*Kapak adalah sebuah Catatan Etnografi, tentang kekerasan yang terjadi atas tiga orang istri kepala perang di Buetkuar, sebuah kampung nun jauh di sana, di Wilayah Asmat. Suatu kehidupan sederhana yang jauh dari fasilitas PLN, Telkom, pasar, rumah sakit, dermaga, landasan pacu, dan bangku sekolah. Kasus kekerasan adalah riel dengan latar budaya serta keyakinan masyarakat setempat –hutang darah, bayar darah, hutang gigi, bayar gigi ….
P R O L O G
Dalam genggaman tangan yang legam, bersimbah peluh, dan gemetar,
kapak besi itu berlumuran darah. Dengan amat perlahan genggaman tangan
itu terlepas. Tanpa suara sedikit pun kapak itu segera tersandar ke
dinding. Sesuatu telah terjadi! Sebuah napas berat terdengar memenuhi
seisi ruangan dalam rumah panggung itu. Dan sepasang mata nyalang milik
seorang anak manusia yang terluka menatap lurus ke depan, seolah ingin
menembus dinding gaba-gaba yang menjadi batas pandang.
“Seorang anak Asmat harus berani membuktikan keberanian, apa pun yang
akan terjadi setelah itu…” suara itu terlontar dari bibir yang
menggigil, seolah bisikan yang ditujukan bagi dirinya sendiri. Kemudian
suasana di dalam rumah itu kembali diam. Dalam kebisuan yang
menggelisahkan dan mendirikan bulu roma, sepasang mata itu seakan
menyaksikan kembali gambar-gambar menakutkan yang telah menyalakan bara
dendam. Ketika dengan sebuah rintihan yang mengiris sepasang mata itu
terkatup, maka gambar-gambar menakutkan itu tak juga hilang, bahkan
tampak semakin nyata, bergerak, dan terus berganti-ganti.
Sepasang mata itu pun menjadi basah.
***
BUETKUAR, adalah tempat paling terpencil di wilayah Asmat. Untuk
mencapai tempat ini diperlukan sekitar empat jam perjalanan dengan
menggunakan speed boat atau delapan jam dengan menggunakan long boat
dari ibu kota kecamatan definitif, Akat. Kampung Buetkuar hanyalah
sekelompok rumah panggung berdinding gaba-gaba, beratap ilalang, dan
segera menjadi sunyi sepi manakala penghuninya pergi ke hutan untuk
meramah sagu.
Pada masa lampau, penghuni kampung ini, yaitu orang Asmat sejati
adalah para pengayau yang mengukur keberanian serta jati diri sebagai
salah seorang anggota suku, dengan memenggal kepala manusia. Sementara
berperang merupakan adat yang telah menjadi bagian hidup untuk
menyelesaikan perselisihan. Beratus tahun lamanya suku bangsa tersebut
terkungkung dalam rutinitas hidup yang membatu. Keterisolasian wilayah
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adat semacam itu terus
berlangsung, diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga sulit
dipatahkan.
Orang pertama yang dapat menembus keterisolasian wilayah ini adalah
para penyebar agama Nasrani, yaitu misi dan zending, pada sekitar tahun
1950-an. Dan orang-orang Asmat bagai dihentikan dari tidur amat panjang.
Suatu corak kehidupan yang lain sama sekali mulai menyentuh adat
istiadat yang sudah sangat tua. Dengan amat perlahan mereka dihantarkan
pada suatu pengertian untuk mengenal Tuhan. Dan adat memenggal kepala
manusia adalah suatu kesalahan. Kontak suku Asmat dengan dunia luar
kemudian terus berlangsung sejak tahun 1963, ketika Irian Jaya
dinyatakan sebagai provinsi termuda dari wilayah Republik Indonesia.
Bermacam petugas dari bermacam instansi ditempatkan di wilayah ini, para
pedagang berdatangan untuk menyalurkan barang. Demikian juga dengan
para pemburu patung dan penebang hutan yang berkepentingan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam. Sementara dengan adanya pembinaan
masyarakat, maka adat kanibalisme dan berperang sedikit demi sedikit
mulai terkikis. Belasan tahun kemudian, wilayah Asmat mulai menjadi
suatu kehidupan yang kompleks.
Akan tetapi, Buetkuar tetap terpencil. Kampung itu berada pada suatu
tempat yang sangat jauh, nyaris tak pernah dikunjungi. Perubahan yang
terjadi di ibu kota wilayah Asmat, seakan tak bisa mencapai kampung ini.
Setelah sekelompok rumah panggung yang membisu, maka rimba belantara
adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Hari itu, penanggalan menggugurkan hari pada tahun 1980, tapi di
kampung Buetkuar, tak ada seorang pun yang mengenal kalender orang-orang
di kampung itu tak mengenal perhitungan waktu yang disebut dengan hari,
minggu, bulan, dan tahun. Mereka juga tak mengenal perjalanan waktu
dari detik ke menit dan enam puluh menit kemudian jarum jam akan
menambah satu hitungan angka. Perhitungan waktu yang mereka ketahui
adalah perputaran matahari, pagi dan petang, siang dan malam.
Keterisolasian telah menjadi dinding tak kasat mata yang mematahkan
hubungan dengan dunia luar, sehingga mereka tak merasa perlu untuk
menggunakan penanggalan.
Seperti pada hari-hari lalu, maka suasana hutan yang terdapat di
seputar Kampung Buetkuar, tak ada yang istimewa. Kesunyian merupakan
suasana abadi yang sesekali terpecah oleh suara mencecet binatang hutan,
desir angin, dan bunyi alam yang amat lembut dari tetes embun jatuh.
Akan tetapi di bawah pohon mangi-mangi yang amat besar telah terbentang
selembar tapin --tikar. Di atas tapin, tampak seorang
wanita tengah mengerang kesakitan. Perutnya yang mengembung tampak
bergerak-gerak, benda hidup yang ada di dalamnya tengah berkelit supaya
dapat keluar untuk menlihat semesta raya.
Peluh telah membasahi seluruh tubuh wanita itu, napasnya yang
terengah cukup sebagai isyarat, bahwa ia tengah berjuang melawan maut
demi janin yang hendak dilahirkan. Telah dua belas kali wanita itu
melahirkan, telah dua belas kali pula ia menempatkan diri pada batas
yang amat tipis antara hidup dan mati. Hari ini ia tengah bersiap
melahirkan anak yang ketiga belas. Delapan anak yang pernah dilahirkan
meninggal, karena malaria, diare, dan bermacam penyakit, pada usia
kanak-kanak. Anak yang masih hidup tinggal empat orang. Lima, dengan
bayi yang tengah diperjuangkan untuk lahir.
Wanita itu terus mengerang sambil menyebut-nyebut roh nenek moyang
yang menjadi sumber dari segala kekuatan. Sebagai jawaban, angin dingin
menamparnya dengan sebatang ranting kering. Di sekitarnya kebisuan terus
berlangsung, abadi dan purba.
Tiba-tiba, kesunyian di hutan itu terpecah oleh jeritan menyayat
kemudian menimbulkan gema yang bergaung. Tangsi bayi mengoek-oek. Darah
pun tertumpah di atas tapin. Orang Asmat percaya, bahwa darah
yang mengalir dari bagian paling rahasia seorang wanita yang melahirkan,
akan menimbulkan penyakit dan kematian. Sebab itu, seorang wanita tak
diperkenankan untuk melahirkan di dalam rumah, darah itu akan
mendatangkan bencana bagi orang yang tinggal di dalamnya. Adalah suatu
keharusan, bahwa seorang wanita yang hendak melharikan, mesti pergi ke
tengah hutan.
Dengan penuh kasih sayang, bayi yang terlampau kecil untuk sebuah
ukuran yang normal itu dipeluknya. Tali pusat yang menjadi penghubung
antara kehidupan ibu dan anak dipotongnya dengan kulit siput. Tak lama
kemudian kakak---plasenta---dari bayi itu terlahir disertai darah segar.
Wanita itu bergerak dengan cepat untuk membereskan tapin dari
darah yang meleleh sambil berusaha mengatasi rasa sakit yang kian
menyayat. Di atas, langit telah diliputi mendung tebal. Sesaat lagi,
hujan deras akan segera tertumpahkan. Wanita itu harus dapat segera
mencapai bevak supaya bayinya tidak basah kuyup. Setelah
bersusah payah melahirkan, maka masih ada satu hal yang lebih penting,
yaitu membesarkan.
Hujan deras turun bagai dicurahkan dari langit ketika langkah kaki wanita yang baru melahirkan itu berhasil mencapai bevak.
Dengan susah payah ia menaiki anak tangga kemudian menguakkan daun
pintu dengan suara berderit. Suasana hangat yang merebak dari api tungku
segera menyambutnya, sejenak wanita itu termangu, menyapu pandang ke
satu-satunya ruangan yang ada di dalam bevak itu. Tak ada yang
berubah di sana. Dinding dari jalinan ilalang itu tampak memercikkan air
dari hujan yang jatuh. Sementara atap ilalang itu masih cukup kuat
melindungi isi bevak dari gemuruh air yang tiada henti. Selembar tapin yang mulai usang terbentang menutup lantai bevak, di atas tapin, suami dan keempat orang anaknya tampak duduk menghadap tungku sambil membakar sagu.
“Engkau telah kembali, Mika?” sebuah suara berat dari mulut seorang laki-laki menegurnya.
“Seperti yang engkau lihat. Anakmu telah lahir, Mundus.” Mika
menyorongkan bayi itu pada Mundus, suaminya. Laki-laki itu menerima bayi
yang baru dilahirkan dengan seulas senyum yang amat tipis, nyaris tak
kentara. Sementara keempat orang kakaknya, Yemnen, Yalean, Tuka, dan
Wenen segera berebut melihatnya dengan suka cita.
Yemnen adalah seorang gadis belasan tahun dengan rambut ikal, kulit
legam, dan sepasang mata yang lebar. Gadis itu telah mendapatkan haidnya
yang pertama, sehingga telah dianggap dewasa. Ia hanya mengenakan
pakaian sekadar untuk menutup badannya yang mulai mekar. Pakaian itu
telah usang dan robek pada beberapa bagian. Tapi Yemnen seolah tak
peduli akan hal itu. Ia tampak begitu girang dengan kelahiran adiknya,
orok yang kecil dan lucu.
Yalean, adik Yemnen adalah seorang pemuda kecil dengan badan berotot
dan tangan yang kekar. Sedangkan Tuka dan Wenen adalah nona dan nyong yang masih kanak-kanak. Kedua anak itu hanya mengenakan celana konak.
Setelah itu, tak ada lagi pakaian yang melekat di tubuhnya. Udara yang
dingin dalam hujan cukup dihalau dengan panas api yang menyala-nyala
dalam tungku.
“Kecil sekali kita punya adik, Mak,” demikian Yemnen berujar.
“Begitu sudah,” Mika menjawab singkat, ia juga tak mengerti betul,
mengapa anak yang baru dilahirkan itu kecil adanya. Wanita itu tak
pernah mengerti, bahwa tembakau yang diisap setiap hari selama masa
kehamilan telah menghambat pertumbuhan janin dalam rahimnya. Sejak
kanak-kanak, Mika memang sudah terbiasa dengan rokok, teguran dari orang
tua tak pernah ada. Kebiasaan itu pun terus berlanjut hingga dewasa,
hidup bersama dengan Mundus, mengandung, dan melahirkan anak. Mika juga
tak pernah menyadari, bahwa kebiasaan mengisap tembakau manakala ia
menyusui menyebabkan bayi yang pernah dilahirkan itu mati, karena
saluran pernapasan terinfeksi.
“Dia akan segera menjadi besar kalau engkau rajin menyuapnya dengan sagu,” Mundus menengahi.
“Kita punya adik akan diberi nama siapa, Bapa?” Tuka bertanya.
“Entahlah, Bapa belum mengerti,” Mundus memberikan bayi itu kepada
Yemnen, karena anak perempuannya tampak demikian bernafsu buat
menggendongnya.
Yemnen segera mencium bau amis dari darah yang masih melekat pada
tubuh adiknya, tapi kasih sayang seorang kakak menyebabkan ia terlupa
akan amis darah itu. “Cepatlah engkau besar, kita akan bermain-main di
lumpur. Pasti asyik sekali.” Yemnen menimang-nimang bayi itu. Sejenak
kelopak mata yang kecil itu terbuka sebelum akhirnya menutup kembali dan
menjadi lelap untuk waktu yang panjang.
Mika yang masih merasakan sakit, terutama di sekitar perutnya, hanya
berdiam diri. Ia mengunyah sagu bakar tanpa bernafsu dan segera meneguk
air hujan ketika tenggorokannya terasa kering. Wanita itu tengah
merasakan kelelahan yang luar biasa setelah berulang kali melahirkan.
Wajahnya tampak sepuluh tahun lebih tua daripada usia yang sebenarnya.
Di lain pihak, Mundus tetap tampak sebagai seorang laki-laki yang kuat
dengan badan tegap dan otot-otot yang kekar.
Di luar hujan telah reda, tinggal gerimis kecil yang menitik dengan ragu. Ember-ember telah penuh tergenang air. Penghuni bevak tinggal menimbanya manakala merasa dahaga. Cahaya matahari yang pucat perlahan menerobos rimbunan hutan dan jatuh pada atap bevak yang masih menitikkan hujan.
Cahaya redup itu merupakan isyarat bagi Wenen dan Tuka untuk segera meluncur turun dari bevak.
Dengan suka cita kedua anak itu berkejaran kemudian menjatuhkan dirinya
ke dalam lumpur. Dalam sekejap kedua anak itu tak bisa lagi dikenali,
karena tubuhnya menjadi semakin hitam bagai patung-patung berlumur
jelaga.
Mundus meninggalkan bevak tak lama kemudian dengan anak
panah dan gendewa di tangan. Laki-laki itu hendak berburu binatang
hutan, ia tak mendapatkan ikan di sungai yang mengalir beberapa kaki
dari tempat bevak-nya berdiri. Hari ini anaknya lahir, ia ingin memberikan hidangan istimewa bagi keluarganya.
Di dalam bevak, Mika masih berdiam diri. Wanita itu mulai
sibuk mencari-cari tembakau manakala mulutnya terasa asam. Dengan lamban
tembakau itu dilinting, dipermainkan dengan jemarinya yang legam
kemudian disulutnya dengan sebatang kayu bakar yang masih menyala. Mika
mengisap ujung rokok itu kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Asap
tipis mengepul dari bibir yang pucat dan segera memecah, kehilangan
bentuk. Samar-samar ia mendengar gelak tawa anak-anaknya yang sedang
bermain lumpur, hati wanita itu menjadi damai. Ia merebahkan diri dan
melempar rokoknya yang masih panjang ke dalam tungku. Sejenak kemudian,
ia telah tertidur di samping bayinya yang telah lama terlelap.
Cuaca pun kembali berubah dengan cepat, sinar matahari segera padam
di balik mendung hitam. Hujan kembali turun. Suara gemuruh itu
mengurungkan niat Yemnen dan Yalean untuk menyusul bapaknya pergi ke
hutan, sementara kedua adik mereka tampak menyambut cucuran hujan itu
dengan suka cita. Permainan baru segera dimulai. Mereka saling
berkejaran dan menyemburkan air, sebelum akhirnya menceburkan diri ke
dalam sungai dan berenang sepuas-puasnya hingga matahari tergelincir di
langit sebelah barat.
Dalam remang suasana senja Wenen dan Tuka melihat bayangan Mundus
berkelebat menembus rimbunan hutan dengan seekor kasuari yang telah mati
di tangan. “Bapa pulang, hore! Makan bunuh kita!” Tuka bersorak
kegirangan dan segera meloncat ke darat diikuti Wenen. Mereka saling
berlomba memburu Mundus untuk mendapatkan kasuari. Wenen agaknya lebih
gesit, ia lebih dahulu dapat mencapai Mundus dan merampas kasuari itu
dengan suka cita seolah ingin menelannya mentah-mentah. Sementara Tuka
yang menyusul tak lama kemudian segera menyambarnya. Keduanya saling
menarik, saling mendorong, sehingga terjerembap ke atas tanah.
Mundus sudah hafal betul tabiat anak-anaknya, ia tidak menjadi heran. “Ayo cepat naik ke bevak,
sebentar gelap datang, roh jahat akan turun mengganggu anak-anak, nanti
kalian sakit.” Mundus melerai kedua anaknya, dengan tangannya yang
kekar ia menyambar kasuari hasil buruannya, sehingga Wenen dan Tuka tiak
bisa lagi merampasnya. Mundus menaiki anak tangga dan segera menghilang
di balik pintu bevak. Di belakangnya Wenen dan Tuka segera
mengikutinya dengan sangat bernafsu. Mereka tak sabar lagi untuk
memanggang daging kasuari.
Mika masih tertidur pulas ketika Mundus membuka daun pintu dan
menutupnya kembali dengan sebuah entakan. “Hei, bangun kamu orang, saya
ada bawa pulang kasuari.” Mundus menyepak kaki Mika kemudian
mengempaskan tubuhnya yang basah kuyup ke atas tapin. Panas api tungku segera menyusup dan menjadi penawar bagi udara dingin.
“Mana kasuari itu?” Wenen menerobos masuk ke dalam bevak
diikuti Tuka. Mereka seakan tak peduli dengan bayi kecil yang segera
terjaga dari tidur lelap dan mengoek-ngoek. Keduanya sibuk mencabuti
bulu-bulu kasuari.
“Tidak bisakah kalian sedikit tenang, kalian punya adik ada
tertidur!” Mika menegur kedua anaknya sambil menyorongkan putting susu
kepada bayinya, sehingga tangisan itu berhenti sama sekali, berganti
dengan perasaan nyaman manakala seorang bayi tampak begitu lahap
mengisap kelezatan air susu ibunya.
Tak berapa lama, ketika rasa lapar telah menjadi dorongan bagi seisi bevak
untuk menjadi rakus, maka udara dalam ruangan sempit itu segera harum
oleh aroma daging bakar. Sementara sagu bola yang menjadi menu
sehari-hari telah berwarna kecokelat-cokelatan, suatu pertanda, bahwa
makanan itu telah siap disantap. Cuping hidung Mika seakan terentak oleh
aroma daging itu, berkembang-kempis, dan wanita itu pun terjaga. Rasa
lapar di perutnya telah bekerja sedemikian rupa seakan ulat-ulat kecil
yang menggigit beramai-ramai. Dengan gesit tangan wanita itu menyambar
sagu bola sekaligus keratan daging yang telah masak. Sekejap kemudian
Mika segera merasakan sebuah kenikmatan sekaligus obat yang menjadi
penawar bagi rasa lelah yang mendalam.
Mundus dan keempat orang anaknya segera melakukan hal yang sama. Tak
ada yang lebih menyenangkan daripada daging segar dan sagu bola setelah
perut yang lapar. Mereka menyantap semua sagu bola dan daging yang ada
hingga tersisa tulang-belulangnya saja. Malam ini mereka telah berpesta
dengan makan “bunuh”---sekenyang-kenyangnya. Setelah satu malam yang
terlewat dengan daging kasuari, maka esok hari mereka akan mencari lagi.
Mundus menyudahi makan malam yang lezat itu kemudian meilinting
tembakau dan mengisapnya dengan nikmat. Ia tak memberi teguran ketika
anak-anak meniru ulahnya dan bersikap seolah-olah tingkah laku itu betul
adanya. Mundus memang tak pernah menanggapi sikap itu sebagai masalah.
Bukankah di kala kanak-kanak ia juga melakukan hal yang sama? Laki-laki
setengah baya itu terus memainkan asap rokok dengan amat ahli. Dalam
gulungan asap yang tak berbentuk itu Mundus tengah berpikir, mencari
nama yang tepat bagi anak laki-lakinya. Ia terdiam beberapa lama sampai
suara Wenen membuyarkan pikirannya.
“O iya, Bapa, kitorang punya adik mau diberi nama siapakah?”
“Kenapa?” Mundus tergagap, asap rokok membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk.
“Kitorang punya adik mau dikasih nama siapakah?” Wenen mengulang pertanyaan.
Mundus terdiam beberapa saat lamanya hingga napasnya menjadi teratur
kembali. Sepasang mata yang dalam itu menatap jauh, jauh sekali,
menembus dinding ilalalng yang mengungkung seisi ruangan. Mundus tak
juga menjawab hingga keempat orang anaknya menatap berlama-lama dengan
penuh harap. Mundus masih memainkan batang rokok dengan jemarinya
sebelum akhirnya mulutnya bergumam perlahan. “Saya beri nama kamu orang
punya adik, Yowero.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar