SENJA itu, suasana di seputar hutan Buetkuar tak lagi sunyi. Suara musik meraung-raung dari tape recorder yang diputar dengan suara maksimal. Beberapa lagu terdengar sekaligus seakan ingar-bingar pasar malam yang menyambut gendang telinga. Dalam hiruk-pikuk lagu-lagu, maka di dalam bevak tampak sekelompok orang tengah tenggelam di dalam perjudian. Permainan itu telah lama berlangsung, tapi agaknya tak seorang pun di antara mereka yang berniat menyudahi. Menunggu kedatangan kayu gaharu adalah kejenuhan, dengan bermain judi, maka para pencari kayu itu mencoba untuk membunuhnya. Setelah kartu-kartu dan lembaran uang yang berserakan, maka botol-botol wiski dan vodka kosong bergelimpangan. Botol yang masih penuh tersusun rapi di dalam kardus. Para pencari gaharu itu sengaja membawanya untuk melangsungkan ketergantungan terhadap alkohol. Harga minuman keras yang mahal bukanlah masalah, berjuta keuntungan dari penjualan gaharu segera memberikan jawaban.
Asap rokok mengapung seperti kabut yang menyesakkan suasana di dalam bevak,
tetapi mereka yang berjudi tak pernah peduli dengan keadaan ini.
Permainan itu ibarat lingkaran setan yang terus berputar, memacu hawa
nafsu, terutama bagi pihak yang kalah. Si kalah selalu mengharap
kemungkinan untuk menang dan menang, sehingga perjudian terus
berlangsung sampai ia berputus asa, setelah ludes modal dan sirna
harapan untuk memulai permainan baru.
Mundus, Mika, dan Yowero menerobos masuk ke dalam bevak dengan noken
penuh kayu. Wajah-wajah itu demikian letih dalam daki dan keringat yang
terus mengucur. Mundus menenggak air Vit dalam botol, ia pun segera
merasa segar setelah dahaga yang panjang. Mika dan Yowero melakukan hal
yang sama, sehingga air Vit di dalam botol itu segera menjadi kosong.
Sejak kehadiran para pencari gaharu yang berlomba membeli kayu harum itu
dengan harga mahal, kemudian barang-barang industri terus membanjir,
baik Mundus, Mika, maupun Yowero terbiasa memanfaatkan dan menjadi
konsumtif.
Kedatangan tiga anak-beranak dengan noken penuh gaharu
seakan sinyal yang berkuasa penuh bagi para penjudi untuk segera
menghentikan permainan. Gaharu adalah emas hitam yang akan memberikan
berjuta keuntungan. Mereka, para pencari itu sengaja menjamah hutan
terpencil ini untuk hal yang demikian, dengan segala macam akibat yang
muncul kemudian.
“Selamat sore-o,” salah seorang dari pencari gaharu itu memberi
sambutan. Ia adalah seorang laki-laki berambut lurus yang biasa
dipanggil Arben. Kulit laki-laki itu sedemian putih, menampakkan kontras
dengan sang tuan tanah sebagai tangan pertama yang mendapatkan gaharu.
Arben datang dari seberang sana, dari daratan Sulawesi. Semula ia
bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan swasta di Jayapura, tapi
gaji yang diterima per bulan tak pernah cukup untuk mencapai kehidupan
mapan. Ketika ia mendengar, bahwa gaharu mulai marak di wilayah Asmat,
maka ia segera berkeputusan berhenti sebagai karyawan kemudian
memperpanjang perantauan ke tempat terpencil ini.
Pada awalnya Arben datang seorang diri, akan tetapi kehidupan di
tengah hutan telah menjeratnya sedemikian rupa, sehingga harus disadari,
bahwa ia memerlukan seorang wanita. Melampaui hari demi hari di tengah
hutan bersama masyarakat setempat, menjadi hal yang mengerikan. Setelah
nyamuk dan lalat babi sebagai musuh utama, maka kebutuhan badani, makan,
dan pakaian bersih mendesaknya, sehingga ia memutuskan untuk mengambil
langkah baru. Arben cukup mengerti apa yang harus dilakukan. Pengalaman
di Jayapura kemudian permainan di Timika manakala ia melewatkan masa
muda telah memberikan suatu pengertian, bagaimana ia mesti melangsungkan
hidup sebagai pencari gaharu.
Sehari setelah memperoleh berjuta keuntungan dengan menjual gaharu
kepada plasma, Arben segera pergi ke Timika dengan menumpang kapal
perintis. Di bawah remang dan warna-warni lampu bar, Arben kemudian
melihat kembali wajah itu. Wajah seorang wanita yang tampak lebih tua
daripada usia sebenarnya, karena kegetiran hidup. Wajah seorang Ero.
Tangan wanita itu menggenggam gelas berisi wiski yang telah kosong
separuh. Ia telah mabuk rupanya, sehingga tak peduli dengan laki-laki
nakal yang bernafsu mencium-cium pipinya. Arben tak mau
berpanjang-lebar, ia harus mendapatkan Ero, membawanya keluar dari
kehidupan bar kemudian mengajaknya menyusup ke dalam hutan, untuk
mendapatkan emas hitam. Kini, sementara Arben tenggelam dalam permainan
judi, menanti-nanti kedatangan kayu, maka Ero akan bersibuk diri memasak
kemudian mencuci pakaian. Hidup bersama dengan Arben, meski tanpa
pernikahan, masih lebih baik bagi Ero daripada mesti menjajakan diri
dari bar ke bar untuk semua laki-laki yang memerlukan jasanya. Ero baru
saja mencuci setumpuk pakaian kotor kemudain mandi bersih-bersih dengan
air kali dan kembali ke dalam bevak dengan tergesa, karena hari
telah menjelang gelap. Harum gaharu menyambutnya ketika ia mengempaskan
satu loyang pakaian basah. Ero masih dapat melihat kartu-kartu
berserakan, botol-botol wiski bergelimpangan, dan beberapa lembar uang
kertas tercecer di atas tikar. Demikianlah kehidupannya, ia telah
menjadi bagian dari semua ini dan tak berdaya melepaskan diri.
“Bapa Mundus, selamat-o,” Ero membuka panci berisi nasi yang telah
masak kemudian penutup piring yang berisi ikan kaleng goreng tepung. Ia
sudah sedemikian bosan dengan sarden saus, sehingga harus pintar-pintar
memasak untuk menghidangkan menu di tengah hutan. Bila tidak, Arben
pasti akan mengomel dan memasang muka bunuh sepanjang hari. Harum nasi
dan ikan goreng segera membangkitkan rasa lapar. Tangan Ero meraih
piring kemudian menyendok nasi dan ikan. Ia pun memulai gerakan
mengunyah sambil duduk sembarang-sembarang, menampakkan sepasang paha
yang putih gempal. Ero menyadari, bahwa Mundus menatap sepasang kakinya
sambil menelan ludah, dan ia seolah tak peduli. Ia sudah terbiasa
melakukan hal semacam ini dan berkeras untuk tidak menghentikan.
Ero menatap sepasang mata Mundus dengan menantang ketika laki-laki
itu terus memandangnya sambil mengerjapkan mata. Ia sudah beratus kali
menangkap isyarat semacam itu dan sudah terlalu ahli menanggapi.
Sementara penghuni bevak yang lain segera mengambil piring
masing-masing untuk kemudian mengambil jatah makan, sehingga nasi di
dalam panci segera menjadi licin tandas hanya menyisakan kerak dan
butir-butir yang menempel pada dinding panci. Acara makan bersama itu
berakhir dengan sebungkus rokok yang berputar dari tangan ke tangan
kemudian disulut, diisap, dan mengepulkan asap. Yowero tak ketinggalan,
ia sudah sangat tergantung dengan rokok dan menjadi terbiasa
mengisapnya.
Saat ini, hanya Yowero yang masih banyak menghabiskan waktu bersama
Mika dan Mundus, tiga saudaranya yang lain telah hidup bersama
keluarganya di rumah mamak mantu. Yowero selalu ikut serta pergi ke
hutan mencari gaharu, dan hasilnya, ia sudah cukup merasakan. Berjuta
uang ia terima setelah ia menggaruk-garuk kayu dengan tekun, sehingga
tampaklah hitam warnanya dan harum baunya. Pencari berambut lurus itu
akan menimbangnya. Transaksi terjadi setelah ada kesesuaian harga, tiga
ratus lima puluh ribu rupiah per kilo untuk gaharu super---A dan B,
selebihnya harga sangat tergantung kepada keadaan kayu.
Yowero tak pernah dapat memastikan berapa jumlah uang yang diperoleh
secara keseluruhan dari hasil penjualan kayu, tapi dalam kurun waktu
empat bulan, ia telah memiliki tape recorder, demikian pula
dengan Mundus dan Mika. Dan pakaian-pakaian itu telah mengubah
penampilan mereka. Yowero tak tampak lagi sebagai layaknya anak kampung
dengan celana kolor dan dada telanjang. Baju kaus dan celana jins itu
telah menyulap penampilannya, sehingga ia tampak seperti anak kota,
meski tak memiliki kemampuan menulis dan membaca.
Demikian pula dengan Mundus dan Mika. Mundus kini memiliki satu
tromol penuh pakaian baru, jam tangan, dan satu kardus persediaan rokok.
Sementara Mika sedikit demi sedikit mulai mengikuti kegenitan Ero.
Setelah pakaian-pakaian baru, ia memiliki pula bedak, sisir, dan gincu
merah manyala. Ero membujuk-bujuk dan menukarkan barang-barang itu
dengan satu kilo gaharu tanggung seharga seratus lima puluh ribu rupiah.
Dengan bedak dan gincu merah manyala penampilan Mika menjadi lain sama
sekali. Mundus tampak kurang senang, wajah istrinya itu kini tampak
seakan suanggi. Tapi Mika terlalu bergembira dengan bedak dan gincu, ia berkeras memakainya, meski Mundus menjadi geram karenanya.
“Bapa Mundus ada perlu Johnson-kah?” demikian Arben membuka
pembicaraan. Tangan laki-laki itu terus bergerak mengikis
penggalan-penggalan kayu, sehingga warna hitam gaharu mulai tampak nyata
disertai aromanya yang sangat harum.
“Betul, Anak,” Mundus menjawab singkat, ia telah melihat kehebatan
mesin itu dalam menggerakkan perahu, sehingga tak perlu lagi menguras
tenaga untuk mendayung manakala ia berkehendak untuk mencapai suatu
tujuan.
“Berapa Bapa sanggup membeli?” Arben kembali bertanya.
“Kitorang tukar itu Johnson dengan gaharu,” kata-kata itu
terlontar dari mulut Mundus dengan begitu yakin. Ia cukup mengerti isi
hati para pencari kayu, termasuk Arben. Bukankah mereka datang ke tempat
terpencil ini dan bersusah-payah tinggal di hutan, adalah demi gaharu
semata.
“Baiklah, besok kitorang pulang dan minggu depan kembali
lagi ke sini dengan Bapa punya Johnson,” Arben menjanjikan, ia menjadi
begitu bersemangat menanggapi keinginan Mundus dengan bayang-bayang
keuntungan yang bakal diperolehnya. Dengan keuntungan itu ia bisa
memenuhi bermacam kebutuhan hidup dan tentu saja berjudi serta membeli
minuman keras. Bermacam kesulitan dan lingkungan pergaulan telah
menjerat Arben sedemikian rupa, sehingga ia semakin terseret ke dalam
lingkaran setan yang bercirikan kartu dan alkohol. Arben tak pernah
berpikir, bahwa setelah hari ini berlalu, maka hari depan masih amat
panjang membentang.
Mereka mengikis kayu hingga larut malam setelah tenaga untuk bekerja
tak lagi tersisa, sementra rasa mengantuk berubah menjadi satu kekuatan
gaib yang menghentikan gerakan tangan. Satu demi satu orang yang berada
di dalam bevak itu pun menyudahi pekerjaannya kemudian
merebahkan diri di atas tikar. Baik Arben, Ero maupun ketiga orang
pencari gaharu lainnya telah mengenakan celana panjang dan jaket untuk
melindungi diri dari gigitan nyamuk. Angin malam mengempas sebagai
suasana abadi yang menerobos masuk ke dalam bevak melalui celah-celah dinding.
Mundus, Mika, dan Yowero telah rebah miring berdekatan satu sama
lain, menjelang tidur panjang. Mereka telah melampaui hari ini dengan
kerja keras untuk mendapatkan keuntungan dari para pencari gaharu. Nyala
lampu gas di dalam bevak itu semakin lama semakin redup. Dengan sekali gerakan arben mematikan lampu itu, sekejap kemudian suasana di dalam bevak itu menjadi gelap gulita. Seluruh penghuni bevak itu pun tertidur lelap.
***
Pagi hari suasana di tengah hutan itu terjaga di dalam warna kuning
dan seleret kabut tipis yang segera sirna dihalau angin. Embun masih
mengkristal pada ujung setiap daun, suara mencecet satwa hutan adalah
semata suara alam yang langgeng tak terpisahkan. Sesisi bevak
perlahan terjaga dengan perlengkapan sehari-hari yang tertata dengan
baik. Ero adalah orang pertama yang terbangun, ia tahu apa yang harus
dikerjakan untuk memulai kehidupan hari ini, sebelum penghuni bevak yang
lain terjaga. Kehidupan di tengah hutan atau di bawah gemerlap lampu
bar ternyata tak berbeda terlalu jauh, atau sama menyedihkan. Adakah ia
masih bisa memilih? Ia telah membiarkan dirinya terbenam jauh ke dalam
lumpur dengan satu pertanyaan, adakah suatu saat akan dapat mencabutnya
kembali? Jawaban itu sampai hari ini tak pernah ada, ia bahkan tersedot
ke dalam pusaran lumpur semakin dalam --semakin dalam-- Tak mudah
mendapatkan selembar uang dan sesuap nasi, itu sebabnya ia harus bangun
pagi, memasak air dan menyediakan sarapan bagi Arben, bahkan seisi bevak
ini. Ia masih harus menjemur pakaian, mengangkat kemudian melipatnya,
sehingga Arben dapat dengan nyaman berganti pakaian setiap hari. Setelah
itu ia harus dapat bersikap selayaknya suami istri, meski pernikahan
tak pernah terjadi. Dengan cara seperti ini, maka Arben akan memberinya
sejumlah uang, jumlah yang hanya dapat diterima tanpa tawar menawar.
Adakah jumlah ini akan mampu membawanya pergi meninggalkan lumpur hitam
kehidupan? Terkadang Arben memberinya jumlah uang yang cukup besar,
sehingga ia dapat membeli pula perhiasan.
Akan tetapi, Ero juga tahu, bahwa uang yang dihamburkan Arben di meja
judi dan berpuluh botol minuman keras, jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan jualan yang diterima sebagai teman hidup di hutan.
Diam-diam Ero menjadi cemburu. Satu kali Ero pernah meminta bayar
tambahan dan sebagai jawaban Arben memakinya. “Kamu ini cuma penghibur, maniso apa koe?!”
Makian itu tentu saja tidak menyakitkan hati, karena memang
demikianlah keadaan Ero. Akan tetapi, bukankah kata “penghibur” selalu
mengandung pengertian, bahwa ia bisa menjadi penghbur diri kepada setiap
laki-laki? Dengan pendirian semacam inilah Ero menjadi nakal. Ia cukup
mengerti bagaimana harus memanfaatkan laki-laki. Termasuk Mundus, si
kepala perang.
Pagi ini Ero tak perlu tergesa memasak air, ia mengikuti rasa malas,
sekaligus keinginan untuk bersenang-senang berenang pada air kali. Ero
bukannya tidak menyadari, diam-diam ada bayangan berkelebat mengikuti
dari belakang, bayangan Mundus si-kepala perang. Ia sengaja membiarkan
dirinya diikuti dan sengaja terjun ke dalam air sungai tanpa sehelai pun
pakaian.
Sementara dari balik semak-semak Mundus memandangi tubuh telanjang
Ero dengan mulut melongo. Naluri yang paling peka dalam dirinya
mendorong untuk segera mendekat dan berbuat menurut kehendak hati
terhadap Ero. Akan tetapi, suara terbatuk dari mulut Arben segera
menghalangi niatnya. Sekejap kepala perang itu menghela napas
dalam-dalam. Tangannya yang legam terkepal, geram. Dengan suara
mendengus seperti lembu perahan Mundus membalikkan badan. Langkah
kakinya yang panjang membawa bayang-bayang laki-laki itu terus menjauh,
menembus rimbunan hutan, hingga akhirnya menghilang di balik dedaunan.
Di lain pihak Arben segera mempercepat langkah ketika tampak sekilas
Ero tengah berenang dalam jernih air kali. Tubuh wanita itu
timbul-tenggelam dalam permukaan air yang memecah dan bergelombang
lemah. Arben segera melucuti pakaian, hanya tinggal celana konak
melindungi bagian tubuh yang paling pribadi. Dengan satu lompatan Arben
segera memburu Ero, sedetik kemudian keduanya telah berkejaran di dalam
air hingga Arben dapat menyeret Ero ke tepian.
Suara mengikik bak kuda-kuda liar adalah ciri khas perempuan Ero
setelah bertahun-tahun ia terbenam dalam pekatnya lumpur kehidupan.
Suara mengikik itu seakan terus menggema hingga Arben membaringkan Ero
di sekitar semak-semak. Suasana purba di seputar hutan itu adalah
kehidupan yang abadi. Di seputar yang purba itu adalah sepsang anak
manusia dalam perilaku yang paling primitif. Untuk pemenuhan kebutuhan
semacam inilah Arben membawa Ero jauh-jauh ke tengah hutan. Ia mempunyai
uang lebih dari sekadar cukup untuk membayar jasa Ero. Semak-semak di
sekitar mereka pun bergemeresik, terpatah-patah.
Baik Arben maupun Ero tak menyadari, bahwa dari atas pohon ada
sepasang mata menyaksikan ulah sikap mereka dengan dada bergemuruh.
Sepasang mata itu demikian nyalang dan dipenuhi rasa ingin tahu yang
amat dalam. Ketika Arben dan Ero telah menyudahi permainan mereka
kemudian terkapar bersama-sama dalam diam, sepasang mata itu masih terus
menatap, tak berkedip. Ero terpekik tak berapa lama kemudian ketika ia
merasa ada lalat babi menggigit bahunya yang telanjang.
“Uff!” secara refleks tangan wanita itu bergerak menepuk bagian
pundak yang terasa sakit dengan keras. Tapi terlambat, lalat babi itu
telah terbang, meninggalkan bekas gigitan dengan mengkak di seputar
luka. Ero segera berkemas mencari pakaianannya, tapi sebelum barang yang
dicarinya itu didapat, Arben telah kembali menerjang. Semak-semak di
seputar tempat itu kembali bergemeresik dan terpatah-patah. Sementara
sepasang mata yang menatap dari atas pohon, menjadi nanap. Deburan di
dada yang kian menggelora telah menghidupkan satu dorongan dalam diri
dan sulit dikendalikan.
Sepasang mata itu adalah milik Yowero. Ia tengah menyaksikan kejadian
mendebarkan yang menyeretnya secara kuat ke dalam sebuah tanda tanya
yang membingungkan. Yowero seakan terpaku pada dahan tempatnya
bersandar. Ia tak bergerak, berdiam bagai patung, bahkan setelah
bayang-bayang Ero dan Arben berkelebat, menjauh pergi.
Matahari telah tinggi ketika Yowero tersadar dari dahan kayu tempat
ia terduduk bagai tersihir. Gemuruh di dada belum juga reda ketika
dengan lincah kaki-kaki Yowero mulai bergerak menuruni batang pohon.
Anak Asmat itu berjalan perlahan menuju bevak dengan langkah
mengambang. Yowero seakan tersengat ketika ia mendengar suara mengikik
bagai kuntilanak dari mulut Ero. Ia mengenal betul suara itu. Tak berapa
lama ketika sampai di depan pintu Yowero dapat melihat, bahwa Ero dan
Arben serta kawan-kawannya tengah berkemas pergi. Beberapa tromol gaharu
telah didapat, sehingga mereka tak beralasan lagi untuk tinggal lebih
lama di bevak ini.
“Kami jalan dulu, Bapa Mundus,” demikian Arben berpamit.
“Minggu-minggu depan kalau datang kemari, kami akan membawa Johnson
untuk Bapa.”
“Baguslah kalau begitu. Kitorang tunggu itu barang, Anak,”
Mundus menjawab sambil menimang-nimang ikatan puluhan ribu yang sangat
tebal. Lembaran kertas ini telah mengubah seluruh kehidupannya, sehingga
ia bisa memperoleh kenikmatan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.
Wajah Mundus kini adalah guratan yang menyatakan rasa puas. Sesaat
ketika pandangan matanya bertautan dengan Ero, Mundus memberikan isyarat
dengan satu kerdipan sambil memamerkan gumpalan uang. Ero menyeringai,
ia ingin berbuat lebih dari itu untuk memancing-mancing Mundus, tapi
keberadaan Arben membuatnya takut. Nanti, akan tiba saatnya untuk
memainkan kepala perang itu, sehingga ia bisa mengambil manfaat.
Tidak terlalu banyak waktu yang diperlukan untuk berkemas-kemas. Tak
berapa lama kemudian seluruh perlengkapan dan gaharu yang berhasil
diperoleh telah diangkut ke dalam long boat. Mundus masih
mempunyai kesempatan mencolek pinggul Ero ketika wanita itu tengah
berjalan mengekor di belakang Arben. Ero mengerdipkan mata sambil
berbisik perlahan. “Tunggu nanti, kalau saya datang lagi.”
Mundus tak menyadari, tak jauh dari tempatnya berdiri, Mika melihat
kejadian itu dengan mata berapi-api. Sesaat, ketika suara Johnson
terdengar meraung, memecah hening, maka dari bevak terlontar sumpah serapah.
“Maniso koe, Mundus, kamu orang ada mau-mau dengan perempuan nakal itu. Kamu mengira kitorang taratau dorang itu siapa?” demikian Mika bersungut-sungut sambil terus memandangi bayang-bayang long boat itu menjauh dari lingkungan bevak.
***
Sementara itu, Jirimo telah bersembunyi dan mengasingkan diri di
tengah hutan dalam waktu yang amat lama. Tak ada seorang pun yang dapat
menentukan dengan pasti, berapa tahun Jirimo tidak diakui sebagai
anggota puak, karena mereka memang tidak memperhitungkan hari dalam
peredaran tahun. Yang jelas, Bunapi telah mendapatkan pengganti Donatus
dan melahirkan dua orang anak yang kini masih kecil-kecil. Masa kedukaan
bagi wanita itu agaknya telah berlalu. Jirimo bukannya tidak mengetahui
semua kejadian itu, ada kalanya ia menyusup ke kampung, menemui sanak
keluarganya untuk melihat perkembangan yang terjadi setelah kematian
Donatus. Pelarian ke tengah hutan agaknya sudah merupakan hukuman yang
amat berat baginya, karena nyata-nyata ia terkucil dari kehidupan
puaknya. Sungguhpun di tengah hutan ia tak pernah kehabisan bahan
makanan, tapi ia tak pernah lagi terlibat dalam pesta ulat sagu dan
kehidupan bersama di rumah bujang. Hal ini sungguh amat memilukan.
Ketika Jirimo merasa tak mampu lagi bertahan dalam keterasingan di
tengah hutan, maka ia segera menghadap tetua adat untuk mendapatkan
pengampunan. Jirimo harus menunggu dalam waktu yang cukup panjang dan
menggelisahkan sebelum pengadilan adat memberikan ampun dengan syarat,
ia harus membayar harta kepada Bunapi.
Jirimo memerintahkan ketiga istrinya, Sula, Berna, dan Lisbeth untuk
bekerja keras meramah sagu, sehingga ia membayar berpuluh sagu kepada
Bunapi. Jirimo juga menyerahkan babi, kasuari, dan bermacam binatang air
kepada wanita itu untuk menyenangkan hatinya. Setelah menyelesaikan
pembayaran harta, maka Jirimo dapat kembali tinggal di kampungnya.
Rumahnya telah rata dengan tanah, ia harus bersusah-payah membangun
kembali dan setelah itu ia masih harus menerima kenyataan pahit, karena
seluruh penghuni kampung tak mau menegurnya.
Sekali lagi Jirimo mesti bersabar diri. Ia mulai merasa terhibur
ketika tiba-tiba gaharu mulai marak di wilayah ini dan sebagai seorang
tuan tanah ia benar-benar lihai memanfaatkan emas hitam itu. Kekayaan
yang dimiliki dan kepandaian mengambil hati orang lain dengan membagikan
tembakau serta uang menyebabkan keberadaan jirimo sedikit demi sedikit
mulai diperhitungkan dan akhirnya ia diakui kembali sebagai anggota
puaknya.
***
Dua minggu setelah meninggalkan Buetkuar, Arben dan Ero kembali
datang dengan mesin johnson 40 Pk yang masih baru. Mata Mundus
terbelalak dibuatnya, kepala perang itu demikian bangga ketika Arben
membantu memasang mesin itu di bagian belakang perahunya. Sekejap
kemudian mesin itu mengaum, baling-baling berputar, kemudi diarahkan.
Perahu itu pun meluncur bagai didorong oleh sebuah kekuatan gaib yang
maha dahsyat. Di atas perahu, Mundus berdiri bersipongah sebagai orang
pertama di hutan ini yang memiliki johnson, mesin berteknologi canggih.
Mundus merasa begitu puas ketika di tepian sungai orang-orang di hutan
itu melihatnya dengan melongo. Ia merasa semakin pantas sebagai kepala
perang di kampung ini. Mesin Johnson itu sudah lebih daripada sekadar
bukti untuk menunjukkan kekuasaannya.
Mundus tak menyadari, betapa Jirimo sebagai orang yang tiba-tiba
menjadi banyak uang dengan memperdagangkan gaharu, memandangnya dengan
sepasang mata berapi. Sudah cukup lama Jirimo merasa sebal berdiam di
bawah bayang-bayang Mundus. Ia harus mengakui, bahwa Mundus lebih pintar
memainkan senjata perang. Akan tetapi, adakah kekuasaan yang
benar-benar abadi di kampung ini? Dan suara Johnson itu, telah berubah
menjadi sepasang batang bambu yang saling bergesekan, mengiris. Sekejab,
setelah perahu Mundus melaju, melampaui batang hidungnya, Jirimo
mengepalkan tangan dengan geram.
“Awas kamu, Mundus…” demikian mulut Jirimo mendesis. Sementara Mundus
masih dengan bangga berkeliling-keliling dengan mesin ajaib yang
terpasang kuat di bagian belakang perahunya. Riak-riak air yang memecah
dari putaran baling-baling itu tampak demikian indah. Setelah bahan
bakar menipis, maka perahu itu pun kembali ke bevak.
Mundus tak perlu berpikir panjang untuk membayar harga mesin itu. Ia
telah menyiapkan dua tromol gaharu yang hitam-hitam sebagai alat
pembayaran. Arben segera menimbang dan menaksir harga kayu itu, paling
tidak dua kali lipat harga mesin Johnson yang diberikan Mundus. Hal itu
berarti, ia memperoleh seratus persen keuntungan. Sementara di dalam tas
pinggang ia masih menyimpan beberapa juta untuk satu tromol gaharu yang
akan diperoleh dalam beberapa hari.
Di depan bevak Mika terduduk mematung seakan tak peduli
dengan kehadiran mesin Johnson itu, perhatiannya terpusat kepada Ero.
Wanita berambut lurus itu diam-diam telah mengobarkan api cemburu di
dalam dadanya. Ia dapat mengamati setiap gerak-gerik wanita itu, juga
manakala mereka, Ero dan Mundus, saling mengerjapkan mata kemudian
menghilang diam-diam di dalam hutan. Sementara di atas selembar tapin,
Arben mulai terhanyut dalam permainan judi. Yowero diam-diam mengikuti
jalannya permainan itu, sehingga sedikit demi sedikit mulai memahami
kemudian dengan ragu-ragu terlibat di dalamnya sebagai pemula.
Mika mengertakkan rahang sambil menendang piring plastik yang
menghalangi langkahnya. Dengan gemetar tangan wanita itu menyambar
sebatang kayu bakar. Tak seorang pun yang memperhatikan ketika bayang-
Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table
Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New
Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
bayang Mika berkelebat keluar dengan kayu bakar di tangan. Tidaklah
sulit bagi Mika untuk mengikuti jejak Mundus. Semak-semak yang tersibak
dan gemeresik ranting patah adalah sebuah pertanda yang cukup membuatnya
mengerti. Tak lama kemudian, Mika segera dapat membuktikan kecurigaan
itu. Suara mengikik dari mulut Ero dan napas lembu milik Mundus adalah
sebuah isyarat yang cukup mendirikan bulu roma. Tapi Mika masih sanggup
menahan diri. Wajah perempuan itu memerah saga, ia berdiri kaku di balik
semak-semak tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sepasang
telinganya masih bekerja dengan cukup baik, sehingga ia dapat merekam
seluruh peristiwa atas diri Ero dan Mundus. Mika tidak mau berbuat
gegabah, sebab ia tahu siapa dan bagaimana Mundus ketika ia menunjukkan
amarah.
“Mana gaharunya?” itu adalah suara Ero yang segera dapat ditangkap oleh Mika.
“Ini, ambillah,” itu adalah suara Mundus.
“Mengapa hanya sedikit?” Ero agaknya kurang puas dengan jumlah kayu yang diberikan Mundus.
“Kau minta berapa banyak, perempuan?” Mundus seakan mengejek Ero, karena ketidakpuasannya itu.
“Ini terlalu sedikit untuk sekali permainan,” Ero menuntut.
“Kau terima sudah,” demikian Mundus menyudahi perdebatan dengan Ero.
Dari balik semak-semak, Mika bisa melihat bayangan Mundus bergegas
meninggalkan Ero sambil membetul letak celananya.
“Setan!” demikian Ero memaki setelah bayang-bayang Mundus bergerak
menjauh. Ero tak mengira ada orang lain mengawasi gerak-geriknya, ia
juga tak mengira bahwa setelah Mundus tak lagi tertampakkan, maka orang
yang mengawasinya itu terus bergerak dengan kayu bakar tergenggam di
tangan. Ero berdiri dengan kacau untuk membenahi pakaiannya yang
tercerai-berai. Tapi sebelum pakaiannya kembali rapi seperti semula,
wanita itu segera merasa ada sebuah pukulan berat menghantam kepalanya.
Refleks, Ero berbalik untuk membela diri. Tapi usahanya sia-sia, pukulan
itu kembali menghantam tengkuk kemudian bagian tubuhnya yang sangat
peka. Ero menjerit kemuian terkapar dalam keadaan setengah telanjang.
Nyamuk-nyamuk dan lalat babi segera berpusing di tubuh wanita itu
kemudian mengisap darah, sepuas-puasnya.
Pada jarak yang amat dekat dengan tubuh terkapar itu, Mika tegak
berdiri. Kayu bakar itu masih tergenggam erat di tangan, dengan penuh
kebencian Mika membuang ludah, tepat di muka Ero. Sekali sepak, Mika
menghamburkan satu kilo gaharu yang diberikan Mundus kepada wanita itu
sebagai alat pembayaran. Mika tak menunggu lebih lama untuk membuktikan,
bahwa Ero tak menyadari perbuatannya. Istri kepala perang itu segera
berlalu, kembali ke bevak. Guratan wajahnya sedemikian tenang, tak sedikit pun menimbulkan rasa curiga, bahwa sebelum memasuki bevak, ia seolah tak pernah melakukan apa-apa.
Sementara di dalam bevak, perjudian masih berlangsung seru.
Mundus dan Yowero telah terlibat serta. Dan Mika, tak pernah berdaya
buat menghentikannya. Wanita itu duduk di depan tungku sambil mengunyah
pinang. Ia sungguh merasa terganggu dengan permainan itu serta bau
alkohol yang keras menyengat. Tapi, apa yang dapat dilakukan? Mundus
berkuasa atas segala sesuatu yang terjadi di bevak ini, diam adalah jalan damai bagi Mika supaya Mundus tak memukulnya berulang kali.
Mereka terus terlena dalam perjudian sampai tiba-tiba Arben merasa
lapar dan ia teringat pada Ero. “Di mana Ero?” Arben tergagap. Kegagapan
itu secara tiba-tiba juga menyentakkan Mundus dari permainan ini.
Setelah menyerahkan satu kantong gaharu kepada Ero, Mundus mengira
perbuatan itu selesai sudah. Tapi, di mana sekarang wanita itu? Seisi bevak
menjadi bingung. Sementara di luar, matahari telah tergelincir di
langit sebelah barat, cahaya memudar sebagai aurora di batas cakrawala.
Mika tampak sibuk menyalakan api tungku kemudian membakar sagu, ia
merasa perutnya lapar. Sikap wanita itu amatlah tenang, tidak
terpengaruh kegagapan orang-orang di dalam bevak, karena
ketiadaan Ero. Samar-samar bibir kering wanita itu bahkan tampak
mengguratkan seulas senyum. Setelah kelakuan perempuan itu dengan
Mundus, maka ia merasa puas dengan memperdayakannya.
Suasana menjadi gelap ketika orang-orang menghambur keluar untuk
mencari Ero sambil memanggil namanya keras-keras. Di atas segala rasa
cemas, Mundus belum kehilangan akal. Ia cukup mengerti ke mana arah yang
tepat untuk mendapatkan Ero. Perhitungan Mundus ternyata tidak meleset.
Dari balik rimbun dedaunan, di bawah suasana remang yang kian
mengaburkan batas pandang, Mundus dapat melihat tubuh Ero tergolek di
atas semak-semak dengan tubuh nyaris telanjang. Mata Ero mengerjap
lemah, tapi kesadarannya belum pulih sepenuhnya.
“Ero!” Arben berteriak nyalang. Beberapa detik mata laki-laki itu
berdiri terpana dengan sepasang mata terbelalak lebar. Otak Arben nyaris
tak mampu bekerja untuk sekadar menjawab, kekerasan apa yang telah
terjadi, sehingga Ero tergolek dalam keadaan seperti ini? Keterpanaan
itu tak berlangsung lama, sebab tangan Arben segera bergerak membenahi
pakaian Ero yang tercerai-berai kemudian dibantu Mundus dan Yowero,
membawa wanita itu kembali ke dalam bevak.
Ero mengeluh perlahan ketika merasa tubuhnya ditidurkan dengan sangat hati-hati di atas tapin.
Hangat api tungku menyentuh kulit tubuhnya yang menggigil. Ia merasakan
nyeri pada sekujur tubuhnya sementara pusat rasa sakit di kepalanya
yang kini benjol terus berdenyut menggoyahkan grafik kesadaran. Ero
merasa sedikit nyaman ketika Arben meletakkan kain yang telah dikucuri
minyak angin di depan hidungnya.
“Apa yang terjadi?” Arben bertanya, tapi mulut Ero terus terkatup sehingga tak sepatang kata pun terlontar sebagai jawaban.
“Ero,” Arben kembali menggugah kesadaran Ero. Ia menyuapkan air Vit
sedikit demi sedikit ke mulut Ero supaya wanita itu mendapatkan kembali
kekuatan.
“Apa yang telah terjadi?” Arben kembali bertanya, ia sulit menerima
kenyataan, bahwa teman hidupnya itu telah dianiaya. Siapakah pelakunya?
Arben bertanya dalam hati. Dan tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya
meremang. Siapa pun pelakunya, pasti orang itu berada tak jauh dari
tempatnya bermain judi. Tapi, kenapa?
Seketika wajah Arben memucat, ia tersadar, bahwa kehidupan di dalam bevak ternyata
begitu dekat dengan bahaya, bahkan kematian. Arben menoleh ke
sekeliling untuk mendapatkan jawaban bagi hatinya yang gundah. Tapi tak
ada isyarat apa pun yang ia peroleh dari pondok sederhana ini, kecuali
kebisuan.
“Ero,” untuk yang kesekian kali Arben kembali menggugah kesadaran Ero.
“Aku takut, Arben…” Ero berbisik lemah.
“Kenapa?” Arben masih berusaha tenang, meski ia tak bisa menyangkal, bahwa rasa takut perlahan-lahan mulai menguasai diri.
“Bawa aku pergi dari sini, Arben,” Ero memohon, wajahnya menjadi
demikian pias dan memutih bagai kertas ketika pandangan matanya beradu
dengan Mundus. Siapakah laki-laki itu? Ero bertanya dalam hati. Ia
mencoba mengingat kembali saat-saat terakhir sebelum kesadarannya
melayang. Seketika tubuh wanita itu menggigil. Mundus-kah yang telah
memukulnya? Kemudian, di mana gaharu itu? Apakah Arben tahu apa yang
sebenarnya terjadi?
“Oh…” Ero memejamkan mata. Tanda tanya itu telah mengobarkan segala
rasa takut, ia merasa keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
“Bawa aku pergi dari sini, Arben,” sekali lagi Ero memohon, ia
benar-benar ingin segera pergi meninggalkan tempat ini. Ero tak
menyadari, bahwa di luar bevak hari sudah menjelan gelap. Angin
dingin mengempas, mematahkan ranting dan dedaunan. Jarak dari hutan ini
ke ibu kota kecamatan Agats baru bisa ditempuh dalam delapan jam
perjalanan. Pukul berapa mereka akan tiba di Agats bila perjalanan
dimulai saat ini sementara Ero berada dalam keadaan kritis.
“Hari sudah gelap, Ero. Besok, pagi-pagi sekali, kita berangkat,” Arben membujuk.
“Tapi…” Ero mencoba menyangkal.
“Tidurlah, kita berangkat besok pagi-pagi sekali,” Arben menyelimuti
tubuh Ero dengan hati-hati. Ia tak habis pikir, mengapa Ero bisa
mengalami kejadian seperti ini?
Sementara Mundus mulai sibuk menyalakan lampu gas, api tungku saja tak cukup mampu untuk menembus kegelapan bevak
ini. Tak lama kemudian suasana redup itu segera berubah menjadi
terang-benderang. Arben terduduk lemas di samping Ero. Tanpa sengaja
pandangan mata arben tertumbuk pada Mika yang tengah asyik mengisap
rokok di muka tungku. Wajah wanita itu demikian tenang, amat tenang
bagai permukaan danau ajaib yang tak terpecah oleh lemparan batu yang
paling besar sekali pun. Arben ternganga. Untuk yang kesekian kali, ia
kembali bertanya-tanya, siapakah orang-orang yang tengah hidup di
sekitar bevak ini?
Mika seakan tak menyadari, bahwa Arben tengah menatapnya sedemikian
rupa, wanita itu dengan nikmat terus mengisap rokok kemudian memainkan
asapnya. Mika agaknya tak pernah peduli dengan segala penderitaan yang
menimpa Ero, meski jarak antara keduanya sedemikian dekat, bahkan telah
menyatu dalam ruangan di bevak ini. sekejap kemudian Arben
memejamkan mata, ada bermacam tanda tanya berputar-putar di kepalanya,
ia pun menjadi pening. Kemudian rasa mengantuk menyerangnya secara
tiba-tiba. Beberapa detik lamanya Arben merasa tubuhnya mengambang,
seakan gumpalan kapas yang mengapung di langit-langit bevak. Sebuah kekuatan dengan pesat memapah Arben menuju dunia lain, dunia yang dipenuhi mimpi dan ilusi.
Arben-pun melihatnya, wajah-wajah itu. Mundus, Mika, dan Yowero. Pada
mulanya wajah-wajah itu demikian tenang, tak berkerut barang sedikit
pun, kemudian perlahan-lahan mulai tersenyum, senyum itu melebar menjadi
tawa, mengikik, menyeringai, dan akhirnya menampakkan sepasang taring.
Rasa takut yang amat dalam mendesak Arben sedemikian rupa seakan mata
pisau yang berkilat, menimbulkan kengerian.
“Aught!” Arben berteriak, mimpi buruk itu pun pudar sudah. Tubuh
Arben telah basah kuyup oleh keringat dan rasa takut itu membelitnya
kuat-kuat. Di sekelilingnya suasana masih gelap gulita, hanya tinggal
secercah bara api tungku yang tersisa, sementara semua orang masih
terlelap, lampu gas telah padam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam bevak
itu. Arben meraba-raba Zippo di dalam saku celana, kemduian menyalakan
pemantik itu dengan suara berdenting. Cahaya api segera membias sebagai
penerangan mini di dalam ruangan ini. Arben menyambar sebatang lilin
kemudian menyulut sumbunya dan meletakkan batang itu di atas botol.
Arben dapat melihat titik-titik keringat dingin membasahi wajah Ero.
Tubuh wanita itu pun menggigil dalam demam yang tinggi. Arben
mencari-cari kantong obat untuk mendapatkan paracetamol bagi Ero. Ia
bersyukur, karena mendapatkan barang yang dicarinya di antara
tromol-tromol.
“Ero, bangun, Ero,” Arben mengguncang-guncang bahu Ero, ia menunggu
beberapa saat sebelum Ero membuka mata. “Kau demam, Ero, ayo minumlah,”
Arben menyorongkan tablet itu ke mulut Ero, ia dapat merasakan tubuh itu
menggigil. Ero menelan tablet itu, kemudian mereguk satu botol kecil
air Vit untuk membasahi tenggorokannya yang seakan terbakar.
“Tidurlah,” Arben membujuk Ero tidur, tapi wanita itu tak dapat lagi
memejamkan mata. Demikian pula Arben, mereka terdiam dalam kegelisahan
sampai malam terus merangkak, fajar menyingsing, dan langit di seputar
hutan itu menjadi merah. Arben masih dapat menguasai diri meski seluruh
tubuhnya terasa nyeri. Dengan tenaga yang tersisa Arben mengepak seluruh
peralatan yang ada. Ia meneguk air Vit, mengunyah beberapa potong
biskuit dari satu bungkus supermi yang tidak dimasak. Sementara Ero, ia
tak bisa menelan apa pun, kecuali satu gelas air Vit. Kemudian ia
berbaring dengan badan lemah dan mata terpejam. Arben dibantu dua orang
temannya menyiapkan long boat kemudian menggotong Ero dan menempatkan wanita itu dengan sebaik-baiknya.
Mereka tak bisa memastikan, berapa lama waktu yang diperlukan untuk
mempersiapkan perjalanan, tapi matahari sudah tampak membiaskan sinar
ketika suara johnson itu terdengar meraung, membelah kesunian. Arben tak
sempat lagi membalikkan badan ketika kendaraan air itu bergerak menjauh
dari bevak. Gerak long boat itu mendadak telah
memberi kekuatan ekstra bagi Ero. Wanita yang semula hanya berbaring
lemah itu perlahan-lahan bangkit kemudian menyandarkan tubuhnya pada
dinding long boat. Wajah itu masih seputih kertas, matanya yang
redup menatap lurus ke muka tanpa ada sedikit pun keinginan untuk
memutar pandangan. Bevak itu telah menjadi masa lalu dan Ero tak ingin mengingatnya kembali.
Di depan bevak, Mundus melepas kepergian itu, masih dalam
tanda tanya. Ia tak bisa menduga apa yang telah terjadi pada diri Ero
setelah ia membayarnya dengan satu kilo gaharu. Malang nian nasib wanita
itu. Sementara Mika masih tetap dalam sikap “wajar” seperti semula, ia
seakan tak pernah peduli dengan kepergian itu. Semakin jauh itu sundal
dari bevak ini, agaknya keadaan akan semakin membaik. Mika
meludah ke atas tanah, membekaskan warna merah pinang seakan ia tengah
membuang najis ke muka Ero, kemudian menghilang ke dalam hutan. Dan
Mundus, ia terlalu dungu untuk sekadar memahami sikap Mika. Ia tak mampu
berpikir lebih panjang perihal Ero. Atau, ia memang tak perlu berpikir
lebih lanjut.
Sementara Yowero, ia hanya mampu duduk bertopang dagu di muka api
tungku. Botol-botol wiski yang kosong masih berserakan. Demikian pula
dengan puntung rokok dan bermacam sampah lainnya. Yowero tak terusik
dengan keadaan ini, satu pengertian ganjil kembali tertanam dalam
benaknya. Betapa mudah seorang wanita terpedaya.
Setelah bunyi raungan Johnson menghilang, maka suasana di hutan itu
kembali terbenam dalam sepi, meski sepi itu tak berlangsung lebih lama.
Sebulan kemudian Arben kembali datang bersama dua orang kawan dan tiga
orang wanita. Ero tak lagi menampakkan batang hidungnya. Tapi tiga
wanita yang menjadi teman hidup masing-masing pencari kayu itu, tak
berbeda sama sekali dengan Ero. Mika mengertakkan rahang dengan geram,
ia tak bisa menghalau wanita-wanita itu dari bevak tempatnya tinggal,
karena Mundus mengharapkan uang pembelian dari para pencari yang
membawanya. Satu hal yang bisa dilakukan Mika adalah diam. Ia tak pernah
lepas memperhatikan wanita-wanita itu sambil menunggu kesempatan untuk
memperdayakannya.
Di lain pihak, Mundus selalu menyambut kedatangan Arben dan kawannya
dengan tangan terbuka. Kedatangan Arben telah mengubah seluruh
kehidupannya. Kini, Mundus adalah orang pertama di kampung ini yang
memiliki pondok beratap seng dengan parabola, televisi, tape recorder,
dan disel di dalamnya. Kekayaan itu adalah satu kekuatan yang
mengukuhkan kekuasaannya sebagai kepala perang. Tak berapa lama setelah
pondok itu menjadi megah dan ramai oleh siaran televisi, maka Yowero
akhirnya memiliki johnson pribadi. Dengan demikian, maka lengkap sudah
harta benda yang menjadi milik keluarga itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar