Selasa, 28 Mei 2019

S A L I --Kisah Seorang Wanita Suku Dani-- TIGA


Pada akhir tahun 1970-an, ketika sebuah peristiwa berdarah di Lembah Baliem telah beberapa tahun berlalu dan situasi kembali normal. Sistem pemerintahanpun terus berjalan, Wamena berkembang menjadi ibu kota Jayawijaya dengan potensi wisata alam yang mempesonakan, maka kehidupan pada tiap-tiap silimo terus bertahan sesuai dengan bermacam arus perubahan. Turis domestik dan manc negara, fotografer, peneliti, dan para voluntir  terus berdatangan, karena eksotisme, kemurnian alam, dan budaya Suku Dani yang langka serta layak dicermati. Lembah Baliem beserta seluruh isinya menjadi sesuatu yang unik dan tak pernah selesai untuk diteliti. Sebagian masyarakat Suku Dani yang dapat mengikuti arus perubahan, mengambil peranan sebagai subyek, sedangkan lapisan masyarakat yang sulit dijangkau, bertahan pada kehidupan masa lampau.

Sementara Wamena terus menata diri sebagai ibu kota dengn gerak yang perlahan. Pusat pemerintahan, kantor-kantor, sekolah, rumah sakit, dan pasar terus dibangun. Pesawat udara merupakan satu-satunya sarana transportasi yang dapat digunakan untuk menjangkau lembah ini. Di barisan bukit sebelah utara, menganga sebuah celah yang disebut Pass Valley, melalui celah ini setiap pilot dari bermacam jenis pesawat, melakukan perhitungan untuk memasuki lembah, memutar,  kemudian mengkondisikan pesawat mencapai landasan pacu dengan selamat.

Arus perdagangan adalah dampak langsung dari kehadiran pesawat dan para pendatang dengan bermacam kepentingan. Dan masyarakat Suku Dani akhirnya mengenal suatu bentuk alat tukar nasional yang disebut uang merah –uang kertas sertus rupiah yang berwarna merah. Pasar Nayak yang terletak di tengah-tengah kota perlahan-lahan menjadi konsentrasi ekonomi. Suatu kehidupan tradisionil yang memberikan harapan lebih, karena masyarakat setempat dapat menjual hasil kebun yang semakin beragam untuk memperoleh alat pembayaran yang disebut dengan uang. Lembaran kertas yang sungguh ajaib dapat dipergunakan untuk menukar segala jenis barang di dalam pasar.

Lembah Baliem seakan tersentak di dalam sebuah perubahan, suatu perilaku yang kontras akhirnya tampak berdampingan dalam suatu kurun masa. Turis-turis dengan pakaian tamasya, kamera, kaca mata, dan kendaraam bermesin selalu tampak berjalan bersama penduduk setempat yang hanya mengenakan sali dan koteka. Ada pun Wamena adalah lembah menghijau yang diliputi kabut, seakan tantangan bagi setiap pendatang untuk menyingkap misteri di sebaliknya.

Di dalam silimo Liwa masih bertahan pada kehidupan masa lampau. Arus perubahan tak seluruhnya menyentuh hidupnya, kecuali suatu upaya untuk mendapatkan uang merah dengan menjual hasil kebun di Pasar Nayak. Di luar kebun dan pasar, maka Liwa adalah seorang gadis yang telah dewasa, ia tak tahu dengan pasti berapa umurnya, seperti halnya orang-orang di sekitarnya, ia tak perlu mengenal umur dan tanggal lahir.

Semakin hari, sepasang bukit kembar di dada Liwa semakin tampak ranum, pinggangnya semakin ramping dengan pinggul padat membayang di balik sali yang cantik. Pada ibadah di gereja pastor selalu memberi pesan tentang perlunya mandi bagi kesehatan. Sementara  Liwa amat senang bermain air dengan teman-teman sebaya di sebuah anak sungai, terutama ketika matahari bersinar terik. Setelah bermain air badan gadis itu semakin tampak segar.

Sementara Lapina, perempuan yang membesarkannya selalu melihat Liwa sebaga makhluk ajaib. Seakan baru kemarin ia merangkul gadis kecil itu, ketika Liwa pingsan dalam kedukaan, karena kematian Aburah. Kini, gadis kecil itu sudah dewasa, ia seakan bunga seribu hari yang tengah mekar dan sempurna sebagai hiasan. Lapina telah tampak sebagai perempuan tua, sudah berulang kali  orang tertarik dan berniat melamarnya, tetapi Lapina selalu menolaknya, ia tak ingin mengulang kehidupan dengan Kugara. Segalanya telah cukup baginya. Rambut Lapina cepat memutih bila dibandingkan dengan usia yang sebenarnya dan keinginan untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki, telah kandas sama sekali. Lapina telah merasa cukup meneruskan hidup bersama anak laki-lakinya dan Liwa.

Hari itu, Lapina baru saja menuruni pintu silimo hendak menimba air sungai, tapi langkah wanita itu segera berhenti. Matanya tak berkedip menatap lurus ke depan, pada sebuah pemandangn yang menyentak hatinya sekaligus memancing api kemarahan. Lapina seperti seorang penonton yang melihat adegan drama tanpa suara, tetapi ia seakan ikut tersedot ke dalamnya.

Liwa tampak tengah bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang mengenakan koteka. Lapina mengenal pemuda itu sebaga penghuni silimo di kampung sebelah. Setelah percakapan itu, maka keduanya tampak tarik menarik, dan akhirnya Liwa mengikuti ajakan pemuda itu, mengilang di balik semak-semak dalam waktu yang lama. Lapina tetap berdiri mematung di depan pintu silimo, ia tak bergerak sama sekali sampai samar-samar ia melihat bayangan Liwa bergerak mendekat dengan wajah bersemu dadu. Langkah Liwa begitu ringan dan ceria, gadis itu bermaksud menerobos pintu silimo dengan hati dipenuhi bunga. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia melihat Lapina berdiri di depan pintu silimo dengan tatapan dingin tak bersahabat.

“Jadi, ini yang engkau lakukan? Sejak kapan ada seorang pemuda dapat menyentuh seorang gadis tanpa terlebih dahulu membayarnya dengan babi dan memintanya secara adat kepada orang tuanya?” Lapina menyampaikan teguran, matanya menatap tajam pada Liwa, seolah kilatan pisau yang siap menyayat-nyayat. Liwa terpengarah, mulutnya terkunci, matanya yang berbinar seketika padam, ia tersadar akan kesalahannya.

“Sejak kapan Liwa?” suara Lapina halus dan teratur, tapi Liwa seakan teriris. Ia terdiam seperti bocah kecil yang tertangkap basah, karena sebuah kenakalan, wajah Liwa menunduk matanya menatap lurus ke tanah, tak kuasa memandang Lapina.

“Kalau sekali lagi engkau berani melakukan hal seperti itu, maka aku tak segan-segan akan memukulmu. Kau mengerti Liwa? Aku bukan hanya ibumu, tapi juga bapakmu. Jangan engkau mengira aku begitu mudah membesarkanmu hingga engkau menjadi seorang gadis  dan seorang laki-laki dapat tertarik kepadamu. Ingat akan hal itu Liwa!” Lapina terus menatap Liwa, tapi kemarahannya masih terkendali, setelah  itu ia berlalu pergi menuju sungai, meninggalkan Liwa mematung seorang diri.

Di lain pihak Liwa merasa begitu masgul, ia baru saja melewati saat-saat mendebarkan dalam hidup bersama seorang pemuda. Ia tak pernah merasa begitu gembira setelah ia mengenal Ibarak. Hari-harinya yang membosankan di seputar lembah menjadi penuh bunga saat ia berdua saja dengan Ibarak dan berbuat menurut dorongan hati. Bukankah pemuda-pemudi di kampung ini melakukan hal yang sama? Tapi Lapina telah nyata-nyata menegurnya,  Liwa menjadi kecut, Lapina tak pernah semarah ini. Wanita itu sungguh-sungguh menyayanginya, sehingga Liwa dapat mengobati sakit hati, karena kematian orang tuanya.

Tapi Liwa tak berlama-lama dengan keadaan ini, ia selalu pandai mengatur waktu untuk berdua saja dengan Ibarak, bersembunyi pada rimbunan semak-semak. Liwa benar-benar terlena, ia tak sadar, bahwa Lapina terus mengawasinya. Suatu hari, ketika Liwa dan Ibarak tengah berbaring saling merapat di bawah sebatang pohon yang rindang, menatap kabut putih yang berarak perlahan, tiba-tiba Lapina telah berdiri di depannya. Wanita itu datang tanpa suara seakan hantu di siang bolong.

“Kau masih juga keras kepala Liwa!” Lapina setengah berteriak. Liwa terperanjat, ia tak percaya, bahwa Lapina dapat menemukan tempat persembunyiannya. Dengan tergagap Liwa berdiri diikuti Ibarak, tangannya gemetar ketika mengibas rumput liar yang menempel pada sali yang dikenakannya. Wajah Liwa seketika memucat, ia tahu betul perangai Lapina apabila sedang dilanda amarah. “Sudah kukatakan, jangan pernah ada seorang laki-lakipun yang menyentuhmu sebelum ia meminta kepadaku secara adat dan membayarmu dengan babi-babi. Engkau harus sadar siapa  dirimu, atau engkau harus menghargai dirimu sendiri!” mata Lapina menatap Liwa dengan berapi-api, dan “plak!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi Liwa.

Gadis remaja itu tergagap, ia memandangi Lapina sambil memegangi pipinya yang terasa panas. Sulit bagi Liwa untuk mempercayai, bahwa Lapina telah mengangkat tangannya tinggi-tinggi kemudian menampar pipinya keras-keras, di depan Ibarak, di tengah hutan pula. Lapina memang kerapkali memukulnya, karena kesal dan kesalahan-kesalahan, tapi bukan dengan cara seperti ini. :”Mamak ....!” suara Liwa terbata-bata.

“Jangan sekali-kali menentangku, aku tak punya siapa-siapa dalam hidup ini kecuali anak-anakku. Sekarang cepat engkau kembali atau aku akan menghajarmu!” mata Lapina berarpi-api, ia tak pernah ragu dengan ucapannya, ia sama sekali tidak rela, bahwa anak perempuannya telah disentuh seorang laki-laki tanpa seijinnya.

Liwa terisak, seperti tersihir ia melangkahkan kaki, tangannya masih memegangi pipinya yang panas. Kepalanya tetap tertunduk ketika bayangannya berlalu meninggalkan Lapina dan Ibarak yang berdiri terpaku. Sementara Lapina seger menatap Ibarak dengan pandangan penuh tuntutan, kepala wanita itu tegak, tanpa sedikit pun keraguan, kemudian kata-katanya meluncur. “Aku peringatkan engkau anak muda. Jangan pernah mengganggu orang punya anak gadis, bukan mudah aku membesarkannya. Kalau engkau memang bersungguh-sungguh dengan anakku, engkau harus memintanya secara adat dan membayarnya dengan babi. Ingat itu! Kalau aku masih mendapatimu sedang mengganggu anakku, maka aku tak segan-segan akan mengadukan pada tua-tua adat supaya mereka mengadilimu!”

