Rabu, 29 Mei 2019

ISTANA PASIR --Kisah Seorang Penderita HIV/AIDS, KELIMA









Maret tengah membaca cerita roman
tulisan Arthur Golden, berjudul
Geisha, sebuah kisah nyata Nita
Sayuri yang menjadi perbincangan pengamat
sastra di seluruh dunia. Hari ini gadis itu
tengah asyik menekuni hobinya, kelak ia
akan lebih asyik, karena Steven Spelberg
telah membuat pula filmnya. Gadis itu terlalu
asyik, sehingga ia terkaget ketika tiba-tiba
Anita telah duduk di dekatnya. Mereka
berada pada kamar sederhana yang menjadi
nyaman, karena kerapian dan kebersihan,
tak ada barang mewah di kamar itu, kecuali
sederet buku kuliah milik Maret yang akan
selalu dipelihara dengan sebaik-baiknya. Dari
jendela menghembus angin segar seakan
membawa pula aroma buah mangga yang
telah sampai pada penghujung musim.
“Maret, maaf aku mengganggumu”,
suara Anita pelan dan berhati-hati, ia
sungguh amat mengasihi sahabat yang
telah membantu menyelamatkan seluruh
hidupnya.
“Eh, Anita.... astaga kau tampak cantik
dan segar sekali. Pekerjaanmu pasti amat
menyenangkan, kau telah banyak berubah
sekarang”, Maret mengamati Anita dari
dekat, ia melihat begitu banyak perbedaan
pada diri Anita setelah beberapa bulan
tinggal di kota. Tampaknya gadis itu telah
dapat melupakan kepedihan hidupnya.
“Kalau ada terjadi hal yang baik
tentang diriku, itu karena engkau yang
banyak membantuku, untuk itu aku wajib
mengucapkan terima kasih. Akan tetapi,
betapapun tulusnya kebaikanmu, aku
harus tahu diri, telah cukup lama aku
merepotkanmu. Aku tahu engkau tak pernah
berkeberatan dengan segala yang telah
engkau lakukan, tapi kukira sudah saatnya
aku berpamit. Jangan engkau marah Maret,
aku tak bermaksud menolak kebaikanmu,
aku harus belajar hidup mandiri dengan
segala yang dapat kumiliki. Aku telah
mendapatkan tempat kost, kuharap engkau
tak berkeberatan pula melepasku pergi, aku
akan tetap mengatur waktu untuk tetap
berkunjung ke tempatmu, engkaulah satu-
satunya yang masih tersisa”, tanpa terasa
sepasang mata Anita menjadi basah, ia tahu
akan sulit baginya berpamit pada Maret.
Akan tetapi, betapa tidak nyaman terus
menerus tinggal menumpang di rumah
orang, sekalipun ia demikian baik dan
santun.
“Engkau akan pindah kemana?” Maret
tampak terkejut, tak pernah terbersit barang
sedikitpun untuk meminta gadis ini pergi
meninggalkan rumah sewanya. Anita tak
pernah memberikan gangguan apa-apa, ia
juga tak rugi apa-apa dengan kehadiran
Anita.
“Aku telah menyewa kamar agak jauh
dari rumah ini, terima kasih untuk semua
kebaikanmu....” Anita tak dapat meneruskan
kata-katanya, ia segera menghambur ke
dalam pelukan Maret. Apa jadi dirinya tanpa
sahabatnya?
Maret tak dapat membendung air
matanya, ia tahu benar kesulitan hidup
Anita, gadis itu sebatang kara, ia memiliki
segala sesuatu yang didamba seorang
anak, yaitu kasih sayang dari kedua orang
tuanya. Adapun Anita, ia tak memiliki
sesiapapun kecuali dirinya, rasa pekewuh
menyebabkan gadis itu harus melepaskan
diri dari kebaikannya. Ah! Harga diri ternyata
menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Di luar senja turun dengan cepat dalam
warna tembaga, kesiur angin kian kencang,
udarapun menjadi dingin. Dari arah jalanan
terdengar suara penjual bakso menjajakan
jualan, pada hari-hari biasa suasana semacam
ini akan terasa biasa pula. akan tetapi
perpisahan tetap menjadi suatu hal yang
menimbulkan suasana duka. Maret tak perlu
lagi bertanya, selama Anita tinggal di rumah
ini mereka hampir tak pernah berselisih
hingga tumbuh raa dendam. Perpisahan ini
tentu bukan terjadi, karena dendam, akan
tetapi karena Anita berkeputusan untuk
hidup mandiri.
“Baiklah kalau itu kemauanmu, aku
akan mengantarmu pergi ke rumah kost
yang baru”, kata-kata Maret demikian tulus
seperti halnya tatapan matanya, Anitapun
yakin akan hal itu.
Keesokan harinya kedua gadis itu
menyewa taksi untuk membawa seluruh
“harta benda” Anita yang terdiri atas pakaian,
alat makan pemberian Maret dan benda-
benda pernik lainnya. Anita menyewa kamar
pada sebuah rumah kost yang ditempati
pula oleh beberapa pegawai pemerintah
dan karyawan toko, ia memiliki banyak
kawan baru yang terbengong-bengong oleh
kecantikannya. Maret menemaninya ke toko
untuk membeli tempat tidur, almari, meja
rias, karpet, dan keperluan lainnya. Anita
tampak gembira, Maret senang pula melihat
kegembiraan Anita, sahabatnya itu telah
memulai sebuah kehidupan baru.
Anita memulai kehidupannya dengan
gembira, ia bangun pagi, merapikan tempat
tidur, pergi mandi, sarapan dengan kue kering
atau roti tawar isi mentega dan selai yang
dibelinya di waserba tak jauh dari tempatnya
tinggal kemudian berkemas dengan pakaian
seragam dan tata rias sederhana yang justru
memancarkan kecantikannya. Pekerjaan
di rumah makan semakin hari semakin
menyenangkan, tiap kali ia menerima tip atau
uang kembali dari para tamu yang merasa
nyaman dengan pelayanannya. Wajah Anita
tampak semringah, karena kegembiraan, ia
memiliki pekerjaan, gaji yang cukup, rekan
kerja yang hangat, tuan yang bersimpati.
Akan tetapi, Talitha adalah sebuah soal yang
tak bisa dianggap ringan. Wanita itu tak
pernah kehilangan kontrol atas segala gerak
laku Anita, meski gadis itu tak pernah nyata-
nyata menunjukkan perhatian khusus pada
sang tuan. Kecantikan Anita yang sering
menjadi pembicaraan hangat seisi rumah
makan beserta seluruh tamu adalah tanda
bahaya bagi Talitha. Wanita itu, sang nyonya
tetap waspada.
Malam itu Anita pulang lebih larut dari
biasa, karena serombongan tamu berpesta
dan memohon ijin untuk pulang lebih
lambat, mereka perlu “bersenang-senang”
setelah hari-hari yang melelahkan. Jarum
jam hampir menunjukkan pukul 24.00 WIT
ketika Anita telah selesai mengemasi seluruh
perlengkapan makan, membersihkan ruang
makan, mencuci tangan, dan iapun bersiap
pulang. “Mari kuantar, sudah terlalu malam”,
Titan memberikan penawaran pada Anita.
Adakah seorang bawahan mempunyai
alasan kuat untuk menolak jasa baik sang
tuan? Anita mengangguk, ia tak banyak
berulah ketika duduk di samping Titan,
berjalan menyusuri jalanan berkabut. Udara
di penghujung bulan Juli sama dinginnya
dengan kulkas jebol, salju yang berguguran
di Australi menghembuskan udara dingin
hingga ke kota ini, maka jalananpun
menggigil di telan halimun. Keduanya
duduk tanpa berkata-kata, Anita merasa
amat lelah setelah kerja seharian, sepasang
matanya terasa berat, tetapi ia bertahan
untuk tidak tertidur.
Ketika akhirnya mobil berhenti di depan
rumah, Anita merasa tenaganya hanya
tinggal sisa, ia hendak mengucapkan terima
kasih dengan sikap sesantun mungkin, akan
tetapi gadis itu tertegun ketika tiba-tiba
Titan mencium pipinya. Anita terpaku, ia
tak pernah menduga akan gerakan itu, ia
pernah merasa demikian ketakutan, karena
sebuah pengalaman yang terlalu buruk akan
hubungannya dengan lawan jenis. Saat itu
sebuah lampu menyorot dengan amat tajam,
Anita terkejut, ia tak sadar betapa exkpresi
itu semakin menambah daya tariknya. “Aku
besok keluar kota, sampai nanti setelah
semua urusanku selesai”, Titan berpamit.
Seperti linglung Anita mengangguk, langkah
gadis itu seakan mengambang ketika ia
keluar dari mobil dan melangkah perlahan
menuju tempat tinggalnya, ia bahkan terlupa
untuk sekedar mengucapkan terima kasih.
Anita tak seluruhnya menyadari apa
yang sebenarnya telah berlaku, akan tetapi
malam ini ia menjelang tidur dengan amat
nyaman dan bermimpi dengan indah.
Keesokan paginya ia bangun terlambat,
Anita tahu ia membuat kesalahan, sebab itu
ia bersiap diri secepat mungkin. Ia adalah
karyawan yang baik, ia tak pernah datang
terlambat. Anita berharap akan menjelang
hari-hari yang menyenangkan seperti biasa,
tetapi harapannya kandas, kelambatannya
telah ditunggu seorang yang sangat penting,
yang akan mengubah seluruh hidupnya.
“Nyonya menunggumu di ruang kerja
sekarang”, Urin menyambut kehadiran
Anita.
Anita belum sempat melakukan apapun
di tempatnya bekerja, tetapi ia tak punya
lain, nasibnya ada di tangan sang nyonya, ia
harus menurut terhadap semua perintahnya.
Sekejab kemudian Anita telah berhadapan
dengan tatapan dingin Talitha, sepasang mata
wanita itu nyata-nyata telah mengulitinya.
Kegembiraan Anita seketika lenyap, ia telah
menangkap pertanda buruk.
“Aku telah menyiapkan pesangon lebih
dari jumlah yang berhak diterima karyawan,
tinggalkan tempat ini, kau bisa dengan
mudah mendapatkan pekerjaan baru”,
kata-kata Talitha perlahan namun pasti,
ia memang tak pernah ragu dengan kata-
katanya.
“Apa salah saya nyonya?” Anita reflek
bertanya, ia merasa langit-langit bangunan
ini telah runtuh, kesulitan hidup dalam
bentuk yang rumit tengah menantinya.
“Kalau ada lidah api sekecil apapun
berkobar, seorang harus cepat mengambil
tindakan untuk memadamkan sebelum
kobaran api itu membesar dan mengacaukan
segalanya. Aku harus selamatkan rumah
tanggaku”.
“Maksud nyonya?”
“Kau tahu jawabannya, jangan pernah
mengganggu suamiku, kalau kelak engkau
telah memasuki perkawinan, engkaupun
akan mengambil tindakan serupa denganku,
jangan pernah ada pihak ketiga hadir
kemudian merusak segalanya”, Talitha
menatap Anita dengan tatapan paling tajam,
wajah wanita itu telah berubah menjadi
sekeras batu kali.
Di lain pihak Anita tertegun, kata-
kata Talitha singkat, akan tetapi ia dapat
menangkap seluruh makna dari kalimat yang
pendek itu. Keduanya saling berpandangan
dengan jarak yang amat dekat, cukup
bagi Anita untuk menggampar wajah
yang menimbulkan kebencian itu. tatapan
mata Talitha mengingatkan dirinya pada
emak, tatapan yang diliputi api cemburu.
Mendadak darah Anita mendidih, ia kembali
dihukum dengan fitnah dengan sangat keji,
kapan ia pernah mengganggu sang tuan?
“Nyonya punya cukup bukti kapan saya
mengganggu tuan?”
“Kota ini terlalu besar kalau diukur
dengan kemampuan orang berjalan kaki, akan
tetapi sangat kecil untuk menyembunyikan
rahasia, terlebih kalau rahasia itu telah
berceceran di jalanan. Kau tahu maksudku
Anita?” Talitha masih berada dalam kontrol
diri, ia mendapat informasi bahwa Titan
kerap kali mengantar Anita pulang larut dan
kejadian semalam sampai pula ke telinganya
pada pagi-pagi sekali via telepon dari
seorang teman dekat. Talitha tahu ia harus
segera mengambil sikap, sebelum lidah api
itu semakin membesar, meski Anita akan
membencinya.
Anita terdiam, ia tahu sang tuan telah
berpamit untuk pergi keluar kota, hal itu
berarti nyonya adalah penguasa tunggal. Ia
memang tak punya pelindung yang dapat
meneruskan pekerjaannya di tempat ini,
Anita sadar ia harus angkat kaki, sungguhpun
ia tak pernah melakukan kesalahan seperti
yang dituduhkan sang nyonya. Ia tak pernah
mengganggu sang tuan, Titanlah yang terus
menerus mendekatinya, seharusnya nyonya
menegur tuan bukan dirinya. Darah Anita
serasa kian mendidih, tiba-tiba ia seakan
tersedot ke masa lalu ketika ia harus merasa
nista, karena perlakuan emak. Bara api
tampak berpijak pada sepasang matanya,
dulu ia pernah terdiam seribu bahasa terhadap
sekalian caci maki emak. Akan tetapi, sekarang
ketika waktu terus berjalan segalanya berubah,
ia tak lagi mengalami ketakutan. Kemarahan
yang meluap menyebabkan Anita kehilangan
rasa takut, ia memandang Talitha dengan
sorot mata berapi-api, kata-katanya mantap
tanpa sedikitpun keraguan ketika bercakap,
“Nyonya, sejak hari pertama bekerja di
tempat ini saya tahu nyonya terganggu
dengan kehadiran saya, tetapi saya berpura-
pura tidak tahu, karena saya harus berjuang
mencari makan. Satu hal yang sangat penting
nyonya, saya tidak pernah mengganggu
tuan, tidak pernah ada keinginan yang
paling kecilpun untuk mengganggu tuan.
Saya sadar tuan sudah berumah tangga, saya
orang yang tahu diri. Seharusnya nyonya
berfikir, mengapa tuan selalu berusaha
mendekati saya meskipun saya tidak
pernah menanggapi, nyonya pasti punya
kekurangan, seharusnya nyonya mawas
diri bukan menyalahkan orang lain. Baik,
saya Cuma gadis desa yang datang meratap
ke tempat ini untuk mencari kerja, nyonya
menjatuhkan fitnah kemudian memecat
saya. Mari, saya terima uang pesangon, saya
akan pergi menjauh dari tempat ini, sayapun
merasa tidak nyaman dengan keberadaan
nyonya. Anda mengganggap semua orang
harus memanjakan nyonya, karena nyonya
istri seorang tuan bukan nyonya adalah sang
tuan itu sendiri”!
Anita merampas amplop dengan isi
menggelembung yang berada di atas meja
di dalam genggaman Talitha. Pandangan
matanya tetap berapi-api, “Ingat nyonya, hari
ini nyonya menyakiti saya, suatu hari saya
akan membuat perhitungan, sehingga nyonya
akan merasakan sakit lebih dari yang saya
rasakan sekarang!” Anita berdiri, menatap
Talitha dengan seluruh kebencian, ia berjalan
dengan kasar, membuka handle pintu
dengan amarah kemudian membantinya
dengan suara berdebum!
Di balik meja Talitha terlonjak, ia tak
menyangka bahwa suatu hari setelah
posisinya yang nyaman sebagai istri seorang
tuan, maka seorang karyawan akan bersikap
seperti ini. Ia terbiasa menerima segala
hormat, kemanjaan bahkan jilatan dari
seluruh karyawan, karena ia adalah istri sang
tuan. Sekali ini statusnya sebagai istri tak
lagi terlindungi, Anita gadis desa itu nyata-
nyata melawan kemudian mengancamnya.
Tiba-tiba Talitha merasa gelisah, ia mengakui
kesungguhan kata-kata Anita, sekalipun
gadis itu hanya seekor “semut” akan
tetapi binatang paling kecilpun akan dapat
menyakitinya.
Di pihak lain Anita berjalan keluar
dengan langkah panjang tanpa sepatah
kata, suara berdebum dari pintu yang
dibanting telah mengejutkan para karyawan
termasuk tamu yang tengah bersantai
menikmati hidangan. Anita tak peduli
dengan keterkejutan itu, ia bahkan telah
kehilangan sebagian dari kesadaran, dimana
sebenarnya kakinya tengah berpijak. Anita
tak tahu kemana harus menuju, kegiatan hari
ini dan seterusnya berantakan, ia memang
tengah menggenggam sejumlah besar uang
di tangan, akan tetapi semakin hari uang
itu akan semakin menipis dan ia pasti akan
kelaparan.
Dengan pikiran gamang Anita menghentikan
taksi, ia terduduk menyandarkan
kepala dengan pikiran kalut, air matanya
nyaris jatuh. Sopir taksi yang melihatnya
dari kaca spion mengerutkan kening, di
dalam mobilnya yang kecil ini, ia bahkan
dapat melihat bermacam kehidupan, susah
senang, tangis dan tawa. Anita tak peduli, ia
membiarkan taksi itu berjalan berputar-putar
mengelilingi kota, mengangkut dan menurunkan
penumpang kemudian kembali ke
tempat yang sama ketika ia menghentikannya.
“Maaf, nona mau turun dimana?” sopir
taksi itu bertanya.
Pertanyaan itu membuat Anita terkejut,
ia baru tersadar betapa kusut dirinya, gadis
itu menyebutkan sebuah alamat. Sesaat
kemudian ia telah berada di dalam pelukan
Maret dengan air mata berlinang-linang,
“Mengapa orang selalu menghinaku? Apa
sebenarnya salahku?” Anita terisak-isak.
“Apa yang terjadi?” Maret bertanya, ia
sungguh iba melihat keadaan Anita.
“Aku dipecat, nyonya menuduhku
mengganggu tuan. Demi Allah Maret, aku
tak pernah berniat merampas suami orang,
tuan yang selalu mendekatiku”, Anita
menyusut air mata, ia harus mengutuki
kehidupan yang bersikap tak adil terhadap
dirinya.
“Kau bisa mencari pekerjaan baru,
sekarang tenangkan dirimu. Tak usah kau
menyesali semua yang telah terjadi, ada
yang mengatur, ada yang lebih berkuasa.
Istirahatlah”, Maret menyeduh teh panas,
memberika kepada Anita setelah itu
keduanya berbincang-bincang hingga letih
dan tertidur.
***
Titan termangu di hadapan ruang makan
yang luas, tempat usahanya dipenuhi
pengunjung, seluruh meja penuh tanpa
kecuali, demikian pula dengan ruangan
VIP. Seluruh karyawan sibuk dengan tugas
masing-masing, Talitha tak kalah sibuk di
belakang meja kasir, beberapa orang tamu
asyik berkaraoke, yang lain asyik menikmati
hidangan sambil terus berbincang-bincang.
Semua berjalan seperti apa adanya, akan
tetapi ada yang janggal, ada yang kurang,
Titan perlu berpikir beberapa lama sampai
akhirnya ia menemukan kejanggalam
itu. Hampir tiga minggu ia pergi untuk
membuka cabang di ibu kota provinsi, selesai
semua urusan ia akan kembali ke tempat
semula dan berharap bisa menemui Anita.
Telah seminggu ia tak ada melihat gadis
itu cekatan menyelesaikan tugas sebagai
karyawan, dimana wajah cantik itu?
Titan tak menunggu lebih lama, ia
mendekati meja kasir dan segera bertanya
pada Talitha, “Aku tak melihat Anita,
kemana karyawan itu?”
“Ia mengundurkan diri atas permintaan
sendiri, ada beberapa orang berniat
menggantikan, tak usah cemas, rumah makan
ini tak akan kekurangan karyawan”, jawaban
Talitha terlalu singkat setelah itu ia kembali
sibuk dengan tugasnya sebagai kasir, ia
harus memantau keuangan secara langsung
atau kas akan mengalami kebocoran dan
usahanya merugi.
Jawaban Talitha membuat Titan tertegun,
ia tak yakin dengan kata-kata istrinya, wanita
berwajah dingin yang membuatnya harus
tahu sekaligus menelan apa yang disebut
dengan asam garam kehidupan. Benarkah
Anita mengundurkan diri? Atas dasar apa?
Kemana perginya gadis itu? Mendadak
Titan merasa demikian sedih, kesunyian
menyeruak secara tiba-tiba di ruangan besar
dan ramai serta hingar bingar.
Titan menatap Talitha dalam-dalam
seakan berniat melahap bulat-bulat seluruh
isi tubuh istrinya. Talitha tak bergeming,
ia tetap sibuk melayani pembayaran serta
pengembalian uang pecahan, tak ada yang
lebih menarik bagi dirinya kecuali bermain-
main dengan uang. Bukankah setiap uang
bersimbah keringat untuk sebuah alat tukar
yang bernama uang?
“Kemana perginya Anita?” Titan bertanya.
“Bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu?
Ia tak berpesan apa-apa kepadaku”.
“Talitha, kumohon katakan yang sebenarnya”.
“Aku tak beruntung apa-apa seandainya
berbohong, telah kukatakan yang sebenarnya”,
keduanya bertatapan, kali ini sepasang
mata Talitha dipenuhi kemenangan. Ia telah
melakukan yang terbaik untuk mengendalikan
seorang laki-laki, benar Titan mempunyai
perhatian khusus terhadap Anita.
Kebingungan pada wajah sang suamai itulah
buktinya. Apa yang akan terjadi pada perkawinannya
andai Anita terus menerus menerbitkan
godaan bagi kelemahan suaminya. Di
pihak lain Titan menjadi gamang, darahnya
tiba-tiba menggelegak, ia ingin menggampar
wajah Talitha, tetapi kontrol dirinya masih
tersisa, ia tak berniat membuat keonaran di
tempat usahanya, tamu-tamunya berhak
merasa nyaman.
Akan tetapi sesampai di rumah Titan tak
mampu lagi menahan kemarahan, ia harus
tahu perihal yang sebenarnya, “Apa yang
terjadi pada Anita? Engkau memecatnya?”
wajah Titan telah berubah menjadi merah
padam.
“Kalau aku benar memecatnya, apa
yang menjadi masalah? Jangan kau kira
aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di
belakangku!”
“Kau kira aku berbuat apa?!”
“Tanyakan pada dirimu sendiri, apa
yang pernah kau lakukan? Selama ini kau
selalu berpindah dari satu perempuan ke
perempuan yang lain, kalau benar engkau
lebih menganggap penting mereka, kita
masih bisa bercerai. Dan sepanjang kesalahan
itu ada di pihakmu, maka engkau tak punya
hak asuh akan anakku, jangan pernah
bermimpi bisa menyentuh Cindera tanpa
kehadiranku. Aku berikan kau pilihana
Titan, perkawinanmu atau perempuan lain.
Apapun keputusanmu aku tak rugi apa-
apa dan tak kehilangan apa-apa!” Talitha
membuang pandang kemudian membanting
pintu keras-keras, ia membuang diri ke
tempat tidur, air matanya jatuh.
Apa yang ia pertahankan dari perkawinan
ini kecuali sebuah tanggung jawab, bahwa
anaknya perlu keluarga, ibu dan bapak.
Waktu yang panjang telah mengubah suasana
bulan madu menjadi ketidaksesuaian,
perselisihan, kehadiran pihak ketiga yang
menyakiti hatinya. Ia harus menentikan sikap
apapun keputusan Titan, ia tahu suaminua
takut akan perceraian. Kenapa?
Titan memandang tinggi lembaga
perkawinan yang memberikan status sosial
tinggi di tengah kehidupan masyarakat. Ia
punya tempat kembali, anak dan keluarga
yang telah membangun identitas diri
secara nyata. Ia bukan laki-laki berduit
yang sebatang kara, ada yang ia miliki
kecuali uang dan kekayaan, posisinya
sebagai suami sekaligus bapak. Akankah ia
menceraikan Talitha? Tentu tidak! Talitha
telah memberikan status sosial yang mulia,
meski wanita itu tidak mampu memberikan
segala yang ia inginkan, termasuk pesona
seorang Anita.
Ah! Dimana Anita, si cantik yang
mempesona itu?
Titan membuka pintu kamar dengan
kasar, ia mendapati Talitha tengah tertidur
menelungkup di atas pembaringan, bahu
wanita itu terguncang-guncang. “Talitha,
sudah kukatakan berulang kali, jangan
membuat keputusan apapun bentuknya
menyangkut kinerja di rumah makan tanpa
sepengetahuanku! Kau lancang! Kau merusak
apa yang telah kubangun selama ini, kau
selalu membuatku merasa bersalah, banyak
pendapat yang menyatakan, bahwa kau suka
menekan orang lain, kau anggap dirimu yang
paling berwenang di lingkungan tempat
tinggalmu, kau kehilangan satu sikap yang
disebut dengan kerendahan hati. Benar kau
punya segalanya, kaupun tahu Anita tak
punya apa-apa, ia cuma seorang gadis yang
datang mencari makan, ia cuma karyawanmu,
seorang yang tidak pantas membuatmu
cemburu. Tahukah? Kau menjatuhkan harga
dirimu sendiri dengan memecat Anita tanpa
sepengetahuanku! Kau merasa kalah dengan
anak gadis itu. bukan demikian Talitha?”
wajah Titan masih membara, ia benar-benar
menyesali kelancangan Talitha.
“Kau memilih gadis itu?!” Talitha
menghapus air mata.
“Aku memilih perkawinanku, engkau dan
anakku, tetapi aku menyesalkan tindakanmu
terhadap karyawanku. Bekerjalah yang
profesional, kau harus pisahkan, mana
masalah pribadi, mana pekerjaan”.
“Aku mengambil tindakan sebelum kau
melangkah terlalu jauh, aku tak pernah
merasa harus bersaing dengan Anita, ia
bukan sainganku. Aku harus menjauhkanmu
dari setan perempuan yang menyebalkan!”
suara Talitha adalah teriakan paling lantang
yang menggetarkan seisi ruangan.
“Anita seorang karyawan yang baik,
ia tak pernah melakukan kesalahan apa-
apa dalam hal ini, kecantikannya bukan
kesalahan. Engkau terbakar api cemburu dan
memecatnya tanpa kemanusiaan!! Sebagai
manager aku berhak menegur siapapun,
termasuk engkau Talitha!!!”
“Keparat!!!!” Talitha memberontak, ia
melempar bantal, selimut, jam dinding,
dan segala pernik yang ada di dalam kamar
itu. Expresi wajahnya adalah perempuan
kalah yang tengah kerasukan, jeritannya tak
terkendali. Titan terpaku, tangannya siap
melayang untuk menampar wanita itu, tetapi
gerakannya terhenti, tangannya yang kekar
mengambang di udara. Wajah Talitha telah
berubah menjadi sedemikian mengerikan,
suaranya gemetar, “Dengar Titan, kalau kau
berani menamparku, aku akan menuntutmu
atas dasar undang-undang anti kekerasan di
dalam rumah tangga, aku akan mengajukan
seluruh tuntutan akan segala kesalahan yang
telah engkau lakukan. Kau akan merasakan
bagaimana kehidupan di dalam penjara, aku
tak bermain-main dengan kata-kataku!!!”
Talitha menerobos keluar kamar dengan
amat brutal, kemudian membanting pintu
dengan sekuat tenaga. Seiisi rumah seakan
hendak runtuh.
Titan terduduk dengan masgul,
pikirannya buntu, seisi kamar telah menjadi
berantakan seperti kapal menabrak keras
batu karang. Harapan semula saat menikahi
Talitha adalah kebahagiaan, mereka berusaha
untuk saling menyesuaikan diri. Akan tetapi
perselisihan demi perselisihan ternyata lebih
berperan menyebabkan keretakan dari pada
rasa bahagian hasil dari kesesuaian itu. Upaya
mencapai kesesuaian itu agaknya mendekati
gagal, Talitha telah kehilangan kontrol. Titan
merasa dadanya sesak, napasnya memburu,
ia telah berusaha menyembunyikan isi
hatinya terhadap Anita ternyata Talitha
bekerja nyaris seperti anjing pelacak yang
dapat mengendus setiap jejak dengan cermat.
Akan tetapi, salahkah dirinya? Talitha terlalu
pencemburu, cinta perempuan itu membabi
buta, satu hal yang menyulitkannya.
Titan teringat akan Cindera, putra tunggal
yang menjadi tumpuan seluruh hidupnya,
dimanakah anak remaja itu? Titan bernapas
dengan susah payah, ia tahu penyakitnya
kambuh pada saat ia kehilangan akal. Saat
itu Cindera membuka pintu kamar perlahan-
lahan, ia mendengar pertengkaran orang
tuanya, satu hal yang telah biasa dalam
kehidupan keluarganya. Ah! Mengapa
orang tua selalu berselisih? Mengapa mereka
tak membuktikan kehidupan yang sejuk
sebagai sebuah keluarga seperti tujuan yang
semula?
Cindera mendapati Titan tengah terduduk
dengan galau, ia bisa memahami, betapa
sulit posisi sang ayah. Apa sebenarnya yang
terjadi antara mereka? Remaja itu melangkah
perlahan, setengah ragu mendekati Titan. Tak
ada suara, Titan masih berjuang mengatur
napas, menyumbangkan oksigen ke paru-
paru untuk mempertahankan hidup. Sekilas
ia melihat bayangan berkelebat masuk,
pandangan Titan mulai samar-samar,
napasnya tersengal. Sesaat kemudian laki-
laki itu terkulai pingsan, seperti yang pernah
terjadi ketika penyakit ashmanya kambuh.
Hal terakhir yang melintas di dalam benak
Titan adalah, dimanakah sekarang Anita?
Cindera bertindak cekatan, ia memberikan
pertolongan pada sang ayah, membaringkan
pada tempat yang semestinya kemudian
menelepon ambulans.
***
Dimanakah Anita?
Gadis malang itu mengurung diri di
dalam kamar, ia menangis hingga matanya
bengkak, betapa suslit kehilangan tumpuan
hidup. Untuk beberapa minggu tentu ia
masih bisa bertahan dengan uang pesangon
dan simpanan yang tidak seberapa, akan
tetapi kehidupan ini masih amat panjang.
Seandainya ia punya tempat kembali?
Seandainya ia memiliki ayah dan ibu yang
mencintai, apakah ia harus menangis di
sudut kamar yang dingin hingga berhari-
hari? Kemana ia harus mencari kerja? Ijasah
ia tak punya, apalagi keahlian?
Anita berdiam mengurung diri, ia merasa
seluruh dunia seakan mentertawai, gadis
muda sebatang kara, tanpa kemampuan
bekerja, tanpa tempat berlindung. Ia tak
punya kesibukan, tak punya penghasilan,
ia kehilangan muka untuk sekedar bertemu
kawan-kawan di tempat kerja. Mereka pasti
sedang membicarakannya, ia telah menjadi
objek percakapan yang layak dikasihi.
Kemana ia akan mendapatkan tempat
bekerja, ia tak mengenal siapa-siapa yang
dapat memberinya pekerjaan. Bagaimana
ia akan dapat membayar uang sewa kamar,
membeli makanan setiap hari, dan mengganti
pakaiannya yang telah tua?
Setelah menyusut air mata, Anita
mencoba berjalan dari satu toko ke toko
yang lain atau dari rumah ke rumah yang lain
untuk mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi
hingga berhari-hari ia menyusuri sepanjang
jalan hasilnya nihil. Nyonya pemilik toko
agaknya berkeberatan dengan kehadirannya
sebagai orang yang tak dikenal, sementara
kecantikannya menyebabkan ibu-ibu harus
mengambil sikap waspada. Anita kembali ke
kamar sewa, air matanya kembali bercucuran.
Ia pernah merasakan betapa tidak enak orang
bekerja, tetapi ternyata lebih tidak enak lagi
orang yang tidak mempunyai pekerjaan.
Anita tak bisa lagi menghitung hari,
ia membiarkan waktu tertanggal, malam
berganti siang, terang berubah gelap
dengan pikiran mengambang. Semakin hari
dompetnya semakin menipis, ia terduduk
lesu menghitung lembaran rupiah yang
semakin menyusut, betapapun ia mencoba
menghemat pengeluaran. ................Anita memeriksa
seluruh isi dompet, tiba-tiba ia mendapatkan
selembar kartu nama. Gadis itu tertegun, ia
mengeja seluruh huruf yang tertera pada
kertas mungil berbentuk persegi empat itu.
Seketika matanya berbinar, ia teringat pada
seorang wanita yang memberikan alamat ini
serta tawaran untuk pekerjaan yang lebih
baik. Mengapa ia terlupa?
Sore hari ketika matahari mulai condong
menatulkan cahaya emas, Anita telah
selesai berhias, ia mengenakan pakaian
terbaik yang ia miliki. Wajahnya telah
berubah menjadi cerah, ia akan mendapatkan
kembali tumpuan hidup yang disebut
dengan pekerjaan, alangkah senangnya ia
bisa kembali mendapatkan hari-hari yang
penuh kesibukan. Tak sulit bagi Anita untuk
mendapatkan alamat yang dituju, bangunan
megah itu terletak tidak jauh dari jalan raya,
sedikit menjorok masuk ke dalam gang kecil.
Bangunan itu hampir sama besar dengan
rumah makan tempatnya semula bekerja,
dikelilingi pagar seng pada bagian samping
hingga ke bagian belakang dengan halaman
depan yang sangat luas. Anita tersenyum, ia
melangkah menuju ke pintu dengan mantap,
seorang gadis berpakaian setengah terbuka
menyambutnya, ia hanya mengenakan
celana pendek dan T shirt yang sangat ketat.
“Selamat sore, saya mau bertemu dengan
nyonya”, Anita menyapa dengan sikap
seramah mungkin.
Anita mendapatkan tatapan penuh
makna dari gadis yang menyambutnya,
“Mari silakan duduk, tunggu sebentar”,
gadis itu menghilang tak lama kemudian
meninggalkan Anita terduduk pada salah
kursi di antara berpasang-pasang yang
ada.
Anita mengamati suasana di sekitarnya
tanpa curiga, suasana di ruangan ini hampir
sama dengan ruangan di rumah makan milik
Titan. Ada meja makan lengkap dengan
kursi-kursi yang tertata rapi, panggung
orkestra kecil, dan benda semacam lampu
yang pasti akan menyala berwarna warni.
Ada tempat minum dengan aneka merk,
meja kasir, dan televisi. Anehnya tak ada
seorangpun tamu yang datang berkunjung di
tempat ini, kesibukan nyaris tak ada. Sekilas
Anita dapat melihat beberapa gadis berlalu
lalang dengan pakaian setengah terbuka,
siapakah mereka? Jauh dalam hati kecil Anita
mulai bertanya-tanya, tetapi pertanyaan itu
tak berkembang lebih jauh sebab orang yang
dicarinya telah datang.
“Hei nona, apa kabar? Akhirnya
kau datang juga, kukira engkau telah
melupakan tawaranku. Senang melihat
wajah cantikmu”, kata-kata itu demikian
hangat dan bersahabat.
Anita berdiri, mengulurkan tangan,
dan menunduk dengan takzim, nasibnya
tergantung kepada upayanya hari ini, ia
harus bersikap sebaik mungkin. “Maaf saya
mengganggu nyonya, saya datang memenuhi
tawaran nyonya, saya perlu pekerjaan”.
“Untuk gadis secantikmu apa susahnya
mencari pekerjaan, kau bisa mulai bekerja
nanti malam, mudah saja tugasmu hanya
mengantar minuman dan makanan ringan
bagi tamu-tamu. Kau pernah melakukannya
bukan?”
“Iya nyonya”.
“Mengapa baru sekarang engkau datang?
Saya sudah lama menunggumu?”
“Saya harus memikirkannya, terus
terang saya sudah tidak bekerja di rumah
makan lagi, saya tidak mengenal siapa-siapa,
makanya saya datang ke tempat ini”.
“Dimana orang tuamu?”
“Ada di lokasi”.
“Kau pernah sekolah?”
“Maaf, saya tidak lulus SMA”>
“Kau bisa dansa?”
“Nyonya bisa mengajarkan pada saya?”
“Mengapa tidak?”
“Terima kasih nyonya”.
“Baik, kebetulan ada satu karyawan
pindah ke kota lain, mari kutunjukkan
kamarmu”, sang nyonya meraih tangan
Anita membimbingnya ke ruang dalam,
Anita melewati sebuah ruangan dengan
jendela kaca dalam ukuran sangat kecil,
ruang makan, dapur dan lebih dua lusin
kamar lengkap dengan kamar mandi.
Nyonya membawanya ke kamar yang
terbesar dan termewah. Seketika Anita
terbengong-bengong.
“Mulai hari ini kau boleh tinggal di sini,
ini kamar terbaik”, nyonya mempersilakan
Anita masuk, ia dapat menangkap
keterkejutan gadis itu. Kamar itu berukuran
4m x 4m, berlantai keramik dengan daun
jendela yang amat lebar, sehingga udara
segar dapat leluasa masuk. Sebuah spring
bed dua badan lengkap dengan almari,
dan meja rias serta karpet berbunga-bunga
melengkapi isi kamar. Ada pula lampu
penerang serta lampu tidur yang menyala
redup menghantar ke alam mimpi, dan yang
terakhir adalah kamar mandi.
Anita terbelalak, seumur hidup ia belum
pernah memasuki kamar semewah ini dan
kamar ini akan segera menjadi tempat
tinggalnya yang diberikan sang nyonya
dengan segala rasa hangat. Mengapa ia
harus menangis berhari-hari seorang diri di
dalam kamarnya yang dingin dan senyap
sementara kehidupan yang lebih baik
tengah menantinya? “Ini kamar saya?”
Anita bertanya tak percaya, ia menghirup
aroma bunga mawar yang merebak dari
pengharum ruangan di atas meja rias. Pikiran
gadis itu seketika melayang, Anita terlupa
terhadap seluruh penderitaan hidup, ia
telah memiliki sebuah hari yang diliputi
kemenangan. Seperti bocah kecil Anita
segera berguling di tempat tidur, ia seakan
tengah melayang di atas tumpukan kapas,
tak pernah terbayangkan, bahwa dalam
hidup ia akan mendapatkan kemuliaan
seperti ini.
Sang nyonya tersenyum penuh arti, ia
menyadari betapa muda dan polosnya gadis
ini. Tentu saja ia tidak memberikan kamar
VIP ini dengan cuma-suma, kedatangan
Anita akan menjadi tambang emas di
tempatnya. Sekalian tamu akan tergila-gila,
bertutur dari mulut ke mulut dan akibatnya
bar yang pada hari-hari terakhir ini mulai
sunyi akan segera menjadi ramai kembali.
“Secepatnya engkau bisa mengemasi
barang-barangmu ke kamar ini, kau bisa
belajar berdansa di luar jam kerja. O ya,
engkau boleh memanggilku mami, okey?”
“Baik nyo.... eh mami”, Anita
mengucapkan kata mami dengan berat, ia
berdiam diri beberapa saat di kamarnya
merasakan sebuah kenyamanan yang
menakjubkan sampai sebuah bayangan
berkelebat masuk.
“Halo nona pendatang baru, engkau
adalah penghuni istimewa, senang
berkenalan denganmu. Namaku Novi”,
gadis itu mengulurkan tangan, jabatannya
hangat. Anita mengira-ngira usia Novi
sekitar 22 tahun, seraut wajah oval dengan
rambut sebahu, kulit yang putih, dan suara
yang erotis. Novi mengenakan rok mini
tanpa lengan dari kain katun berwarna hijau,
sepasang bukit kembarnya tampak menonjol
alamiah tanpa penutup dada.
Anita mengulurkan tangan, “Nama saya
Anita”, Anita menjabat erat tangan Novi, ia
segera merasakan suasana hangat.
“Mami memintaku untuk membantumu
mengemasi barang-barang, nanti jam delapan
malam kita harus siap di ruang tamu, pasti
kau akan menjadi pusat perhatian. Engkau
cantik sekali Anita”, Novi mengamati Anita, ia
tak dapat menyembunyikan kekagumannya,
meskipun ia juga memiliki wajah yang manis
dan penampilan yang menarik.
“Terima kasih Novi, o ya engkau sudah
lama kerja di tempat ini?”
“Sudah tiga tahun”.
“Orang tuamu?”
“Mereka bercerai, mama kawin baru,
papa juga kawin baru. Saya tidak bisa ikut
mama tidak bisa juga ikut papa. Saya pergi
kemana suka sampai akhirnya terdampar
di tempat ini. O ya, mami juga bilang saya
harus membantumu berhias nanti malam,
jam delapan kita sudah harus siap, jam
sembilan tamu-tamu mulai datang, nasib
kita tergantung kepada tip yang diberikan
para tamu, sebab itu bersikaplah yang
baik”, Novi membuka pintu almari, seketika
Anita membelalakkan mata, di dalam
almari ada berupa pakaian dan sepatu yang
belum pernah sekalipun ia sentuh, ada pula
seperangkat kosmetik, asesoris, dan entah
apa lagi. “Kau bisa memilih pakaian dan
sepatu untuk penampilanmu nanti malam”,
Novi tersenyum, ini bukan kali yang pertama
ia berhadapan dengan dengan gadis sepolos
Anita. Ia pernah pula merias pendatang-
pendatang baru Sandra, Yovita, Arum, Ranti,
mereka semua masih dalam keadaan lugu
ketika pertama ia mengenal. Kini mereka
sama hitam dengan kehidupannya, apakah
ia perlu bertanya kepada pendatang baru
ini sebelum hidupnya hancur berkeping-
keping?
“Kau melamun Novi?” Anita menangkap
kebimbangan pada diri Novi.
Tanpa sadar Novi mendekat, setengah
berbisik ia bertanya kepada Anita, “Siapa
yang membawamu datang kemari?”
“Aku datang sendiri atas permintaan
nyonya, ia pernah memberiku kartu
nama”.
“Dimana kau bekerja sebelumnya?”
“Aku diberhentikan dari pekerjaanku
sebagai karyawan rumah makan, aku sudah
mencoba mencari pekerjaan kesana kemari,
tetapi tak seorangpun yang kukenal dan
memberiku kepercayaan. Aku tak dikenal
siapa-siapa di tempat ini kecuali nyonya”.
“Orang tuamu?”
“Panjang ceritanya, tapi seperti halnya
dirimu, aku pergi dari mereka sampai
akhirnya kita bertemu di sini. O ya, mungkin
lebih baik kita mengemasi barang-barangku
besok, toh tak akan ada yang mencari
kalaupun aku tak pulang malam ini”, Anita
merebahkan diri, ia menikmati untuk yang
pertama kali kenyamanan sebuah tempat
tidur mewah, mata gadis itu setengah
terpejam. Setelah berhari-hari terbadai
mencari pekerjaan dari pintu ke pintu, kini
ia merasa letih.
“Nasibmu tak beda dengan nasibku
dan teman-teman yang lain, tapi sudahlah
mungkin sudah suratan”, Novi ikut pula
merebahkan diri di samping Anita, ia merasa
sayang akan gadis yang baru dikenalnya itu.
Novi seperti melihat gambaran dirinya di
masa lalu, ah, betapa rumitnya jalan hidup.

                                 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...