasa kehilangan bila harus tiba-tiba ditinggalkan.
“Aku tak  menari  bagi seorang asing”, Woo Hee tak menyadari, bahwa wajah cantiknya bertambah menawan saat ia kehilangan senyuman.  
“Supaya aku bukanlah seorang asing bagimu, lebih baik kita berkenalan. Saya Baek Ah, siapa namamu?”betapa menyenangkan untuk mengetahui nama seorang penari pedang.
“Jika engkau Baek Ah, saya adalah pembantumu”, Woo Hee menjawab tak peduli.
Jawaban yang menyebabkan Sang Pangeran terkesima, tampaknya gadis penari pedang itu tak percaya bila ia adalah penghuni Istana Goryeo. Pangeran Baek Ah  meraih perlengkapan  musik, ia  berniat memperkenalkan diri sebagai pangeran ke 13, tetapi Woo Hee telah menghilang. Gantungan dari manik-manik terjatuh ke atas tanah, sebuah benda kecil yang indah dan hanya dimiliki keluarga  bangsawan. Pangeran Baek Ah segera memungutnya.
                                ***
Di istana kesibukan tengah berlangsung, Hae Soo tengah memerintahh dayang istana menyiapkan beberapa minuman, tiba-tiba Park Soon Duk muncul dengan wajah cemas, ia telah tampil selayaknya seorang pengantin dengan pakaian kebesaran yang mewah,“Sebaiknya engkau  menemui Pangeran ke-10, jangan sampai terjadi sesuatu pada dirinya”, Putri Jenderal itu  memohon, ia telah lama menunggu, akan tetapi Pangeran Wang Eun belum juga meninggalkan peraduan.
“Mengapa harus aku, bukankah engkau  pengantinnya?”Hae Soo keberatan.
”Engkau bisa menjadi istri keduanya, aku tidak berkeberatan. Saya akan berbicara kepada Yang Mulia Raja dan ayahanda…” penawaran Park Soon Duk setulus hati, ia akan melakukan segalanya bagi Pangeran Wang Eun, termasuk merelakan Hae Soo sebagai selir.
Sementara Pangeran Baek Ah dan Pangeran Wang Jung tak kalah cemas dengan mempelai perempuan, Park Soon Duk. Keduanya dengan gelisah berdiri di depan pintu kamar Pangeran Wang Eun. Semakin lama Pangeran Wang Jung semakin kehilangan akal sehat, ia tidak bisa selamanya menunggu. Bila Pangeran Wang Eun menolak pernikahan ini, ia bisa mendapatkan hukuman mati. “Lebih baik kurobohkan daun pintu ini…”Pangeran Wang Jung menentukan sikapnya.
”Lebih baik,bila engkau ingin menyelamatkan  hidupnya”, Pangeran Baek Ah menyetujui tindakan itu.
Ketika Pangeran Wang Jung bersiap mendobrak daun pintu kamar Pangeran Wang Eun, Hae Soo muncul bersama Park Soon Duk. ”Pangeran, ini aku Hae Soo, buka pintu atau aku tak akan pernah  berbicara atau mengenalmu lagi …” Hae Soo perlu menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya daun pintu terkuak. Pangeran WangEun tengah mabuk, ia telah meminum arak melebihi takaran yang seharusnya.
“Rencana pernikahan tidak akan berubah, meskipun pangeran terus meinum hingga mabuk”, Hae Soo menyesal melihat keadaan Pangeran WangEun, seorang yang telah dianggap sebagai sahabat.
“Engkau tidak pernah mengerti, tidak pernah merasakan apa yang sedang aku rasakan…” suara Pangeran Wang Eun terpatah-patah. “Apakah engkau bersedia menjadi istri kedua? Seorang pangeran bisa memiliki istri lebih dari satu selayaknya seorang raja. Aku berjanji akan menjadi seorang suami yang baik,  meski engkau bukan istri pertama …”pikiran Pangeran Wang Eun mengapung pada lapisan langit terjauh, ia tak pernah membayangkan akan menikah dengan seorang wanita prajuritnya. Ia selalu berkhayal wanita yang akan menjadi pengantinnya adalah Hae Soo.
”Pangeran mengira saya bisa membagi suami dengan beberapa wanita?”Hae Soo menjawab permintaan Pangeran ke-10 dengana pertanyaan. Pantaskah ia menjadi istri kedua dari orang yang disayangi selaku sahabat baik?
“Engkau seorang pembohong, engkau akan tetap menolak andai aku memintamu menjadi istri pertama. Aku hanya seorang pangeran yang bodoh …”lidah Pangeran Wang Eun terasa pahit, ia bukan hanya tidak akan pernah  mendapatkan Hae Soo, ia akan menjadi suami dari seorang wanita yang tidak dicintai. Demikiankah  takdir hidup seorang pangeran?
“Aku sungguh merasa bahagia ketika bersamamu, engkau menawan ketika tertawa, demikian pula ketika menangis, karena bersedih”, Hae Soo berlutut di dekat Pangeran Wang Eun, ia  perlu memberi kekuatan bagi seorang sahabat yang merasa dirinya dirundung malang. “Maafkan, karena tak dapat memenuhi permintaan seorang pangeran…” Hae Soo berucap setulus hati, ia menyayangi Pangeran Wang Eun sebagai sahabat yang selalu bersikap tulus dan kekanak-kanakan.
“Apakah engkau pernah menyayangiku?”Pangeran Wang Eun bertanya, ia sungguh merasa pilu harus memasang jarak sedemikian jauh dengan gadis ini.
“Aku selalu dan akan selalu menyayangimu …” Hae Soo tidak berdusta dengan kata-katanya. Ia harus mengatakan yang sebenarnya kemudian berpamit, pengantin perempuan tidak bisa lebih lama menunggu.
Di depan pintu kamar, Park Soon Duk, Pangeran Wang Jung serta Pangeran Baek Ah menyimak pembicaran Hae Soo dengan Wang Eun. Tak lama, Pangeran Wang Eun keluar dari kamar, ia tak bisa terus  menerus berdiam diri. Ia harus melaksanakan titah raja, menikah dengan Park Soon Duk. Betatapun mencintai, Hae Soo bukanlah takdir hidupnya. ”Bukannya kita akan menikah?”Pangeran Wang Eun menatap mempelai perempuan. Park Soon Duk menatap Pangeran Wang Eun dengan sepasang mata berbinar, akhirnya ia sampai pada suatu hari ketika keinginannya untuk selalu berada di dekat Pangeran ke-10 terpenuhi. Ia telah mengambil langkah tepat dengan memanggil Hae Soo dalam kebuntuan ini.
Setelah upacara berlangusng semua pangeran bertemu untuk merayakan pernikahan pertama Pangeran Wang Eun dan Park Soon Duk.Putra Mahkota memberikan hadiah terlebih dahulu, berharap Park  Soon Duk akan  menjadi istri yang  baik bagi adiknya.Pangeran Wang Yo memberikan mutiara kepada Park Soon Duk. Pangeran Wang Wook memberikan hadiah cermin perunggu bagi Pangeran Wang Eun. Semua pemberian itu menyebabkan Park Soon Duk tersenyum bahagia, pernikahannya mendapat restu dari semua pangeran. Iapun berdiri,” Terima kasih untuk semua hadiah ini, saya berjanji akan menggunakan dengan baik semua hadiah yang diberikan oleh pangeran”.
Dari kejauhan, Jenderal Park, ayah Park  Soon Duk memandang pertemuan itu dengan damai, ia telah berbisik ke telinga Yang Mulia Raja  bagi hari perkawinan putri tercinta. Tak ada yang diinginkan Park Soon Duk kecuali  menjadi pengantin Pangeran Wang Eun, kini ia telah mencapainya.
Adapun Pangeran Wang So memberikan hadiah pohon kepada Park Soon Duk dan Pangeran Wang Eun, “Kuharap anda berdua bisa berteduh serta menikmati buah dari pohon itu di kala musim semi”, pesan singkat Pangeran Wang So.
“Nanti jika pohon itu berbuah, aku akan mengundang semua ke datang ke rumah kami”, Park Soon Duk terhibur dengan hadiah itu.
“Aku senang bisa bertanding di  bawah pohon”, Pangeran Wang Jung tersenyum gembira.
“Aku pasti akan sanggup mengalahkanmu”, Park Soon Duk selalu yakin akan menang dengan Pangeran Wang Jung. Maka semua pangeran tertawa.
Dari kejauhan Hae Soo memandangi semua pangeran senyumnya mengembang, tetapi dalam sekejab senyum itu berubah menjadi  ketakutan. Saat memandang Pangeran Wang So, tiba-tiba muncul gambar bergerak yang mendirikan bulu roma. Adalah kejadian saat Pangeran Wang So membunuh Pangeran Wang Eun dan Park Soon Duk dengan sebilah pedang. Hae Soo berdiri kaku, keringat dingin mengucur. Pada saat yang sama Pangeran Wang Wook dan  Pangeran Wang So melihat Hae Soo yang dengan wajah memucat.
Seterusnya dayang itu berlari menjauh kemudian terjatuh di sudut taman istana. Pangeran Wang Wook tidak harus berdiam diri, ia merasa perlu  memburu Hae Soo ,”Apa engkau baik-baik saja?”Pangeran ke-8 tidak bisa meneyembunyikan cemas.
”Berhati-hatilah dengan Pangeran Wang So, jangan pernah menghalangi.siapapun pangeran jangan pernah bermasalah dengan Pangeran ke-4. Atau, tak seorangpun selamat”, tanpa sadar tangan mungil Hae Soo memegang ujung pakaian Pangeran Wang Wook. Kata-kata Hae Soo menyebabkan isi kepala Pangeran Wang Wook nyaris berpusing.   Mengapa semua pangeran akan meninggal? Apa sesungguhnya yang diketahui gadis ini?
”Aku ingin pergi dari tempat ini, aku ingin jauh dari istana”, Hae Soo tak dapat lagi menguasai rasa takut, dinding megah istana ternyata mudah dilumuri darah.
“Aku akan melakukan apa saja demi keselamatanmu, jangan pernah merasa khawatir”, Pangeran Wang Wook memeluk dengan erat tubuh lunglai Hae Soo, ia merasa seakan bersentuhan dengan sebongkah es batu. Tubuh itu  benar menggigil.
                                      ***
Setelah upacara pernikahan dan meriah pemberian  hadiah, perlahan malam pun tiba. Langit berleleran genangan tinta, namun juga berpebdar, karena bintang-bintang. Park Soon Duk telah menantikan seumur hidup sebuah malam yang mendebarkan yang akan memangkas seluruh jarak terhadap Pangeran Wang Eun. Ia  berharap sebuah malam yang indah dan mengesankan, tetapi …
Pangeran Wang Eun dengan geram menghentakkan gelas arak yang telah kosong, seakan ia sanggup menghabiskan satu  guci arak pada malam yang tak pernah diharap untuk datang.”Dengarkan, kita boleh saja menikah, tapi aku tidak bisa mengakuimu sebagai istriku.  Hidupku akan seperti semula seperti sebelum pernikahan ini terjadi. Jangan pernah mengomel, engkau  harus menjawab setiap kali aku bertanya. Tak perlu engkau tahu kehidupan seperti ini membuatku putus asa!”
Park Soon Duk terdiam, ia telah mencapai suatu keinginan menjadi istri seorang pangeran, tetapi dengan getir harus menyadari, ia tak pernah mendapatkan cinta Pangeran Wang Eun. Malam pengantin menjadi saat yang menyakitkan, Pangeran ke-10 telah menyatakan sikapnya, ia tidak akan pernah dapat mengelak. Ia terperangkap ke dalam jebakan yang dibuatnya sendiri. Ia hanya bisa mengalah sehingga percekcokan tidak akan selalu terjadi.park Soon Duk masih terdiam ketika masih dengan suara geram Pangeran Wang Eun kembali berucap, “Bagaimana aku harus menyayangimuu? Aku memerlukan ukuran tempat  tidur yang lebih besar!”bagi Pangeran Wang Eun berbaring satu tempat tidur dengan pengantin wanita pada malam pertama terlalu menakutkan. Park Soon DUk bisa m endapatkan raaganya, tetapi bukan jiwanya.
Pangeran Wang Eun berbaring melepas segala kegundahan, ia tidak mengijinkan Park Soon Duk tidur di sampingnya.Park Soon Duk kembali terdiam, aneh, ia masih memiliki sisa rasa bahagia dengan memandang Sang Pangeran berbaring tanpa disentuh atau menyentuh. Park Soon Duk memilih satu tempat untuk melepas segala lelah di sudut yang lain, ia harus melepas pakaian pengantin sebelum menerima kenyataan, bahwa ia hanya satu kamar dengan Pangeran tercinta, tetapi tidak akan satu pembaringan.tak lama kemudian pengantin wanita itu tertidur, ketika terbangun Pangeran Wang Eun menatap putri jenderal itu. Andai yang hadir pada hari perkawinan adalah Hae Soo, ada yang lerai selamanya di hati pengeran muda. Ia harus membayar mahal kehidupan seorang pangeran, Yang Mulia Raja memaksanya menikah dengan seorang wanita tanpa terlebih dahulu bertanya, apakah ia mencintainya? Apakah ia berharap hidup bersama selama-lamanya? Tanpa sadar bibir pangeran itu berucap, ”Kamu pernah sampaikan aku harus menunggu sampai salju pertama jatuh. Hae Soo, engkau seorang pembohong yang jahat”, air mata pangeran itu menetes, jernih  bagai embun.
Pada malam  yang sama di tempat yang berbeda Pangeran Wang Wook tengah terdiam merenungi kata-kata Hae Soo, ”Berhati-hatilah dengan Pangeran Wang So, jangan pernah menghalangi.Siapapun pangeran jangan pernah bermasalah dengan Pangeran ke-4. Atau, tak seorangpun selamat”, apa maksud kata-kata itu? Mengapa pula Hae Soo harus mengucapkannya? Pangeran Wang Wook yang diakui sebagai cendikiawan Goryeo berpikir keras, tetapi ia tak mampu mendapatkan jawaban.
                                ***
Hari selanjutnya setelah hari pernikahan Pangeran Wang Eun dan Park Soon Duk berlalu Yang Mulia Raja meneruskan tugas-tugas selaku kepala negara, membagi tugas bagi para pangeran, Wang So dan Wang Yo, “ Wang Yo, pergilah  mengunjungi wilayah kerajaan di luar Songak, periksa tempat penyimpanan gandum”.
“Tahun lalu, jenderal yang Raja utus kesana telah meninggal”, Pangeran Wang Yo menjawab.
”Karena itu  aku mengutusmu. Seorang pengeran harus maju mengatasi semua kesulitan, dengan sedikit bawahan”, suara Raja Wang Geon mantap, ia tak ragu memerintah Pangeran Wang Yo.
”Yang Mulia, bagaimana dengan tugas pasokan militer pangeran ke-3?”Choi Ji Mong bertanya.
”Aku mengalihkan tugas itu kepada Pangeran ke-4”, jawaban Yang Mulia Raja menyebabkan Pangeran Wang Yo seakan tersengat kalajengking. Tugasnya dialihkan kepada Pangeran Wang So? Benarkah? Ia keberatan, tetapi bagaimana seorang pangeran dapat menolak perintah Yang Mulia Raja?
Pertemuan usai.
Tanpa kehadiran Yang Mulia Raja, Pangeran Wang So bertanya pada Choi Ji Mong, “Apakah Yang Mulia Raja berkinginan mengusirku dari istana di Songak?”ia harus mengerti arti disisihkan dari singgasana.
“Menurut pendapatku tidak, Yang Mulia Raja mempercayai Pangeran Wang Yo, sehingga  memberikan tugas yang lebih sulit”, jawaban Choi Ji Mong tidak menyebabkan Pangeran Wang Yo merasa tenang, ia yakin dua saudara kandung dapat berseteru hanya karena sikap Yang Mulia Raja yang pilih kasih.”Sejak kecil pangeran selalu menginginkan apapun yang dimiliki oleh Putra Mahkota. Karenanya, dengan tugas itu. Terimalah segala yang menjadi takdir manusia”, Choi Ji Mong melirik wajah geram Pangeran Wang Yo, ia tahu isi hati pangeran  itu.
”Tunggu saja apa yang akan terjadi nanti”, Pangeran Wang Yo menerawang jauh seakan tengah mempersiapkan segala yang akan terjadi pada hari depan.
                                     ***
Pangeran Wang Yo masih menyimpan rasa geram ketika duduk makan bersama dengan Pangeran Wang So, Pangeran Wang Jung serta Ratu Yoo.”Makanan terasa lebih lezat, karena So ada ada bersama kita”, Pangeran Wang Jung tersenyum, selama hidup baru kali ini ia berkumpul bersama keluarga. Betapa jauh jarak Pangeran Wang So sebelum ritual turun hujan berlangsung.
”Senang sekali bisa melihat wajahmu”, akhirnya  Ratu Yoo bangga dengan Pangeran Wang So yang mendapat kepercayaan Yang Mulia Raja”, lupakan yang telah lalu.
”Untuk yang pertama kalinya aku makan dengan kakak So”, senyum di bibir Pangeran Wang Jung masih mengembang, terasa damai  berkumpul bersama keluarga. Ratu Yoo memberikan potongan daging kesukaan Pangeran Wang So, pangeran ke-4 tersedak ketika menelannya.
”Aku harus pergi dari Songak. Putra mahkota akan mengajarimu, artinya engkau pasti akan sering bertemu dengan Putra Mahkota”, Pangeran Wang Yo menyampaikan hasil pertemuan dengan Yang Mulia Raja.
Di tempatnya duduk Pangeran Wang So tersenyum, ia tahu ada Pangeran Wang Yo dan Ratu Yoo menginginkan sesuatu, maka ia berkesempatan makan bersama seakan sebuah keluarga. Dugaan Pangeran ke-4 tepat ketika Ratu Yoo berucap, ”Bunuh Putra Mahkota, tidak sulit bagimu, karena pengalaman membunuh pasti bukan untuk yang pertama kali”, Putra Mahkota bagai duri dalam daging di istana ini, ia benar-benar tak menginginkan kehadiran pangeran ini. Ia  menginginkan tahta bagi Wang Yo.
“Yang Mulia Raja bisa mendapatkan tahta setelah membunuh saudaranya”, Pangeran Wang Yo membenarkan keinginan ibunda ratu. Pangeran Wang Jung merasa pembicaraan ini sudah jauh dari lurus, ia berniat melerai, tetapi Pangeran Wang Yo tidak menghiraukan. ”Jika aku tidak menjadi raja, kita semua akan mati. Kita harus membuat rencana”.
“Benarkah Putra Mahkota akan membunuh saudaranya?”Pangeran Wang Jung merasa bulu kuduknya meremang, demikiankah kehidupan di dalam dinding istana.
”Benarkah ibunda ratu menginginkan kematian Putra Mahkota?”Pangeran Wang So bertanya, meski ia tak meragukan keinginan Sang Ratu.
”Ya”, mantab jawaban Ratu Yoo.
”Saya akan melakukannya, kemudian akan naik tahta sebagai raja. Tak akan ada persoalan bila nanti Wang So adalah seorang raja. Saya tidak akan membahayakan Wang Jung serta Wang Yo”, Pangeran Wang So tidak dungu dalam memenuhi keinginan ibunda. Mengapa ia harus membunuh Putra Mahkota demi Wang Yo? Mengapa bukan demi dirinya sendiri?
“Mengapa harus tinggi hati setelah  menunjukkan kehebatan pada rituil turun hujan, sehingga berkeinginan mengambil tahta Goryeo?”Pangeran Wang Yo tidak mengira akan seperti ini jawaban Pangeran Wang So.
“Langit mendukungku, Wang Yo hanya didukung keluarga mertua”, Pangeran Wang So membantah, ia memang memiliki alasan untuk membantah.
“Mertua Putra Mahkota saya kira lebih rendah”, Pangeran Wang Yo tak mau kalah.
“ Wang Yo telah diberkati oleh Langit untuk menjadi Raja”, Ratu Yoo menatap wajah tampan Wang So, ia tahu bila Pangeran ke-4 menduduki tahta, maka ia adalahseorang ibu suri. Seorang dengan kewenangan menentukan di istana.
“Apa yang akan terjadi bila saya mampu merebut tahta  di tengah banyak orang yang mengiginkannya…?”Pangeran ke-4 tergelak.
“Jangan terlalu percaya diri, apakah engkau mengira dirimu sangat istimewa? Engkau hanya perisai untuk melindungi Putra Mahkotan,  hanya dimanfaatkan  Yang Mulia pada ritual turun hujan demi Wang Mo”, Ratu Yoo terganggu dengan dengan suara tawa itu, kini ia menyadari, betapa tidak mudah menyelami isi hati Pangeran ke-4.
“Saya tidak sedang dimanfaatkan, saya sedang menuju singgasana. Terima kasih makan siang yang lezat, saya berpamit. Jangan pernah mengundang untuk makan bersama”,  Pangeran Wang So berdiri kemudian undur diri, perjamuan makan bersama ternyata menjadi saat yang menggelisahkan. Ia menginginkan seorang ibu dan keluarga, tetapi yang diperoleh adalah sebuah rencana pembunuhan.  
Pangeran Wang Yo menatap punggung Pangeran ke-4 dengan gamang, ia sudah menduga, sulit membuat Wang So berpihak sebagai sekutu. Sementara Pangeran  Wang Jung merasa kegamangan yang berbeda, Pangeran Wang Yo serta Ratu Yoo sudah membicarakan hal yang melampaui batas, tentang pembunuhan Putra Mahkota bahkan saat mereka makan bersama. Pangeran Wang Jung merasa hatinya kerkeping-keping kebersamaan yang semula terasa indah, berakhir menakutkan. Mengapa seorang ratu harus  membunuh Putra Mahkota demi pangeran yang lain? Perlahan Pangeran Wang Jung undur diri, seakan ada pecahan kaca yang bersarang di relung hati.  
Adapun Pangeran Wang So tak kalah gamang disbanding Pangeran Wang Jung, ia terlalu bodoh mengharapkan kehadiran seorang ibu dan keluarga. Kiranya mereka hanya memerlukan kehadirannya di meja makan selaku pembunuh Putra Mahkota? Sanggupkah ia membantai seorang yang harus dilindunginya. Pangeran itu terus melangkah hingga berdiri di depan kuil, air  matanya bergulir.  Ia masih bisa tergelak di depan ibunda ratu, tetapi masihkah ia harus membendung air mata ketika harus menyadari, ia hanya hampa seorang diri.
Pada waktu  yang sama di dalam kamar Hae Soo dicengkeram rasa takut, ia mencoba menyangkal penglihatan tentang Raja Gwangjong dengan segala kekejamannya, tetapi sia-sia. Demikiankah catatan sejarah yang selalu berlumuran darah?  Hae Soo menghela nafas dalam-dalam, memegang tangan, mencari kekuatan. Ia mencoba mendapatkan udara segar dengan keluar dari kamar, rasa takut itu masih mencengkeram.
Gadis itu terhenyak ketika tiba-tiba Pangeran Wang So muncul dan memanggilnya, “Soo…” suara itu seakan cemeti yang memacu Hae Soo berlari menjauh. Akan tetapi, langkah gadis itu terhenti, karena Pangeran Wang So erat memegang tangannya kemudian memeluknya pula.
“Lepaskan”, lirih suara Hae Soo.
”Sebentar saja, tetaplah bersamaku. Aku ingin istirahat”, Pangeran Wang So meminta, ia sungguh selalu ingin dekat dengan gadis ini.
”Saya merasa takut Yang Mulia”, Hae Soo mencoba membebaskan pelukan itu.
“Mengapa harus takut?”Pangeran Wang So menatap Hae Soo dengan rasa heran, bukankah dayang ini tak lagi erasa takut kepadanya?
“Pikiran bisa berubah, adakah Yang Mulia yang  akan menghancurkan Goryeo? Biarkan saya menjauh”.
“Adakah perlu untuk menghindariku?  Aku tak ingin engkau berkata kehadiranku hanya membawa kabar buruk. Berpihaklah kepadaku”,
“Apakah hal itu memang masih perlu?”
”Engkau milikku, tanpa ijin engkau tak akan bisa pergi.Engkau juga tidak boleh meninggal”, Pangeran Wang So tidak dapat menahan diri untuk tidak mencium Hae Soo, dayang itupun berusaha sekuat tenaga melepaskan diri.


Bersambung …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...