Asolut Monarki adalah
suatu situasi ketika kekuasaan seorang raja bersifat mutlak dalam
memerintah negara –Setiap ucapan Sang Raja adalah “kebenaran”, dengan
segala macam cara Sang Raja berusaha melanggengkan kekuasaan, termasuk
menikah dan menikahkan Pangeran serta SangPutri dengan orang yang tidak
dicintai. “Mencintai berarti kehilangan….”
Di tengah riuh rendah dunia perfilman ketika adegan seks dan
kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan yang berakibat mengerikan bagi
kehidupan penonton, pesan sastra dan moral nyaris tak terbaca, Scarlet Heart Ryeo,
Drama Korea 20 Episode tampil dalam tayangan yang mengesankan sekaligus
menyentuh. Di One Channel Mei – Juni 2017 drama ini diputar pada hari
Rabu hingga Jumat dengan siaran ulang hari Minggu. Scarlet Heart Ryeo adalah fiksi dengan latar belakang sejarah abad ke-9, masa dinasti Goryeo. Dua puluh Episode Scarlet Heart Ryeo merupakan adaptasi novel Tionghoa Bu Bu Jing Xin karya Tong Hua, tahun 2012 kisah ini pernah dibuat serial di Cina, berjudul Bu Bu Jing Xin.
Adalah Ko Ha Jin –diperankan si cantik IU yang mengalami kecelakan,
tak sadarkan diri, secara mengejutkan tersedot ke masa lampau, pada
abad ke-9, masa dinasti Goryeo. Si cantik sekaligus wiracarita,
menggambarkan manusia yang hidup di era milenium ke dua yang mesti
memahami kehidupan monarki absolut dinasti Goryeo abad ke-9 dan menjadi
bagian spesifik di dalamnya, karena ia telah mengetahui terlebih dahulu
jalannya sejarah.
Suatu hal yang membuat Ko Ha Jin tergagap dan nyaris frustasi, karena
jiwanya merasuk ke dalam tubuh gadis keturunan bangsawan bernama Hae
Soo, saudara sepupu istri Pangeran Wang Kook yang diperankan Kang Hae
Nul. Fiksi adalah penggambaran kisah yang tidak rasionil, akan tetapi
dalam sebuah karya rasionalitas menjadi tidak penting, yang lebih
penting dalah pesan moral yang mesti disampaikan. Apa yang harus
dilakukan ketika seorang gadis manis tersedot ke masa lampau, hidup
dalam sosok yang tidak pernah dikenal dan secara tiba-tiba tersesat di
kolam permandian sekalian pangeran. Tempat sangat pribadi yang tidak
bisa dikunjungi seorang gadis terlebih saat putra Wang Geon –Taejo, Raja
Goryeo tengah mandi untuk mempersiapkan diri pada upacara spiritual
kerajaan. Putra Raja Taejo adalah Pangeran ke-10, Wang Eun –diperankan
Baekyun, Pangeran ke-14, Wang Jun –diperankan Ji Soo, Pangeran ke-3 Wang
Yo –diperankan Hong Ju Yun, Pangeran ke-8 Wang Wook –diperankan Kang Ha
Neul, Pangeran ke-9, Wan Won –diperankan Yoon Sun Yoo,
Chae Ryung –dayang pengasuh menyelamatkan Ko Han Ji dari keagagapan
ini, ia mengira Ko Han Ji adalah Hae Soo dan membawanya kembali ke
kediaman pangeran ke-8 Wang Wook. Nyonya Hae, istri Pangeran Wook yang
sakit sakitan menerima Hae Soo dengan lembut, ia telah menganggap Hae
Soo sebagai anak kandung, karena ia tak pernah melahirkan. Pangeran Wook
memperlakukan Nyonya Hae dengan amat baik sesuai adat kerajaan, meski
ia tak pernah menyatakan cinta. Bagi seorang pangeran cinta tak perlu
diperhitungkan dalam perkawinan, karena status istri sebagai anggot
keluarga klan yang kuat akan memperkokoh kekuasaan sang raja. Seorang
pangeran berkewajiban mendukung kekuasaan ayahanda raja, tanpa kecuali.
Wang Wook berperilaku halus suatu hal yang menyebabkan Hae Soo merasa
nyaman, sementara Wang Wook menemukan sesuatu berbeda dalam diri Hae
Soo, sesuatu yang menyebabkan ia jatuh hati, suatu hal yang tak pernah
diucapkan dalam perkawinan, hingga kematian Nyonya Hae. Adakah Wook
berkuasa menikahi Hae Soo, karena alasan cinta?
Sementara Pangeran ke-4, Wang So –diperankan Lee Joon Ki tiba kembali
ke Songak dari pengasingan, karena ditelantarkan Permaisuri. Wang So
masih kanak-kanak ketika Raja Taejo memutuskan kembali menikah bagi
kekuatan raja, permaisuri menolak dengan mangancam membunuh Wang So,
pisau meleset, mengenai wajah Wang So menyebabkan cacat seumur hidup.
Wang So dikirim untuk tinggal bersama keluarga Kang di luar Songak, maka
yang dipelajari Wag So selama hidupnya adalah kekerasan, ketika ia
harus bertarung dengan manusia serta binatang untuk bertahan hidup.
Wajahnya yang cacat ditutup dengan topeng sebagai hadiah raja yang
diberikan setiap tahun. Pangeran So tampak seakan monster, hatinya yang
lembut tertutup topeng menakutkan. Benarkah perilaku So seburuk topeng
yang dikenakan?
Hae Soo tak bisa menghindarkan diri dari pergaulan dengan sekalian
pangeran, bahkan putra mahkota, ia harus menempatkan diri dengan susah
payah, karena tata cara kerajaan yang ketat. Ternyata pangeran ke-10
Wang Eun dan ke-4, Wang So juga jatuh cinta. Bagaimana So dapat meminta
ijin raja untuk menikahi Hae Soo? Kematian nyonya Hae menyebabkan relasi
Goryeo dengan keluarga besar Hae terputus, kecuali Hae Soo menjadi
penerus, menikah dengan Raja Taejo yang telah memiliki 3 permaisuri dan
27 selir dan telah berumur di atas 60 tahun. Keduanya tak pernah
mengenal dengan baik, terlebih mencintai. Seorang raja tak memerlukan
rasa cinta, ia perlu mempertegas kekuasaan dengan menikahi seorang
perempuan dari keluarga besar yang akan bersedia mendukung
kebijakannya.
Hae Soo menolak tawaran perkawinan dengan Raja Taejo –diperankan oleh
Joo Min Ki, untuk meneruskan hubungan besan yang terputus, menjadi
istri raja yang ke-30 berarti hanya disentuh pada malam pengantin,
selebihya ia akan terkurung menjadi boneka istana yang tak akan perna
diperhitungkan. Wang So dan Wang Wook telah berlutut pula untuk
membatalkan perkawinan ini, akan tetapi Raja Taejo tak bisa mengubah
keputusan.
“Bahwa seorang raja tak bisa menikah dengan seorang perempuan yang memiliki bekas luka….”
Adalah aturan yang tak bisa dirubah, maka dalam pakaian pengantin
dengan berani Hae Soo memecah keramik, menggores tangan hingga luka
berdarah. Atas dasar luka ini, ia memiliki alasan untuk tidak menikah
dengan raja dengan konsekuensi teramat buruk ia harus bekerja sebagai
dayang di rumah herbal Damiwon. Suatu adaptasi harus dilakukan atau ia
akan mati.
Adakah rasa cinta So dan Wook berubah dengan statusnya yang rendah
selaku dayang istana? Andai sikap itu tak berubah, maka menikahi seorang
dayang adalah ijin yang nyaris mustahil dari raja. Dayang tak punya
klan, tak punya sekutu yang berfungsi untuk memperkokoh kekuasaan Taejo
–Wang Geon. Sementara kisah terus bergulir, Raja Taejo murka, karena
rencana pembunuhan Wang Mo, Putra Mahkota. Sungguhpun sang raja telah
tahu, bahwa permaisuri Yoo adalah pelaku utama, akan tetapi ia tak mampu
menghukum permaisuri, perselisihan besar akan terjadi. Ia harus
mengorbankan satu orang demi statusnya sebagai raja, meski sosok itu
adalah dayang perempuan yang dicintai, dayang Oh kepala Damiwon, rumah
herbal. Raja Taejo mencintai dayang Oh, akan tetapi bagi seorang raja
mencintai bukanlah suatu alasan untuk menikahi, kecuali Oh memiliki
pasukan untuk memperkuat posisi sebagai kepala negara. Meski Oh dengan
tulus hati melayani setiap hari, akan tetapi kisah cinta telah berakhir
sampai di sini.
Hae Soo difitnah sebagai pelaku yang meracuni putra mahkota, dayang
Oh menanggung beban itu, ia mengidap kanker perut, umurnya tak akan lama
lagi. Ia melihat Hae Soo seakan dirinya di waktu muda. Pesan yang
disampaikan keada Hae Soo, adalah tinggalkan tempat ini atau akan
menjadi korban dari perselisihan para pangeran yang tengah berebut
tahta, dan akan berakhir pada kematiannya. Hae Soo telah mengalami
hukuman fisik yang cukup parah, ketika Raja Taejo memutuskan dayang Oh
sebagai pelaku dan layak dihukum gantung. Hae Soo berlutut di bawah
matahari dan hujan memohon kepada raja agar hukuman itu dibatalkan, akan
tetapi sang raja tak pernah mengubah keputusan. Soo sangat berharap
Pangeran Wook akan datang mengulurkan tangan, akan tetapi Wook sang
pangeran yang dicinta memalingkan muka. Soo tahu, kisah indah dengan
Wook selesai sudah.
Akan tetapi, tiba-tiba So datang memayungi Soo dengan jubah dari
cucuran hujan. So mengerti kepada pangeran yang mana sesungguhnya ia
bisa bersandar? Meski hukuman bagi dayang Oh tetap diteruskan, perempuan
berhati tulus itu merelakan diri selaku “pembunuh” mati dengam leher
tercekik di tiang gantung. Soo sadar, menjadi bagian kecil di istana
berarti selalu dekat dengan kematian.
Kematian Raja Taejo, pembunuhan terhadap raja penerus, Hyejong oleh
konspirasi pangeran, kebencian Yeon Hwa adik Pangeran Wook, perselisihan
dan pertumpahan darah yang terus terjadi di lingkungan istana
menyebabkan Hae Soo mengerti, asolut monarki yang menyebabkan kekuasaan
raja tanpa batas, tahta yang diwariskan kepada putra mahkota dengan
melupakan pangeran dari istri yang lain adalah sebuah sistem yang tak
memberikan rasa aman, bukan hanya kepada dayang sebagai orang kecil,
akan tetapi bagi pangeran yang bersangkutan. Permaisuri mengincar gelar
ibu suri dengan kekuasaan mutlak di lingkungan istana, ia rela
membunuh, menekan pangeran tanpa gelar putra mahkota supaya menjadi
raja, menikahkan putri kandung dengan raja dalam status sebagai saudara
tiri tanpa rasa cinta untuk melanggenggkan kekuasaannya. Hanya orang
yang berkuasa di lingkungan istana dapat memenuhi segala keinginannnya.
Seperti yang telah tercatat di dalam sejarah, ketika Pangeran Wang Yo
yang akhirnya menjadi Raja Jeonjong meninggal karena sakit, Pangeran So
merebut tahta. Hae Soo telah mengetahui akan hal ini, akan tetapi ia
tak berwenang mengubah apa-apa. So kemudian bergelar Raja Gwangjong, ia
menyelidiki kematian Raja Hyejong, dan mendapatkan bukti bahwa Pangeran
Wook serta dayang Chae Ryung terlibat. Pangeran Wook dikucilkan, Chae
Ryung mendapatkan hukuman fisik hingga menjelang kematiannya. Hae Soo,
kini kekasih Raja Gwangjong. Adakah cinta sang raja akan membawanya
menuju perkawinan? Adakah ia akan bertahan di istana, bangunan megah
bernilai sejarah dengan mutlak kekuasaan raja, keserakahan permaisuri,
pangeran, bahkan putri sang raja. Betatapun dicintai, ia hanya seorang
dayang, tak memilik pengaruh, tak memiliki pasukan untuk mendukung tahta
raja. Ia bisa membuat seorang raja merasa nyaman, tetapi tidak mampu
membuatnya menjadi kuat.
Atau sesungguhnya ia hanya penonton dalam film tiga dimensi yang
seolah-olah menjadi pelaku utama di dalam sebuah cerita tentang
perebutan tahta. Hae Soo menyadari ia tidak akan mendapatkan kehidupan
serta perkawinan yang damai dengan menetap di istana. Di balik tembok
megah, tahta, kemuliaan hidup sesungguhya monarki absolut menyebabkan
kehidupan istana teramat dingin dan sepi. Dalam monarki absolut
demokrasi benar tak ada, kebebasan berpikir dan berpendapat baru berupa
cikal yang belum lagi ditanam supaya tumbuh menjadi tunas dan
berkembang sebagai pohon yang rindang. Sekalipun kisah fiksi, Hae Soo
memiliki pilihan, ia harus memilih, meskipun sang kekasih –Raja
Gwangjong memjadi amat murka.
Acting IU, Lee Joon Ki, Kang Ha Neul dan seluruh artis pendukung
demikian meyakinkan, lagu kematian yang menyayat, kisah cinta yang
digambarkan dengan santun tanpa kontak fisik nan ekstrim, setting tempat
yang indah, dilalog yang puitis, sejarah yang nyata tertulis
menyebabkan Scarlet Heart Ryeo menjadi 20 episode drama Korea yang bukan
sekedar menghibur, akan tetapi layak ditonton sebagai pendidikan
sejarah, budaya setempat serta proses panjang demokrasi yang
berliku-liku hingga akhirnya sampai pada saat sekarang ini. Ketika
monarki absolut tumbang, demokrasi menjadi suatu panduan dalam kehidupan
bernegara, sehingga keluarga raja atau kepala negara bisa menikah
dengan pasangan yang dicintainya.
Scarlet Heart Ryeo –Roman di Bawah Monarki Absolut yang mengesankan,
terlalu sayang melewatkan kisah ini tanpa kembali menuliskan dari sudut
pandang yang berbeda ….
***
*Bahkan suatu saat manusia akan sampai pada hari
yang susah dimengerti dengan akal sehat, akan tetapi ia tak mungkin
mengelak demi satu hal yang paling penting --kehidupan.
Ko Ha Jin tiba-tiba mengalami hari yang tidak biasa, aneh, dan
membingungkan. Ia sering mendengar, bahwa hidup kadang melambung seperti
mimpi. Ia mencoba menolak anggapan itu, akan tetapi hari ini mau tidak
mau ia harus menjalani.Udara nyaris beku di tepi danau Ko Ha Jin
melihat bayangan wajahnya demikian kacau dengan bibir terluka.
Pikirannya terasa gamang ketika dia menenggak soju, ia berharap minuman itu akan mengurangi beban pikiran yang menekan dan menyakitkan.
Beberapa jengkal dari tempatnya terduduk, tampak seorang ahjussi --gelandangan tua dengan wajah dan pakaian kumal, sepasang matanya yang myaris padam menatap soju dalam genggaman tangan. Gelandangan itu tak mampu menyembunyikan keinginan pula untuk menenggak soju.
Ha Jin menghela napas panjang, ia tahu apa yang harus dilakukan dengan
seorang yang baru ditemui. Tangan gadis cantik itu mengulurkan soju kepada si ahjussi, yang segera diterima dengan senang hati. Gelandangan itu langsung menenggaknya dengan nikmat, seolah soju
adalah minuman istimewa yang selalu dirindukan seumur hidupnya. Sekejab
Ha Jin melirik pada gelandangan itu, tanpa sadar mulut gadis manis itu
berucap, meski ia tak mengerti benar, kepada siapa sebenarnya ia tengah
bertanya.
"Ahjussi, adakah engkau pernah
ingin tidur selama ratusan atau ribuan tahun? Segalanya menjadi kacau
tanpa harapan, ia pernah berucap, bahwa segalanya akan menjadi lebih
baik, kenyataannya semua telah berkeping-keping tanpa sisa. Andai aku
bisa tidur dan tidak pernah bangun lagi. Aku ingin melupakan segalanya,
tapi tidak berhasil", suara itu seperti rintihan dari dasar hati yang
pedih. Ko Ha Jin merasa menjadi orang yang sangat malang, seolah tak ada
yang lebih buruk dari nasib hari ini.Tanpa tersa air matanya menetes,
jernih seakan embun.
Dimana kini sang kekasih?
Seorang yang pernah diharapkan untuk hidup bersama
selama-lamanya, demikian cepat berpaling.Ia pergi tanpa pesan,
meninggalkan setumpuk hutang yang harus dilunasi. Andai ia pergi seorang
dari, sang kekasih berlalu bersama seorang gadis yang telah diriasnya,
sehingga tampil sedemikian cantik. Ia telah diperlakukan seolah
satu-satunya orang bodoh yang harus ditertawakan. Air mata Ko Ha Jin
kembali menitik, membasahi pipinya yang sehalus mutiara.
"Ajussi, apakah engkau tahu? Kukira jika aku tidak
berubah maka orang yang kupercayai dan kusukai tidak akan pula berubah.
Ternyata aku salah, segalanya menjadi kacau,mengapa hidupku menjadi
seperti ini?" Ha Jin terisak, ia harus merasakan pahit, karena
kehilangan. Satu hari serasa seribu tahun, terlalu menyakitkan. Andai ia
bisa tertidur seribu tahun, melupakan segalanya.
"Hidup tidak bisa berubah hanya karena engkau menginginkannya. Andai engkau mati dan hidup kembali", jawab Ahjussi
dengan ringan --terlalu ringan. Ia tidak bisa merasakan duka hati yang
menekan Ha Jin saat ini, ia memang tidak perlu merasakan, ia tidak perlu
merasa iba dengan seorang gadis yang tidak dikenalnya. Setelah
menenggak soju gelandangan itu dengan santai berbaring,memejamkan mata,tertidur.
Ko Ha Jin mencoba meredam isak tangis, mestinya ia tak perlu
mengucap sepatah kata kepada seorang yang tidak dikenalnya, tetapi ia
benar memerlukan seorang untuk berkeluh kesah. Gadis muda itu membuang
pandang kemudian memejamkan mata, situasi di dekitar sekejab menjadi
gelap.
Tepat saat itu seorang bocah tampak menjulurkan kaki dari
jembatan, ia berniat menjangkau perahu yang tertambat di tepi danau.
Kaki itu terlalu mungil untuk menjangkau jarak, demikian pula sang bocah
terlalu kanak-kanak untuk menyadari bahaya yang mengancam.Ha Jin
terlalu sibuk dengan dirinya sendiri tak pernah peduli dengan situasi
sekitar bahkan ketika seorang bocah yang terlepas dari pengawasan orang
tua sedang menuju bahaya,hingga tiba-tiba terdengar suara bendar
tercebur kedalam danau.
Ha Jin masih memejamkan mata,ia masih berusaha menenangkan
dirinya. Akan tetapi, ketika membuka mata beberapa detik kemudian, ia
dilanda kecemasan. Bocah itu tak lagi berada di tempat semula, ketika
membuang pandang gadis itu membelalakkan sepasang matanya yang indah.
Bocah itu, bocah itu tengah berjuang menggapai kehidupan, ia tenggelam
di tengah danau.
Ha Jin dilanda rasa panik, bocah itu tak akan hidup bila tak seorang pun berniat menyelamatkan.”Ahjussi....!”Ko
Han Ji menjerit, tapi gelandangan itu tak mampu mendengar apa-apa, ia
tengah mendengkur dalam tidur nyenyak, tak peduli situasi di sekitar.
Ha Jin semakin panik,ia berusaha menenangkan diri dengan suatu
keyakinan, akan ada seorang yang mampu menyelamatkan si bocah.Akan
tetapi, suasana di sekeliling tempat itu sunyi,”Dimana orang tua bocah itu?”
tidak tampak satu bayangan manusia pun berkelebat, terlebih melihat
nasib seorang bocah yang malang itu. Ha Jin masih berusaha meyakinkan
diri, bahwa akan ada seseorang yang tiba-tiba datang sebagai
penyelamat.Akan tetapi, keyakinan itu akhirnya punah, rasa panik kian
menghebat. Ko Ha Jin tidak punya pilihan atau dengan sadar ia harus
menyaksikan seorang anak meregang nyawa dan ia akan menyesal
selamanya.Gadis itu menjerit dengan putus asa ketika akhirnya akhirnya
melompat ke dalam danau."Kenapa harus aku lagi!"
Jeritan itu membangunkan orang-orang di sekitarnya, secara
tiba-tiba mereka menyadari bahaya yang tengah terjadi. Ayahanda si bocah
dengan sigap meloncat ke dalam perahu untuk langkah penyelamatkan.
Sementara Ahjussi, gelandangan itu terbangun, Ha Jin tak ada
lagi di dekatnya, ia melihat sepatu gadis itu tergetak tak jauh di
tempatnya terjaga. Gelandangan itu tergagap, mencoba menyadari kejadian
di sekitarnya. Ia berpaling menatap langit, warna biru semakin lama
semaki meredup, posisi matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis
lurus. Perlahan-lahan bola matahari menghilang di balik bayangan bulan,
seakan ditelan rahang raksasa yang teramat jahat,suasana menjadi
temaram, indah, dan menakjubkan. Gerhana matahari total adalah fenomena
alam langka yang menggelapkan langit secara tiba-tiba.
Di tengah danau Ko Ha Jin telah basah kuyup da menggigil, ia
berhasil menjangkau bocah malang itu, mengangkat terlebih dulu kedalam
perahu. Sang bocah selamat, ketika sang Ayah hendak menolong Ha Jin,
bayangan bulan secara mutlak menutupi matahari, gerhana tengah terjadi.
Tiba-tiba Ko Ha Jin kehilangan akal sehat, gadis manis tertarik oleh
suatu kekuatan gaib yang terus membenamkan ke dalam ke air, tanpa ia
mampu memberikan perlawanan. Seluruh tenaga melayang tanpa sisa, yang
tampak di depan mata kilasan hari-hari terakhir yang menyakitkan, ketika
ia harus mengakui sang kekasih hati tengah mencium gadis muda yang
rupawan. Darah Ko Ha Jin seakan mendidih, ia menyatakan kemarahan dengan
menampar gadis cantik itu untuk mendapatkan kembali sang kekasih, akan
tetapi dia yang tercinta telah berpaling, bahkan membela gadis itu.
Harapan Ha Jin kandas, ia harus menelan rasa pahit, karena kehilangan.
Rasa pahit itu semakin mendalam ketika ia harus ketakutan, dikejar-kejar oleh sekumpulan ahjumma.Ko
Ha Jin tak berdaya, ia bahkan tak kuasa menjerit bagi sebuah
pertolongan, napasnya sesak, tenggorokannya tercekik. Ia kehilangan
kesadaran, dimana sesungguhnya dirinya berada. Ketika gerhana matahari
sampai pada saat yang paling gelap, langit ajaib terpulas cahaya
temaram, Ko Ha Jin tenggelam pula semakin dalam. Gadis itu pasrah, ia
harus mengerti bagaimana rasanya ketika tidak mampu menolong diri
sendiri?
Saat gerhana matahari total dengan perlahan, namun pasti
berlalu, sinar indah mentari pelan-pelan tampak berkilau seakan cincin
raksasa berhiaskan sebutir batu permata.Nun jauh di sana,setelah
melewati terowongan waktu, sebelum pergantian milenium pertama. Sebuah
kehidupan masa lampau seakan kembali digelar atas nama sejarah yang
hidup. Tampak seorang pengendara kuda memacu tunggangannya disertai
beberapa orang di belakangnya. Si pengendara kuda itu tengah menuju
Songak, Ibukota kerajaan Goryeo. Wajah tampan itu tampak sedemikian
dingin, tatapan matanya menembus kalbu dan nyaris mendirikan bulu roma.
Sesaat rombongan pengendara kuda itu terhenti, menatap langit dengan
takjub. Gerhana matahari total adalah fenomena langka yang menghadirkan
dasyat dan keindahan semesta, ketika cahaya mentari perlahan padam,
langit berubah temaram. Akan tetapi, dengan pasti bola matahari perlahan
manampakkan diri dari bayangan bulan dalam berkas cahaya yang berkilau
menakjubkan.
Ketika sinar matahari perlahan benderang,rombongan berkuda itu
melanjutkan perjalanan, memacu binatang seakan sekelompk prajurit
memburu musuh di medan pertempuran.Dengan tiba-tiba debu kering
mengepul, seolah risau beterbangan. Ketika rombongan berkuda itu tiba di
pasar, suasana menjual dan membeli tiba-tiba beruah menjadi heboh,
hampir semua orag menghindar pada kesempatan pertama.Wajah dingin
bertopeng itu adalah Wang So, Pangeran ke-4 Kerajaan Goryeo, raut wajah
itu selalu mendatangkan rasa takut, Wang So dikenal dengan sebutan 'Wolfdog’,
kehidupannya yang keras menyebabkan pula sikapnya yang keras, dingin,
dan tak kenal ampun. Di tengah keramaian pasar sejenak So berhenti,
sebuah tusuk konde cantik yang ditawarkan seorang pedagang. Ia tak bisa
menahan diri untuk membeli tusuk konde itu, ia perlu memberikan hadiah
kepada seorang yang dikasihi. So tidak peduli degan sikap orang banyak
yang ketakutan melihat kehadirannya, ia memang tak perlu peduli.
Sementara di kolam pemandian istana, sekalian pengeran Kerajaan
Goryeo tengah berkumpul dalam suasana hangat. Wang Eun, Pangeran ke-10
berwajah ceria, adik Wang Eun, pangeran ke-14, Wang Jung berwajah
manis. Kedua pangeran itu menceburkan diri bersama-sama ke dalam kolam
air panas sambil bermain-main riang.Keduanya menikmati hari-hari indah
sebagai keturun Wang Geon, Raja pendiri Goryeo, terlahir sebagai
pangeran berarti hidup dalam kemuliaan.
Pangeran ke-3, Wang Yo duduk mengawasi kedua adiknya yang
tampak bergembira menceburkan diri ke dalam kolam.Tatapan sepasang mata
Wang Yo setajam mata belati, bibirnya nyaris tak pernah tersenyum. Wang
Yo menanggung beban berat dari keinginan ibunda ratu, ia belum
sepenuhnya menyadari, karena situasi di seputar istana masih nyaman
seperti biasanya.
Wang Yo sangat marah, ketika seorang pelayan menuangkan
minuman, karena tercecer. Ia tampak hendak melayangkan tangan, tetapi
Pangeran ke-8, Wang Wook si lembut hati hadir, menghindarkan insiden
kecil antara pangeran dan seorang pelayan yang ketakutan. Suasana
kembali nyaman seperti semula. Sementara Pangeran ke-9, Wang Won tampak
memamerkan tubuhnya yang atletis, demikian juga dengan Pangeran ke-13,
keduanya sama tampak dan mempesona.Sekalian pangeran wajib mandi di
kolam kerajaan menjelang ritual spiritual Goryeo.
“Apakah kakak ke-4 belum datang?” Wook dengan raut wajahnya
yang lembut dan bijak bertanya. Seharusnya Wang So telah hadir untuk
mandi bersama sebelum ritual spiritual dimulai.
“Tidak usah kita memikirkan So”, dengan kesal Yo menjawab.
“So seumur denganku, mestinya Pangeran ke-4 telah hadir di
sini”, raut wajah Wook selalu menunjukkan kesabaran, ia tak kalah
tampan dengan pangeran yang lain, atau sesungguhnya ia adalah yang
paling tampan dari semua pangeran.
"Kali ini untuk yang pertama Wang So menghadiri acara ritual
spiritual, bukan? Apakah Yang Mulai punya alasan khusus mengundangnya",
Baek Ah bertanya.
Eun menatap Baek Ah tanpa menjawab, ia telah mendengar adanya
rumor yang menyatakan kalau pangeran ke-4 telah membunuh keluarganya di
Shinju dengan sangat brutal seperti serigala yang membantai manusia.
Baek Ah mencoba tidak percaya dengan rumor itu, tapi Eun bersikeras
mempercayai, ia mendengar rumor dari para pendatang yang berasal dari
Shinju.
Jung juga tak percaya. Mungkinkah Wang So membunuh keluarga
Shinju, sementara keluarga itu dijaga ketat oleh para prajurit kerajaan.
Bagaimana So bisa mengalahkan para prajurit, ia tidak pernah belajar
dan memiliki seorang guru bela diri?
"Jung, engkau dan So berasal dari ibu yang sama. Engkau bahkan
tidak akan pernah tahu kapan seorang akan berubah menjadi serigala", Eun
menatap Jung dengan pandangan jenaka, ia menikmati kebersamaan dengan
para pangeran setelah hari-hari yang sibuk dan melelahkan.
Sementara Yo menatap Eun dengan geram, ia begitu mudah
tersinggung karena ia terlahir dari ibu yang sama.”So hanya sebentar di
Songak, setelah ritual spiritual selesai ia akan segera kembali ke
Shinju”, nada suara Yo sedemikian keras, nyaris memecah seluruh
kegembiraan di kolam pemandian
“Eun hanya bercanda, saya pasti menegurnya nanti”, Pangeran
Wook bersikap bijak, ia selalu menikmati kebersamaan dengan para
pangeran, ia belum lagi menyadari adanya sebuah ancaman yang akan
meluluhkan seluruh hidup.
Eun yang jenaka segera menyadari kesalahannya, ia tidak mau
memperkeruh suasana, dengan lihai ia mengalihkan perhatian semua
pangeran dengan mengajak mereka untuk bertaruh siapa yang bisa
mengambang paling lama. “Ayo bertaruh, di antara kita siapa yang
mengambang paling lama”, tanpa menunggu jawaban pangeran muda itu segera
lalu menceburkan dirinya kembali ke kolam air panas dengan suara
berdebur.
Keajaiban terjadi.Tepat setelah pangeran Eun menceburkan diri,
seorang gadis cantik tiba-tiba muncul secara mengejutkan dari dalam
air.Apa yang telah berlaku?
Ko Ha Jin yang tenggelam ke dasar danau, kehilangan kuasa
diri, ia pernah berkeinginan tertidur hingga seratus, bahkan seribu
tahun. Secara ajaib sukmanya merasuk ke dalam sosok badan gadis
bangsawan, ia mengenakan pakaian klasik zaman Goryeo, pada lebih seribu
tahun yang lalu. Tak seorang pun menyadari kehadirannya, Ha Jin terlalu
bingung tiba-tiba mendapati dirinya berada di tempat asing, meski
merasa lega karena ternyata dia masih hidup, bukan tewas di dasar danau.
Akan tetapi, dimana posisinya kini? Mengapa semua tampak asing
dan aneh? Apa yang sesungguhnya terjadi? Pikiran Ko Ha Jin tiba-tiba
menjadi sedemikian kacau seakan dihantam badai maha dasyat.
Pangeran Eun tengah menikmati hangat air kolam, tak lama
kemudian ia merasa sungguh terkejut ketika pada kolam air panas yang
sama tiba-tiba muncul seorang gadis dengan pakaian basah kuyup.Wajah
gadis itu sedemikian bingung dan ketakutan. Ketika keduanya saling
bertatap mata, masing-masing pihak, baik Ko Ha Jin maupun Wang Eun
menjerit.
"Siapa kau? Mengapa ada gadis di tempat ini ...." sepasang mata
Pangeran Eun terbelalak lebar. Kolam pemandian Goryeo adalah tempat
rahasia bagi keluarga kerajaan, tak seorang pun gadis bisa mencebur ke
dalam kolam ini, terlebih ketika putra Raja Taejo tengah mandi,
kesalahan besar bila seorang gadis berani menyusup ke tempat ini.
Jeritan itu mengejutkan para pangeran, praktis seluruh
perhatian beralih ke muasal suara. Semua pangeran terpana melihat
kehadiran seorang gadis di kolam pemandian Goryeo dalam keadaan basah
kuyup. Eun tergesa berlari kembali bergabung dengan sekalian pangeran.
Wajahnya dipenuhi rasa heran, mengapa tiba-tiba ada seorang gadis di kolam pemandian kerajaan dalam keadaan basah kuyup? Apa yang berlaku?
Sementara Ko Ha Jin tak kalah heran dan bingung bila dibanding
Pangeran Eun, ia menoleh ke kiri dan ke kanan dalam rasa gamang yang
akhirnya berubah menjadi panik. Ia seakan tersesat ke dunia antah
berantah, ke suatu tempat yang tidak pernah dan tidak akan pernah
dikunjungi.Gadis itu masih membelalakkan sepasang matanya yang indah, ia
tak pernah merasa tak berdaya seperti ini. Setelah terduduk dalam duka
hati bersama seorang gelandangan, menolong seorang bocah yang nyaris
tenggelam.Kini ia muncul dalam pakaian kuno di kolam pemandian dengan
seorang pemuda tak dikenal. Dimana dirinya berada? Ko Ha Jin terus
berpikir keras hingga akhirnya ia bertatapan dengan seorang pelayan,
Chae Ryung, gadis muda itu tampak bersembunyi di balik bebatuan.
Pelayan itu memberi isyarat supaya Ko Ha Jin bergegas keluar
dari kolam sambil berbisik memanggilnya "Agassi, agassi ...." suara itu
terdengar bersahabat.Ha Jin tahu, kemana harus menuju. Ia masih menoleh
ke kiri dan ke kanan untuk mendapatkan jawaban, dimana dan pada abad
keberapa sesungguhnya ia berada? Adakah ia telah tertidur selama seribu
tahun?
Dengan sigap Yo memanggil pengawal untuk menangkap penyusup, ia
tidak mau ada kegaduhan di tempat pribadi anak-anak. Akan tetapi
sebelum pengawal datang, Ha Jin tergesa pergi meninggalkan kolam
pemandian, nalurinya berbisik supaya ia menghampiri Chae Ryung. Eun
berusaha mengejarnya, tetapi pangeran muda itu gagal, ia terjatuh
berulang kali ke dalam air hingga Ko Ha Jin berhasil menjangkau tempat
yang aman.Semua pangeran yang hadir menatap bayangan gadis muda dalam
pakaian basah kuyup dengan heran dan sebenarnya marah, tak seorang pun
dapat mengenal. Akan tetapi, Pangeran Wook diam-diam bergumam,"Hae
Soo...."
Wajah tampan pangeran ke-8 tak kalah heran dengan raut wajah pangeran yang lain. Mengapa
Hae Soo, sepupu istrinya dengan ceroboh bisa berada di tempat ini dalam
keadaan basah kuyup? Apa yang dilakukan gadis itu?
Sementara Chae Ryung segera merengkuh tangan Ha Jin membawanya dengan cemas melewati sebuah gua sambil bercakap, “Agassi, mengapa berada di kolam pemandian kerajaan, itu tempat tertutup? Para pangeran tengah mandi, Agassi
bisa dihukum”, sambil berucap Chae Ryung terus membimbing Ko Ha Jin
hingga keduanya keluar dari mulut gua, pelayan itu tak menyadari wajah
Ko Ha Jin yang memucat, karena keterkejutan yang hebat, kepala gadis itu
mulai berdenyut semakin lama semakin kuat. Ko Ha Jin diam-diam merasa
demikian pening, pandangannya nyaris berkunang-kunang.
Tanpa sadar keduanya terhenti, “Agassi, apakah semua baik-baik saja?” Chae Ryung mengerutkan kening, ia merasa sungguh aneh dengan perilaku Agassi hari ini, gadis manis itu berbeda dengan hari-hari biasa.
Ko Ha Jin mengunci mulut, tak mampu menjawab, kepalanya nyeri
dan terus berdenyut.Kata-kata Chae Ryung membuatnya semakin bingung,ia
sama sekali tidak mengerti apa maksud dengan sebutan Agassi dan pangeran. Suatu hal yang aneh dan asing, bagaimana ia bisa berada di tempat ini?
Chae Ryung kembali membimbing Ko Ha Jin menjauh dari tempat
ini, menghindari akibat yang sangat buruk. Akan tetapi, Ko Ha Jin
akhirnya berdiri terpaku, dengan ragu gadis itu bertanya, “Apakah engkau
mengenalku? Dimana kita sekarang? Apa yang sesungguhnya terjadi?” Ko Ha
Jin tak mampu lagi menahan diri, apapun jawaban itu, ia harus tahu. Ia
tak mungkin terus menerus terjebak ke dalam rasa bingung yang
menggelisahkan.
Pertanyaan ini menyebabkan Chae Ryung heran, pelayan itu menatap wajah Agassi dalam-dalam.
Sesaat pelayan itu terhenyak, ia melihat hal tidak biasa pada wajah
gadis bangsawan yang harus selalu dilayani. Gadis itu tampak seperti
seorang asing yang tidak mampu mengenali keadaan di sekitarnya, bahkan
pelayan yang setiap hari selalu bersamanya. Ada yang keliru dengan Agassi, gadis
itu tampak melupakan segalanya. Apapun yang terjadi, ia tetap
berkewajiban melayani gadis keturunan bangsawan ini, keduanya ibarat
sahabat tak terpisahkan.
"Ini area pemandian terbesar di Songak",jawab Chae Ryung dengan pasti, ia kembali menatap wajah bingung Agassi. Sikap
dan raut wajah itu sebenarnya membuat Chae Ryung tak kalah bingung,
tapi apa yang dapat dikerjakan, kecuali membawa kembali gadis keturunan
bangsawan itu ke tempat yang sesungguhnya.
Jawaban itu menyebabkan Ko Ha Jin harus melihat keadaan di sekeliling dengan cermat. “Area
pemandian terbesar di Songak? Adakah ia mengenal tempat asing ini?
Mengapa pula ia harus berada di tempat ini dengan seorang gadis tak
dikenal yang memanggilnya dengan sebutan Agassi?” Ko Ha Jin
berulang kali mengerjabkan mata ketika ia melihat beberapa orang tengah
mandi dengan mengenakan pakaian tradisional. Denyutan di kepala Ko Ha Jn
semakin menghebat, kepalanya seakan ditindih sebongkah batu yang amat
besar.’Adakah aku telah meninggal setelah tenggelam ke dasar kolam saat gerhana matahari? Adakah aku telah berada di alam kematian?’gadis
itu bertanya di dalam hati, ia terjebak ke dalam sebuah pertanyaan
besar yang tak mudah dijawab. I seakan tersesat pada sebuah lorong ujung
tanpa tepi, tanpa tempat asal, dan tujuan. Ia bahkan tak mampu mengeal
diri sendiri.Ko Ha Jin tak mampu mengatasi perasaan bingung, sedemikian
lemah dirinya saat ini, sehingga ia hanya mampu terpana, seribu
kunang-kunang tiba-tiba terbang berseliweran, langit secara tiba-tiba
padam. Ia merasa dirinya terlalu ringan seakan segumpal kapas yang
melayang diterbangkan angin musim. Ko Ha Jin terkulai, pingsan dalam
rangkulan Chae Ryung.
***
Tak jauh dari Ko Ha Jin terkulia --di gerbang istana, Wang So,
Pangeran ke-4 telah tiba bersama pengikutnya. Akhirnya ia menyudahi
perjalanan panjang dalam memenuhi undangan Raja untuk rituil spirituil.
Ia adalah keturunn langsung Wang Geon, Raja Taejo, penguasa Kerajaan
Goryeo, tetapi mengapa ia harus tinggal di pengasingan, di Shinju
bersama keluarga Kang. Ia demikian merindukan Songak dan peluk cium
ibunda Ratu, adakah permaisuri akan menyambutnya dengan hangat layaknya
seorang anak kandung? So menghela napas panjang, ada yang salah dalam
perjalanan hidupnya, apakah ia harus diam selamanya? Ia berhak tinggal
di istana, bukan pada suatu tempat asing yang menyakiti.
Kepala pengawal mengingatkan kedatangan Wang So dan para
pengikutnya dengan ucapan, “Setelah ritual selesai pangeran harus segera
kembali ke Shinju. Selama tinggal di Songak wajib menjunjung tinggi
nama keluarga angkat di hadapan raja”, kepala pengawal cukup mengenal
Pangeran So yang berwajah dingin seakan tak memiliki perasaan.
"Keluarga angkat? Kukira selama ini aku seorang tawanan", So
menyindir dengan sinis, tak seorang pun tahu pergolakan sengit dalam
dirinya, tidak pula sang kepala pengawal.
So turun dari kuda tunggangan dengan wajah sekeras batu granit,
ia tahu arti kata-kata kepala pengawal, sebenarnya ia tak perlu
mendengar kata-kata itu. Tak seorang pun tahu kehancuran hati serta
rencana selanjutnya setelah kembali ke tempat kelahiran di Songak.
Adakah ia mesti mengikuti kata-kata kepala pengawal kembali ke Shinju
setelah ritual selesai. Ia telah menanggung akibat dengan selalu
menuruti kata-kata orang, ia seorang pangeran yang telah tumbuh dewasa
dan sudah saatnya dapat menentukan sikap tanpa harus mendengar kata-kata
siapa pun, terlebih ucapan seorang kepala pengawal.Dengan gagah So
menghunus pedang, tanpa ragu sedikit pun ia menebas kuda tunggangannya
hingga binatang tungangan itu terkapar berlumuran darah.
Para pengawal gemetar ketakutan menyaksikan keberanian So membantai kuda tungangan, ‘Apa maksudnya?’
“Mohon ampun pangeran, pedang tidak diijinkan untuk dibawa
serta menuju istana”, seorang pengawal mengingatkan, meski hatinya ngeri
menyaksikan tindakan menakutkan Pangeran ke-4. Lututnya diam-diam
menggigil ketika dengan santai So menyerahkan pedang berlumuran darah
tanpa menatap wajah sang pengawal, seolah senjata itu tak berarti
apa-apa.
“Nanti akan kami sediakan kembali kuda yang kuat supaya
Pangeran dapat pulang kembali ke Shinju”, kata-kata itu adalah bahasa
yang lebih halus untuk menyarankan supaya So meninggalkan Songak setelah
ritual spiritual.
So merasa tidak perlu menanggapi kata-kata itu, ia tak
memerlukan seekor kuda pun untuk kembali ke Shinju, tempat mengerikan
yang membesarkan dirinya dengan segala kekerasan. Ia seorang
pangeran,bukan tawanan ia berhak mendapat perlakuan yang layak –bahkan
mulia di sisi Sang Raja.
Sementara di kediaman Pangeran ke-4 --Wang Wook, Hae Soo pun
akhirnya terbangun, dengan galau ia mendapati dirinya di sebuah tempat
asing bersama seorang wanita cantik berpakaian indah bangsawan kuno yang
tampak sakit-sakitan.Wajah cantik wanita itu tampak cemas, dengan
anggun wanita itu menunggu di tepi tempat tidur.
“Nyonya Hae, Hae Soo telah siuman”, Chae Ryung tampak lega
melihat Ko Ha Jin telah siuman, ia sungguh merasa cemas, karena gadis
keturunn bangsawan yang dilayani pingsan dalam keadaan bingung di
pemandian terbesar Songak.
“Nama saya Ko Ha Jin bukan Hae Soo,”gadis malang itu semakin
bingung ketika dipanggil dengan nama Hae Soo, ia perlu membenarkan, ia
perlu meluruskan kekeliruan ini.Atau ia telah mati dan kini tinggal di
alam kematian bersama dengan orang tak dikenal.
“Atau saya sudah mati dan kini berada di alam kematian?”, Ha
Jin teringat, bahwa ia telah tenggelam di dasar danau, Hae Soo langsung
mengerti semua keanehan ini.
"Tidak, nona tidak mati", Chae Ryung mencoba menenangkan Ha
Jin, ia kembali merasa cemas dengan keadaan Agassi, gadis keturunan
bangsawan ini tampak tidak mengenali diri sediri.
Jawaban itu mengejutkan Ha Jin, ia masih hidup. Gadis mencubit
dirinya sendiri untuk meyakinkan, bahwa ia memang masih hidup bukan
tinggal di alam kematian dan tidak pula bermimpi. Dengan gagap gadis itu
melangkah meninggalkan kamar, menatap ke luar, sepasang matanya yang
indah kembali terbelalak lebar. Ia mencoba tidak mempercayai
penglihatannya, tapi bagaimana mesti menyangkal, setelah mengerjabkan
mata berulang kali pemadangan di depannya tetap sama. Adalah bangunan
tradisional dengan banyak pelayan yang tengah sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Ko Ha Jin merasa dirinya limbung, seluruh tenaganya
tersedot, ia merasa lemas dan panik.
"Dimana ini? Siapa saya. Ah Tidak?" Ko Ha Jin tidak bisa
menahan rasa heran, ia pernah ceroboh berkeinginan untuk tidur hingga
seribu tahun. Kali ini keinginan itu terjawab, ia hadir kembali ke masa
seribu tahun yang lalu.Dengan lesu Ha Jin terduduk, ia menjalani takdir
yang aneh, yang sulit dimengerti dengan akal sehat.Andai ia hanya
bermimpi atau mengalami delusi, tetapi andai mimpi, semuanya demikian
nyata. Ia tidak bermimpi, ia tiba-tiba hadir dan menjadi bagian dari
sebuah kehidupan yang sulit.
Nyonya Hae yang santun dan anggun dengan tulus berucap,”Namamu
Hae Soo, saya adalah sepupu ke-6”, senyum itu demikian lembut dan teduh
tegores dari wajah yang pucat. Nyonya Hae memang saki sakitan, ia
mengira Ko Ha Jin hilang ingatan, karena terjatuh di pemandian Songak.
Kata-kata itu menyebabkan Ko Ha Jin terhenyak, ‘Adakah sukmaku masuk kedalam tubuh orang lain?”.Gadis
itu kembali terdiam, berusaha keras memahami apa yang sesungguhnya
terjadi, sehingga seorang bangsawan perempuan menyebutnya sebagai Hae
Soo, mengaku sebagai sepupu ke-6.
“Kita di Songak, rumah ini adalah kediaman Pangeran ke-8, Wang
Wook”, suara itu demikian merdu, tapi bagi Ko Ha Jin yang tengah
mengalami ketrkejutan suara itu berubah seakan angin taufan yang
berpusing di telinga.
"Songak...? Apa ini Goryeo? Kerajaan sesudah Goguryeo, Baekje
dan Silla...? Goryeo....?" Ko Ha Jin tak bisa menutupu keterkejutannya.
Bernarkah ia telah tenggelam selama seribu tahun kemudian terseret pada
adegan sejarah Goryeo? Dengan mencemaskan ia telah pula menjadi bagian
yang sangat kecil di dalamnya?
Nyonya Hae mengangguk dengan anggun, membenarkannya kata-kata
Ko Ha Jin.Gadis manis itu semakin panik, “Siapa raja yang sedang
berkuasa sekarang? Dengan cemas Ha Jin kembali beratnya, ia tak pernah
lupa sejarah Korea.
Dengan bingung Nyonya Hae menjawab,”Tentu saja raja pertama
yang mendirikan Goryeo”, sepasang mata lembut wanita bangsawan itu
menatap Ko Ha Jin tulus, ia telah menganggp gadis itu selaku anak
kandung. Meskipun kali ini sepupu ke-6 itu tampak aneh, akan tetapi ia
tak akan mengubah pengkuannya.
Sepasang mata Ko Ha Jin kini melotot seolah hendak meloncat
dari kelopak, jantungnya berpacu dengan kencang seakan curahan air
terjun. “Raja Taejo, Wang Geon”, suara itu demikian lirih, Ko Ha Jin
nyaris terkulai untuk yang kedua kali.
***
Di istana, Raja Taejo tengah mengadakan prtemuan bersama para
pangeran dan pejabat istana, tanpa kehadiran Wang So --Pangeran ke-4.
Wajah raja tua itu teramat dingin, ia telah melampaui tahun-tahun
teramat panjang untuk menduduki tahta, kurun waktu yang tidak mudah. Di
dalam sebuah kerajaan hanya ada satu tahta dan kewenangan mutlak seorang
raja dalam memerintah, hal itu berarti ada banyak pihak yang
berkeinginan duduk di atas singgasana yang sama. Wang Geon cukup tahu
bagaimana harus mempertahankan kekuasaan hingga saat terakhir tiba, ia
telah menunjuk Putra Mahkota, seorang pangeran yang dicintai yang berhak
mewarisi tahta. Wang Geon mengerti dari 27 selir dan tiga permaisuri
masing-masing melahirkan keturunan raja dengan keinginan untuk menjadi
ibu suri dengan kewenangan yang tinggi andai pangeran yang dilahirkan
kelak bertahta di singgasana. Raja Taejo memikul beban yang terlalu
berat, “perangnya” masih berlanjut”hingga tiba waktu yang tepat untuk
menyerahkan tahta sekaligus “perang” kepada Putra Mahkota.
Kali ini wajah dingin Raja Taejo berubah menjadi semerah bara,
ia terlalu marah, seluruh tubuhnya nyaris gemetar. Lengannya yang tua
masih tampak kukuh ketika melempar seekor burung mati di depan sekalian
pangeran dan pejabat istana. “Burung pencicip makanan putra mahkota
telah mati, makanan itu beracun. Siapa yang menghendaki kematian Putra
Mahkota?”suara itu terdengar menggelegar seakan hendak meruntuhkan
dinding istana, seisi rungan terdiam. Ruangan itu teramat indah,
berdinding kukuh dengan warna yang berkilau dan seluruh perabot pilihan.
Hari ini keindahan itu tak berarti apa-apa, sebuah upaya pembunuhan
telah terjadi, siapa yang menginginkan kematian Putra Mahkota?
“Tagkap pelaku percobaan pembunuhan putra mahkota!” suara Raja
Taejo masih menggelegar, seorang di lingkungan istana nyata-nyata telah
menyakiti hatinya, burung mati itu berarti ada pihak yang menolak
kehadiran Putra Mahkota sekaligus menginginkan tahta.
Sebagai jawaban Menteri Wang Shik Ryeom berucap, “Menangkap
pelaku percobaan pembunuhan tidak akan mengubah keadaan. Pangeran Moo
semestinya dipertimbangkan kembali sebagai putra mahkota.Adakah sikapnya
selama ini layak diteladani? Saat pertemuan majelis, Putra Mahkota
hanya menerima salam dari utusan asing lalu pergi. Putra Mahkota lebih
sering berada di medan pertempuran atau mengunjungi pemandian air
panas. Selebihnya, ada rumor yang menyatakan, bahwa Putra Mahkota
menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan”, kata-kata itu tersusun
dengan rapi, akan tetapi di telinga Raja Wang Geon yang sedang murka
berubah seakan puting beliung yang semakin menyakiti.
Sesaat suasana di singgasana raja hening, diam yang singkat,
karena tiba-tia Putra Mahkota --Pangeran ke-1, Wang Moo, tiba di luar
pintu. Telinganya yang tajam mendengar pula ucapan Shik Ryeom yang
memohon pada Raja untuk menurunkan dirinya sebagai putra mahkota,
mengganti dengan putra mahkota baru.
"Apakah semua yang hadir setuju dengan pendapat Menteri Shik
Ryeom?" tajam sepasang mata Raja Taejo menyapu seisi ruangan seakan
ingin menjenguk seluruh isi hati pejabat dan pangeran yang hadir.Perang
dingin mulai berkobar di ligkungan istana, andai ia tak mampu
menghentikan, pertumpahan darah pasti akan terjadi. "Katakan, siapa di
antara pangeran yang pantas menjadi putra mahkota, kecuali Pangeran-ke1,
Wang Moo?!" Wang Geon masih mampu menguasai diri, ia ahli dalam hal
ini, ia seorang raja, pantang untuk menunjukkan perasaan sesungguhnya di
hadapan pangeran dan para menteri.
Seisi ruangan kembali sunyi, diam dan canggung, dalam bahasa
yang halus Sang Raja telah menolak permintaan Menteri Shik Ryeom.Para
pangeran tahu, Wang Geon, ayahanda tak perlu bertanya untuk yang kedua
kali. Pangeran Wang Wook yang berhati lembut, tampan, dan bijak,
menghadap ke arah raja, berlutut, “Hambah mohon baginda menarik kembali
pertanyaan, tidak ada satu pun di antara para pangeran yang ingin
menjadi putra mahkota”.
Baek Ah melakukan hal yang sama seperti Wang Wook, berlutut,
diikuti Wang Yo, hingga akhirnya semua pangeran yang hadir ikut
berlutut,berpendapat sama, meminta Raja untuk menarik kembali pertanyaan
itu.
Raja Taejo kini beralih meminta pendapat kepada ahli
perbintangan, Choi Ji Mong, “Bagaimana meurutmu Ji Mong”, tatapan Wang
Geo demikian tajam, sepeh harap. Ia sangat menyayangi Wang Moo, ia tak
hendak memberikan kedudukn Putra Mahkota kepada pangeran yang manapun,
kecuali Pangeran ke-1.
“Bintang Wang Moo adalah royalis, setiap hari selalu bersinar
paling terang di angkasa. Artinya, Wang Moo pantas menjadi putra
mahkota”, Choi Ji Mong berucap dengan takjim, ia harus pandai
menempatkan diri di depan Sang Raja sebagai penguasa tunggal Goryeo.
Wang Geon berwenang menentukan hidup dan mati setiap orang.
“Pangeran Wang Moo selalu bersamaku dalam setiap pertempuran
untuk mendirikan Goryeo. Pangeran ke-1 akan memimpin ritual pengusiran
arwah”, demikian akhirnya Raja Taejo memutuskan, suatu hal yang
menyebabkan Pangeran Yo menunjukkan sikap tidak suka, akan tetapi ia
tidak berani berucap, mulut pangeran itu terdiam.Tatapan matanya masih
setajam belati.
Pertemuan selesai, Raja Taejo meninggalkan singgasana, seluruh
pangeran dan menteri membungkuk hingga bayangan Wang Geon berkelebat
pergi. Menteri Wang Shik Ryeom segera menemui salah seorang istri raja,
Ratu Yoo,ibunda Pangeran Yo, Jung, dan So. Shik Ryeom membisikkan
sesuatu ke telinga pada Ratu Yoo, maka Sang Ratu Yoo tersenyum sinis
sambil berucap, “Hari ini Wang Moo sangat beruntung,ia panjang
umur....”, wajah cantik Ratu Yoo menjadi terlalu dingin, bila Wang Moo
menjadi raja, ia tak akan menduduki kursi ibu suri, suatu hal yang
menyakiti. Ia akan tersingkir dalam kehidupan istana, ia tak akan
berperan apa-apa, hanya seorang ratu yang kalah setelah kematian sang
raja. Ratu Yoo menatap sekitar, ruangan mewah di dalam megah dinding
istana, pakaian yang indah dan terus berganti, hidangan lezat selalu
disajikan dengan rasa hormat oleh pelayan istana. Adakah ia akan mampu
kehilangan semua ini? Ibunda Ratu menghela napas panjang, ia masih
memiliki satu cara untuk menjadi ibu suri.
Tiba-tiba seorang pelayan datang, membungkuk dengan takjim,
“Pangeran So telah datang”, pelayan itu terus membungkuk, tak bergeram,
menunggu jawaban ratu.
“Sampaikan aku sedang sakit, tak bisa menerima kedatangannya”,
Ratu Yoo tak perlu membuang waktu menerima Pangeran Wang So yang telah
datang dari Shinju untuk menghadiri ritual pengusiran arwah, meski ia
adalah putra kandung dan telah menunggu. Wang So nyaris tak memiliki
peluang menjadi raja, wajah cacat itu tidak diperlukan di atas
singgasana. Pangeran ke-4 tak bisa mengantarnya untuk menjadi ibu
suri.Ratu Yoo selalu ingin memasang jarak dengaan So sejauh mungkin,
wajah bertopeng itu selalu menggelisahkan hati.
Pelayan itu mengikuti perintah Ratu Yoo kemudian membungkuk
berlalu dengan hormat, menyampaikan pesan ratu kepada So,”Ratu tengah
sakit, tidak bisa ditemui”.
Jawaban itu singkat, tetapi bagi wang So berubah seakan
tamparan yang mendarat di pipi dengan pedas. Ibunda Ratu selalu menolak
kehadirannya, bukankah ia anak kandung, seperti halnya Yo dan Jung?
Dengan lunglai Panageran ke-4 berlalu, langkahnya gontai, ada sesuatu
yang mengeras di hati.Pada saatnya ia akan bertindak, ia memang telah
mulai bertindak.
***
Sementara di kediaman Pangeran Wang Wook, Ko Ha Jin mengurung
diri di kamar, ia ta kuasa mengadapi hari ini, segalanya tak masuk akal,
berbah dalam sekejab.Kini ia mengerti arti sebenarnya rasa takut,
kehilangan jati diri tercabut dari lingkungan hidup yang nyaman kemudian
terseret pada pusaran arus waktu ang kejam. Ia seorang konsultan pada
rumah kkosmetik di Korea, tiba-tiba harus memerankan diri sebagai Hae
Soe, sepuu ke-6 istri Pangeran Wang Wokk, putra raja Goryeo yang hidup
seriu tahun yang lalu. Mungkinkah? Ha Jin menghela napas berulang kali.
Dunia luar tampak asing dan menakutkan, ia bukan pemain tether yang
dapat dengan handal menjadi orang lain di tengah kehidupan istana yang
penuh intrik,di antara orang-orang yang tak dikenal.Ko Ha Jin memejamkan
mata.Adakah gadis yang bernama Hae Soo mengalami nasib serupa,
tenggelam di dasar kolam?
"Siapakah sesungguhnya aku ini Ko Ha Jin atau Hae Soo?" andai
bisa menjerit, Ha Jin telah berteriak untuk membangunkan seisi istana,
akan tetapi tenggorokkannya tercekik, tubuhnya lunglai.
Ia memiliki kesempatan kedua, akan tetapi mengapa pada diri
orang lain yang tidak dikenalnya. Seumur hidup ia telah belajar untuk
menjadi ahli kecantikan. Kini, ia harus bisa menjadi gadis keturunan
bangsawan. Bagaimana ia harus menjadi Hae Soo. Pengetahuan tentang
Goryeo, bahkan amat terbatas, siapa raja selanjutnya setelah Taejo?
Apakah ia Gwangjong? Ko Ha Jin tak dapat menguasai isak tangis.
Sementara di luar kamar Nyonya Hae dan Chae Ryung terus
berusaha menggedor-gedor pintu dengan cemas. Telah berulang kali
keduanya mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Apa yang telah terjadi pada diri Hae Soo? Nyonya
Hae dan Cae Ryung dilanda kepanikan yang kian lama kian menjadi.
Nyonya Hae yang skit sakitan sungguh mencemaskan keadaan sepupu ke-6. Ia
benar tak mau gadis manis itu berada dalam bahaya, tugasnya adalah
tetap menjaganya.
Pangeran Wook tiba tak lama kemudian, menghampiri Nyonya Hae
yang kini terbatuk-batuk, wajah cantik itu demikian pucat dan
cemas.Wanita bangsawan itu perlu mengatur nafas sebelum berucap,”Tadi
Hae Soo tadi tenggelam dalam air, muncul kembali setelah dua jam. Bahkan
menurut tabib, Hae Soo sempat berhenti bernafas.Ia hidup kembali,
tetapi melupakan segala hal, bahkan namanya sendiri”, Nyonya Hae tak
dapat menyembunyikan rasa cemas, ia sungguh menyayangi gadis itu, ia
tak dapat membayangkan andai Hae Soo akan melakukan sesuatu yang
berbahaya pada dirinya sendiri.
Pangeran Wook tertegun, ia sempat melihat bayangn Hae Soo
berkelebat di kolam pemandian kerajaan dengan pakaian basah kuyup. Gadis
itu berlari menyelamatkan diri sebelum ditangkap pengawal. Kiranya
sebuah kecelakaan telah terjadi. Pangeran ke-8 tahu bahwa istrinya
sangat menyayangi Hae Soo seakan anak kandung. Ia tak bisa menunggu
lebih lama, ia tak punya pilihan, kecuali mengangkat kaki tinggi-tinggi
kemudian menendang daun pintu keras-keras. Terdengar suara berdebum dari
daun pintu yang roboh, lalu diam. Tak berapa lama kemudian Pangeran
Wang Wook melihat gadis itu, Hae Soo meringkuk ketakutan di lantai, ia
tampak sedemikian bingung, tatapan matanya yang padam, menyangkal
keberadaannya saat ini.
Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table
Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New
Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
Pangeran Wook kembali tertegun, ia tak menyangka sepupu ke-6
istrinya, Hae Soo suatu saat akan berada dalam keadaan menyedihkan
seperti ini. Adakah gadis itu telah hilang ingatan, karena musibah kecil
di kolam pemandian Goryeo? Pangeran Wook berwajah tampan, berhati
lembut, dengan bijak mengulurkan tangan dengan tulus, ia harus
melakukan sesuatu untuk gadis yang kebingungan ini. “Aku yang membawamu
ke tempat ini, jangan pernah merasa takut, aku akan selalu membantu
hingga semua kembali seperti biasa”, suara itu halus dan mantap.
Sementara Ko Ha Jin diam-diam semakin heran, ‘Ternyata
Pangeran Wook yang membawaanya ke tempat ini, tetapi pasti selaku Hae
Soo, gadis yang tak pernah dikenalnya, bukan Ko Ha Jin, jati diri yang
sebenarnya’ gadis itu menghela napas panjang.
"Menghindari masalah tak akan mengubah apapun. Engkau harus
kuat" Pangeran Wook masih mengulurkan tangan, wajahnya yang tampan
memancarkan keagungan, seakan meminta kepada Hae Soo untuk mempercayai.
Sesaat Ko Ha Jin terpana, tiba-tiba ia berada dalam situasi
yang sulit dipercaya, ia memiliki jati diri ganda. Andai ingin bertahan
hidup, satu-satunya cara adalah dengan mengakui dirinya sebagai Hae Soo,
sepupu ke-6 Nyonya Hae, istri Pangeran Wook. Ia tidak bisa hadir
sebagai Ha Jin kemudian mengubah kehidupan yang berada di sekitarnya.
Gadis itu menatap sepasang mata Pangeran Wook, ia menemukan binar
cahaya yang jernih dan menentramkan, jauh di dasar hati gadis itu
terpana. Sepasang mata itu berkilau seindah air kolam di bawah pantulan
cahaya senja. Akan tetapi, ia terlalu bingung untuk terpana. Tanpa sadar
Ko Ha Jin mengulurkan tangan, ia segera merasakan genggaman tangan yang
hangat, kokoh, dan meyakinkan.
***
Sementara Pangeran So tengah menenangkan diri setelah
kekecewaan teramat dalam, karena ibunda, Ratu Yoo tidak berkenan
menemui. Seorang anak selalu merindukan ibunda, peluk cium serta kasih
sayang yang menentramkan. Adakah ia pernah merasakan pengakuan dan kasih
sayang itu? Ia, Wang So pangeran tampan bertopeng hanyalah seorang
putra raja yang terbuang. Sesaat So memejamkan mata, ia seakan kembali
ke masa lampau pada usia kanak-kanak, saat paling menakutkan yang
mengawali seuruh perjalanan jidup hingga hari ini.
Ratu Yoo masih secantik Dewi yang turun dari langit, ia
memiliki segala kemuliaan hidup yang tidak dimiliki siapapun di Songak,
kecuali cinta tunggal Sang Raja. Ratu bahkan tidak perlu bertanya, ia
tidak pernah mendapatkan cinta tunggal atau Sang Raja memang tidak
pernah mencintai. Ia telah melkukan tugas sebagai seorang ratu dengan
melahirkan Pangeran Wang So. Duka masih meneka ulu hati, karena kematian
putra sulung, seharusnya Sang Raja masih pula berkabung, akan tetapi
keputusan Wang Geon menikah kembali, terlalu menyakiti hati.
“Adakah Yang Mulia tidak bisa menunda perkawinan sampai hari
berkabung usai, putra sulung belum lama meninggal, mengapa sebuah
perkawinan harus kembali terjadi”, wajah cantik Ratu Yoo dilumuri amarah
dan kesedihan, menjadi permaisuri ternyata tak semudah yang pernah
dibayangkan, ia selalu dibakar api cemburu, Wang Geon selalu membagi
cinta dengan banyak selir. Ia bukanlah satu-satunya wanita dalam
kehidupan Rja Taejo. Sementara Sang Raja adakah satu-satunya suami dalam
hidupnya.
“Perkawinan ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi
Goryeo, pemberontakan tak akan terjadi dari wilayah bagian selatan,
seorang wanita penting di wilayah itu akan menjadi penghuni utama di
istana ini”, Raja Taejo menjawab, ia tak memiliki cara lain untuk
menghentikan pemberontakan kecuali dengan menambah jumlah istri.
Darah Ratu Yoo mendidih, ia harus menerima kehadiran istri raja
yang baru di istana ini, terlalu susah untuk menerima. Sang Ratu
menjadi kalap, ia mencengkeram Wang So kecil, mengancam Raja dengan
menempelkan sebuah belati ke leher So kecil, “Yang mulia bisa memilih,
menikah atau Wang So? Goryeo atau nyawa Pangeran ke-4?”, sepasang mata
Ratu Yoo menatap Raja Taejo dengan berapi-api, setelah kemuliaan hidup,
ia nyaris tak memiliki wewenang apa-apa di istana ini, ia harus pula
mengijinkan Raja menikah dan menikah lagi.
“Ratuku, engkau tidak bisa menghentikan pernikahan ini dengan
mengancam pangeran yang telah engkau lahirkan”, Raja Taejo kukuh dalam
pendirian, ia bahkan tak perlu mengenal perempuan seperti apa yang harus
dinikahi, ia harus menyelamatkan Goryeo dengan perkawinan ini.
Wajah Ratu Yoo semerah bara, api berpijar pada sepasang
matanya, Sang Raja ternyata lebih memilih perkawinan dari pada pangeran
ke-4, Wang So. Dengan geram Ratu Yoo mengayunkan belati, ia tak ragu
membunuh anak kandung, meniadakan dengan keji hasil kerjanya,
melahirkan seorang pangeran. Akan tetapi Raja Taejo bertindak cekatan,
tangannya yang kekar berhasil menangkap tangan Ratu Yoo pada saat yang
tepat. Keduanya bersitegang antara hidup dan mati, satu hal yang
dirasakan So kecil adalah takut, ia masih terlalu mungil untuk berada di
tengah ketegangan itu. Hidup matinya tengah dipertaruhkan oleh dua
orang yang paling bertanggung jawab dalam hidupnya. Ibunda, Ratu Yoo
sangat berani mengambil tindakan berbahaya, api cemburu telah
menyebabkan ia kehilangan akal sehatnya.
Wang So menjerit ketika tajam ujung belati tanpa sengaja
melukai pipi sebelah kiri. Kali ini ia bukan hanya merasa takut, tetapi
juga pedih, karena luka yang sangat dalam, meninggalkan bekas goresan,
wajahnya cacat. Tak ada cara untuk mentupi bekas luka yang buruk itu,
kecuali ia harus mengenakan topeng. Wajah yang semestinya tampan, kini
menimbulkan misteri, bahkan rasa seram, karena selalu tersembunyi.
Pangeran Wang So menghela napas panjang, pertikaian itu telah
menempatkan dirinya sebagai korban. Ibunda permaisuri amat membenci, ia
bahkan tidak menghendaki kehadirannya di tempat ini. Sementara Yo dan
Jung mendapatkan segala kasih sayang dan perlindungan. Ia, cuma seorang
pangeran yang terbuang. So merasa seluruh tubuhnya lemas, untuk yang
kesekian kali ia harus menelan pahit hingga nyeri di ulu hati. Wajah
tampan yang terlihat seram di balik topeng itu menunduk teramat dalam.
Tepat saat itu, Raja Taejo tengah berjalan-jalan bersama Ji
Mong, keduanya berhenti sesaat ketika melihat Pageran So berjalan
gontai dari kejauhan. Ji Moong bertanya , “Adakah Yang Mulia Raja
mengundang Pangeran So ke istana untuk menjadi pelindung Putra Mahkota?”
“Aku bahkan tidak yakin, apakah So bisa menjadi perisai bagi
Putra Mahkota atau sebaliknya, pedang yang akan menikam Pangeran Wang
Moo”, Raja Taejo menghela napas panjang, ia menikahi banyak putri
bangsawan untuk memperteguh Goryeo. Ia memiliki banyak pula anak yang
terlahir sebagai pangeran. Andai hanya ada satu pangeran yang
menginginkan tahta? Bangkai burung itu sudah menjadi bukti, ternyata ada
lebih dari satu pangeran yang berkeinginan duduk di singgasana dengan
cara yang keji pula, merencanakan kematian putra tercinta. Diam-diam
wajah raja besar itu berubah menjadi terlalu tua.
***
Sementara itu Ko Ha Jin sudah mulai menyesuaikan diri menetap di kediaman Pangeran Wook sebagai Hae Soo, jati diri baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Akan tetapi, adakah ia punya pilihan? Maka, sehari-hari ia harus rela dipanggil Hae Soo, nama aneh yang harus diakui dengan tulus hati.
Pagi itu, Chae Ryung mengajaknya berkeliling di rumah besar
yang . Dengan sangat hati-hati , karena alasan hilang ingatan, Hae Soo
banyak bertanya-tanya untuk memahami jati diri Hae Soo yang yang
sesungguhnya. “Apa mainan kesukaan Hae Soo?” Ko Ha Jin bertanya,
seolah-olah ia kehilangan seluruh ingatan.
“Hae Soo suka bermain dengan anak panah dan bulu tangkis, ia
juga menanam salah satu pohon di rumah itu” Chae Ryung menjawab, meski
ia masih merasa heran, sampai sejauh inikah Agassi kehilangan
ingatan? Ia sangat menyayangi Hae Soo, gadis keturunan bangsawan ini
bukan hanya nona besar yang harus dilayani, sekaligus adalah sahabat
sejati.
“Jadi aku suka main bulu tangkis dan anak panah, aku di sini
untuk menemani sepupu ke-6 Nyonya Hae. Namaku Hae Soo dan kau adalah
pelayanku, benar demikian Chae Ryung?” suara itu teramat polos, sepolos
wajah Hae Soo, tetapi Chae Ryung kembali menjadi heran.
“Agassi berbicara terlalu sopan, maaf sekali bukan
demikian cara berbicara dengan pelayan”, Chae Ryung menatap wajah Hae
Soo, benar ada yang salah dengan gadis bangsawan ini, apa yang sesungguhnya terjadi?
Chae Ryung tidak terlalu percaya dengan masalah hilang ingatan. Adakah
Hae Soo pasti berbohong untuk menutupi kesalahan, karena memiliki
hubungan “samar-samar” dengan seorang yang telah beristri atau ia
terjebak dalam urusan hutang piutang.
“Adakah nona benar terlibat hubungan dengan seorang yang telah beristri?” tanpa sadar Chae Ryung bertanya.
Hae Soo terlonjak kaget, "Adakah Hae Soo perempuan semacam
itu? Berpura-pura menjadi wanita baik-baik, tetapi menyelinap pada
malam untuk bertemu pria yang telah beristri?"
"Ah tidak, ia tidak seburuk itu", jawab Chae Ryung cepat, ia merasa
suat hal yang aneh, mengapa Hae Soo membicarakan dirinya seolah dia
sedang membicarakan orang lain? Chae Ryung merasa kembali cemas, Hae
Soo pasti terluka sangat parah sampai ia melupakan segala-galanya,
bahkan seluruh kebiasaan dan kesukaannya.
Diam-diam Hae Soo menyesali ucapannya, mestinya ia diam saja. Chae
Ryung pasti menganggapnya gila bila ia menyampaikan dirinya bukan Hae
Soo, gadis itupun mencoba memperbaiki kesalahannya. “Tapi benar, memang
ada seorang gadis yang merasuki tubuhku ....” Hae Soo menatap Chae
Ryung, dan benar, ia melihat wajah lugu pelayan itu menatapnya dengan
aneh, seolah ia telah kehilangan kewarasan.
“Ah tidak, aku Cuma bercanda ....” Hae Soo tertawa kecil untuk
menepis keraguan Chae Ryung akan dirinya . Saat menggerak-gerakkan
wajahnya, Hae Soo tiba-tiba menyadari kulitnya tampak lebih lembut dan
kencang, gadis itu merasa amat senang, ia tak pernah mendapati kulitnya
seindah ini. Ia sama sekali tidak pernah tahu, wanita yang hidup di
zaman Goryeo merawat kulitnya amat baik dengan rutin mengkonsumsi. Chae
Ryung diam terpana, melihat sikap aneh sang nonanya. Sebenarnya ia tengah berhadapan dengan siapa?
***
Sementara di menara tempatnya bekerja Ji Mong tengah asyik
membuat teropong bintang dari bambu. Para pangeran datang tak lama
kemudian , menatap terkagum-kagum benda aneh yang tergantung di
langit-langit. Ji Mong tahu arti tatapan itu, “Benda itu namanya
pesawat, adalah benda yang bisa terbang di angkasa seperti burung.
Suatu saat nanti, di masa depan akan digunakan oleh keturunan mereka
untuk bepergian ke tempat yang jauh, negeri asing.” Ji Mong menjelaskan
seolah ia telah tahu kejadian seribu tahun ke depan setelah para
pangeran lahir dan dibesarkan.
Seluruh pangeran memang kagum dengan benda asing yang
dijelaskan sebagai pesawat, namun tidak dengan Yo , “Omong kosong....”
ia menyangkal tanpa perlu jawaban kemudian bertanya, “Apakah benar
demikian ramalan bintang Putra Mahkota?” sepasang matanya yang tajam
menatap Ji Mong.
“Saya tidak perlu berbohong, kepandaian manusia di masa depan
akan mampu menghadirkan pesawat terbang ”, Ji Mong tersinggug dengan
ucapan omong kosong Pangeran Yo, pangeran yang angkuh itu tidak akan
mampu melihat masa depan, ia bahkan tidak pernah atau belum menyadari
telah diperalat oleh ibunda ratu yang dicintai.
“Kalau benar tidak ada kebohongan, maka bagaimana peruntungamku
hari ini”, Baek Ah menantang Ji Mong untuk membaca peruntungannya. Jika
peruntuungan itu benar, maka ia akan menganggap ramalan Ji Mong tentang
Putra Mahkota juga benar.
“Pangeran Baek Ah ditakdirkan beruntung dengan para wanita”, jawab Ji Mong dengan yakin.
“Semua orang juga tahu kalau setiap wanita menyukai Baek Ah.
Sekarang kita semua sudah dewasa, tidak perlu lagi percaya lagi dengan
ramalan Ji Mong”, Pangeran Eun dengan jenaka menanggapi ramalan Ji Mong,
maka meledaklah tawa para pangeran. Suasana menjadi hangat, Ji Mong
hanya mengerutan kening, para pangeran biasa bercakap sekehendak hati,
maklum mereka adalah putra orang yang paling berkuasa. Suara canda ria
itu membuat menara bintang menjadi seru.
“Eh, tapi mengapa So tidak datang untuk mengucap salam, bukankah ia telah tiba di istana?” Yo mengalihkan percakapan.
“So telah memenggal leher kuda dengan kepala dingin ketika
sampai di istana”, Jung menambahkan cerita, ia telah mendengar tentang
tindakan So yang seram.
"Kalau tindakannya seperti itu, lebih baik ia tidak usah menyapa" ujar Yo
"So hidup menderita di Shinju, betapapun ia tetaplah saudara," Eun
menyanggah kata-kata Yo, ia satu saudara k andung dengan Pangeran ke-4,
akan tetapi betapa jauh jarak memisahkan.
Tiba-tiba bayangan Pangeran So berkelebat datang, nyaris tanpa
suara, duduk dengan sikap dingin –terlalu dingin. Para pangeran terkejut
dan diam-diam ketakutan dengan sikap dingin So, sementara topeng itu,
menyebabkan penampilan Pangeran ke-4 benar menyeramkan. Pangeran Wook
yang bijak segera mengambil sikap, “Senang melihatmu hadir Pangeran
ke-4”.
“Senang juga melihatmu”, So menatap setiap pangeran sekilas,
kemudian berlalu pergi. Kepergian itu berarti suasana kembali hangat,
sikap So melebihi seorang yang asing dan menakutkan.
***
Di lingkungan istana Hae Soo sedang berjalan-jalan dengan Chae
Ryung, pelayan itu selalu mendampingi kemana pun Hae Soo pergi, ia tak
pernah keberatan mengerjakan tugas ini. Dari kejauhan, Hae Soo tiba-tiba
melihat Pangeran Wook sedang berjalan-jalan pula dengan Nyonya.
Keduanya seakan pasangan suami istri yang mencinta dan saling mengasihi.
“Bukankah mereka Pangeran Wook dan Nyonya Hae?” Hae Soo bertanya, ia
ingin tahu bagaimana sebenarnya sosok Pangeran ke-8 di lingkungan
istana.
"Benar, Pangeran Wook adalah pria terbaik di seluruh Goryeo.
Dia berpendidikan tinggi seperti halnya para cendekiawan, dia yang
terbaik diantara 25 pangeran. Banyak pihak berpendapat, semestinya bukan
Pangeran ke-1 yang menjadi putra mahkota, Pangeran Wook lebih pantas
menjadi penerus raja," Chae Ryung menjelaskan.
Apakah Pangeran Wook kelak menjadi Raja Gwangjong menggantikan Raja Taejo?
Hae Soo menatap Pangeran Wook dari jauh dengan sebuah pertanyaan
mengganjal. Pangeran ke-8 bersikap sangat baik terhadap Nyonya Hae yang
sakit-sakitan, ia membantu pula perempuan bangsawan itu mengenakan
sepatu. Hae Soo teringat pada sikap Pangeran Wook yang lembut, ketika ia
mengulurkan tangan pada saat yang paling menggelisahkan, ketika ia
bimbang mengenali jati diri. Hae tahu, ia bisa mempercayai Wook.
Diam-diam Hae Soo terus menatap Pangeran Wook dengan penuh
kekaguman. Putra raja itu memiliki sikap sebagai pangeran sejati.
Pangeran Wook menyadari bila Hae Soo tengah menatapnya berlama-lama,
suatu hal yang tak akan berani dilakukan seorang gadis di Goryeo.
Pangeran Wook membuang pandang, kembali menatap Nyonya Hae, ia tidak
pernah merasa yakin mencintai atau mengucapkan kata cinta kepada
satu-satunya wanita yang telah dinikahi, akan tetapi ia wajib bersikap
santun selayaknya seoraang suami yang mengasihi istri.
Tiba-tiba seorang gadis berpakaian selaku putri raja datang,
menatap Hae Soo dengan penuh teguran, berucap tegas, “Sangat tidak
sopan menatap pria yang telah beristri”.
ia adalah Putri Yeon Hwa, putri raja itu berwajah sangat cantik, kulitnya sehalus batu pualam, rambutnya yang legam terurai dihias dengan tusuk kode emas bertahta batu permata, tata rias mengukuhkan seluruh penampilannya.
ia adalah Putri Yeon Hwa, putri raja itu berwajah sangat cantik, kulitnya sehalus batu pualam, rambutnya yang legam terurai dihias dengan tusuk kode emas bertahta batu permata, tata rias mengukuhkan seluruh penampilannya.
Chae Ryung segera membungkuk hormat, ia tahu apa yang harus
dilakukan ketika berhadapan dengan Putri Yeon Hwa, putri cantik yang
keras hati. Akan tetapi, Hae Soo tidak mengenal putri cantik ini, ia
hanya menatap wajah angkuh yang ia yakin dapat bertindak apa saja sesuai
keinginan hatinya. Tiba-tiba Hae Soo merasa tidak nyaman, andai ia
dapat menghindar dari kehadiran Putri Yeon Hwa. Gadis itu masih tetap
menatap seorang putri raja tanpa membungkuk, satu hal yang membuat Chae
Ryung menjadi panik. “Agassi harus membungkuk, memberi hormat
kepada Putri Yeon Hwa”, Chae Ryung berbisik, tapi jarak dengan Putri
Yeon Hwa terlalu dekat, Putri cantik itu bisa mendengar bisikannya.
"Biarkan saja, kudengar dia hilang ingatan, sepertinya dia juga
kehilangan sopan santun. Tidak ada salahnya kalau kau belajar dari
awal" Yeon Hwa berucap dengan manis, tetap di telinga Hae Soo terdengar
amat pedas. Ia sungguh tidak bersimpati kepada putri ini, Hae Soo belum
juga membungkuk, ia masih menatap Yeon Hwa dengan pandangan tidak
bersahabat. Pada era milenium kedua, sikap semacam ini, dari seorang
putri raja pun tidak bisa dimaklumi.
Yeon Hwa masih tersenyum manis, “Kalau engkau masih berani
menatap seorang yang telah beristri, aku akan bertindak dengan kasar “,
di istana Goryeo, Yeon Hwa adalah bunga tercantik, tidak ada satu hal
yang membuatnya tidak berani, ia adalah putri kesayangan Raja Taejo.
Bagi Yeon Hwa, Hae Soo hanyalah gadis kecil yang malang, ia bersikap
leluasa untuk menyatakan rasa tidak senang.
Hae Soo masih menatap Yeon Hwa tanpa sedikit pun rasa takut, ia
cukup maklum akan perilaku seperti ini. Perilaku seorang wanita
berkuasa yang dapat bertindak semena-mena dengan orang lain bagi
kepentingannya. Wajah angkuh itu tak membuatnya gentar , "Kalau engkau
tidak menyukaiku, tidak apa-apa. Engkau cuma mencari alasan supaya bisa
berkuasa atas diri orang lain. Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa
diperlakukan seperti itu," Hae Soo tidak sedikit pun bergeming di depan
Yeon Hwa, seorang putri raja bermulut manis tetapi tak memiliki kebaikan
hati, selalu mencari kesalahan orang lain untuk menunjukkan
kewenangannya.
Yeon Hwa terperangah, sepasang matanya yang tajam terbelalak
lebar, sikap dan kata-kata Hae Soo terlalu lancang bagi seorang putri
raja. “Rupanya engkau cuma seorang perempuan jalang”, suara itu masih
setajam mata pisau, terdengar seakan ular yang mendesis. Putri Yeon Hwa
benar-benar dibakar amarah, tak pernah dalam hidupnya seorang gadis
malang berani melawan kata-kata Putri Raja Taejo. Gadis cantik itu
semakin marah, karena Hae Soo masih berdiri tegak tanpa membungkuk,
sepasang matanya yang indah membesar, menatapnya dengan benci.
Dari kejauhan Pangeran Wook dapat melihat adik kandungnya,
Putri Yeon Hwa dan Hae Soo bersitegang, ia tidak tahu apa masalahnya,
tetapi harus cepat mengambil tindakan sebelum perdebatan kecil itu
menjadi masalah yang semakin membesar. Dengan sigap Pangeraan Wook
melangkah kemudian membimbing Hae Soo ke perpustakaan. Pangeran ii
kembali tertegun, ketika melihat Hae Soo cuma menatapnya dalam diam.
“Hae Soo, sejak kecelakaan itu sepertinya engkau lupa cara menyapa
orang”, suara itu lembut dan bersahaja, sangat berbeda dengan nada
suara Putri Yeon Hwa yang manis, tetapi melukai.
Tanpa sadar Hae Soo segera membungkukan badan, menyapa Pangeran Wook dengan istilah seribu tahun ke depan, "Annyeonghaseyo".
"Bila benar hilang ingatan, engkau pasti tidak ingat kepadaku",
Pangeran Wook menatap Hae Soo dengan iba, ada kepolosan dalam diri
gadis ini yang menyejukkan hati
"Saya dengar anda adalah Pangeran ke-8," Hae Soo menjawab, ternyata
tidak mudah menjadi orang lain, terlebih ketika berhadapan dengan Putri
Yeon Hwa yang angkuh, selalu merasa berkuasa atas diri orang lain. Kini
ia harus berhadapan langsung dengan Pangeran Wook untuk menerima
nasehat.
Pangeran Wook termangu, ia berhadapan dengan seorang gadis yang
tidak m ampu mengingat siapa dirinya, bagaimana tunduk dengan tata cara
di istana? Apa yang dapat dilkukan seorang gadis dengan ingatan
terhapus untuk memulai kembali kehidupan yang lesap? “Apa yang akan dan
dapat engkau lakukan sekarang? Saya ijinkan engkau melakukan suatu?” Hae
Soo adalah sepupu ke-6 Nyonya Hae yang telah dianggap sebagai anak
kandung, ia bertanggung jawab pula terhadap kelangsungan hidup gadis
ini. Atau Nyonya Hae akan menjadi sangat kecewa.
“Engkau bisa mendapatkan pengobatan atau pulang kembali ke
kampung halaman. Engkau akan kesulitan tinggal di sini dalam keadaan
hilang ingatan, tata cara di istana sangat ketat”, Wook masih menatap
Hae Soo, ada satu perasaan yang sulit ditafsirkan, tetapi ia harus
melakukan satu hal, memberikan yang terbaik bagi gadis cantik yang
malang ini.
Hae Soo menatap Pangeran Wook dengan heran, “Mengapa Pangeran
ke-4 harus bertanggung jawab atas nasib saya, meski saya adalah sepupu
Nyonya Hae. Saya bukan jenis manusia yang biasa menerima sedekah orang
lain, saya bisa bertanggung jawab atas diri saya sendir”, demikian Hae
Soo menjawab sehalus mungkin, ia tidak ingin menyinggung hati pangeran
yang budiman ini.
“Kata-katamu susah dimengerti,” Wook menghela napas panjang,
perilaku Hae Soo benar aneh, amat berbeda dengan sikap sebelum mengalami
musibah di pemandiam air panas.
“Saya minta ijin untuk tetap tinggal di tempat ini, saya tidak
bisa pergi ke tempat lain, tidak ada satu tempat pun yang saya kenal”,
suara itu penuh permohonan, Hae Soo tidak bisa membayangkan andai harus
meninggalkan Nyonya Hae yang baik hati, tak seorang pun dikenalnya di
dunia ini, ia akan mati dengan sia-sia.
Sjenak Pangeran Wook memejamkan mata, ia benar-benar berada
dalam keadaan sulit untuk membantu gadis ini. Pikirannya menjadi buntu,
bagaimana ia mesti mengajarkan dari tingkat dasar tata cara hidup di
istana terhadap seorang gadis y ang kehilangan seluruh ingatan dan
kenangan atas hidupnya. Pangeran Wook berdiri, ia berjalan menelilingi
perpustakaan tanpa tahu apa yang seharusnya ditemukan, ia harus tahu
arti rasa bingung. Hae Soo mengikuti langkah sang pangeran dari belakang
tanpa menyadari tindakannya benar atau salah. “Saya dapat kembali
mempelajari segala sesuatu, saya tidak akan menjadi beban bagi keluarga
pangeran....”
Hae Soo masih akan terus berucap, tetapi tiba-tiba Pangeran
Wook menghilang di antara rak. Hae Soo berbalik mencarinya, saat itu ia
bahkan hampir bertubrukan dengan Pangeran Wook. Mereka berdiri dalam
jarak yang sangat dekat hingga Hae Soo terpana, gadis itu menjadi
sangat tegang karena kedekatan itu, tetapi keduanya tidak berusaha
untuk menjauh.
"Engkau seperti orang yang berbeda, cara bicara dan perilakumu
tidaklah sama. Kita tidak pernah sedekat ini”, akhirnya Pangeran Wook
mengeluh. Sungguh ia tidak pernah mengenal saudara sepupu ke-6 Nyonya
Hae dengan kata-kata dan sikap seperti ini. Ada yang salah dengan Hae
Soo, tetapi apa yang harus ia lakukan?
“Baik, saya tidak akan mempermasalahkan, tidak akan memaksamu
untuk mengingat atau apakah engkau memata-matai para pengeran. Saya
hanya ingin, engkau tidak membuat Nyonya Hae merasa cemas”, akhirnya
Pangeran Wook memutuskan, ia tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap
lebih baik bagi Nyonya Hae selaku istri dan keponakannya.
Hae Soo tersenyum girang, “Baik .... Baik saya akan selalu
membuat Nyonya Hae tidak merasa cemas ....” gadis itu membungkuk, tanpa
menunggu persetujuan segera berlalu meninggalkan perpustakaan,
meninggalkan Pangeran Wook dalam keadaan terpana.
‘Hae Soo yang berbeda dan aneh ....’ jauh dalam hati Pangeran Wook bergumam.
***
Sementara itu Pangeran So masih selalu hadir dengan topeng
menutupi pipi sebelah kiri, sedikit celah di sekitar mata menjadi
keleuasaan untuk menatap dunia luar. Seandainya wajah itu tak pernah
cacat, sesungghnya Wang So paling tampan dari semua pangeran, sikapnya
yang dingin menyebabkan siapa pun menadi seram. Pangeran So
melihat-lihat buku yang tersusun rapi di dalam, ia sunggu menyesal
mendapati beberapa judul buku dengan gamar porno. Ji Mong tiba-tiba
muncul di belakang Pangeran ke-4, berucap, “Itu buku baru, apakah
Pangeran So berniat membaca?”
Wang So tidak menjawab, ia melempar buku porno itu dengan rasa
kecewa, suara dingin ketika bertanya pada Ji Mong, “Mengapa ingin
bertemu?”
“Dayang istana yang menyajikan makanan beracun bagi Putra
Mahkota, ditemukan tewas gantung diri. Saya tidak yakin ia membunuh
diri, pembunuhan itu disamarkan sebagai tindak bunuh diri. Pelakunya
adalah seorang yang menginginkan tahta, di seputar istana, kemungkin
pula salah satu pangeran”, wajah Ji Mong tampak sedemikian mendung,
upaya pembunuhan Putra Mahkota menandaan, bahwa kehidupan di seputar
istana tidaklah aman. Kematian demikian dekat, bahkan bagi seorang yang
memiliki kedudukan menentukan, tahta bukanlah kursi penyelamatan.
"Bisakah Pangeran So menemukan pelakunya", Ji Mong meminta.
"Engkau mengira aku seekor anjing?" jawab Wang So dengan sinis
"Orang-orang selalu memanggilku anjing serigala. Sekarang engkau sungguh
beranggapan demikianlah Pangeran ke-4", Pangeran So selalu menatap
dunia ini dengan pahit sama seperti pengalaman hidup, ketika ia
kehilangana cinta seorang ibu kemudian dibuang ke Shinju, hidup seakan
seorang tawanan.
“Jika Pangeran So tidak ingin lagi hidup sebagai tawanan dan
kembali ke Songak, maka saat ini adalah kesempatan yang baik”, Ji Mong
selalu bersabar menghadapi sikap setiap pangeran, terlebih Wang So, ia
tahu duka hati pageran ini.
“Engkau yakin aku mempercayai kata-katamu?” So tak pernah
menatap saat berbicara dengan Ji Mong, terlalu sulit baginya mempercayai
setiap orang.
“Maaf sekali Pangeran, Putra Mahkota menginginkan”, Ji Mong
selalu memiliki jawaban, ia tak bertemu dengan Pangeran untuk suatu hal
yang sia-sia.
Wang Moo, Sang Putra Mahkota datang tak lama kemudian bersama
Choi dengan penjelasan menegangkan, “Seekor burung pipit menyampaikan
kabar, ada rencana pembunuhan Putra Mahkota pada ritual pengusiran arwah
nanti”, Chi membuka pembicaraan.
“Jika So berhasil menangkap pelakunya , permintaanmu akan dikabulkan”, Putra Mahkota memberikan penawaran.
“Aku ingin tinggal kembali di Songak”, Pangeran So menerima
tawaraan itu, ia berada di pihak Putra Mahkota.Pageran Moo yakin Wang So
tidak terlibat dalam rencana pembunuhan, karena ia tidak menetap di
istana seperti halnya pangeran yang lain, ia memiliki alasan supaya Wang
So menjadi sekutu.
***
Di tempat lain, di lingkungan istana Hae Soo ikut serta
menghias lentera menjadi bentuk bunga teratai bersama Nyonya Hae dan
putri Yeon Hwa, tetapi sesungguhnya ia tidak pernah mengerjakan hal-hal
semacam ini, ia merasa sulit, berulang kali gagal menempelkan hiasan.
Putri Yeon Hwa yang jelita melirik dengan sinis, ia heran, mengapa
seorang gadis keturunan bangsawan yang menetap di kediaman Pangeran
Wook, saudara kandung bisa setolol ini. “Hae Soo, lebih baik engau
istirahat”, suara Yeon Hwa selalu merdu, tetapi terdengar pedas,
terlebih di telinga Hae Soo.
“Tidak apa-apa, biarkan saya tetap mengerjakan”, Hae Soo
menolak perintah Putri Yeon Hwa, ia selalu tidak nyaman berada di dekat
putri cantik ini, keangkuhannya sungguh menyebalkan. Mengapa seorang
putri raja bisa sedemikian angkuh, sungguh berbeda dengan Pangeran Wook
yang rendah hati.
“Dulu engkau selalu pandai menghias lentera, sekarang segalnya
berubah. Lebih baik engkau mengerjakan hal lain yang lebih mudah,
membuat lem”, Yeon Hwa memerintahkan Hae Soo untuk mengejarkan yang
lain, ia merasa kehadiran gadis ini menjadi suatu hal yang aneh, akan
tetapi Nyonya Hae amat menyayangi Hae Soo. Yeon Hwa melirik Hae Soo
dengan sinis, ia senang ketika Hae Soo menyingkir untuk membuat lem,
lebih baik menjaga jarak dengan gadis aneh ini.
Hae Soo meninggalkan ruangan, ia berdiri di dekat tungku api,
mengaduk lem di dalam belanga besar dan harus mengaduk aduk benda panas
yang terus melengket itu dengan susah payah. Ternyata tidak mudah, ia
harus mencurahkan seluruh tenaga dengan sia-sia. Rupanya Yeon Hwa
sengaja menyingkirkan untuk melakukan perkejaan yang mustahil, Hae Soo
tahu, ia tidak akan pernah berdamai dengan putri cantik yang angkuh itu.
Hae Soo merasa sungguh lelah, ia memutuskan
istirahat sebentar, merebahkan diri kemudian kembali bangkit sambil
menggerak-gerakkan badan. Suatu hal aneh dan konyol yang tidak pernah
dilakukan seorang pun di lingkungan istana. Tepat saat itu Pangeran Wook
melintas, ia menjadi heran saat melihat Hae Soo melakukan
gerakan-gerakan aneh. Tak sekalipun ia pernah melihat gerakan seperti
itu, Hae Soo sungguh telah menjadi gadis asing yang berbeda sama sekali.
Gadis itu tampak lugu sekaligus lucu.
Beberapa saat kemudian Hae Soo teringat dengan pekerjaannya, ia
kembali mengaduk-aduk lem dan menyadari Wook yang sedang menatapnya.
Sambil tersenyum jenaka, Hae Soo berucap, “Putri Yeon Hwa menyuruh saya
membuat lem”.
Pangeran Wook merasa geli, mestinya tugas seorang gadis adalah
menghias lentera, bukan membuat lem. "Engkau telah berjanji akan
mempelajari semuanya dan menghadapinya sendiri. Sepertinya kerjamu
bagus, engkau orang yang cukup hebat", wajah tampan itu tampak
tersenyum, sesaat kemudian Pangeran Wook berlalu.
Pageran ke-8 bergabung bersama saudara-saudaranya yang tengah
berlatih tari pedang. Semuanya berlatih dengan dengan baik, kecuali Eun,
pangeran yang satu ini tampak kurang cekatan. Saat menerima teguran,
ia tersinggung, menghentikan latihan. Semua pangeran memutuskan untuk
istirahat sebentar dan berkumpul di paviliun. Won membuka pembicaraan,
bertanya, “Benarkah Yang Mulia Raja akan menyerahkan tahta kepada Putra
Mahkota?”. Pertanyaan itu menyebabkan Ji Mong nyaris tersedak, karena
terkejut. Ia tahu apa yang harus dilakukan, menyingkir dari tempat ini,
dengan alasan mau menemui Putra Mahkota.
“Hati-hati berucap, bila Yang Mulia Tahu, beliau akan marah besar”, Pangeran Wook menjawab.
“Bukan Cuma Won yang ingin jawaban, Ji Mong juga tidak
menyangkal kabar ini”, Pangeran Yo membela Won. Bila Yang Mulia
menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota, berarti ia akan tetap menjadi
pangeran.
Sesaat kemudian suasana di arena latihan tari pedang kembali
diam. Pergantian tahta adalah perubahan besar di lingkungan istana,
setiap pangeran akan terlibat secara langsung di dalamnya. Benarkah?
Pertanyaan itu diam-diam berpusing di dalam kepala setiap pangeran.
***
Sementara itu Hae Soo benar-benar merasa lelah bekerja membuat
lem, lelah dan gerah. Setelah istirahat sejenak, Hae Soo melangkah untuk
mengendurkan urat saraf yang tegang. Saat itu tampak Ji Mong tengah
melitas, mata tajam Hae Soo melihat bayangan ahli bintang itu
berkelebat. Hae Soo teringat wajah itu serupa benar dengan ahjussi
–gelandangan di tepi danau sebelum ia tenggelam. Hae Soo berlari
mengejar Ji Mong, ia perlu mengatakan sesuatu. Akan tetapi, sampai di
luar istana ia kehilangan jejak, bayangan ahli bintang itu lesap dari
batas pandang. Hae Soo terdiam, mengeluh jauh di dalam hati.
Saat itu, Pangeran So dengan wajah bertopeng tampak memacu
kuda. Sikapnya yang dingin menyebabkan para pejalan kaki panik,
berhamburan menghindar. Lebih baik tidak bertemu dengan wolf dog
dari pada harus mengalami hal-hal yang seram. Akan tetapi, Hae Soo
baru melihat Pangeran So memacu kuda ke arahnya beberapa saat kemudian.
Seorang pejalan kaki tak sengaja menyenggol Hae Soo, gadis itu
kehilangan keseimbangan, tubuhnya limbung, nyaris terjatuh ke dalam
sungai, gadis itu menjerit. Ia akan kembali mengalami musibah.
Akan tetapi, Pageran So bergerak secepat kilat
menyelamatkannya, menggapai tubuh Hae Soo, mengangkat gadis itu ke atas
kuda. Hae Soo terpana, ia tidak pernah mengenal pemuda itu, wajahnya
yang tampan tertutup topeng, sikapnya dingin membeku. Seperti dalam
mimpi, tiba-tiba Hae Soo telah berpacu di atas punggung kuda, berada
dalam jarak teramat dekat dengan seorang tak dikenal. Ia tidak terjatuh
ke dalam sungai ....
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar