Senin, 24 Juni 2019

INDRAPRASTA --Mahabhrata, 16 The Great Epic of India


Perkawinan agung Drupadi dengan kelima Pandawa sampai pula ke telinga Widura, satu hal yang menyebabkan rasa gembira dan syukur tiada terkira. Pandawa dan ibu Kunthi yang disangka telah hangus terbakar api kiranya masih hidup dalam keadaan selamat, bahkan telah menyelenggarakan perkawinan dengan Putri Pancala. Tak sabar Widura menyampaikan kabar gembira ini kepada Raja Destarastra. “Baginda raja, saya datang dengan sebuah berita gembira. Hastina telah dinaungi bintang keberuntungan, istana akan bertambah kuat, Drupadi, Putri Raja Drupada dari Pancala kini adalah anak menantu Hastina….”
Dalam gelap mata serta pandangan yang serba hitam, Destarastra tersenyum, ia tak pernah mengira, kabar gembira ini akan berubah  menjadi hal yang sebaliknya. Dalam persangkaan, Duryudana telah memenangkan sayembara, berhak menyunting Drupadi. Ia tahu arti persekutuan dengan Pancala, sebuah kekuatan tak tertandingi. “Benar, sebuah kabar gembira. Segera persiapkan keberangkatan ke Pancala untuk adat memboyong putri, akan diselenggarakan upacara megah menyambut Putri Pancala selaku menantu Hastina…”
Darah Widura tersirap, Yang Mulia Raja kiranya keliru mengartikan kata-katanya, bukan Duryudana memenangkan sayembara, tetapi Arjuna. Beberapa saat tenggorokan Widura tercekat, ia harus pandai mengatur kata-kata yang tepat untuk menyampaikan kabar sesungguhnya, meski kabar itu akan menghapus senyum pada wajah buta sang raja selama-lamanya. “Mohon ampun baginda. Kiranya Pandawa dan Ibu Kunthi selalu mendapatkan perlindungan dewata, setelah peristiwa kebakaran di Waranawata, lima satria dengan ibu agung masih mendapatkan keselamatan. Sekali lagi mohon ampun, bukan Duryudana memenangkan sayembara, tetapi Arjuna. Sesuai dengan ajaran yang tertulis dalam kitab sastra kelima Pandawa telah menyunting Drupadi, kini mereka menetap di Pancala di bawah naungan Raja Drupada….” Sangat tidak mudah bagi Widura mengatakan hal yang sebenarnya, tetapi harus. Ia tahu betapa akan sangat kecewa Destarastra, ia tahu betapa senyum di wajah raja yang buta itu segera berubah menjadi seraut yang diliputi kegetiran. Sia-sia sang raja mencoba menyembunyikan kekecewaan, Destarastra tak pernah pandai bersandiwara.
“Ah, Pandawa yang malang, satria yang kukasihi…. Lama kutunggu kabar, kiranya mereka semua masih hidup, bahkan telah menikah dengan Putri Pancala pula.  Terasa tenang hatiku, upacara pemakaman itu seharusnya tak perlu diselenggarakan. Syukur kepada dewata yang agung”, Destarastra berusaha menutupi segala rasa kecewa, ia tahu arti kehidupan bagi Pandawa, ia tahu arti perkawinan itu. Bagaimana pula perasaan Duryudana, pangeran tercinta? Bukankah kekalahan ini menyakiti hatinya? Terlebih kalah bertanding dengan Arjuna yang disangka telah mati. Sebuah kekalahan telak yang tak mungkin dibayar kembali.
Diam-diam Destarastra menghela napas panjang, kemenangan itu berarti ia akan berhadapan dengan pertikaian antara saudara sepupu tanpa kesudahan. Andai sepasang matanya dapat melihat segala warna kehidupan? Kini, segala sesuatu bahkan tampak lebih gelap.  
Dada Destarastra terasa kian sesak ketika Duryudana kembali dari Pancala dengan wajah muram, karena tak pernah memenangkan pertandingan. Ia bukan hanya gagal mempersunting jelita Putri Pancala, ia harus mengakui sebagai satria yang kalah. Wajah Duryudana semakin kelam ketika ayahanda menyambut kedatangan itu dengan kata-kata yang tak pernah ingin didengar. “Putraku Duryudana, tak mengapa engkau tak berhasil menyunting Putri Pancala, Drupadi bukan takdir bagimu. Dewata mengatur cerita dan rencana berbeda di luar persangkaan manusia. Akan tetapi, tahukah siapa sebenarnya satria yang memenangkan sayembara?” andai dapat melihat, Destarastra akan tahu, betapa kelam dan gundah wajah Duryudana.
Duryudana tak segera menjawab, ia telah kalah. Ia bahkan tak pernah ingin tahu dengan siapa akhirnya putri jelita itu menikah. Wajah cantik Drupadi semakin menjauh, mencela, dan menyakiti. Ia ingin melupakan kekalahan seorang peserta sayembara.
“Tahukah siapa satria yang telah memenangkan sayembara?” sekali l agi Destarastra bertanya.
Hening.
Duryudana merasakan suasana ganjil dan melukai. Pantaskah seorang putra mahkota menelan kekalahan dalam mimpi menyunting putri raja? Dada Duryudana terasa terbakar, semakin berkobar ketika ayahanda raja terus berkata-kata.
“Pandawa dan ibu Kunthi ternyata masih hidup, menyamar selaku Brahmana. Tak usah terkejut, Arjuna adalah Brahmana satria yang memenangkan sayembara, kini kelima satria telah menikahi Drupadi, menetap di istana di bawah perlindungan Raja Pancala. Mereka bersembunyi setelah menyelamatkan diri dari musibah kebakaran ….” Terbata-bata Destarastra berucap, putra mahkota harus tahu keadaan yang sebenarnya, ia tahu Duryudana tak pernah menghendaki kehadiran Pandawa, terlebih selaku pemenang sayembara.
Kali ini Duryudana bukan hanya merasa kalah, tetapi terbanting kemudian terlempar pada kedalaman jurang tanpa dasar. Arjuna tengah mentertawainya, satria tampan itu telah menggagalkan maksud hati menikahi Drupadi, menggagalkan pula persekutuan dengan Pancala. Di depan Pandawa, Kurawa tak lebih dari topeng rapuh yang seketika roboh dengan hembusan angin  paling lembut sekalipun. Seratus Kurawa dengan megah Hastina pura bukanlah apa-apa. Semula wajah Duryudana memucat, perlahan-lahan berubah menjadi semerah bara. Kurawa pertama tak memerlukan waktu lebih lama untuk menyertakan Dursasana  menemui Sangkuni.
“Paman, ternyata Pandawa lebih cerdik dari yang pernah kita sangka, Purochana tak dapat memikul kepecayaan, ia gagal dengan kepercayaan itu. Arjuna memenangkan sayembara, memenangkan Drupadi, merangkul Pancala sebagai sekutu. Apakah kita akan diam selamanya?” wajah Duryudana lebih kelam dari mendung yang bersiap mencurahkan hujan, ia tak pernah mampu menerima kekalahan, ia harus menang.
“Pergilah bersama Karna, menghadap Yang Mulia Raja”, Sangkuni memberikan satu saran. Duryudana tak menunggu lebih lama untuk meneruskan saran itu. Ia segera mengajak serta Karna menemui ayahanda.
“Ayahanda pernah berucap kepada Widura, bahwa masa depan kita akan  menjadi lebih baik. Sekarang apa yang terjadi? Dengan perkawinan Pandawa dan Putri Pancala, Kurawa bukanlah apa-apa. Pandawa lebih cerdik dari segala persangkaan kita, bila kita tidak hancurkan mereka, mereka akan terlebih dahulu menghancurkan kita. Apa petunjuk ayahanda?” suara Duryudana bercampur antara kemarahan dan keluhan.
Destarastra mengheka napas panjang, ia tahu Kurawa berjumlah serratus orang, Pandawa hanya lima. Akan tetapi, lima satria ini nyaris tak tertandingi, tak pernah undur dengan kekuatan seluruh jumlah anak yang pernah dilahirkan. “Benar kata-katamu putraku, seharusnya kita tidak pernah menyampaikan apa-apa kepada Widura, itu sebabnya ayahmu yang buta selalu menahan diri. Setelah persekutuan Pandawa dengan Pancala, apa selanjutnya rencanamu?”
“Sementara saya tak mampu berpikir, kita kalah dengan telak. Akan tetapi, Pandawa terlahir dari dua  ibu yang berbeda. Bukankah kita bisa membujuk Nakula dan Sadewa untuk membenci anak-anak Khunti? Bukankah kita masih bisa memberikan emas dan permata kepada Raja Drupada untuk bersekutu?” Duryudana harus tahu arti putus asa, jauh di lubuk hati sesungguhnya ia gentar dengan kesaktian Pandawa, ia bahkan tidak pernah merasa yakin dapat memenangkan pertikaian itu. Akan tetapi, kata-kata itu tak masuk akal di dalam benak Karna.   
“Benarkah kita bisa memecah belah anak-anak Kunthi dan Madrim? Benarkah kita bisa merangkul Raja Drupada sebagai sekutu, karena bujukan emas permata?” senyum di wajah tampan Karna terkulum. Ia tahu kekuatan hati  masing-masing Pandawa untuk tetap bersatu, meski terlahir dari ibu yang berbeda. Dan, benarkah Raja Drupada bersedia menjadi sekutu? Mengorbankan perkawinan putri tercinta? Senyum di wajah tampan Karna tak juga sirna.
“Akan tetapi, kita harus mampu mencegah Pandawa kembali ke Hastina untuk merebut istana, perlu disebarkan berita bila Pandawa kembali, kelimanya akan berhadapan dengan bahaya besar”, Duryudana membuat sebuah rencana.
“Apakah Pandawa benar bisa ditakut-takuti?” Karna kembali membantah, kemampuan Pandawa menyelamatakan diri dari musibah kebakaran hutan yang disengaja sudah cukup membuktikan kecerdikannya. Pandawa dan ibu Kunthi tak bisa ditakut-takuti, mereka terlalu berani sekedar untuk merasakan takut.
“Apakah kita tidak bisa memisahkan Pandawa melalui perselisihan dengan satu istri Drupadi? Kita bisa mengupah perempuan penjaja yang cantik mempesona, sehingga Pandawa melupakan Drupadi. Sang putri akan mengadu pada ayahanda, meminta penghakiman kemudian kita akan mengambilnya sebagai putri yang malang, dan membuatnya tercemar?” Duryudana mengutarakan sebuah gagasan.
Kali ini Karna tergelak, “Pandawa tak bisa dipecah belah dengan cara seperti itu, beragam musibah yang terlampaui menyebabkan mereka lebih waspada. Raja Drupada tak akan goyah dengan kemilau emas permata, Drupadi tak akan mengkhianati suaminya”, jawab Karna dengan suara mantab.
“Bila demikian kita harus melakukan serangan secara tiba-tiba, sebelum Krisna bergabung dengan pasukan perang Yadawa yang terkenal. Tipu muslihat terbukti sia-sia….” Suara Duryudana meradang.
Lalu suasana hening, Destarastra sang raja bahkan tak mampu mengambil keputusan. Ia tidak tahu gundah gulana hati putra tercinta, akan tetapi satria mana yang dapat memusnahkan Pandawa. Kelima satria itu terlalu kuat, para dewata seakan melindungi keselamatannya. Ia sang raja bahkan tidak mampu menentukan sikap, maka Destarastra perlu kiranya meminta pertimbangan Bhisma dan Drona.
Senyum di bibir Bhisma mengembang ketika mendengar kabar, bahwa Pandawa masih hidup dalam keadaan selamat, Arjuna memenangkan sayembara dalam memperebutkan Putri Pancala dan kini menetap di istana di bawah naungan Raja Drupada. Senyum itu nyaris sirna  ketika Destarastra berucap, “Perkawinan Pandawa dan Putri Pancala telah merisaukan hati putraku Duryudana, adakah suatu cara untuk meniadakan Pandawa, sehingga hati putraku kembali tenang seperti sediakala?”
Bhisma menghela napas sesaat kemudian menjawab pertanyaan sang raja, “Yang lalu biarkan berlalu, semua telah terjadi. Satu hal bahwa Pandawa selalu berhak akan Hastina, bukankah masyarakat luas menghendaki hal serupa? Dendam dan iri dengki hanya akan menimbulkan perpecahan. Persilakan Pandawa kembali ke istana, berikan setengah dari kerajaan, kukira hal ini adalah satu-satunya jalan keluar”, Bhisma memberikan nasehat, sebuah keputusan yang disetujui pula oleh Drona.
“Saya setuju dengan pendapat Bhisma yang agung, persilakan Pandawa kembali ke istana. Bagi kerajaan  menjadi sua”, Drona menganggukkan kepala, satu hal yang menyebabkan darah Karna mendidih, ia tak sanggup membayangkan Pandawa hidup dengan dilumuri kemuliaan dengan restu dari yang agung Bhisma.
“Benarkah demikian pendapat seorang pendeta, merelakan kembali Pandawa hadir, mendapat hak separuh kerajaan dan hidup dilumuri kemuliaan. Sanggupkah kita melihat Kurawa tertindas di bawah kelima kaki Pandawa?” suara Karna menggelegar seakan Guntur, ia tak dapat melupakan penghinaan Pandawa atas dirinya, anak seorang sais kereta.
Telinga Drona mendadak seakan terbakar nyala api ketika mendengar penyangkalaan Karna, “Karna, anak sais kereta. Apabila Yang Mulia Raja tidak mengindahkan nasehat Bhisma yang agung, Kurawa akan mengalami  kehancuran!” suara Drona tak kalah menggelegar dengan suara Karna, ia tahu perihal dendam anak seorang sais kereta kepada Pandawa.
Suara Mahaguru Drona mengakhiri pembicaraan itu.
Destarastra belum juga mampu mengambil keputusan, ia masih perlu meminta waktu bagi Widura untuk sebuah nasehat yang bijak. Jawaban Widura tak berbeda dengan nasehat Bhisma dan Drona, “Nasehat Bhisma yang agung dan Mahaguru Drona benar, Pandawa adalah  kemenakan yang mulia raja. Kehancuran Pandawa adalah kehancuran Hastina, hal itu berarti adalah kehancuran pula bagi Kurawa. Pandawa selamat dari musibah  kebakaran di hutan Waranawata, seakan suatu bukti Dewata yang agung selalu memberikan perlindungan. Demikian pula ketika mereka tetap selamat  terlunta-lunta di tengah hutan rimba  hingga memenangkan sayembara di Kerajaan Pancala.  Seluruh rakyat Hastina bergembira dengan kabar kemenangan Pandawa, tidak usah selalu menuruti kehendak Duryudana, Karna dan Drona masih terlalu hijau dalam memahami tata negara. Masih ada jalan damai untuk menebus semua kesalahan, memanggil Pandawa kembali ke Hastina, membagi kerajaan menjadi dua”, Widura sependapat dengan nasehat Bhisma dan Drona.
Destarastra, sang raja yang buta sepasang matanya termangu-mangu, ia tak dapat menyangkal kebenaran kata-kata Bhisma, Drona, dan kini Widura. Ia berkewajiban bersikap adil terhadap Pandawa, andai kelima satria itu bukan kemenakannya sekalipun, hati baiknya berbisik untuk bersikap bijak. Akan tetapi, apakah Kurawa akan merasa damai dengan keputusan ini? Kepala Destarastra terasa nyeri, Kurawa tak pernah merasa nyaman selama Pandawa masih bercokol di muka bumi. Kepada siapa sebenarnya ia harus memihak? Pandangan sepasang matanya terasa lebih gelap dan menyakiti. Mengapa ia harus terlahir sebagai raja yang buta?
Ketika akhirnya Destarastra memerintah Widura bagi penjemputan terhadap Pandawa, Drupadi, dan Kunthi, dendam di dada Kurawa kembali berpijar sebagai bara yang semakin langgeng di dalam sekam. Di mata Duryudana seluruh pilar istana seakan  menyala bagai lidah api. Akan tetapi, ia hanya bisa diam, tak mampu menentang kehendak raja, sungguhpun ia telah mengajukan keberatan.
Sampai di Kerajaan Pancala, Widura menyerahkan persembahan emas dan permata yang berkilau menyilaukan sebagai ucapan salam dari Raja Destarastra kepada Raja Drupada. “Dapatkah saya bertemu dengan Pandawa untuk menyampaikan sepucuk surat dari Raja Destarastra, baginda menghendaki upaya damai, mempersilakan Pandawa kembali ke Hastina, membagi kerajaan menjadi dua”, kata-kata Widura penuh hormat dan santun. Ia tengah berhadapan dengan seorang raja besar yang berkuasa.
“Pandawa benar ada di bawah naungan Raja Pancala, akan tetapi aku tak berhak mengubah pendirian serta segala rencananya”, Drupada menyembunyikan rasa curiga, ia tak sepenuhnya percaya pada niat baik Destarastra.
Masih dengan rasa hormat Widura menemui Kunthi untuk menyampaikan pesan Destarastra, hati Widura terasa damai ketika melihat senyum di bibir Kunthi. “Widura, anak Wichitrawirya engkau telah menyelamatkan anak-anakku. Engkau menganggap Pandawa selaku anakmu pula, tak sepenuhnya aku mempercayai Destarastra, tetapi aku masih bisa mempercayakan keselamatan Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa serta Drupadi kepadamu”, suara Kunthi lembut, ia tahu tengah berhadapan dengan siapa.
“Pandawa akan mewarisi kerajaan, memperoleh kebesaran dan kemakmuran, bukan kemusnahan. Mari kita pergi ….” Widura membungkukkan badannya dengan takjim, ia sangat berharap Kunthi akan memenuhi permintaan ini. Suatu kesalahan bila pewaris Hastina harus berteduh di bawah naungan Raja Drupada, kelima satria dan ibu agung memiliki istana yang sejatinya.
“Benar ibu agung Kunthi, Pandawa memiliki kerajaan serta berhak kembali ke tempat yang sebenarnya. Pergilah….” Drupada tak mengucapkan kata-kata yang salah, ia menganggukkan kepala dengan bijak, senyumnya dikulum.
Dengan restu dari Raja Pancala, Pandawa, Kunthi serta Drupadi berkemas meninggalkan istana  dalam pengawalan Widura dan prajurit Hastina pada sebuah iring-iringan yang disambut suka cita rakyat Hastina. Jalan raya dihiasi aneka kembang warna warni, menebarkan aroma mewangi, diperciki air suci, rakyat bersorak sorai, melambaikan tangan. Andai sepasang mata Destarastra dapat melihat, betapa keruh wajah Kurawa, betapa ceria wajah rakyat Hastina yang mendapatkan kembali, bahwa Pandawa masih berada dalam keadaan sehat hadir bersama Kunthi serta jelita Putri Pancala sebagai istri. Destarastra mencoba bersikap adil, meski suara hati berbisik lain.
Pada penobatan Yudhistira selaku Raja Hastina, Destarastra menyampaikan amanat, “Yudhistira putra Pandu, kini engkau seorang raja. Ayahandamu, adikku Pandu telah membawa Hastina menuju kemakmuran, harapanku engkau akan melakukan hal yang sama bagi rakyatmu. Buktikan bahwa Yudhistira dan Pandawa benar adalah putra Pandu, adinda yang mencintaiku dan senang pula berbagi nasehat. Maafkan semua kesalahan Kurawa anak-anakku, mereka adalah saudara sepupu, sangat kuharap bahwa damai akan selalu terentang di antara sanak saudara. Pergilah ke Kandawaprastha, bangunlah ibu kota kerajaan di sana. Dahulu kala, Pururawa, Nahusya, dan Yayati leluhur darah Bharata memerintah kerajaan dari tempat yang sama. Bangunlah kembali Kandawaprastha dengan nama baru dengan seluruh restuku. Sangat berharap bahwa kerajaanmu akan menjadi makmur, karena Yudhistira Putra Pandu adalah raja yang adil dan bijaksana”, Destarastra berucap setulus hati, ia sangat berharap, bahwa penobatan hari ini  akan menjadi suatu hari damai bagi Pandawa dan Kurawa untuk selama-lamanya.
Andai mata batin Destarastra dapat melihat jauh, betapa iri hati pada diri Kurawa tak akan pernah padam hingga kematian meleraikan….
Adapun Pandawa tak berlama-lama tinggal di Hastina, kelima satria, Kunthi serta Drupadi dapat menangkap kilatan kebencian pada sepasang mata Kurawa. Pembagian wilayah kerajaan ini tampaknya bukan menyudahi perasaan iri dengki, tetapi bahkan memulai babak baru pertikaian yang tak akan pernah diakhiri. Dengan takjim Pandawa berpamit, bersama Kunti dan Drupadi dalam iring-iringan panjang memulai perjalanan menuju ke Kandawaprastha. Kerja keras segera dimulai ketika sampai pada puing-puing ibu kota, batu pertama diletakkan untuk sebuah ibu kota bernama Indraprastha dan kerajaan bernama Amarta.

                                        
                                                     ***

P E N C U R I


Satu kecerobohan benar-benar telah saya lakukan dengan menganggap, bahwa menetap di seputar lingkungan tempat tinggal adalah aman. Tak pernah sedikitpun saya berfikir akan ada serangan fisik yang berakibat langsung mengancam keselamatan. Hari itu, dengan nyaman saya menikmati kesendirian, anak pertama telah  memulai semester kesatu perkuliahan, anak kedua sementara berlibur tinggal dengan kakaknya. Saya mengira bisa menikmati hari-hari lengang dengan damai tanpa repot menyiapkan makan yang lebih sering diprotes, karena tidak enak, bertatapan dengan wajah masgul, karena terlambat membeli kue sebagai  bekal ke sekolah serta protes-protes lain, karena selalu ada yang tidak beres di dalam rumah.
Malam itu saya tertidur dengan nyenyak berselimut hangat bermimpi indah, tetapi mimpi itu terjaga ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar serta beberapa kali handle pintu ditarik. Kali ini saya tidak bermimpi, kucing pasti tidak bisa mengetuk pintu. Lantas, siapa? Dengan mengantuk saya membuka pintu memeriksa situasi di ruang TV dan ruang makan, sunyi. Akan tetapi, udara dingin menghembus pertanda pintu depan dan belakang terbuka lebar. Saya masuk kembali ke dalam kamar mengunci pintu. Sekejab kemudian terdengar suara berat langkah kaki dari arah dapur, langkah itu tergesa, cepat, dan berat seolah sepasang telapak kaki dilapisi lempeng  besi. Saya menggigil, menyadari ada pencuri masuk pada pagi sekitar pukul 02.30 beberapa saat setelah terdengar suara stom kapal putih.
Saya tahu bahaya terbesar pencuri yang tertangkap tuan rumah, ia bisa melakukan tindakan kejahatan lebih dari niat mencuri. Saya telah melangkah sejauh ini hingga anak-anak beranjak dewasa, saya tidak ingin pencapaian ini berakhir dengan tragis. Tergesa saya telepon polisi, ponsel tidak diangkat, saya kirim sms dengan tulisan kacau. Sesaat kemudian ponsel berdering, sambil berbisik saya berucap, “Pencuri masuk rumah, tolong. Pencuri masuk rumah, tolong ….”.
Terdengar jawaban, “Ya …. Ya …. Saya segera datang”.
Saya masih memanggil sejumlah nomor dengan pikiran kacau memohon pertolongan. Percuma menjerit, jarak rumah tetangga di samping, belakang, dan depan masih beberapa meter, kemungkinan terburuk semuanya tertidur pulas, tidak akan mendengar jeritan. Sementara suara langkah kaki di luar kamar semakin menegangkan, langkah itu menuju kamar tengah serta depan yang tidak terkunci, dengan gegabah terdengar suara laci dibuka dan ditutup kemudian langkah itu menuju ke bagian belakang rumah. Demikian berulang kali, jantung saya berpacu, saya tidak berani mengambil tindakan gegabah, saya harus menghadapi situasi menegangkan ini. Tas kerja berisi surat berharga serta uang operasional kantor yang belum sempat saya bayarkan, saya  lempar ke bawah kolong. Saya tak akan mampu menanggung kerugian sejumlah satu tahun gaji.
Akhirnya tiba saat paling menakutkan, ialah ketika pencuri mulai membongkar pintu kamar yang terbuat dari triplek, saya tetap menutup mulut, meski suhu tubuh semakin dingin bagai terjebak di dalam kulkas. Beberapa saat kemudian tampak kepala botak terjulur dari daun pintu yang jebol dengan muka tepat menghadap ke lantai. Ia seorang laki-laki tua mengenakan T Shirt coklat muda dengan lengan coklat tua, saya perhatikan benar ciri-ciri itu. Sebelum orang tak dikenal itu dapat bertindak lebih jauh, dengan sepenuh tenaga saya semprotkan baygon tepat di mata sebelah kiri. Pencuri itu tampak terkejut seakan disengat aliran listrik, tanpa menjerit atau mengucap sepatah kata ia berlari cepat ke arah ruang tamu, meninggalkan rumah dengan tergesa. Di lantai kamar saya  masih terduduk berselubung kain, menggigil.  Mungkin antara saya dan pencuri mengalami ketakutan yang sama.  Satu hal yang tiba-tiba tersisa di dalam benak adalah, hampa. Saya kehilangan seluruh kenangan serta harapan yang pernah rapi tertata.
Saya masih harus menggigil beberapa menit hingga dua orang polisi datang dengan revolver di tangan. Dengan sigap saya membuka kunci pintu kamar, menerima kehadiran dua orang anggota keamanan. Kami memeriksa sekeliling rumah, karpet di depan pintu kamar telah acak-acakan. Pintu pagar, ruang tamu, pintu belakang, dan pintu ke tempat pembuangan sampah terbuka lebar. Tak ada barang yang sempat dibawa pencuri, kecuali kunci pintu ruang tamu serta kunci motor. “Bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam rumah?” kami bertanya-tanya.
Ketika pagi memecah, seorang anggota kepolisian kembali datang dengan membawa perlengkapan sidik jari. Seluruh handle pintu diperiksa, tetapi tidak ada bekas sidik jari yang tertinggal. Saya terduduk lemas di kursi teras depan, kehilangan akal sehat. Ketika salah seorang polisi memperhatikan jendela, ia mendapati kawat ram dalam keadaan rusak, lengan manusia dewasa bisa terjulur ke dalam untuk memutar anak kunci yang menempel di handle pintu. Pintu pagar selama enam tahun tidak pernah saya kunci, karena saya merasa lingkungan tempat tinggal ini aman, tak pernah menyangka akan dikunjungi tamu tak diundang pada dini hari.
Saya masih meminta anggota kepolisian sementara di rumah sampai saya tiba kembali dari kampung untuk memanggil kerabat datqng. Kesendirian ternyata menakutkan. Tukang datang beberapa jam kemudian untuk  memperbaiki kerusakan, membuat pintu darurat pada setiap kamar, sehingga saya bisa mengambil tindakan pengamanan bila ancaman tina-tiba datang. Saya masih mencari ciri-ciri orang yang pernah merunduk pada pintu kamar yang jebol, tapi sampai tiga minggu ke depan, pencuri itu tak pernah dapat saya temui.
Suatu pagi  ketika pekerja dari Dinas Pekerjaan Umum tengah memperbaiki jembatan yang rusak, di depan rumah, saya datang bergabung, meminta papan sisa, antisipasi bila papan jembatan tercungkil sementara petugas dating terlambat. Ketika membalikkan badan saya segera bertatapan dengan sosok itu, seorang laki-laki menjelang 50 tahun dengan mata rusak sebelah kiri. Ia tampak seakan  mengenal saya, sekilas menatap dengan pandangan menyesal. Saya terdiam, haruskah saya melaporkan kembali pada polisi? Seorang kawan di kantor  menyarankan tidak usah melapor, waktu telah berjalan lewat tiga minggu. Beberapa hari ke depan saya masih berpapasan dengan orang yang sama, sikap itu seolah menunjukkan penyesalannya. Ia juga berulang-ulang lalu lalang lewat di depan rumah, rupanya ia tinggal tak jauh dari rumah, sekitar 100 meter di sebelah kanan kemudian memasuki jalan kecil, ia tinggal di rumah semi permanen, asalnya dari kampung yang jauh. Satu kali pencuri itu bahkan merekam kartu indentitas di kantor, saya kopi kartu itu untuk disimpan. Selama yang bersangkutan tidak melakukan tindakan apa-apa, saya diam, tetapi bila ia berani bertindak melampaui batas, saya akan mengambil tindakan seperti yang pernah saya kerjakan.
Hingga beberapa bulan saya menjalani hari-hari tanpa harapan, segalanya mencemaskan dan  menjadi tawar. Rasa takut dan tawar membuat saya mengerti, bahwa sesiapun tak akan pernah berada dalam situasi yang benar-benar aman dari serangan fisik atau fitnah menjatuhkan. Waspada diperlukan pada setiap detik dan tarikan tahu, saya menjadi lebih mengerti, bahwa keselamatan menjadi hal yang paling berharga.
       

                                                                 ***

--Korowai Buluanop, Mabul: Menyusuri Sungai-sungai

Pagi hari di bulan akhir November 2019, hujan sejak tengah malam belum juga reda kami tim Bangga Papua --Bangun Generasi dan ...