Hari ini Raja Taejo kembali melakukan ritual
penghormatan kepada para leluhur bersama Putra Mahkota, kedua ratu dan
para pangeran termasuk Wang So.Wajah Sang Raja tak lagi muda, akan
tetapi matang usia semakin menunjukkan wibawa, terlebih Wang Geon
terbalut pakaian kebesaraan dari kian yang lembut serta motif yang
agung. Sementara seluruh yang hadir di kuil menunduk, berdoa, Pangeran
Wang So hanya terdiam,ia merasa tak harus menunduk.Sekian lama menjadi
tawanan Selir Kang di Shinju, ia tak pernah mengerti tata cara berdoa
--bila seorang tengah memuja, ia mesti menundukkan kepala. Pangeran Wang
Eun yang selalu mengikuti ritual ini, bahkan tampak memejamkan mata.
Wajahnya yang mengantuk bagai seorang bocah tanpa salah yang tak perlu
mengerti tata cara seorang pangeran dalam menyelenggarakan ritual
bersama Raja Besar Taejo.
Ritual penghormatan tak berlangsung lama, akan tetapi memang
harus. Usai memberikan penghormatan Sang Raja sekejab melirik Pangeran
Wang So, ritual sekali ini lebih lengkap dengan kehadiran Pangeran ke-4.
Pangeran Wang So tampil berbeda, ia tak lagi mengenakan pakaian
sehari-hari seperti kebanyakan orang. Ia telah mengenakan pakaian
kebesaran seorang pangeran berwarna hitam, menutup hingga ke mata kaki
dengan lengan panjang, hiasan naga dari benang emas pada dada dan
sepasang pundak, dan ikat pinggang.Tata rias rambut yang rapi menegaskan
penampilan selaku putra Wang Geon. Semua pangeran memiliki tata rias
rambut serupa serta mengenakan pakaian yang sama dengan warna yang
berbeda.
Setelah melirik Pangeran Wang So dan sekilas menatap seluruh
Pangeran Raja Taejo berlalu diiringi kedua permaisuri. Ada terlalu
banyak hal yang harus dilakukan untuk menata Goryeo sebagai kerajaan
besar. Ritual penghormatan leluhur adalah salah satu bagian yang tak
bisa terlupakan. Di pihak lain Pangeran Wang So merasakan arti lirikan
itu, ayahanda raja memperhitungkan pula kehadirannya. Akan tetapi,
bagaimana sesungguhnya perasaan terdalam raja besar itu, Wang So tak
pernah tahu. Ia pernah meminta dan berusaha keras untuk kembali menetap
di Songak.
Akan tetapi, Pangeran Wang So merasakan suatu hal yang asing.
Ia tak terbiasa menetap di lingkungan istana dengan segala penghormatan
sebagai seorang pangeran. Sejauh ini ia adalah putra seorang permaisuri
yang terbuang. Ia merasa lebih nyaman tinggal di menara bintang milik Ji
Mong. Suatu hal yang menyebabkan ahli bintang itu merasa aneh.
“Menara bintang ini tempat saya bekerja, bagaimana Pangeran
Wang So bersedia tinggal di tempat seperti ini?”Ji Mong membuka
pembicaraan, bukankah Putra Wang Geon yang ke-4 mestinya tinggal dengan
nyaman di kamar seorang pangeran?
Pangeran Wang So paham akan keberatan Ji Mong, adakah ia mesti
peduli dengan raut wajah si ahli bintang yang menatapnya aneh? Dengan
santai Pangeran ke-4 berbaring di balkon, “Segala yang ada di menara
ini adalah milik Raja”, kata-kata Wang So perlahan, tanpa tekanan.
“Adakah seorang pangeran layak tinggal di menara ini?”Ji Mong
menatap wajah Pangeran Wang So dalam-dalam, ia mengerti kegalauan hati
sang pangeran, ahli bintang itu termangu-mangu.
"Aku tidak bisa melihat langit dari kamarku. Aku tidak bisa
melihat bintang yang hanya bersinar di Goryeo," Pangeran Wang So masih
berbaring menatap bintang yang tampak gemerlap seakan berlian
berserakan pada sehelai kain beludru maha hitam. Senyumnya mengembang,
amat mengesankan berbaring menatap bintang di hari pertama kala ia
mengenakan pakaian seorang pangeran, bukan pakaian seorang anak buangan.
"Benarkah ada bintang yang hanya bersinar di Goryeo?" Ji Mong
heran, suatu keganjilan ketika seorang pangeran lebih senang tinggal di
menara bintang. Akan tetapi, bagaimana ia bisa mengusik suasana hati
pangeran yang “aneh” ini? Ahli bintang itu terpaku.
***
Keesokan hari, tak jauh dari menara bintang, di kediaman
Pangeran Wang Wook, wajah Hae Soo berbinar-binar ketika melihat ada
beragam tanaman herbal di hadapannya.”Semua herbal ini pemberian
Pangeran Wang Wook. Bukankah engkau ingin melakukan sesuatu yang engkau
sukai? Pangeran Wang Wook pernah berucap, engkau suka dengan
obat-obatan herbal”, suara Nyonya Hae lembut, sesungguhnya jauh di dasar
hati yang tulus muncul satu pertanyaan kecil, mengapa Pangeran Wook mesti melakukan semua ini?
Wajah Nyonya Hae berseri ketika melihat Hae Soo tersenyum,
gadis itu menatap aneka herbal dengan takjub, seolah ia mendapatkan
kembali sesuatu yang berharga dan mengesankan di masa lalu."Tapi, apa
yang ingin engkau buat dengan semua ini?" Nyonya Hae bertanya, sejak kapan sepupunya menyukai herbal?
"Sabun mandi, saya akan membuatkan Nyonya Hae sabun untuk
mandi," sepasang mata Hae Soo masih berbinar, ia akan melakukan sesuatu
yang menyenangkan yang pernah dikerjakan, membuat sabun mandi yang
lembut dan wangi.Ia akan memulai suatu hari yang berbeda setelah
kehidupan yang nyaris tidak masuk di akal ini.
Suasana di seputar kediaman Pangeran Wang Wook yang indah hari
itu tampak berbeda, asap mengepul menebarkan aroma mewangi. Beberapa
orang pelayan membantu Hae Soo membuat sabun herbal dengan cetakan kayu
tradisional. “Engkau bisa pula membuat sabun untu Sri Ratu, mereka akan
menyukainya …” Nyonya Hae memberikan saran.
Sepasang indah mata Hae Soo semakin berbinar dengan saran
Nyonya Hae. Ia akan mengerjakan sesuatu yang penting bagi seorang ratu,
membuat sabun wangi. Tak berselang lama kemudian, beberapa sabun yang
harum telah jadi dalam bentuk kelopak kembang. Tangan mungil Hae Soo
hias secara khusus menghias dengan bunga,sabun wangi itu akan menjadi
hadiah istmewa bagi Nyonya Hae dan Sri Ratu.
Pangeran Wang Wook sejenak melintas, terpaku, tak dapat
dipungkiri ia terpesona menatap wajah manis Hae Soo. Kulit wajah itu
sama putih dengan mutiara pilihan, sepasangnya matanya sejernih tetas
embun, bibirnya semerah buah delima masak di kebun sang raja. Tubuhnya
yang mungil tampak bersemangat kala mengerjakan sesuatu yang
sebenanrnya belum pernah dilakukan sebelum ia terjatuh. Darimana Hae Soo memiliki kehalian membuat sabun wangi? Jauh
di dasar hati Pangeran Wang Wook bertanya-tanya. Akan tetapi adakah ia
perlu jawaban? Setiap pertanyaan seakan sirna pada senyum manis di wajah
gadis itu.
Pangeran Wang Wook terlalu tenggelam dalam pesona, ia tak
pernah menyadari bila Nyonya Hae tengah memperhatikan dalam jarak yang
teramat dekat. Wanita berhati lembut itu tidak dungu, tatapan mata
Pangeran ke- 4 adalah cinta. Adakah ia mesti cemburu? Perlahan Nyonya
Hae berdiri di samping Pangeran Wook, berbisik, “Saya tidak pernah
melihat Hae Soo tampak bahagia sejak terjatuh, pasti karena herbal
pemberian itu”, kata-kata itu terucap tulus.
“Meski tidak pernah mengeluh, tetapi Hae Soo pasti putus asa,
karena kehilangan ingatan.Tidak mengapa, ia masih memiliki ketrampilan”,
Pangeran Wang Wook seakan melambung bersama senyum di wajah Hae Soo,
betapa menawan gadis itu saat tersenyum menikmati peranan sebagai ahli
herbal.
"Soo menjadi semakin dewasa sejak terluka. Kadang dia
mengatakan sesuatu yang lebih bijak dari pada semua hal yang pernah
kuucapkan. Pada waktu yang berbeda, dia bersikap seperti orang
seumurannya dan sangat manis", sejenak Nyonya Hae melirik wajah agung
Pangeran Wang Wook, seraut wajah yang menyebabkan ia mampu menambatkan
hati selama-lamanya, kemudian kembali berucap. “Saya sering berpikir
untuk mengirim Hae Soo kembali ke kampung halaman, tapi saya bersyukur
tidak pernah meneruskan. Saatnya untuk mencarikan Hae Soo pasangan
hidup di Goryeo”, bagi Nyonya Hae, Hae Soo adalah anak kandung, ia
bahkan tidak perlu terbakar api cemburu ketika sadar, tanpa sepatah kata
Pangeran Wang Wook sesungguhnya jatuh cinta dengan saudara sepupunya.
Meskipun sakit-sakitan, sepasang matanya tidak buta.
Nyonya Hae tahu sikap dan raut wajah Pangeran Wang Wook menjadi
kacau dengan kata-katanya, meskipun mulutnya tetap terkunci. Wang Wook
tidak pernah mengucapkan hal yang sia-sia. "Aku ingin Hae Soo berada di
sisi kita selamanya. Aku ingin selalu melihat wajahnya yang ceria,"
Nyonya Hae menegaskan keinginannya, sesungguhnya ia ingin menjenguk isi
hati Pangeran Wang Wook yang terdalam. Ia memahami apa sejatinya isi
hati Wang Wook, maka ia bisa menentukan sikap dengan tepat.
