Selasa, 28 Mei 2019

K A P A K --Kisah Seorang Anak Asmat-- LIMA


     
SENJA itu, suasana di seputar hutan Buetkuar tak lagi sunyi. Suara musik meraung-raung dari tape recorder yang diputar dengan suara maksimal. Beberapa lagu terdengar sekaligus seakan ingar-bingar pasar malam yang menyambut gendang telinga. Dalam hiruk-pikuk lagu-lagu, maka di dalam bevak tampak sekelompok orang tengah tenggelam di dalam perjudian. Permainan itu telah lama berlangsung, tapi agaknya tak seorang pun di antara mereka yang berniat menyudahi. Menunggu kedatangan kayu gaharu adalah kejenuhan, dengan bermain judi, maka para pencari kayu itu mencoba untuk membunuhnya. Setelah kartu-kartu dan lembaran uang yang berserakan, maka botol-botol wiski dan vodka kosong bergelimpangan. Botol yang masih penuh tersusun rapi di dalam kardus. Para pencari gaharu itu sengaja membawanya untuk melangsungkan ketergantungan terhadap alkohol. Harga minuman keras yang mahal bukanlah masalah, berjuta keuntungan dari penjualan gaharu segera memberikan jawaban.
Asap rokok mengapung seperti kabut yang menyesakkan suasana di dalam bevak, tetapi mereka yang berjudi tak pernah peduli dengan keadaan ini. Permainan itu ibarat lingkaran setan yang terus berputar, memacu hawa nafsu, terutama bagi pihak yang kalah. Si kalah selalu mengharap kemungkinan untuk menang dan menang, sehingga perjudian terus berlangsung sampai ia berputus asa, setelah ludes modal dan sirna harapan untuk memulai permainan baru.
Mundus, Mika, dan Yowero menerobos masuk ke dalam bevak dengan noken penuh kayu. Wajah-wajah itu demikian letih dalam daki dan keringat yang terus mengucur. Mundus menenggak air Vit dalam botol, ia pun segera merasa segar setelah dahaga yang panjang. Mika dan Yowero melakukan hal yang sama, sehingga air Vit di dalam botol itu segera menjadi kosong. Sejak kehadiran para pencari gaharu yang berlomba membeli kayu harum itu dengan harga mahal, kemudian barang-barang industri terus membanjir, baik Mundus, Mika, maupun Yowero terbiasa memanfaatkan dan menjadi konsumtif.
Kedatangan tiga anak-beranak dengan noken penuh gaharu seakan sinyal yang berkuasa penuh bagi para penjudi untuk segera menghentikan permainan. Gaharu adalah emas hitam yang akan memberikan berjuta keuntungan. Mereka, para pencari itu sengaja menjamah hutan terpencil ini untuk hal yang demikian, dengan segala macam akibat yang muncul kemudian.
“Selamat sore-o,” salah seorang dari pencari gaharu itu memberi sambutan. Ia adalah seorang laki-laki berambut lurus yang biasa dipanggil Arben. Kulit laki-laki itu sedemian putih, menampakkan kontras dengan sang tuan tanah sebagai tangan pertama yang mendapatkan gaharu. Arben datang dari seberang sana, dari daratan Sulawesi. Semula ia bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan swasta di Jayapura, tapi gaji yang diterima per bulan tak pernah cukup untuk mencapai kehidupan mapan. Ketika ia mendengar, bahwa gaharu mulai marak di wilayah Asmat, maka ia segera berkeputusan berhenti sebagai karyawan kemudian memperpanjang perantauan ke tempat terpencil ini.
Pada awalnya Arben datang seorang diri, akan tetapi kehidupan di tengah hutan telah menjeratnya sedemikian rupa, sehingga harus disadari, bahwa ia memerlukan seorang wanita. Melampaui hari demi hari di tengah hutan bersama masyarakat setempat, menjadi hal yang mengerikan. Setelah nyamuk dan lalat babi sebagai musuh utama, maka kebutuhan badani, makan, dan pakaian bersih mendesaknya, sehingga ia memutuskan untuk mengambil langkah baru. Arben cukup mengerti apa yang harus dilakukan. Pengalaman di Jayapura kemudian permainan di Timika manakala ia melewatkan masa muda telah memberikan suatu pengertian, bagaimana ia mesti melangsungkan hidup sebagai pencari gaharu.
Sehari setelah memperoleh berjuta keuntungan dengan menjual gaharu kepada plasma, Arben segera pergi ke Timika dengan menumpang kapal perintis. Di bawah remang dan warna-warni lampu bar, Arben kemudian melihat kembali wajah itu. Wajah seorang wanita yang tampak lebih tua daripada usia sebenarnya, karena kegetiran hidup. Wajah seorang Ero. Tangan wanita itu menggenggam gelas berisi wiski yang telah kosong separuh. Ia telah mabuk rupanya, sehingga tak peduli dengan laki-laki nakal yang bernafsu mencium-cium pipinya. Arben tak mau berpanjang-lebar, ia harus mendapatkan Ero, membawanya keluar dari kehidupan bar kemudian mengajaknya menyusup ke dalam hutan, untuk mendapatkan emas hitam. Kini, sementara Arben tenggelam dalam permainan judi, menanti-nanti kedatangan kayu, maka Ero akan bersibuk diri memasak kemudian mencuci pakaian. Hidup bersama dengan Arben, meski tanpa pernikahan, masih lebih baik bagi Ero daripada mesti menjajakan diri dari bar ke bar untuk semua laki-laki yang memerlukan jasanya. Ero baru saja mencuci setumpuk pakaian kotor kemudain mandi bersih-bersih dengan air kali dan kembali ke dalam bevak dengan tergesa, karena hari telah menjelang gelap. Harum gaharu menyambutnya ketika ia mengempaskan satu loyang pakaian basah. Ero masih dapat melihat kartu-kartu berserakan, botol-botol wiski bergelimpangan, dan beberapa lembar uang kertas tercecer di atas tikar. Demikianlah kehidupannya, ia telah menjadi bagian dari semua ini dan tak berdaya melepaskan diri.
“Bapa Mundus, selamat-o,” Ero membuka panci berisi nasi yang telah masak kemudian penutup piring yang berisi ikan kaleng goreng tepung. Ia sudah sedemikian bosan dengan sarden saus, sehingga harus pintar-pintar memasak untuk menghidangkan menu di tengah hutan. Bila tidak, Arben pasti akan mengomel dan memasang muka bunuh sepanjang hari. Harum nasi dan ikan goreng segera membangkitkan rasa lapar. Tangan Ero meraih piring kemudian menyendok nasi dan ikan. Ia pun memulai gerakan mengunyah sambil duduk sembarang-sembarang, menampakkan sepasang paha yang putih gempal. Ero menyadari, bahwa Mundus menatap sepasang kakinya sambil menelan ludah, dan ia seolah tak peduli. Ia sudah terbiasa melakukan hal semacam ini dan berkeras untuk tidak menghentikan.
Ero menatap sepasang mata Mundus dengan menantang ketika laki-laki itu terus memandangnya sambil mengerjapkan mata. Ia sudah beratus kali menangkap isyarat semacam itu dan sudah terlalu ahli menanggapi. Sementara penghuni bevak yang lain segera mengambil piring masing-masing untuk kemudian mengambil jatah makan, sehingga nasi di dalam panci segera menjadi licin tandas hanya menyisakan kerak dan butir-butir yang menempel pada dinding panci. Acara makan bersama itu berakhir dengan sebungkus rokok yang berputar dari tangan ke tangan kemudian disulut, diisap, dan mengepulkan asap. Yowero tak ketinggalan, ia sudah sangat tergantung dengan rokok dan menjadi terbiasa mengisapnya.
Saat ini, hanya Yowero yang masih banyak menghabiskan waktu bersama Mika dan Mundus, tiga saudaranya yang lain telah hidup bersama keluarganya di rumah mamak mantu. Yowero selalu ikut serta pergi ke hutan mencari gaharu, dan hasilnya, ia sudah cukup merasakan. Berjuta uang ia terima setelah ia menggaruk-garuk kayu dengan tekun, sehingga tampaklah hitam warnanya dan harum baunya. Pencari berambut lurus itu akan menimbangnya. Transaksi terjadi setelah ada kesesuaian harga, tiga ratus lima puluh ribu rupiah per kilo untuk gaharu super---A dan B, selebihnya harga sangat tergantung kepada keadaan kayu.
Yowero tak pernah dapat memastikan berapa jumlah uang yang diperoleh secara keseluruhan dari hasil penjualan kayu, tapi dalam kurun waktu empat bulan, ia telah memiliki tape recorder, demikian pula dengan Mundus dan Mika. Dan pakaian-pakaian itu telah mengubah penampilan mereka. Yowero tak tampak lagi sebagai layaknya anak kampung dengan celana kolor dan dada telanjang. Baju kaus dan celana jins itu telah menyulap penampilannya, sehingga ia tampak seperti anak kota, meski tak memiliki kemampuan menulis dan membaca.
Demikian pula dengan Mundus dan Mika. Mundus kini memiliki satu tromol penuh pakaian baru, jam tangan, dan satu kardus persediaan rokok. Sementara Mika sedikit demi sedikit mulai mengikuti kegenitan Ero. Setelah pakaian-pakaian baru, ia memiliki pula bedak, sisir, dan gincu merah manyala. Ero membujuk-bujuk dan menukarkan barang-barang itu dengan satu kilo gaharu tanggung seharga seratus lima puluh ribu rupiah. Dengan bedak dan gincu merah manyala penampilan Mika menjadi lain sama sekali. Mundus tampak kurang senang, wajah istrinya itu kini tampak seakan suanggi. Tapi Mika terlalu bergembira dengan  bedak dan gincu, ia berkeras memakainya, meski Mundus menjadi geram karenanya.
“Bapa Mundus ada perlu Johnson-kah?” demikian Arben membuka pembicaraan. Tangan laki-laki itu terus bergerak mengikis penggalan-penggalan kayu, sehingga warna hitam gaharu mulai tampak nyata disertai aromanya yang sangat harum.
“Betul, Anak,” Mundus menjawab singkat, ia telah melihat kehebatan mesin itu dalam menggerakkan perahu, sehingga tak perlu lagi menguras tenaga untuk mendayung manakala ia berkehendak untuk mencapai suatu tujuan.
“Berapa Bapa sanggup membeli?” Arben kembali bertanya.
Kitorang tukar itu Johnson dengan gaharu,” kata-kata itu terlontar dari mulut Mundus dengan begitu yakin. Ia cukup mengerti isi hati para pencari kayu, termasuk Arben. Bukankah mereka datang ke tempat terpencil ini dan bersusah-payah tinggal di hutan, adalah demi gaharu semata.
“Baiklah, besok kitorang pulang dan minggu depan kembali lagi ke sini dengan Bapa punya Johnson,” Arben menjanjikan, ia menjadi begitu bersemangat menanggapi keinginan Mundus dengan bayang-bayang keuntungan yang bakal diperolehnya. Dengan keuntungan itu ia bisa memenuhi bermacam kebutuhan hidup dan tentu saja berjudi serta membeli minuman keras. Bermacam kesulitan dan lingkungan pergaulan telah menjerat Arben sedemikian rupa, sehingga ia semakin terseret ke dalam lingkaran setan yang bercirikan kartu dan alkohol. Arben tak pernah berpikir, bahwa setelah hari ini berlalu, maka hari depan masih amat panjang membentang.
Mereka mengikis kayu hingga larut malam setelah tenaga untuk bekerja tak lagi tersisa, sementra rasa mengantuk berubah menjadi satu kekuatan gaib yang menghentikan gerakan tangan. Satu demi satu orang yang berada di dalam bevak itu pun menyudahi pekerjaannya kemudian merebahkan diri di atas tikar. Baik Arben, Ero maupun ketiga orang pencari gaharu lainnya telah mengenakan celana panjang dan jaket untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Angin malam mengempas sebagai suasana abadi yang menerobos masuk ke dalam bevak melalui celah-celah dinding.
Mundus, Mika, dan Yowero telah rebah miring berdekatan satu sama lain, menjelang tidur panjang. Mereka telah melampaui hari ini dengan kerja keras untuk mendapatkan keuntungan dari para pencari gaharu. Nyala lampu gas di dalam bevak itu semakin lama semakin redup. Dengan sekali gerakan arben mematikan lampu itu, sekejap kemudian suasana di dalam bevak itu menjadi gelap gulita. Seluruh penghuni bevak itu pun tertidur lelap.
***
Pagi hari suasana di tengah hutan itu terjaga di dalam warna kuning dan seleret kabut tipis yang segera sirna dihalau angin. Embun masih mengkristal pada ujung setiap daun, suara mencecet satwa hutan adalah semata suara alam yang langgeng tak terpisahkan. Sesisi bevak perlahan terjaga dengan perlengkapan sehari-hari yang tertata dengan baik. Ero adalah orang pertama yang terbangun, ia tahu apa yang harus dikerjakan untuk memulai kehidupan hari ini, sebelum penghuni bevak yang lain terjaga. Kehidupan di tengah hutan atau di bawah gemerlap lampu bar ternyata tak berbeda terlalu jauh, atau sama menyedihkan. Adakah ia masih bisa memilih? Ia telah membiarkan dirinya terbenam jauh ke dalam lumpur dengan satu pertanyaan, adakah suatu saat akan dapat mencabutnya kembali? Jawaban itu sampai hari ini tak pernah ada, ia bahkan tersedot ke dalam pusaran lumpur semakin dalam --semakin dalam-- Tak mudah mendapatkan selembar uang dan sesuap nasi, itu sebabnya ia harus bangun pagi, memasak air dan menyediakan sarapan bagi Arben, bahkan seisi bevak ini. Ia masih harus menjemur pakaian, mengangkat kemudian melipatnya, sehingga Arben dapat dengan nyaman berganti pakaian setiap hari. Setelah itu ia harus dapat bersikap selayaknya suami istri, meski pernikahan tak pernah terjadi. Dengan cara seperti ini, maka Arben akan memberinya sejumlah uang, jumlah yang hanya dapat diterima tanpa tawar menawar. Adakah jumlah ini akan mampu membawanya pergi meninggalkan lumpur hitam kehidupan? Terkadang Arben memberinya jumlah uang yang cukup besar, sehingga ia dapat membeli pula perhiasan.
Akan tetapi, Ero juga tahu, bahwa uang yang dihamburkan Arben di meja judi dan berpuluh botol minuman keras, jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jualan yang diterima sebagai teman hidup di hutan. Diam-diam Ero menjadi cemburu. Satu kali Ero pernah meminta bayar tambahan dan sebagai jawaban Arben memakinya. “Kamu ini cuma penghibur, maniso apa koe?!”
Makian itu tentu saja tidak menyakitkan hati, karena memang demikianlah keadaan Ero. Akan tetapi, bukankah kata “penghibur” selalu mengandung pengertian, bahwa ia bisa menjadi penghbur diri kepada setiap laki-laki? Dengan pendirian semacam inilah Ero menjadi nakal. Ia cukup mengerti bagaimana harus memanfaatkan laki-laki. Termasuk Mundus, si kepala perang.
Pagi ini Ero tak perlu tergesa memasak air, ia mengikuti rasa malas, sekaligus keinginan untuk bersenang-senang berenang pada air kali. Ero bukannya tidak menyadari, diam-diam ada bayangan berkelebat mengikuti dari belakang, bayangan Mundus si-kepala perang. Ia sengaja membiarkan dirinya diikuti dan sengaja terjun ke dalam air sungai tanpa sehelai pun pakaian.
Sementara dari balik semak-semak Mundus memandangi tubuh telanjang Ero dengan mulut melongo. Naluri yang paling peka dalam dirinya mendorong untuk segera mendekat dan berbuat menurut kehendak hati terhadap Ero. Akan tetapi, suara terbatuk dari mulut Arben segera menghalangi niatnya. Sekejap kepala perang itu menghela napas dalam-dalam. Tangannya yang legam terkepal, geram. Dengan suara mendengus seperti lembu perahan Mundus membalikkan badan. Langkah kakinya yang panjang membawa bayang-bayang laki-laki itu terus menjauh, menembus rimbunan hutan, hingga akhirnya menghilang di balik dedaunan.
Di lain pihak Arben segera mempercepat langkah ketika tampak sekilas Ero tengah berenang dalam jernih air kali. Tubuh wanita itu timbul-tenggelam dalam permukaan air yang memecah dan bergelombang lemah. Arben segera melucuti pakaian, hanya tinggal celana konak melindungi bagian tubuh yang paling pribadi. Dengan satu lompatan Arben segera memburu Ero, sedetik kemudian keduanya telah berkejaran di dalam air hingga Arben dapat menyeret Ero ke tepian.
Suara mengikik bak kuda-kuda liar adalah ciri khas perempuan Ero setelah bertahun-tahun ia terbenam dalam pekatnya lumpur kehidupan. Suara mengikik itu seakan terus menggema hingga Arben membaringkan Ero di sekitar semak-semak. Suasana purba di seputar hutan itu adalah kehidupan yang abadi. Di seputar yang purba itu adalah sepsang anak manusia dalam perilaku yang paling primitif. Untuk pemenuhan kebutuhan semacam inilah Arben membawa Ero jauh-jauh ke tengah hutan. Ia mempunyai uang lebih dari sekadar cukup untuk membayar jasa Ero. Semak-semak di sekitar mereka pun bergemeresik, terpatah-patah.
Baik Arben maupun Ero tak menyadari, bahwa dari atas pohon ada sepasang mata menyaksikan ulah sikap mereka dengan dada bergemuruh. Sepasang mata itu demikian nyalang dan dipenuhi rasa ingin tahu yang amat dalam. Ketika Arben dan Ero telah menyudahi permainan mereka kemudian terkapar bersama-sama dalam diam, sepasang mata itu masih terus menatap, tak berkedip. Ero terpekik tak berapa lama kemudian ketika ia merasa ada lalat babi menggigit bahunya yang telanjang.
“Uff!” secara refleks tangan wanita itu bergerak menepuk bagian pundak yang terasa sakit dengan keras. Tapi terlambat, lalat babi itu telah terbang, meninggalkan bekas gigitan dengan mengkak di seputar luka. Ero segera berkemas mencari pakaianannya, tapi sebelum barang yang dicarinya itu didapat, Arben telah kembali menerjang. Semak-semak di seputar tempat itu kembali bergemeresik dan terpatah-patah. Sementara sepasang mata yang menatap dari atas pohon, menjadi nanap. Deburan di dada yang kian menggelora telah menghidupkan satu dorongan dalam diri dan sulit dikendalikan.
Sepasang mata itu adalah milik Yowero. Ia tengah menyaksikan kejadian mendebarkan yang menyeretnya secara kuat ke dalam sebuah tanda tanya yang membingungkan. Yowero seakan terpaku pada dahan tempatnya bersandar. Ia tak bergerak, berdiam bagai patung, bahkan setelah bayang-bayang Ero dan Arben berkelebat, menjauh pergi.
Matahari telah tinggi ketika Yowero tersadar dari dahan kayu tempat ia terduduk bagai tersihir. Gemuruh di dada belum juga reda ketika dengan lincah kaki-kaki Yowero mulai bergerak menuruni batang pohon. Anak Asmat itu berjalan perlahan menuju bevak dengan langkah mengambang. Yowero seakan tersengat ketika ia mendengar suara mengikik bagai kuntilanak dari mulut Ero. Ia mengenal betul suara itu. Tak berapa lama ketika sampai di depan pintu Yowero dapat melihat, bahwa Ero dan Arben serta kawan-kawannya tengah berkemas pergi. Beberapa tromol gaharu telah didapat, sehingga mereka tak beralasan lagi untuk tinggal lebih lama di bevak ini.
“Kami jalan dulu, Bapa Mundus,” demikian Arben berpamit. “Minggu-minggu depan kalau datang kemari, kami akan membawa Johnson untuk Bapa.”
“Baguslah kalau begitu. Kitorang tunggu itu barang, Anak,” Mundus menjawab sambil menimang-nimang ikatan puluhan ribu yang sangat tebal. Lembaran kertas ini telah mengubah seluruh kehidupannya, sehingga ia bisa memperoleh kenikmatan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Wajah Mundus kini adalah guratan yang menyatakan rasa puas. Sesaat ketika pandangan matanya bertautan dengan Ero, Mundus memberikan isyarat dengan satu kerdipan sambil memamerkan gumpalan uang. Ero menyeringai, ia ingin berbuat lebih dari itu untuk memancing-mancing Mundus, tapi keberadaan Arben membuatnya takut. Nanti, akan tiba saatnya untuk memainkan kepala perang itu, sehingga ia bisa mengambil manfaat.
Tidak terlalu banyak waktu yang diperlukan untuk berkemas-kemas. Tak berapa lama kemudian seluruh perlengkapan dan gaharu yang berhasil diperoleh telah diangkut ke dalam long boat. Mundus masih mempunyai kesempatan mencolek pinggul Ero ketika wanita itu tengah berjalan mengekor di belakang Arben. Ero mengerdipkan mata sambil berbisik perlahan. “Tunggu nanti, kalau saya datang lagi.”
Mundus tak menyadari, tak jauh dari tempatnya berdiri, Mika melihat kejadian itu dengan mata berapi-api. Sesaat, ketika suara Johnson terdengar meraung, memecah hening, maka dari bevak terlontar sumpah serapah.
Maniso koe, Mundus, kamu orang ada mau-mau dengan perempuan nakal itu. Kamu mengira kitorang taratau dorang itu siapa?” demikian Mika bersungut-sungut sambil terus memandangi bayang-bayang long boat itu menjauh dari lingkungan bevak.
***
Sementara itu, Jirimo telah bersembunyi dan mengasingkan diri di tengah hutan dalam waktu yang amat lama. Tak ada seorang pun yang dapat menentukan dengan pasti, berapa tahun Jirimo tidak diakui sebagai anggota puak, karena mereka memang tidak memperhitungkan hari dalam peredaran tahun. Yang jelas, Bunapi telah mendapatkan pengganti Donatus dan melahirkan dua orang anak yang kini masih kecil-kecil. Masa kedukaan bagi wanita itu agaknya telah berlalu. Jirimo bukannya tidak mengetahui semua kejadian itu, ada kalanya ia menyusup ke kampung, menemui sanak keluarganya untuk melihat perkembangan yang terjadi setelah kematian Donatus. Pelarian ke tengah hutan agaknya sudah merupakan hukuman yang amat berat baginya, karena nyata-nyata ia terkucil dari kehidupan puaknya. Sungguhpun di tengah hutan ia tak pernah kehabisan bahan makanan, tapi ia tak pernah lagi terlibat dalam pesta ulat sagu dan kehidupan bersama di rumah bujang. Hal ini sungguh amat memilukan.
Ketika Jirimo merasa tak mampu lagi bertahan dalam keterasingan di tengah hutan, maka ia segera menghadap tetua adat untuk mendapatkan pengampunan. Jirimo harus menunggu dalam waktu yang cukup panjang dan menggelisahkan sebelum pengadilan adat memberikan ampun dengan syarat, ia harus membayar harta kepada Bunapi.
Jirimo memerintahkan ketiga istrinya, Sula, Berna, dan Lisbeth untuk bekerja keras meramah sagu, sehingga ia membayar berpuluh sagu kepada Bunapi. Jirimo juga menyerahkan babi, kasuari, dan bermacam binatang air kepada wanita itu untuk menyenangkan hatinya. Setelah menyelesaikan pembayaran harta, maka Jirimo dapat kembali tinggal di kampungnya. Rumahnya telah rata dengan tanah, ia harus bersusah-payah membangun kembali dan setelah itu ia masih harus menerima kenyataan pahit, karena seluruh penghuni kampung tak mau menegurnya.
Sekali lagi Jirimo mesti bersabar diri. Ia mulai merasa terhibur ketika tiba-tiba gaharu mulai marak di wilayah ini dan sebagai seorang tuan tanah ia benar-benar lihai memanfaatkan emas hitam itu. Kekayaan yang dimiliki dan kepandaian mengambil hati orang lain dengan membagikan tembakau serta uang menyebabkan keberadaan jirimo sedikit demi sedikit mulai diperhitungkan dan akhirnya ia diakui kembali sebagai anggota puaknya.
***
Dua minggu setelah meninggalkan Buetkuar, Arben dan Ero kembali datang dengan mesin johnson 40 Pk yang masih baru. Mata Mundus terbelalak dibuatnya, kepala perang itu demikian bangga ketika Arben membantu memasang mesin itu di bagian belakang perahunya. Sekejap kemudian mesin itu mengaum, baling-baling berputar, kemudi diarahkan. Perahu itu pun meluncur bagai didorong oleh sebuah kekuatan gaib yang maha dahsyat. Di atas perahu, Mundus berdiri bersipongah sebagai orang pertama di hutan ini yang memiliki johnson, mesin berteknologi canggih. Mundus merasa begitu puas ketika di tepian sungai orang-orang di hutan itu melihatnya dengan melongo. Ia merasa semakin pantas sebagai kepala perang di kampung ini. Mesin Johnson itu sudah lebih daripada sekadar bukti untuk menunjukkan kekuasaannya.
Mundus tak menyadari, betapa Jirimo sebagai orang yang tiba-tiba menjadi banyak uang dengan memperdagangkan gaharu, memandangnya dengan sepasang mata berapi. Sudah cukup lama Jirimo merasa sebal berdiam di bawah bayang-bayang Mundus. Ia harus mengakui, bahwa Mundus lebih pintar memainkan senjata perang. Akan tetapi, adakah kekuasaan yang benar-benar abadi di kampung ini? Dan suara Johnson itu, telah berubah menjadi sepasang batang bambu yang saling bergesekan, mengiris. Sekejab, setelah perahu Mundus melaju, melampaui batang hidungnya, Jirimo mengepalkan tangan dengan geram.
“Awas kamu, Mundus…” demikian mulut Jirimo mendesis. Sementara Mundus masih dengan bangga berkeliling-keliling dengan mesin ajaib yang terpasang kuat di bagian belakang perahunya. Riak-riak air yang memecah dari putaran baling-baling itu tampak demikian indah. Setelah bahan bakar menipis, maka perahu itu pun kembali ke bevak.
Mundus tak perlu berpikir panjang untuk membayar harga mesin itu. Ia telah menyiapkan dua tromol gaharu yang hitam-hitam sebagai alat pembayaran. Arben segera menimbang dan menaksir harga kayu itu, paling tidak dua kali lipat harga mesin Johnson yang diberikan Mundus. Hal itu berarti, ia memperoleh seratus persen keuntungan. Sementara di dalam tas pinggang ia masih menyimpan beberapa juta untuk satu tromol gaharu yang akan diperoleh dalam beberapa hari.
Di depan bevak Mika terduduk mematung seakan tak peduli dengan kehadiran mesin Johnson itu, perhatiannya terpusat kepada Ero. Wanita berambut lurus itu diam-diam telah mengobarkan api cemburu di dalam dadanya. Ia dapat mengamati setiap gerak-gerik wanita itu, juga manakala mereka, Ero dan Mundus, saling mengerjapkan mata kemudian menghilang diam-diam di dalam hutan. Sementara di atas selembar tapin, Arben mulai terhanyut dalam permainan judi. Yowero diam-diam mengikuti jalannya permainan itu, sehingga sedikit demi sedikit mulai memahami kemudian dengan ragu-ragu terlibat di dalamnya sebagai pemula.
Mika mengertakkan rahang sambil menendang piring plastik yang menghalangi langkahnya. Dengan gemetar tangan wanita itu menyambar sebatang kayu bakar. Tak seorang pun yang memperhatikan ketika bayang- Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
bayang Mika berkelebat keluar dengan kayu bakar di tangan. Tidaklah sulit bagi Mika untuk mengikuti jejak Mundus. Semak-semak yang tersibak dan gemeresik ranting patah adalah sebuah pertanda yang cukup membuatnya mengerti. Tak lama kemudian, Mika segera dapat membuktikan kecurigaan itu. Suara mengikik dari mulut Ero dan napas lembu milik Mundus adalah sebuah isyarat yang cukup mendirikan bulu roma. Tapi Mika masih sanggup menahan diri. Wajah perempuan itu memerah saga, ia berdiri kaku di balik semak-semak tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sepasang telinganya masih bekerja dengan cukup baik, sehingga ia dapat merekam seluruh peristiwa atas diri Ero dan Mundus. Mika tidak mau berbuat gegabah, sebab ia tahu siapa dan bagaimana Mundus ketika ia menunjukkan amarah.
“Mana gaharunya?” itu adalah suara Ero yang segera dapat ditangkap oleh Mika.
“Ini, ambillah,” itu adalah suara Mundus.
“Mengapa hanya sedikit?” Ero agaknya kurang puas dengan jumlah kayu yang diberikan Mundus.
“Kau minta berapa banyak, perempuan?” Mundus seakan mengejek Ero, karena ketidakpuasannya itu.
“Ini terlalu sedikit untuk sekali permainan,” Ero menuntut.
“Kau terima sudah,” demikian Mundus menyudahi perdebatan dengan Ero. Dari balik semak-semak, Mika bisa melihat bayangan Mundus bergegas meninggalkan Ero sambil membetul letak celananya.
“Setan!” demikian Ero memaki setelah bayang-bayang Mundus bergerak menjauh. Ero tak mengira ada orang lain mengawasi gerak-geriknya, ia juga tak mengira bahwa setelah Mundus tak lagi tertampakkan, maka orang yang mengawasinya itu terus bergerak dengan kayu bakar tergenggam di tangan. Ero berdiri dengan kacau untuk membenahi pakaiannya yang tercerai-berai. Tapi sebelum pakaiannya kembali rapi seperti semula, wanita itu segera merasa ada sebuah pukulan berat menghantam kepalanya. Refleks, Ero berbalik untuk membela diri. Tapi usahanya sia-sia, pukulan itu kembali menghantam tengkuk kemudian bagian tubuhnya yang sangat peka. Ero menjerit kemuian terkapar dalam keadaan setengah telanjang. Nyamuk-nyamuk dan lalat babi segera berpusing di tubuh wanita itu kemudian mengisap darah, sepuas-puasnya.
Pada jarak yang amat dekat dengan tubuh terkapar itu, Mika tegak berdiri. Kayu bakar itu masih tergenggam erat di tangan, dengan penuh kebencian Mika membuang ludah, tepat di muka Ero. Sekali sepak, Mika menghamburkan satu kilo gaharu yang diberikan Mundus kepada wanita itu sebagai alat pembayaran. Mika tak menunggu lebih lama untuk membuktikan, bahwa Ero tak menyadari perbuatannya. Istri kepala perang itu segera berlalu, kembali ke bevak. Guratan wajahnya sedemikian tenang, tak sedikit pun menimbulkan rasa curiga, bahwa sebelum memasuki bevak, ia seolah tak pernah melakukan apa-apa.
Sementara di dalam bevak, perjudian masih berlangsung seru. Mundus dan Yowero telah terlibat serta. Dan Mika, tak pernah berdaya buat menghentikannya. Wanita itu duduk di depan tungku sambil mengunyah pinang. Ia sungguh merasa terganggu dengan permainan itu serta bau alkohol yang keras menyengat. Tapi, apa yang dapat dilakukan? Mundus berkuasa atas segala sesuatu yang terjadi di bevak ini, diam adalah jalan damai bagi Mika supaya Mundus tak memukulnya berulang kali.
Mereka terus terlena dalam perjudian sampai tiba-tiba Arben merasa lapar dan ia teringat pada Ero. “Di mana Ero?” Arben tergagap. Kegagapan itu secara tiba-tiba juga menyentakkan Mundus dari permainan ini. Setelah menyerahkan satu kantong gaharu kepada Ero, Mundus mengira perbuatan itu selesai sudah. Tapi, di mana sekarang wanita itu? Seisi bevak menjadi bingung. Sementara di luar, matahari telah tergelincir di langit sebelah barat, cahaya memudar sebagai aurora di batas cakrawala. Mika tampak sibuk menyalakan api tungku kemudian membakar sagu, ia merasa perutnya lapar. Sikap wanita itu amatlah tenang, tidak terpengaruh kegagapan orang-orang di dalam bevak, karena ketiadaan Ero. Samar-samar bibir kering wanita itu bahkan tampak mengguratkan seulas senyum. Setelah kelakuan perempuan itu dengan Mundus, maka ia merasa puas dengan memperdayakannya.
Suasana menjadi gelap ketika orang-orang menghambur keluar untuk mencari Ero sambil memanggil namanya keras-keras. Di atas segala rasa cemas, Mundus belum kehilangan akal. Ia cukup mengerti ke mana arah yang tepat untuk mendapatkan Ero. Perhitungan Mundus ternyata tidak meleset. Dari balik rimbun dedaunan, di bawah suasana remang yang kian mengaburkan batas pandang, Mundus dapat melihat tubuh Ero tergolek di atas semak-semak dengan tubuh nyaris telanjang. Mata Ero mengerjap lemah, tapi kesadarannya belum pulih sepenuhnya.
“Ero!” Arben berteriak nyalang. Beberapa detik mata laki-laki itu berdiri terpana dengan sepasang mata terbelalak lebar. Otak Arben nyaris tak mampu bekerja untuk sekadar menjawab, kekerasan apa yang telah terjadi, sehingga Ero tergolek dalam keadaan seperti ini? Keterpanaan itu tak berlangsung lama, sebab tangan Arben segera bergerak membenahi pakaian Ero yang tercerai-berai kemudian dibantu Mundus dan Yowero, membawa wanita itu kembali ke dalam bevak.
Ero mengeluh perlahan ketika merasa tubuhnya ditidurkan dengan sangat hati-hati di atas tapin. Hangat api tungku menyentuh kulit tubuhnya yang menggigil. Ia merasakan nyeri pada sekujur tubuhnya sementara pusat rasa sakit di kepalanya yang kini benjol terus berdenyut menggoyahkan grafik kesadaran. Ero merasa sedikit nyaman ketika Arben meletakkan kain yang telah dikucuri minyak angin di depan hidungnya.
“Apa yang terjadi?” Arben bertanya, tapi mulut Ero terus terkatup sehingga tak sepatang kata pun terlontar sebagai jawaban.
“Ero,” Arben kembali menggugah kesadaran Ero. Ia menyuapkan air Vit sedikit demi sedikit ke mulut Ero supaya wanita itu mendapatkan kembali kekuatan.
“Apa yang telah terjadi?” Arben kembali bertanya, ia sulit menerima kenyataan, bahwa teman hidupnya itu telah  dianiaya. Siapakah pelakunya? Arben bertanya dalam hati. Dan tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya meremang. Siapa pun pelakunya, pasti orang itu berada tak jauh dari tempatnya bermain judi. Tapi, kenapa?
Seketika wajah Arben memucat, ia tersadar, bahwa kehidupan di dalam bevak ternyata begitu dekat dengan bahaya, bahkan kematian. Arben menoleh ke sekeliling untuk mendapatkan jawaban bagi hatinya yang gundah. Tapi tak ada isyarat apa pun yang ia peroleh dari pondok sederhana ini, kecuali kebisuan.
“Ero,” untuk yang kesekian kali Arben kembali menggugah kesadaran Ero.
“Aku takut, Arben…” Ero berbisik lemah.
“Kenapa?” Arben masih berusaha tenang, meski ia tak bisa menyangkal, bahwa rasa takut perlahan-lahan mulai menguasai diri.
“Bawa aku pergi dari sini, Arben,” Ero memohon, wajahnya menjadi demikian pias dan memutih bagai kertas ketika pandangan matanya beradu dengan Mundus. Siapakah laki-laki itu? Ero bertanya dalam hati. Ia mencoba mengingat kembali saat-saat terakhir sebelum kesadarannya melayang. Seketika tubuh wanita itu menggigil. Mundus-kah yang telah memukulnya? Kemudian, di mana gaharu itu? Apakah Arben tahu apa yang sebenarnya terjadi?
“Oh…” Ero memejamkan mata. Tanda tanya itu telah mengobarkan segala rasa takut, ia merasa keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
“Bawa aku pergi dari sini, Arben,” sekali lagi Ero memohon, ia benar-benar ingin segera pergi meninggalkan tempat ini. Ero tak menyadari, bahwa di luar bevak hari sudah menjelan gelap. Angin dingin mengempas, mematahkan ranting dan dedaunan. Jarak dari hutan ini ke ibu kota kecamatan Agats baru bisa ditempuh dalam delapan jam perjalanan. Pukul berapa mereka akan tiba di Agats bila perjalanan dimulai saat ini sementara Ero berada dalam keadaan kritis.
“Hari sudah gelap, Ero. Besok, pagi-pagi sekali, kita berangkat,” Arben membujuk.
“Tapi…” Ero mencoba menyangkal.
“Tidurlah, kita berangkat besok pagi-pagi sekali,” Arben menyelimuti tubuh Ero dengan hati-hati. Ia tak habis pikir, mengapa Ero bisa mengalami kejadian seperti ini?
Sementara Mundus mulai sibuk menyalakan lampu gas, api tungku saja tak cukup mampu untuk menembus kegelapan bevak ini. Tak lama kemudian suasana redup itu segera berubah menjadi terang-benderang. Arben terduduk lemas di samping Ero. Tanpa sengaja pandangan mata arben tertumbuk pada Mika yang tengah asyik mengisap rokok di muka tungku. Wajah wanita itu demikian tenang, amat tenang bagai permukaan danau ajaib yang tak terpecah oleh lemparan batu yang paling besar sekali pun. Arben ternganga. Untuk yang kesekian kali, ia kembali bertanya-tanya, siapakah orang-orang yang tengah hidup di sekitar bevak ini?
Mika seakan tak menyadari, bahwa Arben tengah menatapnya sedemikian rupa, wanita itu dengan nikmat terus mengisap rokok kemudian memainkan asapnya. Mika agaknya tak pernah peduli dengan segala penderitaan yang menimpa Ero, meski jarak antara keduanya sedemikian dekat, bahkan telah menyatu dalam ruangan di bevak ini. sekejap kemudian Arben memejamkan mata, ada bermacam tanda tanya berputar-putar di kepalanya, ia pun menjadi pening. Kemudian rasa mengantuk menyerangnya secara tiba-tiba. Beberapa detik lamanya Arben merasa tubuhnya mengambang, seakan gumpalan kapas yang mengapung di langit-langit bevak. Sebuah kekuatan dengan pesat memapah Arben menuju dunia lain, dunia yang dipenuhi mimpi dan ilusi.
Arben-pun melihatnya, wajah-wajah itu. Mundus, Mika, dan Yowero. Pada mulanya wajah-wajah itu demikian tenang, tak berkerut barang sedikit pun, kemudian perlahan-lahan mulai tersenyum, senyum itu melebar menjadi tawa, mengikik, menyeringai, dan akhirnya menampakkan sepasang taring. Rasa takut yang amat dalam mendesak Arben sedemikian rupa seakan mata pisau yang berkilat, menimbulkan kengerian.
“Aught!” Arben berteriak, mimpi buruk itu pun pudar sudah. Tubuh Arben telah basah kuyup oleh keringat dan rasa takut itu membelitnya kuat-kuat. Di sekelilingnya suasana masih gelap gulita, hanya tinggal secercah bara api tungku yang tersisa, sementara semua orang masih terlelap, lampu gas telah padam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam bevak itu. Arben meraba-raba Zippo di dalam saku celana, kemduian menyalakan pemantik itu dengan suara berdenting. Cahaya api segera membias sebagai penerangan mini di dalam ruangan ini. Arben menyambar sebatang lilin kemudian menyulut sumbunya dan meletakkan batang itu di atas botol. Arben dapat melihat titik-titik keringat dingin membasahi wajah Ero. Tubuh wanita itu pun menggigil dalam demam yang tinggi. Arben mencari-cari kantong obat untuk mendapatkan paracetamol bagi Ero. Ia bersyukur, karena mendapatkan barang yang dicarinya di antara tromol-tromol.
“Ero, bangun, Ero,” Arben mengguncang-guncang bahu Ero, ia menunggu beberapa saat sebelum Ero membuka mata. “Kau demam, Ero, ayo minumlah,” Arben menyorongkan tablet itu ke mulut Ero, ia dapat merasakan tubuh itu menggigil. Ero menelan tablet itu, kemudian mereguk satu botol kecil air Vit untuk membasahi tenggorokannya yang seakan terbakar.
“Tidurlah,” Arben membujuk Ero tidur, tapi wanita itu tak dapat lagi memejamkan mata. Demikian pula Arben, mereka terdiam dalam kegelisahan sampai malam terus merangkak, fajar menyingsing, dan langit di seputar hutan itu menjadi merah. Arben masih dapat menguasai diri meski seluruh tubuhnya terasa nyeri. Dengan tenaga yang tersisa Arben mengepak seluruh peralatan yang ada. Ia meneguk air Vit, mengunyah beberapa potong biskuit dari satu bungkus supermi yang tidak dimasak. Sementara Ero, ia tak bisa menelan apa pun, kecuali satu gelas air Vit. Kemudian ia berbaring dengan badan lemah dan mata terpejam. Arben dibantu dua orang temannya menyiapkan long boat kemudian menggotong Ero dan menempatkan wanita itu dengan sebaik-baiknya.
Mereka tak bisa memastikan, berapa lama waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan perjalanan, tapi matahari sudah tampak membiaskan sinar ketika suara johnson itu terdengar meraung, membelah kesunian. Arben tak sempat lagi membalikkan badan ketika kendaraan air itu bergerak menjauh dari bevak. Gerak long boat itu mendadak telah memberi kekuatan ekstra bagi Ero. Wanita yang semula hanya berbaring lemah itu perlahan-lahan bangkit kemudian menyandarkan tubuhnya pada dinding long boat. Wajah itu masih seputih kertas, matanya yang redup menatap lurus ke muka tanpa ada sedikit pun keinginan untuk memutar pandangan. Bevak itu telah menjadi masa lalu dan Ero tak ingin mengingatnya kembali.
Di depan bevak, Mundus melepas kepergian itu, masih dalam tanda tanya. Ia tak bisa menduga apa yang telah terjadi pada diri Ero setelah ia membayarnya dengan satu kilo gaharu. Malang nian nasib wanita itu. Sementara Mika masih tetap dalam sikap “wajar” seperti semula, ia seakan tak pernah peduli dengan kepergian itu. Semakin jauh itu sundal dari bevak ini, agaknya keadaan akan semakin membaik. Mika meludah ke atas tanah, membekaskan warna merah pinang seakan ia tengah membuang najis ke muka Ero, kemudian menghilang ke dalam hutan. Dan Mundus, ia terlalu dungu untuk sekadar memahami sikap Mika. Ia tak mampu berpikir lebih panjang perihal Ero. Atau, ia memang tak perlu berpikir lebih lanjut.
Sementara Yowero, ia hanya mampu duduk bertopang dagu di muka api tungku. Botol-botol wiski yang kosong masih berserakan. Demikian pula dengan puntung rokok dan bermacam sampah lainnya. Yowero tak terusik dengan keadaan ini, satu pengertian ganjil kembali tertanam dalam benaknya. Betapa mudah seorang wanita terpedaya.
Setelah bunyi raungan Johnson menghilang, maka suasana di hutan itu kembali terbenam dalam sepi, meski sepi itu tak berlangsung lebih lama. Sebulan kemudian Arben kembali datang bersama dua orang kawan dan tiga orang wanita. Ero tak lagi menampakkan batang hidungnya. Tapi tiga wanita yang menjadi teman hidup masing-masing pencari kayu itu, tak berbeda sama sekali dengan Ero. Mika mengertakkan rahang dengan geram, ia tak bisa menghalau wanita-wanita itu dari bevak tempatnya tinggal, karena Mundus mengharapkan uang pembelian dari para pencari yang membawanya. Satu hal yang bisa dilakukan Mika adalah diam. Ia tak pernah lepas memperhatikan wanita-wanita itu sambil menunggu kesempatan untuk memperdayakannya.
Di lain pihak, Mundus selalu menyambut kedatangan Arben dan kawannya dengan tangan terbuka. Kedatangan Arben telah mengubah seluruh kehidupannya. Kini, Mundus adalah orang pertama di kampung ini yang memiliki pondok beratap seng dengan parabola, televisi, tape recorder, dan disel di dalamnya. Kekayaan itu adalah satu kekuatan yang mengukuhkan kekuasaannya sebagai kepala perang. Tak berapa lama setelah pondok itu menjadi megah dan ramai oleh siaran televisi, maka Yowero akhirnya memiliki johnson pribadi. Dengan demikian, maka lengkap sudah harta benda yang menjadi milik keluarga itu.
                                                                                               ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...