Setelah kata-kata itu Lapina membalikkan badan tanpa menoleh lagi, dadanya teras sesak, ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Liwa, yaitu mengawasinya. Lapina tak ingin Liwa mengandung kemudian laki-laki yang mesti bertanggungjawab meninggalkannya.

Di lain pihak Ibarak berdiri dalam diam, ia masih mencoba memahami kejadian yang baru saja berlalu dengan pikiran yang sederhana. Pemuda itu sungguh-sungguh tak menyangka, bahwa Lapina akan mengetahui segala perbuatannya bersama Liwa, melayangkan tangan dan mendaratkan dengan keras pada pipi anak gadisnya, dan mengancamnya dengan sebuah tuntutan. Membayar babi pada seorang gadis secara adat kepada orang tuanya berarti menikahinya. Dahi pemuda itu berkerut, menikahi seorang gadis bukanlah perkara mudah, ia harus berbicara sebagai laki-laki dewasa, meminta kesediaan kerabatnya, dan babi-babi itu.

Ibarak kembali ke silimo degan gontai, ia dihadapkan pada tanggung jawab hidup yang maha berat, seekor babi adalah harta pusaka dalam setiap silimo. Pada sebuah perkawinan diperlukan sekitar dua puluh ekor babi. Dari mana ia akan mendapatkan babi sebanyak itu? Ibarak pun membisu. Pemuda itu mencoba menenangkan diri dengan menjauhi Liwa, tapi bayangan gadis dengan dada yang ranum terbuka serta sali di seputar pinggangnya yang ramping selalu menggodanya. Ibarak teringat saat-saat ketika ia berdua saja dengan Liwa, di tengah kesunyian hutan, dada pemuda itu menggelegar. Ibarak mencoba mencari-cari Liwa dengan harapan dapat kiranya membawa gadis itu bersunyi-sunyi di tengah hutan, tetapi Lapina selalu membawa Liwa ke kebun bersama-sama. Gadis itu selalu berada di dalam pengawasannya. Ibarak teringat pada kemarahan Lapina dan tamparan itu serta kesungguhan kata-katanya, Ibarak menjadi kecut. Ia tak dapat lagi menguasai debaran jantung manakala secara sembunyi ia terus menatap Liwa. Ibarak termangu-mangu, ia telah dihadapkan pada sebuah tanggung jawab, dan sepertinya ia harus memenuhi tuntutan Lapina untuk menguasai debaran jantungnya.

Sementara Liwa tak dapat membantah lagi, ia tahu Lapina bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Liwa tak dapat lagi mencuri waktu untuk bertemu dengan Ibarak, karena Lapina selalu bersamanya, baik di silimo maupun di kebun. Di lain pihak, maka Liwa pun selalu teringat manakala ia hanya selalu berdua dengan Ibarak, bersembunyi di antara semak-semak, di bawah langit biru. Gadis itu merasa jantungnya berdebar, ada suatu kekutan yang mendorongnya untuk memacu debaran jantung hingga sampai pada detak yang paling keras untuk kemudian menurun kembali. Akan tetapi sikap tegas dari Lapina selalu mengurngkan niatnya. Liwa selalu mencuri kesempatan supaya dapat bertemu Ibarak, sampai akhirnya kesempatan yang ditunggunya itu pun datang.

Lapina jatuh sakit, ia terus berbaring di honai dalam keadaan demam. Persediaan ubi manis dan hasil kebun telah lama habis. Apabila Liwa tidak pergi ke kebun, maka penghuni honai itu tak dapat memproleh bahan manakan. Liwa tahu akan kesempatan itu, ia tak mengalami kesulitan untuk pergi ke luar, karena Lapina terlalu sibuk dengan penyakitnya.

Seharian Liwa pergi ke kebun, pandangan matanya selalu mencari-cari apabila ia dapat melihat Ibarak, tetapi pemuda yang dicarinya itu tak kunjung datang. Liwa menjadi kesal, tapi ketika tengah mencuci ubi manis dan sayur mayur pada sebatang anak sungai, maka kekesalannya segera berubah  menjadi kegembiraan.

“Liwa ....!”

“Ibarak ....!”

Keduanya seakan dihantui rindu seribu tahun, Liwa segera melupakan hasil kebun yang telah dicucinya dengan bersih. Ia tak lagi melawan ketika Ibarak menariknya ke dalam semak-semak, di bawah sebatang pohon yang rindang. Keduanya tak banyak lagi bicara, bunga-bunga liar di tepi hutan itu adalah saksinya. Liwa seakan tak mengingat lagi pada tamparan pedas di pipi dan kemarahan Lapina. Ia hanya menginginkan Ibarak, seorang pemuda tegap yang telah menguak misteri kehidupan baginya. Liwa dan perlu memuaskan diri terhadap air kehidupan dari seorang Ibarak. Liwa  merasaa dirinya sebagai seorang wanita dewasa, ia sungguh-sungguh tak ingin kehilangan Ibarak, seorang pemuda yang dapat memberi arti kehidupan baginya.

“Esok aku akan ke kebun lagi, engkau bisa menungguku. Lapina sedang sakit, ia terbaring di honai dan tak bisa mengawasiku”, Liwa membuk pembicaraan, sambil menyeka keringat yang meleleh pada sekujur tubuhnya.

Aku pasti akan mencarimu, aku bingung tak dapat menemuimu sehari-hari, aku bisa mati karena rindu”, Ibarak tampak begitu bersemangat, duduk melekat di samping Liwa. Mereka tak sadar, bahwa hari telah menjelang gelap, ketika angin dingin bertiup barulah Liwa teringat akan Lapina yang terbaring lemah, karena sakit, gadis itu pun tergesa pulang ke silimo sambil membawa serta hasil kebun.

“Besok kita bertemu lagi”, demikian pesan Liwa.

“Pasti”, Ibarak menjawab dengan yakin.

Keesokan harinya Liwa pergi ke kebun, Ibarak telah menunggunya, dan mereka mengulang kembali misteri demi misteri, seolah dalam hidup ini tak ada yang lebih menarik kecuali kesunyian masa purba dengan pohon raksasa dan semak-semak di sekitarnya. Baik Liwa maupun Ibarak seolah tak pernah merasa puas meneguk air kehidupan dan selalu merasa kehausan.

 Hari berikutnya mereka mengulang pertemuan demi pertemuan tanpa pernah merasa bosan. Dan akhirnya kesehatan Lapina mulai membaik, ia pun siap pergi ke kebun untuk rutinitas sehari-hari. Kesembuhan ini membuat Liwa tersadar , ia harus berhati-hati supaya tamparan Lapina tak terulang lagi. “Lapina telah sembuh, dia akan bersamaku pergi ke kebun, dan kita tak bisa bertemu lagi. Kumohon Ibarak lakukan sesuatu”, Liwa membuka pembicaraan, keduanya tengah berendam dalam air sungai yang dingin, sementara matahari panas menyengat.

“Apa yang harus aku lakukan?” Ibarak bertanya.

 “Benar kata Lapina, kau harus memintaku secara adat dengn babi-babi, sehingga kita bisa hidup sebagai suami istri, tanpa sembunyi seperti ini”, suara Liwa tampak jelas penuh permohonan.

“Tapi babi-babi itu banyak sekali, tak mudah aku mendapatkannya”, Ibarak menjawab, ia seakan dihadapkan pada dua pilihan hidup yang sangat sulit, dari mana ia akan mendapatkan babi-babi untuk menikahi seorang gadis?

“Semua laki-laki di kampung ini melakukan hal seperti itu untuk mendapatkan isteri, mengapa engkau tak dapat melakukan?” Liwa kembali memohon.

“Tapi Liwa ....” Ibarak tampak kebingungan.

“Baiklah Ibarak, engkau mempunyai waktu untuk berpikir. Bukan aku tak mau menemuimu, tapi aku tak mau Lapina mendapati kita kemudian memukulku. Maaf Ibarak, hari sudah sore, aku harus  kembali ke silimo. Aku akan menunggumu, apakah engkau benar bersungguh-sungguh kepadaku?” Lapina melepaskan diri dari Ibarak, naik ke tepi sungai, mengenakan sali, mengemasi isi noken kemudian melangkah pergi tanpa pernah menoleh lagi.

Ibarak terdiam di dalam air sungai yang tiba-tiba terasa amat dingin tanpa Liwa, ia berharap Liwa akan menoleh, tapi bayangan gadis itu terus berjalan lurus dan akhirnya menghilang di balik dedaunan. Ibarak meloncat dari dalam sungai dengan gamang, ia tertantang untuk melakukan sesuatu yang amat sulit dan mengubah seluruh hidupnya. Ibarak masih bertahan untuk tidak menemui Liwa, karena ia bimbang dengan permintaannya. Tapi makin hari bayangan gadis itu semakin menggoda. Ibarak selalu teringat pada suasana sunyi di tengah hutan manakala ia tengah berdua dengan Liwa. Pemuda itu tak mampu lagi menguasai dorongan yang begitu kuat yang mengusik ketenangannya.

Setelah mempertimbangkan segala sesuatu akhirnya Ibarak menyatakan keinginan untuk melamar Liwa kepda seluruh anggota kerabatnya. Ibarak tak segera memperoleh jawaban, ia harus segera menunggu berhari-hari, hingga akhirnya seluruh kerabat berkeputusan mengumpulkan babi yang ada untuk melamar Liwa bagi sebuah pernikahan.

Setelah perdebatan, penantian, dan hari-hari perpisahan akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu pun tiba, Liwa dan Ibarak dinikahkan secara adat. Sepasang pengantin itu segera menjadi pusaran arus sungai yang berbenturan dengan gelombang laut pada garis muara. Keduanya kemudian menyingkap misteri demi misteri setiap malam pada kegelapan honai selama kurun waktu yang panjang. Setelah misteri demi misteri tersingkap dan tak terdapat lagi rahasia yang tersisa, maka masing-masing pihak kembali pada posisi semula, sepasang anak manusia yang bertahan hidup pada hasil kebun.

Liwa telah pindah ke silimo Ibarak, babi-babi menjadi milik Lapina, wanita itu harus memelihara bagi anak laki-lakinya, suatu saat anak itu akan melamar seorang gadis bagi kehidupan perkawinannya. Liwa harus memelihara tanaman yang yang tumbuh di kebun keluarga Ibarak. Semula Liwa melakukan dengan segala senang hati dalam usia perkawinannya yang sangat muda, tetapi semakin hari tubuhnya semakin melemah. Ia mengalami hal serupa seperti Lapina setelah perkawinannya dengan Kugara. Seorang janin telah hidup dalam rahimnya, pingganggnya yang semula ramping semakin hari semakin membesar, bayi di dalam kandungannya menyentak-nyentak, menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Liwa merasakan tubuhnya demikian letih dan lunglai, tapi ia tak berhak akan istirahat, karena hal itu berarti tak ada hasil kebun yang dapat dimakan. Liwa teringat akan nasib yang menimpa Lapina, ia pun menghela napas, menyadari beban hidup yang mulai berat, karena perkawinan. Ia telah dibayar dengan mas kawin yang amat mahal. Kini, ia kembali kepada adat, sebagai perempuan maka tugasnya adalah menyiapkan makanan.

Liwa pernah berbaring seharian di dalam honai, karena kandungannya yang kian membesar, tetapi ketika persediaan ubi manis telah habis, maka Ibarak menegurnya, “Engkau harus kembali kepada tugasmu, atau kita akan kelaparan”.

“Tidakkah engkau tahu keadaanku?” Liwa membela diri.

“Aku tahu, tapi inilah adat dalam keluarga. Bukankah aku telah membayarmu dengan harga yang mahal? Engkau tak bisa mengelak dari tanggung jawab. Dan aku tak mau terus menerus memarahimu”, Ibarak berkata seolah-olah Liwa adalah seorang wanita sehat yang dapat melakukan segalanya.

Diam-diam Liwa mengeluh dalam hati, untuk yang pertama kali setelah mengenal Ibarak, ia mulai meras kesal. Tapi, apa boleh buat? Liwa harus memikul tugas ganda, memelihara kebun sambil menjaga anaknya. Pagi hari Liwa meletakkan bayinya di dalam noken, menyarungkan tali noken di kepala, sehingga bobot bayi menempel  pada punggungnya. Sore hari Liwa pulang dalam keadaan letih, ia harus meneruskan tugas rutin, yaitu membelah kayu bakar dan memberi makan babi-babi kemudian menidurkan bayinya yag kecil.

Tahun berikutnya, Liwa mengandung bayinya yang kedua, anaknya yang pertama masih kecil, baru belajar berjalan. Beban hidupnya kian bertambah, ia tak dapat membagi beban hidup dengan Ibarak, karena pekerjaan di kebun dan merawat anak adalah tugas perempuan. Liwa harus berbaik-baik dengan seorang nona kecil di dalam silimo ini untuk ikut serta pergi ke kebun sambil menjaga bayinya.

Setiap malam Ibarak selalu mengunjunginya di dalam honai dan akibatnya Liwa terus mengandung, hingga tak terasa akhirya ia memiliki tujuh orang anak. Ketujuh orang anak itu secara perlahan-lahan telah mengubah penampilan Liwa. Ia bukan lagi gadis dewasa dengan wajah lugu tanpa dosa, pinggang yang ramping, dan buah dada yang segar menantang. Wajah Liwa kini adalah garis-garis menua yang tidak sesuai dengan usia yang sebenarnya, sorot mata yang padam tanpa kerinduan akan hadirnya seorang pemuda bagi arti hidupnya. Sementara pinggangnya telah membesar, karena tujuh kali melahirkan tanpa adanya upaya perawatan. Ada pun tujuh anak yang dilahirkan itu selalu kenyang dengan air susu, sehingga buah dadanya menjadi lembek tanpa isi dan terjatuh ke bawah. Ketika berkaca di atas permukaan air, Liwa seakan tak kenal lagi akan dirinya. Tak ada daya tarik tersisa dari masa muda ketika Ibarak begitu tergila-gila akan dirinya, memutuskan untuk menikahi dengan membayar babi-babi. Liwa telah menjadi seorang perempuan tua dengan tujuh anak yang harus diberi makan setiap hari.       

Sementara di luar silimo keadaan terus berubah, Wamena semakin tertata sebagai ibu kota dengan segala perangkat pemerintahan dan kelembagaan. Bermacam suku bangsa menetap di wilayah ini dengan kontras kehidupan antara perilaku modern dan tradisionil. Missionaris menjadi pendukung utama bagi pengembangan masyarakat dengan komitmen yang tinggi. Gereja, sekolah, serta fasilitas sosial lainnya, terlebih pesawat cessna menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung bagi harapan-harapan ke depan. Ada pun penerbangan pesawat Merpati, Airfast, dan Hercules dengan rute penerbangan Jayapura – Wamena telah menjadi sarana utama bagi mobilitas penduduk serta arus masuk barang industri yang kian beragam. Pasar Nayak semakin ramai dengan banyak pedagang dan berjenis-jenis barang yang dapat ditawarkan, dari barang industri yang didatangkan dengan Hercules, kerajinan tangan buatan lokal serta berjenis-jenis hasil kebun yang dijual masyarkat setempat,

Arus wisatawan telah memacu berdirinya hotel dan penginapan, sehingga pelancong yang datang ke tempat ini tidak kesulitan dalam mendapatkan tempat tinggal. Pembangunan monumen masuknya Injil yang pertama kali tahun 1954, Ukumiarek arso menjadi situs wisata yang menarik dikunjungi. Selebihya adalah budaya lokal dan alam Lembah Baliem yang masih murni.

Sementara LIPI membangun stasiun dengn komitmen penelitian dan pengembangan masyarakat. Segala sisi kehidupan masyarakat dicatat dan dibukukan menjadi deretan literatur yang menarik untuk dibaca. Dalam mengebangkan potensi wisata LIPI mengupayakan ketrampilan membuat cindera mata dari tanah liat berbentuk honai. Sementara bunga seribu hari adalah nuansa alam yang menggenapi kemurnian suasana di lembah itu.

Arus Sungai Baliem merupakan potensi alam bagi pembangkit tenaga generator, bolam lampu berpijar, alat-alat elektronik bekerja, meskipun listrik tidak menyala sepanjang hari. Dan Bupati JB. Wenas mendatangkan becak dari Surabaya dengan Hercules, becak yang sedianya akan ditenggelamkan ke laut menjadi rumpon. Becak menjadi sarana transportasi lokal, dengan syarat pegemudi becak harus putra daerah, sehingga mereka dapat pula memperoleh lapangan kerja. Dalam empat dekade setelah kehadiran missionaris kemudian berdirinya lembaga Permerintah, Wamena telah berubah menjadi kota dengan kehidupan tradisionil masyarakat Suku Dani dan pesona wisata Lembah Baliem.

Liwa hanya bagian yang sangat kecl dari perubahan itu, ia harus membesarkan ketujuh orang anaknya dan tugas rutin sehari-hari yang melelahkan. Sementara kemauan Ibarak membuat Liwa sekan tak memiliki hak dalam hidupnya, ia harus melupakan adanya hak, karena hal penting yang harus diselesaikan setiap hari adalah kewajiban. Masuknya barang-barang industri menyebabkan satu ketergantungan yang tinggi terhadap rokok. Maka Liwa harus pandai-pandai menjual hasil kebun ke pasar supaya ia dapat memperoleh uang merah demi tembakau bagi Ibarak. Bila tembakau tak dapat dibawa pulang ke Silimo, maka Ibarak akan mengamuk, mengomel, dan memukulnya. Perselisihan hampir selalu terjadi setiap hari dan Liwa selalu sebagai pihak yang kalah.

Suatu hari setelah menjual hasil kebun di pasar, Liwa memutuskan untuk membeli pakaian bagi Kika, anaknya yang paling kecil dan sakit sakitan. Pakaian itu akan melindungi badannya yang rapuh dan lemah. Tapi akibatnya ia tak lagi punya uang untuk tembakau bagi Ibarak.

“Mana tembakau?” Ibarak meuntut ketika Liwa baru saja duduk melepas lelah di dekat honai.

“Tak ada”.

“Bukankah engkau baru saja menjual hasil kebun ke pasar?” Ibarak tampak tidak senang.

“Betul”

“Terus kemana hasilnya? Mana tembakau buatku?” Ibarak menatap Liwa dengan tajam.

“Apakah engkau tidak melihat. Bahwa anakmu sakit-sakitan? Ia memerlukan pakaian buat pelindung”, Liwa mulai tampak ketakutan, tapi benar bahwa ia harus menganggap pakaian itu lebih penting dari pada tembakau. Mestinya Ibarak tahu pula akan hal itu, bukankah ia juga orang tuanya?

“Jadi?!” suara Ibarak mulai meninggi.

“Jadi kenapa? Kau juga orang tua dari anak yang kulahirkan, mestinya kau harus ikut pula bertanggung jawab atas anak itu.  Benar, engkau telah membayarku dengan babi, tapi lihatlah aku bekerja setiap hari sepanjang tahun seperti budak. Aku telah tujuh kali mengandung dan melahirkan kemudian membesarkan anak-anak, aku meratap memberi makan anak-anakku. Lalu engkau? Apa yang dapat kau lakukan selama hidup bertahun-tahun denganku? Engkau tak perlu lagi menyabung nyawa pergi berperang. Seharusnya engkau mengerti akan penderitaan hidupku!” Liwa bersuara denga lantang, ia bahkan menjadi heran dengan kata-katanya yang baru saja diucapkan. Di pihak lain, Ibarak terhenyak, ia tak menyangka, bahwa suatu saat setelah ia membayar dengan babi-babi, maka Liwa dapat melawan dengan cara seperti ini.

“Hai perempuan! Kau sudah berani bicara rupanya. Tak sekali-sekali engkau dapat menentangku, karena memang benar aku telah membayarmu. Jadi, mana tembakau buatku?” Ibarak menadahkan tangan.

“Engkau lebih memikirkan tembakau dari pada anakmu? Bukankah engkau bisa pergi ke kota, menjual gendewa dan anak panah untuk harga rokokmu?”

“Berani benar engkau Liwa!” tangan Ibarak pun terayun dengan amat kuat, mendarat di pipi Liwa. Perempuan itu segera merasa sakit, kemudian rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuh, mengobarkan kemarahan. Selama ini ia selalu mengalah dengan setiap perlakuan Ibarak, tapi hari ini kesabarannya telah musnah. Liwa harus melakukan sesuatu, ia pun menerjang Ibarak dengan membabi buta dan mencakar-cakar Ibarak dengan kukunya yang tajam. Ibarak terkejut dengan serangan Liwa, ia tidak menyangka bahwa perempuan itu akan dapat menyerangnya.

Dengan sekali tolak Liwa jatuh ke tanah, Ibarak langsung menyepaknya. Ia mengira, bahwa Liwa akan menjadi ketakutan dan melolong-lolong karenanya. Ternyata tidak, dengan kalap Liwa menyambar kayu bakar dan menghantam tengkuk Ibarak keras-keras. Laki-laki itu tersungkur ke tanah, ia tak bergerak hingga beberapa saat lamanya. Liwa terpaku ketika melihat Ibarak tak bergerak-gerak, wanita itu telah dikuasai amarah.

Tapi Ibarak tak berdiam lama, ia segera bangkit dan menatap Liwa dengan geram. Ibarak tak berpikir lebih lama lagi, ia menghajar Liwa dan Liwa pun tak mau mengalah. Keduanya saling memukul  hingga darah mulai mengucur dan orang-orang datang melerai. Ibarak seakan tak percaya, bahwa Liwa berani  menyerangnya, wanita itu kini telah dipenuhi memar dan cucuran darah. Dan sebaliknya Ibarak pun mengalami hal yang sama.

“Kalau masih berani melawanku, aku akan membunuhmu!” Ibarak mengancam.

“Aku tidak takut mati”, jawab Liwa, wanita itu melepaskan diri dari pegangan orang banyak dan pergi dengan langkah pasti meninggalkan silimo. Liwa berjalan ke dalam hutan, tanpa sadar arah yang dituju sampai akhirnya ia merasa letih. Wanita itu terduduk di bawah sebatang pohon dengan luka berdarah dan sakit pada sekujur tubuhnya, matanya menatap lurus ke depan dengan pandangn berapi. Ia tak pernah memiliki lagi hidupnya sendiri, orang lain telah merampasnya. Dan ia adalah Ibarak.

Liwa teringat pada hari-hari yang telah lampau, ketika ia pernah memohon pada Ibarak supaya datang memintanya dengan membayar babi. Permohonan itu ternyata telah menghancurkan hidupnya sendiri. Babi-babi itu telah membuatnya  menjadi benda mati, sehingga Ibarak dapat memperlakukannya dengan sesuka hati. Sementara ke tujuh orang anaknya harus diberi makan dan tak pernah berhenti berselisih setia hari. Liwa selalu bekerja keras, tetapi ia tak memperoleh hak akan waktu bagi dirinya sendiri.

Tanpa terasa tiba-tiba hari telah menjdi gelap, Liwa merasa lapar, ia pun berdiri sambil berpegangan pada pohon dan membersihkan darah yang mengotori tubuhnya. Ia kembali berjalan, langkahnya tak menuju pada silimo yang menjadi tempat tinggalnya. Tiba-tiba Liwa merasa rindu akan Lapina, lama sudah ia tak mengunjungi wanita itu, karena terlalu sibuk dengan kebun, anak-anak, dan Ibarak.

Cahaya matahari yang silau kekuningan masih tersisa ketika Liwa sampai di silimo tempat Lapina  tinggal. Lapina kini  telah menjdi seorang nenek dengan rambut yang telah memutih dan kulit berkerut. Tak ada lagi yang tersisa dalam diri Lapina kecuali ketuaan. Wanita itu segera berdiri dengan tangan mengembang ketika melihat Liwa datang dengan langkah gontai. Ia telah cukup mengerti apa yang telah terjadi dengan Liwa, bocah kecil yang dibesarkan kemudian memisahkan hidup darinya. Lapina pun memeluk Liwa seakan induk ayam yang tengah melindungi anaknya.

“Kau pasti berkelahi dengan Ibarak, dimana anak-anakmu?” Lapina membuka pembicaraan, hatinya teriris ketika ia melihat luka memar di tubuh Liwa.

“Anak-anak  kutinggalkan di silimo, aku sudah tidak mampu dengan semuanya”, Liwa mengeluh.

“Aku tahu, semua wanita di lembah ini mengalami nasib sepertimu, sebab itu aku memilih menjanda setelah kematian Kugara”, setelah kematian Kugara Lapina memilih hidup sendiri, ia tak menerima lamaran dari pihak laki-laki, karena ia telah merasa cukup pahit ketika hidup dengan kugara. Babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat hidupnya menjadi budak.

Sehari-hari Lapina memang harus bekerja di kebun, tapi tak ada orang yang memerintah, kecuali sebuah dorongan untuk menghindarkan diri dari rasa lapar. Lapina dengan gembira menjual hasil kebun ke pasar kemudian membeli pakaian, benang untuk merajut noken, dan kebutuhan sehari-hari. Ia memang telah tua, tetapi masih memiliki cukup tenaga.

“Betul, mama telah memilih jalan hidup sendiri, tetapi aku tak punya lagi pilihan. Aku harus mengandung, melahirkan, memberi makan, kerja kebun, menjual ke pasar, memberi makan babi-babi, membelah kayu bakar, dan membeli rokok buat Ibarak. Sedangkan laki-laki itu tak mmengerjakan apa-apa, kecuali menghisap rokok dn mengunyah makanan. Aku lelah dengan semua ini. Sendainya ia tak pernah memukulku ....” Liwa melepas napas berat, ia merasa begitu kalah.

“Itulah takdirmu. Engkau akan lebih mudah menghadapi semua ini apabila rela menjalani. Semuanya menjadi berat, karena engkau memberi perlawanan”, tenang suara Lapina, seolah ia sudah sangat ahli dalam setiap masalah kehidupan.

“Sulit bagiku merelakan, karena Ibarak lebih mementingkan tembakau dari pada pakaian anaknya yang sakit sakitan. Dia tidak akan mati, karena tidak mengisap tembakau”, Liwa  masih diliputi amarah, alangkah baiknya kalau Ibarak mati, karena kehidupannya tidak akan memberikan apa pun kecuali beban.

“Itu sebabnya kau pergi meninggalkannya? Terus bagaimana anak-anakmu?”

“Sementara aku ingin pergi dari semuanya, aku ingin pergi Lapina ....” Liwa merebahkan diri di lantai honai, memejamkan mata, ia ingin melupakan kehidupan sehari-hari yang kini sudah tak berbentuk lagi. Lapina agaknya mengerti akan kesusahan Liwa, ia membiarkan wanita itu tertidur, menenangkan keguncangan diri. Tak berapa lama tangan Lapina kembali bekerja untuk menyalakan tungku di dalam honai. Hari telah gelap, udara semakin dingin. Hangat api tungku membuat Liwa semakin pulas tertidur, wanita itu tertidur lebih pulas dari hari biasa, karena Ibarak tak ada mengunjunginya.

Keesokan harinya anak-anak Liwa berdatangan mencarinya. Kedatangan itu tentu saja menyenangkan hati Lapina, karena anak-anak Liwa berarti cucunya. Lapina segera merebus ubi manis dalam kuali besar, memotong seekor ayam jago, dan memetik buah-buahan. Ketujuh anak Liwa pun makan dengan sekenyang kenyangnya kemudian segera menghambur ke jalanan. Anak-anak selalu memberi kekuatan bagi Liwa meski belum hilang sungguh rasa sakitnya. Liwa hanya berdiam diri di dalam honai membantu Lapina merajut noken.

Sementara Ibarak menjdi masgul ketika mendapati Liwa tidak berada di dalam honai hingga keesokan harinya. Anak-anaknya juga telah menghilang diam-diam, sehingga suasana di dalam honai akhirnya menjadi sunyi. Mulut Ibarak terasa asam, ia perlu tembakau. Laki-laki itu termangu sebelum beranjak pelan-pelan mengambil seikat gendewa dan anak panah kemudian pergi berjalan kaki menuju ke kota. Turis-turis, baik asing maupun domestik amat tertarik kepada senjata tradisionil Suku Dani, sehingga perlengkapan perang itu menjadi komoditi menarik untuk diperdagangkan.

Tak berapa lama kemudian Ibarak telah sampai pada suasana ramai Pasar Nayak. Mula-mula ia mondar mandir menyaksikan keramaian sebagai hiburan kemudian ia segera mencari turis-turis yang sekiranya tertarik untuk membeli gendewa dan anak panah sebagai cindera mata. Ibarak tak begitu pandai berbahasa Indonesia, ia harus menggunakan bahasa isyarat supaya turis-turis itu tertarik membeli. Ibarak juga menuliskan Rp. 1,000,- pada salah satu lengannya dan memberi isyarat pad turis-turis sebagai harga pembayaran berfoto bersama dirinya –sosok seorang Suku Dani—

Usaha Ibarak ini ternyata berhasil, gendewa dan anak panahnya terjual, beberapa orang turis tertarik berfoto bersamanya dan memberikan selembar uang ribuan sebagai tanda pembayaran. Ibarak sungguh merasa girang dengan lembaran uang di tangan. Ia segera pergi ke sebuah warung, makan sekenyang kenyangnya kemudian membeli tembakau dan menghisapnya dengan penuh kenikmatan.

Ibarak masih terus mondar mandir di seputar pasar melihat-lihat keramaian sampai uang dalam genggamannya habis tiada bersisa. Hari mulai gelap, Ibarak berjalan kembali pulang ke silimo. Liwa dan anak-anaknya tak juga tampak, mereka belum juga kembali, Ibarak mulai bingung, tak biasanya Liwa pergi dari rumah dengan cara seperti ini. Siapa yang akan merebus ubi manis baginya? Ibarak terpaksa meminta makanan pada honai perempuan yang lain untuk mengatasi rasa lapar. Ia juga tak dapat bermalam di honai Liwa, karena perempuan itu kini tak ada, ia pun tidur di honai laki-laki.

Hari berikutnya Liwa dan anak-anaknya tak juga kembali, demikian seterusnya. Sampai akhirnya Ibarak berkeputusan mencari. Ibarak tahu kemana Liwa pergi.

Sementara Liwa tengah menjelang hari-harinya dengan damai bersama Lapina. Ia pergi ke kebun beramai-ramai dengan anaknya tanpa rasa takut dan tekanan. Ia baru dapat merasakan, betapa tenang hari-harinya tanpa Ibarak, tetapi ketenangan itu tidaklah lama. Ibarak segera datang memintanya pulang kembali ke tempat semula. Liwa menolaknya, tetapi ia harus mempertimbangkan kata-kata Lapina.

“Aku tak rugi apa-apa bila engkau dan anak-anakmu tinggal menetap di sini, tetapi Ibarak telah memintamu dariku dengan babi-babi itu. Aku tak mengusirmu, tapi aku menyalahi adat apabila tak memberi ijin pada Ibarak untuk mengambilmu dan anak-anakmu”.

Kata-kata Lapina membuat Liwa termangu, sepenuhnya ia tersadar, ia tak memiliki tempat tinggal lagi kecuali harus menetap bersama Ibarak. Liwa segera kehilangan expresi wajah, ia tidak senang, tidak sedih, tidak marah, dan tidak jua melawan. Ia berjalan dengan tatapan kosong tanpa pemberontakan. Liwa mengerti sudah, bahwa ia tak memiliki apa-apa, kecuali nyawa yang masih bersarang dalam dirinya.

Hari-hari pertama setelah kembali ke silimo, perselisihan memang tak pernah terjadi. Tapi tak lama kemudian Ibarak kembali pada perangai yang sebenarnya, terutama ketika ia memerlukan rokok dan Liwa tak mampu membelinya, karena ia harus menutup kebutuhan yang lain. Sementara pekerjaan sehari-hari yang melelahkan mesti diteruskan. Suatu hari Ibarak dan Liwa kembali berselisih, semakin lama semakin hebat, sehingga tangan Ibarak kembali melayang. Liwa masih mencoba melawan, tapi Ibarak tak memberinya kesempatan. Laki-laki itu menyepakkan kaki hingga Liwa tersungkur tak mampu lagi berdiri. Liwa tak dapat lagi merasakan apa-apa, kecuali bahwa ia telah binasa.

 

                                                  ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...