Hujan deras tercurah dari langit seakan lagu suka cita ketika Pangeran Wang So
mencapai altar, kegembiraan dari keluarga Raja dan rakyat Goryeo
meluap-luap. Pangeran ke-4 ternyata memiliki kekuatan dasyat memanggil
hujan, Langit merestuinya. Akan tetapi, darah Ratu Yoo seakan mendidih,
ia tak pernah bermimpi suatu saat Pangeran ke-4 akan sampai pada sebuah
hari yang menakjubkan. Ketika hujan akhirnya tercurah setelah tanah di
seluruh kerajaan kering kerontang, karena ia terpilih sebagai pemimpin
ritual. Sementara wajah Hae Soo memucat, saat Pangeran ke-4 kembali
menoleh, menatap dengan senyum kemenangan. Tiba-tiba Hae Soo kembali mendapatkan penglihatan, ia tidak
sedang bertatapan dengan Pangeran Wang So, tetapi Yang Mulia Raja
Gwangjong dalam pakaian kebesaran berwarna gelap. “Yang Mulia Raja
Gwangjong …” lirih suara Hae Soo berucap, akan tetapi sudah cukup bagi Ji Mong untuk mendengar dan menoleh kepada sumber suara.
Ratu Yoo tak mampu lebih lama berdiri di tempat, dengan geram ia pergi meninggalkan ritual setelah hujan yang ditunggu-tunggu tercurah. Ia tak hendak menatap Pangeran Wang So bersujud mengucap syukur kepada Langit dengan tata rias luntur,
bekas luka itu kembali terlihat. Akan tetapi, wajah dengan bekas luka
gores itu tak akan lagi menakutkan, Pangeran Wang So telah menyelamatkan
seluruh Goryeo dari kekeringan.
“Sorang pahlawan telah lahir”, Pangeran Wang Won berguman takjub, jauh di relung hati ia menyimpan tanda tanya, bagaimana Wang So bisa menutupi bekas luka?
“Mungkinkah Wang So menggunakan tata rias dari tangan ahli
untuk menutupi bekas luka? Siapa ahli tata rias itu? Ia pasti seorang
yang sangat hebat …” Pangeran Wang Jung tak kalah takjub dengan Pangeran
Wang Won. Pangeran Wang Wook yang mendengar ucapan Pangeran Wang Jung
segera menoleh ke tempat Hae Soo berdiri bermandi hujan. Pangeran Wang
Wook tahu, ahli tata rias hebat itu adalah Hae Soo.
Sementara Hae Soo merasa seluruh tubuhnya gemetar, menggigil.
Ia harus menyadari, bahwa Pangeran Goryeo yang kelak akan menjadi Raja
Gwangjong, yang tega membunuh saudaranya demi tahta adalah
Pangeran Wang So. Hae Soo menatap Pangeran Wang Wook dengan cemas, apa
yang akan terjadi dengan Pangeran ke-8? Apakah ia akan pula terbunuh?
Hae Soo tak dapat membayangkan kemungkinan itu.
Hae Soo tak dapat ikut bersuka cita ketika rakyat Goryeo memuja
dan mengarak Pangeran Wang So, meski bekas luka itu kembali terlihat.
Setelah bersusah payah membantu menutupi bekas luka dengan tata rias,
kini rasa takut menghantam. Apakah Pangeran Wang So akhirnya akan
menjadi Raja Gwangjong, karena campur tangan sebagai ahli tata rias
dalam rangka ritual turun hujan? Apakah ia andil dalam membuat
kesalahan, maka suatu saat seorang pangeran dapat membunuh saudaranya
yang lain?
Tiba-tiba Pangeran Wang Wook menarik tangan Hae Soo, menjauh dari kerumunan. Kali ini Hae
Soo tak merasakan kebersamaan, ia terlarut semakin jauh dalam
kecemasan. Tak mudah menerima kenyataan, bahwa Raja Gwangjong yang kelak
akan membunuh saudara-saudaranya adalah Pangeran ke-4. Seorang yang
sangat dekat, bahkan nyaris tanpa jarak, meski ia hanya seorang dayang.
"Apakah aku telah ikut serta membantu seorang pangeran sebagai
pemimpin ritual turun hujan, maka kelak ia akan bertahta selaku Raja
Goryeo?” Hae Soo menggumam lirih. Perasaan yang kembali
mencekam ketika menatap wajah Pangeran Wang Wook adalah ketakutan,
“Hati-hati terhadap Pangeran Wang So, jangan pernah berlawanan dengan
segala keinginannya …” tanpa sadar Hae Soo berucap, yang selalu ada di
hati adalah Wang Wook, ia tak mampu kehilangan pangeran ini.
Di pihak lain Pangeran Wang Wook merasa heran, di antara semua
wajah suka cita setelah hujan turun. Hae Soo justru tampak sebaliknya,
wajah gadis itu mendung dan ketakutan. Mengapa? Pangeran Wang Wook tak
akan pernah mendapatkan jawaban, ia belum lagi sampai ke masa depan.
Sementara Choi Ji Mong tengah berdebat sengit
dengan Pangeran Wang Yo, “Adalah kehendak langit, maka hujan tiba-tiba
turun ketika Pangeran Wang So memimpin ritual”, ahli bintang itu membela
Pangeran ke-4.
“Seharusnya aku yang menurunkan hujan, bukan So”, Pangeran ke-3
menatap Choi Ji Mong dengan geram. Wang So mendapatkan kesempatan emas
mendapatkan pengakuan dari seisi Goryeo, kehebatannya sebagai pemimpin
ritual. Sosoknya telah bersemayam di hati keluarga raja dan rakyat banyak. Apa yang akan terjadi dengan dirinya?
Ratu Yoo datang tak lama kemudian dengan wajah tak kalah geram,
tangannya yang lembut terangkat tinggi-tinggi, dan “Plakk!!” sebuah
tamparan mendarat di pipi Pangeran Wang Yo. “Engkau melewatkan
kesempatan yang sangat menentukan, bodohnya! Mestinya jangan pernah
melepaskan, jika ada seseorang yang hendak mengambil apa yang seharusnya
menjadi milikmu. Tebas lehernya!” suara Ratu Yoo terdengar seakan petir
menyambar. Wajah Pangeran Wang So memucat, ia amat takut dengan
kemarahan ibunda, ia telah membuatnya kecewa.
“Maaf ibunda, ini sebuah kesalahan”, Pangeran Wang Yo membela
diri, mengapa ia harus berhadapan dengan ibunda ratu dalam keadaan
seperti ini?
“Jika aku harus menjadi ibu raja, engkau harus mampu bertindak,
meski itu kejam. Aku yakin Hae Soo yang membantu So menutupi bekas
luka. Aku bersumpah akan kubakar Istana Damiwon”, wajah Ratu Yoo semerah
bara api, mengapa seorang dayang yang pernah hilang ingatan dapat
mengubah nasib seorang pangeran? Mengapa?
***
Setelah ritual turun hujan usai, Putra Mahkota telah kembali
istana, Pangeran Wang So bersama Pangeran Wang Mo berdua menghadap Yang
Mulia Raja, “Aku merasa senang dan bangga dengan kehebatanmu sebagai
pemimpin ritual hujan. Rakyat Goryeo berterima kasih, kekeringan usai
sudah”, wajah Raja Taejo tampak gembira, ia menatap Pangeran Wang So
dengan rasa kasih. Kali ini Pangeran ke-4 tak lagi mengenakan topeng.
Sosok yang berdiri di hadapannya bersama Putra Mahkota adalah seraut
wajah tampan. Keajaiban telah terjadi.
“Sayapun senang, So telah menggantikan tugas sebagai pemimpin
ritual. Hujan benar-benar turun”, Putra Mahkota tak kalah senang, Wang
So menggantikan tugasnya, ia terlambat kembali, karena terhalang oleh
sekumpulan pencuri.
“Setelah sekian lama akhirnya aku dapat melihat wajah
tampanmu”, senyum Raja Taejo mengembang, ia takjub. Tanpa topeng dan
bekas goresan luka Pangeran Wang So ternyata sebuah penampilan yang
menawan.
“Terima kasih ayah”, Pangeran Wang So mengangguk, seumur hidup ia menantikan
saat seperti ini, ketika akhirnya ia dapat memanggil ayah kepada
seorang raja. Ketika ia dapat diperlakukan seperti halnya pangeran yang
lain, dengan segala rasa hormat.
"Tunjukkanlah wajahmu pada dunia, percayalah pada dirimu
sendiri. Tetaplah di samping Putra Mahkota sebagai kekuatan yang besar
untuk membangun Goryeo menjadi lebih baik,”adalah nasehat Yang Mulia
Raja dengan setulusnya.
"Saya menerima perintah Yang Mulia," Pangeran
Wang So menjawab takjim, pintu Goryeo telah terbuka selebar-lebarnya,
karena kemurahan Yang Mulia Raja. Ia tidak memiliki alasan untuk
menyia-nyiakannya. Sementara Choi Ji Mong dan Putra Mahkota saling
bertatapan dengan senyum mengembang, keduanya tahu kemampuan Pangeran
Wang So bertarung serta kesetiannya akan menjadi kekuatan yang layak
diperhitungkan.
***
Dalam pada itu Pangeran Wang Wook membimbing Hae Soo pada suatu
tempat yang teduh, ada yang mengusik relung hati, wajah manis Hae Soo
tampak murung dan ketakutan. Tangan gadis itu gemetar saat
ia menggenggam tangannya, “Adakah engkau menutupi bekas luka Wang
So?”Pangeran Wang Wook bertanya. Sebagai jawaban Hae Soo mengangguk
lemah.
“Engkau takut mendapatkan hukuman, karena menyentuh wajah
pangeran?” Pangeran Wang Wook kembali bertanya, tetapi Hae Soo tak mampu
menjawab sekalipun hanya sepatah kata.
“Tindakanmu sangat tepat, menyelamatkan Pangeran ke-4. Ia telah
dapat tampil tanpa mengenakan topeng, ia berhasil memimpin ritual turun
hujan. Tak akan ada yang terjadi, meski Wang So menggantikan tugas
Putra Mahkota dalam ritual”, Pangeran Wang Wook tak pernah mengerti
ketakutan yang mencekam hati kecil Hae Soo. Kata-katanya tak dapat
memulas wajah pucat itu menjadi berseri,dayang itu masih membungkam seribu bahasa.
“Setelah ritual turun hujan Yang Mulia Raja akan mengabulkan
satu permintaan. Aku akan meminta Yang Mulia melepaskanmu”, wajah tampan
Pangeran Wang Wook tersenyum, ia masih memiliki harapan, Hae Soo akan
selalu berada di sampingnya. Akan tetapi, Hae Soo tengah riuh berbincang
dengan kecemasan, ia tak menangkap maksud baik dan harapan Pangeran ke-8.
"Aku tidak bisa tinggal diam begitu saja. Aku harus mencari
tahu," gadis itu menggumam lirih.Ia berpamit kepada Pangeran Wang Wook,
ia harus menemui seseorang yang dapat menjawab pertanyaan --Choi Ji
Mong.
“Apakah seorang ahli bintang tahu, siapa yang akan menjadi raja berikutnya?” sendu sepasang mata Hae Soo.
"Apabila tidak terjadi hambatan Putra Mahkota telah terpilih," jawaban itu teramat tenang.
"Lalu siapa setelah Putra Mahkota?"
"Gwangjong ... seperti yang engkau katakan. Engkau memanggil
Pangeran Wang So sebagai Gwangjong," suara Choi Ji Mong tetap tenang,
seakan ia telah dapat melihat masa depan. Ahli bintang itu menatap Hae
Soo beberapa saat sebelum kemudian bercerita. “Waktu berumur sekitar
empat lima tahun, aku tenggelam. Orang-orang bilang aku sudah mati. Akan
tetapi, ternyata aku kembali terbangun pada hari
berikut,”kata-kata Choi Ji Mong menyebabkan Hae Soo tertegun, kisah itu
tak jauh berbeda dengan kejadian yang pernah menimpa dirinya. Hae Soo
masih tertegun ketika ahli bintang itu kembali meneruskan cerita, “Sejak
saat itu aku menjadi berubah, ibu berkata kalau aku menjadi lebih
dewasa dan bijak melebihi umur yang sebenarnya. Aku sering mendapat
penglihatan, entah mimpi atau nyata.Aku pernah melihat seekor burung
besar membawa orang-orang terbang di atas langit, aku pernah pula
melihat tangga yang bisa bergerak naik kemudian turun. Aku bahkan
melihat bangunan setinggi langit yang dihuni banyak orang”, kata-kata
Choi Ji Mong menyebabkan Hae Soo terhenyak.
"Apakah Choi Ji Mong berasal dari masa depan
sepertiku? Mungkin ia tidak sepenunnya mengingat, karena waktu itu masih
terlalu muda," Hae Soo berbicara dengan dirinya sendiri.
"Kudengar engkau juga bangkit kembali dari kematian. Apakah engkau telah
melihat masa depan? Sekarang boleh bertanya, apa yang benar-benar ingin
engkau ketahui?" Choi Ji Mong menatap wajah sendu Hae Soo, ia tahu
kegalauan hati gadis itu.
Ada terlalu banyak pertanyaan dalam diri Hae Soo, apakah Wang
So benar-benar akan menjadi Raja Gwangjong? Apakah Yang Mulia Raja benar
akan membunuh semua orang? Bagaimana nasib Pangeran Wang Wook? Seperti
apa masa depan Pangeran ke-8? Pertanyaan itu telah sampai ke ujung
lidah, tetapi Hae Soo segera menelan kembali. Kata-kata yang terucap
adalah, "Apa yang harus aku lakukan?"
"Tidak ada, tidak ada yang perlu engkau lakukan. Biarkan
segalanya terjadi seperti halnya air yang mengalir, jangan pernah
melibatkan diri."
“Kukira aku masih bisa mengubahnya, aku masih memiliki harapan untuk mengubah sesuatu yang buruk menjadi yang baik”.
“Engkau yang menutupi bekas luka pada wajah Pangeran So, maka
ia tak perlu lagi mengenakan topeng, tampil dasyat sebagai pemimpin
ritual turun hujan? Suatu hal yang tak pernah terduga hujan benar-benar turun”.
“Apakah takdir Pangeran So berubah, karena ia tak peril lagi mengenakan topeng?”
“Dalam hal ini aku tidak bisa menjawab, tak seorangpun tahu
apakah takdir akan berubah atau sudah ditetapkan sejak awal? Manusia
tidak akan bisa melarikan diri dari kehendak Langit. Biarkan segalanya
berjalan dengan semestinya, maka engkau pun akan selamat”.
Percakapan berakhir, Hae Soo tak sepenuhnya mengerti, tetapi ia
tak memiliki pilihan lain. Ia menjalani takdir hidup yang aneh. Ia
hanya mampu menatap dengan seluruh perasaan terseret, tanpa mampu
melakukan apa-apa.
***
Hujan yang telah lama ditunggu terus menrinai dari langit
Goryeo, mengakhiri musim kering yang panjang dan meresahkan. Pangeran
Wang Wook terdiam menatap curahan hujan saat Putri Yeon Hwa datang,
tanpa banyak kata segera membuka percakapan, “So sudah berhasil
mendapatkan kepercayaan Yang Mulia Raja, karena keberhasilan
mendatangkan hujan. Mestinya engkau yang seharusnya menggantikan Putra Mahkota memimpin ritual”, wajah jelita Sang Putri diliputi penyesalan, ia sangat menyayangi Pangeran ke-8 dan berharap suatu saat Wang Wook akan menjadi raja.
"Ritul itu adalah takdir bagi So, dalam hal ini ia diperlukan.
Aku tidak perlu melibatkan diri," Pangeran Wang Wook masih tetap menatap
air hujan yang tercurah dari langit. Udara terik telah berubah menjadi
sejuk.
"Orang yang mendapatkan kepercayan Yang Mulia Raja biasanya memiliki khayalan tinggi.
Bertambah satu orang lagi yang harus kita waspadai di lingkungan
istana," Putri Yeon Hwa masih bermimpi, tak seorang pun akan mampu
menghambat langkah Wang Wook menuju singgasana.
"Hae Soo mengatakan hal yang sama, Wang So akan berubah,"
Pangeran ke-8 berpikir keras, mengapa dua orang wanita yang teramat
dekat memiliki kesan serupa. Seolah Wang So tidak boleh menerima
kepercayaan Yang Mulia Raja setelah apa yang dialami selama ini.
“Jadi, dayang itu mengingatkanmu pula? Engkau harus hati-hati
terhadap Wang So?” Putri Yeon Hwa selalu tidak nyaman dengan sebutan
nama Hae Soo,
“Hae Soo yang membantu So menutupu bekas luka luka pada
wajahnya, maka ia bisa tampil sebagai pemimpin ritual. So telah membuat
keajaiban”, Pangeran Wang Soo menadahkan tangan, seakan
telah seribu tahun ia merindukan cucuran hujan. Seharusnya Hae Soo
merasa bangga, ia telah menentukan pula takdir dan nasib ke depan
Pangeran Wang So. Akan tetapi, mengapa dayang itu bahkan ketakutan?
Bukankah sebagai sesama pangeran ia akan masih memiliki tempat di
istana?
Sementara Hae Soo berjalan dengan langkah limbung, sekilas raut
wajahnya menampakkan seakan dayang yang tengah linglung. Pangeran Wang
So, seorang yang sangat dekat ternyata adalah cikal bakal seorang raja
yang kejam. Dapatkah ia terus berada di dekat pangeran itu? Tiba-tiba
seseorang menariknya kedalam pelukan, Hae Soo menjerit
ketika sadar orang itu ternyata Pangeran Wang So. Tanpa sadar ia
mendorong Pangeran ke-4. “Maaf, aku terkejut”, Hae Soo cepat meminta
maaf. Ia tidak berani menanggung akibat apabila Pangeran Wang So tahu,
ia benar-benar mendorongnya. Pangeran Wang So tersenyum, ia mempercayai
permintaan maaf Hae Soo. Dapatkah ia marah kepada seorang gadis yang
telah menyelamatkan pemimpin ritual turun hujan. Tangan mungil Hae Soo
dan kebaikan hatinya telah mengubah takdir hidup selamanya.
“Untuk pertama dalam hidup akhirnya aku bisa memanggil Yang Mulia Raja dengan sebutan ayah. Untuk yang pertama kali pula dalam 15 tahun ayah memandangku tanpa rasa kasihan. Yang Mulia memintaku untuk lebih percaya diri dan menjadi kekuatan bagi Putra Mahkota, semua rasa sakit tiba-tiba menghilang. Semua orang terus berterima kasih, tak seorangpun berucap betapa menakutkan Pangeran Wang So, tak ada lagi yang
memanggilku binatang. Aneh, tetapi aku mulai menyukai diriku yang
seperti ini. Engkau telah mengubah semuanya”, senyum Pangeran Wang So
tulus, ia tak pernah merasa bahagia seperti ini ketika berada di samping
Hae Soo. Dayang itu telah melakukan tindakan dasyat, mengantarnya
sebagai pemimpin ritual turun hujan, sehingga hujan benar-benar turun.
Pangeran Wang So tidak menyadari, atau ia terlalu bahagia untuk
sekedar menyadari, sehingga ia terlupa untuk mengetahui isi hati Hae
Soo. Dayang itu sama sekali tidak menampakkan senyum bahagia. Di pihak
lain Hae Soo menatap Pangeran Wang So dalam jarak dekat, ia mencoba
tidak percaya, bahwa pangeran yang tengah tersenyum polos itu kelak akan
berubah menjadi seorang raja yang kejam. Hae Soo
melupakan kata-kata Choi Ji Mong untuk tidak melibatkan diri, ia masih
mengira bisa mengubah masa depan Gwangjong.
Dengan keyakinan itu, Hae Soo berucap, "Kelak,
andai dibakar amarah sekalipun, tetaplah ingat untuk selalu menjadi
seorang yang bersikap adil. Jangan pernah menumpahkan darah. Terhitung
sejak ritual turun hujan takkan ada orang yang membuatmu marah. Setiap
orang akan memberikan penghormatan dan rasa cinta."
Akan tetapi, Pangeran Wang So masih merasa terlalu bahagia
untuk mendengarkan pesan itu. Bahwa pertemuan dengan Hae Soo akhirnya
akan mengantar pada suatu hari, sehingga ia berhasil dengan menakjubkan
sebagai pemimpin ritual turun hujan. Tak pernah ada cukup ucapan terima
kasih yang mampu diberikan kepada dayang ini. Pangeran
Wang So tahu, ia tak akan pernah dapat melepaskan Hae Soo, seluruh
hidupnya terbawa terlalu jauh.
***
Hari berikut, Yang Mulia Raja bersama Choi Ji Mong dan Jenderal
Park melihat para pangeran berkumpul di paviliun. “Siapa di antara para
pangeran yang bisa menikah dengan Soon Duk?”Raja Taejo membuka pembicaraan.
“Bagaimana kalau Pangeran Jung? Soon Duk dan Jung keduanya
menyukai bela diri”, Choi Ji Mong memberikan usul dengan pertimbangan
akal sehat.
“Rumah tangga akan hancur berserakan bila suami istri terus menerus bertarung”, Jenderal Park menyanggah.
“Atau So?” Raja Taejo memberikan pilihan lain.
“Mohon maaf, tidak”. Sesaat Jenderal Park terdiam sebelum akhirnya berucap, “Lebih baik dengan Pangeran Eun”, jawaban
itu menyebabkan Yang Mulia Raja dan Choi Ji Mong terhenyak. Mengapa
Eun? Tentu Raja dan Taejo dan ahli bintang tidak mengerti, betapa hati
putri Sang Jendral telah terpaut kepada Pangeran Wang Eun.
Dengan langkah pasti Yang Mulia Raja mendatangi para pangeran.
“Aku berterima kasih untuk semua kerja keras para pangeran, terlebih So
yang telah berhasil mengatasi kekeringan negeri ini. So, apa
permintaanmu? Apa saja yang engkau inginkan, mungkin tanah di Songak?”
“Terima kasih Yang Mulia, tanah di Songak tidak. Andai Yang
Mulia Raja mengijinkan Hae Soo sebagai dayang pribadi, saya akan sangat
bersyukur”, Pangeran Wang So mengajukan permohonan secara tak terduga
dan mengejutkan.
“Baik, kukabulkan permintaanmu”, tidak sulit bagi Yang Mulia
Raja mengabulkan permintaan Pangeran Wang So. Apa susahnya memberikan
seorang dayang pribadi bagi pemimpinrituil yang tela hberhasil
mendatangkan hujan?
Sementara pangeran yang lain terdiam, mengapa Wang So
mengajukan permohonan yang aneh? Seorang dayang? Hae Soo mengangguk, ia
tak memiliki pilihan kecuali menyetujui. Adapun Pangeran Wang Wook
tampak keberatan, tetapi bagaimana ia dapat menyanggah persetujuan
seorang raja setelah pemimpin ritual turun hujan meminta? Pangeran ke-8
terdiam, melirik Hae Soo dengan pikiran gamang.
“Dan satu pengumuman, akan digelar pernikahan. Eun akan menikah dengan Soon Duk”, pengumuman ini mengejutkan Pangeran Wang Eun.
Kata-kata Yang Mulia Raja tenang, akan tetapi di telinga
Pangeran Wang Eun terdengar seakan genderang perang ditabuh.Wanita yang
dipikirkan selalu Hae Soo, tetapi kini dengan yakin ayahanda raja
mengumumkan perkawinannya dengan Park Soon Duk. Adakah ia mencintai
putri jenderal itu? Secara langsung Pangeran Wang Eun
berlutut, “Mohon maaf Yang Mulia, saya masih terlalu muda untuk menikah.
Apakah saya mencintai Park Soon Duk? Kiranya Yang Mulia berkenan
mempertimbangkan kembali rencana perkawinan itu”, Pangeran Wang Eun
merasa kepalanya seakan berputar laksana gasing, ia bahkan tidak pernah
mengharapkan Park Soon Duk hadir dalam hidupnya.
Sekejab wajah Raja Taejo berubah semerah bara, Hae Soo merasa
bulu kuduknya meremang. Adakah dalam kemarahan seorang raja sanggup
membunuh anaknya? Kekuasaan Raja Goryeo adalah mutlak, terlebih dalam
menggelar upacara pernikahan seorang pangeran. Istri yang dipilih bagi
seorang pangeran tak bisa ditentang, atau tiang gantung bakal disiapkan.
Putra Mahkota merasa uap panas mulai menyebar ke seisi ruangan, ia tahu harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Pangeran Wang Eun. Pangeran itu
memberi hormat kepada Yang Mulia Raja sambil berkata, “Pangeran Eun
pasti sangat bahagia dengan perkawinan ini, sehingga kehilangan
kata-kata tepat untuk mengucapakan terima kasih. Eun …ucapkan terima kasih”.
Dengan wajah pucat dan seluruh tubuh terasa berat Pangeran Wang Eun akhirnya bangkit, “Terima kasih Yang Mulia …”suara itu terdengar lunglai. Tiba-tiba sekantong
kelereng berjatuhan dari dalam lengan Pangeran Wang Eun, seolah
menegaskan bahwa ia masih seorang bocah kecil dan belum siap menikah.
Setelah percakapan berlalu Pangeran Wang Eun merasa perlu
bercakap dengan Pangeran Won, hatinya terasa gundah. “Wanita tampak
berbeda pada malam pertama, setelah itu semua sama saja. Aku bahkan
sulit membedakan mana istri pertama dan mana istri kedua”, Pangeran Wang Won tau kegundahan hati pangeran muda ini.
Di hadapan kedua pangeran itu tenga digelar pertandingan gulat,
mata Pangeran Wang Won terbelalak ketika melihat salah satu pegulat
ternyata Park Soon Duk, calon pengantin Pangeran Wang Eun. Dengan sekuat
tenaga Pangeran Wang Won berusaha menghalangi Pangeran Eun, ia tidak
ingin melihat Pangeran ke-10 melihat calon pengantin dalam keadaan
sedang bertanding gulat melawan Pangeran Jung. Akan tetapi, Pangeran
Wang Eun memaksakan diri melihat. Ketika tampak Park Soon Duk tengah
bergulat melawan Pangeran Jung, bahkan berhasil
mengalahkan pangeran itu. Kepala Pangeran Wang Eun kembali terasa
menggasing, mampukah ia menjelang malam pertama dengan seorang pegulat
dan hidup bersama selama-lamanya sebagai pasangan suami istri?
***
Sementara Pangeran Wang Eun mengalami kegalauan teramat dalam.
Maka Hae Soo akan menjalani kehidupan berbeda sebagai dayang pribadi
Pangeran Wang So. Sebelum meninggalkan Istana Damiwon ia merasa perlu
menemui Pangeran Wang Wook untuk memberi hadiah sebagai balasan atas
gelang yang pernah diterima. “Bantal ini saya buat atas permintaan
Nyonya Hae supaya Pangeran ke-8 dapat tidur nyenyak”.
Pangeran Wang Wook menerima hadiah itu dengan canggung, ia
kecewa Hae Soo agaknya tidak memahami pesan Nyonya Hae yang telah tiada.
Ia pun memiliki hadiah untuk Hae Soo, sebuah buku. Sebuah pemberian yang menyebabkan Hae Soo mendesah
tak kalah kecewa, ia mengira Pangeran Wang Wook memaksanya untuk
belajar. Perubahan raut wajah itu menyebabkan Pangeran Wang Wook
tersenyum geli, ia perlu memperlihatkan isi buku yang sebenarnya. Setiap
halaman adalah rangkaian gambar, jika dibalik dengan cepat akan
terlihat seperti gambar bergerak. Ajaib, senyum manis kembali mengias
wajaah menawab Hae Soo, dengan gembira ia membalik-balik buku gambar itu.
Pangeran Wang Wook merasakan hal yang sebaliknya, ia harus
mengakui dengan pahit harapannya kandas. “Sebentar lagi akan digelar
pernikahan kerajaan, hal itu berarti seorang dayang tidak akan bisa
dibebastugaskan”, suara sendu Pangeran Wang Wook menyebabkan senyum Hae
Soo menghilang mendengarnya.
“Pasti aka nada kesempatan lain”, Hae Soo masih memiliki keyakinan, masih berharap.
“Aku tak lagi merasa yakin, kesempatan kedua akan datang.
Seringkali kesempatan hanya datang satu kali setelah itu pergi selamanya
…”
"Jika pangeran bersabar menunggu, aku juga akan menunggu", jauh
di dalah hati Hae Soo merasa gamang, bagaimana jika kecemasan Pangeran
ke-8 benar? Tak akan pernah hadir kesempatan kedua, ia akan kehilangan
Pangeran Wang Wook selama-lamanya.Hae Soo tergesa mengalihkan pikiran,
ia kembali mencermati buku gambar. Awalnya ia tidak menyadari, setelah
memperhatikan lebih dalam, Hae Soo mengerti, rangkaian gambar itu adalah
sebuah kisah saat keduanya berjalan di atas tumpukan salju. Ada yang
meleleh di relung hati gadis itu, firasat buruk, bagaimana ia bisa
membicarakan sebuah kekhawatiran yang belum terjadi kecuali ia harus
menghadapi.
"Lain kali bila salju turun, kita harus kembali berjalan-jalan", Pangeran Wang Wook masih mengharap satu kali lagi kesempatan --andai harapan itu benar ada.
"Aku akan selalu menunggu saat itu", aneh, tak seperti biasanya ketika bertemu Pangeran Wang Wook. Kali ini Hae Soo merasa sedih –kesedihan yang dalam.
"Engkaulah satu-satunya yang kucinta", Pangeran Wang Wook memeluk Hae Soo erat-erat, seolah tak berniat melepaskan.
***
Hae Soo tak bisa lebih berlama-lama dengan Pangeran Wang Wook, meski keduanya amat suka. Ia harus
kembali kepada tugas selaku dayang, ia masih memiliki celah waktu
bercakap-cakap dengan Sanggung Oh,”Bagaimana seandainya saya dapat
mengubah kehidupan orang lain? Haruskah saya berbalik kepadanya?”Hae Soo
membuka pembicaraan, masih terbayang wajah Raja Gwangjong di ketinggian pada ritual turun hujan, ada yang mengganjal di ulu hati.
Beberapa saat suasana diam, hingga suara Sanggung Oh
terdengar, “Sebelum menetap di istana, aku sempat menyerahkan hati
kepada seorang pria. Kami selalu berdua memetik
bunga dan tanaman herbal. Kukira ia telah melupakan tinggi cita-cita
dan memilih hidup bersama.Tak kusangka ketika akhirnya ia bahkan
membangun sebuah tempat, dan aku tak pernah berani menyentuhnya. Tak
perlu berubah demi orang lain, tak harus memiliki kepercayaan untuk bisa
mengubah seseorang”, Sanggung Oh tak ragu dengan kata-kata itu, ia
telah merasakan pahit karenanya.
Hae Soo menarik napas panjang, ia dapat melihat wajah
sendu Sanggung Oh di balik sorot matanya yang dingin. Ia mencukupi
percakapan singkat ini, ada tugas menanti, merias wajah Pangeran Wang So
supaya bekas luka itu tak tampak menakutkan.”Bukan
suatu hal yang sulit untuk melakukan tata rias ini, pangeran bisa
mengerjakan sendiri setiap hari”, menurut Hae Soo merias wajah sendiri
akan lebih mudah dari pada mesti dibantu seorang dayang.
“Engkau keberatan untuk selalu merias wajahku?”Pangeran Wang So bertanya.
”Akan lebih nyaman bagi seorang pangeran untuk mengerjakan sendiri”, Hae Soo memberikan secarik kertas yang berisi resep tata rias wajah.”Pangeran bisa mengatur warna, merah dengan menambahkan bedak”, Hae Soo memiliki alasan bagi setiap jawaban.
Sekilas Pangeran Wang So melirik dayang itu, ada
perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh Hae Soo. Dayang ini tampak lebih
lembut, jauh berbeda dengan sikap pada kali pertama bertemu, kala itu
Hae Soo lebih mirip bocah laki-laki. Tak lama Sanggung Oh datang dengan
langkahnya yang pasti, “Mohon maaf, Pangeran Wang So sudah ditunggu”,
suara kepala dayang itu tak kalah mantap dengan langkahnya.ia memandang
Pangeran Wang So sekilas kemudian berlalu pergi.
“Pangeran harus lebih berhati-hati mulai saat ini”, Hae
Soo menyelesaikan tugasnya sebelum Pangeran Wang So meninggalkan seorang
diri di ruangan ini.
***
Jauh dari tempat Hae Soo ditinggalkan Pangeran Wang So,
Woo Hee seorang gadis cantik tengah lincah berlatih tarian pedang, namun
ia segera menjerit lirih. Gerakan itu menyebabkan ia mengalami cedera.
Gadis itu perlu menghentikan gerakan, istirah beberapa saat, sebelum
akhirnya langkah kakinya bergerak mendekati merdu suara. Di bawah pohon
yang rindang tampak Pangeran Baek Ah tengah meniup terompet bamboo
bersama anak-anak. Sejenak Woo Hee terpana, ia mengenal sosok peniup
terompet itu, sementara kehadiran seorang gadis cantik dengan pedang di
tangan nyaris menyebabkan Pangeran Baek Ah dan anak-anak nyaris terlonjak.
”Saya hanya berlatih tarian pedang, tak usah takut saya
tidak akan melukai siapapun”, suara Woo Hee tak kalah merdu dengan kicau
burung.
“Aku pernah melihatmu di Hubakjae”, Pangeran Baek Ah
masih mengingat sosok menawan dan tangkas itu, seorang gadis Hubakjae.
Ia merogoh kantung, membagikan gula-gula kepada anak-anak yang hadir
bersamanya.Woo Hee merasa tidak perlu menanggapi kata-kata Pangeran Baek
Ah, ia berlalu pergi.
“Hei… mengapa pergi? Engkau harus membayar lukisan yang pernah terobek. Bila tak
sanggup membayar, tunjukkan kemampuan tari pedang”, Pangeran BAek Ah
mencari alasan untuk bisa berlama-lama dengan gadis itu.
“Membayar harga lukisan? Tidak penting! Engkau bekerja keras untuk menyenangkan para bangsawan”, suara Woo Hee sinis.
“Engkau datang, karena merdu suara terompet yang aku
mainkan. Sekarang aku memintamu untuk menari pedang”, ada perasaan
nyaman saat Pangeran Baek Ah menatap wajah cantik ini. Ia akan merasa
kehilangan bila harus tiba-tiba ditinggalkan.
“Aku tak menari bagi seorang asing”, Woo Hee tak menyadari, bahwa wajah cantiknya bertambah menawan saat ia kehilangan senyuman.
“Supaya aku bukanlah seorang asing bagimu, lebih baik
kita berkenalan. Saya Baek Ah, siapa namamu?”betapa menyenangkan untuk
mengetahui nama seorang penari pedang.
“Jika engkau Baek Ah, saya adalah pembantumu”, Woo Hee menjawab tak peduli.
Jawaban yang menyebabkan Sang Pangeran terkesima,
tampaknya gadis penari pedang itu tak percaya bila ia adalah penghuni
Istana Goryeo. Pangeran Baek Ah meraih perlengkapan musik, ia berniat
memperkenalkan diri sebagai pangeran ke 13, tetapi Woo Hee telah
menghilang. Gantungan dari manik-manik terjatuh ke atas tanah, sebuah
benda kecil yang indah dan hanya dimiliki keluarga bangsawan. Pangeran Baek Ah segera memungutnya.
***
Di istana kesibukan tengah berlangsung, Hae Soo tengah
memerintahh dayang istana menyiapkan beberapa minuman, tiba-tiba Park
Soon Duk muncul dengan wajah cemas, ia telah tampil selayaknya seorang
pengantin dengan pakaian kebesaran yang mewah,“Sebaiknya engkau menemui Pangeran ke-10, jangan sampai terjadi sesuatu pada dirinya”, Putri Jenderal itu memohon, ia telah lama menunggu, akan tetapi Pangeran Wang Eun belum juga meninggalkan peraduan.
“Mengapa harus aku, bukankah engkau pengantinnya?”Hae Soo keberatan.
”Engkau bisa menjadi istri keduanya, aku tidak
berkeberatan. Saya akan berbicara kepada Yang Mulia Raja dan ayahanda…”
penawaran Park Soon Duk setulus hati, ia akan melakukan segalanya bagi
Pangeran Wang Eun, termasuk merelakan Hae Soo sebagai selir.
Sementara Pangeran Baek Ah dan Pangeran Wang Jung tak
kalah cemas dengan mempelai perempuan, Park Soon Duk. Keduanya dengan
gelisah berdiri di depan pintu kamar Pangeran Wang Eun. Semakin lama
Pangeran Wang Jung semakin kehilangan akal sehat, ia tidak bisa
selamanya menunggu. Bila Pangeran Wang Eun menolak pernikahan ini, ia
bisa mendapatkan hukuman mati. “Lebih baik kurobohkan daun pintu
ini…”Pangeran Wang Jung menentukan sikapnya.
”Lebih baik,bila engkau ingin menyelamatkan hidupnya”, Pangeran Baek Ah menyetujui tindakan itu.
Ketika Pangeran Wang Jung bersiap mendobrak daun pintu
kamar Pangeran Wang Eun, Hae Soo muncul bersama Park Soon Duk.
”Pangeran, ini aku Hae Soo, buka pintu atau aku tak akan pernah berbicara
atau mengenalmu lagi …” Hae Soo perlu menunggu beberapa saat, sebelum
akhirnya daun pintu terkuak. Pangeran WangEun tengah mabuk, ia telah
meminum arak melebihi takaran yang seharusnya.
“Rencana pernikahan tidak akan berubah, meskipun pangeran
terus meinum hingga mabuk”, Hae Soo menyesal melihat keadaan Pangeran
WangEun, seorang yang telah dianggap sebagai sahabat.
“Engkau tidak pernah mengerti, tidak pernah merasakan apa
yang sedang aku rasakan…” suara Pangeran Wang Eun terpatah-patah.
“Apakah engkau bersedia menjadi istri kedua? Seorang pangeran bisa
memiliki istri lebih dari satu selayaknya seorang raja. Aku berjanji
akan menjadi seorang suami yang baik, meski
engkau bukan istri pertama …”pikiran Pangeran Wang Eun mengapung pada
lapisan langit terjauh, ia tak pernah membayangkan akan menikah dengan
seorang wanita prajuritnya. Ia selalu berkhayal wanita yang akan menjadi
pengantinnya adalah Hae Soo.
”Pangeran mengira saya bisa membagi suami dengan beberapa
wanita?”Hae Soo menjawab permintaan Pangeran ke-10 dengana pertanyaan.
Pantaskah ia menjadi istri kedua dari orang yang disayangi selaku
sahabat baik?
“Engkau seorang pembohong, engkau akan tetap menolak
andai aku memintamu menjadi istri pertama. Aku hanya seorang pangeran
yang bodoh …”lidah Pangeran Wang Eun terasa pahit, ia bukan hanya tidak
akan pernah mendapatkan Hae Soo, ia akan menjadi suami dari seorang wanita yang tidak dicintai. Demikiankah takdir hidup seorang pangeran?
“Aku sungguh merasa bahagia ketika bersamamu, engkau
menawan ketika tertawa, demikian pula ketika menangis, karena bersedih”,
Hae Soo berlutut di dekat Pangeran Wang Eun, ia perlu
memberi kekuatan bagi seorang sahabat yang merasa dirinya dirundung
malang. “Maafkan, karena tak dapat memenuhi permintaan seorang
pangeran…” Hae Soo berucap setulus hati, ia menyayangi Pangeran Wang Eun
sebagai sahabat yang selalu bersikap tulus dan kekanak-kanakan.
“Apakah engkau pernah menyayangiku?”Pangeran Wang Eun
bertanya, ia sungguh merasa pilu harus memasang jarak sedemikian jauh
dengan gadis ini.
“Aku selalu dan akan selalu menyayangimu …” Hae Soo tidak
berdusta dengan kata-katanya. Ia harus mengatakan yang sebenarnya
kemudian berpamit, pengantin perempuan tidak bisa lebih lama menunggu.
Di depan pintu kamar, Park Soon Duk, Pangeran Wang Jung
serta Pangeran Baek Ah menyimak pembicaran Hae Soo dengan Wang Eun. Tak
lama, Pangeran Wang Eun keluar dari kamar, ia tak bisa terus menerus
berdiam diri. Ia harus melaksanakan titah raja, menikah dengan Park
Soon Duk. Betatapun mencintai, Hae Soo bukanlah takdir hidupnya.
”Bukannya kita akan menikah?”Pangeran Wang Eun menatap mempelai
perempuan. Park Soon Duk menatap Pangeran Wang Eun dengan sepasang mata
berbinar, akhirnya ia sampai pada suatu hari ketika keinginannya untuk
selalu berada di dekat Pangeran ke-10 terpenuhi. Ia telah mengambil
langkah tepat dengan memanggil Hae Soo dalam kebuntuan ini.
Setelah upacara berlangusng semua pangeran bertemu untuk
merayakan pernikahan pertama Pangeran Wang Eun dan Park Soon Duk.Putra
Mahkota memberikan hadiah terlebih dahulu, berharap Park Soon Duk akan menjadi istri yang baik
bagi adiknya.Pangeran Wang Yo memberikan mutiara kepada Park Soon Duk.
Pangeran Wang Wook memberikan hadiah cermin perunggu bagi Pangeran Wang
Eun. Semua pemberian itu menyebabkan Park Soon Duk tersenyum bahagia,
pernikahannya mendapat restu dari semua pangeran. Iapun berdiri,” Terima
kasih untuk semua hadiah ini, saya berjanji akan menggunakan dengan
baik semua hadiah yang diberikan oleh pangeran”.
Dari kejauhan, Jenderal Park, ayah Park Soon Duk memandang pertemuan itu dengan damai, ia telah berbisik ke telinga Yang Mulia Raja bagi hari perkawinan putri tercinta. Tak ada yang diinginkan Park Soon Duk kecuali menjadi pengantin Pangeran Wang Eun, kini ia telah mencapainya.
Adapun Pangeran Wang So memberikan hadiah pohon kepada
Park Soon Duk dan Pangeran Wang Eun, “Kuharap anda berdua bisa berteduh
serta menikmati buah dari pohon itu di kala musim semi”, pesan singkat
Pangeran Wang So.
“Nanti jika pohon itu berbuah, aku akan mengundang semua ke datang ke rumah kami”, Park Soon Duk terhibur dengan hadiah itu.
“Aku senang bisa bertanding di bawah pohon”, Pangeran Wang Jung tersenyum gembira.
“Aku pasti akan sanggup mengalahkanmu”, Park Soon Duk
selalu yakin akan menang dengan Pangeran Wang Jung. Maka semua pangeran
tertawa.
Dari kejauhan Hae Soo memandangi semua pangeran senyumnya mengembang, tetapi dalam sekejab senyum itu berubah menjadi ketakutan.
Saat memandang Pangeran Wang So, tiba-tiba muncul gambar bergerak yang
mendirikan bulu roma. Adalah kejadian saat Pangeran Wang So membunuh
Pangeran Wang Eun dan Park Soon Duk dengan sebilah pedang. Hae Soo
berdiri kaku, keringat dingin mengucur. Pada saat yang sama Pangeran
Wang Wook dan Pangeran Wang So melihat Hae Soo yang dengan wajah memucat.
Seterusnya dayang itu berlari menjauh kemudian terjatuh
di sudut taman istana. Pangeran Wang Wook tidak harus berdiam diri, ia
merasa perlu memburu Hae Soo ,”Apa engkau baik-baik saja?”Pangeran ke-8 tidak bisa meneyembunyikan cemas.
”Berhati-hatilah dengan Pangeran Wang So, jangan pernah
menghalangi.siapapun pangeran jangan pernah bermasalah dengan Pangeran
ke-4. Atau, tak seorangpun selamat”, tanpa sadar tangan mungil Hae Soo
memegang ujung pakaian Pangeran Wang Wook. Kata-kata Hae Soo menyebabkan
isi kepala Pangeran Wang Wook nyaris berpusing. Mengapa semua pangeran akan meninggal? Apa sesungguhnya yang diketahui gadis ini?
”Aku ingin pergi dari tempat ini, aku ingin jauh dari
istana”, Hae Soo tak dapat lagi menguasai rasa takut, dinding megah
istana ternyata mudah dilumuri darah.
“Aku akan melakukan apa saja demi keselamatanmu, jangan
pernah merasa khawatir”, Pangeran Wang Wook memeluk dengan erat tubuh
lunglai Hae Soo, ia merasa seakan bersentuhan dengan sebongkah es batu.
Tubuh itu benar menggigil.
***
Setelah upacara pernikahan dan meriah pemberian hadiah,
perlahan malam pun tiba. Langit berleleran genangan tinta, namun juga
berpebdar, karena bintang-bintang. Park Soon Duk telah menantikan seumur
hidup sebuah malam yang mendebarkan yang akan memangkas seluruh jarak
terhadap Pangeran Wang Eun. Ia berharap sebuah malam yang indah dan mengesankan, tetapi …
Pangeran Wang Eun dengan geram menghentakkan gelas arak yang telah kosong, seakan ia sanggup menghabiskan satu guci
arak pada malam yang tak pernah diharap untuk datang.”Dengarkan, kita
boleh saja menikah, tapi aku tidak bisa mengakuimu sebagai istriku. Hidupku akan seperti semula seperti sebelum pernikahan ini terjadi. Jangan pernah mengomel, engkau harus menjawab setiap kali aku bertanya. Tak perlu engkau tahu kehidupan seperti ini membuatku putus asa!”
Park Soon Duk terdiam, ia telah mencapai suatu keinginan
menjadi istri seorang pangeran, tetapi dengan getir harus menyadari, ia
tak pernah mendapatkan cinta Pangeran Wang Eun. Malam pengantin menjadi
saat yang menyakitkan, Pangeran ke-10 telah menyatakan sikapnya, ia
tidak akan pernah dapat mengelak. Ia terperangkap ke dalam jebakan yang
dibuatnya sendiri. Ia hanya bisa mengalah sehingga percekcokan tidak
akan selalu terjadi.park Soon Duk masih terdiam ketika masih dengan
suara geram Pangeran Wang Eun kembali berucap, “Bagaimana aku harus
menyayangimuu? Aku memerlukan ukuran tempat
tidur yang lebih besar!”bagi Pangeran Wang Eun berbaring satu tempat
tidur dengan pengantin wanita pada malam pertama terlalu menakutkan.
Park Soon DUk bisa m endapatkan raaganya, tetapi bukan jiwanya.
Pangeran Wang Eun berbaring melepas segala kegundahan, ia
tidak mengijinkan Park Soon Duk tidur di sampingnya.Park Soon Duk
kembali terdiam, aneh, ia masih memiliki sisa rasa bahagia dengan
memandang Sang Pangeran berbaring tanpa disentuh atau menyentuh. Park
Soon Duk memilih satu tempat untuk melepas segala lelah di sudut yang
lain, ia harus melepas pakaian pengantin sebelum menerima kenyataan,
bahwa ia hanya satu kamar dengan Pangeran tercinta, tetapi tidak akan
satu pembaringan.tak lama kemudian pengantin wanita itu tertidur, ketika
terbangun Pangeran Wang Eun menatap putri jenderal itu. Andai yang
hadir pada hari perkawinan adalah Hae Soo, ada yang lerai selamanya di
hati pengeran muda. Ia harus membayar mahal kehidupan seorang pangeran,
Yang Mulia Raja memaksanya menikah dengan seorang wanita tanpa terlebih
dahulu bertanya, apakah ia mencintainya? Apakah ia berharap hidup
bersama selama-lamanya? Tanpa sadar bibir pangeran itu berucap, ”Kamu
pernah sampaikan aku harus menunggu sampai salju pertama jatuh. Hae Soo,
engkau seorang pembohong yang jahat”, air mata pangeran itu menetes,
jernih bagai embun.
Pada malam yang sama di tempat yang berbeda Pangeran Wang Wook tengah terdiam merenungi kata-kata Hae Soo, ”Berhati-hatilah
dengan Pangeran Wang So, jangan pernah menghalangi.Siapapun pangeran
jangan pernah bermasalah dengan Pangeran ke-4. Atau, tak seorangpun
selamat”, apa maksud kata-kata itu? Mengapa pula Hae
Soo harus mengucapkannya? Pangeran Wang Wook yang diakui sebagai
cendikiawan Goryeo berpikir keras, tetapi ia tak mampu mendapatkan
jawaban.
***
Hari selanjutnya setelah hari pernikahan Pangeran Wang
Eun dan Park Soon Duk berlalu Yang Mulia Raja meneruskan tugas-tugas
selaku kepala negara, membagi tugas bagi para pangeran, Wang So dan Wang
Yo, “ Wang Yo, pergilah mengunjungi wilayah kerajaan di luar Songak, periksa tempat penyimpanan gandum”.
“Tahun lalu, jenderal yang Raja utus kesana telah meninggal”, Pangeran Wang Yo menjawab.
”Karena itu aku mengutusmu.
Seorang pengeran harus maju mengatasi semua kesulitan, dengan sedikit
bawahan”, suara Raja Wang Geon mantap, ia tak ragu memerintah Pangeran
Wang Yo.
”Yang Mulia, bagaimana dengan tugas pasokan militer pangeran ke-3?”Choi Ji Mong bertanya.
”Aku mengalihkan tugas itu kepada Pangeran ke-4”, jawaban
Yang Mulia Raja menyebabkan Pangeran Wang Yo seakan tersengat
kalajengking. Tugasnya dialihkan kepada Pangeran Wang So? Benarkah? Ia
keberatan, tetapi bagaimana seorang pangeran dapat menolak perintah Yang
Mulia Raja?
Pertemuan usai.
Tanpa kehadiran Yang Mulia Raja, Pangeran Wang So
bertanya pada Choi Ji Mong, “Apakah Yang Mulia Raja berkinginan
mengusirku dari istana di Songak?”ia harus mengerti arti disisihkan dari
singgasana.
“Menurut pendapatku tidak, Yang Mulia Raja mempercayai Pangeran Wang Yo, sehingga
memberikan tugas yang lebih sulit”, jawaban Choi Ji Mong tidak
menyebabkan Pangeran Wang Yo merasa tenang, ia yakin dua saudara kandung
dapat berseteru hanya karena sikap Yang Mulia Raja yang pilih
kasih.”Sejak kecil pangeran selalu menginginkan apapun yang dimiliki
oleh Putra Mahkota. Karenanya, dengan tugas itu. Terimalah segala yang
menjadi takdir manusia”, Choi Ji Mong melirik wajah geram Pangeran Wang
Yo, ia tahu isi hati pangeran itu.
”Tunggu saja apa yang akan terjadi nanti”, Pangeran Wang
Yo menerawang jauh seakan tengah mempersiapkan segala yang akan terjadi
pada hari depan.
***
Pangeran Wang Yo masih menyimpan rasa geram ketika duduk
makan bersama dengan Pangeran Wang So, Pangeran Wang Jung serta Ratu
Yoo.”Makanan terasa lebih lezat, karena So ada ada bersama kita”,
Pangeran Wang Jung tersenyum, selama hidup baru kali ini ia berkumpul
bersama keluarga. Betapa jauh jarak Pangeran Wang So sebelum ritual
turun hujan berlangsung.
”Senang sekali bisa melihat wajahmu”, akhirnya Ratu Yoo bangga dengan Pangeran Wang So yang mendapat kepercayaan Yang Mulia Raja”, lupakan yang telah lalu.
”Untuk yang pertama kalinya aku makan dengan kakak So”, senyum di bibir Pangeran Wang Jung masih mengembang, terasa damai berkumpul
bersama keluarga. Ratu Yoo memberikan potongan daging kesukaan Pangeran
Wang So, pangeran ke-4 tersedak ketika menelannya.
”Aku harus pergi dari Songak. Putra mahkota akan
mengajarimu, artinya engkau pasti akan sering bertemu dengan Putra
Mahkota”, Pangeran Wang Yo menyampaikan hasil pertemuan dengan Yang
Mulia Raja.
Di tempatnya duduk Pangeran Wang So tersenyum, ia tahu
ada Pangeran Wang Yo dan Ratu Yoo menginginkan sesuatu, maka ia
berkesempatan makan bersama seakan sebuah keluarga. Dugaan Pangeran ke-4
tepat ketika Ratu Yoo berucap, ”Bunuh Putra Mahkota, tidak sulit
bagimu, karena pengalaman membunuh pasti bukan untuk yang pertama kali”,
Putra Mahkota bagai duri dalam daging di istana ini, ia benar-benar tak
menginginkan kehadiran pangeran ini. Ia menginginkan tahta bagi Wang Yo.
“Yang Mulia Raja bisa mendapatkan tahta setelah membunuh
saudaranya”, Pangeran Wang Yo membenarkan keinginan ibunda ratu.
Pangeran Wang Jung merasa pembicaraan ini sudah jauh dari lurus, ia
berniat melerai, tetapi Pangeran Wang Yo tidak menghiraukan. ”Jika aku
tidak menjadi raja, kita semua akan mati. Kita harus membuat rencana”.
“Benarkah Putra Mahkota akan membunuh
saudaranya?”Pangeran Wang Jung merasa bulu kuduknya meremang,
demikiankah kehidupan di dalam dinding istana.
”Benarkah ibunda ratu menginginkan kematian Putra
Mahkota?”Pangeran Wang So bertanya, meski ia tak meragukan keinginan
Sang Ratu.
”Ya”, mantab jawaban Ratu Yoo.
”Saya akan melakukannya, kemudian akan naik tahta sebagai
raja. Tak akan ada persoalan bila nanti Wang So adalah seorang raja.
Saya tidak akan membahayakan Wang Jung serta Wang Yo”, Pangeran Wang So
tidak dungu dalam memenuhi keinginan ibunda. Mengapa ia harus membunuh
Putra Mahkota demi Wang Yo? Mengapa bukan demi dirinya sendiri?
“Mengapa harus tinggi hati setelah menunjukkan
kehebatan pada rituil turun hujan, sehingga berkeinginan mengambil
tahta Goryeo?”Pangeran Wang Yo tidak mengira akan seperti ini jawaban
Pangeran Wang So.
“Langit mendukungku, Wang Yo hanya didukung keluarga
mertua”, Pangeran Wang So membantah, ia memang memiliki alasan untuk
membantah.
“Mertua Putra Mahkota saya kira lebih rendah”, Pangeran Wang Yo tak mau kalah.
“ Wang Yo telah diberkati oleh Langit untuk menjadi
Raja”, Ratu Yoo menatap wajah tampan Wang So, ia tahu bila Pangeran ke-4
menduduki tahta, maka ia adalahseorang ibu suri. Seorang dengan
kewenangan menentukan di istana.
“Apa yang akan terjadi bila saya mampu merebut tahta di tengah banyak orang yang mengiginkannya…?”Pangeran ke-4 tergelak.
“Jangan terlalu percaya diri, apakah engkau mengira
dirimu sangat istimewa? Engkau hanya perisai untuk melindungi Putra
Mahkotan, hanya dimanfaatkan Yang
Mulia pada ritual turun hujan demi Wang Mo”, Ratu Yoo terganggu dengan
dengan suara tawa itu, kini ia menyadari, betapa tidak mudah menyelami
isi hati Pangeran ke-4.
“Saya tidak sedang dimanfaatkan, saya sedang menuju
singgasana. Terima kasih makan siang yang lezat, saya berpamit. Jangan
pernah mengundang untuk makan bersama”, Pangeran
Wang So berdiri kemudian undur diri, perjamuan makan bersama ternyata
menjadi saat yang menggelisahkan. Ia menginginkan seorang ibu dan
keluarga, tetapi yang diperoleh adalah sebuah rencana pembunuhan.
Pangeran Wang Yo menatap punggung Pangeran ke-4 dengan
gamang, ia sudah menduga, sulit membuat Wang So berpihak sebagai sekutu.
Sementara Pangeran Wang Jung merasa
kegamangan yang berbeda, Pangeran Wang Yo serta Ratu Yoo sudah
membicarakan hal yang melampaui batas, tentang pembunuhan Putra Mahkota
bahkan saat mereka makan bersama. Pangeran Wang Jung merasa hatinya
kerkeping-keping kebersamaan yang semula terasa indah, berakhir
menakutkan. Mengapa seorang ratu harus membunuh
Putra Mahkota demi pangeran yang lain? Perlahan Pangeran Wang Jung
undur diri, seakan ada pecahan kaca yang bersarang di relung hati.
Adapun Pangeran Wang So tak kalah gamang disbanding
Pangeran Wang Jung, ia terlalu bodoh mengharapkan kehadiran seorang ibu
dan keluarga. Kiranya mereka hanya memerlukan kehadirannya di meja makan
selaku pembunuh Putra Mahkota? Sanggupkah ia membantai seorang yang
harus dilindunginya. Pangeran itu terus melangkah hingga berdiri di
depan kuil, air matanya bergulir. Ia
masih bisa tergelak di depan ibunda ratu, tetapi masihkah ia harus
membendung air mata ketika harus menyadari, ia hanya hampa seorang diri.
Pada waktu yang sama di dalam
kamar Hae Soo dicengkeram rasa takut, ia mencoba menyangkal penglihatan
tentang Raja Gwangjong dengan segala kekejamannya, tetapi sia-sia.
Demikiankah catatan sejarah yang selalu berlumuran darah? Hae
Soo menghela nafas dalam-dalam, memegang tangan, mencari kekuatan. Ia
mencoba mendapatkan udara segar dengan keluar dari kamar, rasa takut itu
masih mencengkeram.
Gadis itu terhenyak ketika tiba-tiba Pangeran Wang So
muncul dan memanggilnya, “Soo…” suara itu seakan cemeti yang memacu Hae
Soo berlari menjauh. Akan tetapi, langkah gadis itu terhenti, karena
Pangeran Wang So erat memegang tangannya kemudian memeluknya pula.
“Lepaskan”, lirih suara Hae Soo.
”Sebentar saja, tetaplah bersamaku. Aku ingin istirahat”,
Pangeran Wang So meminta, ia sungguh selalu ingin dekat dengan gadis
ini.
”Saya merasa takut Yang Mulia”, Hae Soo mencoba membebaskan pelukan itu.
“Mengapa harus takut?”Pangeran Wang So menatap Hae Soo dengan rasa heran, bukankah dayang ini tak lagi erasa takut kepadanya?
“Pikiran bisa berubah, adakah Yang Mulia yang akan menghancurkan Goryeo? Biarkan saya menjauh”.
“Adakah perlu untuk menghindariku? Aku tak ingin engkau berkata kehadiranku hanya membawa kabar buruk. Berpihaklah kepadaku”,
“Apakah hal itu memang masih perlu?”
”Engkau milikku, tanpa ijin engkau tak akan bisa
pergi.Engkau juga tidak boleh meninggal”, Pangeran Wang So tidak dapat
menahan diri untuk tidak mencium Hae Soo, dayang itupun berusaha sekuat
tenaga melepaskan diri.
Bersambung …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar