Selasa, 28 Mei 2019

K A P A K --Kisah Seorang Anak Asmat-- SATU









*Kapak adalah sebuah Catatan Etnografi, tentang kekerasan yang terjadi atas tiga orang istri kepala perang di Buetkuar, sebuah  kampung nun jauh di sana, di Wilayah Asmat. Suatu kehidupan sederhana yang jauh dari fasilitas PLN, Telkom, pasar, rumah sakit, dermaga, landasan pacu, dan bangku sekolah. Kasus kekerasan adalah riel dengan latar budaya serta keyakinan masyarakat setempat –hutang darah, bayar darah, hutang gigi, bayar gigi ….


P R O L O G

Dalam genggaman tangan yang legam, bersimbah peluh, dan gemetar, kapak besi itu berlumuran darah. Dengan amat perlahan genggaman tangan itu terlepas. Tanpa suara sedikit pun kapak itu segera tersandar ke dinding. Sesuatu telah terjadi! Sebuah napas berat terdengar memenuhi seisi ruangan dalam rumah panggung itu. Dan sepasang mata nyalang milik seorang anak manusia yang terluka menatap lurus ke depan, seolah ingin menembus dinding gaba-gaba yang menjadi batas pandang.
“Seorang anak Asmat harus berani membuktikan keberanian, apa pun yang akan terjadi setelah itu…” suara itu terlontar dari bibir yang menggigil, seolah bisikan yang ditujukan bagi dirinya sendiri. Kemudian suasana di dalam rumah itu kembali diam. Dalam kebisuan yang menggelisahkan dan mendirikan bulu roma, sepasang mata itu seakan menyaksikan kembali gambar-gambar menakutkan yang telah menyalakan bara dendam. Ketika dengan sebuah rintihan yang mengiris sepasang mata itu terkatup, maka gambar-gambar menakutkan itu tak juga hilang, bahkan tampak semakin nyata, bergerak, dan terus berganti-ganti.
Sepasang mata itu pun menjadi basah.


                                                                                          ***

BUETKUAR, adalah tempat paling terpencil di wilayah Asmat. Untuk mencapai tempat ini diperlukan sekitar empat jam perjalanan dengan menggunakan speed boat atau delapan jam dengan menggunakan long boat dari ibu kota kecamatan definitif, Akat. Kampung Buetkuar hanyalah sekelompok rumah panggung berdinding gaba-gaba, beratap ilalang, dan segera menjadi sunyi sepi manakala penghuninya pergi ke hutan untuk meramah sagu.
Pada masa lampau, penghuni kampung ini, yaitu orang Asmat sejati adalah para pengayau yang mengukur keberanian serta jati diri sebagai salah seorang anggota suku, dengan memenggal kepala manusia. Sementara berperang merupakan adat yang telah menjadi bagian hidup untuk menyelesaikan perselisihan. Beratus tahun lamanya suku bangsa tersebut terkungkung dalam rutinitas hidup yang membatu. Keterisolasian wilayah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adat semacam itu terus berlangsung, diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga sulit dipatahkan.
Orang pertama yang dapat menembus keterisolasian wilayah ini adalah para penyebar agama Nasrani, yaitu misi dan zending, pada sekitar tahun 1950-an. Dan orang-orang Asmat bagai dihentikan dari tidur amat panjang. Suatu corak kehidupan yang lain sama sekali mulai menyentuh adat istiadat yang sudah sangat tua. Dengan amat perlahan mereka dihantarkan pada suatu pengertian untuk mengenal Tuhan. Dan adat memenggal kepala manusia adalah suatu kesalahan. Kontak suku Asmat dengan dunia luar kemudian terus berlangsung sejak tahun 1963, ketika Irian Jaya dinyatakan sebagai provinsi termuda dari wilayah Republik Indonesia. Bermacam petugas dari bermacam instansi ditempatkan di wilayah ini, para pedagang berdatangan untuk menyalurkan barang. Demikian juga dengan para pemburu patung dan penebang hutan yang berkepentingan untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Sementara dengan adanya pembinaan masyarakat, maka adat kanibalisme dan berperang sedikit demi sedikit mulai terkikis. Belasan tahun kemudian, wilayah Asmat mulai menjadi suatu kehidupan yang kompleks.
Akan tetapi, Buetkuar tetap terpencil. Kampung itu berada pada suatu tempat yang sangat jauh, nyaris tak pernah dikunjungi. Perubahan yang terjadi di ibu kota wilayah Asmat, seakan tak bisa mencapai kampung ini. Setelah sekelompok rumah panggung yang membisu, maka rimba belantara adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Hari itu, penanggalan menggugurkan hari pada tahun 1980, tapi di kampung Buetkuar, tak ada seorang pun yang mengenal kalender orang-orang di kampung itu tak mengenal perhitungan waktu yang disebut dengan hari, minggu, bulan, dan tahun. Mereka juga tak mengenal perjalanan waktu dari detik ke menit dan enam puluh menit kemudian jarum jam akan menambah satu hitungan angka. Perhitungan waktu yang mereka ketahui adalah perputaran matahari, pagi dan petang, siang dan malam. Keterisolasian telah menjadi dinding tak kasat mata yang mematahkan hubungan dengan dunia luar, sehingga mereka tak merasa perlu untuk menggunakan penanggalan.
Seperti pada hari-hari lalu, maka suasana hutan yang terdapat di seputar Kampung Buetkuar, tak ada yang istimewa. Kesunyian merupakan suasana abadi yang sesekali terpecah oleh suara mencecet binatang hutan, desir angin, dan bunyi alam yang amat lembut dari tetes embun jatuh. Akan tetapi di bawah pohon mangi-mangi yang amat besar telah terbentang selembar tapin --tikar. Di atas tapin, tampak seorang wanita tengah mengerang kesakitan. Perutnya yang mengembung tampak bergerak-gerak, benda hidup yang ada di dalamnya tengah berkelit supaya dapat keluar untuk menlihat semesta raya.
Peluh telah membasahi seluruh tubuh wanita itu, napasnya yang terengah cukup sebagai isyarat, bahwa ia tengah berjuang melawan maut demi janin yang hendak dilahirkan. Telah dua belas kali wanita itu melahirkan, telah dua belas kali pula ia menempatkan diri pada batas yang amat tipis antara hidup dan mati. Hari ini ia tengah bersiap melahirkan anak yang ketiga belas. Delapan anak yang pernah dilahirkan meninggal, karena malaria, diare, dan bermacam penyakit, pada usia kanak-kanak. Anak yang masih hidup tinggal empat orang. Lima, dengan bayi yang tengah diperjuangkan untuk lahir.
Wanita itu terus mengerang sambil menyebut-nyebut roh nenek moyang yang menjadi sumber dari segala kekuatan. Sebagai jawaban, angin dingin menamparnya dengan sebatang ranting kering. Di sekitarnya kebisuan terus berlangsung, abadi dan purba.
Tiba-tiba, kesunyian di hutan itu terpecah oleh jeritan menyayat kemudian menimbulkan gema yang bergaung. Tangsi bayi mengoek-oek. Darah pun tertumpah di atas tapin. Orang Asmat percaya, bahwa darah yang mengalir dari bagian paling rahasia seorang wanita yang melahirkan, akan menimbulkan penyakit dan kematian. Sebab itu, seorang wanita tak diperkenankan untuk melahirkan di dalam rumah, darah itu akan mendatangkan bencana bagi orang yang tinggal di dalamnya. Adalah suatu keharusan, bahwa seorang wanita yang hendak melharikan, mesti pergi ke tengah hutan.
Dengan penuh kasih sayang, bayi yang terlampau kecil untuk sebuah ukuran yang normal itu dipeluknya. Tali pusat yang menjadi penghubung antara kehidupan ibu dan anak dipotongnya dengan kulit siput. Tak lama kemudian kakak---plasenta---dari bayi itu terlahir disertai darah segar. Wanita itu bergerak dengan cepat untuk membereskan tapin dari darah yang meleleh sambil berusaha mengatasi rasa sakit yang kian menyayat. Di atas, langit telah diliputi mendung tebal. Sesaat lagi, hujan deras akan segera tertumpahkan. Wanita itu harus dapat segera mencapai bevak supaya bayinya tidak basah kuyup. Setelah bersusah payah melahirkan, maka masih ada satu hal yang lebih penting, yaitu membesarkan.
Hujan deras turun bagai dicurahkan dari langit ketika langkah kaki wanita yang baru melahirkan itu berhasil mencapai bevak. Dengan susah payah ia menaiki anak tangga kemudian menguakkan daun pintu dengan suara berderit. Suasana hangat yang merebak dari api tungku segera menyambutnya, sejenak wanita itu termangu, menyapu pandang ke satu-satunya ruangan yang ada di dalam bevak itu. Tak ada yang berubah di sana. Dinding dari jalinan ilalang itu tampak memercikkan air dari hujan yang jatuh. Sementara atap ilalang itu masih cukup kuat melindungi isi bevak dari gemuruh air yang tiada henti. Selembar tapin yang mulai usang terbentang menutup lantai bevak, di atas tapin, suami dan keempat orang anaknya tampak duduk menghadap tungku sambil membakar sagu.
“Engkau telah kembali, Mika?” sebuah suara berat dari mulut seorang laki-laki menegurnya.
“Seperti yang engkau lihat. Anakmu telah lahir, Mundus.” Mika menyorongkan bayi itu pada Mundus, suaminya. Laki-laki itu menerima bayi yang baru dilahirkan dengan seulas senyum yang amat tipis, nyaris tak kentara. Sementara keempat orang kakaknya, Yemnen, Yalean, Tuka, dan Wenen segera berebut melihatnya dengan suka cita.
Yemnen adalah seorang gadis belasan tahun dengan rambut ikal, kulit legam, dan sepasang mata yang lebar. Gadis itu telah mendapatkan haidnya yang pertama, sehingga telah dianggap dewasa. Ia hanya mengenakan pakaian sekadar untuk menutup badannya yang mulai mekar. Pakaian itu telah usang dan robek pada beberapa bagian. Tapi Yemnen seolah tak peduli akan hal itu. Ia tampak begitu girang dengan kelahiran adiknya, orok yang kecil dan lucu.
Yalean, adik Yemnen adalah seorang pemuda kecil dengan badan berotot dan tangan yang kekar. Sedangkan Tuka dan Wenen adalah nona dan nyong yang masih kanak-kanak. Kedua anak itu hanya mengenakan celana konak. Setelah itu, tak ada lagi pakaian yang melekat di tubuhnya. Udara yang dingin dalam hujan cukup dihalau dengan panas api yang menyala-nyala dalam tungku.
“Kecil sekali kita punya adik, Mak,” demikian Yemnen berujar.
“Begitu sudah,” Mika menjawab singkat, ia juga tak mengerti betul, mengapa anak yang baru dilahirkan itu kecil adanya. Wanita itu tak pernah mengerti, bahwa tembakau yang diisap setiap hari selama masa kehamilan telah menghambat pertumbuhan janin dalam rahimnya. Sejak kanak-kanak, Mika memang sudah terbiasa dengan rokok, teguran dari orang tua tak pernah ada. Kebiasaan itu pun terus berlanjut hingga dewasa, hidup bersama dengan Mundus, mengandung, dan melahirkan anak. Mika juga tak pernah menyadari, bahwa kebiasaan mengisap tembakau manakala ia menyusui menyebabkan bayi yang pernah dilahirkan itu mati, karena saluran pernapasan terinfeksi.
“Dia akan segera menjadi besar kalau engkau rajin menyuapnya dengan sagu,” Mundus menengahi.
“Kita punya adik akan diberi nama siapa, Bapa?” Tuka bertanya.
“Entahlah, Bapa belum mengerti,” Mundus memberikan bayi itu kepada Yemnen, karena anak perempuannya tampak demikian bernafsu buat menggendongnya.
Yemnen segera mencium bau amis dari darah yang masih melekat pada tubuh adiknya, tapi kasih sayang seorang kakak menyebabkan ia terlupa akan amis darah itu. “Cepatlah engkau besar, kita akan bermain-main di lumpur. Pasti asyik sekali.” Yemnen menimang-nimang bayi itu. Sejenak kelopak mata yang kecil itu terbuka sebelum akhirnya menutup kembali dan menjadi lelap untuk waktu yang panjang.
