Kamis, 30 Mei 2019

SCARLET HEART, RYEO --Roman di Bawah Absolut Monarki-- LIMA

  

Hari ini Raja Taejo kembali melakukan ritual penghormatan kepada para leluhur bersama Putra Mahkota, kedua ratu dan para pangeran termasuk Wang So.Wajah Sang Raja tak lagi muda, akan tetapi matang usia semakin menunjukkan wibawa, terlebih Wang Geon terbalut pakaian kebesaraan dari kian yang lembut serta motif yang agung. Sementara seluruh yang hadir di kuil menunduk, berdoa, Pangeran  Wang So hanya terdiam,ia merasa tak harus menunduk.Sekian lama menjadi tawanan Selir Kang di Shinju, ia tak pernah mengerti tata cara berdoa --bila seorang tengah memuja, ia mesti menundukkan kepala. Pangeran Wang Eun yang selalu  mengikuti ritual ini, bahkan tampak memejamkan mata. Wajahnya yang mengantuk  bagai seorang bocah tanpa salah yang tak perlu mengerti tata cara seorang pangeran dalam menyelenggarakan ritual bersama Raja Besar Taejo.
Ritual penghormatan tak berlangsung lama, akan tetapi memang harus. Usai memberikan penghormatan Sang Raja sekejab melirik Pangeran Wang So, ritual sekali ini lebih lengkap dengan kehadiran Pangeran ke-4. Pangeran Wang So tampil berbeda, ia tak lagi mengenakan pakaian sehari-hari seperti kebanyakan orang. Ia telah  mengenakan pakaian kebesaran seorang pangeran berwarna hitam, menutup hingga ke mata kaki dengan lengan panjang, hiasan naga dari benang emas pada dada dan sepasang pundak, dan ikat pinggang.Tata rias rambut yang rapi menegaskan penampilan selaku putra Wang Geon. Semua pangeran memiliki tata rias rambut serupa serta mengenakan pakaian yang sama dengan warna yang berbeda.
Setelah melirik Pangeran Wang So dan sekilas menatap seluruh Pangeran Raja Taejo berlalu diiringi kedua permaisuri. Ada terlalu banyak hal yang harus dilakukan untuk menata Goryeo sebagai kerajaan besar. Ritual penghormatan leluhur adalah salah satu bagian yang tak bisa terlupakan. Di  pihak lain Pangeran Wang So merasakan arti lirikan itu, ayahanda raja memperhitungkan pula kehadirannya. Akan tetapi, bagaimana sesungguhnya perasaan terdalam raja besar itu, Wang So tak pernah tahu. Ia pernah meminta dan berusaha keras untuk kembali menetap di Songak.
Akan tetapi, Pangeran Wang So merasakan suatu hal yang asing. Ia tak terbiasa menetap di lingkungan istana dengan segala penghormatan sebagai seorang pangeran. Sejauh ini ia adalah putra seorang permaisuri yang terbuang. Ia merasa lebih nyaman tinggal di menara bintang milik Ji Mong. Suatu hal yang menyebabkan ahli bintang itu merasa aneh.
“Menara bintang ini tempat saya bekerja, bagaimana Pangeran Wang So bersedia tinggal di tempat seperti ini?”Ji Mong membuka pembicaraan, bukankah Putra Wang Geon yang ke-4 mestinya tinggal dengan nyaman di kamar seorang pangeran?
Pangeran Wang So paham akan keberatan Ji Mong, adakah ia mesti peduli dengan raut wajah si ahli bintang yang menatapnya aneh? Dengan santai Pangeran ke-4  berbaring di balkon, “Segala yang ada di  menara ini adalah milik Raja”, kata-kata Wang So perlahan, tanpa tekanan.
“Adakah seorang pangeran layak tinggal di menara ini?”Ji Mong menatap wajah Pangeran Wang So dalam-dalam, ia mengerti kegalauan hati sang pangeran, ahli bintang itu termangu-mangu.
"Aku tidak bisa melihat langit dari kamarku. Aku tidak bisa melihat bintang yang hanya bersinar di Goryeo," Pangeran Wang So masih berbaring  menatap bintang yang  tampak gemerlap seakan berlian berserakan pada sehelai kain beludru maha hitam. Senyumnya mengembang, amat mengesankan berbaring menatap bintang di hari pertama kala ia mengenakan pakaian seorang pangeran, bukan pakaian seorang anak buangan.
"Benarkah ada bintang yang hanya bersinar di Goryeo?" Ji Mong heran, suatu keganjilan ketika seorang pangeran lebih senang tinggal di menara bintang. Akan tetapi, bagaimana ia bisa mengusik suasana hati pangeran yang “aneh” ini? Ahli bintang itu terpaku.
                                                                                                   ***
Keesokan hari, tak jauh dari menara bintang, di kediaman Pangeran Wang Wook, wajah Hae Soo berbinar-binar ketika melihat ada beragam tanaman herbal di hadapannya.”Semua herbal ini pemberian  Pangeran Wang Wook. Bukankah engkau ingin melakukan sesuatu yang engkau sukai? Pangeran Wang Wook pernah  berucap, engkau suka dengan obat-obatan herbal”, suara Nyonya Hae lembut, sesungguhnya jauh di dasar hati yang tulus muncul satu pertanyaan kecil, mengapa Pangeran Wook mesti melakukan semua ini?
Wajah Nyonya Hae berseri ketika melihat Hae Soo tersenyum, gadis itu menatap aneka herbal dengan takjub, seolah ia mendapatkan kembali sesuatu yang berharga dan mengesankan di masa lalu."Tapi, apa yang ingin engkau buat dengan semua ini?" Nyonya Hae bertanya, sejak kapan sepupunya menyukai herbal?
"Sabun mandi, saya akan membuatkan Nyonya Hae sabun untuk mandi," sepasang mata Hae Soo masih berbinar, ia akan melakukan sesuatu yang menyenangkan yang pernah dikerjakan, membuat sabun mandi yang lembut dan wangi.Ia akan memulai suatu hari yang berbeda setelah kehidupan yang nyaris tidak masuk di akal ini.
Suasana di seputar kediaman Pangeran Wang Wook yang indah hari itu tampak berbeda, asap mengepul menebarkan aroma mewangi. Beberapa orang pelayan membantu Hae Soo membuat sabun herbal dengan cetakan kayu tradisional. “Engkau bisa pula membuat sabun untu Sri Ratu, mereka akan menyukainya …” Nyonya Hae memberikan saran.
Sepasang indah mata Hae Soo semakin berbinar dengan saran Nyonya Hae. Ia akan mengerjakan sesuatu yang penting bagi seorang ratu, membuat sabun wangi. Tak berselang lama kemudian, beberapa sabun yang harum telah jadi dalam bentuk kelopak kembang. Tangan mungil Hae Soo hias secara khusus menghias dengan bunga,sabun wangi itu akan menjadi hadiah istmewa bagi Nyonya Hae dan Sri Ratu.
Pangeran Wang Wook sejenak melintas, terpaku, tak dapat dipungkiri ia terpesona menatap wajah manis Hae Soo. Kulit wajah itu sama putih dengan mutiara pilihan, sepasangnya matanya sejernih tetas embun, bibirnya semerah buah delima masak di kebun sang raja. Tubuhnya yang mungil tampak  bersemangat kala mengerjakan sesuatu  yang sebenanrnya belum pernah dilakukan sebelum ia terjatuh. Darimana Hae Soo memiliki kehalian membuat sabun wangi? Jauh di dasar hati Pangeran Wang Wook bertanya-tanya. Akan tetapi adakah ia perlu jawaban? Setiap pertanyaan seakan sirna pada senyum manis di wajah gadis itu.
Pangeran Wang Wook terlalu tenggelam dalam pesona, ia tak pernah menyadari bila Nyonya Hae tengah memperhatikan dalam jarak yang teramat dekat. Wanita berhati lembut itu tidak dungu, tatapan mata Pangeran ke- 4 adalah cinta. Adakah ia  mesti cemburu? Perlahan Nyonya Hae berdiri di samping Pangeran Wook, berbisik, “Saya tidak pernah melihat Hae Soo tampak bahagia sejak terjatuh, pasti karena herbal pemberian itu”, kata-kata itu terucap tulus.
“Meski tidak pernah mengeluh, tetapi Hae Soo pasti putus asa, karena kehilangan ingatan.Tidak mengapa, ia masih memiliki ketrampilan”, Pangeran Wang Wook seakan melambung bersama senyum di wajah Hae Soo, betapa menawan gadis  itu saat tersenyum menikmati peranan sebagai ahli herbal.
"Soo menjadi semakin dewasa sejak terluka. Kadang dia mengatakan sesuatu yang lebih bijak dari pada semua hal yang pernah kuucapkan. Pada waktu yang berbeda, dia bersikap seperti orang seumurannya dan sangat manis", sejenak Nyonya Hae melirik wajah agung Pangeran Wang Wook, seraut wajah yang menyebabkan ia mampu menambatkan hati selama-lamanya, kemudian kembali  berucap. “Saya sering berpikir untuk mengirim Hae Soo kembali ke kampung halaman, tapi saya bersyukur tidak pernah meneruskan. Saatnya untuk mencarikan  Hae Soo pasangan hidup di Goryeo”, bagi Nyonya Hae, Hae Soo adalah anak kandung, ia bahkan tidak perlu terbakar api cemburu ketika sadar, tanpa sepatah kata Pangeran Wang Wook sesungguhnya jatuh cinta dengan saudara sepupunya. Meskipun sakit-sakitan, sepasang matanya tidak buta.
Nyonya Hae tahu sikap dan raut wajah Pangeran Wang Wook menjadi kacau dengan kata-katanya, meskipun mulutnya tetap terkunci. Wang Wook tidak pernah mengucapkan hal yang sia-sia. "Aku ingin Hae Soo berada di sisi kita selamanya. Aku ingin selalu melihat wajahnya yang ceria," Nyonya Hae menegaskan keinginannya, sesungguhnya ia ingin menjenguk isi hati Pangeran Wang Wook yang  terdalam. Ia memahami apa sejatinya isi hati Wang Wook, maka ia bisa menentukan sikap dengan tepat.
"Benar, akupun merasakan hal yang sama," tanpa sadar Pangeran Wang Wook menjawab, perasaan hatinya terseret terlalu jauh. Ia tak pernah merasa seperti ini, terpesona hingga tak mampu mengendalikan diri. Pangeran ke-8 tak pernah tahu tatapannya terhadap Hae Soo menyebabkan hati Nyonya Hae tercabik. Ia istri seorang pangeran yang diakui seluruh kerajaan, tetapi apa arti kedudukan ini, bila diam-diam Pangeran Wang Wook berpaling, semakin jauh, semakin jauh. Hingga Nyonya Hae tahu, ia tak akan mampu lagi  menatapnya.
Nyonya Hae masih berdiri menatap Hae Soo bersama para pelayan, adakah ia harus membenci Hae Soo, karena mencuri hati pangeran tercinta. Wanita agung itu menghela napas panjang, ia tak pernah memiliki alasan untuk membenci seorang sepupu yang menawan. Hae Soo tak memiliki kesalahan apa-apa, ia mendapatkan cinta seorang pangeran. Nyonya Hae masih tetap berdiri terpaku, pagi ini  matahari tampak ramah dalam sinar emas berkilauan. Ia harus melakukan sesuatu, Nyonya Hae telah mengambil keputusan, ia masih dapat menikmati indahnya alam hingga Pangeran Wang Wook pergi berlalu. Ia kini sendiri dalam jarak satu lemparan batu dengan Hae Soo yang tengah bergembira membuat sabun wangi.
                                                                                                ***
Hari berikutnya Nyonya Hae ingin menulis surat, ia meminta Hae Soo ke perpustakaan untuk mengambil perlengkapan menulis.Akan tetapi, sampai di tempat tujuan gadis itu terpana. Ruangan di dalam perpustakaan bukanlah hampa, Pangeran Wang Wook tampak tengah tekun menulis dengan sikapnya yang agung dan santun. “Nyonya Hae meminta saya untuk mengambil tinta di perpustakaan”, ragu Hae Soo menjelaskan, ia tak ingin bertemu dengan Pangeran Wang Wook dalam keadaan seperti ini, ketika mereka hanya berdua di tempat yang sunyi. Gadis mana yang tak terpikat dengan Pangeran ke-8, akan tetapi ia adalah suami Nyonya Hae. Soo tahu sampai batas mana ia harus melangkah.
“Nyonya Hae sudah tertidur, tadi ia terbatuk-batuk, saya  menggantikan menulis surat”, Pangeran Wang Wook menjawab, iapun tak menduga akan bertemu dengan Hae Soo di tempat ini. Akan tetapi, hati siapa tak bergetar bertemu kembali dengan gadis manis yang selalu hadir dalam mimpi, meski ia harus selalu menguasi diri.
Hae Soo menjadi canggung dalam mengambil sikap, ia bahkan tidak mampu mengambil tindakan tepat, apa yang sebaiknya harus dikerjakan? Gadis itu berniat pergi, mengundurkan diri dari suasana bimbang, tetapi Pangeran Wang Wook bersuara, “Bisa tolong aduk tinta?”
Sebuah permintaan yang tak mungkin ditolak, dengan ragu Hae Soo melangkah, jarak dengan Pangeran Wang Wook semakin dekat.Ia undur beberapa langkah menjaga jarak kemudian mengaduk tinta. Sekilas ketika mencuri pandang Hae Soo tidak mampu melawan pesona, tangan Pangeran Wang Wook bergerak dengan cermat dan teratur membentuk tulisan indah dengan sebuah kuas.Raut wajah sang pangeran demikian tenang seakan permukaan air danau pada musim semi ketika udara tak hendak bergejolak, hanya berkesiur lemah, selembut angin sorga. 
Pangeran Wang Wook sadar ketika Hae Soo sedang menatap tulisannya,”Ini adalah sebuah puisi”, Pangeran ke-8 menyertakan pula sederet puisi, Nyonya Hae selalu menyertakan puisi dalam surat-suratnya.”Apa yang engkau suka? Puisi atau lagu?”tiba-tiba Pangeran Wang Wook mengalihkan pembicaraan, ia menduga Hae Soo akan menyukai puisi.
“Saya menyukai lagu, “ jawab Hae Soo singkat dengan sebuah pertanyaan terpendam, mengapa Pangeran harus bertanya  tentang hal ini?
Pangeran Wang Wook mengerutkan sepasang alis yang legam mengayomi sepasang mata, jawaban itu tak pernah disangka, “Mengapa seorang gadis bangsawan  lebih tertarik pada lagu yang biasa disukai rakyat jelata?”sekilas Pangeran Wang Wook melirik Hae Soo, ia segera menguasai desiran lembut di dalam diri. Andai ia bisa selamanya berdua dengan gadis ini?
“Maksud saya musik Goryeo, tetapi saya dia lebih suka puisi”, Hae Soo setengah tergagap meluruskan jawaban.
"Aku merasa ingin memberikannya padamu," Pangeran Wang Wook memberikan Hae Soo sehelai kertas dengan deretan huruf yang sangat indah. Ia memberikannya setulus hati, Hae Soo berhak mendapatkan.
Hae Soo datang ke tempat ini untuk mengambil tinta, tetapi ia bahkan menerima sehelai kertas bertuliskan huruf indah yang digores dengan santun oleh Pangeran Wang Wook. Gadis itu tercengang, ia tidak tahu persis tindakan apa yang seharusnya dilakukan, iapun memilih pergi. Sampai di luar ruangan Hae Soo membuka lembaran kertas itu, iapun  menatapnya dengan bingung, semua kata-kata ditulis dalam huruf Cina. Apa artinya?
Ketika tampak Chae Ryung melintas, Hae Soo memanggilnya,”Dapatkah engkau membacakan puisi ini? Saya lupa untuk kembali dapat membaca”gadis manis itu  berbohong.
“Maaf, akupun tak dapat membaca, aku hanya seorang pelayan”, jawab Chae Ryung, wajah pelayan itu tampak lugu ketika menatap sehelai kertas berisi sederet puisi. Ia memang tidak mampu membaca.
Jawaban itu menyebabkan rasa gamang dalam diri Hae Soo. Apa arti puisi ini? Mengapa pula Pangeran Wang Wook tiba-tiba memberikan kepadanya? Rasa gamang itu tetap melilit hingga keesokan hari, Hae Soo menatap kembali puisi dalam huruf Cina yang sulit dibaca. Dia bisa mengenali tiap huruf, tetapi mustahil menterjemahkan menjadi sebuah kalimat. Tulisan itu sangat indah tanpa cela, menggambarkan sosok gagah dan bijak dari seorang Pangeran yang menuliskan. Sejenak Hae Soo memejamkan mata, tidak bisa disangkal ia sangat berkesan dengan keseluruhan penampilan Pangeran ke-8. Ia tidak bisa menyerah dalam ketidakmampuan mengartikan susunan kata.
"Alangkah lebih baik jika aku bisa membacanya. Aku berharap sekali bisa membacanya. Aku ingin membacanya. Aku ingin membacanya. Ah! Kenapa aku tidak mengambil kelas Bahasa Cina?" wajah  manis itu tampak diliputi penyesalan, Hae Soo benar ingin memahami arti puisi, sehingga ia bisa menangkap pesan yang disampaikan Pangeran Wang Wook.
"Apa yang engkau lakukan?" tiba-tiba Pangeran Baek Ah muncul di hadapan Hae Soo. Pangeran itu tampak heran melihat gadis keturunan bangsawan itu mengamati sehelai kertas seolah ia tak mampu membaca. Hae Soo terlonjak, ia tak mengharapkan kehadirana Pangeran Baek Ah dalam keadaan seperti ini, tetapi bagaimana ia mampu menghindarkan diri. "Adakah engkau tak mampu membaca?" pertanyaan Pangeran Baek Ah ibarat benda tumpul yang menohok tepat di ulu hati.
Hae Soo menatap Pangeran Baek Ah dalam pikiran kacau, haruskah ia mengakui ketidakmampuannya memahami bahasa Cina? Bukankah ia akan dianggap sebagai gadis dungu? “Saya lupa membaca huruf Cina setelah terjatuh dan  hilang ingatan”, Hae Soo segera memberikan alasan tepat.
“Mungkin saya bisa membantu membacakan?” Baek Ah menawarkan jasa baik, atau sesungguhnya ia ingin tahu, apa yang telah terjadi pada gadis itu.
“Tidak, terima kasih”, Hae Soo tidak mau bertindak keliru dengan membiarkan Pangeran Baek Ah membacakan puisi yang ditulis oleh Pangeran Wang Wook yang ditujukan kepadanya. Dengan sigap ia  menyembunyikan lembaran kertas itu. Akan tetapi, Pangeran Baek Ah lebih sigap, dalam hitungan detik puisi yang ditulis Pangeran Wang Wook dalam huruf Cina telah berpindah ke tangannya.
Dengan penuh rasa ingin tahu Pangeran Baek Ah membaca deretan huruf Cina yang ditulis rapi menunjukkan kemampuan tinggi sang penulis. Ketika akhirnya menyadari, bahwa tulisan itu ternyata berisi puisi cinta, Pangeran itu menatap Hae Soo dalam-dalam. Darimana gadis ini mendapatkan bait puisi?
Pangeran Baeh Ah masih menatap Hae Soo seakan ingin mengunjungi ruang paling tersembunyi di dasar hati gadis itu. Sebagai jawaban tiba-tiba  Nyonya Hae telah tiba meneruskan keseluruhan puisi yang dihapal dengan baik.
“Adakah engkau tahu makna puisi ini?”Pangeran Baek Ah bertanya, ada yang salah dalam helai kertas ini.
Di tempatnya berdiri seluruh tubuh Hae Soo terasa kaku. Pangeran Wang Wook menuliskan puisi cinta, tanpa sengaja Pangeran Baek Ah dan Nyonya Hae memahaminya? Dimana ia dapat menyembunyikan kebodohan ini? “Puisi itu tentang pemandangan alam yang indah”, Hae Soo menjawab sejauh ia mampu.Di pihak lain Nyonya Hae tersenyum, ia selalu memahami makna terdalam sebuah puisi.
“Siapa memberikan puisi ini?”kali ini sepasang mata Pangeran Baeh Ah tampak berkilat seakan bilah pisau, sastrawan mana yang menyampaikan rasa cinta melalui sebaris kata-kata?
"Pangeran ke-8 yang memberikannya padaku untuk dipelajari," jawaban Hae Soo adalah suatu kesalahan. Ia tidak pernah menyadari, bahwa Pangeran Baek Ah tiba-tiba melirik Nyonya Hae dengan cemas, meskipun wajah lembut itu tetap tersenyum. Nyonya Hae terlalu pandai bersandiwara, menyembunyikan perasaan.
“Benarkah engkau tidak bisa membaca, atau cuma berpura-pura?”kali ini seluruh isi kepala Pangeran Baek Ah tiba-tiba serasa kacau, benarkah Pangeran Wang Wook menyatakan cinta melalui sebaris puisi dalam huruf Cina yang indah kepada Hae Soo? Dimanakah cinta untuk Nyonya Hae?
"Saya benar tidak bisa membaca, mengapa harus pura-pura?" Hae Soo menatap wajah Pangeran Baek Ah dengan berani, ia memang tidak sedang berpura-pura.
“Sudahlah, engkau harus membalas puisi Pangeran Wang Wook. O ya, besok kita akan bertemu Ratu di istana untuk mempersembahkan sabun mandi. Bersiaplah …”Nyonya Hae mengangguk pada Hae Soo, menyudahi segala pertanyaan Baek Ah.
Maka, Hae Soo dapat mengakhiri pula segala bingung dengan rasa gembira, karena ia akan bersiap mengunjungi Sri Ratu di istana. Gadis itu merebut kembali lembar puisi dari tangan Baek Ah kemudian berpamit pergi.Ia ingin segera melupakan makna deretan puisi, betapapun Pangeran Wang Wook telah menyatakan perasaan hati, betapa pun ia sangat berkesan dengan sosok pangeran tampan ini, akan tetapi ia tak boleh menempatkan diri pada celah yang semakin lebar antara Nyonya Hae dan Pangeran Wang Wook. Hati baik melarangnya.
Di halaman berhiaskan taman nan indah, akhirnya hanya tinggal Pangeran Baek Ah dan Nyonya Hae. Pangeran muda itu menatap wajah lembut Nyonya Hae dengan hati tersayat, “Pangeran Wang Wook menuliskan puisi cinta bagi Hae Soo?”seluruh tubuh pangeran itu terasa kaku, nyaris menjadi batu.
“Hanya puisi tentang pemandangan yang indah”, Nyonya Hae menyangkal.  
"Huruf terakhirnya diubah menjadi kata 'cinta'. Puisi ini biasanya digunakan sebagai penyataan cinta! Benarkah engkau tidak mengetahuinya?" tatapan sepasang mata Pangeran Baek Ah tak pernah terlepas dari wajah Nyonya Hae yang perlahan-lahan menjadi sayu. Andai wanita ini memilihnya, dan bukan Wang Wook, adakah hari ini mereka harus bersitegang untuk sebaris puisi indah yang ditujukan kepada Hae Soo? Dengan cara yang amat halus dan  menyakitkan Pangeran Wang Wook telah berpaling, meski sikap sehari-harinya tetap santun sebagai suami yang bijak.
“Engkau telah mengetahuinya …” suara Baek Ah akhirnya berbisik seakan ratapan. Sebilah pisau seakan menggurat tepat di ulu hati ketika wajah sayu Nyonya Hae berubah seakan langit yang semakin mendung. Sepasang matanya yang tulus bersiapkan mencurahkan hujan. Ia akan merelakan Nyonya Hae andai wanita ini hidup dalam sebuah perkawinan yang damai. Akan tetapi, mata wanita itu tergenang seakan lautan yang berdebur dalam ombak, karena badai yang tiada berkesudahan. Di balik sikapnya  yang lembut dan tulus, hati wanita agung ini ternyata remuk redam.
Andai Baek Ah dapat  merengkuh wanita ini dalam sebuah pelukan, akan tetapi adat di istana tidak pernah  mengijinkan. Baek Ah merasa dadanya sesak, seakan bernapaspun harus dilakukan dengan susah payah. “Sudahlah, selesaikan lukisan diriku hari ini”, Nyonya Hae menutup pembicaraan. Ia tak pernah menyangsikan rasa cinta Baek Ah, tetapi pilihan hatinya pada Wang Wook. Untuk pilihan itu akhirnya ia harus membayar dengan genangan air mata.
Sementara Hae Soo gagal  melupakan makna puisi Pangeran Wang Wook, hingga malam hari ia merenungkan sambil berbaring di kamarnya yang indah, membaca deretan huruf Cina itu berulang kali. Ia berusaha meyakini sekaligus menyangkal pesan tersembunyi yang berhasil ditangkap Pangeran Baek Ah dan Nyonya Hae. Ia telah dianggap sebagai anak kandung oleh Nyonya Hae, ia tinggal di rumahnya, terbebas dari segala ancaman. Pantaskah ia menyakiti hati seorang ‘ibu’?
‘Tidak! aku harus mampu mengendalikan diri. Hatiku adalah milikku, tak perlu tergadai pada siapa pun. Pangeran Wang Wook adalah tuan rumah ... tuan rumah…’jawaban ini mengantar Hae Soo pada tidur lelap di atas kasur yang empuk dan selimut hangat.
Keesokan harinya, Hae Soo mengikuti langkah Nyonya Hae dan Pangeran Wang Wook di halaman istana raja. Para pejabat tampak sibuk berlalu lalang bagi setiap kepentingan, sinar matahari jatuh kuning keemasan mewarnai aneka bunga dan hijau daun pada taman yang indah. Istana Goryeo adalah banguna megah, teguh, dan menakjubkan. Adalah pengalaman pertama bagi Hae Soo berkunjung ke tempat yang  mengesankan ini, istana bagi seorang raja untuk memerintah Goryeo.Hae Soo mengenakan pakaian yang indah dengan mantel bulu  berwarna putih, tangannya yang mungil menenteng dua kotak sabun dililit kain lembut dan halus. Gadis itu menikmati kunjungannya hari ini, sepasang matanya yang jernih menatap seluruh sudut istana dalam rasa kagum.  Beberapa kali ia memutar badan dengan gerakan yang luwes seakan penari di atas panggung disaksikan beribu penonton. Pangeran Wang Wook yang berjalan paling depan beberapa kali menoleh, kini ia berada di antara dua orang wanita cantik, yang satu sangat mencintai, yang lain amat ‘dicintai’.Pangeran ke-8 memberikan senyum termanis, senyum yang tak pernah menghias wajah tampan sejak hari perkawinannya. Ia merasa geli sekaligus terhibur melihat tingkah laku Hae Soo yang lugu sekaligus lucu. Gadis ini selalu leluasa bersikap tanpa rasa takut terhadap segala macam tekanan seperti pada umunya gadis bangsawan.
Sementara di Istana Damiwon, Ratu Hwangbo tengah bertemu dengan Ratu Yoo, keduanya duduk berhadapan seakan saudara satu ayah dan satu ibu.”Hari ini Wang Wook akan datang bersama istri dan sepupu istrinya. Dia juga ingin meminta obat dari dayang Oh untuk istrinya yang sedang sakit,” Ratu Hwangbo membuka pembicaraan, kedua ratu itu nyaris memiliki kecantikan serupa. Akan tetapi kelembutan selalu terpancar pada diri Ratu Hwangbo.
“Mengapa harus mempercayai dayang Oh, dia bukan tabib”, wajah cantik Ratu Yoo berubah sekeras batu kali mendengar nama dayang Oh disebut, perempuan itu bagai duri dalam dagingnya. Ratu Yoo tak pernah menyadari, bahwa sikap keras hanya menyisakan sedikit kecantikan setelah kerja keras untuk memilikinya.
“O ya, saya dengar Pangeran Jung sekarang belajar dari seorang guru pribadi di kediaman Ratu ?”Ratu Hwangbo mengalihkan pembicaraan, ia telah faham sikap keras Ratu Yoo, amat sedidkit waktu untuk bersua. Ia tak menginginkan perselisihan dalam pembicaraan ini.
“Gurunya sudah terlalu tua untuk dikenal. Kalau guru Wang Wook siapa kiranya?”Ratu Yoo membalik pertanyaan, ia tahu tentang kemampuan Pangeran Wang Wook sebagai cendikiwan Goryeo. Ia tak perlu memperkenalkan guru Pangeran Jung.
“Sejak kecil Wook rajin membaca, ia memiliki ketekunan tersendiri. Wook hanya perlu membaca berulang kali dan hanya bertanya pada guru jika ada yang tidak dia mengerti”, jawab Ratu Hwangbo santun.
“Adakah Ratu sengaja menyembunyikan guru Wook?”Ratu Yoo langsung menyerang dengan sebuah pertanyaan. Sebenarnya ia selalu dililit tanda tanya, ‘siapa guru Pangeran Wang Wook, sehingga ia bisa memiliki kepandaian di atas rata-rata pangeran?’
Pangeran Wang Wook yang tengah menjadi bahan pembicaraan datang tak lama kemudian bersama Nyonya Hae dan Hae Soo. Gadis itu belum lelah mengagumi setiap sudut istana Goryeo, kegembiraan sejati terpancar dari seluruh penampilannya.  Kali ini untuk yang pertama Sang Ratu bertemu Hae Soo,”Engkau sungguh seorang gadis yang cantik”, Ratu Hwangbo tak dapat menahan diri untuk tidak memuji. Ia dapat mengenali sosok itu, tubuh ramping terbalut kulit putih berseri, wajah polos seakan tak menanggung beban dosa, pakaian seorang bangsawan yang terpilih dan mahal. Benar, Hae Soo seorang gadis yang cantik, tak berbeda dengan Nyonya Hae, kecuali ia sakit-sakitan.
Sementara Ratu Yoo merasa darahnya seakan mendidih ketika menatap Hae Soo, ia tak mampumenyangkal pengakuan akan kecantikan gadis itu. Akan tetapi, ia tak akan pernah rela ada seorang gadis yang mampu melebihi kecantikannya. Ia adalah seorang ratu y ang sangat berkuasa di Goryeo, ia dapat mengucapkan apa saja, “Engkau gadis yang telah berkelahi dengan  Pangeran ke-10,  Wang Eun?”tatapan Ratu Yoo sedingin bongkahan es, sebenarnya ia amat murka, mengapa ada seorang gadis yang berani bertarung dengan seorang pangeran?
Pertanyaan itu menyebabkan Hae Soo tertunduk, sikapnya menjadi canggung, ia harus menyadari kesalahan terlah berkelahi dengan seorang pangeran. Suatu hal yang tidak boleh terjadi di kerajaan ini. “Salam sejahtera bagi Sri Ratu …” belum terlambat bagi Hae Soo untuk memberikan salam sekaligus untuk menghidarkan diri dari sebuah tekanan.
“Salam bagi ibunda Ratu, Hae Soo membawakan hadiah, harap ibunda menyukainya”, Nyonya Hae berusaha meredakan suasana canggung dengan menyatakan maksud kedatangannya.
Tanpa diperintah Hae Soo membuka ikatan kain memberikan satu kotak pertama untuk Ratu Hwangbo. Wajah ratu itu tampak berbinar, di dalam kotak terdapat empat buah sabun dengan aneka warna lembut berbentuk kelopak bunga. Aroma wangi dan menenangkan segera merebak memenuhi seisi ruangan. “Saya senang menerimanya”, Ratu Hwangbo tidak sedang berpura-pura ketika ia menatap isi kotak dengan kagum. Kiranya gadis cantik itu pandai pula membuat sabun mandi berbentuk indah dan wangi.
Hae Soo merasa tersanjung dengan penerimaan Ratu Hwangbo, ia tak mengira Sri Ratu ternyata bisa menghargai hal-hal yang kecil, seperti sabun mandi. "Jika Yang Mulia memakai setiap kali mandi maka kulit Yang Mulia akan... sangat... lembut," kata-kata itu tersendat, Hae Soo nyaris akan menyatakan bahasa yang akan sulit dimengerti seorang ratu.
Pangeran Wang Wook kembali merasa geli dengan sikap dan kata-kata Hae Soo, gadis ini bukan hanya manis, tetapi baik hati, dan lugu. Senyum  di bibir Pangeran Wang Wook menimbulkan tanda tanya bagi Ratu Hwangbo, permaisuri Wang Geon itu menatap Pangeran Wang Wook, Hae Soo, dan Nyonya Hae berganti-ganti. Ada sesuatu yang ganjil, akan tetapi Ratu Hwangbo tak mampu berpikir lebih jauh,”Terima kasih untuk bingkisan ini, saya pasti akan memakainya”, senyum masih mengembang di wajah Ratu Hwangbo.
Dengan segala rasa hormat Nyonya Hae kemudian mempersembahkan satu kotak sabun mandi kepada Ratu Yoo, ia berharap permaisuri akan tersanjung dengan pemberian ini, tetapi ucapan Ratu Yoo selalu setajam silet, “Sampai hari ini engkau belum juga menggendong seorang anak?”sepasang mata Sri Ratu menatap Nyonya Hae dengan sinis, keluarga Hae adalah sekutu Ratu Hwangbo. Andai hanya ada seorang ratu di Goryeo?
"Ada ungkapan, berkah yang besar tidak datang dengan mudah, terima kasih atas perhatian Yang Mulia," Pangeran Wang Wook dan seisi kerajaan telah paham akan sikap sinis Ratu Yoo sehari-hari. Ia cukup pandai untuk menghentikan kata-kata tajam selanjutnya, tak seorangpun akan dibiarkan terus menerus  menyerang Nyonya Hae.
Tiba-tiba terdengar suara kasim mengumumkan kedatangan Sang Raja, menghentikan seluruh percakapan di ruangan ini. Hae Soo terperanjat, benarkah ia akan langsung berhadapan dengan Raja Besar Goryeo?  Mata gadis itu  menatap ke arah pintu nyaris tak percaya, selama ini ia hanya melihat sosok sang raja dalam pertunjukan drama. Kini ia telah berada di istana, bahkan akan bertemu muka , Hae Soo perlu mengatur napas, jantungnya berdegup lebih kencang.
Raja Wang Geon Taejo memasuki ruangan diiringi pengawal dan Putra Mahokta, dengan langkah tegap, raut wajahnya tak lagi menunjukkan muda usia, tetapi ia tampak sehat. Rambutnya digelung dengan tusuk konde dari logam mulia berhiaskan batu giok, pakaian kebesaran yang dikenakan menyempurnakan seluruh keyakinan dan wibawa. Hae Soo masih terpana, ia tidak tahu harus berbuat apa, kecuali menatap sosok raja besar itu,  hingga  Nyonya Hae menariknya.”Senang melihatmu”, Raja Wang Geon menyapa Nyonya Hae, wanita agung itu segera mengangguk dalam-dalam.Sementara Hae Soo tak juga mampu mengusai diri, ia telah berada pada saat menentukan ketika harus berhadapan langsung dengan seorang raja. Ketika Raja Taejo menatapnya, Hae Soo tersadar, ia harus menundukkan kepalanya.
“Engkau gadis yang memukul Pangeran ke-10 hingga memar di wajahnya?”suara Sang Raja tak mampu menyembunyikan rasa marah, bagaimana seorang gadis dari keluarga Hae berani berkelahi dengan seorang pangeran, putra Wang Geon hingga memar di wajah?
“Pangeran Eun dan Hae Soo hanya bermain-main”, Pangeran Wang Wook perlu merasa cemas, ia tahu hukuman  bagi seorang yang berani memukul pangeran Goryeo. Ia perlu melindungi Hae Soo.
"Wajah Pangeran memar, permainan itu sudah melampaui batas," Raja Wang Geon menatap Hae Soo dengan penuh selidik, sepasang matanya setajam elang.
“Benar Yang Mulia, Pangeran Eun dan Hae Soo hanya sekedar bermain-main. Pangeran ke-10 telah memaafkan pula”, Putra Mahkota juga berusaha membela Hae Soo. Gadis yang riuh dibicarakan, karena perkelahian dengan Pangeran Eun ternyata seorang bertubuh mungil, berparas cantik dengan sikap yang lugu. Benarkah keduanya terlibat perkelahian sengit? Atau hanya kesalahpahaman?
Tiba-tiba Hae Soo merasa sangat takut, ia tak hendak menanggung hukuman berat, karena perkelahian itu, ia bahkan tidak bermaksud menyebabkan wajah Pangeran Eun menjadi memar. Soo tahu ia harus bersujud di hadapan Raja Taejo,”Hamba telah melakukan kejahatan berat, hamba patut dihukum!"
"Apa kau takut pada Raja?" suara Wang Geon dalam saat bertanya.
"Yang Mulia adalah Raja yang baik dan bijak, jadi hamba tidak perlu merasa takut," Hae Soo berpikir cepat, seorang raja tiran merasa nikmat dengan rasa takut rakyat banyak, raja yang bijaksana akan selalu bertumpu pada  kebajikan.
 "Baik dan bijak? Kenapa kau berpikir kalau aku raja yang baik dan bijak?" Wang Geon masih bertanya.Pertanyaan itu menyebabkan Hae Soo terdiam, ia merasa sangat bingung.
“Atau engkau hanya mencari muka supaya terlepas dari hukuman?”Raja Taejo masih perlu untuk tetap bertanya.
Hae Soo menjadi semakin panik, ia harus berfikir keras mencari kata-kata yang paling tepat, “Yang Mulia menyatukan tiga kerajaan dan mendirikan sebuah negeri baru. Yang Mulia tidak membeda-bedakan orang-orang dari ketiga negeri yang telah hancur dan memberi mereka jabatan tinggi. Dan... dan... Kerajaan Bakjae... Bakjae menghilang tapi Yang Mulia tetap setia. Yang Mulia adalah raja yang baik dan bijak,"
Suasana menjadi tegang, yang paling tegang tentu Hae Soo, sikap dan kata-katanya akan menentukan keputusan raja, untuk benar atau salah. Raja Taejo terus  menatap tajam Hae Soo, tak seorang pun tahu arti tatapan itu. Hingga suasana tegang akhirnya memecah dengan suara tawa keras Sang Raja.Hal itu berarti, setelah perkelahian dengan Pangeran Eun, Hae Soo dinyatakan tidak bersalah. Putra Mahkota mengangguk perlahan, memuji kemampuan Hae Soo keluar dari suasana yang sulit. Sementara Hae Soo merasa teramat lega, seakan telah keluar dari lubang jarum. Temu muka dengan seorang raja  besar diawali dengan sebuah teguran,  karena kekonyolan berkelahi dengan Pangeran Eun.Ia harus meminta maaf kepada guru sejarah, karena selalu menggerutu saat sang guru menegaskan murid-muridnya menghapalkan sejarah Goryeo. Sekarang pelajaran sejarah ternyata sangat berguna.
“Berikan gadis ini karpet dari Persia”, Raja Taejo memerintah pengawal untuk memberikan Hae Soo karpet dari Persia sebagai hadiah kemampuannya bercakap-cakap dengan seorang raja.
Sebuah pemberian yang menyebabkan gadis itu kembali terpana, tak pernah terbayangkan ia akan menerima sehelai karpet Persia dari seorang raja setelah ia berkelahi dengan Pangeran Eun.
“Ucapkan terima kasih”, Pangeran Wang Wook berbisik ke telinga Hae Soo.
"Beribu terima kasih, Yang Mulia amat bermurah hati," Hae Soo mengikuti bisikan Pangeran Wang Wook, maka ketegangan pada hari itu selesai.
Hae Soo tak harus terlibat dalam percakapan dengan kedua ratu, ia undur diri, ia perlu pergi ke kamar kecil, akan tetapi ketika mencari-cari di seputar istana Damiwon, ia tak menemukan juga. Ketika tampak sebatang pohon rindang, maka ia memutuskan untuk berlindung di balik pohon itu. Niat itu urung, karena tiba-tiba muncul Pangeran Wang So, pangeran bertopeng itu tiba-tiba merangkulnya.
“Ah, Pangeran … sekarang benar-benar tampak seakan seorang Pangeran”Hae Soo memandang Wang So tanpa menyembunyikan rasa kagum, Pangeran ke-4 tampil berbeda dalam jubah seorang pangeran berwarna hitam dengan hiasan bergambar naga pada dada dan sepasang pundaknya.
“Aku memang terlahir sebagai seorang pangeran.Apa yang engkau lakukan di istana?”tiba-tiba Pangeran So sangat senang bertemu dengan gadis ini, seakan sangat lama ia tak pernah bercakap-cakap.
“Pangeran Wang Wook mengajakku memberikan hadiah untuk ratu.Apakah Pangeran baik-baik saja di istana?" tanya Hae Soo
"Tentu saja. Seperti yang pernah engkau katakan, istana ini adalah rumahku bersama ibu dan saudara-saudaraku," jawab Pangeran Wang So, ia lebih merasa nyaman tinggal di Songak daripada di Shinju di bawah tekanan Selir Kang yang sakit jiwa.
"Tempat ini terlalu besar sebagai rumah, apa engkau bahkan bisa bertemu kedua orang tua setiap hari?" betapa besar istana ini sebagai rumah tinggal keluarga, besar,megah, dan indah, karena taman  yang hijau dan tertata rapi.
Percakapan itu belum selesai, karena tiba-tiba tampak bayangan Ratu Yoo mendekat diiringi sekalian dayang. Hae Soo tak ingin kembali bertemu muka dengan permaisuri, ia sangat tidak nyaman dengan kata-katanya yang tajam serta pandangan matanya yang dingin seakan mata pedang. Tergesa Hae Soo bersembunyi di balik tembok, ia sudah cukup menghindar, akan tetapi tetap dapat mendengar kata-kata seorang ratu yang pedas, “Untuk apa sesungguhnya engkau harus kembali ke istana, kalau cuma dapat membantai manusia. Engkau sungguh berbeda dengan Wang Wook yang cerdas dan tekun!”  kata-kata itu pasti ditujukan kepada Pangeran Wang So.
"Terima kasih atas perhatiannya. Saya tidak akan menjadi beban bagi ibunda. Saya akan berusaha sekuat tenaga agar tidak menjadi beban," Pangeran Wang So menjawab, harapan supaya Ratu Yoo bersikap baik kembali gagal. Ibunda ratu tetap menolak kehadirannya.
Pangeran Wang So bersyukur, bahwa percakapan itu tidak berlangsung lama. Ia telah kukuh dengan keputusan menetap di Songak, melupakan Shinju, sekalipun ibunda tidak menghendaki. Keputusan ada di tangan raja bukan permaisuri, ia telah mengatur langkah untuk sampai pada keputusan itu.Ratu Yoo diiringin dayang-dayang segera melangkah berlalu, ia telah cukup menunjukkan sikap tidak menerima kehadiran Pangeran Wang So di istana tempatnya tinggal.
Pangeran Wang So kembali mencari-cari Hae Soo, tetapi gadis itu telah menghilang dari batas pandang.Sementara dari balik dinding bulu kuduk Hae Soo diam-diam meremang. Benarkah Ratu Yoo adalah ibu kandung yang telah melahirkan Pangeran Wang So? Mengapa seorang ibu  kandung dapat berucap seperti itu? Bukankah seorang ibu mesti menyayangi anaknya? Hae Soo beranggapan, lebih baik Pangeran Wang So mengira ia tak pernah mendengar percakapan itu. Dengan lihai ia menghilang.  
Sementara Nyonya Hae kini hanya berdua dengan Ratu Hwangbo, batuknya bertambah parah, paru-parunya terasa nyeri. Wanita itu terus terbatuk, hingga bibirnya yang pucat tiba-tiba meneteskan darah. “Panggilkan tabib…”Ratu Hwangbo menjerit cemas, ia tahu tentang Nyonya Hae yang sakit-sakitan, tetapi darah yang mewarnai bibir pucat itu tampak menakutkan.
Nyonya Hae seakan tak peduli dengan nyeri di paru-paru serta darah yang terasa asin di lidah, ia berlutut di depan Ratu Hwangbo, “Pada hari perkawinan ibunda ratu pernah berjanji untuk mengabulkan satu permintaan. Sekarang adalah saatnya”, suara Nyonya Hae serak menahan sakit.
“Apa permintaanmu?” Ratu Hwangbo menggenggam tangan Nyonya Hae, telapak tangan menantunya terasa dingin bagai ajal.Sri Ratu merasa ulu hatinya tersayat, Nyonya Hae tak akan bertandang dalam keadaan sakit bila tak ada suatu  hal yang sangat penting.
"Saya tak lagi memiliki waktu  yang panjang, terimalah Hae Soo sebagai istri Pangeran Wook”, kata-kata itu terucap dengan tulus. Nyonya Hae harus menebus kesalahan, setelah Pangeran Wang Wook terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia, bukankah ia masih memiliki kesempatan kedua? Penyakit yang bersarang di paru-parunya menjauhkan dari segala arti bahagia. Andai sehat sekalipun, Nyonya Hae tak pernah yakin kebahagiaan bagi Wang Wook, karena harus berada di sisinya.
Ratu Hwangbo tak mampu menjawab permintaan itu, kini ia tahu, mengapa Pangeran Wang Wook selalu tersenyum saat menatap Hae Soo. Ada bahasa yang tak mudah diterjemahkan kecuali melalui pengakuan Nyonya Hae, anak menantunya memiliki alasan merelakan kedudukannya bagi Hae Soo, karena ia  lebih tahu isi hati Pangeran Wook. Ratu Hwangbo harus menyadari, betapa tidak mudah memahami takdir hidup, ia masih menggenggam telapak dingin Nyonya Hae. Ia menolak suatu kesadaran, bahwa kata-kata Nyonya tidak salah. Waktu  bagi wanita yang sakit-sakitan tak lagi lama.Ratu Hwangbo tak pernah ingin melepaskan genggaman itu.
                                                                                  ***                             
Menjelang senja saat udara bertambah dingin menggigit pori-pori, Hae Soo melangkah pulang bersama Pangeran Wang Wook. Sesaat Hae Soo menghentikan langkah ketika berpapasan dengan Ji Mong.Ia mengenali ahli bintang itu sebagai ahjussi, gelandangan yang hidup pada pergantian millennium kedua. Tanpa seijin Pangeran Wang Wook, Hae Soo tergesa mendekati Ji Mong, ia tidak bisa menahan diri untuk tidal bertanya, “Apakah anda mengenal saya? Kita pernah bertemu sebelumnya, berbagi minum?” Hae Soo sangat berharap Ji Mong mengatakan “ya”, tetapi harapan itu kandas.
“Saya tidak tahu, apa maksudmu”, Ji Mong menatap Hae Soo seakan ia adalah orang asing.
Hae Soo nyaris terbanting, benarkah ahjussi tidak mengenalnya atau ia hanya berpura-pura? “Benarkah anda tidak mengingat saya?”Hae Soo mulai merasa gundah, ia sangat berharap akan bertemu dengan seseorang yang hidup pada masa yang sesungguhnya. Ia perlu berkeluh kesah,menumpahkan segala hal yang aneh dan menimbulkan terlalu banyak tanda tanya.
“Maaf sekali, benar saya tak pernah mengenal nona”, Ji Mong menatap wajah asing Hae Soo, ia tak ingin berpanjang lebar dengan gadis ini.
Hae Soo tahu apa arti putus asa, tiba-tiba ia merengek seperti seorang bocah, “Bukankah kita pernah bertemu?”
Sebagai jawaban Ji Mong melakukan hal serupa seperti Hae So, ahli bintang itupun merengek seakan seorang bocah, “Maaf sekali saya tidak pernah mengenalmu…”
“Lebih seribu tahun ke depan, terhitung mulai hari ini, kita pernah bertemu di tepi danau”, kali ini Hae Soo tak lagi merengek, ia berubah bersungguh-sungguh.
“Bila hidupmu harus berakhir di tempat ini, maka engkau harus berhati-hati. Istana adalah tempat setiap ucapan harus dijaga, pembicaraan bebas berarti bahaya.Setiap orang harus patuh dengan norma-norma di istana”, kali ini Ji Mong tak lagi berlaku lucu, sikapnya tiba-tiba berubah menjadi sungguh-sungguh, tatapannya tajam. "Hidupmu tidak akan berubah hanya karena engkau menginginkannya" Ji Mong lalu mengakhiri ucapannya dengan mengedip sebelah mata, sebelum berpamit pergi. Ia tak perlu menunggu Hae Soo kembali bertanya.
Hae Soo melepas bayangan Ji Mong berkelebat menjauh dengan tubuh terpaku, ia mengulang kembali kata-kata si ahli bintang, ‘Hidupmu tidak akan berubah hanya karena engkau menginginkannya’. Bukankah kata-kata itu serupa dengan ucapan ahjussi di tepi danau sebelum matahari ditelan gerhana? Sebelum ia tenggelam dan tiba-tiba muncul kembali di kolam pemandian istana? Benarkah Ji Mong adalah ahjussi, akan tetapi tata cara hidup di istana menyebabkan ia tak hendak mengakuinya? Hae Soo menghela napas panjang, ia harus merelakan dirinya tersesat di sepanjang lorong waktu, hidup sebagai Hae Soo –bukan Ko Ha jin.
Ia tak bisa lebih lama berdiri terpaku, Pangeran Wang Wook masih menunggu. Udara semakin dingin menggigit, diliputi senyap, tiba saat untuk kembali.Perlahan butiran salju mulai terjatuh, melayang dalam udara hampa, putih dan lembut bagai kapas. Dengan perlahan pula butiran salju menutup seluruh permukaan tanah, cuaca berubah dengan cepat pada waktu malam ketika udara mencapai titik beku.
Pangeran Wang Wook berjalan beriringan dengan Hae Soo,  gadis itu melangkah dengan hati-hati, menginjak kembali jejak kaki Pangeran Wang Wook yang membekas di atas salju. Hae Soo tidak harus tahu mengapa? Tetapi melangkah bersama seorang pangeran yang selalu bersikap istimewa sungguh mengesankan. Wajah  itu demikian damai dan lembut bagai salju yang melayang jatuh dari langit beku, karena gaya tarik bumi.
Sesaat Pangeran Wang Wook menoleh, ia kembali tersenyum. Sosok Hae Soo bagai peri yang turun dari langit ketika semesta berwarna putih, hati Pangeran Wang Wook kembali berdesir. Udara mencapai titik beku, tetapi  Pangeran ke-4 terasa hangat. Pangeran Wang Wook sengaja  menggoda Hae Soo, melebarkan langkah kaki, sehingga gadis itu kesulitan mengikuti jejak kaki sang pangeran. Maka  Hae Soo merasa kehilangan keseimbangan diri. Ia nyaris terjatuh di atas gundukan salju, sigap Pangeran Wang Wook menangkap tangan yang lembut itu. Sesaat keduanya bertatapan, Hae Soo merasakan genggangan tangan yang kuat, dan sepasang mata Pangeran Wang Wook demikian tenang seakan permukaan air telaga. Hae Soo merasa seakan bayangan dirinya akan terbenam ke dalam genangan air  yang tenang itu. Akan tetapi, ia tersadar, ia segera melepaskan telapak tangan dari genggaman Pangeran Wang Wook
“Apakah engkau mengenal Ji Mong?”Pangeran Wang Wook bertanya.
“Saya kira pernah mengenalnya, ternyata tidak”, Hae Soo tidak mungkin memberikan jawaban yang sebenarnya, Pangeran Wang Wook akan menganggapnya manusia aneh. Hae Soo kemudian memberikan sebuah sabun yang khusus dibuat untuk Pangeran Wang Wook,”Sebagai ucapan terima kasih atas segalanya termasuk puisi itu”,ia meberikannya dengan tulus.
Pangeran Wang Wook menerima sabun itu, ia segera menghirup aroma mewangi yang mengesankan. Sebuah pemberian kecil, tetapi cukup menunjukkan kebaikan hati. “Terima kasih.Adakah engkau tahu  makna puisi itu?”Pangeran Wang Wook bertanya.
Sebagai jawaban Hae Soo menganggukkan kepala, “Ya, saya mengerti. Deretan kata yang indah”.
Pangeran Wang Wook kembali tersenyum geli, “Bila benar demikian, puisi itu harus dibalas”, Pangeran ke-4 ingin tahu bagaimana jawaban Hae Soo dengan puisi yang telah ia tulis dengan sangat hati-hati.Ada banyak cara menyampaikan kata  hati termasuk dengan sebaris puisi.  
Permintaan Pangeran Wang Wook menyebabkan Hae Soo harus  bekerja keras menyalin huruf-huruf Cina dari sebuah buku. Akan tetapi, setelah menghabiskan berlembar-lembar kertas, tak satupun puisi dapat ditulis. Ia tak mampu menulis dalam huruf Cina, huruf itu demikian rumit. Hae Soo mengerti, bagaimana menjadi putus asa. Ia menyesal telah mengatakan “ya”bagi jawaban sebaris puisi. Hae Soo termenung, ia nyaris menyerah, tetapi tiba-tiba ia mendapatkan sebuah gagasan, dengan hati-hati tangan mungil itu meraih kuas, mencelupkan ke dalam tinta kemudiaan mulai bergerak di atas sehelai kertas.
Keesokan harinya, dengan hati-hati Hae Soo menyelinap masuk ke perpustakaan, berniat meninggalkan balasan puisi di atas meja. Akan tetapi saat dia hendak pergi, sekalian pangeran datang bersama Putri Yeon Hwa. Pangeran Eun menatap Hae Soo dengan wajah berbinar, mengapa gadis itu ada di perpustakaan? “Adakah engkau mencariku?” dengan jenaka Pangeran Eun bertanya.
"Bukan, aku datang hanya untuk membawakan sesuatu," jawab Hae Soo singkat, ia tak menyangka akan bertemu dengan sekalian pangeran dalam keadaan seperti ini, terlebih ketika Pangeran Baek Ah dan Putri Yeon Hwa ada bersama mereka pula.
Jawaban Hae Soo menyebabkan wajah Pangeran Eun berubah kecewa, ia benar ingin tahu ‘sesuatu’ yang dibawa Soo ke tempat ini. Dengan gesit Pangeran Eun menyambar helai kertas di atas meja, Hae Soo berusaha merebutnya kembali sambil memandang Wook dengan tatapan memelas seolah minta diselamatkan. Pangeran Wang Wook memerlukan beberapa menit untuk memahami arti tatapan Hae Soo. “Surat itu adalah balasan dari puisi yang kuberikan hari kemarin. Soo bisa pergi”, Pangeran Wang Wook mengangguk pada Hae Soo, ia tahu gadis itu tak ingin bertemu dengan semua putra Wang Geon dalam keadaan seperti ini.
Hae Soo tergesa menyelinap pergi, tiba-tiba ia merasa gerah. Ia tidak menyadari, Pangeran Baek Ah mengikuti langkahnya dengan geram. Baek Ah menduga, gadis ini melangkah terlalu jauh, melanggar wilayah  Nyonya Hae. Ia perlu memberikan teguran.  
Sementara di perpustakaan Pangeran Eun menolak menyerahkan lembar kertas   kepada  Pangeran Wang Wook, ia ingin tahu pesan apa yang perlu disampaikan Hae Soo kepada Pangeran ke-8? Pangeran Eun membuka surat itu bersama Pangeran Jung, keduanya berharap akan mendapatkan sederet kalimat yang bermakna pesan berharga. Akan tetapi, di atas kertas itu tidak tergores satupun huruf, terlebih kata-kata. Keduanya saling berpandangan dengan bingung melihat goresan aneh tangan Hae Soo, perpaduan antara  garis lurus dan lengkung yang tidak bisa dibaca dalam huruf apapun.
Pangeran Wang Won mengira dirinya tahu, merebut kertas itu, tetapi  wajahnya menjadi bingung ketika melihat goresan tangan di atas kertas:
\^0^/
Apa artinya? Pangeran Wang Won mengerutkan dahi.Pangeran Wang Wook yang lebih pintar dari semua pangeran tak kalah bingung dengan pangeran yang lain. Sekalian pangeran mencoba menerka arti goresan tinta sambil memiringkan kertas ke ke kanan dan ke kiri, akan tetapi tak seorangpun mengerti.
Pangeran Wang So menatap gambar itu sekejab, ia tak mengucap sepatah kata sejak bertemu dengan Hae Soo. Dengan santai pangeran ke-4 duduk di atas kursi, berkata kepada Pangeran Eun, “Angkat kedua tanganmu tinggi-tinggi”, dengan sikap polos Pangeran Eun mengikuti kata-kata Pangeran Wang So mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi.
“Buka mulut lebar-lebar”, Pangeran Wang So meneruskan kata-katanya,masih dengan sikap polos Pangeran Wang Eun mengikuti kata-kata Pangeran ke-4.
“Demikian makna gambar itu”, suara Pangeran Waang So tenang, tidak sulit menerjemahkan sebuah gambar.
Awalnya. tak seorangpun percaya,tetapi setelah dibandingkan, ternyata bentuk goresan itu memang benar sama persis dengan kenyataan pada Pangeran Eun yang tengah mengangkat kedua tangan kemudian membuka mulut lebar. Seisi ruangan terpingkal-pingkal, semua pangeran menirukan gerakan Pangeran Eun hingga menyerupai bentuk goresan di atas kertas. Suasana di perpustakaan menjadi hangat.
"Gambar itu berarti wajah tertawa gembira, ia pasti sangat menyukai puisi Wook", suara Pangeran Wang So tetap tenang, terbayang kembali beberapa kali pertemuan dengan Hae Soo. Gadis itu memang berbeda dari semua gadis yang pernah ada di Goryeo. Pangeran Wang So tersenyum.
Sementara di halaman perpustakaan Pangeran Baek Ah berhasil mengejar Hae Soo, dengan geram ia menyeret gadis itu ke tempat sepi, kemarahannya tak tertahan, sepasang matanya berang saat menatap Hae Soo, berucap,”Apa yang sebenarnya telah engkau lakukan? Teganya engkau  pada Nyonya Hae. Bukankah engkau tahu perasaan Nyonya Hae terhadap Pangeran Wang Wook?” wajah Pangeran Baek Ah semerah bara, ia menatap Hae Soo dengan segenap penyesalan.
Hae Soo menatap Pangeran Baek Ah dengan wajah bingung, ia sama sekali tidak mengerti kata-kata pangeran itu? “Apa persolannya?”Hae Soo bertanya.
"Kalian saling mencuri pandang. Saat tangan kalian bersentuhan, engkau akan memikirkannya berulang kali. Makanan apa yang Wook sukai? Apa yang membuatnya tersenyum? Engkau pasti memikirkan semua itu. Semuanya membuatmu memikirkannya!" Pangeran Baek Ah menatap Hae Soo, pandangan matanya berapai-api, matanya semerah bara.“Saya dan Nyonya Hae mengetahui semua perasaanmu terhadap Wang Wook.Harus engkau tahu, satu-satunya yang Nyonya Hae miliki hanya Wook dan satu-satunya orang yang dia cintai hanya Wang Wook. Apabila engkau berani menyakiti Nyonya Hae, saya tidak akan tinggal diam”, Pangeran Baek Ah menyudahi kalimatnya, wajahnya masih merah bagai saga, ia tak member kesempatan kepada Hae Soo untuk menjawab.
Saat berbalik hendak pergi, Pangeran Baek Ah mendapati Pangeran Wang Wook berdiri terpaku di belakangnya, menyimak semua kata-kata.Baek Ah menatap Wang Wook dengan tatapan setajam mata pisau, sebelum akhirnya pergi dengan langkah menghantam tanah, ia masih dikuasai amarah. Sementara Wang Wook dan Hae Soo  berdiri mematung, terdiam tanpa kata Pangeran ke-8 memerlukan beberapa saat sebelum membuka pembicaraan, menyudahi keadaan yang gelisah, “Maafkan, engkau harus mendengar semua itu”.
“Saya yang salah telah membebani Pangeran Wook,” Hae Soo tidak bisa  membayangkan, andai Nyonya Hae mengetahui perasaannya terhadap Pangeran Wang Wook. Ia telah berusaha menyembunyikan, tetapi mata tajam Pangeran Baek Ah mengetahuinya.
“Bukan salahmu, saya  yang memberi puisi untuk membuatmu tersenyum setelah terjatuh. Engkau memberikan balasan, hal itu juga bukan kesalahan. Baek Ah tidak pernah membuka surat balasanmu, ia langsung marah”, Pangeran Wang Wook merasa ulu hatinya tergores, melihat wajah manis Hae Soo kini segelap mendung. "Aku tahu perasaan seseorang bisa menjadi berbahaya. Aku pura-pura tidak memperhatikan dan beranggapan kalau semua ini akan memudar dengan sendirinya. Aku meraih tanganmu dan keluar dari kamarku malam itu. Semua ini salahku", Pangeran Wang Wook menyesal, ia telah menyebabkan kemarahan Baek Ah.
Tanpa dapat dibendung air mata Hae Soo berlinang, ia merasa bimbang dengan keadaan yang tidak dapat dikuasai. Ia merasa bersalah telah hadir di antara celah menganga antara Pangeran Wang Wook dan Nyonya Hae, Baek Ah mengetahuinya. Ia seakan pencuri yang tertangkap basah. Dari semua orang yang dikenal di lingkungan istana, hanya Pangeran Wang Wook yang dapat memahami kesulitannya, di depan pangeran  ini ia leluasa mencucurkan air mata.Hae Soo tak ingin terjebak dalam keadaan seperti ini lebih lama, ia membungkuk meminta maaf kemudian mengundurkan diri.   
Hae Soo memutuskan menyembunyikan puisi Pangeran Wang Wook di dalam sebuah buku, kemudian dia simpan pada tumpukan buku di rak.Di tempat yang berbeda, Pangeran Wang Wook menatap sabun pemberian Hae Soo sebelum akhirnya memutuskan untuk menyembunyikannya di dalam kotak. Keduanya memutuskan untuk memendam perasaan masing-masing.
                                              ***
Keesokan harinya, Putri Yeon Hwa datang menghadap  Raja dengan membawakan bantal baru yang dibuat secara khusus bagi ayahanda. Sebuah pemberian yang menyebabkan Sang Raja tersenyum, “Engkaulah putri yang pantas membuatku bangga, senang dengan pemberianmu. Akan tetapi, suami mana kiranya yang layak mendampingimu?”Raja Taejo tak bosan menatap raut putrinya yang jelita, tubuhnya semampai terbalut pakaian pilihan seorang keturunan Wang Geon.
"Hamba yakin Yang Mulia akan memilih calon suami yang baik”,Putri Yeon Hwa merasa tersanjung dengan sambutan ayahanda.
“Aku selalu berharap engkau akan hidup bahagia seperti putri sulung yang sekarang menjalani kehidupan berumah tangga, walaupun dia berada di luar istana”, Raja Taejo tengah mereka-reka, dengan siapa kiranya Putri Yeon Hwa mesti dinikahkan, salah satu cara untuk memperkuat kedudukan seorang raja adalah dengan menikahkan seorang putri dengan calon yang memiliki kedudukan tinggi dan  menentukan.
Kata-kata Sang Raja menyebabkan senyum Yeon Hwa perlahan sirna, ia harus menyadari ternyata ayahanda menginginkannya untuk hidup jauh di luar istana. Ia tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi di luar dinding Goryeo ketika ia mesti dinikahkan dengan seorang tak dikenal. Putri Yeon Hwa tak menginginkan kehidupan semacam itu, tetapi ia tak akan pernah berkuasa menentang keinginan seorang raja meski ia adalah seorang putri tercinta. “Jika perkawinan itu telah menjadi pertimbangan Yang Mulia, maka saya akan menjalani dengan senang hati”, Putri Yeon Hwa menyudahi pertemuan, ia telah tahu bagaimana Yang Mulia mempersiapkan masa depannya. Diam-diam ia merasa cemas, benarkah ia harus hidup di luar istana?
Beberapa saat setelah undur diri dari hadapan raja, di luar ruang tahta, Putri Yeon Hwa bertemu dengan Pangeran Wang So. Yeon Hwa menyapa riang, “Saya masih belum terbiasa melihatmu di dalam istana”, amat jarang ia bertemu dengan Pangeran ke-4.
“Sayapun masih belum terbiasa mengenakan pakaian ini”, Pangeran Wang So merasa gerah dengan model pakaian baru, pakaian seorang pangeran.
“Yang Mulia sedang berencana menikahkaku”, Yeon Hwa mengabarkan hasil pembicaraan dengan Sang Raja.
“Apakah Yang Mulia sudah memilih seseorang?” Wang So ingin tahu dengan siapa kiranya Putri Yeon Hwa bakal menikah?
Putri Yeon Hwa belum sempat menjawab pertanyaan Pangeran Wang So, ketika Pangeran Wang Yo tiba-tiba hadir di antara mereka dan bertanya dengan nada  sinis kepada Pangeran Wang So "Mengapa? Apakah engkau mengira pria itu dirimu? Lebih baik tidak usah berharap. Walaupun sudah mengizinkan tinggal di istana, tetapi Yang Mulia tidak akan membiarkan orang sepertimu memiliki gadis jelita, seperti Putri Yeon Hwa”, Pangeran Wang Yo memiliki cara bicara seperti Ibunda Ratu Yoo, sinis. Buah memang selalu jatuh tak jauh dari pohon.
Bagi Pangeran Wang So atau bagi pangeran yang manapun kata-kata Pangeran Wang Yo terlalu kasar. Benar adat saat itu di Goryeo, seorang pangeran bisa menikah dengan saudara tiri perempuan.Tak ada rencana dalam diri Wang So untuk meminta ijin raja menikahi Putri Yeon Hwa. Kata-kata Pangeran Wang Yo melampuai batas. “Adakah engkau bersedia bertaruh?”Wang So menantang saudara kandungnya, Yo.
“Sia-sia sebuah taruhan, hasil sudah sangat jelas. Apakah Yeon Hwa yakin akan bisa hidup bersama dengan seorang yang buruk rupa selama lamanya?” Pangeran Wang Yo tak dapat melepaskan sikap sinis, kini ia menatap Yeon Hwa, menunggu jawaban.
“Aku tidak menginginkan pria yang hebat, hanya menginginkan seorang pria yang menyayangi. Seseorang yang menghargaiku,”suara Yeon Hwa merdu, ia tampak tersenyum malu sambil menatap Wang So penuh arti.
“Calon suami Yeon Hwa harus tahu betapa berharga sang istri. Aku tahu bagaimana memperlakukan Yeon Hwa bagai ratu negeri ini, jika engkau mendapatkan suami sepertiku”, sepasang mata Pangeran Wang Yo tak bosan menatap wajah jelita Yeon Hwa, ia sangat senang, karena kata-katanya menyebabkan sang putri tersenyum gembira.
“Bagaimana jawaban Pangeran Wang So?” Putri Yeon Hwa melirik Pangeran Wang So, tanpa topeng di wajah, sebenarnya Pangeran ke-4 memiliki wajah yang tampan, tak kalah dengan Wang Yo.  
"Engkau tidak menyuruhku untuk menilaimu bukan? Aku lebih menginginkan wanita yang menghargaiku dari pada bernilai tinggi," Pangeran Wang So menjawab, ia harus tersisih, karena goresan pada wajah yang ditutupi topeng. Suaranya berbisik ketika ia menyudahi percakapan ini, “Aku lebih menginginkan seseorang yang tidak akan mencemaskan topeng pada wajah ini."Tanpa menunggu jawaban Pangeran Wang So berlalu pergi, tak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Pangeran Wang Yo, pangeran yang tidak menghendaki kehadirannya.
“Yo cuma seekor binatang”, Pangeran Wang Yo menatap punggung Wang So dengan geram, Pangeran Bertopeng itu rupanya berani menjawab kata-katanya.
“Betapa menyenangkannya mengubah binatang menjadi manusia. Terkadang aku tertantang melakukannya," Putri Yeon Hwa menatap punggung Pangeran Wang So sambil tersenyum, senyum yang tak mudah ditafsirkan artinya.
                                                                                  ***
Sementara cuaca selalu berganti menjelang sore, udara semakin beku, lembut butiran salju kembali melayang jatuh dari langit, seputih kapas. Di kediaman Pangeran Wang Wook, Hae Soo mendapati Nyonya Hae tengah duduk di teras belakang, membakar barang-barang milik pribadi. Semula Hae Soo berdiri terpaku, akan tetapi tiba-tiba Nyonya Hae terbatuk, bibirnya yang lesi meneteskan darah. Setengah berlari Hae Soo datang memburu, wajahnya cemas.”Seseorang datang … tolong tabib”, Hae Soo berusaha memanggil bantuan.
“Sudahlah, tak perlu cemas, cuma batuk kecil. O ya, bagaimana perasaanmu terhadap Wook?” suara Nyonya Hae lirih, ia tahu waktunya tak akan lama. Ia harus memberikan Hae Soo tempat yang aman bila sesuatu terjadi pada dirinya.
Sementara Hae Soo diam menunduk, ia gagal menyembunyikan perasaan terdalam. Pangeran Baek Ah dan Nyonya Hae mengetahuinya. Aneh, Nyonya Hae tak menunjukkan sikap marah,sikap wanita santun itu teramat tenang.
"Engkau  bodoh, kalian berdua sangat bodoh," Nyonya Hae tahu Hae Soo tak pernah berniat meneyakitinya, ia tak berhak marah kepada gadis ini, pengalaman hidup telah mengajarkan untuk menerima segala kegagalan dengan damai. “O ya, adakah engkau bersedia meriasku? Aku ingin Pangeran Wang Wook mengingatku sebagai wanita yang cantik," permintaan yang mudah dikerjakan Hae Soo, karena ia sangat ahli melakukannya. Akan tetapi, mengapa? Nyonya Hae bahkan tak hendak menghadiri pertemuan di istana.
Tatapan Nyonya Hae sayu ketika ia mengikuti gerak tangan mungil Soo menyiapkan  perlengkapan tata rias.Hae Soo tahu arti tatapan itu, ia telah merampas bagian hidup paling berharga dalam diri seorang nyonya yang pernah dikejar kemudian ditunggu seumur hidupnya  --Cinta Pangeran Wang Wook. Ia tak pernah dengan sengaja menemui Pangeran ke-8 untuk mengemis cinta, tetapi apa bedanya? Wang Wook memberikan terlalu banyak tanpa ia perlu meminta. Sebuah bahasa yang tak perlu diterjemahkan dengan kata-kata, namun cukup dipahami Nyonya Hae. Hae Soo tak mampu membendung air mata, butiran embun kembali tergenang pada sepasang pipinya yang lembut. Ia masih mampu  menahan isak tangis, akan tetapi wajah sayu Nyonya Hae seakan sebuah bahasa yang terlalu  menakutkan untuk diartikan. Andai bisa mengartikan Soo akan membuang jauh-jauh kemampuan itu. Ia tahu, ia tak akan pernah mampu kehilangan.
"Engkau tinggal dekat keluarga kerajaan, berhati-hatilah dalam berkata-kata dan bersikap. Aku selalu cemas, tiba-tiba engkau tidak bisa mengendalikan diri. Dan sebenarnya, aku ingin kau menjadi bantal bagi Pangeran Wang Wook. Ia memiliki banyak kekhawatiran, harap ia bisa tidur nyaman. Aku memohon padamu untuk menjaganya," suara Nyonya Hae merdu, suatu keajaiban ia bisa selalu bersama dengan satu-satunya orang yang dicintai, ia merasa bertanggung jawab apabila ia tidak mampu lagi selalu dekat.
Hae Soo berusaha tetap tersenyum, tetapi bening  air mata terus menetes, dalam bayangan cermin Soo melihat hal yang sama pada sepasang pipi indah Nyonya Hae, tetesan air mata. Mereka berdua mengalami kesedihan serupa pada waktu sama tanpa dapat diucapkan dengan kata-kata, mengapa? Ketika Soo telah selesai merias wajah Nyonya Hae, keduanya merasa takjub. Tata rias itu menyebabkan wajah lesi Nyonya Hae tampak berseri, ia akan dikenang Pangeran Wang Wook sebagai seorang wanita cantik.   
Hae Soo tahu apa yang harus dilakukan kemudian, tergesa langkah kaki gadis itu menemui Pangeran Wang Wook, ia tak juga mampu membendung air mata. “Nyonya Hae menunggu”.
Pangeran Wang Wook tak perlu menanti kalimat kedua, ia menatap sepasang mata basah Hae Soo, ia melangkah menuju ke tempat Nyonya Hae menunggu. Beberapa saat kemudian, tampak Pangeran Wang Wook menuntun Nyonya Hae berjalan dibawah butiran salju yang melayang jatuh, karena daya tarik bumi, mewarnai semesta menjadi satu warna, putih. Hae Soo melangkah perlahan mengikuti jejak kaki pasangan kerajaan yang tampak bahagia, bersama-sama melangkah dalam udara beku. Pangeran Wang Wook tampak cemas, kurang sehat bagi seorang wanita yang sakit-sakitan berjalan di bawah butiran salju.”Lebih baik kita  kembali ke dalam rumah”, Pangeran ke-8 membujuk Nyonya Hae.
“Sekali ini biarkan aku berjalan bersamamu di  bawah salju, biarkan aku mengingat kembali masa lalu”, angan-angan Nyonya Hae dihembus putih salju melayang kembali ke masa lalu, saat pertama kali ia jatuh cinta pada pandangan pertama.Ia masih seorang gadis saat terpesona, diam-diam mengintip dan mengagumi Pangeran Wang Wook dari balik semak. Ia tahu, ia tak akan pernah dapat menghentikan tatatan, ia ingin  menatap Pangeran Wang Wook selamanya.Saat itu, karena suatu kesalahan Pangeran Wang Wook disisihkan dari istana, Nyonya Hae mengatur pernikahan ia membantu Wang Wook bangkit dan kembali ke istana.Ia adalah gadis tercantik dari keluarga besar Hae, ia dapat melakukan apa saja.
Akan tetapi, Wang Wook adalah seorang pangeran yang cerdas, ia tahu Nyonya Hae membuat suatu alasan, bagi sebuah pernikahan. Gadis Goryeo mana yang tak jatuh cinta dengan ketampanan dan kepandaiannya? Wang Wook tak dapat menolak perkawinan, ia berlaku penuh tanggung jawab kepada Nyonya Hae atas nama seorang suami. Akan tetapi, betapun santun dan bijak seorang keluarga Hae yang dinikahi, ia tak pernah dapat mencintai wanita ini. Nyonya Hae mendapatkan perkawinan, tetapi bukan cinta. Satu hal yang perlahan-lahan menyakiti hatinya, andai Wang Wook mencampakkan, ia akan menerima kekalahan ini tanpa penyesalan.
Pangeran Wang Wook tetap tak mampu mengucapkan cinta, ketika tangan pucat Nyonya Hae terulur menyentuh wajahnya yang tampan, sepasang matanya yang lembut telah pecah menjadi lautan, “Bila ada satu permintaan, jagalah Hae Soo baik-baik. Kumohon…”Nyonya Hae tak mampu meneruskan kata-kata, tubuhnya oleng, udara  beku bagai tajam lidah pisau yang menikam paru-paru. Ia bahkan tak mampu lagi berjalan, maka Pangeran Wang Wook menggendongnya, membawa wanita itu melangkah pulang.
“Engkau pernah berkata bila aku tak pernah  mengucapakan cinta…” Pangeran Wang Wook merasa tubuh Nyonya demikian lunglai nyaris kehilangan tenaga, ia menolak suatu kesadaran, bahwa kebersamaan itu tak akan berlangsung lebih lama. Tiba-tiba muncul rasa penyesalan teramat dalam, ia telah menyebabkan wanita ini merasa kalah, ia telah berlaku semena-mena. Bukankah permintaan Nyonya Hae sesungguhnya suatu hal yang sederhana?
"Aku mencintaimu lebih dari yang pernah engkau bayangkan, tak perlu engkau katakan apa-apa …” kata-kata itu terucap untuk yang terakhir, Nyonya Hae merasa dadanya sesak, semakin sesak, hingga ia tak mampu bernapas. Seakan ada beribu jarum menghunjam di tepat di paru-paru. Sejenak tenggorokannya tercekik, ia merasa teramat sakit hingga seluruh kemampuannya tak sanggup mengatasi. Akhirnya ia menghembuskan napas untuk yang terakhir, tubuh mati itu terkulai di punggung kekar Pangeran Wang Wook. Sampai saat terakhir ketika Pangeran Wang Wook tak pernah menatap, Nyonya Hae tak pernah mengubah perasaannya, dengan ikhlas wanita ini menerima semua kekahalan, bahkan meminta Sang Pangeran menjaga Hae Soo.
Pangeran Wang Wook menghentikan langkah, ia tak lagi mendengar Nyonya Hae  berkata-kata, ia tak lagi merasakan napas halus wanita itu, degup jantungnya berhenti. Wajah Pangeran Wang Wook memucat bagai kertas, penyesalan menghantam bagai godam tepat di ulu hati. Sanggupkah ia ditinggalkan Nyonya Hae? Ia telah membunuh wanita ini dengan amat perlahan dan menyakitkan. Pantaskah Nyonya Hae menerima perlakuan ini? Pangeran Wang Wook masih mampu memikul seluruh beban tubuh Nyonya Hae, ia masih mampu bersikap baik. Akan tetapi, semua telah terlambat.
Sukma Nyonya Hae terlepas dari raga,melayang bersama lembut butiran salju, ia tak lagi dapat merasakan sakit di paru-paru, juga rasa kecewa teramat dalam, karena kekalahan. Ia masih bisa melihat Hae Soo berlari memburu, menangis, karena kehilangan. Ia ingin berucap, “Jangan menangis…”Akan tetapi, kata-katanya tak tak mampu didengar siapapun, ia telah hidup di alam lain, alam keabadian.
"Jangan bangunkan istriku dari tidurnya," Pangeran Wang Wook belum mampu menyadari Nyonya Hae telah berpulang selamanya, ia harus beranggapan istrinya tengah tertidur. Suatu hal yang aneh, dan diam-diam semakin menyakiti Hae Soo. Benar ia telah ditinggalkan wanita yang menyelamatkan hidupnya di Goryeo.
Hae Soo membekap mulut, meredam suara tangis, seluruh tubuhnya lemas seakan kehilangan tulang belulang.Haruskah wanita sebaik Nyonya Hae meninggal dalam usia muda? Ia mengingat saat terakhir ketika merias wajah pucat itu, tatapan mata Nyonya Hae, sebeku ajal.Dengan bahasa tersendiri ia telah  mengucap ‘selamat tinggal’. Hae soo tak lagi melihat butiran salju melayang jatuh, ia kini seakan melihat berhelai-helai kain kafan membungkam langit. Hati gadis itu kini sama beku dengan gumpalan salju yang berubah menjadi batu.

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...