"Benar, akupun merasakan hal yang sama," tanpa sadar Pangeran
Wang Wook menjawab, perasaan hatinya terseret terlalu jauh. Ia tak
pernah merasa seperti ini, terpesona hingga tak mampu mengendalikan
diri. Pangeran ke-8 tak pernah tahu tatapannya terhadap Hae Soo
menyebabkan hati Nyonya Hae tercabik. Ia istri seorang pangeran yang
diakui seluruh kerajaan, tetapi apa arti kedudukan ini, bila diam-diam
Pangeran Wang Wook berpaling, semakin jauh, semakin jauh. Hingga Nyonya
Hae tahu, ia tak akan mampu lagi menatapnya.
Nyonya Hae masih berdiri menatap Hae Soo bersama para pelayan,
adakah ia harus membenci Hae Soo, karena mencuri hati pangeran tercinta.
Wanita agung itu menghela napas panjang, ia tak pernah memiliki alasan
untuk membenci seorang sepupu yang menawan. Hae Soo tak memiliki
kesalahan apa-apa, ia mendapatkan cinta seorang pangeran. Nyonya Hae
masih tetap berdiri terpaku, pagi ini matahari tampak ramah dalam sinar
emas berkilauan. Ia harus melakukan sesuatu, Nyonya Hae telah mengambil
keputusan, ia masih dapat menikmati indahnya alam hingga Pangeran Wang
Wook pergi berlalu. Ia kini sendiri dalam jarak satu lemparan batu
dengan Hae Soo yang tengah bergembira membuat sabun wangi.
***
Hari berikutnya Nyonya Hae ingin menulis surat, ia meminta Hae
Soo ke perpustakaan untuk mengambil perlengkapan menulis.Akan tetapi,
sampai di tempat tujuan gadis itu terpana. Ruangan di dalam perpustakaan
bukanlah hampa, Pangeran Wang Wook tampak tengah tekun menulis dengan
sikapnya yang agung dan santun. “Nyonya Hae meminta saya untuk mengambil
tinta di perpustakaan”, ragu Hae Soo menjelaskan, ia tak ingin bertemu
dengan Pangeran Wang Wook dalam keadaan seperti ini, ketika mereka hanya
berdua di tempat yang sunyi. Gadis mana yang tak terpikat dengan
Pangeran ke-8, akan tetapi ia adalah suami Nyonya Hae. Soo tahu sampai
batas mana ia harus melangkah.
“Nyonya Hae sudah tertidur, tadi ia terbatuk-batuk, saya
menggantikan menulis surat”, Pangeran Wang Wook menjawab, iapun tak
menduga akan bertemu dengan Hae Soo di tempat ini. Akan tetapi, hati
siapa tak bergetar bertemu kembali dengan gadis manis yang selalu hadir
dalam mimpi, meski ia harus selalu menguasi diri.
Hae Soo menjadi canggung dalam mengambil sikap, ia bahkan tidak
mampu mengambil tindakan tepat, apa yang sebaiknya harus dikerjakan?
Gadis itu berniat pergi, mengundurkan diri dari suasana bimbang, tetapi
Pangeran Wang Wook bersuara, “Bisa tolong aduk tinta?”
Sebuah permintaan yang tak mungkin ditolak, dengan ragu Hae Soo
melangkah, jarak dengan Pangeran Wang Wook semakin dekat.Ia undur
beberapa langkah menjaga jarak kemudian mengaduk tinta. Sekilas ketika
mencuri pandang Hae Soo tidak mampu melawan pesona, tangan Pangeran Wang
Wook bergerak dengan cermat dan teratur membentuk tulisan indah dengan
sebuah kuas.Raut wajah sang pangeran demikian tenang seakan permukaan
air danau pada musim semi ketika udara tak hendak bergejolak, hanya
berkesiur lemah, selembut angin sorga.
Pangeran Wang Wook sadar ketika Hae Soo sedang menatap
tulisannya,”Ini adalah sebuah puisi”, Pangeran ke-8 menyertakan pula
sederet puisi, Nyonya Hae selalu menyertakan puisi dalam
surat-suratnya.”Apa yang engkau suka? Puisi atau lagu?”tiba-tiba
Pangeran Wang Wook mengalihkan pembicaraan, ia menduga Hae Soo akan
menyukai puisi.
“Saya menyukai lagu, “ jawab Hae Soo singkat dengan sebuah
pertanyaan terpendam, mengapa Pangeran harus bertanya tentang hal ini?
Pangeran Wang Wook mengerutkan sepasang alis yang legam
mengayomi sepasang mata, jawaban itu tak pernah disangka, “Mengapa
seorang gadis bangsawan lebih tertarik pada lagu yang biasa disukai
rakyat jelata?”sekilas Pangeran Wang Wook melirik Hae Soo, ia segera
menguasai desiran lembut di dalam diri. Andai ia bisa selamanya berdua
dengan gadis ini?
“Maksud saya musik Goryeo, tetapi saya dia lebih suka puisi”, Hae Soo setengah tergagap meluruskan jawaban.
"Aku merasa ingin memberikannya padamu," Pangeran Wang Wook
memberikan Hae Soo sehelai kertas dengan deretan huruf yang sangat
indah. Ia memberikannya setulus hati, Hae Soo berhak mendapatkan.
Hae Soo datang ke tempat ini untuk mengambil tinta, tetapi ia
bahkan menerima sehelai kertas bertuliskan huruf indah yang digores
dengan santun oleh Pangeran Wang Wook. Gadis itu tercengang, ia tidak
tahu persis tindakan apa yang seharusnya dilakukan, iapun memilih pergi.
Sampai di luar ruangan Hae Soo membuka lembaran kertas itu, iapun
menatapnya dengan bingung, semua kata-kata ditulis dalam huruf Cina.
Apa artinya?
Ketika tampak Chae Ryung melintas, Hae Soo
memanggilnya,”Dapatkah engkau membacakan puisi ini? Saya lupa untuk
kembali dapat membaca”gadis manis itu berbohong.
“Maaf, akupun tak dapat membaca, aku hanya seorang pelayan”,
jawab Chae Ryung, wajah pelayan itu tampak lugu ketika menatap sehelai
kertas berisi sederet puisi. Ia memang tidak mampu membaca.
Jawaban itu menyebabkan rasa gamang dalam diri Hae Soo. Apa
arti puisi ini? Mengapa pula Pangeran Wang Wook tiba-tiba memberikan
kepadanya? Rasa gamang itu tetap melilit hingga keesokan hari, Hae Soo
menatap kembali puisi dalam huruf Cina yang sulit dibaca. Dia bisa
mengenali tiap huruf, tetapi mustahil menterjemahkan menjadi sebuah
kalimat. Tulisan itu sangat indah tanpa cela, menggambarkan sosok gagah
dan bijak dari seorang Pangeran yang menuliskan. Sejenak Hae Soo
memejamkan mata, tidak bisa disangkal ia sangat berkesan dengan
keseluruhan penampilan Pangeran ke-8. Ia tidak bisa menyerah dalam
ketidakmampuan mengartikan susunan kata.
"Alangkah lebih baik jika aku bisa membacanya. Aku berharap
sekali bisa membacanya. Aku ingin membacanya. Aku ingin membacanya. Ah!
Kenapa aku tidak mengambil kelas Bahasa Cina?" wajah manis itu tampak
diliputi penyesalan, Hae Soo benar ingin memahami arti puisi, sehingga
ia bisa menangkap pesan yang disampaikan Pangeran Wang Wook.
"Apa yang engkau lakukan?" tiba-tiba Pangeran Baek Ah muncul di
hadapan Hae Soo. Pangeran itu tampak heran melihat gadis keturunan
bangsawan itu mengamati sehelai kertas seolah ia tak mampu membaca. Hae
Soo terlonjak, ia tak mengharapkan kehadirana Pangeran Baek Ah dalam
keadaan seperti ini, tetapi bagaimana ia mampu menghindarkan diri.
"Adakah engkau tak mampu membaca?" pertanyaan Pangeran Baek Ah ibarat
benda tumpul yang menohok tepat di ulu hati.
Hae Soo menatap Pangeran Baek Ah dalam pikiran kacau, haruskah
ia mengakui ketidakmampuannya memahami bahasa Cina? Bukankah ia akan
dianggap sebagai gadis dungu? “Saya lupa membaca huruf Cina setelah
terjatuh dan hilang ingatan”, Hae Soo segera memberikan alasan tepat.
“Mungkin saya bisa membantu membacakan?” Baek Ah menawarkan
jasa baik, atau sesungguhnya ia ingin tahu, apa yang telah terjadi pada
gadis itu.
“Tidak, terima kasih”, Hae Soo tidak mau bertindak keliru
dengan membiarkan Pangeran Baek Ah membacakan puisi yang ditulis oleh
Pangeran Wang Wook yang ditujukan kepadanya. Dengan sigap ia
menyembunyikan lembaran kertas itu. Akan tetapi, Pangeran Baek Ah lebih
sigap, dalam hitungan detik puisi yang ditulis Pangeran Wang Wook dalam
huruf Cina telah berpindah ke tangannya.
Dengan penuh rasa ingin tahu Pangeran Baek Ah membaca deretan
huruf Cina yang ditulis rapi menunjukkan kemampuan tinggi sang penulis.
Ketika akhirnya menyadari, bahwa tulisan itu ternyata berisi puisi
cinta, Pangeran itu menatap Hae Soo dalam-dalam. Darimana gadis ini mendapatkan bait puisi?
Pangeran Baeh Ah masih menatap Hae Soo seakan ingin mengunjungi
ruang paling tersembunyi di dasar hati gadis itu. Sebagai jawaban
tiba-tiba Nyonya Hae telah tiba meneruskan keseluruhan puisi yang
dihapal dengan baik.
“Adakah engkau tahu makna puisi ini?”Pangeran Baek Ah bertanya, ada yang salah dalam helai kertas ini.
Di tempatnya berdiri seluruh tubuh Hae Soo terasa kaku.
Pangeran Wang Wook menuliskan puisi cinta, tanpa sengaja Pangeran Baek
Ah dan Nyonya Hae memahaminya? Dimana ia dapat menyembunyikan kebodohan
ini? “Puisi itu tentang pemandangan alam yang indah”, Hae Soo menjawab
sejauh ia mampu.Di pihak lain Nyonya Hae tersenyum, ia selalu memahami
makna terdalam sebuah puisi.
“Siapa memberikan puisi ini?”kali ini sepasang mata Pangeran
Baeh Ah tampak berkilat seakan bilah pisau, sastrawan mana yang
menyampaikan rasa cinta melalui sebaris kata-kata?
"Pangeran ke-8 yang memberikannya padaku untuk dipelajari,"
jawaban Hae Soo adalah suatu kesalahan. Ia tidak pernah menyadari, bahwa
Pangeran Baek Ah tiba-tiba melirik Nyonya Hae dengan cemas, meskipun
wajah lembut itu tetap tersenyum. Nyonya Hae terlalu pandai
bersandiwara, menyembunyikan perasaan.
“Benarkah engkau tidak bisa membaca, atau cuma
berpura-pura?”kali ini seluruh isi kepala Pangeran Baek Ah tiba-tiba
serasa kacau, benarkah Pangeran Wang Wook menyatakan cinta melalui
sebaris puisi dalam huruf Cina yang indah kepada Hae Soo? Dimanakah
cinta untuk Nyonya Hae?
"Saya benar tidak bisa membaca, mengapa harus pura-pura?" Hae
Soo menatap wajah Pangeran Baek Ah dengan berani, ia memang tidak sedang
berpura-pura.
“Sudahlah, engkau harus membalas puisi Pangeran Wang Wook. O
ya, besok kita akan bertemu Ratu di istana untuk mempersembahkan sabun
mandi. Bersiaplah …”Nyonya Hae mengangguk pada Hae Soo, menyudahi segala
pertanyaan Baek Ah.
Maka, Hae Soo dapat mengakhiri pula segala bingung dengan rasa
gembira, karena ia akan bersiap mengunjungi Sri Ratu di istana. Gadis
itu merebut kembali lembar puisi dari tangan Baek Ah kemudian berpamit
pergi.Ia ingin segera melupakan makna deretan puisi, betapapun Pangeran
Wang Wook telah menyatakan perasaan hati, betapa pun ia sangat berkesan
dengan sosok pangeran tampan ini, akan tetapi ia tak boleh menempatkan
diri pada celah yang semakin lebar antara Nyonya Hae dan Pangeran Wang
Wook. Hati baik melarangnya.
Di halaman berhiaskan taman nan indah, akhirnya hanya tinggal
Pangeran Baek Ah dan Nyonya Hae. Pangeran muda itu menatap wajah lembut
Nyonya Hae dengan hati tersayat, “Pangeran Wang Wook menuliskan puisi
cinta bagi Hae Soo?”seluruh tubuh pangeran itu terasa kaku, nyaris
menjadi batu.
“Hanya puisi tentang pemandangan yang indah”, Nyonya Hae menyangkal.
"Huruf terakhirnya diubah menjadi kata 'cinta'. Puisi ini
biasanya digunakan sebagai penyataan cinta! Benarkah engkau tidak
mengetahuinya?" tatapan sepasang mata Pangeran Baek Ah tak pernah
terlepas dari wajah Nyonya Hae yang perlahan-lahan menjadi sayu. Andai
wanita ini memilihnya, dan bukan Wang Wook, adakah hari ini mereka harus
bersitegang untuk sebaris puisi indah yang ditujukan kepada Hae Soo?
Dengan cara yang amat halus dan menyakitkan Pangeran Wang Wook telah
berpaling, meski sikap sehari-harinya tetap santun sebagai suami yang
bijak.
“Engkau telah mengetahuinya …” suara Baek Ah akhirnya berbisik
seakan ratapan. Sebilah pisau seakan menggurat tepat di ulu hati ketika
wajah sayu Nyonya Hae berubah seakan langit yang semakin mendung.
Sepasang matanya yang tulus bersiapkan mencurahkan hujan. Ia akan
merelakan Nyonya Hae andai wanita ini hidup dalam sebuah perkawinan yang
damai. Akan tetapi, mata wanita itu tergenang seakan lautan yang
berdebur dalam ombak, karena badai yang tiada berkesudahan. Di balik sikapnya yang lembut dan tulus, hati wanita agung ini ternyata remuk redam.
Andai Baek Ah dapat merengkuh wanita ini dalam sebuah pelukan,
akan tetapi adat di istana tidak pernah mengijinkan. Baek Ah merasa
dadanya sesak, seakan bernapaspun harus dilakukan dengan susah payah.
“Sudahlah, selesaikan lukisan diriku hari ini”, Nyonya Hae menutup
pembicaraan. Ia tak pernah menyangsikan rasa cinta Baek Ah, tetapi
pilihan hatinya pada Wang Wook. Untuk pilihan itu akhirnya ia harus
membayar dengan genangan air mata.
Sementara Hae Soo gagal melupakan makna puisi Pangeran Wang
Wook, hingga malam hari ia merenungkan sambil berbaring di kamarnya yang
indah, membaca deretan huruf Cina itu berulang kali. Ia berusaha
meyakini sekaligus menyangkal pesan tersembunyi yang berhasil ditangkap
Pangeran Baek Ah dan Nyonya Hae. Ia telah dianggap sebagai anak kandung
oleh Nyonya Hae, ia tinggal di rumahnya, terbebas dari segala ancaman.
Pantaskah ia menyakiti hati seorang ‘ibu’?
‘Tidak! aku harus mampu mengendalikan diri. Hatiku adalah
milikku, tak perlu tergadai pada siapa pun. Pangeran Wang Wook adalah
tuan rumah ... tuan rumah…’jawaban ini mengantar Hae Soo pada tidur
lelap di atas kasur yang empuk dan selimut hangat.
Keesokan harinya, Hae Soo mengikuti langkah Nyonya Hae dan
Pangeran Wang Wook di halaman istana raja. Para pejabat tampak sibuk
berlalu lalang bagi setiap kepentingan, sinar matahari jatuh kuning
keemasan mewarnai aneka bunga dan hijau daun pada taman yang indah.
Istana Goryeo adalah banguna megah, teguh, dan menakjubkan. Adalah
pengalaman pertama bagi Hae Soo berkunjung ke tempat yang mengesankan
ini, istana bagi seorang raja untuk memerintah Goryeo.Hae Soo mengenakan
pakaian yang indah dengan mantel bulu berwarna putih, tangannya yang
mungil menenteng dua kotak sabun dililit kain lembut dan halus. Gadis
itu menikmati kunjungannya hari ini, sepasang matanya yang jernih
menatap seluruh sudut istana dalam rasa kagum. Beberapa kali ia memutar
badan dengan gerakan yang luwes seakan penari di atas panggung
disaksikan beribu penonton. Pangeran Wang Wook yang berjalan paling
depan beberapa kali menoleh, kini ia berada di antara dua orang wanita
cantik, yang satu sangat mencintai, yang lain amat ‘dicintai’.Pangeran
ke-8 memberikan senyum termanis, senyum yang tak pernah menghias wajah
tampan sejak hari perkawinannya. Ia merasa geli sekaligus terhibur
melihat tingkah laku Hae Soo yang lugu sekaligus lucu. Gadis ini selalu
leluasa bersikap tanpa rasa takut terhadap segala macam tekanan seperti
pada umunya gadis bangsawan.
Sementara di Istana Damiwon, Ratu Hwangbo tengah bertemu dengan
Ratu Yoo, keduanya duduk berhadapan seakan saudara satu ayah dan satu
ibu.”Hari ini Wang Wook akan datang bersama istri dan sepupu istrinya.
Dia juga ingin meminta obat dari dayang Oh untuk istrinya yang sedang
sakit,” Ratu Hwangbo membuka pembicaraan, kedua ratu itu nyaris memiliki
kecantikan serupa. Akan tetapi kelembutan selalu terpancar pada diri
Ratu Hwangbo.
“Mengapa harus mempercayai dayang Oh, dia bukan tabib”, wajah
cantik Ratu Yoo berubah sekeras batu kali mendengar nama dayang Oh
disebut, perempuan itu bagai duri dalam dagingnya. Ratu Yoo tak pernah
menyadari, bahwa sikap keras hanya menyisakan sedikit kecantikan setelah
kerja keras untuk memilikinya.
“O ya, saya dengar Pangeran Jung sekarang belajar dari seorang
guru pribadi di kediaman Ratu ?”Ratu Hwangbo mengalihkan pembicaraan, ia
telah faham sikap keras Ratu Yoo, amat sedidkit waktu untuk bersua. Ia
tak menginginkan perselisihan dalam pembicaraan ini.
“Gurunya sudah terlalu tua untuk dikenal. Kalau guru Wang Wook
siapa kiranya?”Ratu Yoo membalik pertanyaan, ia tahu tentang kemampuan
Pangeran Wang Wook sebagai cendikiwan Goryeo. Ia tak perlu
memperkenalkan guru Pangeran Jung.
“Sejak kecil Wook rajin membaca, ia memiliki ketekunan
tersendiri. Wook hanya perlu membaca berulang kali dan hanya bertanya
pada guru jika ada yang tidak dia mengerti”, jawab Ratu Hwangbo santun.
“Adakah Ratu sengaja menyembunyikan guru Wook?”Ratu Yoo
langsung menyerang dengan sebuah pertanyaan. Sebenarnya ia selalu
dililit tanda tanya, ‘siapa guru Pangeran Wang Wook, sehingga ia bisa
memiliki kepandaian di atas rata-rata pangeran?’
Pangeran Wang Wook yang tengah menjadi bahan pembicaraan datang
tak lama kemudian bersama Nyonya Hae dan Hae Soo. Gadis itu belum lelah
mengagumi setiap sudut istana Goryeo, kegembiraan sejati terpancar dari
seluruh penampilannya. Kali ini untuk yang pertama Sang Ratu bertemu
Hae Soo,”Engkau sungguh seorang gadis yang cantik”, Ratu Hwangbo tak
dapat menahan diri untuk tidak memuji. Ia dapat mengenali sosok itu,
tubuh ramping terbalut kulit putih berseri, wajah polos seakan tak
menanggung beban dosa, pakaian seorang bangsawan yang terpilih dan
mahal. Benar, Hae Soo seorang gadis yang cantik, tak berbeda dengan
Nyonya Hae, kecuali ia sakit-sakitan.
Sementara Ratu Yoo merasa darahnya seakan mendidih ketika
menatap Hae Soo, ia tak mampumenyangkal pengakuan akan kecantikan gadis
itu. Akan tetapi, ia tak akan pernah rela ada seorang gadis yang mampu
melebihi kecantikannya. Ia adalah seorang ratu y ang sangat berkuasa di
Goryeo, ia dapat mengucapkan apa saja, “Engkau gadis yang telah
berkelahi dengan Pangeran ke-10, Wang Eun?”tatapan Ratu Yoo sedingin
bongkahan es, sebenarnya ia amat murka, mengapa ada seorang gadis yang
berani bertarung dengan seorang pangeran?
Pertanyaan itu menyebabkan Hae Soo tertunduk, sikapnya menjadi
canggung, ia harus menyadari kesalahan terlah berkelahi dengan seorang
pangeran. Suatu hal yang tidak boleh terjadi di kerajaan ini. “Salam
sejahtera bagi Sri Ratu …” belum terlambat bagi Hae Soo untuk memberikan
salam sekaligus untuk menghidarkan diri dari sebuah tekanan.
“Salam bagi ibunda Ratu, Hae Soo membawakan hadiah, harap
ibunda menyukainya”, Nyonya Hae berusaha meredakan suasana canggung
dengan menyatakan maksud kedatangannya.
Tanpa diperintah Hae Soo membuka ikatan kain memberikan satu
kotak pertama untuk Ratu Hwangbo. Wajah ratu itu tampak berbinar, di
dalam kotak terdapat empat buah sabun dengan aneka warna lembut
berbentuk kelopak bunga. Aroma wangi dan menenangkan segera merebak
memenuhi seisi ruangan. “Saya senang menerimanya”, Ratu Hwangbo tidak
sedang berpura-pura ketika ia menatap isi kotak dengan kagum. Kiranya
gadis cantik itu pandai pula membuat sabun mandi berbentuk indah dan
wangi.
Hae Soo merasa tersanjung dengan penerimaan Ratu Hwangbo, ia
tak mengira Sri Ratu ternyata bisa menghargai hal-hal yang kecil,
seperti sabun mandi. "Jika Yang Mulia memakai setiap kali mandi maka
kulit Yang Mulia akan... sangat... lembut," kata-kata itu tersendat, Hae
Soo nyaris akan menyatakan bahasa yang akan sulit dimengerti seorang
ratu.
Pangeran Wang Wook kembali merasa geli dengan sikap dan
kata-kata Hae Soo, gadis ini bukan hanya manis, tetapi baik hati, dan
lugu. Senyum di bibir Pangeran Wang Wook menimbulkan tanda tanya bagi
Ratu Hwangbo, permaisuri Wang Geon itu menatap Pangeran Wang Wook, Hae
Soo, dan Nyonya Hae berganti-ganti. Ada sesuatu yang ganjil, akan tetapi
Ratu Hwangbo tak mampu berpikir lebih jauh,”Terima kasih untuk
bingkisan ini, saya pasti akan memakainya”, senyum masih mengembang di
wajah Ratu Hwangbo.
Dengan segala rasa hormat Nyonya Hae kemudian mempersembahkan
satu kotak sabun mandi kepada Ratu Yoo, ia berharap permaisuri akan
tersanjung dengan pemberian ini, tetapi ucapan Ratu Yoo selalu setajam
silet, “Sampai hari ini engkau belum juga menggendong seorang
anak?”sepasang mata Sri Ratu menatap Nyonya Hae dengan sinis, keluarga
Hae adalah sekutu Ratu Hwangbo. Andai hanya ada seorang ratu di Goryeo?
"Ada ungkapan, berkah yang besar tidak datang dengan mudah,
terima kasih atas perhatian Yang Mulia," Pangeran Wang Wook dan seisi
kerajaan telah paham akan sikap sinis Ratu Yoo sehari-hari. Ia cukup
pandai untuk menghentikan kata-kata tajam selanjutnya, tak seorangpun
akan dibiarkan terus menerus menyerang Nyonya Hae.
Tiba-tiba terdengar suara kasim mengumumkan kedatangan Sang
Raja, menghentikan seluruh percakapan di ruangan ini. Hae Soo
terperanjat, benarkah ia akan langsung berhadapan dengan Raja Besar
Goryeo? Mata gadis itu menatap ke arah pintu nyaris tak percaya,
selama ini ia hanya melihat sosok sang raja dalam pertunjukan drama.
Kini ia telah berada di istana, bahkan akan bertemu muka , Hae Soo perlu
mengatur napas, jantungnya berdegup lebih kencang.
Raja Wang Geon Taejo memasuki ruangan diiringi pengawal dan
Putra Mahokta, dengan langkah tegap, raut wajahnya tak lagi menunjukkan
muda usia, tetapi ia tampak sehat. Rambutnya digelung dengan tusuk konde
dari logam mulia berhiaskan batu giok, pakaian kebesaran yang dikenakan
menyempurnakan seluruh keyakinan dan wibawa. Hae Soo masih terpana, ia
tidak tahu harus berbuat apa, kecuali menatap sosok raja besar itu,
hingga Nyonya Hae menariknya.”Senang melihatmu”, Raja Wang Geon
menyapa Nyonya Hae, wanita agung itu segera mengangguk
dalam-dalam.Sementara Hae Soo tak juga mampu mengusai diri, ia telah
berada pada saat menentukan ketika harus berhadapan langsung dengan
seorang raja. Ketika Raja Taejo menatapnya, Hae Soo tersadar, ia harus
menundukkan kepalanya.
“Engkau gadis yang memukul Pangeran ke-10 hingga memar di
wajahnya?”suara Sang Raja tak mampu menyembunyikan rasa marah, bagaimana
seorang gadis dari keluarga Hae berani berkelahi dengan seorang
pangeran, putra Wang Geon hingga memar di wajah?
“Pangeran Eun dan Hae Soo hanya bermain-main”, Pangeran Wang
Wook perlu merasa cemas, ia tahu hukuman bagi seorang yang berani
memukul pangeran Goryeo. Ia perlu melindungi Hae Soo.
"Wajah Pangeran memar, permainan itu sudah melampaui batas,"
Raja Wang Geon menatap Hae Soo dengan penuh selidik, sepasang matanya
setajam elang.
“Benar Yang Mulia, Pangeran Eun dan Hae Soo hanya sekedar
bermain-main. Pangeran ke-10 telah memaafkan pula”, Putra Mahkota juga
berusaha membela Hae Soo. Gadis yang riuh dibicarakan, karena
perkelahian dengan Pangeran Eun ternyata seorang bertubuh mungil,
berparas cantik dengan sikap yang lugu. Benarkah keduanya terlibat
perkelahian sengit? Atau hanya kesalahpahaman?
Tiba-tiba Hae Soo merasa sangat takut, ia tak hendak menanggung
hukuman berat, karena perkelahian itu, ia bahkan tidak bermaksud
menyebabkan wajah Pangeran Eun menjadi memar. Soo tahu ia harus bersujud
di hadapan Raja Taejo,”Hamba telah melakukan kejahatan berat, hamba
patut dihukum!"
"Apa kau takut pada Raja?" suara Wang Geon dalam saat bertanya.
"Yang Mulia adalah Raja yang baik dan bijak, jadi hamba tidak
perlu merasa takut," Hae Soo berpikir cepat, seorang raja tiran merasa
nikmat dengan rasa takut rakyat banyak, raja yang bijaksana akan selalu
bertumpu pada kebajikan.
"Baik dan bijak? Kenapa kau berpikir kalau aku raja yang baik
dan bijak?" Wang Geon masih bertanya.Pertanyaan itu menyebabkan Hae Soo
terdiam, ia merasa sangat bingung.
“Atau engkau hanya mencari muka supaya terlepas dari hukuman?”Raja Taejo masih perlu untuk tetap bertanya.
Hae Soo menjadi semakin panik, ia harus berfikir keras mencari
kata-kata yang paling tepat, “Yang Mulia menyatukan tiga kerajaan dan
mendirikan sebuah negeri baru. Yang Mulia tidak membeda-bedakan
orang-orang dari ketiga negeri yang telah hancur dan memberi mereka
jabatan tinggi. Dan... dan... Kerajaan Bakjae... Bakjae menghilang tapi
Yang Mulia tetap setia. Yang Mulia adalah raja yang baik dan bijak,"
Suasana menjadi tegang, yang paling tegang tentu Hae Soo, sikap
dan kata-katanya akan menentukan keputusan raja, untuk benar atau
salah. Raja Taejo terus menatap tajam Hae Soo, tak seorang pun tahu
arti tatapan itu. Hingga suasana tegang akhirnya memecah dengan suara
tawa keras Sang Raja.Hal itu berarti, setelah perkelahian dengan
Pangeran Eun, Hae Soo dinyatakan tidak bersalah. Putra Mahkota
mengangguk perlahan, memuji kemampuan Hae Soo keluar dari suasana yang
sulit. Sementara Hae Soo merasa teramat lega, seakan telah keluar dari
lubang jarum. Temu muka dengan seorang raja besar diawali dengan sebuah
teguran, karena kekonyolan berkelahi dengan Pangeran Eun.Ia harus
meminta maaf kepada guru sejarah, karena selalu menggerutu saat sang
guru menegaskan murid-muridnya menghapalkan sejarah Goryeo. Sekarang
pelajaran sejarah ternyata sangat berguna.
“Berikan gadis ini karpet dari Persia”, Raja Taejo memerintah
pengawal untuk memberikan Hae Soo karpet dari Persia sebagai hadiah
kemampuannya bercakap-cakap dengan seorang raja.
Sebuah pemberian yang menyebabkan gadis itu kembali terpana,
tak pernah terbayangkan ia akan menerima sehelai karpet Persia dari
seorang raja setelah ia berkelahi dengan Pangeran Eun.
“Ucapkan terima kasih”, Pangeran Wang Wook berbisik ke telinga Hae Soo.
"Beribu terima kasih, Yang Mulia amat bermurah hati," Hae Soo
mengikuti bisikan Pangeran Wang Wook, maka ketegangan pada hari itu
selesai.
Hae Soo tak harus terlibat dalam percakapan dengan kedua ratu,
ia undur diri, ia perlu pergi ke kamar kecil, akan tetapi ketika
mencari-cari di seputar istana Damiwon, ia tak menemukan juga. Ketika
tampak sebatang pohon rindang, maka ia memutuskan untuk berlindung di
balik pohon itu. Niat itu urung, karena tiba-tiba muncul Pangeran Wang
So, pangeran bertopeng itu tiba-tiba merangkulnya.
“Ah, Pangeran … sekarang benar-benar tampak seakan seorang
Pangeran”Hae Soo memandang Wang So tanpa menyembunyikan rasa kagum,
Pangeran ke-4 tampil berbeda dalam jubah seorang pangeran berwarna hitam
dengan hiasan bergambar naga pada dada dan sepasang pundaknya.
“Aku memang terlahir sebagai seorang pangeran.Apa yang engkau
lakukan di istana?”tiba-tiba Pangeran So sangat senang bertemu dengan
gadis ini, seakan sangat lama ia tak pernah bercakap-cakap.
“Pangeran Wang Wook mengajakku memberikan hadiah untuk ratu.Apakah Pangeran baik-baik saja di istana?" tanya Hae Soo
"Tentu saja. Seperti yang pernah engkau katakan, istana ini
adalah rumahku bersama ibu dan saudara-saudaraku," jawab Pangeran Wang
So, ia lebih merasa nyaman tinggal di Songak daripada di Shinju di bawah
tekanan Selir Kang yang sakit jiwa.
"Tempat ini terlalu besar sebagai rumah, apa engkau bahkan bisa
bertemu kedua orang tua setiap hari?" betapa besar istana ini sebagai
rumah tinggal keluarga, besar,megah, dan indah, karena taman yang hijau
dan tertata rapi.
Percakapan itu belum selesai, karena tiba-tiba tampak bayangan
Ratu Yoo mendekat diiringi sekalian dayang. Hae Soo tak ingin kembali
bertemu muka dengan permaisuri, ia sangat tidak nyaman dengan
kata-katanya yang tajam serta pandangan matanya yang dingin seakan mata
pedang. Tergesa Hae Soo bersembunyi di balik tembok, ia sudah cukup
menghindar, akan tetapi tetap dapat mendengar kata-kata seorang ratu
yang pedas, “Untuk apa sesungguhnya engkau harus kembali ke istana,
kalau cuma dapat membantai manusia. Engkau sungguh berbeda dengan Wang
Wook yang cerdas dan tekun!” kata-kata itu pasti ditujukan kepada
Pangeran Wang So.
"Terima kasih atas perhatiannya. Saya tidak akan menjadi beban
bagi ibunda. Saya akan berusaha sekuat tenaga agar tidak menjadi beban,"
Pangeran Wang So menjawab, harapan supaya Ratu Yoo bersikap baik
kembali gagal. Ibunda ratu tetap menolak kehadirannya.
Pangeran Wang So bersyukur, bahwa percakapan itu tidak
berlangsung lama. Ia telah kukuh dengan keputusan menetap di Songak,
melupakan Shinju, sekalipun ibunda tidak menghendaki. Keputusan ada di
tangan raja bukan permaisuri, ia telah mengatur langkah untuk sampai
pada keputusan itu.Ratu Yoo diiringin dayang-dayang segera melangkah
berlalu, ia telah cukup menunjukkan sikap tidak menerima kehadiran
Pangeran Wang So di istana tempatnya tinggal.
Pangeran Wang So kembali mencari-cari Hae Soo, tetapi gadis itu
telah menghilang dari batas pandang.Sementara dari balik dinding bulu
kuduk Hae Soo diam-diam meremang. Benarkah Ratu Yoo adalah ibu kandung
yang telah melahirkan Pangeran Wang So? Mengapa seorang ibu kandung
dapat berucap seperti itu? Bukankah seorang ibu mesti menyayangi
anaknya? Hae Soo beranggapan, lebih baik Pangeran Wang So mengira ia tak
pernah mendengar percakapan itu. Dengan lihai ia menghilang.
Sementara Nyonya Hae kini hanya berdua dengan Ratu Hwangbo,
batuknya bertambah parah, paru-parunya terasa nyeri. Wanita itu terus
terbatuk, hingga bibirnya yang pucat tiba-tiba meneteskan darah.
“Panggilkan tabib…”Ratu Hwangbo menjerit cemas, ia tahu tentang Nyonya
Hae yang sakit-sakitan, tetapi darah yang mewarnai bibir pucat itu
tampak menakutkan.
Nyonya Hae seakan tak peduli dengan nyeri di paru-paru serta
darah yang terasa asin di lidah, ia berlutut di depan Ratu Hwangbo,
“Pada hari perkawinan ibunda ratu pernah berjanji untuk mengabulkan satu
permintaan. Sekarang adalah saatnya”, suara Nyonya Hae serak menahan
sakit.
“Apa permintaanmu?” Ratu Hwangbo menggenggam tangan Nyonya Hae,
telapak tangan menantunya terasa dingin bagai ajal.Sri Ratu merasa ulu
hatinya tersayat, Nyonya Hae tak akan bertandang dalam keadaan sakit
bila tak ada suatu hal yang sangat penting.
"Saya tak lagi memiliki waktu yang panjang, terimalah Hae Soo
sebagai istri Pangeran Wook”, kata-kata itu terucap dengan tulus. Nyonya
Hae harus menebus kesalahan, setelah Pangeran Wang Wook terjebak dalam
perkawinan yang tidak bahagia, bukankah ia masih memiliki kesempatan
kedua? Penyakit yang bersarang di paru-parunya menjauhkan dari segala
arti bahagia. Andai sehat sekalipun, Nyonya Hae tak pernah yakin
kebahagiaan bagi Wang Wook, karena harus berada di sisinya.
Ratu Hwangbo tak mampu menjawab permintaan itu, kini ia tahu,
mengapa Pangeran Wang Wook selalu tersenyum saat menatap Hae Soo. Ada
bahasa yang tak mudah diterjemahkan kecuali melalui pengakuan Nyonya
Hae, anak menantunya memiliki alasan merelakan kedudukannya bagi Hae
Soo, karena ia lebih tahu isi hati Pangeran Wook. Ratu Hwangbo harus
menyadari, betapa tidak mudah memahami takdir hidup, ia masih
menggenggam telapak dingin Nyonya Hae. Ia menolak suatu kesadaran, bahwa
kata-kata Nyonya tidak salah. Waktu bagi wanita yang sakit-sakitan tak
lagi lama.Ratu Hwangbo tak pernah ingin melepaskan genggaman itu.
***
Menjelang senja saat udara bertambah dingin menggigit
pori-pori, Hae Soo melangkah pulang bersama Pangeran Wang Wook. Sesaat
Hae Soo menghentikan langkah ketika berpapasan dengan Ji Mong.Ia
mengenali ahli bintang itu sebagai ahjussi, gelandangan yang
hidup pada pergantian millennium kedua. Tanpa seijin Pangeran Wang Wook,
Hae Soo tergesa mendekati Ji Mong, ia tidak bisa menahan diri untuk
tidal bertanya, “Apakah anda mengenal saya? Kita pernah bertemu
sebelumnya, berbagi minum?” Hae Soo sangat berharap Ji Mong mengatakan
“ya”, tetapi harapan itu kandas.
“Saya tidak tahu, apa maksudmu”, Ji Mong menatap Hae Soo seakan ia adalah orang asing.
Hae Soo nyaris terbanting, benarkah ahjussi tidak
mengenalnya atau ia hanya berpura-pura? “Benarkah anda tidak mengingat
saya?”Hae Soo mulai merasa gundah, ia sangat berharap akan bertemu
dengan seseorang yang hidup pada masa yang sesungguhnya. Ia perlu
berkeluh kesah,menumpahkan segala hal yang aneh dan menimbulkan terlalu
banyak tanda tanya.
“Maaf sekali, benar saya tak pernah mengenal nona”, Ji Mong
menatap wajah asing Hae Soo, ia tak ingin berpanjang lebar dengan gadis
ini.
Hae Soo tahu apa arti putus asa, tiba-tiba ia merengek seperti seorang bocah, “Bukankah kita pernah bertemu?”
Sebagai jawaban Ji Mong melakukan hal serupa seperti Hae So,
ahli bintang itupun merengek seakan seorang bocah, “Maaf sekali saya
tidak pernah mengenalmu…”
“Lebih seribu tahun ke depan, terhitung mulai hari ini, kita
pernah bertemu di tepi danau”, kali ini Hae Soo tak lagi merengek, ia
berubah bersungguh-sungguh.
“Bila hidupmu harus berakhir di tempat ini, maka engkau harus
berhati-hati. Istana adalah tempat setiap ucapan harus dijaga,
pembicaraan bebas berarti bahaya.Setiap orang harus patuh dengan
norma-norma di istana”, kali ini Ji Mong tak lagi berlaku lucu, sikapnya
tiba-tiba berubah menjadi sungguh-sungguh, tatapannya tajam. "Hidupmu
tidak akan berubah hanya karena engkau menginginkannya" Ji Mong lalu
mengakhiri ucapannya dengan mengedip sebelah mata, sebelum berpamit
pergi. Ia tak perlu menunggu Hae Soo kembali bertanya.
Hae Soo melepas bayangan Ji Mong berkelebat menjauh dengan tubuh terpaku, ia mengulang kembali kata-kata si ahli bintang, ‘Hidupmu tidak akan berubah hanya karena engkau menginginkannya’. Bukankah kata-kata itu serupa dengan ucapan ahjussi
di tepi danau sebelum matahari ditelan gerhana? Sebelum ia tenggelam
dan tiba-tiba muncul kembali di kolam pemandian istana? Benarkah Ji Mong
adalah ahjussi, akan tetapi tata cara hidup di istana
menyebabkan ia tak hendak mengakuinya? Hae Soo menghela napas panjang,
ia harus merelakan dirinya tersesat di sepanjang lorong waktu, hidup
sebagai Hae Soo –bukan Ko Ha jin.
Ia tak bisa lebih lama berdiri terpaku, Pangeran Wang Wook
masih menunggu. Udara semakin dingin menggigit, diliputi senyap, tiba
saat untuk kembali.Perlahan butiran salju mulai terjatuh, melayang dalam
udara hampa, putih dan lembut bagai kapas. Dengan perlahan pula butiran
salju menutup seluruh permukaan tanah, cuaca berubah dengan cepat pada
waktu malam ketika udara mencapai titik beku.
Pangeran Wang Wook berjalan beriringan dengan Hae Soo, gadis
itu melangkah dengan hati-hati, menginjak kembali jejak kaki Pangeran
Wang Wook yang membekas di atas salju. Hae Soo tidak harus tahu mengapa?
Tetapi melangkah bersama seorang pangeran yang selalu bersikap istimewa
sungguh mengesankan. Wajah itu demikian damai dan lembut bagai salju
yang melayang jatuh dari langit beku, karena gaya tarik bumi.
Sesaat Pangeran Wang Wook menoleh, ia kembali tersenyum. Sosok
Hae Soo bagai peri yang turun dari langit ketika semesta berwarna putih,
hati Pangeran Wang Wook kembali berdesir. Udara mencapai titik beku,
tetapi Pangeran ke-4 terasa hangat. Pangeran Wang Wook sengaja
menggoda Hae Soo, melebarkan langkah kaki, sehingga gadis itu kesulitan
mengikuti jejak kaki sang pangeran. Maka Hae Soo merasa kehilangan
keseimbangan diri. Ia nyaris terjatuh di atas gundukan salju, sigap
Pangeran Wang Wook menangkap tangan yang lembut itu. Sesaat keduanya
bertatapan, Hae Soo merasakan genggangan tangan yang kuat, dan sepasang
mata Pangeran Wang Wook demikian tenang seakan permukaan air telaga. Hae
Soo merasa seakan bayangan dirinya akan terbenam ke dalam genangan air
yang tenang itu. Akan tetapi, ia tersadar, ia segera melepaskan telapak
tangan dari genggaman Pangeran Wang Wook
“Apakah engkau mengenal Ji Mong?”Pangeran Wang Wook bertanya.
“Saya kira pernah mengenalnya, ternyata tidak”, Hae Soo tidak
mungkin memberikan jawaban yang sebenarnya, Pangeran Wang Wook akan
menganggapnya manusia aneh. Hae Soo kemudian memberikan sebuah sabun
yang khusus dibuat untuk Pangeran Wang Wook,”Sebagai ucapan terima kasih
atas segalanya termasuk puisi itu”,ia meberikannya dengan tulus.
Pangeran Wang Wook menerima sabun itu, ia segera menghirup
aroma mewangi yang mengesankan. Sebuah pemberian kecil, tetapi cukup
menunjukkan kebaikan hati. “Terima kasih.Adakah engkau tahu makna puisi
itu?”Pangeran Wang Wook bertanya.
Sebagai jawaban Hae Soo menganggukkan kepala, “Ya, saya mengerti. Deretan kata yang indah”.
Pangeran Wang Wook kembali tersenyum geli, “Bila benar
demikian, puisi itu harus dibalas”, Pangeran ke-4 ingin tahu bagaimana
jawaban Hae Soo dengan puisi yang telah ia tulis dengan sangat
hati-hati.Ada banyak cara menyampaikan kata hati termasuk dengan
sebaris puisi.
Permintaan Pangeran Wang Wook menyebabkan Hae Soo harus
bekerja keras menyalin huruf-huruf Cina dari sebuah buku. Akan tetapi,
setelah menghabiskan berlembar-lembar kertas, tak satupun puisi dapat
ditulis. Ia tak mampu menulis dalam huruf Cina, huruf itu demikian
rumit. Hae Soo mengerti, bagaimana menjadi putus asa. Ia menyesal telah
mengatakan “ya”bagi jawaban sebaris puisi. Hae Soo termenung, ia nyaris
menyerah, tetapi tiba-tiba ia mendapatkan sebuah gagasan, dengan
hati-hati tangan mungil itu meraih kuas, mencelupkan ke dalam tinta
kemudiaan mulai bergerak di atas sehelai kertas.
Keesokan harinya, dengan hati-hati Hae Soo menyelinap masuk ke
perpustakaan, berniat meninggalkan balasan puisi di atas meja. Akan
tetapi saat dia hendak pergi, sekalian pangeran datang bersama Putri
Yeon Hwa. Pangeran Eun menatap Hae Soo dengan wajah berbinar, mengapa
gadis itu ada di perpustakaan? “Adakah engkau mencariku?” dengan jenaka
Pangeran Eun bertanya.
"Bukan, aku datang hanya untuk membawakan sesuatu," jawab Hae
Soo singkat, ia tak menyangka akan bertemu dengan sekalian pangeran
dalam keadaan seperti ini, terlebih ketika Pangeran Baek Ah dan Putri
Yeon Hwa ada bersama mereka pula.
Jawaban Hae Soo menyebabkan wajah Pangeran Eun berubah kecewa,
ia benar ingin tahu ‘sesuatu’ yang dibawa Soo ke tempat ini. Dengan
gesit Pangeran Eun menyambar helai kertas di atas meja, Hae Soo berusaha
merebutnya kembali sambil memandang Wook dengan tatapan memelas seolah
minta diselamatkan. Pangeran Wang Wook memerlukan beberapa menit untuk
memahami arti tatapan Hae Soo. “Surat itu adalah balasan dari puisi yang
kuberikan hari kemarin. Soo bisa pergi”, Pangeran Wang Wook mengangguk
pada Hae Soo, ia tahu gadis itu tak ingin bertemu dengan semua putra
Wang Geon dalam keadaan seperti ini.
Hae Soo tergesa menyelinap pergi, tiba-tiba ia merasa gerah. Ia
tidak menyadari, Pangeran Baek Ah mengikuti langkahnya dengan geram.
Baek Ah menduga, gadis ini melangkah terlalu jauh, melanggar wilayah
Nyonya Hae. Ia perlu memberikan teguran.
Sementara di perpustakaan Pangeran Eun menolak menyerahkan
lembar kertas kepada Pangeran Wang Wook, ia ingin tahu pesan apa yang
perlu disampaikan Hae Soo kepada Pangeran ke-8? Pangeran Eun membuka
surat itu bersama Pangeran Jung, keduanya berharap akan mendapatkan
sederet kalimat yang bermakna pesan berharga. Akan tetapi, di atas
kertas itu tidak tergores satupun huruf, terlebih kata-kata. Keduanya
saling berpandangan dengan bingung melihat goresan aneh tangan Hae Soo,
perpaduan antara garis lurus dan lengkung yang tidak bisa dibaca dalam
huruf apapun.
Pangeran Wang Won mengira dirinya tahu, merebut kertas itu,
tetapi wajahnya menjadi bingung ketika melihat goresan tangan di atas
kertas:
\^0^/
Apa artinya? Pangeran Wang Won mengerutkan dahi.Pangeran Wang
Wook yang lebih pintar dari semua pangeran tak kalah bingung dengan
pangeran yang lain. Sekalian pangeran mencoba menerka arti goresan tinta
sambil memiringkan kertas ke ke kanan dan ke kiri, akan tetapi tak
seorangpun mengerti.
Pangeran Wang So menatap gambar itu sekejab, ia tak mengucap
sepatah kata sejak bertemu dengan Hae Soo. Dengan santai pangeran ke-4
duduk di atas kursi, berkata kepada Pangeran Eun, “Angkat kedua tanganmu
tinggi-tinggi”, dengan sikap polos Pangeran Eun mengikuti kata-kata
Pangeran Wang So mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi.
“Buka mulut lebar-lebar”, Pangeran Wang So meneruskan
kata-katanya,masih dengan sikap polos Pangeran Wang Eun mengikuti
kata-kata Pangeran ke-4.
“Demikian makna gambar itu”, suara Pangeran Waang So tenang, tidak sulit menerjemahkan sebuah gambar.
Awalnya. tak seorangpun percaya,tetapi setelah dibandingkan,
ternyata bentuk goresan itu memang benar sama persis dengan kenyataan
pada Pangeran Eun yang tengah mengangkat kedua tangan kemudian membuka
mulut lebar. Seisi ruangan terpingkal-pingkal, semua pangeran menirukan
gerakan Pangeran Eun hingga menyerupai bentuk goresan di atas kertas.
Suasana di perpustakaan menjadi hangat.
"Gambar itu berarti wajah tertawa gembira, ia pasti sangat
menyukai puisi Wook", suara Pangeran Wang So tetap tenang, terbayang
kembali beberapa kali pertemuan dengan Hae Soo. Gadis itu memang berbeda
dari semua gadis yang pernah ada di Goryeo. Pangeran Wang So tersenyum.
Sementara di halaman perpustakaan Pangeran Baek Ah berhasil
mengejar Hae Soo, dengan geram ia menyeret gadis itu ke tempat sepi,
kemarahannya tak tertahan, sepasang matanya berang saat menatap Hae Soo,
berucap,”Apa yang sebenarnya telah engkau lakukan? Teganya engkau pada
Nyonya Hae. Bukankah engkau tahu perasaan Nyonya Hae terhadap Pangeran
Wang Wook?” wajah Pangeran Baek Ah semerah bara, ia menatap Hae Soo
dengan segenap penyesalan.
Hae Soo menatap Pangeran Baek Ah dengan wajah bingung, ia sama
sekali tidak mengerti kata-kata pangeran itu? “Apa persolannya?”Hae Soo
bertanya.
"Kalian saling mencuri pandang. Saat tangan kalian bersentuhan,
engkau akan memikirkannya berulang kali. Makanan apa yang Wook sukai?
Apa yang membuatnya tersenyum? Engkau pasti memikirkan semua itu.
Semuanya membuatmu memikirkannya!" Pangeran Baek Ah menatap Hae Soo,
pandangan matanya berapai-api, matanya semerah bara.“Saya dan Nyonya Hae
mengetahui semua perasaanmu terhadap Wang Wook.Harus engkau tahu,
satu-satunya yang Nyonya Hae miliki hanya Wook dan satu-satunya orang
yang dia cintai hanya Wang Wook. Apabila engkau berani menyakiti Nyonya
Hae, saya tidak akan tinggal diam”, Pangeran Baek Ah menyudahi
kalimatnya, wajahnya masih merah bagai saga, ia tak member kesempatan
kepada Hae Soo untuk menjawab.
Saat berbalik hendak pergi, Pangeran Baek Ah mendapati Pangeran
Wang Wook berdiri terpaku di belakangnya, menyimak semua kata-kata.Baek
Ah menatap Wang Wook dengan tatapan setajam mata pisau, sebelum
akhirnya pergi dengan langkah menghantam tanah, ia masih dikuasai
amarah. Sementara Wang Wook dan Hae Soo berdiri mematung, terdiam tanpa
kata Pangeran ke-8 memerlukan beberapa saat sebelum membuka
pembicaraan, menyudahi keadaan yang gelisah, “Maafkan, engkau harus
mendengar semua itu”.
“Saya yang salah telah membebani Pangeran Wook,” Hae Soo tidak
bisa membayangkan, andai Nyonya Hae mengetahui perasaannya terhadap
Pangeran Wang Wook. Ia telah berusaha menyembunyikan, tetapi mata tajam
Pangeran Baek Ah mengetahuinya.
“Bukan salahmu, saya yang memberi puisi untuk membuatmu
tersenyum setelah terjatuh. Engkau memberikan balasan, hal itu juga
bukan kesalahan. Baek Ah tidak pernah membuka surat balasanmu, ia
langsung marah”, Pangeran Wang Wook merasa ulu hatinya tergores, melihat
wajah manis Hae Soo kini segelap mendung. "Aku tahu perasaan seseorang
bisa menjadi berbahaya. Aku pura-pura tidak memperhatikan dan
beranggapan kalau semua ini akan memudar dengan sendirinya. Aku meraih
tanganmu dan keluar dari kamarku malam itu. Semua ini salahku", Pangeran
Wang Wook menyesal, ia telah menyebabkan kemarahan Baek Ah.
Tanpa dapat dibendung air mata Hae Soo berlinang, ia merasa
bimbang dengan keadaan yang tidak dapat dikuasai. Ia merasa bersalah
telah hadir di antara celah menganga antara Pangeran Wang Wook dan
Nyonya Hae, Baek Ah mengetahuinya. Ia seakan pencuri yang tertangkap
basah. Dari semua orang yang dikenal di lingkungan istana, hanya
Pangeran Wang Wook yang dapat memahami kesulitannya, di depan pangeran
ini ia leluasa mencucurkan air mata.Hae Soo tak ingin terjebak dalam
keadaan seperti ini lebih lama, ia membungkuk meminta maaf kemudian
mengundurkan diri.
Hae Soo memutuskan menyembunyikan puisi Pangeran Wang Wook di
dalam sebuah buku, kemudian dia simpan pada tumpukan buku di rak.Di
tempat yang berbeda, Pangeran Wang Wook menatap sabun pemberian Hae Soo
sebelum akhirnya memutuskan untuk menyembunyikannya di dalam kotak.
Keduanya memutuskan untuk memendam perasaan masing-masing.
***
Keesokan harinya, Putri Yeon Hwa datang menghadap Raja dengan
membawakan bantal baru yang dibuat secara khusus bagi ayahanda. Sebuah
pemberian yang menyebabkan Sang Raja tersenyum, “Engkaulah putri yang
pantas membuatku bangga, senang dengan pemberianmu. Akan tetapi, suami
mana kiranya yang layak mendampingimu?”Raja Taejo tak bosan menatap raut
putrinya yang jelita, tubuhnya semampai terbalut pakaian pilihan
seorang keturunan Wang Geon.
"Hamba yakin Yang Mulia akan memilih calon suami yang baik”,Putri Yeon Hwa merasa tersanjung dengan sambutan ayahanda.
“Aku selalu berharap engkau akan hidup bahagia seperti putri
sulung yang sekarang menjalani kehidupan berumah tangga, walaupun dia
berada di luar istana”, Raja Taejo tengah mereka-reka, dengan siapa
kiranya Putri Yeon Hwa mesti dinikahkan, salah satu cara untuk
memperkuat kedudukan seorang raja adalah dengan menikahkan seorang putri
dengan calon yang memiliki kedudukan tinggi dan menentukan.
Kata-kata Sang Raja menyebabkan senyum Yeon Hwa perlahan sirna,
ia harus menyadari ternyata ayahanda menginginkannya untuk hidup jauh
di luar istana. Ia tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi di luar
dinding Goryeo ketika ia mesti dinikahkan dengan seorang tak dikenal.
Putri Yeon Hwa tak menginginkan kehidupan semacam itu, tetapi ia tak
akan pernah berkuasa menentang keinginan seorang raja meski ia adalah
seorang putri tercinta. “Jika perkawinan itu telah menjadi pertimbangan
Yang Mulia, maka saya akan menjalani dengan senang hati”, Putri Yeon Hwa
menyudahi pertemuan, ia telah tahu bagaimana Yang Mulia mempersiapkan
masa depannya. Diam-diam ia merasa cemas, benarkah ia harus hidup di
luar istana?
Beberapa saat setelah undur diri dari hadapan raja, di luar
ruang tahta, Putri Yeon Hwa bertemu dengan Pangeran Wang So. Yeon Hwa
menyapa riang, “Saya masih belum terbiasa melihatmu di dalam istana”,
amat jarang ia bertemu dengan Pangeran ke-4.
“Sayapun masih belum terbiasa mengenakan pakaian ini”, Pangeran
Wang So merasa gerah dengan model pakaian baru, pakaian seorang
pangeran.
“Yang Mulia sedang berencana menikahkaku”, Yeon Hwa mengabarkan hasil pembicaraan dengan Sang Raja.
“Apakah Yang Mulia sudah memilih seseorang?” Wang So ingin tahu dengan siapa kiranya Putri Yeon Hwa bakal menikah?
Putri Yeon Hwa belum sempat menjawab pertanyaan Pangeran Wang
So, ketika Pangeran Wang Yo tiba-tiba hadir di antara mereka dan
bertanya dengan nada sinis kepada Pangeran Wang So "Mengapa? Apakah
engkau mengira pria itu dirimu? Lebih baik tidak usah berharap. Walaupun
sudah mengizinkan tinggal di istana, tetapi Yang Mulia tidak akan
membiarkan orang sepertimu memiliki gadis jelita, seperti Putri Yeon
Hwa”, Pangeran Wang Yo memiliki cara bicara seperti Ibunda Ratu Yoo,
sinis. Buah memang selalu jatuh tak jauh dari pohon.
Bagi Pangeran Wang So atau bagi pangeran yang manapun kata-kata
Pangeran Wang Yo terlalu kasar. Benar adat saat itu di Goryeo, seorang
pangeran bisa menikah dengan saudara tiri perempuan.Tak ada rencana
dalam diri Wang So untuk meminta ijin raja menikahi Putri Yeon Hwa.
Kata-kata Pangeran Wang Yo melampuai batas. “Adakah engkau bersedia
bertaruh?”Wang So menantang saudara kandungnya, Yo.
“Sia-sia sebuah taruhan, hasil sudah sangat jelas. Apakah Yeon
Hwa yakin akan bisa hidup bersama dengan seorang yang buruk rupa selama
lamanya?” Pangeran Wang Yo tak dapat melepaskan sikap sinis, kini ia
menatap Yeon Hwa, menunggu jawaban.
“Aku tidak menginginkan pria yang hebat, hanya menginginkan
seorang pria yang menyayangi. Seseorang yang menghargaiku,”suara Yeon
Hwa merdu, ia tampak tersenyum malu sambil menatap Wang So penuh arti.
“Calon suami Yeon Hwa harus tahu betapa berharga sang istri.
Aku tahu bagaimana memperlakukan Yeon Hwa bagai ratu negeri ini, jika
engkau mendapatkan suami sepertiku”, sepasang mata Pangeran Wang Yo tak
bosan menatap wajah jelita Yeon Hwa, ia sangat senang, karena
kata-katanya menyebabkan sang putri tersenyum gembira.
“Bagaimana jawaban Pangeran Wang So?” Putri Yeon Hwa melirik
Pangeran Wang So, tanpa topeng di wajah, sebenarnya Pangeran ke-4
memiliki wajah yang tampan, tak kalah dengan Wang Yo.
"Engkau tidak menyuruhku untuk menilaimu bukan? Aku lebih
menginginkan wanita yang menghargaiku dari pada bernilai tinggi,"
Pangeran Wang So menjawab, ia harus tersisih, karena goresan pada wajah
yang ditutupi topeng. Suaranya berbisik ketika ia menyudahi percakapan
ini, “Aku lebih menginginkan seseorang yang tidak akan mencemaskan
topeng pada wajah ini."Tanpa menunggu jawaban Pangeran Wang So berlalu
pergi, tak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Pangeran Wang Yo,
pangeran yang tidak menghendaki kehadirannya.
“Yo cuma seekor binatang”, Pangeran Wang Yo menatap punggung
Wang So dengan geram, Pangeran Bertopeng itu rupanya berani menjawab
kata-katanya.
“Betapa menyenangkannya mengubah binatang menjadi manusia.
Terkadang aku tertantang melakukannya," Putri Yeon Hwa menatap punggung
Pangeran Wang So sambil tersenyum, senyum yang tak mudah ditafsirkan
artinya.
***
Sementara cuaca selalu berganti menjelang sore, udara semakin
beku, lembut butiran salju kembali melayang jatuh dari langit, seputih
kapas. Di kediaman Pangeran Wang Wook, Hae Soo mendapati Nyonya Hae
tengah duduk di teras belakang, membakar barang-barang milik pribadi.
Semula Hae Soo berdiri terpaku, akan tetapi tiba-tiba Nyonya Hae
terbatuk, bibirnya yang lesi meneteskan darah. Setengah berlari Hae Soo
datang memburu, wajahnya cemas.”Seseorang datang … tolong tabib”, Hae
Soo berusaha memanggil bantuan.
“Sudahlah, tak perlu cemas, cuma batuk kecil. O ya, bagaimana
perasaanmu terhadap Wook?” suara Nyonya Hae lirih, ia tahu waktunya tak
akan lama. Ia harus memberikan Hae Soo tempat yang aman bila sesuatu
terjadi pada dirinya.
Sementara Hae Soo diam menunduk, ia gagal menyembunyikan
perasaan terdalam. Pangeran Baek Ah dan Nyonya Hae mengetahuinya. Aneh,
Nyonya Hae tak menunjukkan sikap marah,sikap wanita santun itu teramat
tenang.
"Engkau bodoh, kalian berdua sangat bodoh," Nyonya Hae tahu
Hae Soo tak pernah berniat meneyakitinya, ia tak berhak marah kepada
gadis ini, pengalaman hidup telah mengajarkan untuk menerima segala
kegagalan dengan damai. “O ya, adakah engkau bersedia meriasku? Aku
ingin Pangeran Wang Wook mengingatku sebagai wanita yang cantik,"
permintaan yang mudah dikerjakan Hae Soo, karena ia sangat ahli
melakukannya. Akan tetapi, mengapa? Nyonya Hae bahkan tak hendak
menghadiri pertemuan di istana.
Tatapan Nyonya Hae sayu ketika ia mengikuti gerak tangan mungil
Soo menyiapkan perlengkapan tata rias.Hae Soo tahu arti tatapan itu,
ia telah merampas bagian hidup paling berharga dalam diri seorang nyonya
yang pernah dikejar kemudian ditunggu seumur hidupnya --Cinta Pangeran
Wang Wook. Ia tak pernah dengan sengaja menemui Pangeran ke-8 untuk
mengemis cinta, tetapi apa bedanya? Wang Wook memberikan terlalu banyak
tanpa ia perlu meminta. Sebuah bahasa yang tak perlu diterjemahkan
dengan kata-kata, namun cukup dipahami Nyonya Hae. Hae Soo tak mampu
membendung air mata, butiran embun kembali tergenang pada sepasang
pipinya yang lembut. Ia masih mampu menahan isak tangis, akan tetapi
wajah sayu Nyonya Hae seakan sebuah bahasa yang terlalu menakutkan
untuk diartikan. Andai bisa mengartikan Soo akan membuang jauh-jauh
kemampuan itu. Ia tahu, ia tak akan pernah mampu kehilangan.
"Engkau tinggal dekat keluarga kerajaan, berhati-hatilah dalam
berkata-kata dan bersikap. Aku selalu cemas, tiba-tiba engkau tidak bisa
mengendalikan diri. Dan sebenarnya, aku ingin kau menjadi bantal bagi
Pangeran Wang Wook. Ia memiliki banyak kekhawatiran, harap ia bisa tidur
nyaman. Aku memohon padamu untuk menjaganya," suara Nyonya Hae merdu,
suatu keajaiban ia bisa selalu bersama dengan satu-satunya orang yang
dicintai, ia merasa bertanggung jawab apabila ia tidak mampu lagi selalu
dekat.
Hae Soo berusaha tetap tersenyum, tetapi bening air mata terus
menetes, dalam bayangan cermin Soo melihat hal yang sama pada sepasang
pipi indah Nyonya Hae, tetesan air mata. Mereka berdua mengalami
kesedihan serupa pada waktu sama tanpa dapat diucapkan dengan kata-kata,
mengapa? Ketika Soo telah selesai merias wajah Nyonya Hae, keduanya
merasa takjub. Tata rias itu menyebabkan wajah lesi Nyonya Hae tampak
berseri, ia akan dikenang Pangeran Wang Wook sebagai seorang wanita
cantik.
Hae Soo tahu apa yang harus dilakukan kemudian, tergesa langkah
kaki gadis itu menemui Pangeran Wang Wook, ia tak juga mampu membendung
air mata. “Nyonya Hae menunggu”.
Pangeran Wang Wook tak perlu menanti kalimat kedua, ia menatap
sepasang mata basah Hae Soo, ia melangkah menuju ke tempat Nyonya Hae
menunggu. Beberapa saat kemudian, tampak Pangeran Wang Wook menuntun
Nyonya Hae berjalan dibawah butiran salju yang melayang jatuh, karena
daya tarik bumi, mewarnai semesta menjadi satu warna, putih. Hae Soo
melangkah perlahan mengikuti jejak kaki pasangan kerajaan yang tampak
bahagia, bersama-sama melangkah dalam udara beku. Pangeran Wang Wook
tampak cemas, kurang sehat bagi seorang wanita yang sakit-sakitan
berjalan di bawah butiran salju.”Lebih baik kita kembali ke dalam
rumah”, Pangeran ke-8 membujuk Nyonya Hae.
“Sekali ini biarkan aku berjalan bersamamu di bawah salju,
biarkan aku mengingat kembali masa lalu”, angan-angan Nyonya Hae
dihembus putih salju melayang kembali ke masa lalu, saat pertama kali ia
jatuh cinta pada pandangan pertama.Ia masih seorang gadis saat
terpesona, diam-diam mengintip dan mengagumi Pangeran Wang Wook dari
balik semak. Ia tahu, ia tak akan pernah dapat menghentikan tatatan, ia
ingin menatap Pangeran Wang Wook selamanya.Saat itu, karena suatu
kesalahan Pangeran Wang Wook disisihkan dari istana, Nyonya Hae mengatur
pernikahan ia membantu Wang Wook bangkit dan kembali ke istana.Ia
adalah gadis tercantik dari keluarga besar Hae, ia dapat melakukan apa
saja.
Akan tetapi, Wang Wook adalah seorang pangeran yang cerdas, ia
tahu Nyonya Hae membuat suatu alasan, bagi sebuah pernikahan. Gadis
Goryeo mana yang tak jatuh cinta dengan ketampanan dan kepandaiannya?
Wang Wook tak dapat menolak perkawinan, ia berlaku penuh tanggung jawab
kepada Nyonya Hae atas nama seorang suami. Akan tetapi, betapun santun
dan bijak seorang keluarga Hae yang dinikahi, ia tak pernah dapat
mencintai wanita ini. Nyonya Hae mendapatkan perkawinan, tetapi bukan
cinta. Satu hal yang perlahan-lahan menyakiti hatinya, andai Wang Wook
mencampakkan, ia akan menerima kekalahan ini tanpa penyesalan.
Pangeran Wang Wook tetap tak mampu mengucapkan cinta, ketika
tangan pucat Nyonya Hae terulur menyentuh wajahnya yang tampan, sepasang
matanya yang lembut telah pecah menjadi lautan, “Bila ada satu
permintaan, jagalah Hae Soo baik-baik. Kumohon…”Nyonya Hae tak mampu
meneruskan kata-kata, tubuhnya oleng, udara beku bagai tajam lidah
pisau yang menikam paru-paru. Ia bahkan tak mampu lagi berjalan, maka
Pangeran Wang Wook menggendongnya, membawa wanita itu melangkah pulang.
“Engkau pernah berkata bila aku tak pernah mengucapakan
cinta…” Pangeran Wang Wook merasa tubuh Nyonya demikian lunglai nyaris
kehilangan tenaga, ia menolak suatu kesadaran, bahwa kebersamaan itu tak
akan berlangsung lebih lama. Tiba-tiba muncul rasa penyesalan teramat
dalam, ia telah menyebabkan wanita ini merasa kalah, ia telah berlaku
semena-mena. Bukankah permintaan Nyonya Hae sesungguhnya suatu hal yang
sederhana?
"Aku mencintaimu lebih dari yang pernah engkau bayangkan, tak
perlu engkau katakan apa-apa …” kata-kata itu terucap untuk yang
terakhir, Nyonya Hae merasa dadanya sesak, semakin sesak, hingga ia tak
mampu bernapas. Seakan ada beribu jarum menghunjam di tepat di
paru-paru. Sejenak tenggorokannya tercekik, ia merasa teramat sakit
hingga seluruh kemampuannya tak sanggup mengatasi. Akhirnya ia
menghembuskan napas untuk yang terakhir, tubuh mati itu terkulai di
punggung kekar Pangeran Wang Wook. Sampai saat terakhir ketika Pangeran
Wang Wook tak pernah menatap, Nyonya Hae tak pernah mengubah
perasaannya, dengan ikhlas wanita ini menerima semua kekahalan, bahkan
meminta Sang Pangeran menjaga Hae Soo.
Pangeran Wang Wook menghentikan langkah, ia tak lagi mendengar
Nyonya Hae berkata-kata, ia tak lagi merasakan napas halus wanita itu,
degup jantungnya berhenti. Wajah Pangeran Wang Wook memucat bagai
kertas, penyesalan menghantam bagai godam tepat di ulu hati. Sanggupkah
ia ditinggalkan Nyonya Hae? Ia telah membunuh wanita ini dengan amat
perlahan dan menyakitkan. Pantaskah Nyonya Hae menerima perlakuan ini?
Pangeran Wang Wook masih mampu memikul seluruh beban tubuh Nyonya Hae,
ia masih mampu bersikap baik. Akan tetapi, semua telah terlambat.
Sukma Nyonya Hae terlepas dari raga,melayang bersama lembut
butiran salju, ia tak lagi dapat merasakan sakit di paru-paru, juga rasa
kecewa teramat dalam, karena kekalahan. Ia masih bisa melihat Hae Soo
berlari memburu, menangis, karena kehilangan. Ia ingin berucap, “Jangan menangis…”Akan tetapi, kata-katanya tak tak mampu didengar siapapun, ia telah hidup di alam lain, alam keabadian.
"Jangan bangunkan istriku dari tidurnya," Pangeran Wang Wook
belum mampu menyadari Nyonya Hae telah berpulang selamanya, ia harus
beranggapan istrinya tengah tertidur. Suatu hal yang aneh, dan diam-diam
semakin menyakiti Hae Soo. Benar ia telah ditinggalkan wanita yang
menyelamatkan hidupnya di Goryeo.
Hae Soo membekap mulut, meredam suara tangis, seluruh tubuhnya
lemas seakan kehilangan tulang belulang.Haruskah wanita sebaik Nyonya
Hae meninggal dalam usia muda? Ia mengingat saat terakhir ketika merias
wajah pucat itu, tatapan mata Nyonya Hae, sebeku ajal.Dengan bahasa
tersendiri ia telah mengucap ‘selamat tinggal’. Hae soo tak lagi
melihat butiran salju melayang jatuh, ia kini seakan melihat
berhelai-helai kain kafan membungkam langit. Hati gadis itu kini sama
beku dengan gumpalan salju yang berubah menjadi batu.
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar