Rabu, 29 Mei 2019

ISTANA PASIR --Kisah Seorang Penderita HIV/AIDS, KEDUA








Kampung itu terletak di dasar
lembah dengan bukit-bukit subur
menghijau mengelilingi di sekitarnya
seakan benteng alam yang sengaja
dibangun oleh tangan Yang Maha Perkasa.
Sebatang anak sungai mengalir dengan air
yang jernih berbatu-batu, sungai itu memenuhi
kebutuhan sesisi kampung akan
kebutuhan air, untuk mandi, mencuci, dan
tentu saja tempat bermain yang mengasyikan
bagi anak-anak sepanjang waktu. Di tepi
sungai tumbuh bunga liar yang senantiasa
mekar beraneka warna, sementara rama-
rama dan kupu-kupu ramai beterbangan
menterjemahkan bahasa alam.
Setiap pagi matahari secara perlahan
namun pasti memancarkan sinar yang jernih
dan lembut dari balik punggung bukit,
mengawali kehidupan. Cahaya benderang
segera membangunkan petani untuk kembali
mengolah tanah, menyemai bibit, merawat
tanaman selama masa pertumbuhan
kemudian melakukan pemanenan sampai
pada batas waktunya. Dengan hasil panen
itu keluarga-keluarga petani membangun
rumah secara gotong royong. Ada petani
yang memiliki lahan luas, sehingga mereka
dapat membangun rumah batu dengan
halaman luas dan perabot yang indah.
Akan tetapi, para petani lebih banyak yang
memiliki rumah kayu, sebagian beratap seng,
sebagian lagi beratap ilalang.
Perumahan itu berjajar secara rapi di
dalam tujuh trap lapisan tanah yang sengaja
dibuat dengan pola semacam ini untuk
menanggulangi erosi. Adalah bunga-bunga
sepatu, bunga tasbih, bunga mawar, dahlia,
dan kecubung yang mekar pada setiap
halaman rumah. Pada pagi hari bunga-bunga
itu basah digenangi embun. Menjelang siang
embun itu luruh ke tanah, tetapi aneka warna
bunga tetap berseri, menghias kehidupan.
Siang itu serombongan anak berseragam
SD berbondong-bondong pulang dari sekolah.
Mereka menyanyikan lagu Indonesia Tanah
Air Beta secara bersama-sama dengan suara
blero –sumbang—tetapi tetap bersemangat.
Sampai di persimpangan jalan rombongan
itu terpecah. Sekumpulan anak tetap berjalan
beriringan, langkah itu terhenti ketika
mereka sampai di mulut jembatan, mata
yang polos itu memandang air yang jernih,
mengalir dan terus berbuih-buih, memecah
di bebatuan.
“Hai Anita, ayo kita mandi-mandi di
sungai, pasti asyik sekali”, seorang gadis
dengan rambut dikepang dua dan mata
bercahaya laksana bintang membuka
pembicaraan. Tampaknya ia tergoda dengan
jernih air sungai yang terus mengalir tanpa
henti, udara terasa gerah ketika matahari
beranjak tinggi.
Gadis cilik yang dipanggil dengan nama
Anita tampak menimbang-nimbang sebelum
akhirnya mengangguk setuju. ..........“Kau ikut
juga Maret? kami mau mandi-mandi”, Anita
mengajak kawan yang lainnya.
“Aku ikut”.
“Aku juga ikut”, gadis kecil yang lain
menimpali. Maka kelima gadis cilik itu segera
membuka pakaian luar, mereka meletakkan
tas sekolah di tepi sungai, di bawah sebuah
pohon pinus yang menjulang dan berdaun
rindang kemudian segera menjeburkan
diri ke dalam air. Air sungai itu sungguh
dingin dan sejuk, di atas matahari timbul
tenggelam di antara mega-mega. Gadis-gadis
itu mulai belajar berenang, menyelam, saling
menyemprot air dan berkejaran.
“Bagaimana kalau aku terbawa arus,
hanyut ke dalam air yang berbuih-buih itu?”
Anita bertanya.
“Aku pasti akan mengejar untuk
menyelamatkanmu”, Maret langsung
menjawab, ia sungguh sayang akan Anita,
teman sepermainannya. Anita adalah murid
tercantik di kelasnya, ia bukan hanya cantik,
tetapi juga pandai, dan baik kepadanya.
Setiap hari mereka selalu berbagi kue atau
makanan. Sekarang, adalah saat-saat yang
paling menyenangkan, bermain air, di
bawah matahari, bersama kawan-kawan.
Maret memungut sebongkah batu kecil
dengan permukaan halus kemudian mulai
menggosok punggung Anita yang putih
dan lembut untuk membersihkan daki-daki.
Anita merasa sungguh nyaman, ia sayang
pula akan Maret, sahabat yang selalu baik dan
memanjakan. Maret tidak seperti Siwi dan
Ina yang kadang berbaik-baik, tetapi di lain
hari berbalik memusuhi atau menghasut satu
sama lain supaya ia tak memiliki seorangpun
teman. Maret tak pernah terhasut, ia memiliki
hati yang sungguh tulus dan memiliki pula
sikap. Anita tak pernah merasa sunyi, karena
ia memiliki seorang Maret.
Mereka terus bermain air, seolah tak
kenal batas waktu sampai tiba-tiba Maret
merasa lapar. “Perutku terasa lapar, ayo
kita pulang ke rumah, emak tadi pagi masak
nasi jagung, sayur rebung, ikan garam, dan
sambal terasi. Ayo kita sudahi permainan ini,
besok kita bermain lagi”.
“Ayo, aku juga sudah lapar”, jawab
Anita, ia akan kembali melewati saat tak
kalah mengasyikan, menikmati nasi jagung
beserta lauk pauk dengan kawan-kawan.
Kelima gadis itu segera beranjak dari dalam
air, menjelang tumpukan pakaian dan buku-
buku. Mereka mengibas-ngibaskan seluruh
badan yang basah kuyup, berjemur sesaat
untuk mengeringkan badan kemudian
segera berpakaian dan berjalan bergerombol
mendaki trap menuju kediaman Maret.
Maret memiliki sebuah rumah batu
beratap seng, ia memiliki pula halaman luas
yang ditanami aneka warna bunga, pohon
pinus, kolam ikan, dan kandang ternak di
belakang rumah. Serombongan gadis kecil
itu tak berani melewati pintu depan, karena
pakaian yang masih basah, mereka segera
menuju ke dapur dengan melewati pintu
samping. Suasana rumah sunyi, suasana
di rumah sebelah, dan yang sebelahnya
lagi juga sunyi. Para orang tua tampaknya
tengah berkumpul bersama pak Lurah di
pendopo, pasti ada masalah penting yang
harus dibicarakan. Anak-anak tak perlu
tahu, mereka hanya tahu sekolah, bermain,
makan, dan membantu orang tua dengan
tugas-tugas kecil.
“Ayo kita makan, ambil piring masing-
masing”, Maret memberi perintah, mereka
telah terbiasa bermain atau belajar bersama
di rumah ini. Gadis-gadis itu tak canggung
lagi, setiap tangan meraih piring, menyendok
nasi jagung yang berwarna kuning ranum
layaknya mentega, melengkapinya dengan
sayur rebung, ikan garam, dan sambal
terasi. Maka, bersantaplah gadis-gadis kecil
itu dengan lahap, tak ada seorangpun yang
bersuara hingga perut menjadi kenyang dan
isi piring licin tandas tiada bersisa.
“Ayo, kita bermain sudah manda”,
Maret dan “tamu-tamunya” menghambur
ke halaman, mereka segera membuat garis
sambung sambung menyambung berbentuk
seakan anak tangga di halaman rumah.
Mereka berniat meneruskan kesenangan yang
lain tanpa peduli waktu pulang ke rumah,
tetapi gerakan gadis-gadis itu segera berhenti.
Mereka melihat wajah-wajah mendung dan
diliputi amarah sekaligus keputus asaan dari
penduduk desa yang selesai mengadakan
pertemuan di pendopo bersama pak Lurah.
Tak pernah sekalipun dalam hidup mereka
melihat wajah-wajah semarah itu, naluri
gadis-gadis itu membisikkan tanda bahaya.
Mereka segera berdiri mematung, keinginan
untuk bermain surut secara tiba-tiba tanpa
dipaksa.
“Ini tempat tinggal kita, ini tanah air
kita. Mengapa kita dipaksa bedol desa demi
sebuah bendungan, tidakkah ada tempat lain
yang lebih layak. Apa itu transmigrasi?!”
suara itu diliputi amarah. Amarah dan putus
asa, sebab sekalian penduduk desa tengah
berhadapan dengan sebuah kekuatan yang
tak akan dapat dilawan. Mereka hanya
petani, hanya rakyat kecil, apalah arti satu
kampung petani dibanding dengan investor
dengan modal raksasa dan sebuah kekuatan
absolut yang berdiri di belakangnya?
“Kita harus melawan!”
“Dengan apa kita harus melawan? Sebentar
lagi tempat ini akan digenangi air, kita
harus bedol desa atau mati tenggelam”.
“Besok kita datangi kantor Negara!
Ini tanah leluhur, tanah pusaka, apa yang
akan terjadi pada diri kita andai kita harus
tinggalkan tanah turun temurun ini?!”
suara itu terdengar menggelegar dan gegap
gempita.
Anita, Maret, dan teman-temannya berdiri
merapat saling berpegangan tangan.
Mereka tahu, seisi kampung agaknya bakal
dirundung malang, nasib buruk tak berkesudahan.
Mereka saling berpandangan
dengan mulut gagu, keceriaan bocah-bocah
seketika lenyap berganti dengan kecemasan.
Anita segera bergerak, berpamit dengan ka
wan-kawannya ketika melihat kedua orang
tuanya melambaikan tangan. “Aku pulang
dulu Maret, besok kita bermain lagi”.
Maret mengangguk, ia melepas sahabatnya
pergi dengan mata berkaca-kaca.
Adakah ia akan tetap dapat bermain dengan
sahabatnya itu? Atau nasib akan menceraikan
untuk selama-lamanya. Ia masih terlalu
bocah untuk memahami sebuah manuver
yang disebut dengan bedol desa. Ibarat tanaman,
maka akarnya telah menyatu dengan
tanah tempatnya tumbuh. Apa yang akan
terjadi andai tanaman itu dicabut dengan
paksa kemudian ditanam kembali pada
sebuah lahan dengan kondisi yang baru
sama sekali dan tak pernah dikenali? Gadis
itu tak mematung lebih lama, kedua orang
tuanya datang tak lama kemudian dengan
mata merah, emak nyata-nyata tak dapat
menahan sedu sedan, sedangkan bapak tiba-
tiba tampak sedemikian tua. Ketika emak
memeluknya dengan isak tangis, Maretpun
ikut menangis, ia seakan dapat merasakan
kesedihan dan susah hati yang menimpa
kedua orang tuanya.
Sementara Anita mengalami hal yang
sama, emak memeluknya dengan air mata
berlinang-linang, bapaknya terbungkam
seribu bahasa. Anita anak semata wayang
setelah sang kakak meninggal, karena ter
jatuh dari pohon kelapa. Ia adalah seluruh
harapan bagi orang tuanya, kini orang itu dicekam
kebimbangan, karena hari esok yang
tak pasti. Telah diturunkan sebuah perintah
bagi sesisi kampung untuk meninggalkan
tempat tinggal dalam waktu tiga bulan
terhitung sejak hari ini atau mereka harus
berhadapan dengan hukum, karena alasan
pembangkangan. Hukum adalah suatu hal
yang menakutkan bagi wong cilik, hukum
adalah penjara, sebuah kerangkeng dengan
dinding suram yang dapat menggilas nasib
siapa saja.
Anita tak tahu dengan pasti mengapa
emak menangis, tetapi sedu sedan itu nyata-
nyata melambangkan kesedihan. Seperti
halnya Maret, Anita juga ikut menangis,
ia memeluknya emak kuat-kuat, ia cuma
bocah kecil, nasib sepenuhnya tergantung
orang tuanya. Ia akan melayang-layang
seandainya emak membawanya terbang ke
langit, ia akan tenggelam seandainya emak
membenamkannya ke dalam air, ia akan
mati kelaparan andai emak tak memberinya
makan, ia akan dapat menggapai cita-
cita andai emak benar sungguh-sungguh
membesarkannya sebagai manusia. Kini,
orang yang nyata-nyata berwenang
membesarkan tengah dirundung malang,
apapun yang bakal terjadi pada emak, maka
nasib yang sama akan menimpa dirinya. Duh
Gustiku!
“Sudahlah makne, tak usah ditangisi,
mungkin sudah waktunya bagi seisi kampung
ini untuk berkemas pergi. Kita ini cuma
kawulo, cuma wong cilik, apa yang bisa kita
buat kecuali munurut dari pada melawan
bahaya. Mungkin kita akan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik di tempat baru,
tak usahlah ditangisi, percaya pada Gusti.
Bahkan semut-semut yang berkerumun di
liang lahat pasti mendapat rezki, apa lagi
kita sebagai manusia yang punya akal budi”,
bapak mencoba menghibur emak.
Anita mengira kata-kata bapak akan
meredakan tangisan emak, ternyata sedu
sedan itu semakin menjadi berubah menjadi
jeritan, menjadi teriakan, menjadi lolongan
srigala lapar, sehingga para tetanggapun
ramai berdatangan. “Yem, nyebut Yem,
eling-eling, sadar. Manungsa iku ming
sakdermo nglakoni, kita manusia ini hanya
sekedar menjalani, kita Cuma wong cilik
yang tak bisa berbuat apa-apa, bahkan
sekedar berpendapat untuk mempertahankan
kampung halaman. Nyebut Yem, nyebut”,
seorang tetangga memijit-mijit Iyem, emak
dari Anita, menggosokanya dengan minyak
angin. Iyem memang tampak tenang,
sedemikian tenang, tetapi akhirnya wanita
itu terkulai di pelukan sang tetangga.
Pingsan!
Ini kejadian pertama!
Esok hari, Samijan, orang tua Siwi
kerasukan, ia berlari mengacungkan parang
menuju pendopo kelurahan yang telah
suwung –kosong—“Setan alas, wewe gombel,
demit buntung, aku wong cilik, tetapi tidak
terima tanahku dirampas digenangi air.
Tanah ini adalah tanah pusaka, peninggalan
leluhur, mengapa saya yang wong cilik
ini harus menjadi korban! Harus menjadi
korban!” teriakan itu mengundang sesisi
kampung untuk berdatangan, melihat
hal apa yang terjadi sekaligus mengambil
tindakan. Seorang tua segera berkomat-
kamit, meniup ubun-ubun Samijan, meminta
parang yang tergenggam di tangan. Samijan
meronta-ronta, secara tibat-tiba kekuatanya
menjadi berlipat ganda, sepuluh orang
harus memegangi kedua tangan supaya
laki-laki itu tidak bertindak di luar kendali.
Ketika Samijan terus meronta dan meronta,
seseorang terpaksa menempeleng kepalanya.
Laki-laki itupun terkulai, tak sadarkan diri.
Hari berikutnya sekelompok penduduk
berjalan berondong-bondong mendatangi
kantor negara, mereka melakukan unjuk
rasa. Mereka menolak tanahnya diminta
demi kepentingan nasional. Unjuk rasa itu
ditanggapi dengan semburan gas air mata,
sebagian penduduk berlari kocar-kacir,
sebagian yang lain melakukan pengrusakan
dengan memecahi kaca jendela, adapun yang
tertangkap segera diinterogasi dan kembali
ke kampung dalam keadaan babak belur.
Suasana kampung segera berubah
menjadi murung, sia-sia mereka bersuara,
mereka hanya semut api yang beramai-ramai
menyerang seekor gajah kemudian tercerai
berai dan berlari menjauhi kekuatan itu
dengan lintang pukang. Mereka bukan apa-
apa bila dibandingkan dengan kebijakan
yang telah ditetapkan. Suasana menjadi
semakin murung ketika terbetik kabar,
bahwa Mbah Saman, orang tua di kampung
ini yang telah dianggap sebagai sesepuh dan
panutan tiba-tiba diserang penyakit ayan dan
mendadak meninggal.
Pemakaman itu telah menguras air mata
seisi penduduk kampung, mereka tak lagi
bersuara, tak lagi berteriak atau berkata-kata,
tetapi kebungkaman itu telah menjadi bahasa
yang mempunyai arti sama. Jadi, untuk apa
lagi berkata-kata? Bukankah mereka sama-
sama wong cilik yang tak memiliki hak dalam
bersuara? Kemudian kehidupan di kampung
itupun segera berubah menjadi lesu, para
petani menjadi enggan menggarap ladang,
bukankah tanah harapan itu harus segera
ditinggalkan? Bahkan kesiur angin pun
terasda memilukan, burung bence bersuara
 dalam jenis nada yang sumbang, selebihnya
adalah wajah murung yang menyerah kalah.
Senja itu matahari tenggelam secara
perlahan-lahanenuju punggung bukit,
langit biru laksana layar maha raksasa.
Gumpalan awan tampak mengecil, putih cemerlang
menghiasi cakrawala dalam bentuk beraneka rupa.
Candik ala berupa sinar lembayung kekuningan akan
segera turun, mestinya seisi kampung tampak
semringah menikmati sebuah keagungan atas nama
cahaya yang lalu sekejab sebelum gelap menerkam.
Akan tetapi, suasana menjadi lesu, sementara keluarga mulai
 mengemasi barang-barang berharga, mereka tak
rela benda milik pribadi akan musnah terendam air.
Di bawah pohon beringin dengan akar-akar yang menjalar,
di atas sebongkah batu tampak dua orang gadis cilik duduk
bercakap-cakap. Mereka tengah mengunyah dail –sejenis
akar rumput beruas, berwarna putih dan terasa manis.
Pada hari-hari biasa dail  menjadi makanan “ringan” yang
lezat rasanya. Akan tetapi, kali ini mereka mengunyah
tanpa bernapsu. “Kalau kita bedol desa nanti, apakah
aku bisa m enjadi dokter?” Anita membuka percakapan.
“Kenapa tidak? Pak guru bilang kita harus menggantungkan
cita-cita setinggi bintang di langit, tetapi mesti
 merendahkan diri seperti mutiara di dasar samudera”,
jawab Maret.
“Kita akan tetap bersama-sama bukan Maret?”
“Mengapa engkau takut bila aku akan meninggalkan
 dirimu, kita telah berkawan baik kemana pun pergi”.
“Mengapa orang-orang bersedih hati?” Anita terus
bertanya, ia sungguh gelisah dengan segala perubahan
yang  terjadi di kampungnya, ia seakan ikut merasakan
 bahwa sebuah musibah  besar tengah menanti, dan ia
hanya wong cilik.
“Emak dan bapak juga sedih, mereka mulai mengemasi
barang-barang, kalau mereka menangis, aku juga ikut menangis,
 tetapi kita tidak punya pilihan lain. Tidakkah engkau lihat
 ada kendaraan besar dan mesin-mesin berat mulai berdatangan.
 Dan mereka orang-orang berpakaian seragam dengan topi bundar
yang keras melindungi kepala mulai membangun tanggul untuk
membendung aliran sungai. Kampung ini bakal menjadi danau
buatan, entah untuk apa mereka mesti membuat semua ini?”
“Akan tetapi, apa pun  yang akan terjadi dengan kampung ini,
kita tetap berkawan bukan?” Anita memandang wajah Maret,
seraut wajah bundar dengan tatapan polos dan pipi yang
kenerahan. Maret mengikat sejumput rambutnya tepat di atas
 kepala, menyerupai air mancur.
“Tak usah kau ragu, apakah selama ini aku pernah bersikap
tidak baik terhadap dirimu, ketika teman-teman berbisik
supaya aku menjauhi, maka kita tetap bersama-sama. Hei lihat,
itu tampak pelangi!” Maret mengalihkan perhatian, jari
telunjuknya menuding sebuah lengkung raksasa di kaki langit
dengan aneka warna yang maya dan indah menakjubkan.
“Oh indah sekali!” Anita setengah menjerit, ia sungguh
terpesona akan sebuah panorama yang cantik di kampung
 tempat tinggalnya. Pelangi itu tampak seakan sehelai
selendang maha raya yang membentang dalam separuh lengkung,
memantul di antara hijau alam.
“Orang tua bilang, bila kita mampu mendapati ujung pelangi,
maka akan mendapati bidadari yang tengah mandi. Pelangi
 adalah selendang yang ditanggalkan dan akan segera dikenakan
kembali seusai mandi”, Maret menjelaskan dengan nalar
 kebocahannya. Kelak, setelah mempelajari fisika di
 tempat tinggalnya yang baru, bocah itu akan tahu,
bahwa cerita tentang bidadari dan selendang yang
 ditanggalkan sebagai pelangi  hanyalah mitos, penjelasan
dari orang tua dengan alam pikiran yang sederhana belum
sampai pada pemahaman rasioanl. Pelangi adalah suatu
efek yang muncul dengan adanya genangan air dan
pembiasan cahaya.
“Apakah di tempat baru nanti kita juga akan
melihat pelangi?” Anita bertanya, ia sungguh
merasa cemas mesti meninggalkan kampung halaman yang
menghijau subur dan harus menuju suatu lingkungan baru
 yang asing sama sekali.
“Entahlah, tetapi para bidadari pasti akan tetap mandi,
menanggalkan selendang dan kita dapat menyaksikan keindahannya”,
mata Maret yang bening terus menatap lengkung dengan warna-warna
yang lembut itu. Sementara matahari telah menghilang dari
 punggung bukit, sinarnya yang kekuningan memucat, perlahan-lahan
 warna pelangi itu menjadi semakin pudar, semakin pudar dan
akhirnya menghilang bersama datangnya rembang petang.
“Ayo kita pulang, nanti emaksibuk mencari”, Anita
menggandeng tangan Maret, mereka tampak beranjak dari
bawah rimbun pohon beringin, masing-masing dengan dail
 di tangan. Kedua gadis itu dapat m enyesap rasa manis
layaknya kembang gula, mereka masih memiliki beberapa
saat kesempatan untuk menghisap dail sebelum sampai di
 rumah emak member teguran, karena dail tidak layak
untuk dimakan sekalipun oleh anak-anak, kecuali bagi
 anak-anak yang terlantar.
Kedua bayangan gadis kecil itupun bergerak perlahan
menuju perkampungan, gelap akan dating bersama hantu
 dan roh jahat. Bocah-bocah itu harus berlindung
kembali kepada orang tua dari segala makhluk halus
yang membawa datang sawan –penyakit. Hari itu untuk
 yang terakhir bocah-bocah merasa damai dan memahami
segala sesuatu  dengan nalar kebocahannya. Seterusnya
perubahan akan terjadi dengan cepat, ada keluarga-keluarga
yang membongkar rumah, menjual segala  yang dapat dijual
kemudian berpamitan sambil bertangisan, mereka memilih
tinggal bergabung dengan kerabat yang letak kampungnya
 sangat jauh dari genangan air. Adapun keluarga-keluarga
 yang lain memilih kekalahan, mengikuti sebuah kebijakan
 yang disebut dengan bedhol desa, berpindah keluar pulau
dengan seluruh perangkat yang ada di dalamnya untuk
membangun sebuah kampung baru di pulau yang sangat
jauh dan belum pernah dikunjungi. Ternak, perabot,
pedati, dan hasil kebun denga nharga murah dijual
ke kota supaya mereka memiliki cukup persediaan
uang di tangan.
Perkampungan itu menjadi porak poranda, sementara
pembanguna bendungan dengan penjagaan aparat bersenjata
mulai berjalan. Penduduk kampung itu melihat aktivitas
dengan segala rasa dendam sekaligus tak berdaya,
mereka hanya dapat memasang wajah geram sampai
akhirnya dating hari itu. Hari ketika berpuluh
kendaraan besar, bus dan truk telah disiapkan
untuk mengangkut seisi kampung tanpa kecuali,
suasana mengharu biru, seisi kampung menatap
untuk yang terakahir kali tanah tumpah darah
yang subur yang telah menghidupi seisi kampung
dalam usia ratusan tahun. Kini, segalanya harus
ditinggalkan untuk digenangi air bagi sebuah waduk
bagi kepentingan  yang tidak bisa dimengerti.
Pada layar televise kejadian itu tampak sebagai
sanak kadang yang saling bertanagis-tangisan,
karena harus berpisah dan meninggalkan tanah
kelahiran. Para pemirsa hanya dapat menonton
sementara pembawa acara terus membacakan berita.
Seperti halnya penonton teater, maka penonton
hanya dapat m enyaksikan isak tangis, mungkin
juga tersentuh dan  bersimpati. Seorang bocah
yang mengikuti berita dengan polosnya bertanya.
 “Kakak, mengapa seorang laki-laki bisa menangis?”
 bocah itu menyaksikan seorang bapak mengenakan jaket,
 membawa  tumpukan barang, tersedu-sedu pada pundak anak laki-lakinya.
“Mereka harus bedhol desa”, jawab sang kakak.
“Apa itu bedhol desa?”
“Pindah dengan seluruh isi desa
menuju tempat tinggal baru”, jawaban itu membuat
si bocah terdiam, ia tak bertanya-tanya lagi,
ia belum mampu memahami cara hidup dan berpikir manusia dewasa.
     
                          ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...