Selasa, 28 Mei 2019

K A P A K --Kisah Seorang Anak Asmat-- EMPAT




Mika memandangi wajahnya di atas permukaan air. Sorot mata wanita itu tak dapat menyembunyikan kepedihan hati. Ia masih dapat melihat dengan jelas, memar di seputar mata, bibir yang pecah-pecah, dan pelipis yang lecet-lecet. Setelah satu minggu peristiwa itu berlalu, maka bekas kemarahan Mundus masih menyisakan bentuk. Di kampung ini wanita memang selalu mengalami nasib yang malang. Mereka tak pernah dapat melepaskan diri dari kesewenangan laki-laki, kecuali, anak perempuan kepala perang.
Tiba-tiba, membersit seulas senyum di bibir wanita itu. Mika teringat kepada dua anak perempuannya, Yemnen dan Tuka. Mereka adalah anak seorang kepala perang. Kelak, suami-suami mereka tak akan dapat memperbudaknya, karena kedudukan itu. Sebaliknya, suami-suami itu bisa diperlakukan sebagai budak. Perlahan-lahan hati wanita itu menjadi damai. Ia memang tidak bisa melindungi diri dalam perkawinannya dengan Mundus, tapi perkawinan itu telah menjadi jaring pengaman bagi anak perempuannya.
“Engkau telah siap, Mika?” seorang laki-laki dengan tiba-tiba telah datang menjelang Mika. Di pundaknya yang legam telanjang tersampir sebuah jaring ikan.
“Saya sudah menunggu engkau dari tadi,” Mika segera beranjak dari tempatnya berdiam diri. Ia telah berjanji dengan Donatus untuk pergi menjaring bersama-sama. Hati wanita itu bengkak sudah, ia perlu melancong untuk sekadar menghibur diri. Anak-anak ia biarkan bermain lumpur kacau-kacau. Memang demikianlah permainan mereka sehari-hari.
“Ayolah kita berangkat,” tangan Donatus menggapai. Mereka pun berjalan beriringan, menuju sebuah perahu yang tertambatkan.
Donatus adalah sepupu satu kali Mika, sejak kecil mereka selalu bermain bersama-sama. Kini Donatus telah beristri dan mempunyai lima orang anak. Meski demikian mereka tak merasa bersalah dengan pergi menjaring bersama-sama. Donatus meloncat ke atas perahu dengan lincah, diikuti Mika. Keduanya berdiri tegak dalam sebuah keseimbangan di tempatnya masing-masing. Ketika dayung mulai dikayuh, maka perahu pun melaju dengan tenang membelah permukaan air sungai, hingga menimbulkan suara berkecipak.
Mereka tak menyadari, bahwa di balik semak-semak ada sepasang mata mengawasi kepergian itu dengan bara api cemburu yang berpijar perlahan dan akhirnya berkobar menjadi kemarahan. Sepasang mata itu adalah milik Bunapi, istri Donatus. Bunapi tak bisa mengerti mengapa Donatus mesti pergi dengan wanita lain, istri kepala perang pula. Wanita yang dibakar cemburu itu pun cukup mengerti apa yang harus dilakukan untuk menumpahkan kemarahan kepada Mika.
Dengan langkah tergesa Bunapi pergi menuju ke rumah Mundus. Ia merasa perlu menyiramkan minyak sekaligus menyulut api untuk membakar kemarahan Mundus, sehingga dapat meminjam tangan kepala perang itu untuk menghajar Mika. Mundus tengah mengisap tembakau ketika Bunapi datang menjelang kepadanya.
“Hei, Mundus, tidak tahukah engkau? Mika tengah pergi bermain gila dengan sa pu laki di sungai sana,” demikian Bunapi menyiramkan minyak.
“Kamu orang bicara apakah?!” Mundus tergagap sambil membanting puntung rokok yang masih panjang.
“Mika dorang, ada bermain gila dengan sa pu laki di sungai sana. Kalau kamu orang tra percaya, kamu bisa melihat sendiri. Dorang-dorang itu mendayung ke arah hulu!” Bunapi pun menyulut api kemarahan itu, seketika Mundus merasa dadanya berkobar-kobar.
Dengan sebuah entakan Mundus menyambar dayung terukir indah yang tersandar di dinding rumah. Api cemburu membuat langkah kaki itu bergerak lebih panjang daripada biasanya, seakan melayang di atas tanah berlumpur. Mundus pun sampai di tepi sungai, ia meloncat ke atas perahu kemudian mendayungnya dengan sekuat tenaga hingga perahu itu melaju dengan cepat bagai anak panah melesat dari tali gendewa, menuju sasaran.
Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan setelah amarah mendidih bagai panas bara di kepalanya, tampaklah orang-orang yang dicarinya. Dari kejauhan dua manusia itu tampak seakan lukisan purba yang tengah berharap-harap akan hasil tangkapan ikan, tak ada yang salah pada mereka. Tapi cemburu telah mengubah pemandangan itu sebagai sepasang kekasih yang memilih kesunyian untuk merayu. Di bawah sepasang kekasih itu, permukaan air sungai yang bening dengan syahdu memantulkan bayang-bayangnya.
“Mika, beraninya kamu main gila di sini!” sumpah serapah pun terlontar dari mulut Mundus. Perahu mereka bertabrakan, guncangan keras tak terhindarkan bagai pukulan telak yang mengejutkan Mika. Wajah perempuan itu telah berubah menjadi sepucat kertas. Rasa sakit akibat pukulan Mundus belum juga tersembuhkan, dan kini ia harus bersiap menerima hukuman lagi.
Diam-diam lutut Mika menggigil, ia cukup mengerti apa yang bakal terjadi setelah ini. Mundus memang bebas membawa pulang perempuan ke rumahnya. Tapi ia, ia tak berhak pergi menjaring dengan laki-laki lain, meski Donatus adalah sepupunya, dan ia tak berbuat lebih dari sekadar menjaring.
Mundus mencengkeram pundak Mika kuat-kuat kemudian menariknya sedemikian rupa, sehingga wanita itu terpaksa meloncat ke dalam perahu Mundus dengan tulang kering membentur dinding perahu. Mika terpekik. Dan jerit kesakitan yang diselingi isak tangis kembali bergema di sepanjang aliran sungai, karena Mundus terus-menerus menendang dan memukuli Mika sampai mereka tiba di perkampungan.
Jerit tangis itu telah mengundang seisi kampung untuk menghambur keluar, melihat apa gerangan yang terjadi. Kemudian tampaklah pemandangan yang biasa menimpa kaum wanita di kampung ini. Sepanjang jalan Mundus mencaci-maki dan menghajar Mika dengan membabi buta. Isak tangis dan sedu sedang wanita itu tak mampu meruntuhkan hatinya. “Kitorang tidak bermain gila, Mundus, hanya pergi menjaring. Donatus dorang itu sa pu sepupu. Ada hal apa mesti bermain gila. Tidak, Mundus, tidak,” kata-kata Mika terucap dengan sia-sia, karena bertubi-tubi pukulan Mundus tak berhenti juga.
Ketika melihat mamaknya teraniaya, anak-anak Mika segera menangis meraung-raung. Mereka berniat menolong wanita yang malang itu, tapi kebengisan Mundus telah menjadi dinding penghalang. Dan lebih dari itu, mereka juga mengalami ketakutan yang luar biasa. Sementara di ambang pintu rumahnya yang lapuk, Bunapi menyaksikan kemalangan Mika dengan hati puas. Ia telah meminjam tangan Mundus untuk  memadamkan api cemburu. Tuntas sudah kebencian itu.
Di lantai rumah, Mika terjerembap dengan hidung mengalirkan darah. Ia mendengar anak-anaknya meraung, dan seisi rumah itu seakan berputar-putar dalam gempa bumi yang dahsyat. Semua itu belum berhenti sampai di sini. Ketika dalam rasa sakit tak terperi Mika melihat Mundus menghunus parang, wanita itu menjadi putus asa. Tangis Wenen, Tuka, Yalean, dan Yowero kian menjadi. Nalar kebocahan mereka harus menelan peristiwa menakutkan yang tak semestinya terjadi.  Ketakutan itu memuncak ketika mereka melihat Mundus mengangkat parang tinggi-tinggi dan menebas leher Mika kuat-kuat.
Dengan sisa kekuatannya Mika mengelak. Parang itu tak berhasil menebas lehernya memang, tapi bersarang di pundak dengan luka yang amat dalam. Mika melolong dalam jeritan panjang kemudian terkapar tak sadarkan diri. Rasa pedih, takut, dan nyeri telah menenggelamkan kesadaran wanita itu hingga ia tak mampu bangkit lagi. Sementara darah terus mengucur membasahi lantai rumah. Di atas genangan darah itu, Yowero berguling memeluk Mika. Ia yang terkecil di antara semua yang menyaksikan kekerasan itu.
Naluri kebocahannya menangkap sesuatu yang tak pantas telah terjadi. Tanpa sadar bocah itu mencatat dalam ingatannya, bahwa wanita selalu tak berdaya di bawah kekuasaan laki-laki. Ia terlalu lemah, bahkan sekadar untuk membela dirinya sendiri. Dan, jiwa bocah kecil itu pun terguncang. Ia memeluk Mika erat-erat, seolah tak berniat melepaskannya kembali. Yowero ingin mencari tempat berpijak yang kuat untuk menghentikan guncangan itu. Tapi tak ada seorang pun yang mengulurkan tangan, demi sebuah rasa aman. Hati bocah itu tercabik-cabik.
Sementara Mundus, ia seakan tersadar dari kekhilafan ketika melihat aliran darah terus membanjir membasahi seluruh tubuh Yowero. Anaknya yang paling kecil dan tak mengenal salah. Kepala perang itu berdiri mematung dengan parang berlumuran darah tergenggam di tangan. Amarahnya seketika padam bagai pijar api tersiram hujan. Ia tetap terdiam hingga Upra menerobos masuk untuk memberikan pertolongan bagi Mika. 
***
Seisi kampung Buetkuar kini tengah berkumpul di jew---rumah bujang---yang baru selesai dibangun untuk mengadakan pemberkatan. Rumah bujang, sebagai pusat lingkaran konsentris dalam kehidupan di kampung itu, merupakan yang termegah setelah rumah-rumah berdinding gaba-gaba, beratap ilalang, dan segera menjadi lapuk dimakan waktu. Dengan tiang-tiang yang amat kokoh, dinding dan atap ilalang yang belum terkoyak, serta lantai kulit kayu yang tersusun rapi, rumah itu tampak sebagai basis kekuatan yang mengembangkan pengaruh bagi seisi kampung. Ada sembilan pintu yang menganga lebar tanpa daun di sana. Lurus dengan pintu-pintu itu adalah tungku api lengkap dengan para-para untuk menyimpan kayu bakar di atasnya. Satu-satunya ruangan di rumah itu cukup luas untuk menampung seisi kampung yang ada.
Mereka yang ada di dalam rumah bujang itu, kini mengenakan pakaian adat yang elok rupanya. Awer ---cawat-- yang melingkar di pinggang, topi dari kulit kuskus, hiasan tubuh dari manik-manik dan riasan wajah berwarna putih, hitam, merah adalah penampilan khas dari setiap orang dalam sebuah pesta. Di altar yang terletak persis pada tengah-tengah ruangan, terbentang sehelai tapin yang masih baru, bersih, dan mengilat. Di seputar tapin itu para tetua adat duduk melingkar dengan sebuah tifa pada masing-masing tangan.
Suasana di dalam ruangan itu menjadi hening ketika tetua adat membakar kayu gaharu (Aquilaria filaria) sebagai kayu yang berasal dari pohon sakral yang hanya bisa dibakar dalam upacara pemberkatan rumah bujang. Mereka semua masih percaya, bahwa kayu hitam itu tidak bisa dipergunakan dalam acara lain, terlebih diperdagangkan, karena akan menimbulkan malapetaka. Gaharu yang dibakar itu kini mulai mengepulkan asap tipis. Embusan angin menyebabkan asap itu meliuk-liuk bagai ular sanca dan terus menjalar hingga akhirnya memecah kehilangan bentuk. Seluruh ruangan kini berbau harum. Bau yang begitu nyaman dan mendatangkan suasana mistis. Seluruh orang yang ada di dalam ruangan terpaku, tersihir oleh sebuah aroma yang membawa ritus upacara hari ini pada suasana masa lampau. Suatu kala, ketika para nenek moyang yang menjadi sumber dari segala kekuatan masih merajai kehidupan dan melahirkan anak keturunan.
Keheningan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sampai tiba-tiba suara tifa berkumandang, membelah hening dan menyadarkan semua orang dari keterpakuan. Suara itu merupakan isyarat bagi semua orang untuk menari. Keheningan di dalam rumah bujang itu segera terpecah oleh suara pekikan dan gemuruh entakan kaki hingga rumah yang kokoh itu bergetar sudah, seakan hendak tumbang. Awer yang melilit pada pinggang-pinggang itu pun segera bergerak, mencuat ke kanan dan ke kiri mengikuti goyangan pinggul. Seluruh orang bersuka ria.
Yowero, si kecil yang terus bertumbuh, ada di antara hiruk-pikuk itu. ia mengenakan cali-cali yang masih baru, topi dengan hiasan bulu cenderawasih, tulang kasuari yang disusupkan dalam gelang pada lengan bagian atas, dan sebuah noken berhiaskan manik-manik. Anak itu terhanyut dalam suasana suka ria bersama puaknya. Sementra Mika bersama wanita yang lain tengah sibuk menyiapkan hidangan.
Ketika wanita-wanita itu memsuki rumah bujang untuk menghidangkan makanan, maka terdengar suara teriakan bagi semua orang untuk menghentikan tarian. Sementara suara tifa tidak lagi terdengar. Suasana hening seakan isyarat bagi wanita-wanita itu untuk meletakkan hidangan di atas tapin dengan hati yang damai. Hidangan itu berupa ulat sagu, singkong, ubi manis, sagu bakar, dan ikan bakar yang telah diatur rapi di atas sebuah tapin kecil. Selebihnya adalah kelapa, pisang, dan buah-buahan yang biasa tumbuh di dalam hutan.
Hidangan menjadi begitu berharga bagi seisi puak, tanpa kecuali, karena segala jenis makanan itu adalah sumber kekuatan. Dalam sehari-hari mereka bahkan harus bersimbah keringat memangur sagu untuk mendapatkan bahan makanan. Sebab itu, mereka wajib menaruh hormat dengan berdiam diri, menghentikan segala macam gerakan ketika hidangan tersaji.
Mika ada di antara wanita yang menghidangkan makanan. Wanita itu mengenakan cali-cali yang amat elok, kutang penutup dada, hiasan kepala, kalung manik-manik serta hiasan wajah berwarna putih, hitam, dan merah yang dipoles sedemikian rupa dan berbentuk simetris. Tak ada lagi tanda-tanda bekas pukulan pada wajah wanita itu. Sementara luka bekas bacokan parang di pundaknya telah sembuh sama sekali, setelah ia terbaring mengerang dalam rawatan Upra selama berhari-hari. Tanda-tanda kepedihan tak tampak lagi pada garis muka. Sepasang mata itu, bahkan tampak berpijar ketika meletakkan ulat sagu di atas tapin. Mika sempat menatap Mundus, sekejap, dua pasang mata itu saling bertautan. Tiba-tiba Mundus merasa bulu kuduknya meremang. Ia cukup memahami makna tatapan itu. tatapan orang yang tak lagi punya kata maaf setelah menunggu berlama-lama untuk membalaskan dendam.
Diam-diam Mundus mengeluh. Ia menyadari, bahwa adat suku Asmat pada saatnya akan memberikan pembelaan kepada istri-istri setelah bertahun lamanya mereka selalu dianiaya para suami. Pemberkatan rumah bujang itu berarti, bahwa saat itu akan segera tiba. Dan Mundus, tak dapat lagi mengelak. Ia harus menerima pembalasan setelah perbuatan aniaya yang berulang kali terhadap Mika.
Mika telah berlalu meninggalkan altar. Mundus memandangi punggung wanita itu dengan gamang. Mendadak, suasana pesta yang meriah itu telah berubah menjadi isyarat bahaya. Laki-laki itu telah kehilangan semangat untuk ikut serta bersuka cita. Hingga pesta usai Mundus hanya berdiam diri. Ia tak banyak berkata-kata sampai hari yang ditentukan para tetua adat untuk menyelenggarakan pesta patung bis tiba. Dan sebagai kepala perang ia berwenang penuh memerintahkannya.
Pada masa lampau, sebelum misionaris dan pemerintah setempat datang untuk membudayakan masyarakat di wilayah Asmat. Maka, ketika tetua adat atau kepala perang memerintahkan kepada anggota suku untuk menyelenggarakan pesta patung bis. Hal itu berarti, bahwa saat untuk melakukan pengayauan kepala lawan di kampung lain telah tiba. Pemuda-pemuda yang tengah menjelang dewasa harus mampu memenggal kepala lawan untuk mendapat pengesahan dari puaknya, bahwa ia sudah benar-benar dewasa.
Saat itu, penanggalan telah menunjukkan tahun 1991, pengayauan telah lama berlalu. Hukum telah mengajarkan, bahwa membunuh apa pun bentuknya adalah kejahatan. Penjara tentu saja bukan pengalaman yang baik, juga bagi orang Asmat yang biasa hidup merdeka di tengah hutan. Pesta patung bis yang kini diselenggarakan merupakan jalan damai bagi suku Asmat untuk melanggengkan tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman batu, tanpa ada unsur kejahatan di dalamnya.
Dan hari yang telah ditentukan itu pun tiba. Kaum wanita telah menebang ratusan pohon sagu untuk mendapatkan ulat sagu sebagai makanan yang lezat cita rasanya. Menyediakan makanan selama pesta berlangsung adalah tugas mereka, adat telah memastikan dan tak seorang pun dari mereka bisa mengelakkan. Pada pagi-pagi sekali seluruh laki-laki dewasa di kampung itu telah berkemas pergi ke hutan dengan senjata tajam siap di tangan. dengan kendaraan perahu, serombongan itu tampak sebagai prajurit yang siap berperang. Di tepi sungai, wanita dan anak-anak melepas keberangkatan itu tanpa banyak berkata-kata.
Mika dan Yowero tampak di antara orang yang berdiri di tepi sungai dengan satu pusat perhatian, kaum laki-laki yang tengah mendayung perahu beramai-ramai, menuju ke hutan untuk menebang batang pohon pala. Ada segaris senyum di bibir wanita itu. ia telah menunggu hari pembalasan dengan mengulur kesabaran dan segala pedih perih, karena ulah Mundus. Sementara Yowero yang kini tengah menjelang gusia sebelas tahun menyaksikan semua ini dengan nalar kebocahan yang masih murni. Ia tidak banyak mengerti, mengapa upacara semacam ini harus terjadi, sampai suatu saat perjalanan waktu akan membuatnya mengerti.
Dari tepi sungai, bayangan laki-laki yang terus bergerak meninggalkan perkampungan itu semakin lama semakin menjauh dan akhirnya menghilang di balik hijau pepohonan. Perlahan-lahan wanita dan anak-anak yang berdiri di tepi sungai itu pun undur diri dan kembali ke rumah masing-masing, hingga suasana di tepi sungai kembali dalam sunyi. Mereka, kaum wanita itu, tengah menunggu saat yang tengah dinantikan selama kurang-lebih lima tahun lamanya untuk melakukan sesuatu.
Matahari pun bergerak dengan perlahan tapi pasti pada garis lintasan yang menjadi arah perjalanan, sepanjang waktu. Setelah sinarnya yang terik, maka perlahan-lahan suasana menjadi redup. Senja jatuh dalam warna kuning yang hinggap di setiap sudut kampung Buetkuar, dari kejauhan tampak serombongan perahu dengan seluruh laki-laki dewasa yang telah berhasil menebang pohon pala dengan batang kayu yang berwarna putih serta akar mencuat melambangkan kejantanan.
Kedatangan rombongan itu segera tersebar ke seluruh kampung dan kaum wanita segera menghambur ke tepi sungai, tanpa kecuali, tergenggam erat di tangan mereka dalah semacam senjata tajam, pisau, kapak, parang, dan tombak. Muka wanita itu menjadi sedemikian beringas, mereka menantikan kedatangan kaum laki-laki itu dengan dendam yang sudah menyala bertahun-tahun lamanya. Ketika perahu-perahu itu semakin mendekat, maka wanita-wanita itu berteriak kuat sambil mengacungkan senjata tinggi-tinggi. ketika cahaya matahari semakin redup rombongan laki-laki dengan batang pohon pala itu pun akhirnya sampai di tepi sungai. Seisi kampung kini tertumpah di tempat berlumpur itu. Suasana hiruk-pikuk.
Batang kayu pala itu pun diangkut beramai-ramai ke rumah bujang. Di belakang rumah besar itu telah dibuat pula sebuah rumah khusus untuk mengukir patung bis. Dengan amat hati-hati dua batang kayu pala raksasa itu diletakkan pada tempat yang telah dikhususkan. Tak seorang pun boleh masuk ke dalamnya, kecuali para pengukir yang akan menyelesaikan pekerjaan hingga tetes keringat yang terakhir. Ruangan itu menjadi tempat terlarang selama kurang-lebih tiga bulan hingga patung bis itu selesai diukir. Setelah batang kayu itu diletakkan dengan rapi pada tempatnya, semua laki-laki segera meninggalkan rumah bujang. Maka mereka pun mencaci-maki istri masing-masing, sehingga kemarahan wanita-wanita itu sampai pada puncaknya.
Caci-maki itu merupakan isyarat, bahwa perang melawan suami-suami dapat segera dimulai. Istri-istri itu pun segera berlari mengejar suami masing-masing dengan senjata di tangan sebagai suatu ancaman, tanpa adanya prlawanan. Suasana menjadi kacau-balau. Baku kejar dan caci-maki terjadi di setiap sudut kampung ini tanpa ada satu pihak pun yang bisa menghentikan. Istri-istri yang berhasil mengejar suaminya itu pun segera memukuli suami-suami itu dengan beringas. Ada di antara mereka yang dapat melukai dengan senjata tajam, hingga darah segar pun mengucur, tergenang di atas tanah berlumpur. Dan sejauh ini tak ada seorang pun suami yang boleh melawan. Selama pesta patung bisa berlangsung, maka hal itu berarti, bahwa wanita telah mempunyai kesempatan untuk membalas sakit hati, karena perilaku aniaya dari suami. Adat memberikan pembenaran akan hal itu sebagai pembelaan bagi kaum wanita yang teraniaya. Sementara anak-anak berdiri sebagai penonton sekaligus sebagai generasi yang sedang dalam proses belajar kemudian melanggengkan budaya itu di masa-masa mendatang.
Di tepi sungai, tampak Mika tengah mengejar Mundus dengan parang teracung tinggi-tinggi di tangan. Guratan mengerikan yang tergurat di muka wanita itu adalah kemarahan yang telah melarut bersama dendam. Baku kejar itu terjadi beberapa lama sampai tiba-tiba Mundus terperosok ke dalam lumpur dengan sebuah lolongan. Kesempatan pertama untuk menghajar Mundus telah datang bagi Mika. Wanita itu menginjak-injak tubuh Mundus dengan kalap. Telinga Mika seakan tuli oleh sakit hati yang terpendam bertahun-tahun lamanya, sehingga jeritan panjang dari mulut Mundus tak lagi terdengar. Ketika dengan sepenuh tenaga Mika mengayunkan parang, maka jeritan panjang dari mulut Mundus segera berubah menjadi isak tangis. Sementara luka di punggung yang menganga mulai mengucurkan darah. Cairan merah yang terus mengucur dan tergenang di lumpur itu perlahan-lahan mulai meredakan kemarahan Mika. Wanita itu telah mengambil haknya untuk memelihara keseimbangan, setelah penganiayaan yang dilakukan Mundus berulang kali. Hari ini dan hari-hari mendatang sampai patung bis selesai diukir, ia mempunyai hak sepenuhnya untuk membalas penganiayaan Mundus.
“Rasakan koe!” Mika berkacak pinggang dengan penuh kemenangan, sementara di telapak kakinya Mundus terkapar berlumuran darah. Kepala perang itu mengerang kesakitan, ia tengah merasakan pedih perih yang sama, ketika Mika terkapar dengan  mata parang bersarang di pundaknya.
“Kaurasakan sekarang saya punya pengalaman, kamu orang terlalu semena-mena!” Setelah caci-maki itu, Mika meninggalkan Mundus begitu saja dalam kubangan lumpur dengan darah segar mengucur. Ia kembali ke rumah dengan dada lapang, karena sakit hati yang telah terobati. Dari kejauhan tampak Upra berlari tergesa menjelang Mundus. Wanita itu segera mengulurkan tangan untuk memberikan pertolongan bagi kepala perang yang tengah bernasib malang. Bengkak hati wanita muda itu melihat Mundus terjerembap di kaki istri tua tanpa perlawanan sama sekali. Demikianlah adat suku Asmat dalam berpihak pada wanita, bakan kepala perang pun menjadi tak berdaya.
Sementara suasana perlahan-lahan menjadi temaram. Matahari telah tenggelam, hanya tinggal sinar yang membias dalam warna jingga. Redup suasana itu adalah suatu pertanda, bahwa tak berapa lama lagi, saing akan segera berubah menjadi malam. Keseimbangan alam tengah berada pada saat-saat yang meragukan. Hal itu berarti, bahwa penyerangan terhadap para suami harus segera dihentikan. Petang ini adalah malam syahdu pertama, ketika tetua adat dengan khidmat akan memukul tifa untuk memanggil roh nenek moyang yang telah bersemayam di alam kematian.
Gelap pun datang, menghanus bagai larutan jelaga. Suara caci-maki dan jerit kesakitan sedikit demi sedikit mereda dan akhirnya berganti menjadi suasana bisu. Seisi kampung kini tengah berbenah diri untuk mengikuti malam syahdu di rumah bujang. Mereka berhias dengan pakaian adat yang paling bagus dan riasan muka aneka warna. Dalam kegelapan itu kemduian tampak berkelebat bayangan dari rumah-rumah menuju ke rumah bujang. Mereka berhias dengan pakaian adat yang paling bagus dan riasan muka aneka warna. Dalam kegelapan itu kemudian tampak berkelebat bayangan dari rumah-rumah menuju ke rumah bujang. Tak berapa lama kemudian tifa mulai dipukul, gaungnya menggema ke seluruh kampung bagai suara gaib yang melolong berkepanjangan, untuk memanggil arwah para nenek moyang supaya kembali turun ke bumi. Rumah bujang yang megah itu seakan bergetar oleh entakan kaki dari seluruh orang yang menari-nari. Tarian itu semakin lama semakin bersemangat, seakan tersihir oleh kekuatan roh nenek moyang yang terjaga dalam suara tifa.
Tarian itu terus mengentak hingga pagi hari, ketika dari ufuk timur tampak semburat merah sebagai pertanda fajar telah menyingsing. Rasa penat dan mengantuk mengendap dalam diri setiap orang. Sementara berjenis-jenis makanan yang dihidangkan para wanita hanya menyisakan remah-remah belaka. Pesta usai sudah setelah pemukul tifa mengayunkan tangan dengan sisa tenaga untuk gaung yang terakhir kalinya.
Seisi rumah bujang itu segera undur diri, menghambur dari sembilan pintu yang menganga, menuju rumah tinggal masing-masing. Tak berapa lama kemudian, suara caci-maki di antara suami-istri yang baku kejar kembali terdengar. Penyerangan istri-istri kepada para suami dapat kembali dimulai hingga matahari terbenam. Sementara di ruangan khusus yang dibangun pada bagian belakang rumah bujang, para pengukir tengah memahat batang kayu pala dalam konsentrasi yang tinggi. Tak seorang pun boleh masuk ke dalam ruangan itu, terlebih wanita dan anak-anak, hingga ukiran itu selesai. Prosses pengukiran adalah sebuah rahasia hingga para pemahat mampu menyelesaikannya. Sementara kaum wanita bertanggung jawab penuh memenuhi kebutuhan makan para pengukir dan seluruh yang terlibat dalam malam syahdu, hingga ratusan pohon sagu tumbang sebagai bahan pokok makanan.
Patung bis itu memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk sampai pada penyelesaian setelah para pengukir mengucurkan tetes keringat yang terakhir dari sebuah konsentrasi yang tinggi. Selama tiga bulan itu pula, setiap siang hari istri-istri bebas memukuli para suami. Sementara pada malam hari mereka kembali berpesta ria hingga pagi.
Yowero menyaksikan semua ini dalam sebuah proses yang ia sendiri tak sepenuhnya menyadari. Tapi nalar kebocahannya cukup mampu untuk menggoreskan sebuah catatan. Bahwa wanita menjadi berani, karena perlindungan adat. Tanpa adanya adat, maka mereka adalah makhluk lemah yang mudah dianiaya. Diam-diam tumbuh satu kesombongan dalam diri Yowero, karena ia telah terlahir sebagai laki-laki. Bocah itu terlibat dalam setiap irama pukulan tifa dengan gembira. Ia adalah bagian yang sah dari sebuah adat peninggalan zaman purba. Di balik tubuhnya yang kecil, perlahan-lahan muncul suatu sikap keras yang menjadi ciri kehidupan suku Asmat.
Kurang-lebih tiga bulan kemudian. Setelah ratusan pohon sagu rebah sebagai bahan pokok makanan dalam pesta. Setelah tujuh buah pakaian roh dibuat dengan seindah-indahnya, setelah para pengukir memahatkan segala daya yang ada, sehingga tiga buah patung bisa selesai dengan lekak-liku yang demikian elok. Sementara tangan para penabuh tifa menjadi penat, karena malam syahdu yang panjang itu. Setelah istri-istri merasa lebih dari sekadar cukup membalas sakit hati dengan menganiaya suami, karena adanya perlindungan adat dan kehidupan rumah tangga itu segera kembali pada titik keseimbangan. Dan setelah gegap gempita pesta menjauhkan seisi kampung dari kehidupan sehari-hari yang membosankan, maka pesta patung bis sampai pada hari yang terakhir.
Kini seisi kampung tengah bersiap menjelang pesta setan, sebagai akhir dari seluruh hari yang panjang. Dan sore itu, ketika matahari tenggelam sebagai bola raksasa yang merah membara, maka seisi kampung kembali berhias dengan pakaian adat yang seindah-indahnya, tanpa kecuali. Warna merah di batas cakrawala merupakan isyarat, bahwa saat yang dinantikan selama berhari-hari pesta patung bis segera tiba. Roh nenek moyang akan turun ke rumah bujang, mengenakan pakaian roh yang telah disiapkan. Mereka akan menari bersama-sama untuk menyatukan kembali hubungan kekerabatan yang telah terputus oleh kematian. Kehadiran para nenek moyang itu berarti sebuah kekuatan, cinta kasih abadi yang mendasari seluruh sisi kehidupan.
Tak berapa lama kemudian. Setelah semburat merah berganti menjadi kehitaman dengan sinar bintang yang cerlang cemerlang, maka seisi kampung telah kembali berkumpul di rumah bujang. Perasaan yang ada di dalam diri setiap orang, adalah suka ria. Makanan telah tersedia, demikian pula dengan bunyi tifa yang menjadi pertanda, bahwa semua orang boleh goyang pantat, sepuas-puasnya.
Tujuh buah pakaian roh itu, kini bergerak-gerak mengikuti irama pukulan tifa bersama semua orang yang ada di dalam rumah bujang. Hentakan itu sedemikian kuat, sehingga bangunan adat itu seakan diguncang oleh getaran gempa yang sangat hebat. Kaum wanita dan anak-anak selalu mengira, bahwa makhluk yang bergerak-gerak di dalam pakaian roh itu adalah, benar, arwah nenek moyang yang kembali turun ke bumi untuk bergabung kembali dengan anak cucu, setelah kematian itu. Mereka tak pernah melihat dengan jeli, bahwa selama pesta setan berlangsung, maka ada enam tetua adat dan seorang kepala perang yang tak menampakkan diri dalam suasana hiruk-pikuk dan gegap gempita.
Tujuh orang yang tiba-tiba menghilang dari suasana pesta itu, kini tengah berada di dalam pakaian roh, menari-nari sedemikian rupa, sehingga arwah nenek moyang seakan tengah turun ke bumi, menyatu di dalam raga. Mika, wanita yang telah menebus segala rasa sakit terhadap Mundus, kini tampak tengah bergoyang pantat dengan sepasang mata berbinar ceria. Tak ada lagi tampak duka nestapa di sana. Derita berkepanjangan setelah perkawinan itu terobati sudah, dan kehidupan rumah tangganya kembali seperti semula, pada titik yang seimbang. Sementara anak-anaknya, Tuka, Wenen, Yalsan, dan Yowero tampak pula menari, tak jauh dari mamaknya berada.
Yowero sungguh bergirang hati, ia tak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan pesta dengan mengentakkan kaki dalam irama pukulan tifa. Roh yang ikut menari telah memberinya kekuatan, ia merasa begitu yakin, sungguh arwah nenek moyang itu telah turun ke bumi untuk menyatu kembali dalam dunia fana. Suara tifa terus menggema bertalu-talu seakan raungan masa purba yang menembus batas waktu. Gaung yang berkepanjangan itu akhirnya menjadi satu kekuatan yang mendorong setiap orang untuk terus menari, menari, terbius dalam sihir yang mendebarkan. Sihir itu terus berkepanjangan, membuncah dalam setiap gerakan hingga menyingsing fajar. Semburat merah di ufuk timur menggores bagai lukisan semesta, secara perlahan dan pasti telah menyentakkan setiap orang dalam sebuah kesadaran, bahwa saat untuk bersuka ria telah usai. Tak ada pesta yang tidak berakhir. Ketika suara tifa terhenti berganti menjadi kebisuan dan isyarat untuk menanamkan patung bis di muka rumah bujang telah tiba, maka semua orang segera menghambur keluar melalui sembilan pintu yang menganga tanpa daun.
Para pengukir telah membuktikan kepiawaiannya dalam memahat patung bis, sehingga batang pohon pala yang semula tak berbentuk itu, kini telah berubah menjadi ukiran yang melambangkan perburuan kepala manusia dengan akar mencuat pada bagian atas, melambangkan kejantanan. Patung itu diusung sedemikian rupa bagai benda pusaka kemudian ditanam kuat-kuat di halaman rumah bujang hingga berdiri tegak. Semua orang bernapas dengan lega, memandang patung itu penuh kekaguman. Mereka merasa begitu bangga terlahir sebagai suku bangsa Asmat yang dapat mengukirkan sebuah maha karya. Prosesi terakhir yang diawali dengan malam syahdu terbayar sudah. Patung bis dan hari-hari pesta itu berarti, bahwa seisi kampung telah menunaikan kewajiban untuk mengantar arwah para nenek moyang di dampu ow capinmi menuju ke safar---surga. Sementara adat pemenggalan kepala manusia sebagai salah satu wujud keberanian telah mendapatkan sebuah jawaban yang damai dan menenangkan seluruh jiwa.


                                                                                       ***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...