Mika yang masih merasakan sakit, terutama di sekitar perutnya, hanya berdiam diri. Ia mengunyah sagu bakar tanpa bernafsu dan segera meneguk air hujan ketika tenggorokannya terasa kering. Wanita itu tengah merasakan kelelahan yang luar biasa setelah berulang kali melahirkan. Wajahnya tampak sepuluh tahun lebih tua daripada usia yang sebenarnya. Di lain pihak, Mundus tetap tampak sebagai seorang laki-laki yang kuat dengan badan tegap dan otot-otot yang kekar.
Di luar hujan telah reda, tinggal gerimis kecil yang menitik dengan ragu. Ember-ember telah penuh tergenang air. Penghuni bevak tinggal menimbanya manakala merasa dahaga. Cahaya matahari yang pucat perlahan menerobos rimbunan hutan dan jatuh pada atap bevak yang masih menitikkan hujan.
Cahaya redup itu merupakan isyarat bagi Wenen dan Tuka untuk segera meluncur turun dari bevak. Dengan suka cita kedua anak itu berkejaran kemudian menjatuhkan dirinya ke dalam lumpur. Dalam sekejap kedua anak itu tak bisa lagi dikenali, karena tubuhnya menjadi semakin hitam bagai patung-patung berlumur jelaga.
Mundus meninggalkan bevak tak lama kemudian dengan anak panah dan gendewa di tangan. Laki-laki itu hendak berburu binatang hutan, ia tak mendapatkan ikan di sungai yang mengalir beberapa kaki dari tempat bevak-nya berdiri. Hari ini anaknya lahir, ia ingin memberikan hidangan istimewa bagi keluarganya.
Di dalam bevak, Mika masih berdiam diri. Wanita itu mulai sibuk mencari-cari tembakau manakala mulutnya terasa asam. Dengan lamban tembakau itu dilinting, dipermainkan dengan jemarinya yang legam kemudian disulutnya dengan sebatang kayu bakar yang masih menyala. Mika mengisap ujung rokok itu kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Asap tipis mengepul dari bibir yang pucat dan segera memecah, kehilangan bentuk. Samar-samar ia mendengar gelak tawa anak-anaknya yang sedang bermain lumpur, hati wanita itu menjadi damai. Ia merebahkan diri dan melempar rokoknya yang masih panjang ke dalam tungku. Sejenak kemudian, ia telah tertidur di samping bayinya yang telah lama terlelap.
Cuaca pun kembali berubah dengan cepat, sinar matahari segera padam di balik mendung hitam. Hujan kembali turun. Suara gemuruh itu mengurungkan niat Yemnen dan Yalean untuk menyusul bapaknya pergi ke hutan, sementara kedua adik mereka tampak menyambut cucuran hujan itu dengan suka cita. Permainan baru segera dimulai. Mereka saling berkejaran dan menyemburkan air, sebelum akhirnya menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang sepuas-puasnya hingga matahari tergelincir di langit sebelah barat. 
Dalam remang suasana senja Wenen dan Tuka melihat bayangan Mundus berkelebat menembus rimbunan hutan dengan seekor kasuari yang telah mati di tangan. “Bapa pulang, hore! Makan bunuh kita!” Tuka bersorak kegirangan dan segera meloncat ke darat diikuti Wenen. Mereka saling berlomba memburu Mundus untuk mendapatkan kasuari. Wenen agaknya lebih gesit, ia lebih dahulu dapat mencapai Mundus dan merampas kasuari itu dengan suka cita seolah ingin menelannya mentah-mentah. Sementara Tuka yang menyusul tak lama kemudian segera menyambarnya. Keduanya saling menarik, saling mendorong, sehingga terjerembap ke atas tanah.
Mundus sudah hafal betul tabiat anak-anaknya, ia tidak menjadi heran. “Ayo cepat naik ke bevak, sebentar gelap datang, roh jahat akan turun mengganggu anak-anak, nanti kalian sakit.” Mundus melerai kedua anaknya, dengan tangannya yang kekar ia menyambar kasuari hasil buruannya, sehingga Wenen dan Tuka tiak bisa lagi merampasnya. Mundus menaiki anak tangga dan segera menghilang di balik pintu bevak. Di belakangnya Wenen dan Tuka segera mengikutinya dengan sangat bernafsu. Mereka tak sabar lagi untuk memanggang daging kasuari.
Mika masih tertidur pulas ketika Mundus membuka daun pintu dan menutupnya kembali dengan sebuah entakan. “Hei, bangun kamu orang, saya ada bawa pulang kasuari.” Mundus menyepak kaki Mika kemudian mengempaskan tubuhnya yang basah kuyup ke atas tapin. Panas api tungku segera menyusup dan menjadi penawar bagi udara dingin.
“Mana kasuari itu?” Wenen menerobos masuk ke dalam bevak diikuti Tuka. Mereka seakan tak peduli dengan bayi kecil yang segera terjaga dari tidur lelap dan mengoek-ngoek. Keduanya sibuk mencabuti bulu-bulu kasuari.
“Tidak bisakah kalian sedikit tenang, kalian punya adik ada tertidur!” Mika menegur kedua anaknya sambil menyorongkan putting susu kepada bayinya, sehingga tangisan itu berhenti sama sekali, berganti dengan perasaan nyaman manakala seorang bayi tampak begitu lahap mengisap kelezatan air susu ibunya.
Tak berapa lama, ketika rasa lapar telah menjadi dorongan bagi seisi bevak untuk menjadi rakus, maka udara dalam ruangan sempit itu segera harum oleh aroma daging bakar. Sementara sagu bola yang menjadi menu sehari-hari telah berwarna kecokelat-cokelatan, suatu pertanda, bahwa makanan itu telah siap disantap. Cuping hidung Mika seakan terentak oleh aroma daging itu, berkembang-kempis, dan wanita itu pun terjaga. Rasa lapar di perutnya telah bekerja sedemikian rupa seakan ulat-ulat kecil yang menggigit beramai-ramai. Dengan gesit tangan wanita itu menyambar sagu bola sekaligus keratan daging yang telah masak. Sekejap kemudian Mika segera merasakan sebuah kenikmatan sekaligus obat yang menjadi penawar bagi rasa lelah yang mendalam.
Mundus dan keempat orang anaknya segera melakukan hal yang sama. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada daging segar dan sagu bola setelah perut yang lapar. Mereka menyantap semua sagu bola dan daging yang ada hingga tersisa tulang-belulangnya saja. Malam ini mereka telah berpesta dengan makan “bunuh”---sekenyang-kenyangnya. Setelah satu malam yang terlewat dengan daging kasuari, maka esok hari mereka akan mencari lagi.
Mundus menyudahi makan malam yang lezat itu kemudian meilinting tembakau dan mengisapnya dengan nikmat. Ia tak memberi teguran ketika anak-anak meniru ulahnya dan bersikap seolah-olah tingkah laku itu betul adanya. Mundus memang tak pernah menanggapi sikap itu sebagai masalah. Bukankah di kala kanak-kanak ia juga melakukan hal yang sama? Laki-laki setengah baya itu terus memainkan asap rokok dengan amat ahli. Dalam gulungan asap yang tak berbentuk itu Mundus tengah berpikir, mencari nama yang tepat bagi anak laki-lakinya. Ia terdiam beberapa lama sampai suara Wenen membuyarkan pikirannya. 
“O iya, Bapa, kitorang punya adik mau diberi nama siapakah?”
“Kenapa?” Mundus tergagap, asap rokok membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk.
“Kitorang punya adik mau dikasih nama siapakah?” Wenen mengulang pertanyaan.
Mundus terdiam beberapa saat lamanya hingga napasnya menjadi teratur kembali. Sepasang mata yang dalam itu menatap jauh, jauh sekali, menembus dinding ilalalng yang mengungkung seisi ruangan. Mundus tak juga menjawab hingga keempat orang anaknya menatap berlama-lama dengan penuh harap. Mundus masih memainkan batang rokok dengan jemarinya sebelum akhirnya mulutnya bergumam perlahan. “Saya beri nama kamu orang punya adik, Yowero.”

                                                                                       ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...